HERMENEUTIKA-GADAMER-baru

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) ANATOMI TEORI FILSAFAT HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER DIALOGIS HISTORIKALITAS DALAM MEMAHAMI TEKS

Disusun Oleh : Salahudin NIM: 201010270211017 Dosen Pembina : Dr. Vina Salviana, M.Si

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2011

1

ANATOMI TEORI FILSAFAT HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER DIALOGIS HISTORIKALITAS DALAM MEMAHAMI TEKS

Oleh : Salahudin

Beberapa bulan yang lalu, Program Studi

Sosiologi

Pasca Sarjana

Universitas Muhammadiyah Malang mengadakan seminar Hermeneutika. Melalui kegiatan tersebut ada cerita yang patut dicermati. Ketika saya mengajak teman untuk menyaksikan seminar tersebut muncul pertanyaan yang tertuju ke saya, apa sih hermeneutika itu, koq saya baru mendengar istilah itu. Begitulah pertanyaan sebagian besar teman saya. Saya spontan menjawab, yang dibahas dalam hermeneutika itu adalah bagaimana cara kita menafsirkan teks. Begitulah jawaban saya tanpa pengetahuan mendalam tentang hermeneutika. Yang ingin saya sampaikan pada cerita di atas adalah begitu asingnya istilah hermeneutika bagi sebagian besar masyarakat akademik. Hermeneutika masih menjadi momok bagi akademik, padahal praktisnya, kerja hermeneutika adalah kerja yang sering kita lakukan dalam kehidupan kita. Hanya saja kita tidak memahami kalau yang dilakukan adalah hermeneutika. Misalnya, ketika kita membaca buku, maka disitu kita sedang berhermeneutik. Tulisan berikut ini sedikit membantu kita untuk memahami istilah hermeneutika khususnya hermeunitika Hans Georg Gadamer.

2

A. Pengantar, Perkembangan menuju Hermeunitika Seperti yang kita pahami pada umumnya, ilmu sosial adalah ilmu dinamis yang mengalami perkembangan seiring perkembangan zaman. Selain itu, mendorong manusia untuk masuk pada zona multi persepsi dan penafsiran, akhirnya menciptakan space perdebatan yang tak tersudahkan. Sosiologi bagian dari ilmu sosial mengalami hal yang digambarkan tersebut. Boleh dikatakan perkembangan ilmu sosiologi tidak menemukan titik akhir jaman (istilah Francis Fucuyama yang menegaskan berakhirnya ideologi). Sekali lagi, sosiologi tidak mengenal istilah akhir zaman seperti yang digambarkan oleh Francis Fucuyama. Tidak berlebihan kami mengatakan, sosiologi berkembang sampai manusia lenyap dimuka bumi. Hingga saat ini, ilmu sosiologi mengalami perkembangan dari masa ke masa, hal ini ditandai adanya istilah sosiologi klasik, sosiologi neoklasik, sosiologi moderen, sosiologi kontemporer, sosiologi posmoderen, sosiologi poskolonialisasi. Selain itu, dilihat dari paradigma keilmuan, sosiologi mengalami perkembangan drastis, mulai paradigma positivisme, strukturalisme,

neostrukturalisme, konflik dialektika, hingga pada paradigma kritis. Paradigma tersebut bukan diskontiunitas, namun nyambung antara satu dengan yang lain. Kata nyambung disini bukan dalam satu kesatuan yang utuh, tetapi kontradiktif, bahkan saling mengharamkan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, paradigma konflik dialektika muncul karena kritikan atas paradigma struktural fungsional (nyambung), dua paradigma ini memiliki perbedaan atas fakta sosial (kontradiktif).

3

Melalui ilustrasi di atas penulis ingin menyampaikan, perkembangan ilmu sosial terutama ilmu sosiologi berangkat dari adanya penafsiran dari aktor atas teks yang sudah ada sehingga melahirkan paradigma baru, dan begitu seterusnya. Proses demikian dikenal sebagai proses hermeunitika (penafsiran). Kerja hermeunitika adalah kerja yang wajib kita lakukan apalagi dalam hidup di era modernisasi, teknologisasi, dan informasisasi yang serba instan. Oleh karena itu, perlu kirannya kita untuk memamahi secara jelas apa yang dimaksud dengan hermeunitika, bagaimana proses kerjanya, dan dengan pendekatan apa kita melakukannya. Istilah hermeneutika sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, yaitu zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. Istilah tersebut mengalami perkembangan hingga zaman kontemporer Imanuel Kant, Heidegge, Hans Goerg Gadamer, Jurgen Hebermas, Deridda, dll. Tulisan ini dibahas khusus hermeunitika kontemporer Hans Georg Gadamer, dengan alasan. Pertama, Gadamer adalah seorang filsuf Jerman yang sangat dekat dengan generasi pertama hermeunitika kontemporer, yaitu Heidegger. Kedua, secara historis dan beberapa literatur yang dapat dipercaya, Gadamer dalah tokoh filsuf Jerman yang tidak memiliki kepentingan kekuasaan kepada Negara dan pemerintahan, dan bahkan dia tidak pernah bersentuhan dengan partai politik. Ini sedikit alasan yang mendorong penulis untuk menulis Gadamer dalam Filsafat Hermeneutika. Sistimatika tulisan diawali dengan pembahasan Biografi teoritisi Gadamer, dan dilanjutkan dengan pembahasan sub sub pertanyaan berikut ini: apa nama teorinya, teori apa saja dan pemikir siapa saja yang mempengaruhi teorinya, karya

4

apa saja yang dilahirkanya, seperti apa proposisi teorinya, bagaimana posisi teorinya antara realitas objektif dan subjektif, realitas apa yang dikaji (apakah mikro atai makro), bagaimana posisi aktornya (apakah otonom atau dependen struktur), lokus realtias apakah body atau mind, bagaimana tetodologinya, bagaimana posisi Gadamer terhadap kekuasaan, bagaiamana kritikan terhadap hermeneutika Gadamer. Berikut penjelasanya.

