Upload
phungkhue
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Depok, secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Jakarta
atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek. Berawal dari sebuah
Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah
Parung Kabupaten Bogor, Kota Depok kemudian berkembang menjadi Kota
Administratif Depok pada tahun 1981 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
43 tahun 1981, dan terus berkembang hingga menjadi sebuah kota yang mandiri
seperti saat ini. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta menyebabkan pesatnya pembangunan di kota ini.
Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Depok juga merupakan wilayah
penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, pusat
pelayanan perdagangan dan jasa, kota pariwisata, kota resapan air dan kota
pendidikan.
Menyadari perannya sebagai kota pendidikan, pemerintah kota terus
berupaya meningkatkan kualitas pendidikan yang dilaksanakan di Kota Depok.
Salah satunya dengan memudahkan akses pendidikan, yaitu dengan pendirian
sekolah-sekolah di tiap kecamatan sehingga memudahkan jangkauan
masyarakat. Tak kurang dari 11 kecamatan yang berada di kota ini.
Jumlah seluruh sekolah lanjutan pertama negeri di Kota Depok 17
sekolah. Adapun 13 sekolah diantaranya merupakan objek penelitian. Dua
sekolah terletak di Kecamatan Pancoran Mas yakni SMP Negeri 1 dan SMP
Negeri 2. Kecamatan Sukmajaya yang merupakan kecamatan terluas juga
memiliki dua sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 3 dan SMP Negeri 4. Kecamatan
Cimanggis, lebih banyak memiliki sekolah negeri, yaitu SMP Negeri 7, SMP
Negeri 8, SMP Negeri 11 dan SMP Negeri 12. Sedangkan sekolah lainnya
tersebar di kecamatan lain, yaitu: Kecamatan Beji (SMP Negeri 5), Kecamatan
Cilodong (SMP Negeri 6), Kecamatan Cipayung (SMP Negeri 9) dan Kecamatan
Bojongsari (SMP Negeri 10 dan SMP Negeri 14).
Beberapa SMP Negeri di Kota Depok tergolong sekolah bertaraf nasional
dan bahkan beberapa sekolah ada yang merupakan sekolah rintisan bertaraf
internasional. Hal ini mendorong sekolah untuk menyediakan berbagai sarana
dan prasarana pendidikan dalam menunjang proses belajar-mengajar. Jumlah
guru yang mengajar di tiap sekolah beragam yang berkisar antara 60 sampai 80
orang. Para guru mengajar di tiga jenjang kelas yang berbeda dengan mata
30
pelajaran yang berbeda pula. Jumlah masing-masing jenjang kelas antara 9
sampai 10 rombongan belajar. Adapun jumlah ruang kelas secara keseluruhan
berkisar antara 18 sampai 31 ruang kelas.
Umumnya sekolah juga dilengkapi dengan sarana perpustakaan dan
beberapa laboratorium, seperti laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
bahasa, dan komputer. Ruang multimedia sebagai sarana pelengkap dalam
proses pembelajaran, dan sering digunakan sebagai ruang serbaguna juga
dilengkapi oleh beberapa sekolah.
Karakteristik Siswa
Data yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa siswa yang
berusia 13 tahun memiliki persentase terbesar dibanding siswa yang berusia 12
tahun dan 14 tahun, yaitu sebanyak 84,5%. Rentang usia siswa tersebut
tergolong pada usia remaja awal (Monks et al. 1982) yaitu dengan usia yang
berkisar antara 12-15 tahun. Masa remaja adalah periode yang penting pada
pertumbuhan dan kematangan manusia (Riyadi 2001). Pertumbuhan cepat,
perubahan emosional dan perubahan sosial merupakan ciri yang spesifik. Pada
usia remaja, segala sesuatunya cepat berubah dan untuk mengantisipasinya
makanan sehari-hari menjadi amat penting. Badan yang mengalami
pertumbuhan perlu mendapat masukan zat-zat gizi dari makanan yang
seimbang.
Karakteristik jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan
(75%) mendominasi siswa kelas 8 yang dijadikan objek penelitian dibanding laki-
laki. Adapun secara umum, sebaran siswa dengan presentase terbesar adalah
siswa berusia 13 tahun dengan jenis kelamin perempuan (63,5%), sedangkan
presentasi terkecil adalah berjenis kelamin laki-laki dengan umur 12 tahun dan
14 tahun, masing-masing sebanyak 1,9%.
Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu
Jenis Kelamin Usia (tahun)
Total 12 13 14
n % n % n % n % Laki-laki 1 1,9 11 21,2 1 1,9 13 25,0 Perempuan 6 11,5 33 63,5 0 0,0 39 75,0
Total 7 13,5 44 84,6 1 1,9 52 100,0
Keragaan Usaha Kesehatan Sekolah
Depkes (2007) mengategorikan keragaan UKS menjadi beberapa strata,
yaitu strata minimal, strata standar, strata optimal dan strata paripurna.
Pengategorian ini berdasarkan kondisi dan kemampuan sekolah dalam
31
melaksanakan pelayanan kesehatan bagi warga sekolah. Strata minimal adalah
strata yang paling rendah sedangkan keragaan UKS dengan tingkatan paling
tinggi dapat digolongkan sebagai strata paripurna. Akan tetapi dalam aplikasinya,
pengategorian berdasarkan strata tersebut tidak digunakan sepenuhnya oleh
sekolah. Umumnya sekolah tidak memenuhi kriteria strata berdasarkan
tahapannya. Sekolah yang telah memenuhi beberapa kriteria strata standar,
belum tentu memenuhi seluruh kriteria strata minimal. Adapun sekolah yang
telah memenuhi beberapa kriteria strata optimal ternyata tidak semua kriteria
strata minimal dan standar terpenuhi, begitu seterusnya. Sehingga dalam
penilaian keragaan UKS digunakan suatu kriteria mutu yang merupakan
modifikasi dari kriteria strata UKS tersebut.
Keragaan UKS merupakan keseluruhan dari pelaksanaan program pokok
UKS, yaitu Tri Program UKS (TRIAS UKS) yang meliputi pendidikan kesehatan,
pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sehat.
a. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan dapat dilaksanakan baik secara kurikuler maupun
secara ekstrakurikuer. Secara kurikuler, dilaksanakan melalui mata pelajaran
yang diberikan dan termasuk dalam proses pembelajaran di kelas. Secara
ekstrakurikuler dapat berupa bimbingan dan penyuluhan kesehatan serta
pelaksanaan konseling, pendidikan kader kesehatan remaja dan konseling
sebaya. Adapun pengategorian UKS melalui kriteria strata UKS Depkes (2007)
dalam bidang pendidikan kesehatan telah diuraikan pada Tabel 1.
Kriteria strata tersebut tidak digunakan seluruhnya dalam penilaian
keragaan pendidikan kesehatan. Pada kategori stata UKS minimal, kriteria
adanya guru penjaskes dan kriteria dilaksanakannya penjaskes secara kurikuler
tidak dimasukkan sebagai kriteria modifikasi. Keduanya diasumsikan telah
dilaksanakan oleh seluruh sekolah. Begitu pula kriteria tentang pendidikan
kesehatan dan pendidikan kesehatan remaja yang diintegrasikan dalam mata
pelajaran lain juga diasumsikan pelaksanaannya sama di setiap sekolah.
Umumnya materi pendidikan kesehatan secara intrakurikuler diintegrasikan
dalam mata pelajaran IPA khususnya biologi, agama, penjaskes dan bimbingan
konseling.
