Upload
alghazali-selising
View
33
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Hindari Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Makna Zahirnya (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)25 Oktober 2010 pukul 23:54
Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di
dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman
:
ا [ م�ـأ� ات ف� اب�ه� ت�ش� ر� م� أ�خ� ك�م�ات ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب� و� ح� ن�ه� ء�اي�ات م� ل� ع�ل�ي�ك� ال�ك�ت�اب� م� �ن�ز� و� ال�ذ�ي� أ ه�
ل�ه� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� ي�ل�ه� و�م� و�
غ�اء� ت�أ� اب�تـ� ـت�ن�ة� و� غ�اء� ال�ف� ن�ه� اب�تـ� اب�ه� م� ا ت�ش� ي�ت�ب�ع�و�ن� م� ي�غ ف� م� ز� ب�ه� ل�و� ال�ذ�ي�ن� ف�ي ق�ا ل�و� و�
ا ي�ذ�ك�ر� إ�ال� أ� ب=ن�ا و�م� ن�د� ر� ن�ا ب�ه� ك�ل@ م�ن� ع� ل�و�ن� ء�ام� و� و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� ي�ق� خ� اس� الر� إ�ال� الله� و�
(7 )ءال عمران : ] ا�أل�ل�ب�اب�
Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan
pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan
hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat)
melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (Q.S. Al Imran : 7)
I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Al Muhkam: المتضح المعنى ; yang jelas maknanya.
al Mutasyabih: ما ليس بمتضح المعنى; yang tidak jelas maknanya.[1]
Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja
dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas
makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى: ش�
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
﴿ د ا أ�ح� Uو ل�م� ي�ك�ن� ل�ه� ك�ف� (4﴾ )سورة اإلخالص : و�
Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)
﴿ يZا م� (65﴾ )سورة مريم : ه�ل� ت�ع�ل�م� ل�ه� س�
Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)
Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak
kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan
yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :
﴿ ن� م[ ت�و�ى الرح� ش� اس� (5 )سورة طه : ﴾ ع�ل�ى الع�ر�
Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat
muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh
para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam
ayat
﴿ ل�ه� إ�ال� الله� )سورة ءال عمران : يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� (7﴾و�
Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti
munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5).
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
ه�" " اب�ه� ت�ش� ا ب�م� ن�و� ء�ام� ه� و� ك�م� ح� ا ب�م� ل�و� )حديث ضعيف ضعفا خفيفا( اع�م�
Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah
terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat
mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang
muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.
Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang
mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah [ ل�ه� إ�ال� الله� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� و�
و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� خ� اس� الر� seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga ,[ و�
mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya
dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan
mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk
orang-orang yang mendalam ilmunya".
II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama
benar :
Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah
pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil
ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-
sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi
keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka
mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti
firman Allah :
﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى: ش�
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah
meridlainya- :
و�ل� الله� " س� اء� ع�ن� ر� ا ج� ب�م� اد� الله� و� اء� ع�ن� الله� ع�ل�ى م�ر� ا ج� ن�ت� ب�م� r ء�ام� و�ل� الله� س� اد� ر� ر� " ع�ل�ى م�
"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan
beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r sesuai dengan maksud Rasulullah",
yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang
merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili)
seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al
Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
ص�ص� ، " ة� ال�ق� و�ر� ه� س� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� �ل�ي�ه� " اهـ ك�ل� ش� ب� ب�ه� إ ر� ا ي�ت�ق� ال� م� ي�ق� ل�ك�ه� و� ، إ�ال� م� .
"Surat al Qashash, ه� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� yakni kecuali kekuasaan (Q.S. al Qashash : 88) ك�ل� ش�
dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya
atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat
Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada
makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang
lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-
Rahmah al Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf
mentakwil firman Allah : [ ب�ك� اء� ر� ﴿ و�ج� secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang
kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan
oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i :
"Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas
keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut
ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al
Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id
al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup
pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam
Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi
yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau
banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam
Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang
secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah
seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para
imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci
dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa
Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan
zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan
terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka
dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang
memaki Iblis :
﴿ ت� ب�ي�د�ي� ل�ق� ا خ� د� ل�م� ج� ن�ع�ك� أ�ن� ت�س� ا م� (75 ﴾ )سورة ص : م�
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah(perhatian
khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat
Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode takwil
ijmaliatau tafshili dalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat.
Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-
ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: " sehingga ayat-ayat - " ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب�
Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat
dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-
ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk
diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah
mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan
paham tasybih pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang
menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
)رواه أحمد إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " " والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه(
Maknanya: “Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al
Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam Al Imran : 7,waspadai dan jauhi
mereka". (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an
atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan
Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham tasybih(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Berikut contoh-contoh dari pemahamantasybih mereka:
Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat yang
sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya". Perkataan ini jelas paham
tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan
telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang
menegaskan:
."تعالـى )يعني الله( عن الحدود والغايات واألركان واألعضاء واألدوات"
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai
ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan
lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan
lainnya).
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
."ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر "
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki
anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan
tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.
Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "استوى على العرش":
dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal,
tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah
karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak
seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al
Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami
dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.
Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat
Allah tertentu: بذاته dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika
menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:
."ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين"
"Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki".
Padahal sifat 'Ayn tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau dengan
tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak ubahnya adalah dua mata yang
hakiki. Dan jelas 'Ayn yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan
Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة أهل السنة والجماعة ". Dalam
edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun,
M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h.
34: "(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya". Pada h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah
adalah dua…".
Padahal Ahlussunnah mengimani 'Ayn sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak
mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab al Asmaa' wa ash-
Shifaat[3] menyebutkan bab-bab berikut:
Bab tentang penetapan Wajh bagi Allah ( باب ما جاء في إثبات الوجه صفة ال من حيث الصورة) -
sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.
Bab tentang penetapan 'Ayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات العين صفة ال من حيث الحدقة) -
sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.
Bab tentang penetapan Yadayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين ال من حيث الجارحة) -
sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.
Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh, 'Ayn, Yadayn bagi Allah, Ahlussunnah dan
golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya.
Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-
Nya.Wajh bukan muka atau bagian tubuh, 'Ayn bukan mata, kelopak mata dan semacamnya,
dan Yadayn bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang
wahhabi memahami Wajh secara hakiki, 'Ayn secara hakiki, yaitu mata, Yadaynsecara hakiki
yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka
tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh, 'Ayndan Yadayn dalam bahasa Arab
memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi
distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau
muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinantasybih; bahwa Allah memiliki anggota
badan. Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna
muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya
dengan mentakwil Wajhsebagai al Mulk (kekuasaan), 'Ayn sebagai al
Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al 'Inayah (perhatian khusus), atau al Qudrah (kekuasaan)
atau al 'Ahd (janji) dan semacamnya.
IV. Syubhah dan Jawabannya
Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode
para ulama salaf ash-Shalih.
Jawaban: Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena
sangat berbeda antara al Akhdzu bizh-Zhahir (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat)
dan Nafyu al kayf 'anillah (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf
bukan Itsbatul kayf Lillah (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan al Jahl bi dzalikal kayf(tanpa
mengetahui kayf tersebut), tetapi tanzihullah 'anil Kayf (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi
ketika memaknai ayat Istiwa' ulama salaf memahami bahwa al Kayf seperti duduk, bersemayam,
berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya dinafikan dari Allah. Tetapi golongan
Musyabbihah memahami istawa dengan istaqarra; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa
mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan tasybih; menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam.
Jauh berbeda antara Tanzih dan Tasybih, jelas berbeda antara Itsbatul kayf
Lillah dengan tanzihullah 'anil Kayf. Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kayf
Majhul. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang
berbunyi:
الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه وال يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إال صاحب بدعة "."أخرجوه"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan
Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya".