B. Biografi Teoritisi Hans Georg Gadamer Literatur pembahasan khusus Biografi Hans Georg Gadamer dalam bentuk buku mapun jurnal belum dapat ditemukan di Indonesia, kalaupun ada hanya sebagai pengantar dalam menelusuri pokok- pokok pikirannya. Misalnya, Agus Darmaji alumni Program Studi Filsafat Universitas Indonesia lulusan tahun 1999 mengangkat judul tesis Pergeseran Hermeneutik Ontologis Melalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer. Dalam tesisnya itu, tidak ada satu sub pembahasan pun yang membahas biografi Gadamer. Melalui tulisan ini, penulis menyadari untuk menguraikan biografi Gadamer hanya sedikit dibantu oleh beberapa situs yang membahas biografi singkat Gadamer, yaitu situs wikipedia (situs ini dipercaya sebagai situs yang cukup lengkap dan akurat membahas biografi dan pkok- pokok pemikiran ilmuwan dunia mapun regional). Berikut penjelasn wikipedia tentang biografi Hans Georg Gadamer. Gadamer adalah seorang filsuf yang lahir di Marburg pada tahun 1900 dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di

5

Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain. Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hnigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922. Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Lwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann. Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masamasa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi

6

dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada 2002. Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jrgen Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang besar baik secara pribadi maupun filosofis. Demikianlah biografi singkat Hans Georg Gadamer . Sekilas kita menyimak, Gadamer bukanlah orang pertama yang melahirkan konsep

7

hermeneutika, namun jauh darinya. Hermeneutika telah muncul sejak zaman yunani kono (zaman Socrates, Plato, Aristoteles). Kemudian dikembangkan oleh generasi ilmuwan yang cakrawala pemikiranya tidak diragukan, misalnya Hegel, Karl Marx, Derrida, Immanual Kant, dan hingga pada pemikiran kontemporer seperti Heidegger dan Gadamer yang akan kita ulas pokok hermeneutikanya.

C. Filsafat Ontologis Hermeneutika Josef Bleicher (2007) membagi hermeneutika kedalam tiga bagian yaitu Teori Hermeneutika, Filsafat Hermeneutika, dan Hermeneutika Kritis. Tiga bagian tersebut memiliki kajian berbeda. Teori hermeneutika bertitik pada kajian untuk memahami apa yang dimaksud dengan konsep hermeneutika. Filsafat hermeneutika terfokus pada kajian dalam menemukan metode hermeneutika. Hermeneutika kritis mengkaji bagaimana menerapkan konsep hermeneutika kedalam tindakan praktis. Meskipun terdapat perbedaan kajian, ketiga bidang hermeneutika tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun memiliki kesatuan historis. Hal ini dilihat dari pemikir- pemikir hermeneutika yang kajian hermeneutiknya tidak dibatasi oleh ruang pembagian tersebut. Misal, Hans Goerg Gadamer oleh Josef Bleicher ditempatkan pada bidang kajian filsafat hermeneutika. Meskipun demikian, Gadamer juga mengkaji hermeneutika pada bidang kritis dan mengkaji pemahaman epistimologis hermeneutika. Inilah yang dimaksud dengan kesatuan historis.

8

Kenapa Josef Bleicher menggolongkan Gadamer pada bidang filsafat hermeneutika? Satu alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut, Gadamer menghabiskan banyak waktu dalam membicarakan pertanyaan, metode apa yang tepat untuk melakukan pemaknaan (penafsiran) terhadap teks, dan bagimana menerapkan pemaknaan. Hal ini dapat dijumpai pada isi bukunya yang berjudul Truth and Method. Pertanyaan pertama terkait dengan filsafat, dan pertanyaan kedua terkait dengan ontologis hermeneutika. Dapat disimpulkan, hermeneutika Gadamer berada pada dua wilayah kajian yaitu filsafat dan praktis (ontologis) hermeneutika. Inilah yang melatar belakangi Agus Darmaji mengatakan pergeseran pemikiran Gadamer dari epistimologis ke ontologis. Pergeseran tersebut melalui fokus kajian Gadamer tentang bahasa. Berikut ini diuraikan khusus pemikiran Gadamer tentang Ontologis Hermeneutika. Uraian berikut penulis menjadikan Tesis Agus Darmaji tentang Pergeseran Hermeneutika Ontologis melalalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer sebagai rujukan utama. Merujuk pada Buku Gadamer yang berjudul Truth and Metodh, Agus Darmaji menulis, Bagi Gadamer, hermeneutik lebih bersifat ontologis ketimbangan epsitemologis. Ia mengawali dengan analisa hermeneutis pengalaman estetis. Analisis tersebut mendasari analisis hakikat pemahaman hermeneutik. Baginya, pemahaman selalu terikat dengan aspek historisitasnya dan tidak melakukan usaha pemahaman dari kesadaran kosong. Aspek kesejarahan dan unsur-unsur subjektik penafsir menjadi prasyarat usaha pemahaman (dalam abstraksi tesis Agus Darmaji,1999). Dalam penjelasan ontologis hermeneutik, Gadamer menguraikannya dengan proposisi berikut ini:

9

1. Historikalitas. Proposisi historikalitas adalah penyadaran bagi subjek (interpretator teks) dalam melakukan analisis (penafsiran teks) diharuskan untuk tidak terlepas dari kajian pengalaman- pengalaman (historis) yang berkatian dengan teks. Pemahaman Gadamer tentang sejarah tidak seperti pemahan orang pada umunya, yang menganggap sejarah adalah bagian dari teks mati (teks mati adalah pemahan positivistik yang beranggapan sejarah itu mati dan tidak berkontribusi bagi masa kini atau masa depan). Bagi Gadamer, sejarah adalah objek dinamis yang perlu dikaji oleh subjek dalam menentukan objektivitas teks (objek). 2. Prasangka Historikalitas Proposisi ini berangkat dari pemikiran Heidegger yang beranggapan dalam penafsiran sejarah, diusahakan subjek melakukan visualisasi dan imajinasi pemikiran.Gadamer mendefinisikan penjelasan tersebut adalah kerja prasangka subjek. Subjek dalam mengalisis pengalaman diberi kesempatan untuk melakukan prasangka atas sejarah teks. Menurut Heidegger, dalam penafsiran sejarah, subjek tidak berangkat dengan otak kosong, subjek harus berangkat dari prasangka, ide dan gagasan. Tanpa hal tersebut subjek tidak bisa menggiring sejarah pada posisi dinamisasi. Karena pada intinya, kerja hermeneutika adalah kerja dialogisasi. Oleh karean itu sejarah harus dibentuk sebagai objek dinamisasi melalui prasangka subjek. Prasangka subjek adalah pertanyaan awal atas objek. Ingat, pertanyaan atau prasabgka hanyalah proses bukan akhir.

