7
Data Lembaga Harimau Kuranji , suatu unit pasukan tempur yang tangguh dibentuk pada masa perang kemerdekaan di kota Padang. Pada awal proklamasi atau sekitar akhir Agustus 1945, sekelompok kecil pemuda yang terlatih secara militer di zaman Jepang lewat pendidikan Gyugun , semacam PETA di Jawa, mendirikan apa yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menggunakan markasnya di sebuah rumah di Kampung Jati. Kemudian setelah markas mereka digeledah Sekutu awal Desember 1945, mereka cepat-cepat memindahkan markas ke Kampung Kuranji, sekitar 8 km dari pusat kota. Sejak itu, kelompok ini, karena peranan yang mereka mainkan sebagai petempur yang tangguh dan ditakuti dalam menganggu kedudukan Sekutu di kota Padang, lebih dikenal dengan julukan “Harimau Kuranji”. Tokoh utama “Harimau Kuranji” ialah seorang pemuda berumur 21 tahun, yaitu Ahmad Husein, yang lebih dikenal namanya tahun 1950-an karena prakarsanya menentang rejim otoriter Jakarta dengan mendirikan Dewan Banteng, kemudian PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tahun 1958. Sejumlah bekas Gyugun lainnya ikut bergabung dan menjadi tokoh terkemuka dalam pasukan “Harimau Kuranji” seperti Jazid Abidin, Jusuf Ali

Harimau Kuranji

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah

Citation preview

Page 1: Harimau Kuranji

Data LembagaHarimau Kuranji, suatu unit pasukan tempur yang tangguh dibentuk pada masa perang kemerdekaan di kota Padang. Pada awal proklamasi atau sekitar akhir Agustus 1945, sekelompok kecil pemuda yang terlatih secara militer di zaman Jepang lewat pendidikan Gyugun, semacam PETA di Jawa, mendirikan apa yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan menggunakan markasnya di sebuah rumah di Kampung Jati. Kemudian setelah markas mereka digeledah Sekutu awal Desember 1945, mereka cepat-cepat memindahkan markas ke Kampung Kuranji, sekitar 8 km dari pusat kota. Sejak itu, kelompok ini, karena peranan yang mereka mainkan sebagai petempur yang tangguh dan ditakuti dalam menganggu kedudukan Sekutu di kota Padang, lebih dikenal dengan julukan “Harimau Kuranji”.

Tokoh utama “Harimau Kuranji” ialah seorang pemuda berumur 21 tahun, yaitu Ahmad Husein, yang lebih dikenal namanya tahun 1950-an karena prakarsanya menentang rejim otoriter Jakarta dengan mendirikan Dewan Banteng, kemudian PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tahun 1958. Sejumlah bekas Gyugun lainnya ikut bergabung dan menjadi tokoh terkemuka dalam pasukan “Harimau Kuranji” seperti Jazid Abidin, Jusuf Ali (Jusuf Black Cat), Anwar Badu, Dahlan J. Sutan Mangkuto dan yang termuda dan menjadi komandannya ialah Ahmad Husein. Mereka inilah yang menjadi anggota inti dan sekaligus pelatih dari kompi itu. Jumlah anggota pasukannya mula-mula tak lebih dari 200 orang, tetapi kemudian bertambah besar, beberapa kompi, kemudian bataliyon dan resimen sejalan dengan berlangsungnya reorganisasi dalam tubuh militer Republik pada masa ini.

Modal pertama mereka hanyalah keberanian dengan dedikasi untuk Indonesia merdeka. Mulanya mereka hanya memiliki beberapa puncuk senjata yang dirampas dari tangan musuh: 4 pucuk senapan mesin ringan, sekitar 30 karaben dari pelbagai macam model dan beberapa puluh granat tangan, serta peluru seadanya. Senjata itu pun diperoleh dengan tidak mudah dan seringkali harus dibayar dengan nyawa. Selain dengan merampas senjata dari tangan Jepang

Page 2: Harimau Kuranji

sebagaimana yang mereka lakukan dalam kasus penyerangan ke Markas Jepang di Rimbo Kaluang (GOR Haji Agus Salim sekarang), juga dalam aksi pencegatan Sekutu di kaki bukit Seberang Padang pada bulan November 1945. Di sana empat orang pasukan mereka gugur. Selanjutnya dalam dua kali aksi perampasan senjata di Gadut, Indarung, anggota pasukan “Harimau Kuranji” dapat mengumpulkan lebih banyak senjata lagi dan inilah yang dimanfaatkan untuk latihan dan operasi selanjutnya.

Ketika Sekutu menduduki kota Padang sejak November 1945, pasukan Kuranji terus menerus mengadakan taktik “gerilya kota”, di samping tetap mengadakan latihan militer bagi lasykar. Hampir setiap kampung hingar-bingar, sibuk mengadakan latihan baris-berbaris. Di tengah melakukan latihan-latihan rutin di Kuranji atau di desa tetangganya, mereka sekaligus harus menghadapi medan “latihan” yang sebenarnya. Komandan mereka memerintahkan melakukan “gerilya kota” dengan infiltrasi secara bergantian ke pusat kota, mencari informasi, mengadakan sabotase, mengawasi orang-orang atau kelompok yang merintangi perjuangan, dan bila perlu langsung “membereskan” mereka yang dianggap kontra-Republik Indonesia. Karena aksi-aksi mereka ini pasukan Sekutu sering dibuat repot dan dengan nada mengejek, mereka langsung menuduh keterlibatan “Harimu Kuranji” di belakang setiap tindakan sabotase dan penyerangan terhadap Sekutu. Kepala Intelijen Sekutu kemudian membuat pengumuman di sebuah koran lokal, siapa yang bisa menangkap komandan “Harimau Kuranji” akan diberi hadiah. “Harimau Kuranji” juga menjadi ganjalan dan sekaligus momok yang amat ditakuti Belanda dan kaki tangannya. Mengingat sepak terjang dari pasukan “Harimau Kuranji,” maka serdadu Belanda mengira bahwa komandan pasukan itu pasti dipimpin oleh seorang tua yang berpotongan angker atau dukun yang menakutkan. Oleh karena itu, mereka pernah menjanjikan untuk memberikan hadiah yang besar kepada siapa saja yang berhasil menangkapnya, hidup atau mati.

