83
HANTA UA PUA: SEJARAH TRADISI KEAGAMAAN DI BIMA ABAD XVII-XXI Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) Oleh: JUMIATI NIM: 1112022000034 PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017

HANTA UA PUA SEJARAH TRADISI KEAGAMAAN DI BIMA …

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

HANTA UA PUA:

SEJARAH TRADISI KEAGAMAAN DI BIMA ABAD XVII-XXI

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana

Humaniora (S.Hum)

Oleh:

JUMIATI

NIM: 1112022000034

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017

i

MOTTO

Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan

ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat.

(Winston Chuchill)

ii

KATA PENGANTAR

مسب رب هالل ح ب هالل مسبر

Segala puja dan puji bagi Allah SWT dzat yang maha penggenggam segala

sesuatu yang ada dan tersembunyi di balik jagat semesta alam, dzat yang maha

meliputi segala sesuatu yang terpikir maupun yang tidak terpikir. Shalawat serta salam

semoga senantiasa tercurah atas Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan

bagi seluruh umat Islam yang terjaga atas sunnahnya.

Alhamdulillah, penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala

rahmat dan pertolonganNya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Karena tanpa

rahmat dan pertolonganNya tidaklah mungkin penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

Skripsiب yangب berjudulب “Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan Di Bima

Abab XVII-XXI” penulis gunakan untuk memenuhi persyaratan kelulusan yang

ditempuh mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI). Penulis tertarik

mengangkat tema ini karena melihat bahwa Hanta Ua Pua merupakan tradisi Islam

yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bima yang harus dijaga

kelestariannya, karena memiliki pembahasan yang serius untuk diingat dan dihayati

karena berkaitan dengan sejarah masuknya Islam di tanah Bima. Mudah-mudahan

skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna, khususnya bagi pribadi penulis dan

umumnya untuk mahasiswa dan masyarakat luas sebagai pengembangan keilmuan dan

bahan referensi bagi mereka yang berkonsentrasi pada bidang studi sejarah.

Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, penulisan skripsi ini tidak akan

terselesaikan bila tampa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril

maupun materil. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak

yang telah memberikan bantuan serta dukungannya, sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

iii

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Syukron Kamil, M.A. selaku Dekan dan bapak Farhan M.A.

selaku Sekertasis Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

3. H. Nurhasan, S.Ag. M.A. selaku ketua Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam

(SKI) Fakultas Adab dan Humaniora.

4. Sholikhatusب Sa’diyah,ب M.Pd.ب selakuب sekretarisب Jurusan Sejarah

Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora.

5. Prof. Dr. Budi Sulistiono, selaku dosen pembimbing akademik.

6. Drs. Imam Subuhi, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulisan skripsi ini hingga selesai dengan baik.

7. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku dosen penguji I.

8. Imas Emalia, M. Hum, selaku dosen penguji II.

9. Seluruh Dosen Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Terima kasih atas

pendidikan, pengarahan, serta wawasan dan ilmu-ilmu yang telah

diberikan kepada penulis semasa kuliah.

10. Ayahanda, Abubakar H. Abdul Hamid dan Ibunda Marjan Hasan tercinta

dan tersayang yang dengan penuh kesabaran memberikan motivasi baik

moril maupun materil dan memberikan doa, ridho, dan semangat sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Kakanda tersayang Jovan Masandaka, terima kasih telah mendukung dan

membantu dalam membiayai kuliah.

12. Abang Al-Haris yang telah rela mengorbankan segala tenaga, waktu, dan

materi dalam membantu penulis. Terima kasih atas perhatiannya.

13. Ahmad Zakaria S.Pd.I., selaku guru pembimbing luar kampus. Terima

kasih atas bimbingannya yang penuh dengan kesabaran dalam

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.

14. Adinda Yuliati yang selalu menemani.

iv

15. Seluruh teman-teman SKI angkatan 2012, terima kasih atas rasa saling

berbagi dan kebersamaannya.

16. Hasan S.Hum. terima kasih telah memberikan pinjaman buku pribadinya

dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi.

17. Bagian administrasi dan Tata Usaha yang telah banyak membantu

memberikan kelancaran pada penulis dalam menyelesaikan administrasi.

Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama (PU) UIN

Syarifhidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora,

atas penyediaan buku-buku penunjang dan mencari berbagai literature

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

18. Semua pihak yang terlibat membantu dalam penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya saya hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya. Hanya ucapan inilah yang dapat peneliti berikan, semoga Allah yang akan

membalas semua kebaikan keluarga dan sahabat-sahabat tercinta.

Amiin Ya Robbal Alamin

Jakarta, 3 April 2017

Jumiati

v

ABSTRAK

JUMIATI

Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan di Bima Abad XVII-XXI

Tradisi Hanta Ua Pua merupakan cara dan upaya masyarakat dalam

menerjemahkan pesan-pesan agama melalui sikap dan perbuatan dalam bentuk tradisi

budaya. Cara ini mampu menyentuh kesadaran masyarakat dengan melakukan upaya

yang lebih luas untuk mengadakan suatu perubahan tatanan kehidupan masyarakat

yang berlangsung, yaitu dengan menghidupkan kembali suatu tuntunan masyarakat

yang hampir terlupakan dengan tetap menjaga dan melestarikannya. Begitu besar

peran dan pengaruh Hanta Ua Pua terhadap perkembangan umat Islam di Bima, akan

tetapi peran dan pengaruhnya ini belum diungkapkan secara tertulis. Dalam studi ini

peneliti ingin menjawab masalah diatas melalui sumber tertulis, dan wawancara.