10

3. Dialogisasi Hermeneutika Propoisi ini menjadi hal yang penting dalam hermeneutika Gadamer dengan alasan, pertama,melalui dialogisasi subjek dan objek mampu menghindari pemahaman dogmatisasi atas kebenaran (menurut Gadamer, dogmatisasi adalah istilah haram dimliki oleh hermeneutikasian),kedua, dialog adalah prasyarat utama dalam membahasakan teks, ketiga, dialog adalah prsayat utama dalam menemukan titik tengah atas multitafsiran teks. 4. Linguistikalitas hermeneutik. Bagi Gadamer, dalam hermeneutika bahasa menjadi kata kunci utama setelah dialogisasi. Bahasa dalam pandangan Gadamer tidak seperti yang dipahami oleh orang pada umumnya. Menurut Gadamer, bahasa adalah individu dan struktur sosial (tradisi, budaya, norma, dan nilai). Bahas berperan penting bagi pembentukan prilaku subjek maupun teks. Oleh karena itu memahami bahasa adalah memahami teks. Beberapa proposisi di atas akan dijelaskan lebih lanjut pada sub pembahasan proposisi teoritisi.

D. Teori dan Ilmuwan- Ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Sebagaimana yang diajarkan dalam hermeneutika, tidak syah hukumnya dalam memahami teks tanpa mempelajari lingkungan sosial disekitar teks. Tidak syah hukumnya dalam memahami hermeneutika Gadamer tanpa memahami teori dan ilmuwan- ilmuwan yang memengaruhi.

11

Website Wikipedia (2011) menjelaskan ada banyak pemikir yang mempengaruhi terbentuknya proposisi hermeneutik Gadamer, diantaranya, Plato, Aristoteles, Dari sekian pemikir tersebut, Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer adalah tentang pemahaman historikalitas dalam

memahami teks. Berikut Agus Darmaji menulis, Dalam menjelaskan aspek baru dari hermeneutika, gadamerbanyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu- ilmu hermeneutik. Secara terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ada selalu dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu. Maka untuk sampai ada kita perlu mengenal ada itu sendiri. Ini berarti kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu dan menurut historitasnya (Agus Darmaji,1999:32). Penjelasan Agus Darmaji di atas menujukan adanya pengaruh besar Heidegger terhadap Gadamer dalam melahirkan konsep historikalitas, yaitu memahami teks adalah memahami sejarah dengan prinsip ruang dan waktu. Sejarah adalah kebenaran masa lalu, dan kebenaran masa lalu tidak selalu benar pada masa kini. Inilah menurt Gadamer, hermeneutika dengan prinsip ruang dan waktu. Selain berpengaruh terhadap lahirnya proposisi historikalitas, Heidegger melalui uraiannya mengenai pra-struktur pemahaman (pre-stucture of

understanding) dan aspek kesejarahan instrinsik (intrinsic historicality) eksistensi manusia, menjelaskan bahwa interpretasi atau penafsiran tidak pernah tercapai

12

jika tidak ada prasangka sebelumnya (dalam Agus Darmaji, 1999,23). Penjelasan tersebut menginspirasi lahirnya proposisi prasangka hermeneutika Gadamer. Menurut Gadamer, dalam proses memaknai interpretator sebagai subjektivis wajib memunculkan prasangka- prasangka terhadap teks. Karena dengan prasangka, interpretator mampu menstimulus untuk melakukan dialogisasi dengan teks. Meskipun demikian, menurut Gadamer prasangka bukan tolak ukur untuk membenarkan teks. Pembahasan ini akan diulas pada sub pembahasan selanjutnya. E. Beberapa Karya Hans Georg Gadamer. Seperti yang kita pahami, Gadamer adalah ilmuwan produktif yang mengembangkan filsafat hermeneutika. Gadamer adalah intelektual produktif (intelektual produktif adalah istilah Gramsci yang ditunjukan pada ilmuwan yang banyak melahirkan karya monumental dalam pembebasan manusia dari doktrin struktur otoriter). Wikipedia mencatat (2011), Karya-karya asli monumental hans Georg Gadamer adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan Truth and Method. Dari sekian karya monumentalnya tersebut, karya Truth and Method yang mengantarkan Gadamer dalam pergumulan intelektual dengan sejawatnya, dan dengan melalui itupula Gadamer dikenal sebagai tokoh utama filsafat hermeneutika. Berikut catatan Josef Bleicher, Filsafat hermeneutic yang dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer mencakup dua unsure utama: pertama, filsafat (transcendental) yang dibangun sebagai nsebuah hermeneutika mengenai faktistas (Hedegger) dan hermeneutika filosofis (Gadamer); kedua, teori hermeneutika (Dilthey, Betti) yang diberi kerangka filosofis (2007,171).

13

Josef Bleicher menempatkan Gadamer sebagai tokoh utama hermeneutika filosofis. Penempatan tersebut dilatarbelakangi oleh pokok- pokok pikirannya tentang filsafat hermeneutika melalui bukunya yang berjudul Truth and Method. Kembali mengutip ungkapan Josef Bleicher berikut ini, Argumen utama filsafat hermeneutika dapat diilustrasikan paling baik dengan menunjuk pada judul buku Gadamer Truth and Method(2007). Melalui bukunya itu pula Gadamer mendapatkan banyak tanggapan dalam memperkuat proposisi- proposisinya dan juga tanggapan kritik dari rekan

sejawatnya (misalnya, Jurgen Hebermas, Derrida,dll).

F. Proposisi Teoritisi Di bawah ini diuraikan beberapa proposisi dalam filsafat hermeneutika Hans Georg Gadamer. Berikut penjelasanya. 1. Hermeunitika Historikalitas

Hermeunitika adalah sebuah konsep interpretatif terhadap simbol, tradisi, tindakan, teks, dan bentuk- bentuk material lainnya yang bersifat konkrit, misalnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ilmu hermeneutika

terdapat subjek dan objek. Subjek adalah Interpretator sedangkan Objek adalah sasaran interpretatif. Peran subjek terhadap objek adalah mendefinisikan apa yang dimaksudkan oleh objek. Dalam proses pendefinisian itu dibutuhkan metodelogis yang tepat sehingga kesimpulan atau hasil interpertatif tidak bias. Oleh karena itu, Hermeunitika bukan membicarakan kebenaran dari objek interpretatif tapi metodelogis yang

14

digunakan untuk memamahi apa yang dimaksud oleh objek interpretatif. Dibawah ini akan dibahas hermeunitika menurut pemahaman Gadamer. Gadamer adalah salah satu tokoh yang mengembangkan Hermeunitika dengan menggunakan pendekatan metodelogi historikalitas. Pemahaman Gadamer terhadap pendekatan historiskalitas adalah proses interpretasi terhadap objek dengan memamahi sejarah munculnya objek itu. Apa yang melatarbelakangi sehingga objek itu muncul, bagaimana sejarah mempengaruhinya. Demikian pertanyaan untuk

menginterpertasikan objek.