Bersamaan dengan reorganisasi militer dari BKR ke TKR (Tentara Keamanan Rakyat) “Harimau Kuranji” berkembang menjadi unit kompi tempur dalam TKR. Setelah TKR brobah menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) pada 25 Januari 1946, kompi tersebut

Page 3: Harimau Kuranji

berobah menjadi Batalyon I “Harimau Kuranji”, yang bertanggung jawab atas keamanan dan pertempuran di “Padang Area,” suatu istilah teritorial yang pada mulanya diberikan Sekutu untuk daerah Padang dan sekitarnya. Komandan kompinya, Ahmad Husein naik posisi menjadi komandan batalyon dengan pangkat Mayor. Ia bertanggung jawab ke perwira atasannya di Devisi III Banteng (kemudian berobah menjadi Divisi IX Banteng) Sumatera Barat dan Riau, dalam hal ini, Kol. Ismael Lengah. Ketika TRI berobah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pada 3 Juni 1947, yakni satu bulan sebelum agresi militer Belanda I, Batalyon berobah lagi dari batalyon menjadi salah satu dari empat resimen dalam Divisi IX Banteng di wilayah Sumatera Barat dan Riau.

Resimen III “Harimau Kuranji” terdiri dari empat batalyon yang terdiri dari sekitar 3000 pasukan dan semua komandan batalyonnya adalah bekas perwira Batalyon Harimau Kuranji. Batalyon I dengan komandannya Mayor Anwar Badu bermarkas di Indarung; Batalyon II dengan komandannya Kapten Arief Amin, bermarkas di Lubuk Silasih; Batalyon III dengan komandannya Mayor Mustafa Kamal bermarkas di Payakumbuh; Batalyon IV dengan komandannya Mayor Sjoeib bermarkas di Pauh untuk wilayah Padang luar kota.

Setelah agresi militer Belanda I dan II Resimen “Harimau Kuranji” terpaksa mundur ke Solok, dan tetap bermarkas di kota itu sampai akhir perang kemerdekaan. Namun lokasi kesatuan batalyon yang berada di bawahnya terpencar di beberapa tempat, antara lain pos terdepannya ialah di Indarung, Bukit Gompong, Ladangpadi dan juga ada yang berbasis di Sawahlunto sampai ke Payakumbuh. Di Sawahlunto terdapat markas Kepala Kesehatan Resimen “Haraimau Kuranji” yang bertugas melayani pasien korban perang.

Sebagai sebuah nama, “Harimau Kuranji” sebetulnya tidaklah unik karena pada masa perang kemerdekaan ada banyak pasukan-pasukan tempur yang memberi nama “angker” terhadap unit pasukan mereka seperti itu Kompi “Bakapak”, Kompi ”Barayun”, Kompi “Badai”, Kompi “Baron”, Kompi “Bakipeh”, “Singa Pasar Oesang” (SPO), “Singa Padang Luar Kota,” dan lain-lain sejenisnya. Namun yang lebih khas dari “Harimau Kuranji” ialah bahwa nama itu identik dengan sejarah militer di Kota Padang.

Page 4: Harimau Kuranji

Lagi pula, hanya “Harimau Kuranji” yang mampu berkembang pesat dan yang lainnya tidak, dari hanya sebuah kompi menjadi batalyon sampai menjadi lebih besar sebagai sebuah resimen yang paling ditakuti Belanda di Sumatera Barat. Penting juga disebutkan bahwa kesetiaan pasukan dengan kesatuan dan pimpinannya telah melahirkan semacam espirit de corps yang khas, bahkan sampai saat ini. Karena alasan ini pula, maka mantan kelompok pasukan ini iktu membantu membangun sebuah makam taman pahlawan sendiri, yaitu Taman Makam Pahlawan Kuranji (sekitar 8 km dari pusat Kota Padang). Kebanyakan pasukan tempur yang terlibat dengan kasus PRRI tahun 1950-an juga berasal dari kelompok ini dan barangkali karena tokoh utamanya, Ahmad Husein, adalah bekas komandan mereka juga. *** (Mestika Zed).

Amiruddin Jr., Sedjarah Sumber: : Amiruddin, J.R., Perdjuangan Harimau Kurandji 1945-1950 di Sumatra

Tengah. Padang: tanpa penerbit, 1957. Kahin, Audrey. Perjuangan Kemerdekaan Sumatra Barat dalam Revolusi

Nasional Indonesia 1945–1950. Terjemahan, Mestika Zed dkk. Jakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatra Barat dan eks Tentera Pelajar Sumatra Tengah (CTP)/Pelajar Pejuang Kemerdekaan Indonesia, 1997.

Mestika Zed, dkk, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 di Kota Padang dan Sekitarnya. Padang: Citra Budaya, 2003.

Mestika Zed dkk. Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Ahmad Husein Dkk., Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau/Riau 1945-1950. Dua Jilid. Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia – Minangkabau, BPSIM, 1991.