Keterbatasan dalam menggali informasi dari narasumber yang
merupakan guru UKS di tiap sekolah bersangkutan menyebabkan dua kriteria
strata optimal UKS juga tidak disertakan. Kriteria tersebut adalah memiliki guru
32
mata pelajaran pendidikan jasmani dengan ratio 1:24 jam pelajaran dalam
seminggu dan kriteria mengenai dilakukannya pengukuran dan pencatatan
kesegaran jasmani. Adapun kriteria modifikasi yang digunakan untuk penilaian
pendidikan kesehatan melalui UKS, dapat dilihat pada tabel berikut,
Tabel 8 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan pendidikan kesehatan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)
No. Kriteria modifikasi n % 1 Guru membuat rencana pembelajaran pendidikan kesehatan 10 76,9
2 Ada buku pegangan guru tentang pendidikan kesehatan 10 76,9
3 Ada buku bacaan pendidikan kesehatan 9 69,2
4 Pendidikan jasmani dan kesehatan dilaksanakan secara ekstrakurikuler
13 100,0
5 Memiliki guru Bimbingan Konseling (BK)/Bimbingan Penyuluhan (BP) 13 100,0
6 Memiliki guru pembina UKS 13 100,0
7 Memiliki guru pembina UKS terlatih 8 61,5
8 Memiliki media pendidikan kesehatan 10 76,9
9 Adanya pendidikan kesehatan remaja dalam ekstrakurikuler 12 92,3
10 Adanya peran aktif “pendidik sebaya”/”konselor sebaya” dalam pendidikan kesehatan
7 53,8
11 Adanya program kemitraan pendidikan kesehatan dengan instansi terkait
12 92,3
Seluruh sekolah telah melaksanakan pendidikan kesehatan, baik secara
intrakurikuler, yang biasanya dilaksanakan oleh guru, maupun secara
ekstrakurikuler oleh berbagai pihak, dalam dan luar sekolah. Pendidikan
kesehatan secara ektrakurikuler, umumnya dilakukan melalui kegiatan ekskul
siswa, seperti olahraga dan bela diri, Palang Merah Remaja (PMR), serta peer
counselor (PC).
Pendidikan kesehatan di-76,9% sekolah telah memiliki rencana
pembelajaran yang dibuat oleh guru. Masing-masing ekskul didamping oleh guru
pembina yang membuat rencana pembelajaran tersebut. Guru pembina PMR
dan PC, yang umumnya juga merangkap sebagai guru pembina UKS, selain
membuat rencana pembelajaran kesehatan yang teraplikasi dalam berbagai
kegiatan kedua ekstrakurikuler tersebut, sebagai guru pembina UKS juga
membuat rencana pembelajaran untuk kegiatan penyuluhan kesehatan secara
masal bagi siswa lain yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Seluruh sekolah memiliki guru pembina UKS yang sebagian besar
merangkap sebagai guru pembina ekstrakurikuler PMR. Akan tetapi hanya
sebanyak 61,5% sekolah yang memiliki guru pembina UKS yang terlatih. Adapun
33
guru yang belum pernah mengikuti pelatihan dikarenakan merupakan guru
pembina yang baru setelah pergantian struktur dari guru pembina sebelumnya.
Dalam membantu proses edukasi kesehatan, guru pembina UKS di
seluruh sekolah didampingi oleh guru Bimbingan Konseling (BK) yang berperan
sebagai pembimbing, khususnya terhadap masalah-masalah remaja yang
dihadapi oleh siswa secara lebih personal. Guru BK akan melakukan
pemantauan secara berkala terhadap kondisi seluruh siswa di sekolah
bersangkutan dan menuliskannya di dalam buku bimbingan konseling yang wajib
dimiliki seluruh siswa.
Informasi terkait kesehatan remaja, dapat diakses baik oleh guru maupun
siswa melalui buku. Sebanyak 76,9% sekolah memiliki buku pegangan tentang
pendidikan kesehatan untuk guru yang umumnya didapat dari Dinas Pendidikan
dan Dinas Kesehatan setempat. Siswa di-69,2% sekolah juga dapat mengakses
buku bacaan pendidikan kesehatan melalui perpustakaan sekolah. Media
pendidikan kesehatan lain yang digunakan umumnya berupa poster tentang
bahaya rokok dan NAPZA dimiliki oleh 76,9% sekolah. Rokok dan
penyalahgunaan NAPZA adalah salah satu masalah kesehatan yang banyak
dialami oleh anak usia sekolah lanjutan, sehingga titik berat pendidikan
kesehatan untuk sekolah lanjutan, salah satunya terkait kedua hal tersebut.
Pendidikan kesehatan remaja juga dilakukan oleh 92,3% sekolah melalui
penyuluhan yang biasanya diintegrasikan dalam rangkaian Masa Orientasi Siswa
(MOS) atau masa perkenalan sekolah kepada siswa baru, yang diadakan di
tahun pertama saat siswa masuk sekolah tersebut. Umumnya materi yang
disampaikan mengenai kesehatan reproduksi remaja dan bahaya
penyalahgunaan NAPZA. Pelaksanaan penyuluhan ini setahun sekali yang biasa
diisi oleh Puskesmas setempat, Lembaga Kepolisian, atau Badan Narkotika
Nasional (BNN). Beberapa guru pembina UKS pun mengaku pernah menjadi
pembicara di penyuluhan kesehatan di sekolah, namun dengan sasaran terbatas,
yakni siswa yang mengikuti ekskul PMR dan PC. Adanya PC atau pendidik
sebaya di 53,8% sekolah diakui guru pembina UKS sangat membantu dalam
memantau masalah remaja yang dihadapi terutama dari teman-teman sekelas
mereka. Selain itu PC merupakan sarana pembelajaran bagi siswa yang
mengikutinya dengan berpastisipasi aktif.
Keberadaan UKS tidak dapat berdiri sendiri, dukungan kebijakan yang
dapat diimplementasikan di sekolah sangat membantu dalam pelaksanaannya,
34
selain itu peran aktif masyarakat juga diperlukan. Adanya program kemitraan
dengan instansi terkait akan sangat membantu untuk melaksanakan pendidikan
kesehatan. Sebanyak 92,3% sekolah telah menjalin kemitraan, terutama dengan
puskesmas setempat dalam menjalankan penyuluhan kesehatan remaja dan
penjaringan kesehatan.
Berdasarkan kegiatan pendidikan kesehatan yang dilaksanakan melalui
UKS sesuai dengan kriteria modifikasi tersebut, setiap sekolah dikategorikan
menjadi tiga kategori. Adapun pengategoriannya dapat ditunjukkan pada tabel di
bawah ini,
Tabel 9 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pendidikan kesehatan
Kategori n % Cukup Baik 1 7,7 Baik 7 53,8 Sangat Baik 5 38,5
Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 90,9 ± 6,7
Tabel di atas menunjukkan sebagian besar sekolah telah melaksanakan
pendidikan kesehatan dengan baik (53,8%). Sekolah yang melaksanakan
pendidikan kesehatan dengan kategori cukup baik (7,7%), umumnya kurang
dalam melaksanakan pendidikan kesehatan secara ekstrakurikuler, terutama
dalam melibatkan peran aktif pendidik sebaya. Fasilitas penunjang akses siswa
dalam mendapatkan informasi kesehatan melalui buku juga belum tersedia.
Sebaliknya sekolah yang terkategori telah melakukan pendidikan kesehatan
dengan sangat baik (38,5%), sangat aktif dalam melibatkan peran pendidik
sebaya dalam membantu menyebarkan informasi kesehatan pada siswa yang
lain.
b. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan UKS bertujuan untuk mencapai
derajat kesehatan siswa yang optimal, karenanya dilaksanakan kegiatan yang
komprehensif dengan mengutamakan kegiatan promotif dan preventif serta
didukung kegiatan kuratif dan rehablitatif. Seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan
secara bertahap sesuai dengan kondisi sekolah. Depkes (2007) mengategorikan
tahapan tersebut melalui strata UKS, seperti telah ditunjukkan pada Tabel 2.
Pelaksanaan penyuluhan kesehatan remaja pada strata UKS minimal,
selain menjadi kriteria pada program pelayanan kesehatan juga menjadi kriteria
dalam program pendidikan kesehatan, sehingga kriteria ini tidak disertakan
35
dalam kriteria modifikasi. Selain itu kriteria jumlah Kader Kesehatan Remaja
(KKR) tidak diperhitungkan, sehingga penilaiannya dilakukan secara umum
melalui kriteria adanya KKR di sekolah. Hal ini dikarenakan jumlah KKR belum
dapat dihitung secara pasti. Di beberapa sekolah, masih berlangsung proses
perekrutan siswa baru untuk tergabung dalam KKR. Selain itu terkadang jumlah
KKR yang terdaftar tidak sesuai dengan KKR yang ada.
