21
Hindari Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Makna Zahirnya (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi) 25 Oktober 2010 pukul 23:54 Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat- ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman : ] َ هَ ابَ شَ ت اَ مَ نْ وُ عِ بَ ّ تَ يَ فٌ غْ يَ زْ مِ هِ بْ وُ لُ ق يِ فَ نْ يِ ذَ ّ ال اَ ّ مَ / اَ قٌ اتَ هِ ب اَ شَ تُ مُ رَ خُ / اَ وِ اتَ تِ كْ ل اُ ّ مُ / اَ ّ نُ هٌ اتَ مَ كْ حُ مٌ اتَ ايَ ءُ هْ نِ مَ اتَ تِ كْ ل اَ F كْ تَ لَ عJ َ لَ L زْ نَ / اْ يِ ذَ ّ الَ وُ هِ اتَ تْ لَ / لْ ا اْ وُ لْ وُ / اَ ّ لِ V اُ رَ ّ كَ ّ L ذَ ا يَ مَ ا وَ تِ ّ بَ زِ ذْ تِ عْ نِ مٌ ّ لُ كِ هِ ا بَ ّ تَ م اَ ءَ نْ وُ لْ وُ قَ يِ مْ لِ عْ ل ا يِ فَ نْ وُ خِ س اَ ّ ر ل اَ وُ له الَ ّ لِ V اُ هَ لْ يِ وْ / اَ يُ مَ لْ عَ ي اَ مَ وِ هِ لْ h يِ وْ / اَ يَ اءَ عِ بْ j ب اَ وِ هَ نْ تِ L فْ ل اَ اءَ عِ بْ j ب اُ هْ نِ م[ : ران م عءال( 7 ) Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat- ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal " (Q.S. Al Imran : 7) I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat Al Muhkam: ي معن ل ح ا ض ت م ل ا; yang jelas maknanya. al Mutasyabih: ي معن ل ح ا ض ت م ب س لتما; yang tidak jelas maknanya.[1] Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah : ﴿ َ سْ تَ لِ هِ لْ تِ مَ كٌ يءَ ش وزي: ش ل ا وزة س( ﴾ ۱۱ ) Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya) ”. (Q.S. asy-Syura: 11)

Hindari Memahami Ayat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hindari Memahami Ayat

Hindari Memahami Ayat-ayat Mutasyabihat Dalam Makna Zahirnya (Mewaspadai Ajaran Sesat Wahabi)25 Oktober 2010 pukul 23:54

Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di

dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman

:

 

ا  [  م�ـأ� ات ف� اب�ه� ت�ش� ر� م� أ�خ� ك�م�ات ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب� و� ح� ن�ه� ء�اي�ات م� ل� ع�ل�ي�ك� ال�ك�ت�اب� م� �ن�ز� و� ال�ذ�ي� أ ه�

ل�ه� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� ي�ل�ه� و�م� و�

غ�اء� ت�أ� اب�تـ� ـت�ن�ة� و� غ�اء� ال�ف� ن�ه� اب�تـ� اب�ه� م� ا ت�ش� ي�ت�ب�ع�و�ن� م� ي�غ ف� م� ز� ب�ه� ل�و� ال�ذ�ي�ن� ف�ي ق�ا ل�و� و�

ا ي�ذ�ك�ر� إ�ال� أ� ب=ن�ا و�م� ن�د� ر� ن�ا ب�ه� ك�ل@ م�ن� ع� ل�و�ن� ء�ام� و� و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� ي�ق� خ� اس� الر� إ�ال� الله� و�

(7 )ءال عمران :   ] ا�أل�ل�ب�اب� 

Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara

(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan

pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun

orang-orang  yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat

yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan

hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) 

melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada

ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat

mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"    (Q.S. Al Imran : 7)

 

 

I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

 

            Al Muhkam: المتضح المعنى ; yang jelas maknanya.

            al Mutasyabih: ما ليس بمتضح المعنى; yang tidak jelas maknanya.[1]

 

            Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja

dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas

makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :

 

﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى:  ش�     

 

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi

maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)  

                                                                    

﴿ د ا أ�ح� Uو ل�م� ي�ك�ن� ل�ه� ك�ف� (4﴾ )سورة اإلخالص : و�    

 

Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)     

 

  ﴿ يZا م� (65﴾ )سورة مريم : ه�ل� ت�ع�ل�م� ل�ه� س� 

Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)                                 

 

Page 2: Hindari Memahami Ayat

     Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak

kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan

yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :

 

﴿ ن� م[ ت�و�ى  الرح� ش� اس� (5 )سورة طه :  ﴾ ع�ل�ى الع�ر� 

      Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat

muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh

para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam

ayat

 

﴿ ل�ه� إ�ال� الله� )سورة ءال عمران : يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� (7﴾و�  

 

Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti

munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih  yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5).

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

 

ه�" "  اب�ه� ت�ش� ا ب�م� ن�و� ء�ام� ه� و� ك�م� ح� ا ب�م� ل�و� )حديث ضعيف ضعفا خفيفا( اع�م�   

 

Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan  berimanlah

terhadap  yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat

mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang

muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.

 

            Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang

mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah  [   ل�ه� إ�ال� الله� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� و�

و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� خ� اس� الر� seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga ,[ و�

mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya

dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan

mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk

orang-orang yang mendalam ilmunya".