Menurut Gadamer Interpertasi tanpa

menggunakan pendekatan historis akan sangat sulit untuk memahami teks sebagai objek interpretatif. menurut interpretator Selain untuk ketepatan historis memahami juga dapat dalam

(objektivitas), mendorong

Gadamer untuk

pendekatan memperluas

cakrawala

mengembangkan teks untuk masa depan. .merupakan tugas hermeunitika filosofis untuk membuktikan momen historis dalam memamahi dunia dan menentukan produktivitas heremeunitikanya (Gadamer dalam Josef Bleicher,hal 159). Dari penjelasan singkat Gadamer tersebut menjadi jelas pendekatan historis memberi kontribusi positif dalam memahami dan

mengembangkan teks secara objektif. Untuk mendapatkan hasil tersebut dibutuhkan peran ilmiah interpertator. Dalam hermeunitika interpertator dituntut untuk aktif menganlisa dan bahkan harus berprasangka terhadap teks interpretatif. bagaimanapun juga, interpretator dapat memainkan prasangkaprasangkannya sendiri dalam usahanya untuk menilai klaim- klaim

15

teks akan kebenaran, sehingga mulai menggantikan titik pijak awalnya yang terisolir dan perhatianya atas individualitas pengarang (Gadamer dalam Josef Bleicher,hal 161). Dari penjelasn Gadamer tersebut mendorong interpretator untuk sedikit bebas dari klaim kebenaran teks. Hal ini dilakukan melalui prasangka prasangka interpertator atas teks interpretatif. Meskipun demikian pijakan akhir hermeunitika atas objek tetap kembali pada kebenaran sejarah yang mempengaruhi kebenaran teks tersebut, bukan penuh dari prasangka interpretator. Penyaringan prasangka interpertator dilakukan dengan melalui analisa data yang menghubungkan antara teks dan sejarah munculnya teks. Hasil analisa tersebut, oleh Gadamer disebut prasangka legitimate. Berikut bagan yang dapat menjelaskan uraian tersebut: BAGAN PROSES HERMEUNITIKA HISTORIKALITAS

Historis Teks

Interpretator

Prasangka Interpretator

Analisis Hermen eutika

Hasil Hermeneutik atas Teks/ Prasangka Legitimate

Teks Interpretatif

Sumber: Kesimpulan Penulis berdasarkan penjelasan Josef Bleicher tentang Hermeunitika Gadamer dalam bukunya yang berjudul Hermeunitika Kontemporer, Cetakan 2007.

16

Bagan diatas menjelaskan proses hermeunitika historikalitas Gadamer yang dapat disimpulkan bahwa terdapat enam elemen vital dalam hermeunitika historis diantaranya sebagai berikut: 1. Interpretator. Adalah subjek hermeunitika. 2. Teks Interpretatif. Adalah objek hermeunitika. 3. Historis teks. Adalah pendekatan metodelogis hermeunitika. 4. Prasangka Interpretator. Adalah asumsi bebas interpretator atas teks. 5. Analisa data. Adalah proses reduksi antara teks dan historis teks. 6. Prasangka Ligitimate. Adalah prasangka yang sudah dibuktikan oleh pembenaran historis atas teks. Hubungan antar elemen di atas bagai hubungan biologis anatomi tubuh, bagian bagian sistem saling membutuhkan. Misalnya, kembali mengutip Gadamer hermeunitika tanpa penjelasan historis tidak akan menemukan hasil objektivitas ilmiah. Dan hermeunitika akan mengalami kematian teks tanpa ada prasangka interpretator dalam mengembangkan cakrawala hermeunitika. Begitulah kerja elemen hermeunitika historikalitas Gadamer. 2. Hermeunitika, Proses Dialogis Dialektis

Memahami teks adalah proses dialogis antara interpertator dengan teks. Interpretator melakukan komunikasi intensif terhadap teks sebagai objek interpretatif. Interpretator menyampaikan pertanyaan- pertanyaan penting terhadap objek. Pertanyaan- pertanyaan itu menurut Gadamer harus

17

mampu mengeksplorasikan hakikat yang ada dibalik teks. Inilah tugas utama interpretator dalam hermeunitika teks. Tugas utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya sebuah teks menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks adalah memahami pertanyaan. Pada waktu yang sama, sebuah teks hanya menjadi sebuah objek interpretasi dengan menghadirkan interpretator yang bertanya (Josef Bleicher,2007:166). Proses tanya jawab yang demikian memungkinkan terjadinya keterbukaan antara interpretator dengan objek interpretatif. Pertanyaan yang disampaikan oleh interpretator menjadi hal penting bagi teks untuk mengeluarkan jawaban atas teks yang dituangkan. Hanya saja yang perlu diingat, jawaban teks adalah jawaban merupakan hasil kerja interpreator melalui proses seperti yang dijelaskan pada pembahasan historiskalitas hermeunetika di atas. Pada proses yang sama, teks tidak hanya menyiapkan jawaban atas pertanyaan interpretator namun juga menyampaikan pertanyaan kepada interpretator. Pertanyaan teks dijawab dengan penelusuran historis atas munculnya teks tersebut. Dapat disimpulkan, hubungan interaksi antara interpretator dan objek interpretatif (teks) adalah hubungan dinamis dan dialektis. Dalam hermeunitika, teks bukan lagi benda mati seperti yang kita pahami, tapi jauh dari itu, ia menyampaikan argumen- argumen ilmiah (ilmiah perspektif teks) untuk dipertahankan dan dipertanggung jawabkan terhadap interpreator atau pembaca. Interpretator tentu memiliki teks dengan peran yang sama, yaitu yang

mempertanyakan

kebenaran

berbagai

proposisi

komprehensif, yaitu proposisi historis, makna teks, prasangka legitimate,

18

dan beberapa proposisi lain yang dianggap dapat membongkar makna dibalik teks. Singkatnya hubungan tersebut dapat digambarkan seperti berikut ini. Hubungan Dialogis Dialektis Hermeunitika

