Upload
vudat
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam ruang
lingkup daerah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan ibu kotanya Sengkang,
dibentuk sesuai dengan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan
daerah-daerah tingkat dua di Sulawesi Selatan. Luas Wilayah Kabupaten Wajo
±2 506.19 km2
(250.619 Ha) atau 4.01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi
Selatan, dengan wilayah yang berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kab. Luwu dan Kab. Sidenreng Rappang
Sebelah Timur : Teluk Bone
Sebelah Selatan : Kab. Soppeng dan Kab. Bone
Sebelah Barat : Kab. Soppeng dan Kab. Sidrap
Produksi Padi
Tabel 6 Luas Tanam, Panen, Puso dan Produksi Padi Tiap Kecamatan di
Kabupaten Wajo Tahun 2011
No. Kecamatan Luas Tanam
(Ha)
Luas panen
(Ha)
Puso
(Ha)
Produksi
(ton)
1. Tempe 1 110 837 80 4 110
2. Tanasitolo 11 143 10 886 939 55 138
3. Maniangpajo 10 762 8 100 654 40 905
4. Belawa 10 269 9 684 295 49 466
5. Sabbangparu 8 851 6 713 533 34 538
6. Pammana 7 761 6 929 1 370 33 952
7. Takkalalla 15 573 13 336 716 67 213
8. Sajoanging 9 690 7 198 1 276 36 062
9. Majauleng 18 767 14 715 3 526 72 251
10. Pitumpanua 7 408 7 010 - 35 099
11. Bola 19 228 16 742 1 144 83 794
12. Keera 8 214 4 937 50 24 685
13. Gilireng 4 873 4 396 148 21 760
14. Penrang 12 906 13 098 771 65 490
Jumlah 146 555 124 581 11 502 623 777
2011 146 555 124 581 11 502 623 777
2010 146 412 100 924 8 173 443 763
2009 82 520 94 738 20 600 439 016
2008 133 779 117 748 3 613 544 409
2007 126 534 92 966 13 217 383 924
Sumber : Data Sekunder, Statistik Pertanian Kabupaten Wajo, 2011
24
Tanaman padi merupakan tanaman komoditas utama yang diusahakan
petani di kabupaten Wajo, namun produksi yang diperoleh petani masih sangat
bervariasi, hal ini disebabkan karena tingkat penerapan teknologi usahatani padi
juga bervariasi. Tingkat penerapan teknologi ini disebabkan karena tingkat
pengetahuan dan ketersediaan teknologi masih terbatas serta ketersediaan modal
yang kurang terutama untuk membeli sarana produksi.
Hasil observasi di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Majauleng, Tanasitolo,
dan Maniangpajo, menunjukkan bahwa sebagian besar petani melakukan proses
pengeringan gabah dengan menggunakan lantai jemur atau sistem lamporan serta
proses pemanenannya sering mengalami penundaan dikarenakan fasilitas yang
akan digunakan mengalami kerusakan dan keterbatasan tenaga kerja. Tanaman
padi sawah merupakan tanaman yang bersifat musiman, sehingga setiap tahunnya
memerlukan tenaga kerja yang tidak tetap. Pada waktu tertentu memerlukan
tenaga kerja yang banyak, misalnya pada saat musim tanam dan saat panen.
Upaya mengatasi susut pascapanen terkendala bukan oleh minimnya penerapan
teknologi, melainkan oleh masalah nonteknis dan sosial. Nugraha et al. (1999)
melaporkan bahwa waktu panen yang tidak tepat bukan karena petani pemilik
sawah tidak mengetahui teknik penentuan umur panen, tetapi waktu panen sering
ditentukan oleh penderep.
Analisa Susut Mutu Beras
Pemanenan
Penyebaran varietas di Sulawesi Selatan, varietas Ciliwung yang dilepas
tahun 1988 atau 18 tahun yang lalu mempunyai penyebaran terluas mencapai
67-95% dalam setiap musim tanam, kemudian Way Apo Buru, Ciherang,
Cisantana, Membrano, IR64, masing-masing sekitar 20-30% dari luas tanam
setiap musim. Dari sejumlah varietas unggul yang dilepas pada periode tahun
2000an hanya sebagian kecil yang diadopsi. Varietas tersebut adalah Ciberang,
Cisantana dan Cigeulis dengan tingkat penyebaran yang luas. Sebanyak 11
varietas yang mempunyai penyebaran terluas dengan kisaran 2 825-196 591 ha
pada setiap musim tanam di Sulawesi Selatan yaitu Cisadane, Way Apo Buru,
Membrano, Cisantana, Ciherang, Ciliwung, IR64, Sintanur, IR66, Cigeulis dan
Selebes.
Varietas Way Apo Buru, Membrano, Cisantana, Ciliwung, IR64, Sintanur,
Cigeulis dan IR66 adalah varietas yang dikembangkan petani dalam setiap musim
tanam. Luas tanam varietas tersebut berkisar 3 342 ha sampai 19 659 ha. Varietas
Cigeulis yang dilepas tahun 2003, penyebarannya baru terlihat mulai MT.I tahun
2004/2005 seluas 4 096 ha. Varietas ini terlihat cepat menyebar dan disukai
petani dan konsumen sehingga pada MT.I 2005/2006 mempunyai penyebaran
seluas 12 572 ha. Varietas Diah Suci yang dihasilkan BATAN pada tahun 2000an
dikembangkan petani tahun 2005/2006 seluas 2 825 ha.
Ketersediaan benih menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
penyebaran varietas. Varietas yang paling mudah diperoleh benihnya sampai saat
ini adalah Ciliwung, sedangkan varietas yang lainnya kurang terjamin
keberadaannya baik di PT. Shanghyangseri, PT. Pertani, Balai Benih maupun
di Kios atau Toko Tani. Itulah sebabnya varietas Ciliwung selalu menempati
25
penyebaran varietas terluas dibandingkan dengan seluruh varietas lainnya
(Imran A, Suriani 2007).
Keterbatasan peralatan pascapanen yang dimiliki oleh kelompok maupun
pribadi petani, misalnya alat panen, alat perontokan maupun alat pengering.
Keterbatasan peralatan tersebut dapat menyebabkan lamanya rantai proses
penanganan pascapanen. Di lapangan masih dijumpai terjadinya ketelambatan
panen, penundaan perontokan padi karena kurangnya mesin perontok, penundaan
pengeringan karena terbatasnya sarana dan ketersediaan mesin pengering
(Ananto et al. 2002).
Alat pemanenan padi berkembang dari ani-ani menjadi sabit biasa,
kemudian menjadi sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam, dan
terakhir diintroduksikan reaper, stripper, dan combine harvester. Dengan
menggunakan combine harvester, kehilangan hasil tersebut dapat diminimalkan
menjadi hanya 2.5% karena panen, pengumpulan, dan perontokan digabung
menjadi satu tahapan kegiatan (Purwadaria dan Sulistiadji 2011). Untuk
mengatasi sifat subyektivitas pemanen, meningkatkan efisiensi kerja dan guna
mengantisipasi terjadinya kesulitan tenaga kerja, maka telah dilakukan pada
penelitian ini penggunaan mesin pemanen dan perontok combine harvester
kapasitas kerja 5 jam/ha dan petani banyak yang berminat setelah diintrodusir alat
panen ini, karena pengoperasiannya lebih mudah dan biaya lebih murah
dibandingkan sistem panen berkelompok.