 

 

II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat

 

            Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama

benar :

 

            Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah

pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil  ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil

ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-

sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi

keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka

mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti

firman Allah :

 

Page 3: Hindari Memahami Ayat

  ﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى:  ش�                               

 

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi

maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11) 

                                         

         Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah

meridlainya- :

 

و�ل� الله� " س� اء� ع�ن� ر� ا ج� ب�م� اد� الله� و� اء� ع�ن� الله� ع�ل�ى م�ر� ا ج� ن�ت� ب�م�  r ء�ام� و�ل� الله� س� اد� ر� ر� " ع�ل�ى م� 

"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan

beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r  sesuai dengan maksud Rasulullah",

yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang

merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.

 

            Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili)

seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al

Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :

 

ص�ص� ، " ة� ال�ق� و�ر� ه� س� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� �ل�ي�ه� " اهـ ك�ل� ش� ب� ب�ه� إ ر� ا ي�ت�ق� ال� م� ي�ق� ل�ك�ه� و� ، إ�ال� م� .

 

"Surat al Qashash,  ه� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� yakni kecuali kekuasaan (Q.S. al Qashash : 88)  ك�ل� ش�

dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya

atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat

Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada

makhluk-Nya. Dalam  Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang

lain seperti dlahik  yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-

Rahmah al Khashshah).

 

            Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf

mentakwil firman Allah :     [  ب�ك� اء� ر� ﴿ و�ج�  secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang

kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan

oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i :

"Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas

keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut

ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al

Bayhaqi dan ad-Daraquthni  terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id

al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup

pada abad VII Hijriyah.

 

            Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam

Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi

yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau

banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam

Ahmad.

 

Page 4: Hindari Memahami Ayat

            Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang

secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah

seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para

imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.

 

            Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci

dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa

Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan

zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan

terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka

dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang

memaki Iblis :

 

﴿ ت� ب�ي�د�ي� ل�ق� ا خ� د� ل�م� ج� ن�ع�ك� أ�ن� ت�س� ا م� (75 ﴾ )سورة ص : م� 

Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah(perhatian

khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).

 

 

III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat

 

            Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode takwil

ijmaliatau tafshili dalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan yang

menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat.

Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-

ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: "  sehingga ayat-ayat - " ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب�

Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat

dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-

ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk

diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah

mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan

paham tasybih pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang

menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

 

)رواه أحمد  إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " "   والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه(

 

Maknanya: “Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al

Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam Al Imran : 7,waspadai dan jauhi

mereka".  (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)

 

            Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an

atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan

Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham tasybih(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).

Berikut contoh-contoh dari pemahamantasybih mereka:

 

Page 5: Hindari Memahami Ayat

Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat yang

sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya".  Perkataan ini jelas paham

tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan

telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang

menegaskan:

 

."تعالـى )يعني الله( عن الحدود والغايات واألركان واألعضاء واألدوات"

 

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai

ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan

lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan

lainnya).

 

Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:  

 

."ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر " 

 

"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".

 

Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki

anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan

tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.

 

Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "استوى على العرش":

dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal,

tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah

karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak

seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah

menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

 

            Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al

Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami

dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.

            Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat

Allah tertentu:  بذاته dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika

menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:

 

."ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين"            

 

"Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki".

 

Padahal sifat 'Ayn tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau dengan

tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak ubahnya adalah dua mata yang

Page 6: Hindari Memahami Ayat

hakiki. Dan jelas 'Ayn yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan

Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة أهل السنة والجماعة ". Dalam

edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun,

M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h.

34: "(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya". Pada h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah

adalah dua…".

 

            Padahal Ahlussunnah  mengimani 'Ayn sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak

mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab al Asmaa' wa ash-

Shifaat[3] menyebutkan bab-bab berikut:

 

Bab tentang penetapan Wajh bagi Allah ( باب ما جاء في إثبات الوجه صفة ال من حيث الصورة) -

sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.

Bab tentang penetapan 'Ayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات العين صفة ال من حيث الحدقة) -

sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.

Bab tentang penetapan Yadayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين ال من حيث الجارحة) -

sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.

 

            Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh, 'Ayn, Yadayn bagi Allah, Ahlussunnah dan

golongan Musyabbihah  seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya.

Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-

Nya.Wajh bukan muka atau bagian tubuh, 'Ayn bukan mata, kelopak mata dan semacamnya,

dan Yadayn bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang

wahhabi memahami Wajh secara hakiki, 'Ayn secara hakiki, yaitu mata, Yadaynsecara hakiki

yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka

tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh, 'Ayndan Yadayn dalam bahasa Arab

memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi

distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau

muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinantasybih; bahwa Allah memiliki anggota

badan.  Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna

muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya

dengan mentakwil Wajhsebagai al Mulk (kekuasaan), 'Ayn sebagai al

Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al 'Inayah (perhatian khusus), atau al Qudrah (kekuasaan)

atau al 'Ahd (janji) dan semacamnya.

 

 

IV. Syubhah dan Jawabannya

 

            Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode

para ulama salaf ash-Shalih.

            Jawaban: Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena

sangat berbeda antara al Akhdzu bizh-Zhahir (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat)

dan Nafyu al kayf  'anillah (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf

bukan Itsbatul kayf Lillah (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan al Jahl bi dzalikal kayf(tanpa

mengetahui kayf tersebut), tetapi tanzihullah 'anil Kayf (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi

ketika memaknai ayat Istiwa' ulama salaf memahami bahwa al Kayf seperti duduk, bersemayam,

Page 7: Hindari Memahami Ayat

berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya  dinafikan dari Allah. Tetapi golongan

Musyabbihah memahami istawa dengan istaqarra; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa

mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan tasybih; menyerupakan

Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam.

Jauh berbeda antara Tanzih dan Tasybih, jelas berbeda antara Itsbatul kayf

Lillah dengan tanzihullah 'anil Kayf. Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kayf

Majhul. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang

berbunyi:

 

الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه وال يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إال صاحب بدعة "."أخرجوه"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan

Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya".