Teks Dialogis Dialektis

Penafsir Berangkat dari hubungan yang demikian, hermeunitika Gadamer bukan hermeunitika medotelogis tapi jauh dari itu, yaitu hermeunitika dialogis dialektik. Bagi Gadamer penafsiran teks melalui pendekatan metode akan menjerumuskan pada hubungan yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta menciptakan kebekuan berfikir dan terisolir. Ada baiknya kita mencermati tulisan Jean Grondin - Abdul Qodir Shaleh tentang hermeunitika Gadamer dalam bukunya yang berjudul Sejarah hermeneutik : dari Plato sampai Gadamer berikut ini. Inti dari hermeneutika Gadamer adalah keyakinannya bahwa proses memahami (interpretasi) secara ontologis tidak menemukan dirinya dalam bentuk-bentuk metodis melainkan dalam bentuk dialektika. Dalam hal ini metode diartikan sebagai struktur yang cenderung menyederhanakan proses penafsiran, manipulatif, dan stagnan untuk memudahkan tindakan-tindakan yang ilmiah (claim). Sebaliknya, dialektika justru membuka ruang bagi kebebasan dalam proses tanya jawab sehingga memungkinkan proses penemuan kebenaran berlangsung secara kontinyu bagi ilmu-ilmu kemanusiaan terutama seni dan kesusastraan (Jean Grondin - Abdul Qodir Shaleh,2010).

19

Tulisan tersebut menempatkan Gadamer sebagai filsafater hermeunitika praktis, yang mendorong individu untuk tidak terfakum pada pemahan positivis yang selalu menganggap kebenaran berlaku universalitas yaitu kebenaran sepanjang zaman (konteks kini berlaku untuk konteks yang akan datang). Pemahaman positivis tersebut menjadi haram dalam ilmu hermeunitika. 3. Hermeneutika dan Linguistikalitas

Menurut Gadamer kunci hermeneutika adalah bahasa. Interpretasi dan dialogis adalah dua proses yang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seperti yang kita pamahi pada umumnya, bahasa adalah alat komunikasi manusia untuk melakukan kontak sosial dengan yang lainya. Sulit dibayangkan hidup manusia sebagai mahluk sosial tanpa bahasa. Tanpa bahasa dunia manusia akan mati, dan mungkin bukan hanya manusia tapi mahluk lainya juga. Bagi Gadamer, wajib hukumnya hermeunitika memposisikan bahasa sebagai alat utama dalam menemukan kebenaran objektif. Agus Darmaji (1999), dalam penelitiannya tentang pergeseran hermeneutik ontologis melalui bahasa dalam pemikiran Hans Geord Gadamer, menguraikan. hermeneutika ke wilayah linguistik, lebih dari sekedar pemahaman historis secara filosofis. Argumennya, bahwa esensi (being) itu bereksistensi melalui bahasa dan karenanya ia bisa dipahami hanya melalui bahasa. Bahasa, bagi Gadamer adalah endapan tradisi sekaligus media untuk memahaminya. Proses hermeneutika untuk memahami tradisi melalui bahasa lebih dari sebuah metode. Pemahaman bukanlah produk metode; metode tidaklah merupakan wahana yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui. Dengan demikian, bahasa mempunyai posisi sentral sebagai media yang menghubungkan cakrawala masa kini dengan cakrawala historical

20

(http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp? id=7503,2010). Pertanyaanya, dimanakah hubungan bahasa, dialogis,interpretasi, dan dialektika dalam hermeunitika. Mencermati penjelasan yang diuraikan sebelumnya hubungan ketiga elemen tersebut adalah hubungan simbiosis mutualisme, yaitu hubungan yang saling mempengaruhi dan mengisi dalam penjelasan hermeunitika. Tujuan akhir dari tiga elemen tersebut adalah mengarahkan teks mati menjadi teks hidup, yaitu teks komunikatif. Teks komunikatif adalah tujuan utama hermeunitika dalam mencari kebenaran objektif. Ingat, dalam hermeunitika kebenaran objektif yang dimaksudkan bukan kebenaran absolut aksiomatik tapi kebenaran yang memberikan ruang bagi siapapun untuk mengkoreksi, mengkritisi, meneliti, dan mendebatkannya. Kembali pada pembahasan bahasa. Bahasa menjadi media untuk menjembatani interpretator dan teks dalam menemukan kebenaran objektif. Menurut Gadamer, dalam menemukan kebenaran itu perlu dikedepankan percakapan sejati. Percakapan sejati ditandai dengan adanya keterbukaan dan kejujuran untuk menerima perspektif atau sudut pandang masing- masing orang yang berperan dalam proses pemahaman dan dalam menyelami aspek lawan bicaranya (teks).Usaha mencapai pemahaman juga mengandaikan masing- masing orang yang terlibat dalam percakapan bersedia untuk kepenuhan makna apa yang tampak asing atau bahkan berlawanan dengan pendapatnya sendiri. Jika keduanya mengalami hal yang sama, saat masing- masing bertahan dengan argumentasinya seraya mempertimbangkan argumentasi-argumentasi sebaliknya, akhirnya dimungkinkan sampai pada bahasa dan pernyataan yang disetujui bersama. Dengan kata lain, terbukalah kemungkinan terjadinya peleburan cakrawala yang berlangsung dalam bahasa (Gadamer, penterjemah Agus Darmaji,1999).

21

Dengan cara membahasakan teks segala persoalan kontradiktif ideologis, primodialisme, fasisme, dan berbagai ideologi dunia lainnya dapat berjalan dengan penuh kedamaian (kesadaran kolektif dalam istilah Josef Bleicher), karena disana ada ruang dialogis dialektis (ruang pencari penjelasan dalam menemukan titik temu, dan jika tidak menemukan titik temu akan terus diusahakan dengan cara rational debate). Berikut ini penjelasan Bleicher tentang hermeunitika Gadamer. Semua pemahaman linguistik dan linguistikalitas pemahaman merupakan kesadaran kolektif, persetujuan yang muncul dari sebuah dialog, seperti dalam interpretasi sebuah teks, yakni pokok persoalanya, mengambil tempat dengan media bahasa (Josef Bleicher (2007,170). Penjelasan singkat di atas, Gadamer ingin mengajarkan bagaimana manusia sebagai individu maupun kolektif dapat membahasakan teks yang dianuti kepada pihak lain dengan menjunjungtinggi prinsip keterbukaan dan Josef

kejujuran, bukan prinsip egoisentris dan primodialisme.Gadamer yakin sepenuhnya dalam kehidupan masyarakat multikulturalisme tidak akan menemukan kedamaian tanpa adanya ruang percakapan dialogis dialektis. Hemat penulis, ajaran Gadamer ini menjadi penting untuk dibumikan dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Dapat disimpulkan fungsi Hermeunitika Gadamer dalam proposisi bahasa, diantaranya: 1. Menciptakan teks komunikatif (melalui pembahasaan teks) 2. Menciptakan kesadaran kolektif dari diferensial sosial, politik, budaya, ideologi.