Panen merupakan kegiatan akhir dari proses produksi di lapangan dan faktor
penentu proses selanjutnya. Pemanenan dan penanganan pascapanen perlu
dicermati untuk dapat mempertahankan mutu sehingga dapat memenuhi
spesifikasi yang diminta konsumen. Penanganan yang kurang hati-hati akan
berpengaruh terhadap mutu dan penampilan produk yang berdampak kepada
pemasaran. Menurut Suismono 2010; Nugraha S 2012) ketersediaan alat perontok
yang memadai akan lebih mudah mengatasi terjadinya keterlambatan atau
penundaan perontokan padi. Dampak yang lebih luas gabah yang dihasilkan
mempunyai kualitas yang bagus sehingga dapat mendukung program penyediaan
beras berkualitas, beras berlabel yang memenuhi standar SNI serta memberi nilai
tambah kepada petani dengan harga jual yang tinggi.
Waktu panen dilakukan berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi
varietas Ciliwung yaitu 100 hari setelah tanam. Lama penundaan pemanenan
dapat menurunkan persentase mutu beras kepala dan meningkatkan persentase
butir patah dan butir rusak, hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 7. Hasil
perhitungan kadar air setelah pemanenan dan perontokan yaitu pemanenan tanpa
penundaan (P0) 22.44%, penundaan panen 3 hari (P1) 22.02%, penundaan 6 hari
(P2) 21.5% dan penundaan 10 hari (P3) 19.26%.
Persentase butir kepala pada proses pemanenan menunjukkan hasil yang
diperoleh yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 96.25%, penundaan panen
3 hari (P1) 94.95%, penundaan 6 hari (P2) 93.42% dan penundaan 10 hari
(P3) 90.68% (Tabel 7). Pemanenan yang dilakukan sebelum umur optimal
menyebabkan kualitas gabah yang kurang baik karena tingginya persentase butir
hijau pada gabah, sedangkan panen yang dilakukan setelah lewat masak akan
menyebabkan jumlah gabah yang hilang karena rontok pada saat pemotongan
akan besar dan menurunkan persentase butir kepala.
26
Pada Tabel 7, penurunan mutu juga terjadi pada butir patah dan butir kuning
yaitu pemanenan tanpa penundaan (P0) 2.25% dan 0.27%, penundaan panen 3
hari (P1) 5.8% dan 0.77%, penundaan 6 hari (P2) 6.95% dan 1.03%, penundaan
10 hari (P3) 13.25% dan 1.48%. Menurut Nugraha et al. 1999; Nugraha S 2012
penurunan mutu dapat terjadi karena proses metabolisme di dalam biji tetap
berlangsung, walaupun padi telah dipanen. Aktivitas nikroorganisme dapat terjadi
bila kadar air gabah masih tinggi, sehingga dapat terjadi reaksi browning
enzymatis yang dapat berakibat butir beras berwarna kuning, busuk, rusak maupun
hitam.
Tabel 7 Hasil Analisis Mutu Pemanenan
Perlakuan Kadar
Air(%)
Butir
Kepala(%)
Butir
Patah(%)
Butir
Kuning(%)
P0 22.44±0.06d 96.25±0.14d 2.25±0.03d 0.27±0.04d
P1 22.02±0.03c 94.95±0.04c 5.8±0.16c 0.77±0.09c
P2 21.55±0.04b 93.42±0.19b 6.95±0.08b 1.03±0.005b
P3 19.26±0.10a 90.68±0.05a 13.25±0.1a 1.48±0.04a
Keterangan : P0, P1, P2, P3 (Penundaan pemanenan 0, 3, 6, 10 hari). Nilai ditampilkan
dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf yang berbeda pada
baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik (P<0.05)
Hasil perhitungan susut mutu pada butir kepala yaitu penundaan pemanenan
selama 3 hari (P1) 1.29%, penundaan pemanenan selama 6 hari (P2) 2.82%, dan
penundaan pemanenan selama 10 hari (P3) 5.56%. Waktu panen yang terlalu awal
akan menyebabkan mutu beras rendah, sedangkan panen yang terlambat akan
menyebabkan produksi menurun dan mutu beras rendah, karena susut yang
diakibatkan oleh gabah rontok dan persentase gabah retak tinggi akibat proses
pemecahan oleh sinar matahari. Semakin tinggi kadar air awal maka semakin
banyak gabah retak dalam pengeringan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan penundaan pemanenan
berpengaruh secara signifikan (P<0.05) terhadap kadar air, butir kepala, butir
patah dan butir rusak. Ketepatan waktu panen sangat mempengaruhi kualitas bulir
padi dan kualitas beras. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 7, setiap
perlakuan penundaan pemanenan P0, P1, P2 dan P3 memiliki persentase mutu
beras yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraha (2008) bahwa
berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan
hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik. Umumnya panen
optimum dilakukan pada saat gabah menguning 90-95%. Peningkatan penyusutan
kadar air, beras kepala, butir patah dan butir rusak/kuning pada proses penundaan
pemanenannya. Semakin lama proses penundaan pemanenan dan perontokan
maka persentase susut mutunya meningkat. Hal ini didukung oleh (Juliano 2003)
bahwa meningkatnya beras patah dan butir kuning disebabkan oleh peningkatan
suhu dan kelembapan selama penumpukan. Peningkatan suhu akan merusak
sel-sel sehingga beras menjadi patah saat dilakukan penyosohan.
27
Penjemuran
Secara biologis, gabah yang baru dipanen masih hidup sehingga masih
berlangsung proses respirasi yang menghasilkan CO2, uap air, dan panas sehingga
proses biokimiawi berjalan cepat. Jika proses tersebut tidak segera dikendalikan
maka gabah menjadi rusak dan beras bermutu rendah. Salah satu cara perawatan
gabah adalah melalui proses pengeringan dengan cara dijemur atau menggunakan
mesin pengering. Proses pengeringan yang tidak sempurna juga dapat
menimbulkan susut mutu pada produk selama proses penggilingan. Secara umum,
peningkatan susut mutu beras juga dipengaruhi oleh : varietas tanaman, kadar air
gabah saat panen, alat panen, cara panen, cara/alat perontokan, dan sistem
pemanenan padi.
Hasil observasi di 3 Kecamatan yang mewakili Kabupaten Wajo yaitu
Kecamatan Maniangpajo, Tanasitolo, dan Majauleng menunjukkan bahwa
sebagian besar petani melakukan penjemuran dengan lantai jemur. Kendala yang
dihadapi petani dalam penanganan pascapanen adalah ketidakmampuan petani
menerapkan inovasi teknologi baru dan mengubah kebiasaan yang sudah
berkembang dalam masyarakat. Untuk mengeringkan hasil panennya petani
setempat pada umumnya menggunakan sinar matahari, sebab sinar matahari
mudah didapat karena tersedia dalam jumlah yang banyak, sehingga relatif lebih
menguntungkan petani karena pelaksanaannya mudah. Motifasi dalam
pemanfaatan energi matahari terutama disebabkan karena proses kerjanya yang
sangat sederhana dan biaya operasinya yang relatif murah dibandingkan dengan
pemakaian mesin-mesin pengering. Disamping itu rendahnya modal usaha tani
rata-rata petani akan lebih mendorong digunakannya penjemuran.
Hasil pengamatan pada penjemuran gabah dengan lamporan dan
penjemuran dengan alas terpal, penjemuran gabah dilakukan selama ±2 hari
hingga diperoleh kadar air mendekati 14%. Waktu penjemuran gabah di mulai
jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 sore dengan suhu gabah berkisar 32 hingga
47 oC, setiap 2 jam sekali dilakukan proses pembalikan gabah agar gabah yang
berada pada posisi bawah juga mendapatkan energi matahari, sehingga
mempercepat proses penguapan. Tingkat ketebalan gabahnya ±6 cm, hal ini
dilakukan untuk mengurangi tingkat keretakan gabah akibat suhu sinar matahari
yang tinggi. Ketebalan pengeringan dapat meningkatkan persentase beras pecah.