 

Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad

yang Jayyid(kuat). Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:

 

."...االستواء غير مجهول والكيف غير معقول ""Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya". (Riwayat

ini dituturkan oleh al-Laalka-i)

 

Riwayat Wal Kayf Majhul tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4]

Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan al Kayf bagi Allah,

hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang

jelas-jelas menafikan Kayf dari Allah dengan mengatakan: بال كيف ; tanpa berlaku kayf bagi

Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik,

Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka

mengatakan:

 

."أمروها كما جاءت بال كيفية"          "Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai

sifat-sifat makhluk". [5]

Wallahu a'lam wa ahkam.

 

 

 

                [1] Syekh Zakariyya al Anshari, al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah(Beirut:

Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.

 

                [2] Badruddin Ibnu Jama'ah, I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil (Kairo:

Darussalam, 1410 H-1990), h. 107

 

                [3]  Al Hafizh al Bayhaqi, al Asma' Wa ash-Shifaat (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 )

h.319-340.

 

Page 8: Hindari Memahami Ayat

                [4] Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim(Beirut: tp,

1397 H), h. 36

 

                [5] Ibid., h. 56

            Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa

di dalam al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala

berfirman :

 

ا  [  م�ـأ� ات ف� اب�ه� ت�ش� ر� م� أ�خ� ك�م�ات ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب� و� ح� ن�ه� ء�اي�ات م� ل� ع�ل�ي�ك� ال�ك�ت�اب� م� �ن�ز� و� ال�ذ�ي� أ ه�

ل�ه� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� ي�ل�ه� و�م� و�

غ�اء� ت�أ� اب�تـ� ـت�ن�ة� و� غ�اء� ال�ف� ن�ه� اب�تـ� اب�ه� م� ا ت�ش� ي�ت�ب�ع�و�ن� م� ي�غ ف� م� ز� ب�ه� ل�و� ال�ذ�ي�ن� ف�ي ق�ا ل�و� و�

ا ي�ذ�ك�ر� إ�ال� أ� ب=ن�ا و�م� ن�د� ر� ن�ا ب�ه� ك�ل@ م�ن� ع� ل�و�ن� ء�ام� و� و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� ي�ق� خ� اس� الر� إ�ال� الله� و�

(7 )ءال عمران :   ] ا�أل�ل�ب�اب� 

Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara

(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan

pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun

orang-orang  yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat

yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan

hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat) 

melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada

ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat

mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"    (Q.S. Al Imran : 7)

 

 

I. Definisi Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

 

            Al Muhkam: المتضح المعنى ; yang jelas maknanya.

            al Mutasyabih: ما ليس بمتضح المعنى; yang tidak jelas maknanya.[1]

 

            Jadi Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja

dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas

makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :

 

﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى:  ش�     

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi

maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)  

                                                                    

﴿ د ا أ�ح� Uو ل�م� ي�ك�ن� ل�ه� ك�ف� (4﴾ )سورة اإلخالص : و�    

Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)     

 

                                                           ﴿ يZا م� (65﴾ )سورة مريم : ه�ل� ت�ع�ل�م� ل�ه� س�Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)                                 

 

     Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak

kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan

yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :

Page 9: Hindari Memahami Ayat

﴿ ن� م[ ت�و�ى  الرح� ش� اس� (5 )سورة طه :  ﴾ ع�ل�ى الع�ر�            Penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat

muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh

para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam

ayat

﴿ ل�ه� إ�ال� الله� )سورة ءال عمران : يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� (7﴾و�  

Menurut bacaan waqaf pada lafazh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti

munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih  yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5).

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

ه�" "  اب�ه� ت�ش� ا ب�م� ن�و� ء�ام� ه� و� ك�م� ح� ا ب�م� ل�و� )حديث ضعيف ضعفا خفيفا( اع�م�   

Maknanya: “Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan  berimanlah

terhadap  yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat

mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang

muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.

            Az-Zabidi mengatakan menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang

mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah  [   ل�ه� إ�ال� الله� يـ� و�ا ي�ع�ل�م� ت�أ� م� و�

و�ن� ف�ي ال�ع�ل�م� خ� اس� الر� seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga ,[ و�

mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya

dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan

mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk

orang-orang yang mendalam ilmunya".

 

 

II. Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat

 

            Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihat yang keduanya sama-sama

benar :

 

            Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah

pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil  ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil

ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-

sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi

keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka

mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti

firman Allah :

 

  ﴿ ث�ل�ه� ل�ي�س� ىء ك�م� (۱۱ ﴾ )سورة الشورى:  ش�                               

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi

maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11) 

                                         

         Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah

meridlainya- :

 

و�ل� الله� " س� اء� ع�ن� ر� ا ج� ب�م� اد� الله� و� اء� ع�ن� الله� ع�ل�ى م�ر� ا ج� ن�ت� ب�م�  r ء�ام� و�ل� الله� س� اد� ر� ر� " ع�ل�ى م�"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan

beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r  sesuai dengan maksud Rasulullah",

Page 10: Hindari Memahami Ayat

yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang

merupakan sifat-sifat benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.

 

            Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili)

seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al

Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :

 

ص�ص� ، " ة� ال�ق� و�ر� ه� س� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� �ل�ي�ه� " اهـ ك�ل� ش� ب� ب�ه� إ ر� ا ي�ت�ق� ال� م� ي�ق� ل�ك�ه� و� ، إ�ال� م� .

 

"Surat al Qashash,  ه� ه� ال�ك إ�ال� و�ج� ءh ه� ى� yakni kecuali kekuasaan (Q.S. al Qashash : 88)  ك�ل� ش�

dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya

atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat

Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada

makhluk-Nya. Dalam  Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang

lain seperti dlahik  yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-

Rahmah al Khashshah).