Dalam skripsi bertema budaya Islam ini membahas bagaimana sejarah dan

peran Hanta Ua Pua dalam penanaman nilai keagamaan melalui tradisi budaya Bima.

Penelitian ini menggunakan teori pertahanan budaya. Jenis penelitian ini adalah

penelitian sejarah dengan pendekatan antropologi dan bersifat kualitatif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam tradisi budaya Hanta Ua

Pua terdapat nilai-nilai keislaman yang dapat diselaraskan dengan ajaran agama. Di

samping itu tradisi Hanta Ua Pua menjadi media dalam melanjutkan dakwah

islamiah yang mengandung pesan moral yang akan disampaikan melalui tradisi Hanta

Ua Pua, yang berfungsi sebagai simbol, pengingat, dan media dalam perkembangan

Islam di Bima.

Kata Kunci: Hanta Ua Pua, Tradisi, Keagamaan, Bima, Abad XVII-XXI.

vi

DAFTAR ISI

MOTTO ……………………………………………………………..…………......... i

KATA PENGANTAR …………………………………………….………....……... ii

ABSTRAK………………………………………………………..…….……..…….. v

DAFTAR ISI …………………………………………………..………………...…. vi

GLOSSARIUM ……………………………………………..………………..…… viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah ……………………..………...……………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...………………………. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………...………………………... 4

D. Tinjauan Pustaka…………..…………………………………....……. 5

E. Kerangka Teori…………..…………………………………......….…. 7

F. Metode Penelitian……….……………………………………...…….. 8

G. SistematikaبPembahasan………………………………………..…... 10

BAB II SEKILAS TENTANG BIMA

A. Letak Geografis…………………………………………………...….12ب

B. Sosial dan Budaya ………………………………………………...… 12

C. Sekilas Tentang Sejarah Bima ……………………………….………14ب

D. Kedatangan Islam ke Bima……………………………………......…16ب

E. BAB III SEJARAH DAN PENGERTIAN HANTA UA PUA

A. Sejarah Munculnya Hanta Ua Pua ………………………………..... 20

B. Pengertian Hanta Ua Pua ……………………………………......…. 25

C. Filosofi yang Terkandung di Dalam Hanta Ua Pua ..…………….... 28

D. Tujuan Hanta Ua Pua ………………………………………..…...… 30

E. Nilai yang Terkandung dalam Hanta Ua Pua …………...……….....32ب

vii

1. Nilai Sosial……………………………………..……..…………... 33

2. Nilai Spiritual……………………………..…………..………....34 ..ب

3. NilaiبPendidikan……………………..……………..……….......... 34

4. Nilai Ekonomi…………………..…………………..….........……. 35

BAB IV HANTA UA PUA SEBAGAI BUDAYA ISLAM DI BIMA

A. Peran dan Pengaruh Hanta Ua Pua terhadap KesultananبBima37 ....…ب

B. Hanta Ua Pua sebagai Simbol Penghormatan pada Ilmu dan Ulama..41

C. Rangkaian dalam Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua …….... 44

D. Fungsi Hanta Ua Pua terhadap perkembangan Islam di Bima....….. 47

1. SebagaiبPengingat……………………………………………....... 49

2. Sebagai Penghormatan padaبUlama50 ......…………………………ب

3. Sebagai Momentum SilaturahmiبdanبBermusyawarah………….. 50

4. Sebagai Media atauبAlatبPerantaraبdalamبDakwahبIslam….…..... 51

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………….………………………..….…..... 52

B. Saran…………………………………………………………………. 53

DAFTAR PUSTAKA …………………………….……………...………….……... 54

LAMPIRAN

viii

GLOSARIUM

Asi Mbojo : Istana Bima.

BO’ :Kitab Peraturan Pemerintahan atau Stetsel

perundang-undangan Kesultanan Bima.

Dou Mbojo : Orang Bima.

Dou Donggo : Orang Pegunungan.

Hawo ro ninu : Tempat berteduh dan berkaca (yang dimaksud

adalah Raja, Sultan, Ulama, dan pemimpin

masyarakat daerah) yang dijadikan panutan oleh

masyarakat.

Hanta Karo’a : Penyerahan Al-Quran kepada Sultan Bima.

Jena Teke : Raja muda.

Jara Wera : Pasukan kerajaan yang setia kepada Sultan.

Jara Sara’u : Kuda khas dan kuda pilihan yang terlatih dan

pandai menari dengan hentakan kaki mengikuti

irama Tambur.

Karawi Kaboju : Gotong royong.

Kampo Malaju : kampung Melayu.

