Upload
dompet-sosial-madani-bali
View
36
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Devinisi Hukum Islam
Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan
(taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki
oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum
yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum
yang berhubungan dengan amaliyah.
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh
Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan
Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia,
beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-
Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi
bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut
juga syara’, millah dan diin.
Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib
diturut (ditaati) oleh seorang muslim.
Dari definisi tersebut syariat meliputi:
1. Ilmu Aqoid (keimanan)
2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)
3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
1
B. Karakteristik Hukum Islam
Untuk membedakan antara hukum Islam dengan hukum umum, maka hukum Islam
memiliki beberapa karakteristik tertentu. Diantaranya:
1. Penerapan hukum Islam bersifat universal
Nash-nash al-Qur’an tampil dalam bentuk prinsip-prinsip dasar yang universal dan
ketetapan hukum yang bersifat umum. Ia tidak berbicara mengenai bagian-bagian
kecil, rincian-rincian secara detail (Yusuf al-Qardhawi, 1993: 24) Oleh karena itu,
ayat-ayat al-Qur’an sebagai petunjuk yang universal dapat dimengerti dan diterima
oleh semua umat di dunia ini tanpa harus diikat oleh tempat dan waktu.
2. Hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an tidak memberatkan
Di dalam al-Qur’an tidak satupun perintah Allah yang memberatkan hamba-Nya.
Jika Tuhan melarang manusia mengerjakan sesuatu, maka dibalik larangan itu akan
ada hikmahnya. Walaupun demikian manusia masih diberi kelonggaran dalam hal-
hal tertentu (darurat). Contohnya memakan bangkai adalah hal yang terlarang,
namun dalam keadaan terpaksa, yaitu ketika tidak ada makanan lain, dan jiwa akan
terancam, maka tindakan seperti itu diperbolehkan sebatas hanya memenuhi
kebutuhan saat itu. Hal ini berarti bahwa hukum Islam bersifat elastis dan dapat
berubah sesuai dengan persoalan waktu dan tempat.
3. Menetapkan hukum bersifat realistis
Hukum Islam ditetapkan berdasarkan realistis dalam hal ini harus berpandangan riil
dalam segala hal. Menghayalkan perbuatan yang belum terjadi lalu menetapkan
suatu hukum tidak diperbolehkan. Dengan dugaan ataupun sangkaan-sangkaan tidak
dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Said Ramadhan menjelaskan bahwa
hukum Islam mengandung method of realism (Said Ramadhan, 1961: 57)
4. Menetapkan hukum berdasarkan musyawarah sebagai bahan pertimbangan
Hal ini yang terlihat dalam proses diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an yang
menggambarkan kebijaksanaan Tuhan dalam menuangkan isi yang berupa hukum
Islam ke dalam wadahnya yang berupa masyarakat (Anwar Marjono, 1987: 126)
5. Sanksi didapatkan di dunia dan di akhirat.
Undang-undang produk manusia memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap
hukum-hukumnya. Hanya saja sanksi itu selamanya hanya diberikan di dunia,
berbeda halnya dengan hukum Islam yang memberi sanksi di dunia dan di akhirat.
2
Sanksi di akhirat selamanya lebih berat daripada yang di dunia. Karena itu, orang
yang beriman merasa mendapatkan dorongan kejiwaan yang kuat untuk
melaksanakan hukum-hukum-Nya dan mengikuti perintah serta menjauhi-larangan-
larangan-Nya (Muh. Yusuf Musa, 1998: 167)
Hukum yang disandarkan pada agama bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan
individu dan masyarakat. Tidak diragukan lagi ini adalah tujuan yang bermanfaat
hanya saja ia bermaksud membangun masyarakat ideal yang bersih dari semua apa
yang bertentangan dengan agama dan moral.
Begitu juga ia tidak hanya bermaksud untuk membangun masyarakat yang sehat
saja, tetapi ia juga bertujuan untuk membahagiakan individu, masyarakat, dan
seluruh umat manusia di dunia dan di akhirat.