 

            Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf

mentakwil firman Allah :     [  ب�ك� اء� ر� ﴿ و�ج�  secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang

kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan

oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i :

"Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas

keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut

ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al

Bayhaqi dan ad-Daraquthni  terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id

al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup

pada abad VII Hijriyah.

 

            Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam

Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi

yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau

banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam

Ahmad.

 

            Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang

secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah

seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para

imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.

 

            Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci

dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa

Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan

zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan

terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka

dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang

memaki Iblis :

Page 11: Hindari Memahami Ayat

 

﴿ ت� ب�ي�د�ي� ل�ق� ا خ� د� ل�م� ج� ن�ع�ك� أ�ن� ت�س� ا م� (75 ﴾ )سورة ص : م�Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah(perhatian

khusus) dan al Hifzh (memelihara dan menjaga).

 

 

III. Pemahaman Golongan Musyabbihah terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat

 

            Berbeda dengan para ulama salaf dan khalaf yang memakai metode takwil

ijmaliatau tafshili dalam memaknai ayat Mutasyabihat, golongan Musyabbihah (golongan yang

menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) mengambil makna zhahir ayat-ayat Mutasyabihat.

Berbeda dengan prinsip yang dipegangi mayoritas ummat bahwa induk al Qur'an adalah ayat-

ayat Muhkamat –seperti dijelaskan dalam al Qur'an: "  sehingga ayat-ayat - " ه�ن� أ�م� ال�ك�ت�اب�

Muhkamat yang mesti didahulukan untuk diajarkan kepada ummat sebelum ayat Mutasyabihat

dan ayat-ayat Mutasyabihat harus dikembalikan pemahamannya kepada induknya; yaitu ayat-

ayat Muhkamat, golongan Musyabbihah selalu mendahulukan ayat-ayat Mutasyabihat untuk

diajarkan dan seakan mereka menganggap itulah inti dari ajaran Islam. Buku-buku aqidah

mereka selalu mengedepankan mengajarkan ayat-ayat Mutasyabihat dan menanmkan

paham tasybih pada pengikut mereka, sehingga disadari atau tidak inilah ciri orang yang

menyimpang seperti dijelaskan oleh al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

 

)رواه أحمد  إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم " "   والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجه(

Maknanya: “Jika kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat Mutasyabihat al

Qur'an, maka mereka inilah yang disebutkan oleh dalam Al Imran : 7,waspadai dan jauhi

mereka".  (H.R. Ahmad, al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah)

 

            Paham tasybih ini sering terungkap ketika golongan ini menafsirkan ayat-ayat al Qur'an

atau menerjemahkannya ke bahasa-bahasa lain, seperti al Qur'an dan Terjemahannya cetakan

Saudi Arabia yang dipenuhi dengan paham tasybih(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).

Berikut contoh-contoh dari pemahamantasybih mereka:

 

Ayat Kursi (Q.S. al Baqarah: 255), pada catatan kaki No.161, h. 63 dikatakan: "…pendapat yang

sahih terhadap makna kursi ialah tempat letak telapak kaki-Nya".  Perkataan ini jelas paham

tasybih. Orang-orang Wahhabi ini meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan yaitu kaki dan

telapak kaki. Padahal al Imam ath-Thahawi telah menukil ijma' para ulama salaf yang

menegaskan:

 

."تعالـى )يعني الله( عن الحدود والغايات واألركان واألعضاء واألدوات"

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai

ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan

lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan

lainnya).

 

Page 12: Hindari Memahami Ayat

Al Imam ath-Thahawi juga mengatakan:  

 

."ومن وصف الله بمعنى من معانـي البشر فقد كفر " 

"Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir".

 

Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, memiliki

anggota badan, baik yang kecil maupun yang besar dan lain sebagainya. Jadi terjemahan

tersebut jelas mengusung paham tasybih dan kekufuran.

 

Pada halaman 230, 368, 476, 567, 660, 900 mereka mengartikan "استوى على العرش":

dengan bersemayam, padahal bersemayam maknanya adalah duduk, berkediaman atau tinggal,

tersimpan, terpatri (di hati), membaringkan. Dan semua makna ini mustahil berlaku bagi Allah

karena semuanya adalah sifat makhluk. Tidak boleh diyakini bahwa Allah bersemayam tidak

seperti bersemayamnya kita, karena begitu dikatakan Allah bersemayam berarti telah

menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

 

            Dan masih banyak penyimpangan-penyimpangan serupa di berbagai tempat dalam al

Qur'an dan Terjemahannya cetakan Saudi Arabia tersebut. Orang yang jeli dan memahami

dengan baik aqidah Ahlussunnah akan dengan mudah menemukan paham tasybih tersebut.

            Paham tasybih ini juga nampak ketika para pengikut paham ini mengatakan tentang sifat

Allah tertentu:  بذاته dan kata hakiki.[2] Misalnya Muhammad Shalih ibnu Utsaimin ketika

menyebutkan sifat al 'Ayn bagi Allah ia mengatakan:

 

."ونؤمن بأن لله عينين اثنتين حقيقيتين"            

"Dan kami beriman bahwa Allah memiliki dua 'ayn yang hakiki".

