HKP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MAKALAH

Citation preview

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPerkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut agama Islam perkawinan ialah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya dalam rangka mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridai oleh Allah.[footnoteRef:1] [1: Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 1999, hal. 14]

Pelaksanaan akad dilakukan di depan dua orang saksi dengan menggunakan kata-kata ijab wali pihak perempuan melalui walinya atau wakil wali yang sah, dan kabul dari pihak laki-laki. Hal ini berarti dalam melaksanakan akad harus ada dan dihadiri oleh mempelai laki-laki dan perempuan, wali yang sah dari perempuan, dua orang saksi laki-laki.Dalam suatu perkawinan tentunya ada syarat sahnya perkawinan, yaitu harus memenuhi tiga hal. Pertama, mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya, artinya tidak ada halangan baginya untuk menikah. Kedua, adalah menghadirkan dua orang saksi pada saat akad nikah. Ketiga, ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan sebagai peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah terjadi pergeseran mengenai segi keabsahan suatu perkawinan yang semula diatur oleh Hukum Islam.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dengan demikian, perkawinan harus memenuhi ketentuan hukum Negara yang dimaksud, yakni perkawinan harus dilakukan di depan pejabat berwenang yang ditunjuk. Perkawinan siri banyak dilakukan masyarakat sejak dahulu, yaitu perkawinan yang hanya dilakukan menurut agama Islam tanpa dilakukan pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat pemerintah sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta nikah. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi praktek nikah sirih di Indonesia sangatlah dilarang. Pelarangan ini, secara filosofis bertujuan untuk memberikan kebaikan kepada kedua belah pihak. Yakni, hak dan kewajiban sebagai suami istri akan bisa dijamin di hadapan hukum. Baik hak tentang kepengasuhan, pemenuhan hajat-hajat ekonomi kebutuhan biologis, kebebasan berkreasi, berkarya, atau hak-hak lain pasca ikatan perkawinan terjadi. Dan, seandainya terjadi pelanggaran hak dan kewajiban dari salah satu pihak, dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah status hukum perkawinan siri apabila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?2. Bagaimanakah akibat hukum dari nikah siri ?

BAB IPEMBAHASAN

A. Pengertian PerkawinanAdapun pengertian dari perkawinan menurut Soemiyati yang dalam istilah agama disebut Nikah ialah: melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputirasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.[footnoteRef:2] Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir perkawinan di dalam hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah. Pada dasarnya antara pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Undang tidak terdapat perbedaan prinsipiil sebab pengertian perkawinan menurut Undang-Undang yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[footnoteRef:3] [2: Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty, hlm 10.] [3: Ahmad Azhar Basyir, 2007, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, hlm. 13.]

Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan disatu pihak dan pembatasan banyaknya unsur di dalam perumusan pengertian perkawinan di pihak yang lain. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci jika dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang- Undang Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan adalah:Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa.Bila definisi tersebut di atas kita telaah, maka terdapatlah lima unsur di dalamnya:1. Ikatan lahir batinIkatan lahir batin maksudnya adalah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Satu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami dan isteri.2. Antara seorang pria dan wanitaIkatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, maka kesimpulan yang dapat ditarik pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara seorang pria dengan wanita tidaklah mungkin terjadi, misalnya antara wanita dengan wanita atau pria dengan pria.3. Sebagai suami dan isteriSuatu perkawinan adalah sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, baik syarat intern maupun syarat-syarat extern. Yang dimaksud dengan syarat intern adalah yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu : kesepakatan mereka, kecakapan mereka, dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat extern adalah yang menyangkut pelangsungan perkawinan.Syarat-syarat intern untuk pelangsungan perkawinan :a. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak.b. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana kedua belah pihak belum mencapai umur 21 tahun.c. Bagi pria sudah mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita harus mencapai 16 tahun.d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin.e. Bagi seorang wanita yang akan melakukam perkawinan untuk kedua kalinya dan seterusnya Undang-Undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi yang perkawinannya putus karena kematian.4. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, yang dimaksud dengan keluarga ini adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia.5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha EsaSebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertama Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting.

