Hotel JW Marriott Jakarta Didera Kembali Oleh Ledakan Bom

Embed Size (px)

Citation preview

Hotel JW Marriott Jakarta didera kembali oleh ledakan bom. Tetapi ledakan bom itu entah yang keberapa kalinya yang pernah terjadi di Indonesia. Berbagai kajian yang saling berbeda muncul mengiringi peristiwa itu. Namun dalam kaitan ini saya hanya ingin menyatakan bahwa baik sebelum maupun sesudah bom itu meledak yang ada hanyalah konflik. Artinya, yang melatarbelakangi dan yang muncul sesudah bom ini meledak adalah konflik Selanjutnya jika hal ini ditelaah lagi, maka yang muncul adalah kepentingan. Oleh sebab itu peledakan bom tersebut tidak lain sebagai reaksi dari sebuah konflik kepentingan. Bisa jadi muncul pertanyaan baru : Untuk kepentingan siapakah peledakan bom tersebut? Dapat dipastikan bahwa yang meledakkan bom adalah teroris. Teroris sering diartikan sebagai orang yang sengaja bertindak untuk membuat tindakan kekerasan untuk membuat orang menjadi ketakutan. Namun untuk kepentingan siapa bom tersebut diledakkan merupakan pertanyaan yang sulit menjawabnya. Apakah peledakan bom tersebut berarakar dari kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk? Banyak teori yang menganalisis tentang kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. DR Nasikun dalam bukunya Sistem Sosial Indonesia menjelaskan struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua macam ciri yang bersifat unik yaitu bersifat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, dan kedaerahan. Sedangkan secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam inilah yang menandai masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk sebagaimana konsep yang pernah diajukan Furnivall dalam menggambarkan masyarakat Indonesia. Furnivall menggunakan istilah plural societies untuk masyarakat Indonesia, karena masyarakat Indonesia terdiri atas dua kelompok atau lebih yang hidup sendirisendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Gambarannya tentang masyarakat Indonesia di dalam buku Netherlands India: A Study of plural Economy menunjukkan fenomena di mana elemen social yang hidup dalam masyarakat Indonesia sekarang ini berdiri sendiri-sendiri dan sulit berbaur dalam kesatuan politik. Dalam bukunya yang berjudul : Colonial Policy And Practice A comparative Study of Burma and Netherlands India, dia mempertegas bahwa sebagai keseluruhan masyarakat Indonesia tidak memiliki common will (kehendak bersama), sehingga keinginan masyarakat pun bersifat seksional. Setiap kelompok memiliki pola keinginan sendiri-sendiri. DR Nasikun memandang karakter pembeda antara masyarakat majemuk dengan masyarakat yang homogeneous dikendalikan oleh adanya common will. Dalam analisis tersebut memang menyatakan bahwa dengan kemajemukan itu memunculkan konflik kepentingan masing-masing kelompok masyarakat. Dalam kondisi seperti sekarang ini penyebabnya adalah berbagai faktor kepentingan masyarakat Indonesia. Mungkin saja apa yang dikemukakan Clifford Geertz dalam Old Societies And New State lebih dekat dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam buku tersebut beliau berpendapat bahwa

masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendirisendiri yang masing-masing sub-sub sistem diikat oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Adanya ikatanikatan tertentu dalam sub sistem dalam masyarakat itulah yang membuat keadaan masyarakat sekarang ini menjadi terkotakkotak. Setiap kotak-kotak masyarakat muncul pola kepentingannya masing-masing yang tidak dapat diarahkan kepada kehendak bersama yang bersifat terpadu sehingga ada kekhawatiran kearah disintegrasi bangsa. Ikatan-ikatan tertentu itulah yang selalu menjadi pemicu dan penggerak munculnya berbagai tuntutan kepentingan yang sulit untuk disatukan. Kasus pertikaian dalam masyarakat merupakan satu dari gejala yang menunjukkan tidak adanya common will dalam masyarakat, namun hal tersebut tetap bermuara dari pertarungan kepentingan sendiri- sendiri. Masyarakat yang dimaksud dalam hal ini adalah semua warga yang mendiami wilayah ini termasuk juga di dalamnya para pejabat pemerintah, sehingga satu sisi, pemerintahpun juga memiliki kepentingan sendiri-sendiri pula. Pada dasarnya sifat-sifat dasar dari sebuah masyarakat majemuk menurut Pierre L. van den Berghe dalam Pluralism And The Politic : A Theoritical Exploration adalah sebagai berikut: 1.Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudanyaan yang berbeda. 2.Terbaginya struktur sosial ke dalam lembaga yang bersifat non-komplementer. 3.Tidak berkembangnya konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar. 4.Terjadinya konflik antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Integrasi yang tumbuh dalam masyarakat bersifat paksaan dan disebabkan oleh ketergantungan ekonomi. 6.Adanya dominasi politik suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Enam sifat dasar dari masyarakat majemuk yang di kemukakan Pierre L.van den Berghe tersebut di atas menurut penulis menjadi penyebab terjadi konflik dalam masyarakat majemuk itu sendiri. Penyebab lain yang dapat menyulut terjadinya konflik dalam masyarakat majemuk khususnya di Indonesia adalah kondisi geografis Indonesia yang telah menciptakan kemajemukan wilayah secara territorial dengan berbagai kepentingan sosial yang sedemikian pula rumitnya. Hal yang mempertajam munculnya konflik adalah setelah adanya pemekaran dan otonomi daerah, sehingga satu daerah dengan daerah lainnya terlalu memikirkan dan memperjuangkan daerahnya. Hal ini terlihat terutama bagi pemerintah daerah yang nampaknya hingga hari ini belum ada sepakat dalam hal pembangunan terutama di daerah perbatasan. Kasus Protap yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Aziz Angkat merupakan contoh untuk hal ini. Selain itu letak Indonesia yang menjadi lalu lintas bangsa luar menyebabkan pengaruh kebudayaan dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh ini juga menciptakan berbagai idealisme tersendiri yang tumbuh masyarakat yang mewarnai kemajemukan masyarakat. Timbulnya sikap subjektif pada kelompok-kelompok masyarakat sebagai

akibat dari pendangkalan pemahaman kebudayaan dan kepercayaan akan menjadikan diri mereka menolak dan tidak mengakui keberadaan idealisme kebudayaan dan kepercayaan kelompok lain. Kepentingan-kepentingan yang saling tarik menarik atau tolak menolakpun terjadi, sehingga dapat memicu konflik. Namun hal itu merupakan bentuk interaksi sosial dalam masyarakat. Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga karena masyarakat tersebut sekaligus menjadi anggota berbagai kesatuan sosial. Setiap konflik yang terjadi di antara satu kesatuan social dengan yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Dalam beberapa teori cara mengatasi konflik yang terjadi adalah dengan menumbuhkan solidaritas individu dalam masyarakat baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Namun menurut van den Bergre solidaritas mekanis dan solidaritas organis tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan dalam masyarakat yang majemuk. George Ritzer dalam bukunya Sociology: A Multiple Paradigm Science menjelaskan masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Dalam hal ini pembagian kekuasaan yang tidak baik juga dapat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi. Sebagaimana pendapat Ralf Dahrendrof dalam bukunya Class and ClassCanflict yang menjelaskan distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata menjadi aktor yang menyebabkan konflik secara sistematis. Kekuasaan dan wewenang sedemikian telah menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur, sehingga terciptalah pemisahan antara penguasa dan yang dikuasai. Jika ini terjadi maka maka masyarakat pun akan terpecah menjadi dua golongan yang saling bertentangan. Setiap golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata dalam kelompoknya yang bertentangan dengan lainnya secara substansial dan secara langsung. Di sinilah kembali dipertanyakan sejauh mana konstribusi pemerintah yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam mengatasi konflik yang terjadi diIndonesia. Jika pembagian kerja politik kekuasaan dan kewenangan dalam pemerintahaan, tidak sesuai dengan semestinya maka badan legislatif juga memberikan andil dalam terjadinya konflik. Dahrendrof membagi kelompok orang yang terlibat konflik dalam dua macam yaitu kelompok semu dan kelompok kepentingan. Kelompok semu merupakan kumpulan orang-orang yang memegang kekuasaan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk, karena munculnya kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas dengan struktur, organisasi, program, tujuan,dan anggota yang jelas.