Lenggo Mbojo : Gadis Bima yang menjadi penari yang menemani

penghuluب Melayuب diatasب “Uma lige”ب yangب

diususng oleh masyarakat.

Lenggo Melayu : Pemuda Melayu yang menjadi penari yang

menemaniب ب ب ب penghuluب Melayuب diatasب “Uma

lige”بyangبdiususngبolehبmasyarakat.

Malaju : Melayu.

Maja Labo Dahu : Dimaknai, Malu dan takut apabila melalaikan

segala perintah agama dan adat-istiadat.

ix

Makakamba makakimbi : Animisme dinamisme.

Mbolo ro dampa : Musyawarah dan mufakat.

Mihu : Pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima

sekaligus memulai upacara penyerahan Ua Pua

yang berisi Kitab Suci Al-qur’an.

Mpa’a Kanja : Merupakan tarian kesatria yang dilakukan oleh

panglima perang, sebagai pernyataan setia dan

penghormatan tertinggi terhadap pemimpin

sekaligus menegaskan bahwa pemimpin telah

menyatu dengan tubuh adat dan negeri.

Panggita :بPendisainبbentukب“uma lige”

Ranca Na’e : Gong besar.

Rumata Mantau Uma Jati : Sultan yang memiliki rumah jati.

Rumata Mabata Wadu : Sultan yang mengenal batu-batu.

Rawi ma tolu kali samba’a : Kegiatan yang dilakukan 3 kali setahun.

Ro’o Nahi : Daun siri.

Sara Dana Mbojo : Pemerintah daerah Bima.

Su’u sa wa’u sia sa wale : Berusaha menjalankan kenyataan hidup dan

tidak mengeluh bila permasalahan datang, juga

bermakna siap sedia menanggung resiko dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawab.

Sara Tua : Eksekutif.

Sara Hukum : Yudikatif.

Sara syara : Legislatif.

Suba Na’e : Nama sebuah lapangan didekat istana Kesultanan

Bima.

Tolo bali : Sawah yang dikembalikan.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bima adalah nama sebuah kota yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa,

Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada pertengahan abad 17 M, Bima menjadi pusat

penyiaran dan pengembangan agama Islam yang tersohor di wilayah Nusantara

bagian timur.1 Kejayaan Islam di Bima berlangsung sampai dengan pertengahan abad

20 M. Dalam penyebarannya, Islam meninggalkan bukti sejarah yang dapat kita lihat

hingga sekarang ini. Salah satu yang hingga kini masih ada bahkan menjadi tradisi

yang diwariskan kepada generasi ke generasi yaitu budaya Hanta Ua Pua, yang

dianggap sebagai budaya peninggalan Islam di Bima.

Hanta Ua Pua merupakan salah satu upacara adat yang erat kaitannya dengan

sejarah masuk agama Islam di Tanah Bima. Hanta Ua Pua adalah suatu acara rutin

dalam rangka memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW tepatnya pada

tanggal 12 rabiul awal. Dalam tradisi adat Hanta Ua Pua ini, memiliki nilai sejarah

tersendiri bagi masyarakat Bima2 yaitu dalam mengenang masa-masa masuknya

Islam di Bima. Sebagaimana yang terdapat dalam buku Bo` Sangaji Kai, hasil

suntingan Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin (1999) bahwa Islam

masuk menjadi agama Kerajaan di Bima pada hari Kamis, 15 Rabiul Awal 1050 H(5

Juli 1640). Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan

bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang sekarang masuk wilayah

Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Dua datuk yang

juga berprofesi sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro.

1 M. Hilir Ismail. Kembangkitan Islam Di Dana MBojo (Bima)1540-1950, (Bogor: CV Binasti,

2008), h. 1. 2 Bagi masyarakat Bima Hanta Ua Pua diidentikan dengan nilai-nilai keislaman yang dapat

diselaraskan dengan ajaran agama Islam. Hanta Ua Pua juga dijadikan sebagai hari peringatan dalam

mengenang jasa-jasa para ulama yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Islam di Bima.

2

Sebagian literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri

Tiro. Selain ke Bima, dua datuk ini juga dikenal sebagai tokoh utama penyebar

agama Islam di Pulau Sulawesi.3

Hanta Ua Pua pertama kali diperkenalkan oleh para mubalig Islam yang datang

dari Sumatra melalui Sulawesi. Pada awalnya Hanta Ua Pua merupakan upacara

perpisahan yang segaja direncanakan oleh para mubalig Islam yang bertepatan pada

tanggal 12 Rabiul Awal, dan kini menjadi suatu upacara resmi diadakan setiap tahun

untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara adat Hanta Ua

Pua juga digelar untuk menghargai dan menghormati jasa para ulama yang dahulu

telah membawa agama Islam masuk ke wilayah tersebut.