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad
yang Jayyid(kuat). Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:
."...االستواء غير مجهول والكيف غير معقول ""Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya". (Riwayat
ini dituturkan oleh al-Laalka-i)
Riwayat Wal Kayf Majhul tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4]
Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan al Kayf bagi Allah,
hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang
jelas-jelas menafikan Kayf dari Allah dengan mengatakan: بال كيف ; tanpa berlaku kayf bagi
Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik,
Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka
mengatakan:
."أمروها كما جاءت بال كيفية" "Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai
sifat-sifat makhluk". [5]
Wallahu a'lam wa ahkam.
[1] Syekh Zakariyya al Anshari, al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah(Beirut:
Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.
[2] Badruddin Ibnu Jama'ah, I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil (Kairo:
Darussalam, 1410 H-1990), h. 107
[3] Al Hafizh al Bayhaqi, al Asma' Wa ash-Shifaat (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 )
h.319-340.
[4] Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim(Beirut: tp,
1397 H), h. 36
[5] Ibid., h. 56
Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa
di dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala
berfirman :
ا [ م�ـأ� ات ف� اب�ه� ت�ش� ر� م� أ�خ� ك�م�ات ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب� و� ح� ن�ه� ء�اي�ات م� ل� ع�ل�ي�ك� ال�ك�ت�اب� م� �ن�ز� و� ال�ذ�ي� أ ه�
ل�ه� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� ي�ل�ه� و�م� و�
غ�اء� ت�أ� اب�تـ� ـت�ن�ة� و� غ�اء� ال�ف� ن�ه� اب�تـ� اب�ه� م� ا ت�ش� ي�ت�ب�ع�و�ن� م� ي�غ ف� م� ز� ب�ه� ل�و� ال�ذ�ي�ن� ف�ي ق�ا ل�و� و�
ا ي�ذ�ك�ر� إ�ال� أ� ب=ن�ا و�م� ن�د� ر� ن�ا ب�ه� ك�ل@ م�ن� ع� ل�و�ن� ء�ام� و� و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� ي�ق� خ� اس� الر� إ�ال� الله� و�
(7 )ءال عمران : ] ا�أل�ل�ب�اب�
Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan
pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan
hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat)
melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat
mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (Q.S. Al Imran : 7)
I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Al Muhkam: المتضح المعنى ; yang jelas maknanya.
al Mutasyabih: ما ليس بمتضح المعنى; yang tidak jelas maknanya.[1]
Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja
dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas
makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى: ش�
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
﴿ د ا أ�ح� Uو ل�م� ي�ك�ن� ل�ه� ك�ف� (4﴾ )سورة اإلخالص : و�
Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)
﴿ يZا م� (65﴾ )سورة مريم : ه�ل� ت�ع�ل�م� ل�ه� س�Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)
Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak
kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan
yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :
﴿ ن� م[ ت�و�ى الرح� ش� اس� (5 )سورة طه : ﴾ ع�ل�ى الع�ر� Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat
muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh
para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam
ayat
﴿ ل�ه� إ�ال� الله� )سورة ءال عمران : يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� (7﴾و�
Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti
munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5).
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
ه�" " اب�ه� ت�ش� ا ب�م� ن�و� ء�ام� ه� و� ك�م� ح� ا ب�م� ل�و� )حديث ضعيف ضعفا خفيفا( اع�م�
Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan berimanlah
terhadap yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat
mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang
muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.
Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang
mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah [ ل�ه� إ�ال� الله� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� و�
و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� خ� اس� الر� seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga ,[ و�
mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya
dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan
mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk
orang-orang yang mendalam ilmunya".
II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama
benar :
Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah
pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil
ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-
sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi
keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka
mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti
firman Allah :
﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى: ش�
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah
meridlainya- :
و�ل� الله� " س� اء� ع�ن� ر� ا ج� ب�م� اد� الله� و� اء� ع�ن� الله� ع�ل�ى م�ر� ا ج� ن�ت� ب�م� r ء�ام� و�ل� الله� س� اد� ر� ر� " ع�ل�ى م�"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan
beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r sesuai dengan maksud Rasulullah",
yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang
merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.
Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili)
seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al
Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
ص�ص� ، " ة� ال�ق� و�ر� ه� س� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� �ل�ي�ه� " اهـ ك�ل� ش� ب� ب�ه� إ ر� ا ي�ت�ق� ال� م� ي�ق� ل�ك�ه� و� ، إ�ال� م� .