Hal ini karena biji yang berada pada kondisi tersebut mempunyai kadar air yang
tinggi akibat berkurangnya aliran udara dalam lingkungan, dan dengan
bertambahnya waktu, jaringan biji akan semakin rusak karena terjadi hidrolisis
karbohidrat dalam biji menjadi gula sederhana. Selain itu, dengan berkurangnya
oksigen akan terjadi proses fermentasi yang mengakibatkan biji mudah patah atau
rusak. Tingginya kadar air disebabkan oleh sifat higroskopis dari biji, yaitu dapat
menyerap air dari udara sekelilingnya dan dapat melepaskan sebagian air yang
terkandung di dalamnya. Dengan sifat higroskopis tersebut akan terjadi absorpsi
air antarbiji (Iswari K 2012). Sedangkan menurut Juliano (2003) yang
menjelaskan bahwa pada kadar air rendah, beras cenderung lebih kaku (rigid),
tidak elastis, dan mudah patah dibandingkan dengan pada kadar air yang lebih
tinggi.
28
Pada Tabel 8 butir patah terjadi selama proses penjemuran, dimana butir
patah tertinggi terdapat pada penjemuran dengan lamporan dan penundaan
pemanenan 10 hari (A1P3) yaitu 20.69%, sedangkan butir patah terendah terdapat
pada penjemuran dengan alas terpal dan tanpa penundaan pemanenan (A2P0)
yaitu 5.06%. Tingginga butir patah tersebut terjadi dikarenakan suhu gabah yang
tidak merata dan proses pembalikan gabah tidak dilakukan secara sempurna. Hal
ini didukung oleh (Chen 2008) yang menyatakan bahwa suhu udara pengering
yang tinggi mampu mempercepat proses pengeringan dan penurunan kadar air.
Semakin lama waktu pengeringan dan semakin tinggi suhu operasi maka yield
head rice akan semakin menurun dan terjadi penurunan kualitas pada rasa dan
aroma beras. Rendemen beras kepala kemungkinan dipengaruhi oleh kandungan
protein dan suhu gelatinisasi.
Analisa mutu penjemuran pada Tabel 8 menunjukkan persentase terkecil
terhadap butir patah dan butir kuning terjadi pada penjemuran dengan alas terpal
dan tanpa penundaan pemanenan (A2P0) yaitu 5.06±0.06 dan 0.71±0.05%,
sedangkan untuk persentase tertinggi terhadap butir patah dan butir rusak terjadi
pada penjemuran dengan lamporan dan penundaan pemanenan selama 10 hari
(A1P3) yaitu 20.69±0.11 dan 4.52±0.13%. Hal tersebut disebabkan karena dengan
penggunaan alas terpal pada proses penjemuran gabah dapat mencegah
bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah, memudahkan pengumpulan
gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata, maka penjemuran
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alas (Wijaya 2005). Peranan udara
dalam proses penjemuran adalah sebagai medium pembawa uap air dari bahan
yang dikeringkan serta pengantar energi panas ke dalam bahan yang dikeringkan.
Keadaan sekeliling tempat penjemuran atau lamporan juga mempengaruhi
kelembaban, suhu, dan kecepatan udara yang melewati permukaan bahan.
Hasil perhitungan susut mutu (butir kepala) terendah terdapat pada
penundaan pemanenan selama 3 hari dengan penjemuran lamporan (A1P1) yaitu
1.76% sedangkan tertinggi terdapat pada penundaan pemanenan selama 10 hari
dengan penjemuran lamporan (A1P3) yaitu 6.33% (lampiran 01). Semakin lama
proses penundaan pemanenan pada penjemuran dengan lamporan akan
berpengaruh terhadap peningkatan susut mutu. Menurut Damardjati (1977), beras
yang mengandung protein lebih tinggi ternyata mempunyai persentase beras
kepala lebih tinggi serta persentase dedak lebih rendah (Damardjati 1977).
Sedangkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa rendemen beras kepala lebih
ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti kadar air awal, kondisi dan cara
pengeringan setelah panen, sifat biji dan lama penyimpanan gabah atau padi
(Juliano 1971).
Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 07-10 menunjukkan
bahwa perlakuan penundaan pemanenan memberikan pengaruh nyata terhadap
penyusutan kadar air dengan nilai (p<0.05), sedangkan untuk interaksi penundaan
pemanenan dan penjemuran berpengaruh secara signifikan terhadap mutu butir
kepala, butir patah, dan butir rusak yaitu (p<0.05). Hal ini disebabkan karena
selama waktu panen, penurunan mutu dapat terjadi karena adanya proses
penundaan pemanenan dan kecepatan perputaran alat pada rangkaian mesin
panen. Penundaan panen juga dapat menyebabkan keretakan pada gabah sehingga
akan mudah rusak pada proses pengolahannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Juliano 2003) bahwa penundaan panen akan menurunkan persentase beras kepala
29
dan meningkatkan persentase beras patah. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
proses senescence yang menurunkan kekompakan ikatan antara granula pati dan
jaringan dalam biji. Perbedaan umur panen optimum pada masing-masing varietas
disebabkan oleh faktor genetik.
Tabel 8 Hasil Analisis Mutu Penjemuran
Kombinasi Kadar
Air(%)
Butir
Kepala(%)
Butir
Patah(%)
Butir
Kuning(%)
A1P0 14.06±0.12a 92.67±0.20c 5.29±0.05d 0.79±0.15e
A1P1 14.04±0.03b 90.91±0.06b 10.14±0.15c 2.32±0.15c
A1P2 14.08±0.12c 89.01±0.13a 12.68±0.15b 3.38±0.14b
A1P3 14.04±0.14d 86.34±0.10a 20.69±0.11a 4.52±0.13a
A2P0 13.99±0.12a 93.21±0.03d 5.06±0.06e 0.71±0.05e
A2P1 14.01±0.04b 91.37±0.17c 8.92±0.10d 2.03±0.10d
A2P2 14.05±0.11c 89.88±0.15c 12.56±0.18b 3.20±0.13b
A2P3 14.08±0.21d 87.80±0.09d 20.52±0.11a 4.37±0.16a
Keterangan : A1, A2 (Pengeringan dengan lamporan dan pengeringan dengan alas terpal).
Nilai ditampilkan dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf
yang berbeda pada baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik
(P<0.05)
Uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 8 bahwa masing-masing
kombinasi (interaksi) penundaan pemanenan dan penjemuran terhadap susut mutu
beras berbeda nyata pada taraf 5%. Pengeringan gabah dengan metode
penjemuran menyebabkan butir patah lebih tinggi sehingga kualitas beras yang
dihasilkan lebih rendah, waktu yang dibutuhkan juga lebih lama. Sistem
pengeringan yang umum dilakukan oleh para petani di Indonesia adalah sistem
penjemuran dengan bantuan sinar matahari. Prinsip pengeringan melibatkan dua
fenomena yakni peristiwa perpindahan panas dan perpindahan massa. Proses
perpindahan panas terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara
yang dialirkan di sekelilingnya. Ini berkaitan dengan diberikannya panas pada
bahan yang akan dikeringkan. Sedangkan proses perpindahan massa berkaitan
dengan dikeluarkannya sejumlah cairan dari bahan ke lingkungan. Panas dari
udara pengering akan menaikkan suhu bahan yang menyebabkan tekanan uap air
di dalam bahan lebih tinggi dari pada tekanan uap air di udara, sehingga terjadi
perpindahan uap air dari bahan ke udara (Wijaya 2005). Cara penjemuran gabah
ditumpuk di atas lantai jemur menghasilkan persentase biji rusak yang tertinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena aerasi udara
pada gabah tidak merata dan terakumulasi di bagian tengah tumpukan, sehingga
pengeringan menjadi tidak merata. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Lubis et al. (1990), pada komoditas padi yang menunjukkan bahwa penumpukan
padi basah di lapangan selama 3 hari dapat menyebabkan kerusakan gabah sebesar
1.7-3.1% tergantung pada ketebalan tumpukan dan kehilangan kuantitas
sebesar 9%.