Pada hakikatnya upacara Hanta Ua Pua juga merupakan media dakwah guna

meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat agar menjadikan al-Qur’an dan Sunnah

Rasul sebagai pedoman hidup baik dalam tatanan masyarakat maupun dalam hal

negara sesuai dengan nggusu waru4 yang pertama, yaitu “Dou maja labo dahu dei

ndai Ruma Allahu Ta’ala” Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada Allah

SWT. Dalam nggusu waru yang pertama tersebut ada dua kata kunci, yaitu : Maja

dan Dahu. Secara harfiah, Maja berarti “malu” dan Dahu berarti “takut, yang

bermakna takwa”.5 Jadi Maja Labo Dahu berisi perintah kepada seluruh lapisan

masyarakat yang telah mengikrarkan kalimat tauhid untuk mengamalkan nilai-nilai

keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan ibadah

maupun muamalah, dengan menjadikan al-Qur’an dan As-sunnah sebagai pedoman

hidup yang baik. Karena sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah,

mereka harus merasa malu dan takut kepada Allah, pada manusia yang lain

3 Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan

Bima, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). 4 Hasan Abdul malik Mahmud. NGUSU WARU sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya

Lokal Mbojo, (Bima-Dompu), (yansa Yogyakarta, 2008). 5 Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima, (Mataram: 2008, cet. II), h. 52-53.

3

(masyarakat), alam, lingkungan, dan pada dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal

yang melanggar ajaran Islam.6

Upacara adat Hanta Ua Pua menjadi simbol atau ciri khas dari budaya adat

Bima yang bercorak Islam. Upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat secara

meriah pada setiap tahunnya.

Sebelum upacara adat Hanta Ua Pua dilaksanakan sebagai puncak peringatan

Maulid Nabi Muhammad SAW, diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni budaya

tradisional dan pengajian Al-Qur’an selama tujuh hari, tujuh malam. Upacara Hanta

Ua Pua ini digelar dengan diawali pemukulan Ranca Na’e atau gong besar pada

pukul 6 pagi dari loteng Gerbang Istana (Lare-Lare Asi). Hal tersebut sebagai

peringatan bahwa hari upacara adat telah tiba.

Upacara adat Hanta Ua Pua dilakukan dengan berpusat pada halaman muka

Istana Kesultanan Bima. Adanya uma lige (mahligai) menambah semakin

menariknya upacara adat Hanta Ua Pua ini. Uma lige memiliki bentuk segi empat

berukuran 4x4 M, berfungsi sebagai tandu untuk membawa penghulu melayu dari

daerah Kampo Malaju (Kampung Melayu) menuju Istana Kesultanan Bima.

Selain itu di dalam uma lige juga berisi Al-Qur’an yang merupakan kitab suci

umat muslim serta Ua Pua atau sirih puan dalam bahasa Melayu. Yang dimaksud

dengan Ua Pua atau sirih puan adalah 99 bunga telur dengan beraneka warna yang

diberi hiasan serta dilengkapi dengan sirih dan pinang. Uma lige tersebut akan

digotong oleh 44 pemuda yang berasal dari berbagai desa yang ada di kota Bima.

Hanta Ua Pua memiliki nilai kearifan lokal (local wisdom ) dan menjadi

pegangan dan sandaran sebagian besar masyarakat Bima, namun arus globalisasi

yang melaju dengan cepat menjadi ancaman bagi eksistensi budaya lokal Hanta Ua

Pua. Dalam hal ini perlu adanya pertahanan untuk tetap menjaga kearifan budaya

lokal yang merupakan jati diri atau identitas diri suatu bangsa dari pengaruh budaya

asing. Dalam hal ini, dibutuhkan strategi untuk meningkatkan dan memperkuat daya

6 M. Hilir Ismail, Menggali Pustaka Terpendam (Butir-Butir Mutiara Budaya Mbojo), (Bima:

2001), h. 46-47.

4

tahan budaya lokal melalui pelestarian budaya daerah. Sebagai tindak lanjut

pembangunan jati diri bangsa melalui pelestarian budaya daerah, penanaman

pemahaman atas falsafah budaya lokal juga harus dilakukan. Langkah ini akan

membantu masyarakat dalam memahami makna dari upacara adat Hanta Ua Pua.

Dari uraian di atas, penulis tertarik dan ingin mengetahui lebih dalam dengan

melakukan penelitian dan mewujudkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul:

Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan Di Bima abab XVII-XXI

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat begitu banyak ragam tradisi adat yang terdapat di daerah Bima dan

untuk mengihindari meluasnya pembahasan agar dapat terkait langsung dengan titik

utama yang menjadi pembahasan, maka penulis membatasi masalah penelitian ini

tentang Hanta Ua Pua: Sejarah Tradisi Keagamaan Di Bima abab XVII-XXI.

2. Perumusan Masalah

Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Sejarah munculnya Hanta Ua Pua?

b. Bagaimana pengaruh dan peran Hanta Ua Pua dalam masyarakat dan

Kesultanan Bima?

c. Bagaimana fungsi Hanta Ua Pua dalam perkembangan Islam di Bima?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu terjawabnya semua

permasalahan yang dirumuskan antara lain:

a. Untuk mengetahui bagaimana sejarah munculnya Hanta Ua Pua.

b. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengaruh dan peran Hanta Ua Pua

dalam masyarakat dan Kesultanan Bima.

c. Untuk mengetahui tentang bagaimana fungsi Hanta Ua Pua terkait

perkembangan Islam di Bima.