"Surat al Qashash, ه� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� yakni kecuali kekuasaan (Q.S. al Qashash : 88) ك�ل� ش�
dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya
atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat
Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada
makhluk-Nya. Dalam Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang
lain seperti dlahik yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-
Rahmah al Khashshah).
Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf
mentakwil firman Allah : [ ب�ك� اء� ر� ﴿ و�ج� secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang
kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan
oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i :
"Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas
keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut
ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al
Bayhaqi dan ad-Daraquthni terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id
al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup
pada abad VII Hijriyah.
Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam
Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi
yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau
banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam
Ahmad.
Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang
secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah
seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para
imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.
Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci
dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa
Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan
zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan
terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka
dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang
memaki Iblis :
﴿ ت� ب�ي�د�ي� ل�ق� ا خ� د� ل�م� ج� ن�ع�ك� أ�ن� ت�س� ا م� (75 ﴾ )سورة ص : م�Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah(perhatian
khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).
III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat
Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode takwil
ijmaliatau tafshili dalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat.
Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-
ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: " sehingga ayat-ayat - " ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب�
Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat
dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-
ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk
diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah
mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan
paham tasybih pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang
menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
)رواه أحمد إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " " والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه(
Maknanya: “Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al
Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam Al Imran : 7,waspadai dan jauhi
mereka". (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an
atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan
Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham tasybih(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Berikut contoh-contoh dari pemahamantasybih mereka:
Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat yang
sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya". Perkataan ini jelas paham
tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan
telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang
menegaskan:
."تعالـى )يعني الله( عن الحدود والغايات واألركان واألعضاء واألدوات"
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai
ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan
lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan
lainnya).
Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:
."ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر "
"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki
anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan
tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.
Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "استوى على العرش":
dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal,
tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah
karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak
seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al
Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami
dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.
Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat
Allah tertentu: بذاته dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika
menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:
."ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين"
"Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki".
Padahal sifat 'Ayn tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau dengan
tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak ubahnya adalah dua mata yang
hakiki. Dan jelas 'Ayn yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan
Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة أهل السنة والجماعة ". Dalam
edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun,
M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h.
34: "(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya". Pada h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah
adalah dua…".
Padahal Ahlussunnah mengimani 'Ayn sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak
mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab al Asmaa' wa ash-
Shifaat[3] menyebutkan bab-bab berikut:
Bab tentang penetapan Wajh bagi Allah ( باب ما جاء في إثبات الوجه صفة ال من حيث الصورة) -
sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.
Bab tentang penetapan 'Ayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات العين صفة ال من حيث الحدقة) -
sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.
Bab tentang penetapan Yadayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين ال من حيث الجارحة) -
sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.
Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh, 'Ayn, Yadayn bagi Allah, Ahlussunnah dan
golongan Musyabbihah seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya.
Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-
Nya.Wajh bukan muka atau bagian tubuh, 'Ayn bukan mata, kelopak mata dan semacamnya,
dan Yadayn bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang
wahhabi memahami Wajh secara hakiki, 'Ayn secara hakiki, yaitu mata, Yadaynsecara hakiki
yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka
tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh, 'Ayndan Yadayn dalam bahasa Arab
memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi
distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau
muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinantasybih; bahwa Allah memiliki anggota
badan. Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna
muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya
dengan mentakwil Wajhsebagai al Mulk (kekuasaan), 'Ayn sebagai al
Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al 'Inayah (perhatian khusus), atau al Qudrah (kekuasaan)
atau al 'Ahd (janji) dan semacamnya.
IV. Syubhah dan Jawabannya
Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode
para ulama salaf ash-Shalih.
Jawaban: Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena
sangat berbeda antara al Akhdzu bizh-Zhahir (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat)
dan Nafyu al kayf 'anillah (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf
bukan Itsbatul kayf Lillah (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan al Jahl bi dzalikal kayf(tanpa
mengetahui kayf tersebut), tetapi tanzihullah 'anil Kayf (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi
ketika memaknai ayat Istiwa' ulama salaf memahami bahwa al Kayf seperti duduk, bersemayam,
berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya dinafikan dari Allah. Tetapi golongan
Musyabbihah memahami istawa dengan istaqarra; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa
mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan tasybih; menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam.