30
Penggilingan
Penggilingan merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras.
Proses penggilingan gabah meliputi pengupasan sekam, pemisahan gabah,
penyosohan, pengemasan, dan penyimpanan beras. Penggilingan konvensional
memiliki 3 komponen utama, yaitu motor penggerak, pemecah kulit/sekam
(husker), dan penyosoh beras (polisher). Dengan tiga komponen tersebut, beras
yang dihasilkan belum memenuhi mutu yang ditetapkan SNI, karena masih
banyak gabah yang tidak tergiling dan adanya benda-benda asing seperti batu,
pasir ataupun biji rerumputan yang terikut bersama beras, serta persentase beras
patah lebih tinggi (Thahir et al. 2000).
Hasil pengamatan mutu penggilingan dapat dilihat pada Tabel 9
menunjukkan persentase tertinggi dan terendah masing-masing terdapat pada butir
kepala A2P0 (79.66%) dan A1P3 (63.07%), butir patah A1P3 (37.06%) dan A2P0
(10.35%), butir kuning A1P3 (8.08%) dan A2P0 (0.82%), rendemen giling A2P0
(67,88%) dan A1P3 (63.38%). Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase
beras patah menjadi semakin meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling
dibedakan atas beras kepala, beras patah, dan menir (Waries 2006). Untuk
mendapatkan beras bermutu baik dengan rendemen giling yang lebih tinggi,
Tjahjohutomo et al. (2004) menyatakan konfigurasi mesin penggilingan padi
perlu diperbaiki dengan menambahkan beberapa komponen, seperti pembersih
gabah (paddy cleaner) sebelum gabah dimasukkan ke dalam husker (mesin
pemecah kulit), serta pemisah gabah (paddy separator) setelah gabah melewati
husker sehingga gabah yang tidak terkelupas dipisahkan dari beras pecah kulit
(BPK). Selanjutnya BPK dimasukkan ke dalam polisher (penyosoh). Susut mutu
dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan dalam nilai derajat sosoh serta
ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan.
Tabel 9 Hasil Analisis Mutu Penggilingan
Kombinas
i
Kadar Air(%) Butir
Kepala(%)
Butir
Patah(%)
Butir
Kuning(%)
Rendemen(%
)
A1P0 14.01±0.02bc 77.92±0.03g 11.41±0.11f 1.01±0.08e 67.73±0.20a
A1P1 13.98±0.04bc 74.67±0.05e 18.76±0.16d 3.66±0.07d 66.81±0.07b
A1P2 13.95±0.05a 69.56±0.05c 24.04±0.22c 5.87±0.06b 64.03±0.07c
A1P3 14.01±0.01bc 63.07±0.14a 37.06±0.04a 8.08±0.09a 63.38±0.11d
A2P0 13.97±0.005c 79.66±0.14h 10.35±0.04g 0.82±0.02e 67.88±0.30a
A2P1 13.94±0.04b 75.36±0.13f 16.58±0.15e 3.47±0.01d 66.79±0.22b
A2P2 14.02±0.005bc 71.25±0.10d 21.11±0.19d 5.22±0.05c 64.08±0.07c
A2P3 14.04±0.02bc 65.13±0.07b 33.8±0.26b 7.84±0.10a 63.79±0.07c
Keterangan : A1, A2 (Pengeringan dengan lamporan dan pengeringan dengan alas terpal).
Nilai ditampilkan dalam bentuk rerata ± simpangan eror dari 3 ulangan. Huruf
yang berbeda pada baris yang sama menerangkan berbeda nyata secara statistik
(P<0.05)
Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Tabel (lampiran 11-15)
menunjukkan perlakuan penundaan pemanenan, penjemuran serta interaksinya
memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air , butir kepala, butir patah dan butir
31
kuning dengan nilai (p<0.05), sedangkan untuk rendemen hanya berpengaruh
nyata pada penundaan pemanenan (p<0.05). Adanya penundaan proses
pemanenan dan perontokan akan mempengaruhi terjadinya penurunan baik secara
kualitas maupun kuantitas padi serta gabah yang dihasilkan. Mutu beras giling
dikatakan baik jika hasil proses penggilingan diperoleh beras kepala yang banyak
dengan beras patah minimal. Mutu giling ini juga ditentukan dengan banyaknya
beras putih atau rendemen yang dihasilkan. Menurut Adnyana et al. (1994), upaya
perbaikan penanganan pascapanen melalui penyebaran komponen maupun paket
teknologi penanganan pascapanen belum memberi hasil yang memuaskan, karena
sebagian dari teknologi tersebut belum diadopsi oleh petani. Terhambatnya proses
adopsi teknologi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) teknologi yang
diciptakan belum sesuai dengan kebutuhan pengguna, 2) mekanisme penyampaian
hasil penelitian teknologi pascapanen relatif panjang dengan hierarki yang kaku,
3) tenaga penyuluh belum sepenuhnya melakukan tugas fungsionalnya dalam
penyampaian informasi teknologi pascapanen, dan 4) belum samanya persepsi dan
kemampuan peneliti dan penyuluh dalam memahami profil wilayah sasaran
pengembangan teknologi pascapanen.
Uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 9, bahwa masing-masing
kombinasi (interaksi) penundaan pemanenan dan penjemuran terhadap mutu beras
pada proses penggilingan berbeda nyata pada taraf 5%. Tingginya persentase butir
patah yang dihasilkan menunjukkan kualitas beras yang dihasilkan dan rendahnya
kualitas beras selain dipengaruhi oleh kualitas awal gabahnya juga berkaitan
dengan kondisi mesin giling yang sudah tua dengan perawatan yang kurang baik.
Petani belum semuanya menerapkan cara penggilingan yang baik (good miling
parctice) dan masih banyak dijumpai model penggilingan padi satu alur (phase)
dengan kondisi yang cukup tua. Kondisi tersebut menyebabkan banyak di antara
penggilingan padi tidak bekerja secara maksimal dengan kondisi mesin yang tidak
sempurna pula. Hal ini akan menyebabkan proses penggilingan yang tidak
berjalan dengan baik, dihasilkannya beras pecah dan menir yang tinggi, beras
giling yang kotor, serta rendemen giling yang rendah (Rachmat 2004).
Analisa Kualitas Beras
Di Kabupaten Wajo merupakan daerah penghasil beras, akan tetapi beras
yang diproduksi masih berada pada taraf mutu kurang baik. Penyebab utamanya
yaitu penanganan panen dan pascapanen padi yang kurang baik, serta proses
pemanenan dan pengeringan yang mengalami penundaan karena kurangnya
tenaga kerja dan fasilitas yang dimiliki oleh petani. Mutu beras sangat bergantung
pada mutu gabah yang akan digiling dan sarana mekanis yang digunakan dalam
penggilingan. Selain itu, mutu gabah juga dipengaruhi oleh genetik tanaman,
cuaca, waktu pemanenan, dan penanganan pasca panen. Diharapkan dengan
adanya pengkelasan mutu beras, maka pedagang atau pelaku pasar beras akan
lebih mudah memilih segmen pasar yang akan dituju khususnya di Kabupaten
Wajo Sulawesi Selatan. Namun, sebelum beras didistribusikan ke konsumen,
perlu dilakukan pengujian mutu beras.
Hasil pengukuran persentase kadar air terhadap kualitas beras varietas
Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa
masing-masing interaksi antara penundaan pemanenan dan sistem penjemurannya
tidak berbeda nyata, yaitu 13.89-14.04%. Pengeringan gabah dengan metode
32
penjemuran menyebabkan kadar beras patah dan susut bobot lebih tinggi sehingga
kualitas beras yang dihasilkan lebih rendah, waktu yang dibutuhkan pun lebih
lama. Peneliti lain menyebutkan diperlukan waktu 3-4 hari. Kelemahan sistem
pengeringan ini antara lain ketergantungan terhadap cuaca, pemakaian lahan yang
luas, waktu pengeringan yang lama, kualitas produk yang tidak seragam serta
mudahnya kontaminasi benda asing (Wijaya 2005).