5

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan pengetahuan yang lebih tentang sejarah tradisional dan

kebudayaan Islam Nusantara yang terkait dengan budaya Hanta Ua Pua.

b. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Strata 1(S1).

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti

yang sejenis.

d. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kualitas penulis dalam menyusun

karya tulis ilmiah.

C. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji, maka metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah menggunakan metode sejarah dengan kegiatan

mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalaan yang akan

dikaji. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber sekunder untuk mencari

sumber kepustakaan yang diperoleh dari buku-buku literatur yang berkaitan dengan

penelitian ini. Beberapa buku-buku literatur yang berkaitan antara lain:

Dalam buku pertama yang ditulis oleh M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan

Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara membahas mengenai keadaan Bima

sebelum masa Kesultanan dan pada masa Kesultanan. Pembahasan pertama mengenai

Bima pada masa sebelum Kesultanan lebih ke pembahasan mengenai letak

geografisnya, sosial budaya, keadaan politik dan pemerintahan sebelum masa

Kesultanan. Pembahasan kedua mengenai masa Kesultanan, pada masa ini Islam

sudah masuk dan memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan perkembang

Kesultanan Bima. Pada bab ketiga terdapat pembahasan yang berkaitan dengan tema

ini yaitu adat upacara Hanta Ua Pua pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Khoir

Sirajuddin.7

7 M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara. (Gunung

Agung I, Mataram 2004), h. 70-75.

6

Dalam buku keduanya, M. Hilir Ismail, tentang Kembangkitan Islam Di Dana

MBojo (Bima)1540-1950 membahas mengenai Perkembangan agama pra Islam, dan

tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung

dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode

pertumbuhan Islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan Islam pada 1640 –

1950 M. Pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam

sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima terlebih dahulu kemudian masuk ke

wilayah pedesaan untuk menghimpun jamaah, setelah itu barulah menyebar ke Istana

kerajaan.8

Buku ketiga, H. Abdullah Tajib, BA. Dalam bukunya Sejarah Bima Dana

MBojo terdapat pembahasan yang berkaitan dengan tema penulis yaitu Sejarah

upacara adat Hanta Ua Pua yang menjadi perayaan resmi kerajaan yang terdapat pada

bab keenam bagian ketiga.9

Buku keempat, yang ditulis oleh Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R.

Salahuddin, BO’ Sangaji Kai (catatan lama Istana Bima), yang menjadi sebagai

sumber sejarah Bima menjelaskan mengenai kedatangan Islam. Selain itu dalam BO’

juga menceritakan mengenanai silsilah Kesultanan Bima Pertama hingga terakhir.10

Kelima, berupa E-book yang ditulis oleh Ruslan Muhammad atau Alan

Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, dalam E-book ini terdapat pembahasan yang

menjadi tema pokok penulis. Isi pembahasannya mengenai sejarah perayaan Hanta

Ua Pua, prosesi, Perlengkapan Hanta Ua Pua, dan makna serta tujuan Hanta Ua

Pua; dan sedikit tentang sejarah masuknya Islam di Bima.

8 M. Hilir Ismail. Kembangkitan Islam Di Dana MBojo (Bima)1540-1950, (Bogor: CV Binasti,

2008). 9 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo. (Jakarta: PT Harapan Masa PGRI 1995),

h. 139. 10

Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, BO’ Sangaji Kai (Catatan Lama Istana

Bima). Ecole Francajse D’Extreme-Orient, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2012).

7

Buku-buku diatas memiliki keterkaitan antara satu sama lain dalam penulisan

sejarah tradisi Hanta Ua Pua di Bima. Penulis menggunakan buku-buku diatas

sebagai buku pokok dalam penulisan skripsi.

D. Kerangka Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori pelestarian budaya

sebagai kerangka teori penulisan.

Untuk menjaga dan mempertahankan budaya lokal perlu adanya pelestarian

budaya. Keberadaan budaya tradisional seperti budaya Hanta Ua Pua ini diperlukan

perhatian khusus untuk tetap menjaga dan melestarikannya, mengingat kebudayaan

tidak bersifat statis dan selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.

Pelestarian, berasal dari kata dasar lestari, yang artinya adalah tetap seperti

keadaannya semula tidak berubah. berdasarkan kata kunci lestari ditambah awalan

pe- dan akhiran –an, maka yang dimaksud pelestarian adalah upaya atau proses untuk

membuat sesuatu tetap seperti keadaannya semula tidak berubah. Bisa pula

didefinisikan sebagai upaya untuk mempertahankan sesuatu supaya tetap

sebagaimana adanya.11

Merujuk pada definisi pelestarian budaya diatas, maka penulis mendefinisikan

bahwa yang dimaksud pelestarian budaya adalah upaya untuk mempertahankan suatu

budaya agar tetap terjaga keasliannya sebagaimana adanya.