Jauh berbeda antara Tanzih dan Tasybih, jelas berbeda antara Itsbatul kayf
Lillah dengan tanzihullah 'anil Kayf. Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kayf
Majhul. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang
berbunyi:
الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه وال يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إال صاحب بدعة "."أخرجوه"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan
Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya".
Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad
yang Jayyid(kuat). Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:
."...االستواء غير مجهول والكيف غير معقول ""Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya". (Riwayat
ini dituturkan oleh al-Laalka-i)
Riwayat Wal Kayf Majhul tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4]
Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan al Kayf bagi Allah,
hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang
jelas-jelas menafikan Kayf dari Allah dengan mengatakan: بال كيف ; tanpa berlaku kayf bagi
Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik,
Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka
mengatakan:
."أمروها كما جاءت بال كيفية" "Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai
sifat-sifat makhluk". [5]
Wallahu a'lam wa ahkam.
[1] Syekh Zakariyya al Anshari, al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah(Beirut:
Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.
[2] Badruddin Ibnu Jama'ah, I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil (Kairo:
Darussalam, 1410 H-1990), h. 107
[3] Al Hafizh al Bayhaqi, al Asma' Wa ash-Shifaat (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 )
h.319-340.
[4] Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim(Beirut: tp,
1397 H), h. 36
[5] Ibid., h. 56
Tafsir lengkap ayat ayat mutasyabihat “Dua tangan” bagi Allah Posted on February 20, 2010 by admin
Tafsir lengkap ayat ayat mutasyabihat “Dua tangan” bagi Allah
Menjawab kepada persoalan
akhi oo Raiser di chatbox mengenai ayat 75 surah sod. Syubhah yang dibawa oleh golongan wahabi yang tidak
kunjung padam ini telah mengelirukan ramai orang. Menjadi tanggungjawab kepada yang tahu untuk
menjelaskannya dan menjadi fardhu kifayah sepertimana yang disebut di dalam kitab-kitab akidah.
Soalan akhi oo Raiser : Bagaimana nak takwil ayat [aku menciptakan kau dgn dua tangan]? sebab ada yang
bertanya pada ana, kalau tangan tu ditakwilkan dengan kuasa maknanya dua tangan tu dua kuasa la, ana nak je
jawab soalan tu tapi ikut akal la, tapi takut tak valid.
Firman Allah yang dimaksudkan akhi;
IينJ KعIال ال IنJم IنتM ك KمI أ Iت KرI Kب Iك ت KسI أ OيIدI Jي ب MتKقI ل Iخ JمIا ل IدMج KسI ت KنI أ IكIعI مIن مIا MيسJ Kل Jب إ Iا ي IالIق
“(Allah) berfirman wahai iblis apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan
kekuasan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa (merasa) termasuk golongan yang (lebih)
tinggi?” (Terjemahan mengikut Al-Quran dan terjemahan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) terbitan Dar
Al-Iman Pustakan Darul Iman Sdn Bhd)
1) Perlu difahami ini merupakan ayat mutasyabihah. Ayat-ayat al-quran yang ada persamaan Allah dengan
makhluk dikira sebagai ayat yang mutasyabihah.
2) Mengikut manhaj khalaf : ia perlu ditakwil kepada makna yang sesuai pada bahasa arab supaya tidak terkeliru
sehingga menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk.
3) Mengikut manhaj salaf sebenar : menyerahkan makna “yadun” kepada Allah tanpa menterjemahkan kepada
makna tangan atau menakwil kepada makna yang layak bagi Allah dan dalam masa yang sama menafikan Allah
Ta’ala sama dengan makhluk.