Penjaja atau penjamah makanan di seluruh sekolah hanya diperbolehkan
melalui kantin sekolah. Sehingga kriteria adanya pengawasan terhadap penjaja
atau penjamah makanan di sekitar sekolah tidak dimasukkan, sedangkan kriteria
adanya pengawasan penjaja atau penjamah makanan di sekolah dimasukkan
dalam bagian pembinaan lingkungan sehat, karena juga merupakan salah satu
komponen program tersebut. Adapun penilaian keragaan pelayanan kesehatan
yang dilakukan menggunakan kriteria yang telah dimodifikasi dari kriteria di atas
dapat ditunjukkan oleh tabel berikut,
Tabel 10 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan pelayanan kesehatan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)
No. Kriteria modifikasi n % 1 Kegiatan P3K dan P3P 13 100,0
2 Pengukuran BB dan TB 9 69,2
3 Penjaringan/pemeriksaan kesehatan 8 61,5
4 Pemeriksaan kesehatan berkala tiap 6 bulan termasuk TB dan BB 1 7,7
5 Ada pencatatan hasil pemeriksaan kesehatan dan pengukuran TB dan BB pada buku/KMS remaja
5 38,5
6 Ada rujukan bagi yang memerlukan 10 76,9
7 Ada kader kesehatan remaja (KKR) 12 92,3
8 Ada kader kesehatan remaja (KKR) yang terlatih 10 76,9
9 Pelayanan konseling kesehatan remaja 12 92,3
10 Konseling kesehatan remaja oleh “pendidik sebaya”/”konselor sebaya”
7 53,8
11 Ada kegiatan forum komunikasi/diskusi kelompok terarah dari “pendidik sebaya”/”konselor sebaya”
5 38,5
12 Dana sehat/dana UKS 10 76,9
Pelayanan berupa Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dan
kegiatan Pertolongan Pertama Pada Penyakit (P3P) telah dilaksanakan di
seluruh sekolah. Sebagai upaya promotif dan preventif, 61,5% sekolah
melaksanakan penjaringan kesehatan pada tahun pertama siswa masuk ke
sekolah yang bekerjasama dengan puskesmas. Penjaringan kesehatan ini
meliputi pemeriksaan keadaan umum kesehatan siswa, seperti tekanan darah,
36
status gizi dengan antropometri, pemeriksaan kesehatan mata serta
pemeriksaan kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan (THT).
Penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB) juga
dilakukan oleh 69,2% sekolah. Akan tetapi hanya 7,7% sekolah yang melakukan
hal tersebut secara berkala, yaitu setiap 6 bulan sekali. Hasil pemeriksaan
kesehatan dan pengukuran TB dan BB dicatat pada Kartu Menuju Sehat (KMS)
remaja oleh 38,5% sekolah. KMS sangat penting peranannya dalam memantau
status gizi siswa.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan akan menunjukkan ada tidaknya
masalah kesehatan yang diderita oleh siswa. Bagi siswa yang memiliki
kecenderungan masalah kesehatan setelah penjaringan kesehatan dan
pengukuran TB dan BB mendapat rujukan oleh sekolah kepada tenaga
kesehatan, biasanya melalui Puskesmas maupun Rumah Sakit terdekat. Hal ini
dilakukan oleh 76,9% sekolah. Rujukan ini juga dilakukan bila siswa mengalami
kecelakaan atau sakit di sekolah yang tidak bisa ditangani oleh sekolah dan
membutuhkan pertolongan medis.
Pelayanan kesehatan di sekolah selain dilakukan oleh guru juga
dilakukan oleh siswa dengan adanya Kader Kesehatan Remaja (KKR). Sebanyak
92,3% sekolah telah memiliki KKR yang tergabung dalam ekskul PMR atau PC.
Akan tetapi baru 76,9% sekolah dengan KKR yang terlatih. Umumnya pelatihan
diberikan oleh guru pembina yang bersangkutan, alumni, atau tenaga kesehatan.
Pelatihan juga pernah diberikan oleh Dinas Kesehatan setempat.
Pelayanan konseling kesehatan remaja sebenarnya dilakukan di 92,3%
sekolah baik oleh guru BK, guru pembina UKS maupun KKR. Namun, peran aktif
KKR terutama PC dalam memberikan konseling kesehatan remaja hanya
terdapat di 53,8% sekolah. Para siswa yang menjadi PC ini terwadahi dalam
suatu kegiatan forum komunikasi atau diskusi kelompok. Forum ini dibuat untuk
menyampaikan dan mendiskusikan masalah yang mereka temukan baik pada
teman-teman sebaya maupun diri mereka sendiri, sehingga dapat ditemukan
solusi yang terbaik, terutama bagi masalah atau hal yang tidak dapat mereka
pecahkan sendiri. Forum ini baru dibentuk di 38,5% sekolah, sedangkan 61,5%
belum melaksanakan forum diskusi ini terkendala pada sumber daya manusia
dan waktu.
Pentingnya peran UKS dalam mewujudkan sekolah sehat, tak lepas dari
kebutuhan finansial untuk menopang seluruh kegiatan yang dilakukan,
37
karenanya ketersediaan dana sehat atau dana UKS merupakan salah satu
kriteria strata optimal dari pelaksanaan UKS. Sebanyak 76,9% sekolah telah
memiliki dana UKS. Awalnya dana UKS diambil dari uang pembayaran atau SPP
siswa akan tetapi perubahan sistem dimana tidak ada lagi pemungutan biaya
sekolah kepada siswa yang sebagai gantinya adalah dengan adanya Biaya
Operasional Sekolah (BOS) berdampak pula pada pembiayaan kegiatan UKS.
Hal inilah yang diakui beberapa orang guru pembina UKS menjadi alasan 23,1%
sekolah tidak menyediakan dana UKS tersebut.
Sebaran sekolah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan relatif
merata pada setiap kategori, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hal ini
dikarenakan kegiatan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di seluruh
sekolah relatif seragam. Umumnya seluruh sekolah telah melaksanakan
pelayanan kesehatan dasar (kegiatan P3K dan P3P). Akan tetapi banyak sekolah
yang terkendala dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan siswa, seperti
melalui kegiatan penjaringan kesehatan dan pemeriksaaan kesehatan secara
berkala termasuk pengukuran BB dan TB. Kendala tersebut dihadapi oleh
sekolah dengan kategori cukup baik (30,8%).
Tabel 11 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pelayanan kesehatan
Kategori n % Cukup Baik 4 30,8 Baik 4 30,8 Sangat Baik 5 38,5
Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 84,0 ± 8,3
Beberapa sekolah (38,5%) telah sangat baik dalam menyediakan
pelayanan kesehatan bagi siswanya. Umumnya sekolah tersebut selain
melaksanakan pelayanan kesehatan dasar dan pemeriksaan kesehatan siswa
juga melaksanakan pemantuan status kesehatan siswa dengan pencatatan hasil
pemeriksaan dalam KMS remaja. Selain itu pengoptimalan peran pendidik
sebaya juga dilakukan dengan membuat suatu forum komunikasi atau diskusi
kelompok.
c. Pembinaan Lingkungan Sekolah Sehat
Pembinaan lingkungan sehat meliputi kegiatan bina lingkungan fisik dan
kegiatan bina lingkungan mental sosial, sehingga tercipta suasana dan
hubungan kekeluargaan yang akrab dan erat antara sesama warga sekolah
(Depkes 2003). Hal ini terkait upaya meningkatkan faktor pelindung, seperti
38
gedung, halaman dan warung sekolah yang memenuhi standar kesehatan, serta
upaya memperkecil faktor risiko dengan adanya pagar pengaman, bangunan
sekolah yang aman, pengadaan kantin, dan upaya pembebasan sekolah dari
rokok maupun NAPZA (Depkes 2007). Pengategorin UKS berdasarkan kriteria
pembinaan lingkungan sekolah sehat telah diuraikan pada Tabel 3.