Penggilingan gabah menjadi beras sosoh, dimulai dengan pengupasan kulit
gabah. Syarat utama proses pengupasan gabah adalah kadar keringnya gabah yang
akan digiling. Gabah kering giling berarti gabah yang sudah kering dan siap
digiling. Bila diukur dengan alat pengukur air, maka angka kekeringannya
mencapai 14-14.5%.
Rendahnya kadar air gabah di tingkat petani dikarenakan keterbatasan
pengetahuan petani dalam menentukan kadar air giling yang tepat, disamping
secara umum petani tidak mempunyai alat untuk mengukur kadar air gabah
(moisture tester). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya proses penjemuran gabah
berkepanjangan. Kadar air gabah kering giling yang lebih rendah dari 14% dapat
mengurangi rendemen giling maupun penurunan kualitas beras. Gabah yang
dilakukan penggilingan pada kadar air rendah akan mengalami kerusakan, banyak
terjadi beras pecah (broken), menir, dan bekatul. Hal ini akan berpengaruh
terhadap penurunan rendemen giling dan penurunan kualitas beras.
Gambar 3 Hasil Pengukuran Persentase Beras Kepala Terhadap Kualitas Beras
Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan
Pada Gambar 3 pengukuran persentase beras kepala tidak berbeda nyata
pada penundaan proses pemanenan dan penjemurannya, hal ini disebabkan karena
proses senescence yang dapat menurunkan kekompakan ikatan granula pati dan
jaringan dalam biji-bijian. Menurut (Juliano 2003) menyatakan bahwa penundaan
panen akan menurunkan persentase beras kepala dan meningkatkan persentase
beras patah. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses senescence yang
menurunkan kekompakan ikatan antara granula pati dan jaringan dalam biji.
Perbedaan umur panen optimum pada masing-masing varietas disebabkan oleh
faktor genetik. Sedangkan menurut Wiset et al. (2001) mengemukakan bahwa
b d
f h
a c
e g
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 3 6 10
% B
eras
Kep
ala
Penundaan Pemanenan (Hari)
Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal
33
metode pengeringan berpengaruh nyata terhadap persentase beras kepala yang
dihasilkan. Proses pengeringan di pedesaan umumnya masih menggunakan cara
penjemuran dengan menggunakan alas plastik, tikar atau anyaman bambu . Gabah
yang terlambat dikeringkan akan berakibat tidak baik terhadap kualitas berasnya.
Hal ini disebabkan gabah hasil panen dengan kadar air tinggi dan kondisi lembab
mengalami respirasi dengan cepat. Akibatnya butir gabah busuk, berjamur,
berkecambah maupun mengalami reaksi “browning enzimatis” sehingga beras
berwarna kuning/kuning kecoklatan (Ismail M, Tjahyono E. 2001).
Pada Tabel 3, menunjukkan persentase mutu beras kepala yang digunakan
sebagai standar pengklasifikasian mutu yaitu berada pada kisaran 63.12-79.61%.
Dengan standar SNI No. 01-6128-2008 yang digunakan sebagai standar mutu,
maka terlihat bahwa mutu beras varietas Ciliwung yang dihasilkan, tergolong
pada kelas mutu III, IV, dan V. Menurut Waries (2006) sebagian besar beras yang
beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki derajat sosoh 80% atau lebih
dan persentase beras kepala lebih besar dari 75% dan mengandung butir patah
kurang dari 30%. Berbagai faktor yang meliputi keadaan lingkungan, panen
hingga penanganan lepas panen mempengaruhi mutu giling disamping faktor
genetik.
Gambar 4 Hasil Pengukuran Persentase Butir Patah Terhadap Kualitas Beras
Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan
Persentase butir patah (Gambar 4) terhadap kualitas beras varietas Ciliwung
di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa masing-masing
kombinasi (interaksi) antara penundaan pemanenan dan penjemuran berbeda
nyata pada taraf 5%. Tingginya persentase beras patah yang dihasilkan
menunjukkan kualitas beras yang dihasilkan. Menurut Waries (2006) menyatakan
bahwa mutu giling mencakup berbagai ciri, yaitu rendemen beras giling,
rendemen beras kepala, persentase beras pecah, dan derajat sosoh beras. Sebagian
besar beras yang beredar di beberapa daerah di Indonesia memiliki derajat sosoh
80% atau lebih dan persentase beras kepala lebih besar dari 75% dan mengandung
butir patah kurang dari 30%. Berbagai faktor yang meliputi keadaan lingkungan,
panen hingga penanganan lepas panen mempengaruhi mutu giling disamping
faktor genetik. Mutu beras giling dikatakan baik jika hasil proses penggilingan
g
e
c
a
h
f
d
b
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 3 6 10
% B
uti
r P
atah
Penundaan Pemanenan (Hari)
Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal
34
diperoleh beras kepala yang banyak dengan beras patah minimal. Mutu giling ini
juga ditentukan dengan banyaknya beras putih atau rendemen yang dihasilkan.
Mutu giling ini sangat erat kaitannya dengan nilai ekonomis dari beras. Salah satu
kendala dalam produksi beras adalah banyaknya beras pecah sewaktu digiling.
Hal ini dapat menyebabkan mutu beras menurun.
Hasil Penelitian Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian tahun
2003 menunjukan, bahwa rendemen penggilingan padi yang telah dicapai sebagai
berikut : Penggilingan Padi Kecil (PPK) memiliki rendemen rata-rata 55.7%
dengan kualitas beras kepala 74.25% dan beras patah 14.99%. Penggilingan Padi
Menengah (PPM) memiliki rendemen rata-rata 59.69% dengan kualitas beras
kepala 75.73% dan beras patah sebesar 12.52%. Penggilingan Padi Besar (PPB)
memiliki rendemen rata-rata 61.48% dengan kualitas beras kepala 82.45% dan
beras patah sebesar 11.97%.
Gambar 5 Hasil Pengukuran Persentase Butir Menir Terhadap Kualitas Beras
Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan
Gambar 5, hasil pengukuran persentase butir menir menunjukkan bahwa
semakin lama proses penundaan pemanenan maka persentase butir menirnya
semakin meningkat yaitu pada penjemuran lamporan berturut-turut 2.06, 3.47,
6.85, 10.09% sedangkan pada penjemuran dengan alas terpal berturut-turut 1.38,
3.45, 6.15, 10.05%. Susut mutu dari suatu hasil giling dapat diidentifikasikan
dalam nilai derajat sosoh serta ukuran dan sifat butir padi yang dihasilkan.
Umumnya semakin tinggi derajat sosoh, persentase beras patah menjadi semakin
meningkat pula. Ukuran butir beras hasil giling dibedakan atas beras kepala, beras
patah, dan menir. Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Bulog, beras
kepala merupakan beras yang memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian beras
utuh. Beras patah memiliki ukuran butiran 2/10 bagian sampai 6/10 bagian beras
utuh. Menir memiliki ukuran lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau
melewati lubang ayakan 2.0 mm (Waries 2006).
e d
b
a
f
d
c
a
0
2
4
6
8
10
12
0 3 6 10
% B
uti
r M
enir
Penundaan Pemanenan (Hari)
Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal
35
Gambar 6 Hasil Pengukuran Persentase Butir Rusak Terhadap Kualitas Beras
Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan
Hasil pengukuran persentase butir rusak terendah terdapat pada (A2P0)
yaitu 0.75% sedangkan persentase butir rusak tertinggi pada (A1P3) yaitu 8.08%
(Gambar 6). Hal ini disebabkan karena aerasi udara pada gabah tidak merata dan
terakumulasi di bagian tengah tumpukan, sehingga pengeringan menjadi tidak
merata. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lubis et al. (1990), pada komoditas
padi yang menunjukkan bahwa penumpukan padi basah di lapangan selama 3 hari
dapat menyebabkan kerusakan gabah sebesar 1.7-3.1% tergantung pada ketebalan
tumpukan dan kehilangan kuantitas sebesar 9%.