4) Mengikut manhaj salafiyyah wahabiyyah aka salafi jadian, golongan mujassimah, hasyawiyyah dan
kitabiyyah : “yadun” dengan makna tangan tetapi tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Ini
pandangan yang sesat lagi menyesatkan kerana apabila diisbatkan kepada Allah sifat tangan walaupun kita
katakan ia tidak sama dengan makhluk sebenarnya kita telah menjisimkan Allah. Seumpama kita katakan
“sampah berbau wangi”. Bila kita sebut sampah maka sudah jelas ia berbau busuk walaupun kita sifatkan ia
berbau wangi. Bila kita kata tangan Allah sebenarnya kita telah menjisimkan Allah Ta’ala walaupun kita katakan
tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk.
5) Mahasuci Allah daripada sama dengan makhluk samada bertangan, duduk, naik turun dan sebagainya
daripada sifat makhluk. Firman Allah Ta’ala;
شيء كمثله ليس
“ Tidak ada yang seumpama denganNya (Allah) sesuatupun”
6) Kenapa Allah Ta’ala menyebut dengan dua tanganNya? Untuk memuliakan Adam. Kata ulama’: خلقه أضاف
له W تكريما نفسه إلى
“Allah menyandarkan ciptaanNya kepada diriNya sebagai memuliakan baginya”
Kerana ayat ini ditujukan kepada iblis yang enggan sujud kepada Adam dengan pertanyaan apa yang menegah
kamu (iblis) untuk sujud kepada apa yang aku jadikan dengan zat aku bukan dengan perantaraan ayah dan ibu
kerana Adam dijadikan tanpa ayah dan ibu seperti yang kita sudah maklum. Perumpamaan dengan
menggunakan dua tangan lebih hebat daripada satu tangan kerana telah maklum kepada kita sesuatu kerja yang
besar tidak dilakukan dengan sebelah tangan. Ini kefahaman yang disebut oleh Imam Zamakhsyari di dalam
kitab Al-Kassyaf dalam menjelaskan maksud dua tangan. Berkata sebahagian ulama’ ;
واسطة : بغير خلقت لما بيدي خلقت لما
“Bagi apa yang Aku jadikan dengan dua tangan Aku bermaksud bagi apa yang aku jadikan tanpa perantaraan”
7) Mengikut tafsir jalalain oleh dua Imam besar Al-Imam Al-’Allamah Jalaluddin Al-Mahalli dan Al-Imam
Al-‘Allamah Jalaluddin As-Suyuti menyebut dalam mentafsir ayat di atas;
خلقه الله تولى مخلوق كل فإن آلدم تشريف وهذا وأمي أبي واسطة غير من أي خلقه توليت أي
“Ialah Aku (Allah) meguasai kejadiannya (Adam) ialah tanpa perantaraan ayah dan ibu dan ini memuliakan bagi
Adam. Sesungguhnya setiap makhluk Allah Ta’ala menguasai ciptaaNya”
8) Di dalam At-Tafsir Al-munir oleh Dr Wahbah Zuhaili : Aku menjadikannya (Adam) sendiri tanpa perantaraan
Ayah dan Ibu dan Al-Yad bermaksud Al-Qudrah (kuasa Allah bukan tangan dengan maksud anggota) Juz :23-24
mukasurat : 229 Cetakan : Darul Fikr, Syiria.
9) Perkataan “yadun” yang bermaksud tangan di dalam bahasa melayu merupakan majaz ( perkataan yang
dipinjam bukan dengan makna asal atau hakiki) di dalam pengajian ilmu balaghah bahasa arab.
Sebagai contoh di dalam bahasa melayu kita juga ada menggunkan simpulan bahasa seperti “Abu seorang yang
panjang tangan” Apakah ia bermaksud tangan Abu benar-benar panjang atau ia simpulan bahasa untuk
menyatakan Abu seorang pencuri? Sudah tentu jawapannya ialah untuk menunjukkan makna Abu seorang
pencuri bukan bermaksud tangan dia benar-benar panjang.
Simpulan bahasa ini bukan merujuk kepada majaz di dalam bahasa arab kerana majaz itu seperti kita katakan
bulan tersenyum atau ombak memeluk pantai tetapi simpulan ini untuk menunjukkan perkataan tangan di sini
bukan bermaksud tangan yang hakiki seperti zahirnya.