C. Ciri-Ciri Hukum Islam
Merupakan bagian yang bersumber dari agama Islam
Mempunyai hubungan yang erat dan tidak terpisahkan dari iman (akidah) dan
kesusilaan (akhlak)
Mempunyai dua istilah kunci yaitu:
a) Syari’at
Terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi
b) Fikh
Pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari;at
Terdiri dari dua bidang utama yaitu:
a) Ibadah
b) Muammalah
Strukturnya berlapis
Mendahulukan kewajiban dari pada hak
Dapat dibagi menjadi:
a) Hukum Taklifi
Yaitu lima pengolongan hukum (wajib, haram, sunnah, makruh, jaiz)
b) Hukum Wadh’I
Mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.
3
D. Produk Pemikiran Hukum Islam
Produk Pemikiran Hukum Islam, yakni: fikih, fatwa, kodifikasi dan kompilasi.
Fikih adalah hukum-hukum yang behubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba
yang melingkupi bidang ‘ibadah, mu’amalah,‘uqubah, maupun yang lainnya.
Fatwa adalah pendapat ulama tentang satu masalah tertentu, yang prosedurnya
diawali dengan pertanyaan. Karna itu, dalam prosedur lahirnya fatwa ada tiga unsur,
yakni:
Mufti: seorang atau sekelompok ahli yang mengeluarkan pendapat (fatwa).
Mustafti: orang yang bertanya mengenai pendapat (fatwa).
Fatwa: pendapat atau jawaban itu sendiri.
Secara umum mufti adalah orang yang dipercaya oleh masyarakat umum
untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat,
yakni untuk menentukan hukum halal, haram, boleh atau tidak.
Kompilasi secara makna bahasa adalah pengumpulan dari berbagai bahan tertulis
yang diambil dari berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu yang
dibuat oleh beberapa penulis berbeda yang kemudian dikumpulkan dalam suatu buku
tertentu. Dengan kegiatan ini semua bahan dapat ditemukan dengan cepat dan
mudah. Dengan demikian, kompilasi secara bahasa tidak selalu merupakan produk
hukum, tapi masih bersifat umum. Singkatnya, komplikasi hukum islam dapat
diartikan sebagai konklusi dari berbagai pendapat tentang hukum islam yang diambil
dari berbagai kitab yang telah ditulis ulama fikih yang biasa digunakan sebagai
referensi di Pengadilan Agama yang diolah dan dikembangkan serta disusun secara
sistematis dengan berpedoman pada perumusan perundang-undangan.
Kodifikasi adalah pembukuan suatu jenis hukum tertentu secara lengkap dan
sistematis dalam suatu buku hukum. Karena itu, kodifikasi merupakan istilah tehnis
dalam bidang hukum.
Namun demikian, dalam hukum, kompilasi juga diartikan buku kumpulan
yang memuat uraianatau bahan-bahan hukum tertentu. Karena itu, meskiun secara
definitif kompilasi berbeda dengan kodifikasi, tapi kompilasi dalam pengertian ini
adalah sama-sama buku hukum. Perbedaan antara kompilasi dengan kodifikasi
terletak pada adanya kepastian dan kesatuan hukum. Dalam kodifikasi, undang-
undang dan peraturan perundang-undangan tersebut dibukukan secara sistematis dan
lengkap kemudian dituangkan dalam bentuk kitab undang-undang, seperti Kitab
4
Undang-undang Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan lain-lain. Jadi,
selain terjadi kesatuan hukum dan penyederhanaan hukum dalam satu buku,
kodifikasi selalu mempunyai kekuatan dan kepastian hukum untuk menciptakan
hukum baru dan mengubah hukum yang telah ada.
5
BAB II
Sejarah Hukum Islam Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan
dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu
batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum
Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan
seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu
terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan
memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat
dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk
menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan
“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang
diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh
para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting
di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi
sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan
secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun
setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang
perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga
di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan
kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia
untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum
Islam.
6
A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah
dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan
masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau
Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para
pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk
masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas
muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di
Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai.
Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara
kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya
Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka,
lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di
Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja
kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan
hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja
menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat
muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh
yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi
terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan
kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih
dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan
memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab
Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai
perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan
fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang
mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini
disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing 7
bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk
menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan
oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian
dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang,
Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum
Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan
dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum
pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali.
Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-
1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda,
semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku
kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya
perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat
Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya,
Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu.
Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2)
membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual)
saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh
Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik
Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
8
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah
Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga
dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka,
selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari
hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau
ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus
kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang
intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam
jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu
ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya
kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.
C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima
militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag
meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi
keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan
Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai
agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa
Indonesia sendiri.
9
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan
oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi
berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan
Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk
menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan”
oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia
merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam
selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa
pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru
bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno
Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak
memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari
bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para
pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya
langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka
membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah
kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-
tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai
kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak
mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat
(Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan
kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini,
paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah,
Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas
10
dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta
berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam
masyarakat Indonesia”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan
lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling
penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat
Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi
mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan
Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari
seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun
Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada
saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan
mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari
Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang
BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary
mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai
suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik
pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]
E. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki
masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara
sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa
pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia
kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung 11
Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan,
hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan
Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku
sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara
Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk
dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah
Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam
sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula
dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang
berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja
RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat
Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi
Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut.
Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian,
Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa
dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik
dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal
34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar
Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk
menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan
keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.“Kelebihan” lain dari UUD
Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam
dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan
pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-
wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan
Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat
“hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang
Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak
lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka
tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang
yang bersifat tetap.12
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan
Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.
Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada
10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya,
Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli
1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah
konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai
UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini
tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –
menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[25] Namun
bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu
utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar
menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan
meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang
diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah
gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo
sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus
1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan
Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot
akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan
di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam
Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan
mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak
diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat
dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan
atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]
F. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat
Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
13
Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno -
bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong
yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian
menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang
harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di
Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk
memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan
batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di
era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak
pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik
mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun
hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh
Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini
menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal
1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi
kembali partai Masyumi. Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak
begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap
terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri
agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang
Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR.
Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan
hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970.
Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang
mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada
Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum
Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun
1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan
usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu.
Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai
presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya
kepada Menteri Agama.
14
G. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh
pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya
hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-
undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang
menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus
dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan
berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan
hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil
yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at
Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum
Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat
melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang
bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai
norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.
15
A. Teori-teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia,
yang menurut sebagian kalangan, telah berlangsung sejak abad VII atau VIII M.
Sementara itu, hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awal abad XVII M.
Sebelum masuknya hukum Islam, rakyat Indonesia menganut hukum adat yang
bermacam-macam sistemnya, dan sangat majemuk sifatnya. Pengaruh agama Hindu
dan Budha diduga sangat kuat pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat pada
zaman itu (Jamal Abdul Aziz : Hukum Islam di Indonesia).
Keterangan yang dapat dipercaya tentang Islam yang mula-mula sekali terdapat
dalam berita Marco Polo. Dalam perjalanannya kembali ke Venesia pada tahun
1292, Marco Polo setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di Perlak
sebuah kota di pantai utara Sumatra. Menurutnya, penduduk Perlak ketika itu telah
diislamkan oleh para pedagang. (Drs. H. Taufik, SH, 1998 : 92)
Ibn Batutah (meninggal 1377), seorang pengembara dan sejarawan dari
Maroko,mengunjungi pesisir Sumatra ketika dalam perjalanannya ke Tiongkok pada
tahun 1345 dalam zaman pemerintahan Sultan Malik Al-Zahir. Ibnu Batutah
menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan disana.
Berdasarkan kenyataan bahwa pengaruh yang amat besar terhadap kehidupan bangsa
Indonesia adalah pengaruh agama Islam yang hingga saat ini masih tetap
berlangsung, karena sebagian besar penduduk bangsa Indonesia menganut agama
Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Samudra Pasai, Aceh (Al-
Attas, 1986:3-50), Demak, Kalimantan Selatan dan Maluku (Uka Djandrasasmita,
1985 :2-7), dapat dikatakan untuk sebagian besar kepulauan Indonesia, tradisi hukum
Islam pernah merupakan satu-satunya hukum.
1. Penerimaan Hukum Islam Sepenuhnya (Teori Receptio in Complexu)
Hukum Islam yang telah berlaku dari zaman kerajaan-kerajaan Islam Nusantara
dan dari zaman VOC itu oleh pemerintah Hindia Belanda di berikan dasar
hukumnya dalam Regeering Reglement (RR) th.1855, Statsblad 1855 Nomor 2.