 

Padahal sifat 'Ayn tidak pernah disebutkan dalam al Qur'an dengan lafazh tatsniyah atau dengan

tambahan kata hakiki. Itu berarti bahwa ia mamahami 'Ayn tak ubahnya adalah dua mata yang

hakiki. Dan jelas 'Ayn yang hakiki adalah kelopak mata dengan seluruh bagiannya. Pernyataan

Utsaimin ini terdapat dalam buku yang ia namakan: " عقيدة أهل السنة والجماعة ". Dalam

edisi bahasa Indonesia juga bisa dibaca akidah yang sesat ini dalam terjemahan M.Yusuf Harun,

M.A. di halaman-halaman berikut: 27, 28, 29, 34. Disebutkan dalam edisi terjemahan ini, h.

34: "(Allah) mempunyai dua mata yang sebenarnya". Pada h. 35 dikatakan: "Bahwa mata Allah

adalah dua…".

 

            Padahal Ahlussunnah  mengimani 'Ayn sebagai sifat Allah, yang pasti bukan kelopak

mata dan seluruh bagian-bagiannya. Al Imam al Bayhaqi dalam kitab al Asmaa' wa ash-

Shifaat[3] menyebutkan bab-bab berikut:

 

Bab tentang penetapan Wajh bagi Allah ( باب ما جاء في إثبات الوجه صفة ال من حيث الصورة) -

sebagai sifat bukan sebagai bentuk dan gambar.

Bab tentang penetapan 'Ayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات العين صفة ال من حيث الحدقة) -

sebagai sifat bukan dari sisi sebagai kelopak mata.

Page 13: Hindari Memahami Ayat

Bab tentang penetapan Yadayn bagi Allah (باب ما جاء في إثبات اليدين صفتين ال من حيث الجارحة) -

sebagai sifat bukan sebagai anggota badan.

 

            Jadi meski sama-sama menetapkan Wajh, 'Ayn, Yadayn bagi Allah, Ahlussunnah dan

golongan Musyabbihah  seperti orang-orang Wahhabi berbeda dalam memahaminya.

Ahlussunnah memahaminya sebagai sifat Allah yang tidak menyerupai sifat makhluk-

Nya.Wajh bukan muka atau bagian tubuh, 'Ayn bukan mata, kelopak mata dan semacamnya,

dan Yadayn bukan kedua tangan yang merupakan anggota badan. Sedangkan orang-orang

wahhabi memahami Wajh secara hakiki, 'Ayn secara hakiki, yaitu mata, Yadaynsecara hakiki

yaitu tangan. Menurut Ahlussunnah sifat-sifat tersebut ketika diyakini sebagai sifat Allah maka

tidak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Karena kata Wajh, 'Ayndan Yadayn dalam bahasa Arab

memiliki beberapa makna, dengan diterjemahkan kepada salah satu maknanya akan terjadi

distorsi dan ketika itu nampak dipahami sebagai apa. Jika diterjemahkan sebagai wajah atau

muka, mata dan tangan berarti telah meyakini keyakinantasybih; bahwa Allah memiliki anggota

badan.  Seorang sunni meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut yang bukan bermakna

muka, mata atau tangan. Memang mungkin saja diterjemahkan tetapi diterjemahkan maknanya

dengan mentakwil Wajhsebagai al Mulk (kekuasaan), 'Ayn sebagai al

Hifzh (pemeliharaan), Yad sebagai al 'Inayah (perhatian khusus), atau al Qudrah (kekuasaan)

atau al 'Ahd (janji) dan semacamnya.

 

 

IV. Syubhah dan Jawabannya

 

            Golongan Musyabbihah mengklaim bahwa madzhab yang mereka ikuti adalah metode

para ulama salaf ash-Shalih.

            Jawaban: Jelas berbeda antara pendapat mereka dan madzhab mayoritas salaf. Karena

sangat berbeda antara al Akhdzu bizh-Zhahir (mengambil zhahir ayat atau hadits sifat)

dan Nafyu al kayf  'anillah (menafikan sifat-sifat makhluk dari Allah). Madzhab salaf

bukan Itsbatul kayf Lillah (menetapkan al kayf bagi Allah) dengan al Jahl bi dzalikal kayf(tanpa

mengetahui kayf tersebut), tetapi tanzihullah 'anil Kayf (mensucikan Allah dari al kayf). Jadi

ketika memaknai ayat Istiwa' ulama salaf memahami bahwa al Kayf seperti duduk, bersemayam,

berada di atas 'arsy dengan jarak dan semacamnya  dinafikan dari Allah. Tetapi golongan

Musyabbihah memahami istawa dengan istaqarra; bersemayam dan berada di atas 'arsy, tanpa

mengetahui bagaimana bersemayam-nya Allah. Ini jelas merupakan tasybih; menyerupakan

Allah dengan makhluk-Nya dengan menyifati Allah dengan sifat makhluk, yaitu bersemayam.

Jauh berbeda antara Tanzih dan Tasybih, jelas berbeda antara Itsbatul kayf

Lillah dengan tanzihullah 'anil Kayf. Al Imam Malik dan lainnya tidak pernah mengatakan al Kayf

Majhul. Hanya ada dua riwayat yang sahih dari para ulama salaf. Pertama: riwayat yang

berbunyi:

 

الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه وال يقال كيف وكيف عنه مرفوع وما أراك إال صاحب بدعة "."أخرجوه"Allah memiliki sifat istiwa' seperti yang Ia sifatkan sendiri untuk Dzat-Nya, tidak boleh dikatakan

Bagaimana dan Kayf mustahil bagi-Nya".