22

3. Mendorong manusia untuk menciptakan iklim rational debate. 4. Membebaskan manusia dari prasangka- prasangka sepihak. 5. Membebaskan manusia dari kebenaran aksiomatik ideologi. 6. Menciptakan budaya kritis manusia dalam bertindak dan memahami teks. 4. Hermeunitika, Makna dan Kebenaran

Sub makna dan kebenaran ini adalah sub penting bagi kita dalam memahami hermeunitika Gadamer. Bagi Gadamer manusia tidak akan bisa menemukan kebenaran sejati (kebenaran aksiomatik), sekalipun menggunakan filsafat hermeunitika seperti yang diuraikan sebelumnya. Inilah inti dari ajaran hermeunitika Gadamer. Pertanyaanya, jika tidak dapat menemukan kebenaran lalu apa tujuan hermeunitika? Kenapa Gadamer mengatakan tidak ada kebenaran sejati. Berikut penjelasan Gadamer. The furnising of assertions is not an appropriate way of saying what onen means, because the language event of understanding holds together what is said with an infinity of what unsaid in the unity of one meaning, and in this way gives it to be said are brought in to language. The words will thereby express a relation ship to the totality of being, and allow it to enter in to language. In contrast to that, anyone who only repeats what has been said will unavoidably and without exception change the sense of what has been said, because precisely in the repestition of the un spoken context of meaning the original utterence disappears. Apa yang ada di dalam pernyataan bukanlah cara yang tepat untuk mengatakan apa yang dimaksudkan seseorang karena peristiwa pemahaman bahasa sekaligus memuat apa yang dikatakan ketidakterbatasan dari apa yang tak terkatakan dalam satu kesatuan dengan ketidakterbatasan dari apa yang tak terkatakan dalam satu kesatuan makna, sehingga dengan cara demikian membuatnya dapat dimengerti.Tepatnya dengan cara ini apa yang tak terkatakan dan apa yang akan dikatakan sama- sama terkandung dalam bahasa. Maka kata- kata akan mengungkapkan suatu hubungan tertentu dengan totalitas ada dan membiarkannya masuk ke dalam bahasa itu sendiri.

23

Sebaliknya, setiap orang yang hanya mengulangi apa yang sudah dikatakan tersebut karena didalam setiap pengulangan, ungkapan asli mengenai konteks makna yang tidak dibicarakan menghilang (Terjemahan Agus Darmaji,1999). Sudah jelas, bagi Gadamer esensi kebenaran adalah relatif, yaitu tergantung bagaimana orang menafsirkannya, dan dalam konteks mana teks itu muncul. Ingat, kebenaran teks adalah kebenaran kontekstualitas bukan

universalisisme seperti kaum positivistik memahaminya. Oleh karena itu, Gadamer mewajibkan kepada siapun, jika ingin memahami teks maka pahamilah sejarah munculnya teks itu. Inilah kunci utama Gadamer dalam ilmu hermeunitika. Selain itu, kenapa kebenaran sulit dijumpai, yang tidak kalah penting adalah karena keterbatasan manusia dalam mengusai teks itu. Dalam hal ini bukan karena si penafsir tidak berusaha untuk memahami teks, tetapi karena teksnya yang tidak totalitas menyampaikan alasan- alasan atas pesan yang disampaikannya itu. Di sisilain, menurt Gadamer sesungguhnya si penafsir dan teks dalam proses dialogis dialektis ada pihak ketiga yang mengatur makna dan bahasa. Pihak ketiga itu Gadamer menyebutnya Roh. Roh berperan mengatur settingan pikiran manusia sebagai penafsir dan pembuat teks (pengarang). Sayangnya, Gadamer tidak menyebutkan secara spesifik, siapa roh itu, dan seberapa besar intervensi roh terhadap teks dan si penafsir dalam proses dialogis dialektis. Apakah sebagai pengarah agar berfikir dan berdialektika, atau totalitas dalam mengarahkan teks dan penafsir. Dalam tulisan ini penulis tidak bisa menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Hemat penulis, roh yang dimaksud oleh Gadamer adalah tangan

24

yang tidak kelihatan (abstrak immaterial), yaitu kekuatan tuhan (orang muslim menyebutnya kuasa Allah).

G. Hermeneutika: Realitas Objektif dan Subjektif Pada sub pembahasan ini perlu dipertegaskan makna realitas objektif dan subjektif. Realitas objektif dan subjektif dimaknai dari dan mulai darimana, siapa, konteks mana, kita melakukan pemaknaan dan penafsiran atas teks. Untuk memahami posisi hermeneutika Gadamer antara objektif dan subjektif perlu kita awali dengan mendiskusikan fenomenologis hermeneutika. Ada tiga tokoh dalam Truth dan Method ia sebut secara khusus dalam kaitan pemikiran

fenomenologinya. Mereka adalah edmurn Husserl (1895-1938), Graf Yorck (1836-1897) dan terutama Martin Heidegger (1889-1976) yang pernah menjadi gurunya. Mengawali kajiannya tentang fenomenologi hermeneutika, Husserl mengharuskan bagi siapun yang ingin mendefinisikan (memaknai) diri dan lingkungan sekitar perlu menempatkan posisi manusia sebagai subjek. Memahami manusia sebagai subjek adalah mengembalikan keaslian pemahaman. Penempatan manusia sebagai subjek adalah melalui kesadaran diri oleh manusia itu sendiri untuk mengatakan manusia memiliki kesadaran terhadap sesuatu. Berikut penjelasan Husserl, Dalam pemikiran mengenai konsep kehisupan, Husserl memasuki diskuis mengenai objektivitas dan subjektivitas yang menjadi tema pkok dalam pemikiran Dilthey. Menurut Husserl, kesadaran kita selalu merupakan kesadaran intensional atau selalu merupakan kesadaran yang terarah pada sesuatu. Oleh karena itu kita selalu mengatakan sadar akan sesuatu. Seperti kita ketahui fenomenologi ini lahir karena kita keprihatinan Husserl pada