Dari kriteria strata UKS yang telah tersebut selanjutnya diambil beberapa
kriteria untuk menilai keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui
UKS. Beberapa kriteria seperti rasio WC berbanding siswa, adanya saluran
pembuangan air kotor yang berfungsi dengan baik, adanya saluran air limbah
yang tertutup dan berfungsi dengan baik serta lingkungan sekolah yang bebas
jentik tidak diamati selama observasi sehingga tidak dimasukkan dalam kriteria
modifikasi. Selain itu kriteria terkait ruang kelas, seperti ruang kelas yang
memenuhi syarat kesehatan, jarak papan tulis dengan bangku terdepan dan
terbelakang serta rasio kepadatan siswa juga tidak disertakan dalam kriteria
modifikasi untuk penilaian karena tidak dilakukan pengamatan. Kriteria
pelaksanaan dan pembinaan kawasan sekolah tanpa rokok, bebas narkoba dan
miras tidak dapat teramati secara langsung, sehingga penilaian dengan
menggunakan kriteria ini tidak dilakukan.
Dalam kegiatan bina lingkungan mental dan sosial, seluruh sekolah
memiliki sarana keagamaan, berupa masjid untuk siswa muslim menjalankan
ibadah. Hal ini dikarenakan sebagian besar siswa beragama Islam. Sedangkan
siswa beragama lain bila akan mengadakan kegiatan keagamaan, biasanya
menggunakan ruang sekolah atau kelas yang sedang tidak digunakan. Sebagian
besar (84,6%) juga memiliki ruang bimbingan konseling yang digunakan oleh
guru BK untuk memberikan konsultasi dan atau konseling pada anak yang
memiliki masalah tertentu, sebagian besar terkait perilaku kedisiplinan dan
masalah psikososial.
Penilaian pembinaan lingkungan sekolah sehat dengan melihat sarana
kebersihan yang tersedia, menggunakan tujuh kriteria yang telah dimodifikasi.
Kriteria ini meliputi fasilitas air bersih, tempat cuci tangan, dan kamar mandi,
seperti yang ditampilkan pada Tabel 12.
Seluruh sekolah telah menyediakan air bersih yang merupakan
kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan warganya. Air tersebut harus
memenuhi syarat kesehatan, yaitu tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak
berbau. Fasilitas lain yang tersedia adalah tempat cuci tangan yang
39
memungkinkan setiap guru atau siswa dapat menjaga kebersihan dirinya
terutama dengan mencuci tangan. Sebagian besar sekolah (92,3%) telah
memiliki tempat cuci tangan di beberapa tempat, terutama di depan setiap ruang
kelas. Akan tetapi baru sebagian kecil (23,1%) yang melengkapi beberapa
tempat cuci tangannya dengan sabun, terutama di area kamar mandi dan ruang
UKS. Keberadaan kamar mandi atau jamban, yang merupakan salah satu
sumber agen penyakit, juga harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu tidak
berbau, ada ventilasi, cukup penerangan, kedap air, tidak licin, tidak ada
genangan air dan tidak ada nyamuk/jentik nyamuk. Seluruh sekolah telah
memiliki kamar mandi atau jamban yang berfungsi dengan baik, dan telah
memisahkan jamban untuk guru dan siswa.
Tabel 12 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan sarana kebersihan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)
No. Kriteria modifikasi n % 1 Ada air bersih 13 100,0
2 Ada air bersih yang memenuhi syarat kesehatan 13 100,0
3 Ada tempat cuci tangan 12 92,3
4 Ada tempat cuci tangan di beberapa tempat dengan air mengalir/kran dan dilengkapi sabun
3 23,1
5 Ada WC/jamban yang berfungsi dengan baik 13 100,0
6 Ada jamban/WC siswa dan guru yang memenuhi syarat kesehatan dan kebersihan
13 100,0
7 Melakukan 3 M plus, 1 kali seminggu 12 92,3
Lingkungan sekolah yang sehat juga diharuskan terbebas jentik nyamuk,
salah satu cikal agen pembawa penyakit. Kegiatan yang sering dilakukan dalam
membebaskan lingkungan dari jentik nyamuk adalah dengan melakukan 3M
(Mengubur, Menguras, Membuang) secara berkala. Sebanyak 92,3% sekolah
telah melaksanakan kegiatan tersebut setiap minggunya, terutama dilakukan
olah penjaga sekolah masing-masing.
Lingkungan sekolah yang sehat juga tidak terlepas dari penciptaan
lingkungan sekolah yang indah. Hal tersebut dapat tercipta dengan lingkungan
sekolah yang asri, dilengkapi dengan bangunan sekolah yang apik, dan
ketersediaan fasilitas lain, seperti tempat sampah. Sehingga pembinaan
lingkungan sekolah sehat juga dinilai berdasarkan ketersediaan sarana
keindahan seperti yang terdapat pada tabel berikut,
40
Tabel 13 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan sarana keindahan setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)
No. Kriteria modifikasi n % 1 Ada tempat sampah 13 100,0
2 Ada tempat sampah di tiap kelas 13 100,0
3 Pemisahan sampah organik dan non-organik 11 84,6
4 Ada halaman/pekarangan/lapangan 13 100,0
5 Ada halaman yang cukup luas untuk upacara dan berolahraga 13 100,0
6 Memiliki pagar aman 13 100,0
7 Ada penghijauan dan perindangan 12 92,3
8 Ada pagar yang aman dan indah 13 100,0
9 Ada taman/kebun sekolah/toga 7 53,8
10 Ada taman/kebun sekolah yang dimanfaatkan dan diberi label (untuk sarana belajar)
6 46,2
11 Ada pengolahan hasil kebun sekolah 1 7,7
Membiasakan siswa untuk membuang sampah di tempat sampah perlu
dilakukan, untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bersih dan lingkungan
hidup yang bersih di kemudian hari. Hal ini merupakan salah satu perilaku hidup
sehat. Seluruh sekolah telah menyediakan tempat sampah di sekitar area
sekolah, seperti lapangan, taman, kantin sekolah dan di setiap kelasnya.
Pengadaan tempat sampat di luar kelas merupakan tanggung jawab pihak
sekolah. Adapun umumnya pengadaan tempat sampah di kelas merupakan
swadaya siswa di kelas masing-masing. Pemisahan sampah organik dan non-
organik baru dilakukan oleh 84,6% sekolah.
Halaman atau lapangan sekolah juga merupakan unsur fisik dari sekolah
sehat, dimana siswa dapat melaksanakan aktivitas fisik, seperti berolahraga dan
upacara. Seluruh sekolah telah memiliki lapangan yang cukup luas dan 92,3%-
nya dilengkapi dengan penghijauan dan perindangan. Area seluruh sekolah juga
memiliki pagar yang aman dan indah, untuk menjamin keamanan dan
keselamatan siswa dan warga sekolah lainnya.
Taman atau kebun sekolah selain berperan dalam penghijauan dan
perindangan juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bagi siswa.
Sekolah yang memiliki kebun sekolah atau kebun tanaman obat keluarga
(TOGA) ada 53,8% dan sebanyak 46,2% sekolah memanfaatkan fasilitas
tersebut sebagai sarana belajar dengan pemberian label pada setiap tanaman.
Pemberian label ini berguna agar siswa mengetahui bentuk tanaman dan
41
fungsinya terutama bagi tanaman obat-obatan. Akan tetapi baru sebagian kecil
sekolah (7,7%) yang sudah lebih jauh memanfaatkan hasil dari kebun sekolah
tersebut dengan proses pengolahan pasca panen, yaitu dengan pembuatan
berbagai macam makanan jajanan yang dijual di kantin sekolah.
Kantin sekolah juga merupakan bagian dari lingkungan sekolah.
Keberadaan kantin sekolah atau penjual makanan di sekolah merupakan suatu
kebutuhan yang harus tersedia di lingkungan sekolah. Kantin sekolah bila
dikelola dengan baik dapat menjadi salah satu upaya mengatasi masalah kurang
gizi pada siswa. Pengelolaannya harus memperhatikan kebersihan, keamanan,
serta mempertimbangkan aspek gizi, ekonomi, dan kepraktisan pelaksanaannya.