Jacobus Ranjabar (2006) mengemukakan bahwa pelestarian norma lama bangsa

(budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional

dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan

dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.12

Hanta Ua Pua merupakan seni budaya tradisional yang sudah ada sejak lama,

maka dari itu harus tetap dilestarikan dan diadakan secara terus menerus dengan

mempertahankan nilai-nilai seni budaya, karena budaya Hanta Ua Pua adalah bentuk

lain dari kekayaan alam yang patut dipertahankan dan dilestarikan agar tidak punah

11

http://kbbi.web.id/lestari di akses 3 mei 2017. 12

Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor :Ghalia Indonesia, 2006), h. 115.

8

dan hilang. Dengan begitu budaya Hanta Ua Pua dapat dinikmati oleh generasi

berikutnya.

Diadakannya pelestarian budaya bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran

masyarakat akan pentingnya budaya Hanta Ua Pua dalam pembentukan karakter dan

moral masyarakat Bima. Usaha pelestarian pernah dilakukan oleh majelis hadat dana

mbojo ibu Hj. Siti Mariam Salahuddin dari tahun 1950, 1980, 1990, dan 2002.

Upacara adat Hanta Ua Pua mulai mendapatkan momentumnya setelah era

reformasi. Upacara ini mendapat dukungan penuh dari pihak Kerajaan Bima, pejabat

pemerintahan Kabupaten/Kota Bima, dan masyarakat Bima pada umumnya.13

Kelestarian tradisi Hanta Ua Pua senantiasa berpasangan dengan kemajuan dan

perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan. Kelestarian merupakan aspek

stabilisasi kehidupan manusia, sedangkan kelangsungan hidup merupakan

percerminan dinamika.14

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengguakan penelitian sejarah dengan

pendekatan antropologi yang bersifat kualitatif. Istilah antropologi berasal dari

bahasa Yunani, asal kata antropos berarti manusia, dan logos berarti ilmu. Jadi

antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang berusaha menyusun

generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk

memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman

manusia.15

Seperti halnya dalam penelitian ilmiah-ilmiah yang lainnya, dalam penelitian

sejarah dan antropologi pun sangat memperhatikan unsur tempat, waktu, latar

belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut untuk memperoleh pengertian ataupun

pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia termaksud kebudayaan.

13

https://wisatanusatenggara.wordpress.com/wisata-nusa-tenggara-barat/adat-hanta-ua-pua/

diakses 3 Mei 2017. 14

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta : Rajawali Pers, 2003), h. 432. 15

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press,

1987). h. 1-2.

9

Karena penelitian ini adalah penelitian sejarah maka metode yang digunakan

pun adalah metode sejarah.

Di antara beberapa tahapan dalam metode penelitian sejarah adalah sebagai

berikut:

1. Heuristik

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dikaji, maka dalam

pengumpulan data heuristik sejarah ini dilakukan:

a. Penelitian Kepustakaan (Library research), yaitu penulis mengadakan penelitian

terhadap beberapa literatur yang berkaitan dengan sejarah tradisi perayaan maulid di

Bima yang dikenal dengan tradisi Hanta Ua Pua. Adapun langkah yang ditempuh

dalam studi kepustakaan ini adalah dengan cara mengunjungi perpustakaan utama

UIN Syarifhidayatullah Jakarta, perpustakaan fakultas Adab dan Humaniora,

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), perpustakaan pribadi diantaranya

perpustakaan Bapak Ahmad Zakaria dan Bapak Hasan.

b. Wawancara sejarah (oral historis), yakni teknik pengumpulan data dengan cara

melakukan tanya jawab secara langsung (tatap muka) ataupun via email dan telepon

antara peneliti dengan informan yang dianggap mengetahui pengelolaan yang

dilaksanakan di Museum Asi Mbojo. Penulis melakukan wawancara dengan bapak

Ruslan Muhammad selaku penulis sejarah budaya Hanta Ua Pua, bapak Ahmad Zakariah

dan bapak Hanafi Yasin. Dari hasil Wawancara penulis mendapatkan informasi tentang

Sejarah, peran, proses, dan fungsi Hanta Ua Pua di Bima.

c. Studi Dokumentasi, merupakan tekhnik yang dilakukan dalam pengumpulan data

berdasarkan buku, majalah, dan literature-literatur lainnya. Penulis akan

mengumpulkan data yang berhubungan dengan tema.

2. Kritik Sejarah

Setelah penulis mendapatkan informasi yang relevan dengan tema yang dikaji,

maka dilakukan kritik sejarah guna memperoleh kebenaran informasi dan dalam

sejarah tersebut kritik dilakukan dengan cara ekstern dan intern. Kritik ekstern dan

10

intern digunakan untuk meneliti keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas)

Hanta Ua Pua.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran peristiwa sejarah juga disebut analisis sejarah, yang

berarti menjelaskan peristiwa sejarah masa lampau. Analisis sejarah bertujuan

melakukan penelitian atas sejumlah fakta yang di peroleh dari sumber-sumber

sejarah.16

Pada tahapan menganalisa data ini penulis memperhatikan bagaimana

melakukan eksplorasi terhadap nilai-nilai dan peran Hanta Ua Pua sebagai suatu

tradisi keagamaan Islami yang rutin dilakukan oleh kesultanan dan masyarakat Bima.