25

ilmu pengetahuan yang menurutnya sedang mengalami krisis. Melalui telaah fenomenologi, Husserl berikhtiar untuk mengembalikan arti orisinalitas manusia sebagai subjek. Husserl melanjutkan kajiannya, manusia yang sadar adalah manusia yang memiliki tempat dalam mengkonstitusikan dasar- dasar yang sudah biasa bagi pengalaman manusia. Inilah makna historis dalam hermeneutika. Untuk membantu pencapaian kembali dimensi asli, hussrel membicarakan mengenai dunia kehidupan (Labenswelt). Labenswelt disini dipahami sebagai tempat dimana manusia berada dengan tingkah laku naturalnya tanpa menjadi sebuah objek melainkan mengkonstitusikan dasar- dasar yang sudah biasa bagi pengalaman manusia. Atau dengan kata lain sesuatu dunia dimana kita menghayati kehidupan sebagai mahluk historis. Labenswelt dilihat sebagai aspek dinamis, subjek ini bagi Hussrel dipandang menjadi paradigma baru yang akan menggantikan paradigma matematika yang menjadi paradigma naturalisme dan positivisme. Labenswelt ada dalam gerakan relativitas keabsahan yang konstan sehingga Labenswelt menjadi antitesis dari semua objektivisme. Pada akhir kajiannya Husserl mengalami kebuntuan berfikir dalam menemukan jawaban atas pertanyaan, apakah memahami pengalaman manusia dan diri mampu menjaga relativitas keilmuan seperti yang dijelaskan di atas. Posisi dilema antara makna subjektivitas dan objektivitas menjadi kabur. Husserl sampai pada fenomenologi transendental, adalah langkah terakhir dimana pengalaman sendiri akhirnya tidak lain daripada sebuah aktus murni, yaitu hubungan intensional murni dengan objeknya. Sampailah Husserl pada kesimpulan bahwa kita tidak padat memahami subjektivitas sebagai sebuah antitesis dari objektivitas, karena konsep subjektivitas itu sendiri di pahami dalam istilah- istilah objektif. Menurut Gadamer, Graf Yorck berhasil menyumbangkan apa yang gagal ditemukan baik dalam pemikiran Dilthey dan Husserl. Ia berhasil menjembatani antara idealisme spekulatif (istilah Hussrel) dan pendirian pengalaman baru karena Graf mendasarkannya pada konsep kehidupan komprehensif. Konsep

26

mengenai kehidupannya secara garis besar dapat dikaitkan dengan pemikiran evolusi Darwin. Menurut Graf Yorck untuk keperluan pelestarian kehidupannya, maunia membedakan dirinya dengan apa saja yang ada di luar dirinya (differensiation). Dengan kata lain kehidupan bagi seorang manusia adalah sebuah pernyataan diri (self-assertion). Dalam proses mencapai pemahan kesadaran diri itu manusia menjadi apa yang ada diluar dirinya sebagai objek ilmu pengetahuannya. Usaha manusia untuk memahami diri dalam kehidupannya itu kecuali ditempuh dengan membedakan dirinya dari apa yang ada diluar dirinya juga dilakukan dengan suatu penyesuaian (asimiliasi) yang keduanya merupakan fakta dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks. Ia memberi contoh bila ia membaca biografi tentang seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh Richard Ellmann, maka ia hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan tentang proses mental dari Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat Dilthey yang melihat hermeneutik sebagai metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Gadamer melihat bagaimana upaya Dilthey sebenarnya sia-sia karena kita tetap tidak mungkin meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna sebagaimana yang dihayati oleh si pengarang.

27

Dapat disimpulkan Hermeneutika Gadamer mengkaji tentang realitas subketif, dengan alasan sebagai berikut: dalam memamahi teks, Gadamer mengharuskan untuk memamhi si pengarang (penulis asli, bukan penulis yang menterjemahkan penulis asli). Dengan demikian, orisinalitas teks dapat dipertanggung jawabkan.

G. Hermeneutika dan Realitas Mikro Dari penjelasan yang diuraikan di atas dapat disimpulkan, fokus kajian Hermeneutika Gadamer adalah terletak pada realitas mikro, yaitu kajian yang berpusat pada manusia sebagai individu. Meskipun fokus pada realitas mikro, Gadamer tidak melupakan realitas makro yang berbicara tentang struktur sosial, budaya, nilai, tradisi, dan bahasa. Bahkan pada titik tertentu, Gadamer menjelaskan jika ingin memaknai teks dengan objektivitas yang tinggi maka perlu memahami terlebih dahulu istilah bahasa yang dimiliki oleh teks dan interpretator (universalitas linguistikalitas). Yang perlu ditekankan, realitas makro yang dijelaskan di atas bukan penentu kebenaran teks tapi hanya sebagai jalan menuju pemaknaan teks. Ini juga bukan sebagai metodelogi pemaknaan teks tapi lebih tepatnya adalah pendekatan hermeneutika. Pada sebuah kesimpulan, hermeneutika Gadamer adalah berusaha memahami manusia yang membuat teks asli, bukan manusia ketiga yang menulis biografi si penulis asli.

H. Hermeneutika dan Aktor Otonom

28

Kajian posisi aktor dalam hermeneutika Gadamer adalah studi relasi antara interpretator dan teks. Interpretator didefinisikan sebagai aktor independen atas teks. Kenapa demikian?,pertama, tujuan aktor memaknai teks adalah

membebaskan aktor dari dogmatisasi teks dan bahkan membongkar kebohongan teks,kedua, menurt Gadamer, aktor memaknai teks harus keluar dari metodelogi yang dianggap membatasi pemaknaan aktor atas teks. Yang dibutuhkan dalam hermeneutika bukan metodelogi tapi ketepatan aktor dalam memposisikan teks berdasarkan ruang dan waktu. Ketiga, adanya ruang dialogisasi antara aktor dan teks dalam menentukan titik tengah kebenaran. Ruang dialogisasi bertujuan untk mengkomunikasikan isi teks dan perspektif aktor terhadap teks itu. Keempat, pendekatan dalam mencari makna teks digunakan pendekatan komprehensif tidak monoton pada satu aspek (pengarang atau penulis saja) tapi melalui sejarah dan pengalaman hidup. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh kebenaran teks atas aktor. Kelima, aktor berhak merubah kebenaran teks selama menemukan kejanggalan realitas melalui pendekatan historikalitas dan kekinian. Alasan yang disebutkan di atas memiliki tujuan yang satu yaitu membebaskan aktor dari pengaruh teks, tradisi, simbol, nilai, dan segala bentuk yang ada diluar diri manusia. Inilah posisi aktor dalam hermeneutika Gadamer. Hermeneutika Gadamer antitesis keras dari pemikir positivistik yang menekankan peran struktur terhadap aktor.