Pada prinsipnya perkawinan bertujuan mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat seperti yang dicantumkan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, namun dalam realisasinya tidak semua perkawinan itu mencapai tujuan yang di kehendaki atau dengan kata lain gagal membina antara suami dan isteri tersebut, bahkan berkelanjutan menjadi permusuhan yang ada pada akhirnya menuju putusnya suatu perkawinan. Apabila suatu perceraian tidak dapat dihindarkan maka hal itu akan menimbulkan akibat-akibat yang menimpa suami isteri, keturunannya, harta benda atau harta perkawinannya terhadap harta/benda perkawinannya maka akan timbul perselisihan diantara suami dan isteri dan ahli warisnya. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam dimana Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah yaitu suatu perjanjian untuk mensahkan hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan. Di kalangan kaum muslim nikah itu merupakan suatu perbuatan suci, dimana perjanjian sipil dan walaupun pada umumnya dilakukan upacara dengan membaca ayat-ayat Quran, akan tetapi hukum Islam tidak menetapkan dengan tegas suatu upacara agama yang khusus untuk perkawinan, tidak ada pejabat yang ditentukan untuk itu dan tidak ada formalitas yang menyulitkan. Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yaitu melaksanakan ikatan persetujuan antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. Dari pengertian nikah tersebut diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa :a) Nikah adalah persetujuan/perjanjian ataupun suatu akad antara seorang pria dan seorang wali pihak wanita.b) Untuk terjadinya nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak yang akan melakukan nikah.c) Nikah dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang terdapat di dalam hukum fiqh.[footnoteRef:4] [4: Asaf A.A Fyzee, 1965, Pokok-Pokok Hukum Islam, Tinta Mas, Jakarta, hlm, 109]

B. Nikah Sirih Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan, yaitu melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama.Menurut ketentuan hukum islam sebelum diadakannya perkawinan harus terpenuhinya rukun dan syarat nikah. Adapun rukun dan syarat nikah adalah sebagai berikut:[footnoteRef:5] [5: Anonim, 2013, Rukun Dan Syarat Nikah Lengkap (Pengantin, Wali, Saksi), http://adipanca.com/2013/06/rukun-dan-syarat-nikah-lengkap/, dikunjungi 1/10-2013]

RUKUN NIKAH.1. Adanya Calon pengantin/mempelai pria dan wanita.2. Adanya Wali nikah (khususnya dari calon mempelai wanita wajib).3. Adanya dua orang saksi (laki-laki).4. Adanya mahar atau mas kawin dari mempelai laki-laki.5. Adanya ijab, yakni ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi.6. Adanya qabul, yakni ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria.

SYARAT NIKAH Syarat calon mempelai pria dan wanita.1. Beragama islam,2. Laki-laki atau perempuan tulen (bukan waria/banci),3. Jelas orangnya (dapat dibuktikan dengan hadir dalam majelis),4. Cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga (berilmu),5. Dapat diminta persetujuannya (untuk pengantin wanita)6. Tidak terdapat halangan perkawinan seperti sedang dalam masa idah atau mengandung (hamil). Syarat Bagi wali dari calon mempelai wanita1. laki-laki2. Beragama islam3. Mempunyai hak perwaliannya4. tidak terdapat halangan untuk menjadi wali5. berumur minimal 19 tahun6. kemudian dapat menyerahkan hak-nya kepada wali hakim yang ditunjuk

Lalu jika melihat UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam suatu perkawinan harus terpenuhinya azas-azas sebagai berikut :[footnoteRef:6] [6: Anonim, 2011, Azas-azas Perkawinan, http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/05/14/asas-asas-perkawinan/, dikunjungi 1/10-2013.]

a. Asas Partisipasi Rumah Tangga :Tertuang dalam 6 UU No. 1 Tahun 1974 :1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Asas Kematangan Berumah TanggaTertuang dalam 7 UU No. 1 Tahun 1974 :1. Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. 2. Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. 3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

c. Asas MonogamiTertuang dalam Pasal 3 ayat, 4, 9 UU No. 1 Tahun 1974 : Bunyi Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 :1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. 2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan Bunyi Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974 :1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Bunyi Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974 :Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.