 

Page 14: Hindari Memahami Ayat

Ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dari al Imam Malik dengan sanad

yang Jayyid(kuat). Kedua: riwayat dari Ummu Salamah dan Rabi'ah yang berbunyi:

 

."...االستواء غير مجهول والكيف غير معقول ""Istiwa sudah diketahui bahwa Allah disifati dengannya dan al Kayf mustahil bagi-Nya". (Riwayat

ini dituturkan oleh al-Laalka-i)

 

Riwayat Wal Kayf Majhul tidak sahih dari sisi periwayatannya dari Imam Malik dan lainnya.[4]

Demikian juga maknanya tidak sesuai, karena redaksi tersebut menetapkan al Kayf bagi Allah,

hanya saja kita tidak mengetahuinya. Ini bertentangan dengan madzhab para ulama salaf yang

jelas-jelas menafikan Kayf dari Allah dengan mengatakan: بال كيف ; tanpa berlaku kayf bagi

Allah. Al Bayhaqi dalam kitab al I'tiqad meriwayatkan dengan sanadnya dari al Awza'i, Malik,

Sufyan dan al-Layts ibn Sa'd bahwa ketika ditanya tentang hadits-hadits mutasyabihat, mereka

mengatakan:

 

."أمروها كما جاءت بال كيفية"          "Baca saja hadits-hadits tersebut seperti riwayat yang ada dengan tanpa meyakininya sebagai

sifat-sifat makhluk". [5]

Wallahu a'lam wa ahkam.

 

 

 

                [1] Syekh Zakariyya al Anshari, al Hudud al Aniiqah Wa at-Ta'riifat ad-Daqiiqah(Beirut:

Dar al Masyari', 1425-2004), h. 27.

 

                [2] Badruddin Ibnu Jama'ah, I-dlah ad-Dalil fi Qath'i Hujaj Ahl at-Ta'thil (Kairo:

Darussalam, 1410 H-1990), h. 107

 

                [3]  Al Hafizh al Bayhaqi, al Asma' Wa ash-Shifaat (Kairo: Darul Hadits, 1423 H-2002 )

h.319-340.

 

                [4] Syekh Abdullah al Harari, ad-Dalil al Qawiim 'ala ash-Shirath al Mustaqim(Beirut: tp,

1397 H), h. 36

 

                [5] Ibid., h. 56

Tafsir lengkap ayat ayat mutasyabihat “Dua tangan” bagi   Allah Posted on February 20, 2010 by admin

Tafsir lengkap ayat ayat mutasyabihat “Dua tangan” bagi Allah

Page 15: Hindari Memahami Ayat

Menjawab kepada persoalan

akhi oo Raiser di chatbox mengenai ayat 75 surah sod. Syubhah yang dibawa oleh golongan wahabi yang tidak

kunjung padam ini telah mengelirukan ramai orang. Menjadi tanggungjawab kepada yang tahu untuk

menjelaskannya dan menjadi fardhu kifayah sepertimana yang disebut di dalam kitab-kitab akidah.

Soalan akhi oo Raiser : Bagaimana nak takwil ayat [aku menciptakan kau dgn dua tangan]? sebab ada yang

bertanya pada ana, kalau tangan tu ditakwilkan dengan kuasa maknanya dua tangan tu dua kuasa la, ana nak je

jawab soalan tu tapi ikut akal la, tapi takut tak valid.

Firman Allah yang dimaksudkan akhi;

IينJ KعIال ال IنJم IنتM ك KمI أ Iت KرI Kب Iك ت KسI أ OيIدI Jي ب MتKقI ل Iخ JمIا ل IدMج KسI ت KنI أ IكIعI مIن مIا MيسJ Kل Jب إ Iا ي IالIق

“(Allah) berfirman wahai iblis apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan

kekuasan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa (merasa) termasuk golongan yang (lebih)

tinggi?” (Terjemahan mengikut Al-Quran dan terjemahan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) terbitan Dar

Al-Iman Pustakan Darul Iman Sdn Bhd)

1) Perlu difahami ini merupakan ayat mutasyabihah. Ayat-ayat al-quran yang ada persamaan Allah dengan

makhluk dikira sebagai ayat yang mutasyabihah.

2) Mengikut manhaj khalaf : ia perlu ditakwil kepada makna yang sesuai pada bahasa arab supaya tidak terkeliru

sehingga menyamakan Allah Ta’ala dengan makhluk.

3) Mengikut manhaj salaf sebenar : menyerahkan makna “yadun” kepada Allah tanpa menterjemahkan kepada

makna tangan atau menakwil kepada makna yang layak bagi Allah dan dalam masa yang sama menafikan Allah

Ta’ala sama dengan makhluk.

4) Mengikut manhaj salafiyyah wahabiyyah aka salafi jadian, golongan mujassimah, hasyawiyyah dan

kitabiyyah : “yadun” dengan makna tangan tetapi tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Ini

pandangan yang sesat lagi menyesatkan kerana apabila diisbatkan kepada Allah sifat tangan walaupun kita

katakan ia tidak sama dengan makhluk sebenarnya kita telah menjisimkan Allah. Seumpama kita katakan

“sampah berbau wangi”. Bila kita sebut sampah maka sudah jelas ia berbau busuk walaupun kita sifatkan ia

berbau wangi. Bila kita kata tangan Allah sebenarnya kita telah menjisimkan Allah Ta’ala walaupun kita katakan

tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk.