Mutu gabah pada saat digiling terutama akan ditentukan oleh kadar air
gabah. Pada kadar air yang tinggi, gabah relatif lunak dan akan diperlukan energi
yang lebih banyak untuk menghasilkan beras pecah kulit, serta tingginya
rendemen beras patah saat proses penyosohan. Sebaliknya kadar air gabah yang
terlalu rendah akan menyebabkan banyaknya gabah yang retak, sehingga
meningkatkan jumlah rendemen beras patah saat penggilingan. Dengan demikian,
tinggi rendahnya kadar air dalam gabah saat digiling akan mempengaruhi mutu
beras yang dihasilkan. Selanjutnya mutu beras akan menentukan nilai jual kepada
konsumen (Soemardi dan Thahir 1991). Menurut Gaybita (2009) penggilingan
padi merupakan kunci dalam penentu mutu beras yang beredar di pasar. Untuk
bersaing di pasaran mutu beras diharapkan memenuhi persyaratan yang sesuai
dengan kebutuhan pasar, baik pasar lokal maupun internasional. Untuk itu,
perbaikan mutu ditingkat penggilingan padi harus menjadi fokus dalam perbaikan
mutu beras.
e
d
b
a
e
d
c
a
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 3 6 10
% B
uti
r R
usa
k
Penundaan Pemanenan (Hari)
Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal
36
Gambar 7 Hasil Pengukuran Persentase Butir Kapur Terhadap Kualitas Beras
Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan
Dari Gambar 7 menunjukkan bahwa penundaan proses pemanenan dan
penjemuran berpengaruh nyata terhadap peningkatan persentase butir kapur.
Kriteria mutu beras ditentukan berdasarkan kriteria atas : bentuk, ukuran
keseragaman dan penampilan biji antara lain kadar air, derajat sosoh, rendemen
beras kepala, persentase butir kapur, butir kuning, benda asing/kotoran dan bau
tidak sehat (Van Ruiten 1978; Jastra 1982). Penentuan mutu beras pasar secara
objektif lebih didasarkan pada sifat fisik dan tampilan butir beras. Kebeningan
butir ditentukan oleh kekeruhan endosperma, seperti bagian putih mengapur baik
pada sisi dorsal (white belly), tengah (white central) maupun sisi ventral (white
back). Butir beras yang mengapur memiliki ikatan butir pati yang kurang kompak
akibat adanya rongga udara di antara granula pati sehingga beras mudah patah
saat digiling (Damardjati dan Purwani 1991). Varietas–varietas padi memiliki
ketahanan yang berbeda-beda terhadap moisture stress. Ketahanan ini dikenal
sebagai crack resistance. Secara umum, varietas atau galur yang berukuran beras
panjang (6.61 mm) dan yang mempunyai pengapuran dalam endospermanya akan
menghasilkan beras kepala lebih sedikit
c c bc
a
c c c
ab
0
1
2
3
4
5
6
7
0 3 6 10
% B
uti
r K
apur
Penundaan Pemanenan (Hari)
Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal
37
Gambar 8 Hasil Pengukuran Persentase Rendemen Giling Terhadap Kualitas
Beras Varietas Ciliwung di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan
Hasil pengukuran persentase rendemen giling (Gambar 8) menunjukkan
bahwa semakin lama proses penundaan pemanenan maka persentase rendemen
gilingnya semakin menurun yaitu pada penjemuran lamporan berturut-turut 67.73,
66.81, 64.03, 63.38% sedangkan pada penjemuran dengan alas terpal berturut-
turut 67.88, 66.79, 64.08, 63.79%. Menurut Nugraha et al. (1999), nilai rendemen
beras giling dipengaruhi oleh banyak faktor yang terbagi dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah faktor yang mempengaruhi rendemen melalui
pengaruhnya terhadap mutu gabah sebagai bahan baku dalam proses penggilingan
yang meliputi varietas, teknik budidaya, cekaman lingkungan, agroekosistem, dan
iklim. Kelompok kedua merupakan faktor penentu rendemen yang terlibat dalam
proses konversi gabah menjadi beras, yaitu teknik penggilingan dan alat
penggilingan. Kelompok ketiga menunjukkan kualitas beras terutama derajat
sosoh yang diinginkan karena semakin tinggi derajat sosoh maka rendemen akan
semakin rendah. Penanganan pascapanen padi merupakan upaya sangat strategis
dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi. Kontribusi penanganan
pascapanen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari penurunan
hasil dan tercapainya mutu gabah/ beras sesuai persyaratan mutu. Setyono (2010)
menyatakan masalah utama dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya
kehilangan hasil serta gabah dan beras yang dihasilkan bermutu rendah. Hal
tersebut terjadi pada tahapan pemanenan, perontokan dan pengeringan.
Hasil pengukuran kualitas beras varietas Ciliwung termasuk dalam kategori
mutu III, IV dan V. Dikarenakan penanganan pascapanen khususnya di
Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan belum maksimal,
sehingga beras yang dihasilkan baru dapat memenuhi persyaratan mutu III dan IV
pada SNI beras No. 01-6128-2008. Hal ini disebabkan karena kualitas beras giling
yang dihasilkan memiliki kandungan beras kepala yang masih rendah dan
kandungan butir patah dan menir yang relatif tinggi. Beras giling dengan
kandungan beras pecah yang tinggi akan dihargai rendah dan tidak memenuhi
standar beras mutu I sampai II. Standar mutu beras pada dasarnya sangat
diperlukan karena dengan adanya standar mutu beras ini, baik konsumen dan
produsen akan mendapatkan kepastian terhadap mutu yang diinginkan. Manfaat
a
b
c d
a
b
c c
61
62
63
64
65
66
67
68
69
0 3 6 10
% R
end
emen
Gil
ing
Penundaan Pemanenan (Hari)
Penjemuran Lamporan Penjemuran dengan Alas Terpal
38
lainnya adalah bahwa standar ini dapat pula digunakan sebagai pembinaan
perbaikan mutu beras di tingkat petani, penggilingan maupun pedagang.
Penanganan pascapanen padi perlu diperhatikan dengan baik. Pemanenan,
perontokan, penjemuran, dan penggilingan padi harus dilakukan dengan cara dan
teknologi yang tepat, untuk menekan susut mutu. Penggilingan padi mempunyai
peranan yang sangat vital dalam mengkonversi padi menjadi beras yang siap
diolah untuk dikonsumsi maupun untuk disimpan sebagai cadangan. Peningkatan
produktivitas padi ini juga harus dibarengi dengan peningkatan mutu beras yang
dihasilkan, yaitu beras yang mampu memenuhi tuntutan dan sesuai dengan
preferensi konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut maka teknologi pasca panen
yang tepat akan mampu meningkatkan mutu beras yang dihasilkan. Peningkatan
mutu beras ini mampu memberikan nilai tambah pada beras. Dengan demikian
teknologi yang tepat sejak produksi, panen, dan pascapanen harus dilakukan
secara terpadu untuk keberhasilan peningkatan mutu beras dan mengurangi susut
mutu.
Beras yang bermutu baik dihargai lebih tinggi daripada beras biasa. Standar
mutu beras pasar bersifat subjektif, dan dikenal adanya kriteria mutu beras yang
bersifat lokal dengan kriteria tertentu yang berlaku dan dapat diterima oleh
produsen, pedagang, dan konsumen beras (Damardjati dan Purwani 1991).