Jika orang melayu tidak memahami simpulan bahasa ini, menunjukkan kejahilan dia terhadap bahasa melayu
dan orang yang tidak memahami majaz ini menunjukkan kejahilan dia terhadap balaghah bahasa arab. Al-Quran
merupakan kalamullah. Bahasanya disebut sebagai “ablagh” (balaghah yang paling tinggi) sehingga cabaran
Allah Ta’ala kepada orang kafir untuk membuat satu surah seumpaman surah Al-Kauthar pun mereka tidak
mampu. Apatah lagi kita orang melayu dalam memahami kalamullah ini.
Oleh sebab itu berkata Mujahid dalam mentafsirkan ayat ini;
الرحمن : : ” ” [ : ربك وجه ويبقى كقوله أنا خلقت لما مجازه ، والصلة التأكد بمعنى هنا ها اليد مجاهد ربك ] 27قال يبقى أي
Tangan di sini dengan makna penguat dan kaitan. Majaznya ( perkataan yang dipinjam bukan dengan makna
asal atau hakiki) bagi apa yang aku (Allah) jadikan. Seperti Firman Allah Ta’ala : Kekal wajah Tuhan kamu [ ar-
rahman : 27 ] bermaksud kekal Tuhan kamu.
10) Berkata As-Shahrastani di dalam kitab Milal Wa Nihal:
قلب : ( ) رواية عند بإصبعه وأشار بيدي خلقت لما تعالى قوله قراءة عند يده حرك من قالوا وأحمد والشافعي مالكا األئمة إن
… أصبعه وقطع يده قطع وجب الحديث الرحن أصابع بين المؤمن
Sesungguhnya imam-imam, Malik, Syafie dan Ahmad berkata : Sesiapa yang menggerakkan tangannya ketika
membaca firman Allah Ta’ala (ayat 75 surah mujadilah) dan mengisyaratkan jarinya ketika membaca riwayat
“Hati manusia di antara jari-jari Allah”- Al-Hadis, wajib dipotong tangan dan jarinya. (Di naqalkan daripada kitab
syarah jauharatul tauhid bagi Imam Al-Bajuri mukasurat 166).
11) Cuba lihat tafsiran sahabat seperti Ibnu Abbas yang di doakan oleh Nabi SAW “ Ya Allah, Faqihkan dia ( ibnu
Abbas) di dalam agama dan ajarkan dia takwil” dan tafsiran Mujahid, Qatadah, At-Thauri dan lain-lain di dalam
mentafsirkan ayat;
بأيد بنيانها والسماء
Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat :
237 )
Bagaimana untuk menolak pandangan yang mengatakan jika kita takwilkan “yadun” kepada makna kuasa
bermaksud ada dua kuasa?
1) Tanya kembali kepada dia, Allah Ta’ala menjadikan Adam dengan dua tangan atau dengan kuasa Allah
Ta’ala?
Jika dia tidak mahu menta’wil ayat ini kepada kuasa bermaksud dia menafikan sifat kuasa Allah untuk
menjadikan Adam. Sedangkan kita faham bahawasanya setiap mumkinat ( perkara yang harus ada) itu ta’luq
dengan sifat qudrat (kuasa) Allah. Dengan perkataan yang lain semua perkara yang dijadikan oleh Allah dengan
sifat kuasa Allah Ta’ala bukan dengan tangan yang kita fahami. Jika kita katakan yadun dengan maksud tangan
secara langsung kita telah menafikan kuasa Allah Ta’ala menjadikan dengan sifat kuasa. Sedangkan sifat kuasa
merupakan sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala. Sesiapa yang menafikan Allah Ta’ala bersifat dengan sifat kuasa
hukumnya kufur. Dalil Allah Ta’ala berkuasa ialah firman Allah Ta’ala ;
قدير شيء كل على الله إن
“Sesungguhnya Allah berkuasa di atas setiap sesuatu”
2) Di dalam Al-Quran Allah menggunakan kalimah satu tangan, dua tangan, dan tangan-tangan. Jika kita
katakan Allah ada dua tangan. Bagaimana dengan ayat yang mengatakan satu tangan dan ayat yang
mengatakan tangan-tangan yang lebih daripada dua?