Menurut dia konflik dapat menyebabkan perubahan sosial dan pembangunan, namun jika konflik tersebut terjadi begitu hebat, maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. James Coloman dalam bukunya Relational Analysis mengemukan bahwa konflik yang terjadi dapat dianalisa melalui analisa berikut : 1.analisa hubungan suasana yaitu menganalisis karakteristik individu yang berhubungan dengan fakta sosial, 2.analisa pemisahan atas dasar kesamaan yaitu membuat batas-batas kelompok dengan berbagai karakteristik yang sama, dan 3.analisa pasangan yaitu menganalisa karakteristik individu lain yang terdekat dengan dirinya. John Lewis Gillin dan John Philp Gillin dalam bukunya yang berjudul Cultural Socology menerangkan konflik yang terjadi yang merupakan interaksi sosial. Sama halnya dengan Kimball Young dan Raimond Wmack dalam Sosiology And Sociallife menegaskan bahwa konflik merupakan bentuk-bentuk sosial. Namun penyebab konflik menurut Leopolld von Wese dan Howard Becker dalam Systematik Socyologi adalah perbedaan antara orang perorang, kebudayaan, kepentingan dan perubahan social. Menurut Soejono Soekanto dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar menyatakan bahwa pertentangan akan membawa akibat-akibat baik positif maupun negatif. Akibat ini tergantung pada persoalan yang dipertentangkan, struktur sosial dimana pertentangan terjadi, dan nilai atau kepentingan. Dia juga membagi konflik-konflik di dalam masyarakat ada beberapa jenis yaitu: pertentangan pribadi, rasial, kelaskelas sosial, politik, dan internasional. Akibatnya bertambah kuatnya solidaritas di dalam kelompok, maka lemahnya persatuan kelompok lain, adanya perubahan kepribadian orang perorang, hancurnya harta bendanya, dan jatuhnya korban serta munculnya akomodasi, dominasi, dan takluknya sesuatu pihak. Dalam kaitan ini muncul dua kelompok masyarakat yang menguasai dan dikuasai. Menurut DR Nasikun setidaknya ada dua macam konflik yang mungkin terjadi yaitu konflik bersifat ideologis dan bersifat politis. Konflik yang bersifat ideologis yaitu konflik yang terjadi antara sistem yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial, sedangkan konflik bersifat politis yaitu konflik yang terjadi dalam hal pembagian dalam status kekuasaan ataupun ekonomi yang terbatas. Jadi peledakan bom tersebut bisa jadi bermuara dari konflik ideologis ataupun politis. Namun kecenderungan yang terlihat justru konflik politis lebih dominant dalam peledakan bom ini, sebab secara ideologis masyarakat Indonesia yang berbeda tidak pernah mempersoalkannya dan telah memahami ideology masingmasing. Jadi ada kepentingan politis yang menggesek agar konflik antarideologi ini lebih nampak ke permukaan. Padahal perbedaan ideologi sepanjang sejarah masyarakat Indonesia tidak menjadikan konflik yang tajam. Namun dalam kasus peledakan bom perbedaan ideologi sering menjadi alasan utama. Yang mengherankan Islam sebagai ideologi sering menjadi sasaran dengan menempatkan umat Islam sebagai biang keladinya. Penulis adalah mahasiswa S2 Program Studi Antropologi Sosial Pascasarjana Unimed, Dosen STAIS

Tebingtinggi Deli Kota Tebingtinggi dan Guru Perg. Al Ittihadiyah Percut.