Tingkat kekerasan beras pada varietas Ciherang dan Ciliwung sangat
berbeda. Basit (2010) menyatakan bahwa tingkat kekerasan varietas Ciherang
secara konsisten sepanjang posisi batang malai dan cabang malai lebih rendah
daripada varietas Ciliwung. Pola ini diduga memiliki kontribusi yang signifikan
terhadap tingkat beras patah hasil penggilingan varietas Ciherang yang selalu
lebih tinggi dari pada varietas Ciliwung sebagaimana ditemukan oleh Asmawati
(2009).
Analisis Nilai Tambah
Kegiatan agroindustri yang dapat meningkatkan nilai tambah komoditas
pertanian dalam operasionalnya membutuhkan biaya pengolahan. Salah satu
konsep yang sering digunakan untuk membahas biaya pengolahan hasil pertanian
adalah nilai tambah. Menurut (Hayami et al. 1987; Sudiyono 2002) ada dua cara
untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai
tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah
pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar.
Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku
yang digunakan dan tenaga kerja. Faktor pasar yang berpengaruh adalah harga
output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain selain bahan baku
dan tenaga kerja.
Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan
barang/jasa dan biaya untuk pembelian bahan-bahan yang diperlukan guna
menghasilkan barang atau jasa tersebut. Pendapatan tenaga kerja dalam analisis
nilai tambah dipengaruhi oleh koefisien tenaga kerja dan upah tenaga kerja.
Koefisien tenaga kerja menyatakan perbandingan antara input tenaga kerja dengan
bahan baku yang digunakan. Dalam penelitian ini dianalisis rata-rata penggunaan
tenaga kerja dalam proses produksi. Pendapatan tenaga kerja sama dengan hasil
kali antara koefisien tenaga kerja dengan upah per jam.
39
Nilai tambah ekonomi dapat menggambarkan tingkat kemampuan dalam
menghasilkan pendapatan di suatu wilayah. Pada umumnya yang termasuk dalam
nilai tambah dalam suatu kegiatan produksi atau jasa adalah berupa upah atau
gaji, laba, sewa tanah dan bunga yang dibayarkan (berupa bagian dari biaya),
penyusutan dan pajak tidak langsung (Tarigan 2004). Berdasarkan analisis nilai
tambah ekonomi ini dapat diketahui besarnya imbalan yang diterima oleh
pengusaha dan tenaga kerja. Analisis nilai tambah ekonomi juga berguna untuk
mengetahui berapa tambahan nilai yang terdapat pada suatu output yang
dihasilkan. Pada prinsipnya nilai tambah ekonomi ini merupakan keuntungan
kotor sebelum dikurangi biaya tetap.
Analisis perhitungan dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai
produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
pendapatan petani dalam berusahatani. Sebelum melakukan analisis usahatani
perlu kita ketahui beberapa hal menyangkut analisis ini, yaitu:
1. Usahatani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan oleh
petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan
pengelolaan yang ditujukan pada peningkatan produksi.
2. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan yang diterima pada
akhir produksi dengan biaya riil (tunai) yang dikeluarkan selama proses
produksi.
3. Penerimaan usahatani adalah jumlah yang diterima petani dari suatu proses
produksi, dimana penerimaan tersebut didapatkan dengan mengalikan
produksi dengan harga yang berlaku saat itu.
4. Biaya usahatani adalah biaya yang dikeluarkan oleh seorang petani dalam
proses produksi. Dalam hal ini biaya diklasifikasikan ke dalam biaya tunai
(biaya riil yang dikeluarkan) dan biaya tidak tunai (diperhitungkan).
5. Keuntungan usahatani adalah selisih antara penerimaan dengan biaya total
(biaya tunai dan tidak tunaiatau biaya tetap & tidak tetap atau fixed cost &
variable cost).
6. Kepala rumah tangga adalah seorang pria atau wanita yang dianggap
bertanggung jawab dalam rumah tangga itu oleh anggota rumah tangga.
7. Satu musim adalah 100–120 hari, terhitung dari saat awal pengolahan tanah
sampai dengan panen terakhir.
40
Tabel 10 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen Tanpa Penundaan
Pemanenan untuk Satu Kali Produksi
Variabel Nilai
I. Output, Input, dan Harga
1. Output (kg) 677.3
2. Input (kg) 1 000
3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37
4. Faktor Konversi 0.67
5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.0013
6. Harga Output (Rp/kg) 7 000
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 400
9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542.2
10.Nilai Output (Rp/kg) 4 741.1
11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 798.9
b. Rasio Nilai Tambah (%) 16.85
12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75
b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 8.60
13.a. Keuntungan (Rp/kg) 730.15
b. Tingkat Keuntungan (%) 91.39
III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/kg) 1 341.1
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 5.12
b. Sumbangan Input lain (%) 40.42
c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 54.44
Nilai tambah produk beras pada penanganan pascapanen tanpa penundaan
pemanenan sebesar Rp798.9/kg sedangkan untuk persentase rasio nilai tambah
yang dihasilkan untuk satu kali produksi sebesar 16.85%, rasio nilai tambah
menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk (Tabel 10). Besaran nilai
tambah yang dihasilkan dapat ditaksir besarnya balas jasa yang diterima pemilik
faktor produksi yang digunakan dalam proses perlakuan tersebut. Dalam analisis
nilai tambah, terdapat tiga komponen pendukung, yaitu faktor konversi yang
menunjukkan banyak output yang dihasilkan dari satu-satuan input, faktor
koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja langsung yang
diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk yang menunjukkan
nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.
Nilai tambah dalam penelitian ini (Tabel 10) adalah identik dengan margin
keuntungan. Jumlah biaya produksi yang dihasilkan yaitu sebesar Rp542 200
dengan demikian untuk produk beras pada penanganan pascapanen tanpa
penundaan pemanenan mempunyai margin keuntungan Rp5 444/kg. Berdasarkan
hasil penelitian ini, maka perlu diketahui bahwa pada usahatani padi sawah di
Kabupaten Wajo perlu melakukan perbaikan alokasi penggunaan faktor-faktor
produksi atau biaya. Dikarenakan masih banyak dari para petani yang tingkat
41
efisiensi secara ekonomi masih sangat rendah dalam penggunaan faktor-faktor
produksi. Penyebab nilai efisiensi faktor produksi yang rendah disebabkan karena
kesulitan petani dalam hal mendapatkan faktor produksi yang langka. Selain
sulitnya untuk memperoleh input tersebut. Petani juga memiliki keterbatasan
dalam mengelola usahatani padi sawah mereka. Sehingga dengan adanya
permasalahan tersebut menjadikan para petani padi sawah melakukan proses
usahataninya dengan kemampuan yang mereka miliki dengan kata lain tidak
sesuai dengan anjuran menurut Dinas-Dinas yang terkait. Akibatnya adalah hasil
yang diperoleh kurang memuaskan.
Harga gabah dan beras umumnya sangat ditentukan oleh mutu atau
kualitasnya, selain itu juga ditentukan selera masyarakat setempat. Mutu gabah
dan beras yang baik akan menentukan nilai tambah yang lebih banyak, karena
selain harganya lebih baik juga pemasarannya akan lebih cepat. Menurut Efferson
(1985) konsumen menentukan harga dan mutu beras dari penampilan fisiknya,
tanpa beras tersebut diproses atau dimasak. Konsumen mempunyai aturan
tersendiri tentang mutu beras tersebut. Konsumen menginginkan butir patah yang
sedikit, tidak ada campuran benda asing, gulma dan gabah yang tak tergiling,
bentuk biji relatif seragam, tidak ada campuran varietas lain, penyosohan
sempuma dan warna beras bening, serta aroma yang menarik. Secara ringkas
terlihat bahwa ukuran, bentuk dan penampilan beras menentukan tingkat
penerimaan pasar terhadap beras (Khush, et al. 1979).