5) Mahasuci Allah daripada sama dengan makhluk samada bertangan, duduk, naik turun dan sebagainya

daripada sifat makhluk. Firman Allah Ta’ala;

شيء كمثله ليس

“ Tidak ada yang seumpama denganNya (Allah) sesuatupun”

6) Kenapa Allah Ta’ala menyebut dengan dua tanganNya? Untuk memuliakan Adam. Kata ulama’: خلقه أضاف

له W تكريما نفسه إلى

“Allah menyandarkan ciptaanNya kepada diriNya sebagai memuliakan baginya”

Kerana ayat ini ditujukan kepada iblis yang enggan sujud kepada Adam dengan pertanyaan apa yang menegah

kamu (iblis) untuk sujud kepada apa yang aku jadikan dengan zat aku bukan dengan perantaraan ayah dan ibu

kerana Adam dijadikan tanpa ayah dan ibu seperti yang kita sudah maklum. Perumpamaan dengan

menggunakan dua tangan lebih hebat daripada satu tangan kerana telah maklum kepada kita sesuatu kerja yang

Page 16: Hindari Memahami Ayat

besar tidak dilakukan dengan sebelah tangan. Ini kefahaman yang disebut oleh Imam Zamakhsyari di dalam

kitab Al-Kassyaf dalam menjelaskan maksud dua tangan. Berkata sebahagian ulama’ ;

واسطة : بغير خلقت لما بيدي خلقت لما

“Bagi apa yang Aku jadikan dengan dua tangan Aku bermaksud bagi apa yang aku jadikan tanpa perantaraan”

7) Mengikut tafsir jalalain oleh dua Imam besar Al-Imam Al-’Allamah Jalaluddin Al-Mahalli dan Al-Imam

Al-‘Allamah Jalaluddin As-Suyuti menyebut dalam mentafsir ayat di atas;

خلقه الله تولى مخلوق كل فإن آلدم تشريف وهذا وأمي أبي واسطة غير من أي خلقه توليت أي

“Ialah Aku (Allah) meguasai kejadiannya (Adam) ialah tanpa perantaraan ayah dan ibu dan ini memuliakan bagi

Adam. Sesungguhnya setiap makhluk Allah Ta’ala menguasai ciptaaNya”

8) Di dalam At-Tafsir Al-munir oleh Dr Wahbah Zuhaili : Aku menjadikannya (Adam) sendiri tanpa perantaraan

Ayah dan Ibu dan Al-Yad bermaksud Al-Qudrah (kuasa Allah bukan tangan dengan maksud anggota) Juz :23-24

mukasurat : 229 Cetakan : Darul Fikr, Syiria.

9) Perkataan “yadun” yang bermaksud tangan di dalam bahasa melayu merupakan majaz ( perkataan yang

dipinjam bukan dengan makna asal atau hakiki) di dalam pengajian ilmu balaghah bahasa arab.

Sebagai contoh di dalam bahasa melayu kita juga ada menggunkan simpulan bahasa seperti “Abu seorang yang

panjang tangan” Apakah ia bermaksud tangan Abu benar-benar panjang atau ia simpulan bahasa untuk

menyatakan Abu seorang pencuri? Sudah tentu jawapannya ialah untuk menunjukkan makna Abu seorang

pencuri bukan bermaksud tangan dia benar-benar panjang.

Simpulan bahasa ini bukan merujuk kepada majaz di dalam bahasa arab kerana majaz itu seperti kita katakan

bulan tersenyum atau ombak memeluk pantai tetapi simpulan ini untuk menunjukkan perkataan tangan di sini

bukan bermaksud tangan yang hakiki seperti zahirnya.

Jika orang melayu tidak memahami simpulan bahasa ini, menunjukkan kejahilan dia terhadap bahasa melayu

dan orang yang tidak memahami majaz ini menunjukkan kejahilan dia terhadap balaghah bahasa arab. Al-Quran

merupakan kalamullah. Bahasanya disebut sebagai “ablagh” (balaghah yang paling tinggi) sehingga cabaran

Allah Ta’ala kepada orang kafir untuk membuat satu surah seumpaman surah Al-Kauthar pun mereka tidak

mampu. Apatah lagi kita orang melayu dalam memahami kalamullah ini.

Oleh sebab itu berkata Mujahid dalam mentafsirkan ayat ini;

الرحمن : : ” ” [ : ربك وجه ويبقى كقوله أنا خلقت لما مجازه ، والصلة التأكد بمعنى هنا ها اليد مجاهد ربك ] 27قال يبقى أي

Tangan di sini dengan makna penguat dan kaitan. Majaznya ( perkataan yang dipinjam bukan dengan makna

asal atau hakiki) bagi apa yang aku (Allah) jadikan. Seperti Firman Allah Ta’ala : Kekal wajah Tuhan kamu [ ar-

rahman : 27 ] bermaksud kekal Tuhan kamu.

10) Berkata As-Shahrastani di dalam kitab Milal Wa Nihal:

قلب : ( ) رواية عند بإصبعه وأشار بيدي خلقت لما تعالى قوله قراءة عند يده حرك من قالوا وأحمد والشافعي مالكا األئمة إن

… أصبعه وقطع يده قطع وجب الحديث الرحن أصابع بين المؤمن

Sesungguhnya imam-imam, Malik, Syafie dan Ahmad berkata : Sesiapa yang menggerakkan tangannya ketika

membaca firman Allah Ta’ala (ayat 75 surah mujadilah) dan mengisyaratkan jarinya ketika membaca riwayat

“Hati manusia di antara jari-jari Allah”- Al-Hadis, wajib dipotong tangan dan jarinya. (Di naqalkan daripada kitab

syarah jauharatul tauhid bagi Imam Al-Bajuri mukasurat 166).

11) Cuba lihat tafsiran sahabat seperti Ibnu Abbas yang di doakan oleh Nabi SAW “ Ya Allah, Faqihkan dia ( ibnu

Abbas) di dalam agama dan ajarkan dia takwil” dan tafsiran Mujahid, Qatadah, At-Thauri dan lain-lain di dalam

mentafsirkan ayat;

بأيد بنيانها والسماء

Tafsiran mereka “Kami menjadikan langit dengan (qudrat) kuasa kami”. ( Tafsir Ibnu Kathir Juz : 4 Mukasurat :

237 )

Bagaimana untuk menolak pandangan yang mengatakan jika kita takwilkan “yadun” kepada makna kuasa

bermaksud ada dua kuasa?