3) Tanyakan juga kepada mereka bagaimana ayat yang Allah Ta’ala menggunakan perkataan “nahnu” (kami).
Apakah itu menunjukkan kepada Allah ramai?
Ayat-ayat yang menyebut perkataan tangan tetapi bukan dengan maksud tangan ;
1) (Surah Al-Mujadilah : 12) صدقة نجواكم يدي بين فقدموا
Di dalam ayat ini Allah menyandarkan perkataan tangan kepada “najwa”. Najwa bermaksud perbualan rahsia.
Apakah perbualan rahsia juga ada tangan? Jadi tangan di sini bukan bermaksud tangan seperti zahirnya tetapi
hanya majaz seperti yang telah dijelaskan di atas.
2) (Surah Al-A’raaf : 57) JهJ حKمIت Iر KيIدI ي IنK Iي ب W را KشM ب IاحI ي gالر Mل Jس KرM ي OذJي ال IوMهIو
Di dalam ayat ini disebut tangan rahmat. Rahmat di sini bermaksud hujan. Apakah hujan ada tangan?
Dua ayat di atas menafikan pandangan wahabi yang mengatakan tangan Allah dengan maksud hakiki bukan
majazi. Padahal jika diletak makna hakiki kepada dua ayat di atas amatlah menyimpang daripada maksudnya.
Justeru itu, ulama’ memahami makna yadun kepada Allah bukan dengan makna tangan yang hakiki tetapi majazi
sahaja yang perlu ditakwil kepada makna yang selayaknya seperti kuasa, ni’mat, pahala, pertolongan dan lain-
lain sepertimana takwilan ahli sunnah wal jamaah daripada ulama’ khalaf dan salaf demi menjaga kemurniaan
akidah umat Islam.
Jika Allah ada tangan bagaimana golongan wahabi ingin menjawab kepada persoalan ayat ini. Firman Allah
Ta’ala;
واالكرام الجالل ذو ربك وجه ويبقى فان عليها من كل
“Semua yang ada di atas dunia akan binasa dan yang kekal wajah Tuhan kamu yang mempunyai ketinggian dan
kemuliaan”
Ayat ini menyatakan semua akan binasa kecuali wajah Allah. Di mana tangan Allah? Apakah tangan Allah juga
binasa? Dangkal sungguh fahaman yang mengatakan Allah bertangan seperti mana akidah golongan yahudi.
Wajah di sini bermaksud zat Allah yang tidak bertangan dan berwajah seperti fahaman wahabi atau salafi yang
mendakwa mengikut salaf tetapi menyimpang daripada akidah salaf yang sebenar. Jika Allah bertangan sudah
tentu Allah akan menyebut di dalam ayat di atas tangannya juga kekal. Mana mungkin tangan Allah juga binasa.
Diakan Allah yang bersifat dengan sifat baqa’ (tidak binasa dan kekal selama-lamanya).
Kesimpulannya :
1) Tidak salah kita mentakwilkan ayat dua tangan dengan maksud kuasa sepertimana kenyataan ulama’ yang
telah ana bawakan. Dua tangan tidak merujuk kepada bilangan dua kuasa kerana sememangnya tangan itu dua.
Mewakili Kiri dan kanan. Seperti kita katakan melihat dengan dua mata. Sememangnya melihat dengan
menggunakan dua mata bukan dengan dua telinga tetapi ia sebagai jalan taukid (menegaskan) lagi kita benar-
benar melihat. Menggunakan dua tangan menunjukkan kita benar-benar buat dalam keadaan bersungguh.
2) Kuasa merupakan sifat wajib bagi Allah adapun tangan merupakan sifat yang mustahil bagi Allah kerana
bersalahan dengan sifat mukhalafatuhul lilhawadith.
3) Mengisbatkan tangan bagi Allah boleh menyebabkan kufur dan murtad kerana menyandarkan sifat yang tidak
layak bagi Allah dan mensyirikan (menyekutukan) Allah dengan makhluk.. Nauzubillahi min zaalik. Awasi dan
jauhi daripada i’tiqad sebegini.