42
Tabel 11 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan
Pemanenan Selama 3 Hari untuk Satu Kali Produksi
Variabel Nilai
I. Output, Input, dan Harga
1. Output (kg) 668.1
2. Input (kg) 1 000
3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37
4. Faktor Konversi 0.66
5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.001
6. Harga Output (Rp/kg) 6 725
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 285
9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542.2
10.Nilai Output (Rp/kg) 4 509.67
11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 682.47
b. Rasio Nilai Tambah (%) 15.13
12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75
b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 10.07
13.a. Keuntungan (Rp/kg) 613.72
b. Tingkat Keuntungan (%) 89.92
III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/kg) 1 224.67
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 5.61
b. Sumbangan Input lain (%) 44.27
c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 50.11
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 11) terlihat bahwa, nilai tambah yang
diperoleh pada penanganan pascapanen dengan penundaan pemanenan selama
3 hari sebesar Rp682.47/kg dengan jumlah bahan baku yang digunakan sebesar
1 000 kg, maka diperoleh nilai konversi 0.66. Nilai koefisien tenaga kerja
diperoleh dari pembagian jumlah total hari kerja untuk satu kali produksi dengan
jumlah bahan baku yang digunakan untuk satu kali produksi. Nilai koefisien
tenaga kerja diperoleh sebesar 0.001 2HOK/kg. Menurut Hayami et al. (1987) ada
dua cara untuk menghitung nilai tambah ekonomi yaitu nilai tambah untuk
pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi
nilai tambah untuk pengolahan dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan
faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah
bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang
berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai
input lain.
43
Tabel 12 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan
Pemanenan Selama 6 Hari untuk Satu Kali Produksi
Variabel Nilai
I. Output, Input, dan Harga
1. Output (kg) 640.3
2. Input (kg) 1 000
3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37
4. Faktor Konversi 0.64
5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.001
6. Harga Output (Rp/kg) 6 400
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 125
9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542.2
10.Nilai Output (Rp/kg) 4 097.92
11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 430.72
b. Rasio Nilai Tambah (%) 10.51
12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75
b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 15.96
13.a. Keuntungan (Rp/kg) 361.97
b. Tingkat Keuntungan (%) 84.03
III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/kg) 972.92
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 7.06
b. Sumbangan Input lain (%) 55.72
c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 37.20
Pada Tabel 12, hasil perhitungan nilai tambah produk beras pada
penanganan pascapanen dengan penundaan pemanenan 6 hari sebesar
Rp430.72/kg sedangkan untuk persentase rasio nilai tambah yang dihasilkan
untuk satu kali produksi sebesar 10,51%, nilai koefisien tenaga kerja diperoleh
dari pembagian jumlah total hari kerja untuk satu kali produksi dengan jumlah
bahan baku yang digunakan untuk satu kali produksi. Nilai koefisien tenaga kerja
diperoleh sebesar 0.001 2HOK/kg. Upah tenaga kerja didasarkan upah harian
yang diterima masing-masing tenaga kerja bagian produksi yang terlibat langsung
dalam kegiatan penanganan pascapanen padi menjadi beras. Upah yang diterima
tenaga kerja bagian produksi per hari sebesar Rp50 000 per orang. Besar kecilnya
proporsi tersebut tidak berkaitan dengan imbalan yang diterima tenaga kerja
(dalam rupiah). Besar kecilnya imbalan tenaga kerja tergantung pada kualitas
tenaga kerja itu sendiri seperti keahlian dan keterampilan. Kualitas bahan baku
juga berpengaruh terhadap distribusi nilai tambah apabila dilihat dari produk
akhir. Jika faktor konversi bahan baku terhadap produk akhir semakin lama
semakin kecil, artinya pengaruh kualitas bahan baku semakin lama semakin
besar.
44
Menurut Sobichin M (2012) mayoritas petani menjual hasil panen mereka
kepada pedagang pengumpul dengan sistem tebasan. Sistem penjualan dengan
tebasan merupakan cara pembelian yang tidak transparan yang mana petani
menjual hasil panen mereka di sawah tanpa mengetahui jumlah produksi gabah
dari hasil panen. Dalam hal ini petani tidak melakukan pemanenan, pemanenan
dilakukan oleh pedagang pengumpul setelah ada kesepakatan harga pembelian
Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi di bidang sarana pascapanen
serta meningkatnya kebutuhan sarana pascapanen oleh petani, di sisi lain harga
sarana pascapanen yang umumnya masih belum terjangkau petani, maka
pemerintah berupaya memfasilitasi kebutuhan tersebut melalui Bantuan Sarana
Pascapanen.
Tabel 13 Analisis Nilai Tambah Penanganan Pascapanen dengan Penundaan
Pemanenan Selama 10 Hari untuk Satu Kali Produksi
Variabel Nilai
I. Output, Input, dan Harga
1. Output (kg) 633.8
2. Input (kg) 1 000
3. Tenaga Kerja (HOK) 1.37
4. Faktor Konversi 0,63
5. Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/kg) 0.001
6. Harga Output (Rp/kg) 6 150
7. Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) 50 000
II. Penerimaan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 3 050
9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 542,2
10.Nilai Output (Rp/kg) 3 897
11.a. Nilai Tambah (Rp/kg) 305.67
b. Rasio Nilai Tambah (%) 7.84
12.a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/kg) 68.75
b. Pangsa Tenaga Kerja Langsung (%) 22.49
13.a. Keuntungan (Rp/kg) 236.92
b. Tingkat Keuntungan (%) 77.50
III. Balas jasa Pemilik Faktor - Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/kg) 847.87
a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (%) 8.10
b. Sumbangan Input lain (%) 63.94
c. Keuntungan Pemilik Pengolahan (%) 27.94
Perhitungan nilai tambah ekonomi pada penelitian ini menggunakan metode
Hayami, yaitu diketahui besarnya nilai tambah produk beras yaitu Rp305.67/kg
sedangkan rasio nilai tambahnya diperoleh dari perbandingan antara nilai tambah
dengan nilai produk (Tabel 13). Rasio nilai tambah yang diperoleh pada
penundaan 10 hari yaitu 7.84%. kategori rasio nilai tambah pada penundaan
proses pemanenan selama 10 hari adalah kategori nilai tambah rendah. Menurut
Syahza (2003) disparitas antara harga gabah dan beras yang tinggi merupakan
45
akibat dari panjangnya rantai distribusi komoditas pertanian. Keadaan ini akan
menyebabkan besarnya biaya distribusi (marjin pemasaran yang tinggi), serta ada
bagian yang harus dikeluarkan sebagai keuntungan pedagang. Kendati pada
umumnya petani tidak terlibat dalam rantai pemasaran produk, sehingga nilai
tambah pengolahan dan perdagangan produk pertanian hanya dinikmati oleh
pedagang. Hal ini cenderung memperkecil bagian yang diterima petani dan
memperbesar biaya yang harus dibayarkan oleh konsumen. Rasio nilai tambah
dapat digolongkan menjadi tiga kelas, yaitu dikatakan memiliki nilai tambah
rendah apabila nilai rasio <15%, nilai tambah sedang apabila nilai rasio antara
16-40 %, dan nilai tambah tinggi apabila nilai rasio >40%.
Pengusaha penggilingan padi umumnya belum mengejar target mutu dan
masih mengutamakan hasil utamanya yaitu beras giling saja. Kualitas beras yang
tinggi akan meningkatkan daya saing maupun nilai tawar dari beras itu sendiri.
Kondisi iklim Indonesia dimana suhu tinggi yang diikuti dengan kelembaban yang
tinggi menjadi faktor pendorong terjadinya kerusakan beras. Penanganan
pascapanen padi harus memperhatikan titik kritis setiap kegiatan proses yang
memberikan andil besar terhadap terjadinya susut hasil dan terjadinya penurunan
kualitas gabah/beras (Sutrisno 2007; Nugraha S 2012).