Perlu dikeahui bahwa apabila syarat-syarat perkawinan yang tertuang dalam pasal 3, 4, 6, 7, 9 UU No. 1 Tahun 1974 apabila tidak terpenuhi maka tidak menyebabkan perkawinan itu batal, hanya dikategorikan sebagai pelanggaran undang-undangPerkawinan itu terikat pada bentuk tertentu, yaitu harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh negara. Setiap orang yang akan melangsung-kan perkawinannya diwajibkan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan yang harus dilakukan sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 PP 9/1975). Pemberitahuan dalam dilakukan secara lisan maupun tertulis yang dapat dilakukan oleh calon mempelai atau oleh orangtua wakil mereka (pasal 4 PP9/1975). Atas pemberitahuan ini, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan wajib meneliti apakah syarat-syarat perkawinan bagi yang bersangkutan telah dipenuhi secara lengkap, yaitu sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal 6 PP9/1975. Baru setelah dipenuhi segala tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan dan tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat dapat menyelenggarakan pengumuman dengan cara menempelkan surat pengumuman tersebut pada Kantor Pencatat Perkawinan di tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan naskah ini dibiarkan sampai sepuluh hari atau sampai perkawinan dilangsungkan.Tujuan dari adanya pemberitahuan dan pengumuman adalah: [footnoteRef:7] [7: R. Soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 40]

1. Memberikan kesempatan kepada pihak yang mengetahui adanya halangan perkawinan untuk mencegahnya;2. Menjamin agar pejabat tidak begitu saja dengan mudahnya melangsungkan perkawinan;3. Memberikan perlindungan kepada calon suami istri dari perbuatan yang tergesa-gesa;4. Mencegah perkawinan klandistin5. Memberikan kepastian tentang adanya perkawinan.

Menurut B.W. pengumuman harus oleh pejabat catatan sipil yang ber-wenang di daerah hukum, tempat perkawinan itu akan dilangsungkan. Kecuali bilamana kedua calon pengantin itu mempunyai domisili yang berlainan, maka pengumuman dilakukan di dua tempat pula, yaitu domisili masing-masing calon pengantin (pasal 53 B.W.). Hal ini sama kita temui dalam penjelasan PP9/1975.Menurut kebiasaan di Jawa pada umumnya pengumuman itu tidak di-lakukan di catatan sipil yang sewilayah tempat tinggal calon pengantin wanita. Oleh karena itu, bagi suku Jawa merupakan suatu kehormatan bagi pengantin wanita, bila upacara perkawinan itu dilangsungkan di tempat tinggal pengantin wanita. Maka, bagi suami beberapa bulan sebelumnya harus minta surat pindah sementara dari tempat tinggalnya ke tempat tinggal calon istri. Selain itu, calon pengantin pria harus membawa pula keterangan dari lurah atau kepala desa yang isinya menerangkan status yang bersangkutan, apakah ia seorang jejaka atau duda. Di samping itu, syarat-syarat lain yang harus dipenuhi sebagai pegawai negeri sipil dan anggota angkutan bersenjata yang hendak kawin untuk kedua kalinya atau lebih harus ada izin tertulis dari atasannya.Perkawinan baru dalam dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak dilakukan pengumuman. Batasan ini hanya menunjukkan adanya batas minimum, akan tetapi tiada batas maksimum. Sedangkan B.W. dalam pasal 75 memberikan batas maksimum satu tahun sejak pengumuman. Sehingga bilamana batasan itu dilampaui, gugurlah pengumuman tersebut dan bilamana yang bersangkutan akan melangsungkan perkawinan mereka, haruslah melakukan pengumuman yang baru. Ketentuan semacam ini tidak terdapat baik dalam UU 1/1974 maupun dalam PP9/1975.Bilamana terhadap pengumuman tersebut di atas tidak ada sanggahan-sanggahan, maka perkawinan dapat dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (pasal 10 ayat 3 PP9/1975), dengan mengindah-kan/memperhatikan ketentuan pasal UU 1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaannya itu. Sesuai dengan memori penjelasan pasal 2, yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan memori penjelasan pasal 2, yang dimaksud dengan hukum agama dan kepercayaannnya masing-masing itu, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini (UU 1/1974).Jadi, mereka yang beragama Islam masih pula dikuasai oleh ketentuan UU 22/1946 yo UU 32/1954, yaitu tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang semula berlaku hanya di seluruh Jawa dan Madura yang kemudian sejak 26 Oktober 1954 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.Sedangkan bagi golongan bumiputra yang beragama Kristen berlaku ketentuan Staatsblad 1933 Nomor 74 yang dulunya hanya berlaku untuk daerah-daerah Jawa, Madura, Amboina, Saparua, dan bekas Karesidenan Manado yang sejak 1975 (dengan instruksi Menteri Dalam Negeri) dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.Selain itu, golongan Europa dan Timur Asing Tionghoa, masing-masing dikuasai oleh ketentuan-ketentuan Staatsblad 1848 Nomor 25 (Reglement op het houden der register van de Bufgerlijke Stand voor Europeanen) dan ketentuan-ketentuan Staatsblad 1917 Nomor 130 yo Staatsblad 1919 Nomor 81 (Reglement op het houden der Register van de Burgerlijke Stand voor de Chinezen).Bilamana secara murni diikuti makna ketentuan pasal 2 UU 1/1974, maka perkawinan yang demikian seharusnya dinyatakan tidak sah. Akan tetapi dalam praktik sehari-hari hingga sekarang, baik orang partikelir maupun instansi-instansi pemerintah tiada satu pun yang berpendapat, bahwa perkawinan yang dilakukan di hadapan pejabat catatan sipil itu tidak sah. Sebaliknya, bagi golongan Timur Asing Tionghoa yang beragama Islam, meskipun mereka dengan mudah untuk melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, akan tetapi mereka akan mengalami kesulitan apabila di kemudian hari mendaftarkan kelahiran anaknya, karena perkawinan mereka tidak terdaftar pada catatan sipil.[footnoteRef:8] [8: Tutiek Retnowati, 2011, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Perceraian Perkawinan Siri yang telah Diisbatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Fakultas Hukum VOLUME XX, No. 20, April 2011, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya, hlm. 6]