Hanta Ua Pua memang memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan dakwah

Islam di Bima. Untuk selanjutnya penulis akan menginterpretasikan makna tradisi

tersebut, kemudian di ambil kesimpulan guna menjawab pertanyaan yang terdapat

dalam rumusan masalah. Dengan adanya kesimpulan tersebut diharapkan penulis

bisa lebih terarah.

4. Historiografi (Metode Penulisan)

Tahap ini adalah tahapan paling akhir dari seluruh rangkaian penulisan karya

ilmiah tersebut, merupakan proses penyusunan fakta-fakta ilmiah dari berbagai

sumber yang telah diseleksi sehingga menghasilkan suatu bentuk penulisan sejarah

yang bersifat kronologi atau memperhatikan aturan waktu dan peristiwa sejarah.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis

menyusun penulisan ini dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan menjelaskan mengenai latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan. Melalui bab ini di harapkan dapat

16

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), h. 55

11

memberikan gambaran umum mengenai keseluruhan rangkaian

penulisan penelitian sebagai dasar pembahasan selanjutnya.

BAB II : Membahas sekilas tentang Bima yang meliputi: letak geografis

daerah Bima, sosial budaya daerah Bima, sejarah singkat Bima, dan

kedatangan Islam ke Bima,.

BAB III : Membahas tentang sejarah munculnya Hanta Ua Pua, pengertian

Hanta Ua Pua, falsafah yang terkandung di dalam Hanta Ua Pua,

tujuan Hanta Ua Pua, dan nilai yang terkandung dalam Hanta Ua

Pua.

BAB IV : Membahas tentang peran dan pengaruh Hanta Ua Pua terhadap

kesultanan dan masyarakat Bima, Ua Pua sebagai simbol

penghormatan pada ilmu dan ulama, rangkaian dalam pelaksanaan

upacara adat Hanta Ua Pua, dan fungsi Hanta Ua Pua terhadap

perkembangan Islam di Bima.

BAB V : Merupakan bab penutup dari seluruh rangakaian penulisan skripsi

ini akan membahas tentang kesimpulan dan saran-saran.

12

BAB II

SEKILAS TENTANG BIMA

A. Letak Geografis Daerah Bima

Sejarah suatu bangsa dipengaruhi oleh keadaan letak dan geografisnya yang

memberikan pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, seperti letak, luas wilayah,

keadaan struktur tanah dan iklim, semuanya memiliki keterkaitan yang membawa

dampak bagi kehidupan suatu bangsa.

Daerah Bima terletak di pulau Sumbawa bagian Timur. Memiliki luas

diperkirakan 4.596.90 km2

atau 1/3 dari luas pulau Sumbawa. Pada tahun 1950

daerah Bima disebut Sunda Kecil yang memiliki batas-batas sebagai berikut: wilayah

Samudra Indonesia di selatan, Laut Flores di utara, Kabupaten Dompu dan Sumbawa

di barat, dan Selat Sape di timur.1

Hampir 70 % daerah Bima terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan. Pada

masa lalu, dataran tinggi dan pegunungan ditumbuhi hutan tropis yang lebat dan

terkenal subur. Daerah bima beriklim panas dan kering. Curah hujan sangat sedikit,

kalau dibanding dengan curah hujan di Indonesia bagian Barat. Musim kemarau

lebih panjang dari musim hujan. Sehingga daerah-daerah pertanian sering mengalami

kekeringan.

Pada perayaan Hanta Ua Pua yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal atau

bulan Februari sesuai dengan tanggal peringatan Maulid Nabi SAW dalam kalender

Islam, dan biasanya daerah Bima pada bulan tersebut terjadi musim hujan.

B. Sosial dan Budaya

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Kantor Statistik

Daerah Kabupaten Tingkat II Bima tahun 1982, jumlah penduduk Kabupaten

1 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo(Bima), h. 11.

13

Tingkat II Bima 389.700 orang, yang terdiri dari Dou Donggo, Dou Mbojo, dan

pendatang.2

Penduduk Bima terdiri dari berbagai suku (etnik). Pertama: Dou Mbojo (suku

Bima) merupakan penduduk mayoritas daerah Bima dan Dompu, berasal dari

pembauran penduduk orang Bima dengan makassar dan Bugis. Mereka terdiri dari

pedagang, politisi, ulama, pelaut, dan militer. Kedatangan mereka ke Bima dalam

rangka ikut membantu perkambangan politik dan agama Islam.3 Suku Mbojo

memiliki falsafah hidup yang menjadi pedoman bagi masyarakat Bima “Maja Labo

Dahu”, yang dimaknai, malu dan takut apabila melalaikan segala perintah agama dan

adat-istiadat.