Makanan yang ada di kantin sekolah harus dipersiapkan dengan memperhatikan
kebersihan, kesehatan, keamanan makanan, cara pemasakan, penyajian dan
penanganan yang sesuai syarat kesehatan dan gizi.
Keberadaan kantin sekolah sehat dapat menjadi sarana pembelajaran
dan praktek siswa untuk menerapkan pola makan sehat bagi dirinya dan
lingkungannya. Kriteria penilaian kantin sekolah berdasarkan kriteria modifikasi
dapat ditampilkan pada tabel di bawah ini,
Tabel 14 Sebaran sekolah dan kriteria penilaian keragaan lingkungan sekolah sehat berdasarkan ketersediaan kantin sekolah setelah dimodifikasi dari kriteria strata Depkes (2007)
No. Kriteria modifikasi n % 1 Memiliki kantin/warung sekolah 13 100,0
2 Pengawasan terhadap warung/kantin sekolah 9 69,2
3 Adanya pengawasan kantin/warung sekolah secara rutin 3 23,1
4 Ada tempat cuci peralatan masak/makan dengan air yang mengalir, petugas kantin/warung sekolah bersih dan sehat
9 69,2
5 Ada menu gizi seimbang di kantin/warung sekolah dan petugas kantin/warung sekolah yang terlatih
1 7,7
Seluruh sekolah memiliki kantin sekolah dan hanya 69,2% yang
melakukan pengawasan terhadap kantin sekolah. Pengawasan yang dilakukan
pihak sekolah berupa pengawasan terhadap jajanan yang dijual sehingga tidak
berbahaya bagi kesehatan dan terkait kebersihan, baik kantin maupun makanan
yang dijual. Pengawasan secara rutin terhadap kantin sekolah dilakukan oleh
23,1% sekolah. Makanan yang dijual di kantin sekolah umumnya makanan yang
siap saji atau makanan kemasan. Adapun penjajah makanan yang memasak
makanannya di tempat disediakan fasilitas tempat mencuci peralatan masak dan
42
makan di 69,2% sekolah. Upaya penyediaan menu gizi seimbang di kantin
sekolah baru dilaksanakan oleh 7,7% sekolah.
Ruang UKS dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan yang
menunjang, khususnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Tabel 15
menunjukkan kelengkapan yang tersedia di ruang UKS,
Tabel 15 Sebaran sekolah berdasarkan ketersediaan peralatan dan perlengkapan di ruang UKS
Peralatan/perlengkapan ruang UKS n % Tempat tidur 13 100,0 Timbangan BB 8 61,5 Alat ukur TB 8 61,5 Kotak P3K dan obat-obatan (cairan antiseptik, oralit, parasetamol) 12 92,3 Lemari obat 6 46,2 Buku rujukan 7 53,8 Poster-poster 9 69,2 Struktur organisasi 6 46,2 Jadwal piket 5 38,5 Tempat cuci tangan/wastafel 3 23,1 Data angka kesakitan murid 4 30,8
Ruang UKS yang sederhana hanya dilengkapi tempat tidur, timbangan
BB, alat ukur TB dan kotak P3K. Seluruh sekolah telah melengkapi ruang UKS
dengan tempat tidur. Sebagian besar juga memiliki alat ukur BB dan TB (masing-
masing 61,5%) dan kotak P3K (92,3%). Tempat cuci tangan di ruang UKS baru
tersedia di-23,1% sekolah. Data angka kesakitan murid telah dimiliki 30,8%
sekolah. Kriteria tipe UKS ideal yang dilengkapi dengan peralatan peralatan gigi
atau unit gigi serta contoh model organ tubuh dan rangka belum dipenuhi oleh
seluruh sekolah.
Masalah kesehatan pada anak usia sekolah lanjutan erat kaitannya
dengan penyalahgunaan NAPZA (Depkes 2007), yang umumnya diawali dengan
konsumsi rokok. Sehingga penciptaan lingkungan sekolah yang sehat tidak
terlepas dari peran sekolah untuk membebaskan lingkungannya dari berbagai hal
yang mengarah pada penyalahgunaan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan adanya berbagai poster tentang bahaya rokok dan narkoba.
Sebanyak masing-masing 69,2% dan 61,5% sekolah memiliki poster bahaya
rokok dan narkoba atau anjuran untuk tidak menggunakannya.
Berdasarkan penilaian pembinaan lingkungan sekolah sehat dengan
menggunakan kriteria modifikasi dari kriteria Depkes (2007) tersebut maka
keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat dapat dikategorikan menjadi tiga.
43
Tabel di bawah ini menunjukkan sebagian besar sekolah (61,5%) telah
melaksanakan pembinaan lingkungan sehat dengan baik.
Tabel 16 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan kriteria modifikasi pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui UKS
Kategori n % Cukup Baik 2 15,4 Baik 8 61,5 Sangat Baik 3 23,1
Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 82,2 ± 6,0
Sekolah (15,4%) dengan kategori cukup baik, kurang dalam
mengoptimalkan kebun sekolah dan kantin sekolah, terutama sebagai sarana
pembelajaran siswa. Sedangkan hal tersebut berusaha dilaksanakan oleh
sekolah dengan kategori sangat baik. Selain itu tersedianya peralatan dan
perlengkapan di ruang UKS, seperti KMS remaja dan buku rujukan menjadikan
beberapa sekolah (23,1%) terkategori sangat baik.
Dilihat dari pelaksanaan TRIAS UKS tersebut dapat dikategorikan
keragaan UKS seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut,
Tabel 17 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan keragaan UKS yang meliputi TRIAS UKS
Kategori n % Cukup Baik 7 53,8 Baik 3 23,1 Sangat Baik 3 23,1
Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 83,9 ± 5,3
Data pada tabel di atas menunjukkan, pelaksanaan UKS di sebagian
besar sekolah belum optimal. Sebagian besar sekolah (53,8%) memiliki
keragaan UKS yang masih tergolong cukup baik. Besarnya potensi UKS sebagai
penumbuh budaya hidup sehat siswa, memiliki tantangan tersendiri dalam
pelaksanaannya. Salah satunya, pelibatan berbagai pihak, yang sangat
dibutuhkan untuk menyukseskan seluruh kegiatan yang dilaksanakan UKS.
Dalam penelitiannya Effendi (2001) menyimpulkan kegiatan program UKS belum
dilaksanakan secara efektif, salah satunya disebabkan masih lemahnya
koordinasi lintas sektor.
Penilaian keragaan UKS yang dilihat dari pelaksanaan TRIAS UKS
melibatkan ketiga program pokok. Akan tetapi dalam penerapannya, ketiga
program tersebut cenderung dilaksanakan secara terpisah. Berdasarkan
pengamatan, program pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sehat
44
lebih banyak dilaksanakan melalui UKS. Adapun proses pendidikan kesehatan
belum dilakukan secara optimal, terutama melalui kegiatan ektrakurikuler.
Sekolah yang tergolong melaksanakan keragaan UKS dengan sangat
baik, cenderung telah melaksanakan TRIAS UKS dengan sangat baik pula.
Persentase terbesar keragaan UKS yang tergolong baik dimiliki oleh sekolah
yang juga telah melaksanakan pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan
sehat dengan sangat baik, masing-masing sebanyak 40% dan 33,3%. Namun
dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan masih tergolong baik (28,6%).