C. Nikah Siri dan Akibat Hukumnya1. Menurut Hukum IslamRukun nikah menurut Mahmud Yunus, adalah bagian dari hakikat perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi pada saat akad berlangsung, perkawinan tersebut dianggap batal, dan menurut versi As-Syafii yang kemudian diadaptasi oleh Kompilasi Hukum Islam (pasal 14 KHI) rukun nikah terdiri atas adanya lima macam:a. Calon suamib. Calon istric. Wali nikahd. Dua orang saksie. Ijab dan kabulApabila syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh agama Islam apabila telah dipenuhi, maka perkawinan tersebut telah dinyatakan sah menurut agama Islam.Berangkat dari pemahaman ini, di kalangan masyarakat yang memeluk agama Islam memandang bahwa sahnya perkawinan apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Sedangkan pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif dan bukan merupakan syarat dan rukun nikah. Dengan adanya pemahaman ini di kalangan masyarakat terdapat bentuk perkawinan yang disebut dengan perkawinan siri.Perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang dilaksanakan menurut agama telah memenuhi syarat dan rukun nikah, sehingga perkawinan tersebut telah dinyatakan sah menurut agama, dan perkawinan siri tidak dicatatkan sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta otentik berupa akta nikah yang di dalamnya menyebutkan telah terjadi perkawinan.