I. Lokus Realitas Hermeneutika

29

Menurut Gadamer ada tiga pekerjaan besar yang harus dilalui oleh siapapun yang melakukan hermeneutikasian atas teks, pertama, mengerti, kedua, menafsirkan, ketiga, menerapkan. Dalam kajiannya, Gadamer melakukan penyelidikan tiga pekerjaan tersebut dengan melalui pendekatan fenomenologi Martin Heidegger. Bagi Gadamer pendekatan fenomenologi Haedegger dalam hermeneutika diistilakan sebagai gerakan radikal baru dalam hermeneutika. Oleh gadamer gerakana baru tersebut diberinama fenomenologi eksistensialis, yaitu usaha untuk memberi makna yang baru pada eksistensi manusia, khususnya pada hubungan antara ada dan pemikiran. Oleh karena itu, yang ingin dipahami dalam hermeneutika adalah pemahaman, prilaku, pola pikir, dan sikap dari objek yang diteliti.

J. Metodelogi Hermeneutika Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Ia menolak dengan keras metodelogi yang ditawarkan positivitik yaitu pendekatan ilmu alam yang membicarakan angka- angka dan rumus- rumus yang tidak mungkin diterapkan dalam bidang himaniora. Satu proposisi positivistik yang dipandang oleh Gadamer sebagai istilah haram bagi hermeneutika, yaitu generalitas. Kebenaran adalah kontekstualisasi (universalitas). Oleh karena itu, menurut Gadamer, metodelogi yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis

30

partisipan, yaitu memaknai realitas sosial atau teks dengan memahami prilaku, pemahaman, sikap, dan tindakan objek penelitian.

K. Gadamer dan Kekuasaan Hans Georg Gadamer, ia ilmuwan murni yang tidak memiliki tendensi politik maupun kepentingan birokrat. Ia menghabiskan waktunya untuk mendalimi ilmu yang ia tekuni. Meskipun ia dikatakan sebagai lmuwan murni bukan dalam arti ia hanya berada diatas kertas. Sesekali ia melakukan perdebatan sangit dengan rekan sejawatnya dalam mempertahankan gagasan pemikiran. Pemikirannya yang selalu mennjunjung tinggi kebebasan menempatkan sebagai ilmuwan anti kekuasaan di era nya itu (kekuasaan Nazi). Berikut Wikipedia menulis (2011), Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masamasa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada 2002. Gadamer adalah ilmuwan yang konsisten dengan pendiriannya. Ia tidak tergiur dengan kekuasaan yang kontras dengan visi keilmuan nya. Di era kekuasaan Nazi yang represif otoriter, hampir sejagat ilmuwan Jerman kehilangan identitas keilmuan, seperti Horkhaimer ilmuwan kritis sosial sempat putus asa

31

dengan keilmuannya. Gadamer tidak mengalami degradasi keilmuan seperti itu, dia tetap konsisten mengusung ide pembebasan dari strukur otoriter dan teks- teks aksiomatik.

L. Kritik terhadap Hermeneutika Gadamer Filsafat Hermeneutika Gadamer mendapat reaksi kritik dari Jurgen Hebermas. Letak kritikan Hebermas adalah terkait dengan proposisi Gadamer yang menjunjung tinggi linguisitas dalam hermeneutika. Menurut Hebermas, peran bahasa hanya sebatas melakukan rekonstruksi rasional bukan menemukan refleksifitas penutur subjektivitas. Padahal tujuan hermeneutika adalah memaknai apa yang disampaikan oleh penutur subjektivitas itu. Bagi Hbermas proposisi bahasa Gadamer tidak sesuai dengan tujuan hermeneutika. Hebermes percaya, untuk membongkar teks perlu memposisikan hermeneutika sebagai sebuah refleksi diri. Artinya, dalam refleksi diri terdapat sesuatu yang melampaui bahasa. Disnilah letak perbedaan hermeneutika Hebermas dan Gadamer. Selanjutnya proposisi Gadamer yang mengatakan perlu prasangka dalam hermeneutika (Proposisi ini dilhami dari gurunya, Haidegger) mendapat kritikan dari Hebermas. Menurut hebermas, prasangka hanya membuat distorsi dalam komunikasi. Prasangka syarat dengan kepentingan subjektivitas, maka perlu dihindari. Hebermas ingin menampilkan psikoanalisis sebagai hermeneutika dalam (the depth hermeneutics) (dalam Agus Darmaji,1999). Dalam psikoanalisis, Hebermas meyakini dapat melampaui bahasa sehingga pemahaman dapat juga melalui prasangka, otoritas, dan tradisi.

32

Sebagai kesimpulan akhir, penulis ingin menyampaikan, filsafat hermeneutika Gadamer menjadi bagian penting dalam memaknai realitas sosial. Bahasa tetap menjadi bagian penting dalam membongkar makna bukan hanya terbatas pada rekonstruksi sosial seperti yang disampaikan Hebermas. Bahasa sebagai alat membenturkan teks,. tradisi, simbol, dengan realitas sosial. Solusi kritikan Hebermas terhadap Gadamer juga menjadi penyempurna dalam memaknai teks. Jadi, proses memaknai perlu melalui pendekatan komprehensif dan ini menjadi ciri khas dalam ilmu hermeneutika.

Bahan Bacaan : Agus Darmaji. Tesis,1999. Pergeseran Hermeneutik Ontologis Melalui Bahasa dalam Pemikiran Hans Georg Gadamer. Diterbitkan oleh Universitas Indonesia, Jakarta. Donny Gahral Adian. Cetakan Pertama,2005. Percikan Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerbit Jala Sutra Anggota IKAPI, Yogyakarta. Josef Bleicher. Cetakan Pertama, 2005. Hermeneutika Kontemporer,

Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Penerbit Fajar Pustaka, Yogyakarta. Sindunata. Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer, Gadamer. Akses Tahun 2011. Biografi Hans Georg

33

http://id.shvoong.com/books/dictionary/2090743-hermeneutika-filosofis-hansgeorg-gadamer. Sejarah Hermeneutik: Dari Plato sampai Gadamer. Akses Tahun 2011. http://forumteologi.com/blog/2007/04/24/hermeneutika-gadamer/. Hermeneutika Gadamer. Akses Tahun 2011. http://luznadamai.wordpress.com/2010/03/22/sejarah-hermeneutika. HERMENEUTIKA Dari Mitologi Menjadi Aliran Filsafat Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi PhD. Aklses Tahun 2011 http://alwyamru.blogspot.com/2010/05/hermeneutika-gadamer elevankah.html. Hermeneutika Gadamer, Relevankah?. Akses tahun 2011.

34