Sedangkan persentase terbesar sekolah dengan keragaan UKS cukup baik
cenderung melaksanakan TRIAS UKS dengan cukup baik pula, masing-masing
sebanyak 100%. Hal tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran sekolah berdasarkan keragaan UKS, pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan sehat
TRIAS UKS Keragaan UKS
Total Cukup baik Baik Sangat baik n % n % n % n %
Keragaan pendidikan kesehatan
Cukup baik 1 100,0 0 0,0 0 0,0 1 100,0Baik 5 71,4 2 28,6 0 0,0 7 100,0Sangat baik 1 20,0 1 20,0 3 60,0 5 100,0
Keragaan pelayanan kesehatan
Cukup baik 4 100,0 0 0,0 0 0,0 4 100,0Baik 3 75,0 1 25,0 0 0,0 4 100,0Sangat baik 0 0,0 2 40,0 3 60,0 5 100,0
Keragaan pembinaan lingkungan sekolah sehat
Cukup baik 2 100,0 0 0,0 0 0,0 2 100,0Baik 5 62,5 2 25,0 1 12,5 8 100,0Sangat baik 0 0,0 1 33,3 2 66,7 3 100,0
Keragaan Penyelenggaraan Pendidikan Gizi di Sekolah
Pendidikan gizi melalui UKS merupakan bagian dari pendidikan
kesehatan. Secara intrakurikuler, seperti halnya dalam program pendidikan
kesehatan, penyampaian materi gizi dilakukan melalui berbagai bidang pelajaran
seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya Biologi, Agama, Penjaskes dan
bimbingan penyuluhan (BP) atau di beberapa sekolah dikenal dengan BK
(Depkes 2003). Adapun contoh materi terkait gizi yang disampaikan melalui
intrakurikuler di berbagai mata pelajaran tersebut, khususnya untuk siswa kelas 8
dapat ditunjukkan pada Tabel 19.
Tabel 19 Contoh materi gizi dalam mata pelajaran siswa kelas 8
45
No. Materi Mata Pelajaran Sub bab 1 Konsep dasar gizi Biologi Makanan dan kandungan zat yang
ada di dalamnya Fungsi makanan dan pentingnya
ASI bagi Bayi Pencernaan makanan
2 Hubungan gizi dan penyakit
Biologi Kelainan dan penyakit pada sistem pencernaan
3 Pemilihan makanan Agama Adab makan dan minum 4 Kebiasaan makan dan
gaya hidup Bimbingan Konseling
Pola hidup sehat Menjalani pola hidup sehat
Secara ekstrakurikuler, selain dilakukan pada organisasi ekstrakurikuler,
seperti PMR dan PC, penyampaian materi gizi juga dilakukan dengan adanya
penyuluhan secara masal. Materi kesehatan terkait gizi yang disampaikan
melalui UKS berupa pengetahuan gizi dasar yang meliputi ilmu gizi, fungsi
makanan, dan zat gizi. Selain itu Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang
berisi 13 pesan dasar untuk mencapai gizi seimbang juga disampaikan.
Pengenalan tanda kurang gizi, seperti pada penyakit anemia gizi besi, dan
pemantauan pertumbuhan menggunakan KMS juga merupakan bagian materi
pendidikan gizi melalui UKS. Kebun sekolah dan kantin sekolah juga dapat
dijadikan sarana pendidikan gizi. Kantin sekolah, selain menjadi pelayanan
kesehatan melalui UKS juga dapat menjadi bagian pendidikan gizi, baik untuk
siswa maupun warga sekolah lainnya, seperti penjajah makanan (Tim Pembina
UKS 2004).
Proses pendidikan yang dilakukan beragam berdasarkan pendidik,
metode dan teknik, serta sarana atau alat pendidikan yang digunakan. Dengan
demikian dalam penilaian keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi
menggunakan ketiga komponen belajar tersebut.
a. Pendidik Gizi
Pelaksana atau pendidik gizi dilakukan oleh berbagai pihak, seperti yang
diperlihatkan pada Tabel 20. Sebagian besar atau 92,3% pendidikan gizi melalui
UKS dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Depkes (1992) dalam Effendi
(2001), menyebutkan bahwa pelaksana sekaligus pembina UKS adalah
Puskesmas. Selain melakukan pendidikan gizi melalui UKS, dalam upayanya
melakukan perbaikan gizi, puskesmas bertugas memantau gizi makanan dan
minuman yang dijual di kantin sekolah, menggalang peran serta warga sekolah
dalam membina kantin sekolah, melatih kader kesehatan remaja tentang gizi dan
melakukan penilaian status gizi melalui penjaringan kesehatan dan pemeriksaan
46
berkala peserta didik (Depkes 2007). Guru dan peer group atau pendidik sebaya
juga banyak berperan sebagai pendidik gizi, masing-masing di 69,2% dan 61,5%
sekolah.
Tabel 20 Sebaran sekolah berdasarkan pendidik gizi di sekolah
Pelaksana pendidikan gizi n % Guru 9 69,2 Peer group/PC 8 61,5 Puskesmas 12 92,3 Tenaga medis/paramedic 2 15,4 Organisasi kepemudaan 1 7,7 Kelompok profesi 2 15,4 Organisasi sosial lain 2 15,4
b. Metode dan Teknik Pendidikan Gizi
Metode dan teknik yang digunakan dalam pendidikan gizi, terutama
secara ekstrakurikuler beragam. Metode adalah cara yang digunakan untuk
mendekati atau mengatur orang yang belajar untuk keperluan pendidikan.
Sedangkan teknik merupakan cara yang digunakan untuk mempertemukan
orang yang akan/sedang belajar dengan materi pelajaran. Keduanya harus dipilih
sedemikian rupa sehingga orang yang belajar memperoleh pengalaman belajar
yang sebaik-baiknya. Pemilihan ini tergantung pada tujuan pendidikan,
kemampuan pengajar, kemampuan orang yang belajar, besar atau luasnya
sasaran, waktu dan fasilitas yang tersedia. Metode pengajaran yang dikenal
diantaranya: metode per orangan, kelompok, dan masal. Adapun teknik
diantaranya: ceramah, diskusi, demonstrasi, role playing dan lainnya (Guhardja
1979). Tabel 21 menunjukkan berbagai teknik pendidikan gizi yang digunakan.
Tabel 21 Sebaran sekolah berdasarkan teknik pendidikan gizi yang digunakan di sekolah
Teknik pendidikan gizi n % Ceramah melalui penyuluhan 13 100,0 Konseling gizi 6 46,2 Praktek langsung 3 23,1
Ceramah adalah teknik yang paling banyak digunakan oleh sekolah
dalam menyampaikan materi pendidikan gizi. Seluruh sekolah menggunakan
ceramah sebagai sarana pendidikan gizi. Penelitian Salmah (1995), tentang
keefektivan permainan dan ceramah dalam pendidikan kesehatan menyimpulkan
bahwa keduanya dapat meningkatkan pengetahuan yang dimiliki. Akan tetapi
ceramah lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan terjadinya
perubahan sikap. Hal ini mengindikasikan ceramah melalui penyuluhan gizi
47
dengan sasaran yang besar (masal atau kelompok) lebih dipilih untuk mencapai
tujuan pendidikan gizi yang dilakukan.
Konseling gizi dilakukan di 46,2% sekolah. Kegiatan konseling ini biasa
dilakukan oleh guru, terutama guru BK/BP dan pendidik sebaya yang tergabung
dalam ekskul PMR atau PC, setelah sebelumnya menerima pelatihan terkait
materi gizi. Adapun praktek langsung dengan pemanfaatan kebun sekolah
sebagai upaya pendidikan dan perbaikan gizi siswa dilakukan hanya di 23,1%
sekolah. Sekolah yang melakukan praktek langsung tersebut melibatkan
partisipasi aktif siswa dalam membuat kebun sekolah, sehingga selain siswa
belajar menanam juga mengetahui sumber makanan yang baik bagi kesehatan.
c. Alat Pendidikan Gizi
Alat pendidikan yang dapat berupa alat peraga sebagai sarana
penyampaian materi sangat penting sehingga materi yang disampaikan dapat
lebih dipahami oleh sasaran. Alat mengajar sendiri didefinisikan sebagai alat
untuk membantu memperluas atau mempertinggi efektifitas dari suatu metode
dan teknik mengajar. Guhardja (1979) membagi alat mengajar menjadi empat
golongan, yaitu alat-alat ilustrasi yang biasa digunakan saat ceramah, alat-alat
penyebar, alat-alat lingkungan dan alat-alat praktek. Adapun alat yang digunakan
dalam pendidikan gizi melalui UKS dapat ditampilkan dalam Tabel 22 sebagai
berikut,
Tabel 22 Sebaran sekolah berdasarkan alat pendidikan gizi yang digunakan di sekolah
Alat peraga pendidikan gizi n % Poster/gambar 8 61,5 Mading/kording 2 15,4 Buku bacaan 12 92,3 Kartu menuju sehat (KMS) 2 15,4 Power point (PPT) 10 76,9 Brosur 3 23,1 Film 2 15,4
Pendidikan gizi dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media
atau alat peraga. Buku bacaan merupakan alat yang paling banyak digunakan
sekolah untuk menyampaikan materi gizi, yaitu sebanyak 92,3%. Buku
merupakan salah satu sumber daya yang dimiliki sekolah. Proses pendidikan
bagi siswa tak lepas dari peranan buku. Heneman dkk (2008) dalam
penelitiannya menggunakan metode Reading Across My Pyramid (RAMP).