RR merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Bahkan dalam ayat 2
pasal 75 RR itu ditegaskan :” Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama
orang Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka
maka mereka tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka
16
menurut undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan
lama mereka.
Dengan demikian bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam.keadaaan inilah
yang oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Cristian van den Berg, disebut telah terjadi
receptio in complexu, penerimaan hukum Islam secara menyeluruh oleh umat
Islam.
2. Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat (Teori Receptie)
Teori ini mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah
hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah
diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya
hukum Islam. Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali
hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya
adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Teori ini diberi dasar hukum dalam
Undang-Undang Dasar Hindia Belanda, yang mengganti RR, yang di sebut wet
op de Staatsregeling (IS). Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin
sebagai “teori iblis” itu. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa
oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Yusril Ihsa Mahendra : 2007)
2. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif
Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia di bagike dalam
dua periode :
1. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasive
2. Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber otoritatif
Di dalam hukum konstitusi dikenal dengan spersuasive surce (sumber yang
harus diyakinkan untuk menerimanya) dan authoritative source (sumber yang
mempunyai kekuatan).
Setelah berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, hukum Islam berlaku bagi
bangsa Indonesia yang beragama Islam, bukan sekedar ia telah diterima oleh
hukum adat. Pasal 29 UUD `45 mengenai agama menetapkan :” (1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjain kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selama 14 tahun, dari tanggal 22 Juli `45 – 5 Juli `59, sebelum Dekrit
Presiden diundangkan, kedudukan hukum dalam ketentuan “ kewajiban
17
melaksanakan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah sumber
persuasif. Jadi dari sini dapat dijumpai adanya peraturan perundang-
undangan yang secara langsung ditujukan untuk mengatur pelaksanaan ajaran
Islam bagi para pemeluknya.
3. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif
Ketika di tempatkannya Piagam Jakarta yang isinya antara lain “Ketuhanan,
dengan kewajiban melaksanakan Syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dalam Dekrit Presiden, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam telah
menjadi sumber otoritatif dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar
sumber yang harus diyakini untuk menerimanya.
Piagam Jakarta bisa dikatakan menjiwai UUD`45 dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut, karena perbedaan Piagam
Jakarta dan UUD`45 hanyalah tujuh kata “ dengan kewajiban menjalankan
syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh kata
itulah yang menjiwai UUD`45 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan
dalam UUD`45 itu.
Kesimpulan
Hukum Islam mulai memasuki Indonesia ketika Indonesia banyak di datangi
oleh para pedagang yang datang dari berbagai daerah. Dalam proses
berlakunya hukum Islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang
mendampinginya, diantaranya :
1. Teori Receptio in Complexu atau Penerimaan Hukum Islam Sepenuhnya
2. Teori Receptie atau Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat
3. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Persuasif
4. Penerimaan Hukum Islam Sebagai Sumber Otoritatif
B. Komplikasi Hukum Islam Di Indnesia Sevagai Konsensus (Ijma') Ulama
Sejak keluarnya Instruksi Presiden dan Surat Keputusan Menteri Agama
tersebut, maka KHI secara praktis telah menjadi hukum materil terapan di Peradilan
Agama yang digunakan oleh para hakim, pengacara dan pencari keadilan di samping
kutipan kepada ayat Qur’an, Hadits Nabi atau pendapat tertentu dari buku-buku fiqh
serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang lain.
Sandaran yuridis formal KHI adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991,
dan Instruksi Presiden tidak ditemukan dalam hirarki perundang-undangan
Indonesia. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa tata urutan
perundang-undangan Indonesia adalah UUD 1945, Tap MPR, 18
Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan seterusnya,
dan Tap MRP No. III/2000 menyatakan bahwa tata urutannya adalah UUD 1945,
Tap MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan
Peraturan Daerah. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa KHI tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang.