1) Tanya kembali kepada dia, Allah Ta’ala menjadikan Adam dengan dua tangan atau dengan kuasa Allah

Ta’ala?

Jika dia tidak mahu menta’wil ayat ini kepada kuasa bermaksud dia menafikan sifat kuasa Allah untuk

menjadikan Adam. Sedangkan kita faham bahawasanya setiap mumkinat ( perkara yang harus ada) itu ta’luq

Page 17: Hindari Memahami Ayat

dengan sifat qudrat (kuasa) Allah. Dengan perkataan yang lain semua perkara yang dijadikan oleh Allah dengan

sifat kuasa Allah Ta’ala bukan dengan tangan yang kita fahami. Jika kita katakan yadun dengan maksud tangan

secara langsung kita telah menafikan kuasa Allah Ta’ala menjadikan dengan sifat kuasa. Sedangkan sifat kuasa

merupakan sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala. Sesiapa yang menafikan Allah Ta’ala bersifat dengan sifat kuasa

hukumnya kufur. Dalil Allah Ta’ala berkuasa ialah firman Allah Ta’ala ;

قدير شيء كل على الله إن

“Sesungguhnya Allah berkuasa di atas setiap sesuatu”

2) Di dalam Al-Quran Allah menggunakan kalimah satu tangan, dua tangan, dan tangan-tangan. Jika kita

katakan Allah ada dua tangan. Bagaimana dengan ayat yang mengatakan satu tangan dan ayat yang

mengatakan tangan-tangan yang lebih daripada dua?

3) Tanyakan juga kepada mereka bagaimana ayat yang Allah Ta’ala menggunakan perkataan “nahnu” (kami).

Apakah itu menunjukkan kepada Allah ramai?

Ayat-ayat yang menyebut perkataan tangan tetapi bukan dengan maksud tangan ;

1) (Surah Al-Mujadilah : 12) صدقة نجواكم يدي بين فقدموا

Di dalam ayat ini Allah menyandarkan perkataan tangan kepada “najwa”. Najwa bermaksud perbualan rahsia.

Apakah perbualan rahsia juga ada tangan? Jadi tangan di sini bukan bermaksud tangan seperti zahirnya tetapi

hanya majaz seperti yang telah dijelaskan di atas.

2) (Surah Al-A’raaf : 57) JهJ حKمIت Iر KيIدI ي IنK Iي ب W را KشM ب IاحI ي gالر Mل Jس KرM ي OذJي ال IوMهIو

Di dalam ayat ini disebut tangan rahmat. Rahmat di sini bermaksud hujan. Apakah hujan ada tangan?

Dua ayat di atas menafikan pandangan wahabi yang mengatakan tangan Allah dengan maksud hakiki bukan

majazi. Padahal jika diletak makna hakiki kepada dua ayat di atas amatlah menyimpang daripada maksudnya.

Justeru itu, ulama’ memahami makna yadun kepada Allah bukan dengan makna tangan yang hakiki tetapi majazi

sahaja yang perlu ditakwil kepada makna yang selayaknya seperti kuasa, ni’mat, pahala, pertolongan dan lain-

lain sepertimana takwilan ahli sunnah wal jamaah daripada ulama’ khalaf dan salaf demi menjaga kemurniaan

akidah umat Islam.

Jika Allah ada tangan bagaimana golongan wahabi ingin menjawab kepada persoalan ayat ini. Firman Allah

Ta’ala;

واالكرام الجالل ذو ربك وجه ويبقى فان عليها من كل

“Semua yang ada di atas dunia akan binasa dan yang kekal wajah Tuhan kamu yang mempunyai ketinggian dan

kemuliaan”

Ayat ini menyatakan semua akan binasa kecuali wajah Allah. Di mana tangan Allah? Apakah tangan Allah juga

binasa? Dangkal sungguh fahaman yang mengatakan Allah bertangan seperti mana akidah golongan yahudi.

Wajah di sini bermaksud zat Allah yang tidak bertangan dan berwajah seperti fahaman wahabi atau salafi yang

mendakwa mengikut salaf tetapi menyimpang daripada akidah salaf yang sebenar. Jika Allah bertangan sudah

tentu Allah akan menyebut di dalam ayat di atas tangannya juga kekal. Mana mungkin tangan Allah juga binasa.

Diakan Allah yang bersifat dengan sifat baqa’ (tidak binasa dan kekal selama-lamanya).

Kesimpulannya :

1) Tidak salah kita mentakwilkan ayat dua tangan dengan maksud kuasa sepertimana kenyataan ulama’ yang

telah ana bawakan. Dua tangan tidak merujuk kepada bilangan dua kuasa kerana sememangnya tangan itu dua.

Mewakili Kiri dan kanan. Seperti kita katakan melihat dengan dua mata. Sememangnya melihat dengan

menggunakan dua mata bukan dengan dua telinga tetapi ia sebagai jalan taukid (menegaskan) lagi kita benar-

benar melihat. Menggunakan dua tangan menunjukkan kita benar-benar buat dalam keadaan bersungguh.

2) Kuasa merupakan sifat wajib bagi Allah adapun tangan merupakan sifat yang mustahil bagi Allah kerana

bersalahan dengan sifat mukhalafatuhul lilhawadith.

3) Mengisbatkan tangan bagi Allah boleh menyebabkan kufur dan murtad kerana menyandarkan sifat yang tidak

layak bagi Allah dan mensyirikan (menyekutukan) Allah dengan makhluk.. Nauzubillahi min zaalik. Awasi dan

jauhi daripada i’tiqad sebegini.