Pendidikan gizi yang dilakukan dengan metode ini disesuaikan dengan kurikulum
48
dan sumber daya yang ada di sekolah, yaitu keharusan siswa untuk membaca
atau dengan kata lain menggunakan buku sebagai media pendidikan gizi. Hal ini
terbukti efektif, walaupun tidak terlalu signifikan, akan tetapi terdapat
kecenderungan meningkatnya pengetahuan siswa terkait dengan konsumsi
pangan dan aktivitas fisik yang baik. Penggunaan slide presentasi (PPT) juga
dirasa lebih praktis digunakan oleh 76,9% sekolah. Poster atau gambar
digunakan sebagai alat peraga di 61,5% sekolah.
Berdasarkan ketiga komponen belajar yang telah disebutkan di atas,
keragaan penyelenggaraan pendidikan ini dibagi menjadi tiga kategori.
Umumnya penyelenggaraan pendidikan gizi yang dilakukan di sekolah tergolong
pada kategori baik, yaitu sebesar 61,5% seperti yang ditunjukkan pada Tabel 23.
Jumlah skor rata-rata yang kurang dari 60% mengindikasikan belum optimalnya
proses pendidikan gizi yang dilakukan di setiap sekolah.
Tabel 23 Statistik dan sebaran sekolah berdasarkan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah
Kategori n % Cukup Baik 4 30,8 Baik 8 61,5 Sangat Baik 1 7,7
Total 13 100,0 Rataan ± simpangan baku 50,5 ± 3,5
Sebaran data sekolah yang ditampilkan pada Tabel 24 menunjukkan
bahwa sekolah yang menyelenggarakan pendidikan gizi dengan sangat baik
cenderung menggunakan teknik pendidikan yang beragam dengan melibatkan
sangat banyak pihak sebagai pelaksana pendidikan serta menggunakan alat
peraga sebagai alat penyampai pesan gizi yang sangat beragam. Selain itu
sekolah dengan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi yang baik, memiliki
persentase terbesar telah menggunakan teknik pendidikan yang sangat beragam
(100%) dan menggunakan alat pendidikan gizi yang sangat beragam pula (80%),
serta telah melibatkan pendidik dalam kategori jumlah yang banyak (83,3%).
Sedangkan sekolah dengan kategori cukup baik, pada komponen belajar yang
diterapkan juga masih tergolong cukup. Teknik pendidikan sebagian besar
terkategori cukup beragam (40%), dengan pelibatan pendidik gizi yang juga
cukup banyak (60%), serta alat pendidikan yang cukup beragam (75%).
Tabel 24 Sebaran sekolah berdasarkan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi dan tiga komponen belajar
49
Komponen belajar Penyelenggaraan pendidikan gizi
Total Cukup baik Baik Sangat baik n % n % n % n %
Teknik pendidikan gizi Cukup beragam 2 40,0 3 60,0 0 0,0 5 100,0 Beragam 2 28,6 4 57,1 1 14,3 7 100,0 Sangat beragam 0 0,0 1 100,0 0 0,0 1 100,0
Pendidik gizi Cukup banyak 3 60,0 2 40,0 0 0,0 5 100,0 Banyak 1 16,7 5 83,3 0 0,0 6 100,0 Sangat banyak 0 0,0 1 50,0 1 50,0 2 100,0
Alat pendidikan gizi Cukup beragam 3 75,0 1 25,0 0 0,0 4 100,0 Beragam 1 25,0 3 75,0 0 0,0 4 100,0 Sangat beragam 0 0,0 4 80,0 1 20,0 5 100,0
Tingkat Pengetahuan Gizi Siswa
Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh.
Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk
menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur
pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan.
Pengetahuan gizi seseorang juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan bisa menggambarkan kemampuan kognitif dan pengetahuan
yang dimiliki oleh seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka
semakin luas tingkat pengetahuan seseorang (Emilia 2008).
Pengukuran pengetahuan gizi siswa yang dilakukan menggunakan salah
satu dari lima konsep perilaku gizi remaja yang dikemukakan oleh Emilia (2008),
dimana pertanyaan yang diajukan terkait akan konsep dasar gizi. Pertanyaan
yang banyak dijawab salah oleh siswa terkait konsep dasar gizi adalah mengenai
makanan sumber zat besi dan jenis vitamin yang larut dalam air. Pertanyaan ini
masing-masing dijawab dengan benar sebanyak 38,5% dan 48,1% siswa.
Pertanyaan tentang protein sebagai zat gizi yang berperan sebagai zat
pembangun dan pengatur hanya dapat dijawab benar oleh 59,6% siswa.
Pertanyaan kurangnya zat besi dapat menimbulkan anemia juga dijawab benar
dengan persentase rendah (53,8%). Selain itu pertanyaan rentang usia dapat
terjadinya gangguan obesitas hanya dijawab benar oleh 53,8% (Tabel 25).
Tabel 25 Persentase siswa yang menjawab benar terkait konsep perilaku gizi
No. Pertanyaan lima konsep perilaku gizi n %
50
Konsep dasar Gizi 1 Istilah lain dari gizi 50 96,2
2 Pengertian ilmu gizi 51 98,1
3 Zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh 50 96,2
4 Zat gizi yang berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur 31 59,6
5 Bahan makanan sumber protein hewani 50 96,2
6 Bahan makanan sumber karbohidrat 37 71,2
7 Zat gizi yang dapat digunakan sebagai sumber energi 41 78,8
8 Makanan sumber serat 50 96,2
9 Fungsi vitamin 51 98,1
10 Bahan makanan sumber vitamin 49 94,2
11 Vitamin yang larut air 25 48,1
12 Struktur jaringan tubuh yang diperkuat oleh Vitamin D dan Ca dapat memperkuat
39 75,0
13 Makanan sumber zat besi 20 38,5
14 Penyakit akibat kekurangan zat besi 28 53,8 15 Susunan menu makanan yang bergizi seimbang 50 96,2 16 Penyakit akibat konsumsi makanan dan minuman yang tidak
bersih 51 98,1
17 Periode usia dimana fungsi pertumbuhan masih berlangsung 39 75,0 18 Periode usia dapat terjadinya gangguan obesitas 28 53,8
19 Penyimpanan zat gizi dalam tubuh akibat konsumsi energi yang berlebihan
39 75,0
20 Banyaknya air yang sebaiknya diminum setiap hari 47 90,4
Hal ini mengindikasikan kurangnya pengetahuan gizi siswa terkait aplikasi
pemanfaatan zat gizi dalam tubuh untuk kehidupan keseharian. Rendahnya
pengetahuan siswa terkait informasi anemia gizi besi, yang ditunjukkan dengan
rendahnya persentase pertanyaan mengenai zat besi dan anemia yang dijawab
benar, dapat menjadi salah satu kecenderungan masih banyaknya kasus anemia
gizi besi di usia remaja. Depkes (2007) menyebutkan prevalensi anemia
defisiensi besi pada anak usia sekolah di Indonesia sebesar 47,5% dan 57,5%
terjadi pada anak usia 10-14 tahun yang rata-rata merupakan usia anak sekolah
lanjutan tingkat pertama.