Dari sudut ini, maka KHI masih merupakan kelanjutan dari kitab-kitab fiqh
yang menjadi rujukan Pengadilan Agama sebelum ini dan sekarang telah
disederhanakan menjadi buku hukum berdasarkan ijmâ‘ jamhûr al-‘ulamâ’ al-
indonîsiiyîn (konsensus moyoritas ulama Indonesia). Sungguhpun demikian,
menurut Ismail Suny, hukum materil yang diatur dalam KHI dapat saja berbentuk
Instruksi Presiden; hal itu karena hukum perkawinan, kewarisan dan kewakafan yang
berlaku sejak lama adalah hukum Islam. Sandaran hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan Presiden untuk memegang
kekuasaan permintahan negara."[16]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status yuridis formalnya, KHI
dalam kenyataannya telah menjadi pedoman di Peradilan Agama, Peradilan Tinggi
Agama dan Mahkamah Aung. Kompilasi atau kodifikasi hukum bagaimanapun
lengkapnya tidak akan pernah memuaskan semua pihak. Kekurangan dapat diatasi
bila disertai dengan kearifan para pemakainya, terutama para hakim di pengadilan,
dengan menggali semangat yang ada di balik KHI dan hukum yang hidup dalam
masyarakat.[17]
Sebagai produk usaha manusia, KHI memerlukan penyempurnaan dari waktu
ke waktu. Dari segi legal formal, di samping penyempurnaan dan pengembangan,
KHI harus ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang sehinga masuk secara
jelas dalam hirarki perundang-undangan Indonesia.
Ada beberapa keberatan yang dikemukan terhadap KHI. Antara lain adalah
dari segi penamaan. KHI hanya mencakup hukum Islam tentang tiga hal menyangkut
Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan, padahal hukum Islam sebenarnya
mencakup semua bidang yang dicakup oleh hukum umum, bahkan lebih luas dari
hukum umum, seperti disinggung di awal tulisan ini. Di negara-negara lain dunia
Islam peraturan hukum seperti yang dimuat dalam KHI disebut Qanûn al-Ahwâl asy-
Syakhshiyyah. Karena itu, nama yang tepat untuk KHI sebenarnya adalah Kompilasi
Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan Islam (KHPKKI), dan bila dapat
19
ditingkatkan menjadi undang-undang, maka ia dapat bernama Kitab Undang-undang
Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan Islam (KUHPKKI).
Keberatan lainnya adalah, bila KHI ditingkatkan statusnya menjadi undang-
undang, maka dikhawatirkan pembuat undang-undang Indonesia telah membatasi
sifat universal hukum Islam, mengurangi kreatifitas para hakim, dan selanjutnya
menghambat pengembangan hukum Islam melalui ijtihad dan pendapat baru.
Kekhawatiran seperti ini dapat dipahami mengingat keluasan dan keluesan hukum
Islam sepanjang sejarahnya yang panjang sehingga masyarakat mempunyai banyak
opsi untuk memilih pendapat yang lebih cocok dengan kondisi dan zaman mereka.
Bahkan sebagian besar para fuqaha’ terkenal di masa lalu enggan menuliskankan
mazhab mereka untuk menjadi hukum materil di suatu negara. Dengan diberlakukan
satu mazhab, mereka khawatir akan menutup pintu kepada mazhab atau pendapat
lain yang mungkin saja lebih benar dan lebih tepat dari pendapat mereka. Mengingat
kesalehan dan kerendahan hati para imam mujtahidin ini, kita dapat memahami
alasan mereka. Sungguhpun demikian, keberatan seperti ini tidak lagi dapat
dipertahankan pada waktu ini. Sebagian besar perundang-undangan modern telah
mengantisipasi keberatan ini, misalnya, dengan membuat klausal tertentu yang
memungkinkan undang-undang tertentu direvisi, disempurnakan dan bahkan
dibatalkan di masa depan bila tidak lagi cocok dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Perundang-undangan Indonesia, termasuk UUD 1945 yang disakralkan
pada masa Orde Baru, sudah banyak yang mengalami revisi, penyempurnaan dan
pembatalan seperti ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khalaf, 1994, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT Raja Grafindo
Persada, Cetakan Keempat, Hal. 154.
Ahmad Azhar Basjir, 1990, Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam),
Perpustakaan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Hal 1.
http://hk-islam.blogspot.com/2008/09/pengertian-hukum-islam-syariat-islam.html
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy mengemukakan tiga ciri-ciri khas hukum Islam yaitu:
taqamul, wasathiyah, dan harakah.
http://ustirahmawati.wordpress.com/2010/07/07/karakteristik-hukum-islam/
21