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974Pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta otentik berupa akta nikah bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam sehingga setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 pasal 6 ayat (1) mengenai pengertian pencatatan dimaksud dalam pengertian bahwa setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karena itu, dalam pasal 6 ayat (2) KHI disebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawan Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.Pasal 7 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan merupakan kewajiban bagi mereka yang melangsungkan perkawinan.Sehubungan dengan hal tersebut kaitannya dengan perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta otentik berupa akta nikah yang menyebutkan telah terjadi perkawinan yang demikian ini tidak mempunyai kekuatan hukum.Namun demikian, dalam pasal 7 ayat (2) KHI memberikan jalan keluar bagi yang melaksanakan perkawinan yang tidak dapat membuktikan akta nikah, dapat mengajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan agama. Adapun ketentuannya sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (3) yang menentukan bahwa itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal berkenaan dengan:a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.b. Hilangnya akta nikah.c. Adanya keraguan tentang sah-tidaknya salah satu syarat perkawinan.d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.Berkenaan dengan hal di atas perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Undang-undang ini menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan dalam praktik ternyata belum memasyarakat di tengah pergaulan hidup di masyarakat, hal ini terbukti masih adanya praktik perkawinan siri.Dengan lahirnya kompilasi hukum Islam, telah jelas dan pasti nilai-nilai tata hukum Islam di bidang perkawinan, wasiat, waqaf, warisan sebagian dari keseluruhan tata hukum islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fiqih dalam penegakkan hukum dan keadilan lambat laun akan ditinggalkan. Perannya hanya sebagai orientasi dan kajian doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakkan hukum yang sama, pegangan dan rujukan hukum yang mesti mereka pedomani adalah Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.

D. Ketentuan PidanaUndang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, telah diatur adanya sanksi pidana, yang ditimpakan atas para pelanggar peraturan perkawinan;[footnoteRef:9] [9: Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan.]

Bunyi Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 :Dalam pasal ini diatur tentang sanksi hukuman denda bagi pihak mempelai yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 dan sanksi hukuman kurungan atau denda bagi pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, dan 44.Pejabat Yang melanggar ketentuan tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).Keterangan :Pasal 3 tentang pemberitahuan kehendak nikah kepada Pejabat Pencatat Nikah;Pasal 10 (3) tentang Perkawinan dilangsungkan dihadapan Pejabat Pencatat Nikah;Pasal 40 tentang poligami harus seizin Pengadilan. Namun sampai saat ini penerapansanksi pidanaterhadap pelanggar undang-undang perkawinan tidak efektif, karena pihak Kepolisian tidak mau memproses pengaduan/menangkap pelanggar-pelanggar ketentuan perundang-undangan tersebut, karena ketentuan pidananya belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Sanksi yang telah berjalan efektif diberlakukan terhadap para pelanggar UU Perkawinan adalahsanksi perdata, yaitu tidak memperoleh perlindungan hukum, tidak dapat melakukan tuntutan hukum ke Pengadilan/tidak mendapat pelayanan penegakan hukum, seperti : pengaduan minta diceraikan, tuntutan nafkah, tuntutan anak, tuntutan harta warisan dan lain sebagainya karena si Penuntut tidak dapat membuktikan adanya perkawinan yang sah menurut Undang-Undang; umumnya pihak perempuan yang menjadi korban perkawinan siri tersebut.

BAB IKESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanStatus hukum dalam suatu perkawinan siri bila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, dikarenakan perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta otentik yang berupa akta nikah. Dengan kata lain, perkawinan siri merupakan perkawinan yang tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

B. Saran1. Untuk mengurangi terjadinya suatu perkawinan siri, Pemerintah seharusnya menyosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar masyarakat umum lebih dapat memahami dan semakin taat dan patuh terhadap peraturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah, agar perkawinan yang dilaksanakan mempunyai kekuatan hukum tetap.2. Seharusnya dalam melakukan suatu perkawinan dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang ada, agar apabila dalam perkawinan tersebut, mengalami suatu kegagalan dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Supaya perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum, dan apabila terjadi sesuatu akan mendapatkan perlindungan hukum.

DAFTAR PUSTAKABuku1. Basyir, Ahmad Azhar, 1999, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta.2. Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta, Liberty3. Ahmad Azhar Basyir, 2007, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press4. Soetojo Prawirohamidjojo, 1988,Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press.5. Tutiek Retnowati, 2011, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Perceraian Perkawinan Siri yang telah Diisbatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Fakultas Hukum VOLUME XX, No. 20, April 2011, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.6. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan.

INTERNET1. Anonim, 2013, Rukun Dan Syarat Nikah Lengkap (Pengantin, Wali, Saksi), http://adipanca.com/2013/06/rukun-dan-syarat-nikah-lengkap/, dikunjungi 1/10-20132. Anonim, 2011, Azas-azas Perkawinan, http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/05/14/asas-asas-perkawinan/, dikunjungi 1/10-2013.

17