Anak usia sekolah lanjutan, yang merupakan periode remaja sangat
membutuhkan pengetahuan gizi yang baik dalam upaya mencegah terjadinya
berbagai masalah gizi dan kesehatan di kemudian hari. Remaja umumnya
menyukai sesuatu yang baru dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya
51
sehingga cenderung berani mengambil risiko tanpa didahului oleh pertimbangan
yang matang akan dampak yang ditimbulkan bagi kesehatannya. Karenanya
pengetahuan yang baik terutama gizi diharapkan menjadi suatu benteng
terhadap masalah gizi yang umum diderita oleh remaja, seperti gizi kurang dan
gizi lebih.
Tingkat pengetahun gizi siswa SMP Kota Depok, relatif berada pada
kategori sedang (51,9%) dan tinggi (42,3%), seperti yang ditunjukkan pada tabel
berikut,
Tabel 26 Statistik dan sebaran siswa berdasarkan tingkat pengetahuan gizi siswa
Kategori n % Rendah 3 5,8
Sedang 27 51,9 Tinggi 22 42,3
Total 52 100,0
Rataan ± simpangan baku 79,4 ± 10,5
Tabel 27 menunjukkan bahwa, berdasarkan karakteristik siswa menurut
jenis kelamin, umumnya siswa berjenis kelamin baik laki laki maupun perempuan
memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang, masing-masing sebanyak 46,2%
dan 53,8%. Siswa berjenis kelamin perempuan memiliki skor rata-rata tingkat
pengetahuan gizi yang lebih baik dibanding laki-laki.
Tabel 27 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik dan tingkat pengetahuan gizi siswa
Karakteristik siswa
Tingkat pengetahuan gizi siswa Total Rataan ± simpangan
baku Rendah Sedang Tinggi n % n % n % n %
Jenis Kelamin Laki-laki 2 15,4 6 46,2 5 38,5 13 100,0 76,2 ± 14,0 Perempuan 1 2,6 21 53,8 17 43,6 39 100,0 80,5 ± 9,0
Usia (tahun) 12 0 0,0 3 42,9 4 57,1 7 100,0 82,1 ± 9,1 13 3 6,8 24 54,5 17 38,6 44 100,0 78,6 ± 10,6 14 0 0,0 0 0,0 1 100,0 1 100,0 95,0 ± 0,0
Berdasarkan karakteristik usia, persentase terbesar siswa berusia 12
tahun memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tinggi, sebanyak 57,1%.
Sedangkan siswa dengan usia 13 tahun umumnya memiliki tingkat pengetahuan
gizi yang sedang (54,5%). Adapun sebanyak 100% siswa berusia 14 tahun
memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tinggi. Skor rata-rata tingkat pengetahuan
gizi tertinggi dimiliki oleh kategori siswa berusia 14 tahun sedangkan yang
terendah oleh siswa berusia 13 tahun.
52
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Keragaan UKS dengan Keragaan Penyelenggaraan Pendidikan Gizi di Sekolah
Data pada Tabel 28 menunjukkan bahwa sekolah dengan keragaan UKS
yang sangat baik telah menyelenggarakan pendidikan gizi dengan sangat baik
pula, dengan persentase terbesar yaitu 100%. Sebanyak 75% sekolah yang
tergolong memiliki keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi cukup baik,
memiliki keragaan UKS yang cenderung cukup baik. Uji korelasi Pearson
menunjukkan keragaan UKS dan penyelenggaraan pendidikan gizi memiliki
hubungan yang signifikan (p=0,011, r=0,677). Semakin baik keragaan
penyelenggaraan pendidikan gizi yang dilakukan di sekolah maka cenderung
semakin baik pula keragaan UKS yang dilaksanakan. Keeratan hubungan antara
keduanya tergolong kuat.
Tabel 28 Sebaran sekolah berdasarkan keragaan UKS dan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah
Keragaan penyelenggaraan
pendidikan gizi
Keragaan UKS Total
Cukup baik Baik Sangat baik n % n % n % n %
Cukup baik 3 75,0 1 25,0 0 0,0 4 100,0 Baik 4 50,0 2 25,0 2 25,0 8 100,0 Sangat baik 0 0,0 0 0,0 1 100,0 1 100,0
Pendidikan gizi adalah salah satu program yang dilaksanakan sekolah
melalui UKS yang secara umum merupakan rangkaian dari pendidikan
kesehatan, salah satu komponen program pokok UKS (TRIAS UKS). Pendidikan
gizi salah satu upaya dalam perbaikan status gizi siswa.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Gizi Siswa dengan Keragaan UKS dan Keragaan Penyelenggaraan Pendidikan Gizi di Sekolah
Tingkat pengetahuan gizi yang tinggi, persentase terbesar dimiliki oleh
sekolah dengan keragaan UKS yang cukup baik (54,5%). Sedangkan tingkat
pengetahuan gizi siswa yang rendah, terdapat pada sekolah dengan keragaan
UKS yang sangat baik (16,7%).
Pelaksanaan UKS bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
siswa. Beberapa program tidak secara langsung berhubungan dengan tingkat
pengetahuan gizi siswa. Adapun salah satu program yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan gizi siswa adalah dengan pendidikan kesehatan
yang dilakukan melalui upaya penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah.
Tabel 29 Sebaran sekolah berdasarkan tingkat pengetahuan gizi siswa, keragaan UKS dan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi di sekolah
53
Tingkat pengetahuan gizi siswa Total Rataan ± simpangan baku Rendah Sedang Tinggi
n % n % n % n % Keragaan UKS
Cukup baik 1 3,0 14 42,4 18 54,5 33 100,0 81,1 ± 10,5 Baik 0 0,0 6 85,7 1 14,3 7 100,0 76,4 ± 5,6 Sangat baik 2 16,7 7 58,3 3 25,0 12 100,0 76,7 ± 12,3
Keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi
Cukup baik 1 5,0 9 45,0 10 50,0 20 100,0 81,0 ± 10,1 Baik 2 7,4 16 59,3 9 33,3 27 100,0 77,2 ± 11,2 Sangat baik 0 0,0 2 40,0 3 60,0 5 100,0 85,0 ± 5,0
Persentase terbesar tingkat pengetahuan gizi siswa yang tinggi, sebesar
60% terdapat pada sekolah dengan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi
yang baik. Adapun tingkat pengetahuan gizi yang rendah, persentase terbesar
juga dimiliki oleh sekolah dengan penyelenggaraan pendidikan gizi yang
tergolong baik (7,4%).
Upaya peningkatan pengetahuan gizi melalui sekolah dapat dicapai
dengan proses pendidikan gizi yang berjalan secara efektif. Heneman dkk (2008)
melalui penelitiannya berasumsi bahwa pembelajaran kesehatan yang diberikan
memerlukan setidaknya 15 jam pertemuan dalam meningkatkan pengetahuan
anak. Adapun pendidikan gizi di sekolah yang dilakukan secara ekstrakurikuler
hanya diberikan dalam rentang waktu 2 jam. Peningkatan pengetahuan yang
lebih besar dan signifikan mungkin dapat dicapai bila intervensi dilakukan secara
menyeluruh dengan memberikan seluruh materi yang sesuai dengan kurikulum
dan waktu pelaksanaannya.
Peningkatan pengetahuan gizi siswa tidak hanya dapat dilakukan melalui
pendidikan gizi yang dilakukan di sekolah. Hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa baik tingkat pengetahuan gizi yang tinggi maupun rendah dimiliki sekolah
dengan keragaan penyelenggaraan pendidikan gizi yang baik, mengindikasikan
adanya faktor lain yang memperngaruhi tingkat pengetahuan gizi siswa selain
dari proses pendidikan di sekolah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal
tersebut. Pada usia remaja tekanan dari teman sebaya lebih mendominasi dalam
perilaku gizi (Contento 2007). Akan tetapi lebih kuat dari pada itu, sebenarnya
lingkungan keluarga melalui hubungan dengan orang tua, kakak-adik, dan
tetangga dapat lebih berpengaruh dan merupakan salah satu faktor yang dapat
menambah pengetahuan seseorang (Syarief 1988). Hal ini selaras dengan hasil
penelitian Setiawati (2006) tentang peran teman sebaya dalam meningkatkan
pengetahuan siswa, ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan.
Lingkungan keluarga atau orang tua lebih menentukan. Selain itu media