Kedua: “Dou Donggo” (orang Donggo) yang merupakan suku asli Bima yang

masih bertahan dengan adat dan budayanya. Suku Dongga terdiri dari dua kelompok

yang berdasarkan wilayah permukimannya yaitu Dou Donggo Ipa (Barat) disekitar

Gunung Ro’o Salunga dan Gunung Soromandi. Dou Donggo Ele (Timur) bermukim

di sekitar Gunung Lambitu. Jumlah dari Suku Donggo ini tidak sebanyak Suku Bima

yang menjadi penduduk mayoritas, mereka hanya sekitar 15%.4

Ketiga: Kaum pendatang yang terdiri dari Suku Makassar, Bugis, Melayu, dan

Arab. Kaum pendatang yang paling besar pengaruhnya ialah Dou Malaju (orang

Melayu) dan Dou Ara (orang Arab). Latar belakang mereka datang ke Bima sama

dengan orang Makassar dan Bugis. Pada masa awal kesultanan, mereka mulai datang

ke Bima dalam rangka menyiarkan agama Islam dan berdagang. Mereka banyak

yang menjadi ulama dan mubalig yang terkenal pada masa kepemimpinan Sultan

Abdul Khair Sirajuddin.5

Kedatangan para Mubalig tersebut selain menyiarkan agama Islam dan

berdagang juga membawa budaya baru yang membantu dalam menyiarkan ajaran

2 M. Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 14.

3 M. Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 17.

4 M. Hilir Ismail. Kebangkitan Islam di Dana Mbojo(Bima), h. 14.

5 M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 18.

14

Islam di Bima. Budaya yang amat besar pengaruhnya dalam penyiaran Islam di Bima

adalah budaya Hanta Ua Pua yang di bawa oleh para mubalig Islam dari Melayu.

C. Sejarah daerah Bima

Daerah Bima terletak di ujung Timur Pulau Sumbawa, Provinsi Nusatenggara

Barat. Daerah Bima mempunyai 2 macam nama atau sebutan yakni Bima dan Mbojo.

Kedua nama ini memang sudah dipergunakan sejak kerajaan ini lahir. Biasanya kata

Bima dipergunakan bila menyebut daerah ini dalam bahasa Indonesia atau bahasa

asing. Sedangkan nama Mbojo dipergunakan bila menyebutnya dalam Bahasa

daerah.6

Untuk mengingat suatu sejarah dan lengenda masa lampau masyarakat Bima

memiliki tradisi atau kebiasaan seperti menceritakan kejadian-kejadian masa lampau

kepada anak cucu dan diwariskan secara turun-temurun. Sejarah dan lengenda

terbentuknya kerajaan Bima itu sendiri selain dapat diperoleh melalui sumber-sumber

tertulis seperti dalam kitab BO’ atau catatan lama kerajaan Bima juga dapat diperoleh

dari cerita rakyat.

Dalam cerita rakyat, nama Bima di ambil dari nama seorang Raja yang

memiliki kekuatan yang dapat disejajarkan dengan sang Bima, salah seorang tokoh

dalam cerita pewayangan Jawa. Karena kekuasaan dan kesaktiannya itu ia digelari

dengan nama sang Bima. Raja Bima yang pertama ini, berasal dari bangsawan Jawa

yang beragama Hindu, ia menikah dengan putri penguasa setempat yang bernama

Tasi Sari Naga yang berkepercayaan totemisme7 yaitu kepercayaan asli daerah

tersebut (lambang naga).8

Raja Bima berhasil menyatukan beberapa kerajaan-kerajaan kecil menjadi satu

dan menjadi pemimpin di wilayah tersebut. Untuk menghormati istrinya yang

merupakan pemilik awal dari daerah yang dikuasakan kepadanya, sang Bima

6 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana Mbojo, h. 41.

7Totemisme merupakan sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilineal

adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang, moyang yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan

kekerabatan 8 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 44.

15

mengabadikan sebutan istrinya atau bojonya (Bahasa Jawa) atas daerah

kekuasaannyan dengan memberi nama Mbojo atau Dana Mbojo (Tanah Bima).9

Sang Bima diyakini sebagai seorang bangsawan dari Jawa dan menguasai

kerajaan Bima pada masa Kerajaan Majapahit. Yang berarti Sang Bima masih

memiliki garis keturunan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit mencapai

puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) dan

didampingi oleh Patih Gadjah Mada. Dengan sumpah Palapa yang terkenal itu

Majapahit menguasai seluruh wilayah Nusantara (Malindo).10

Kakawin Nagarakaŗtagama karangan Prapanca menyebutkan bahwa kekuasaan

Majapahit sangat luas yang termuat dalam Pupuh XIII: 1 sampai Pupuh XVI: 5.

Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu Pulau

Sumatera di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan meluas sampai ke

negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara

atau mitrasatata.11

Patih Gajah Mada memimpin sendiri ekspedisi untuk menyerang Bali; bahkan

untuk menyerang pulau Sumbawa, namun ia mengurungkan niatnya dan mengutus

Panglima Nala untuk menyerang pulau Sumbawa. Keberhasilan dalam kemenangan

Panglima Nala diceritakan dalam sebuah prasasti lempengan tembaga berangka tahun

Saka bertepatan dengan 1357 M.12

Setelah Gadjah Mada berhasil menguasai seluruh wilayah Nusantara, Gadjah

Mada akan bebas, dalam arti beristirahat. Begitu pula jika Gurun, Seram,

Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Karitang, Tba, dan

Dharmalaya telah dikalahkan, maka Gadjah Mada akan menikmati bebas atau

9 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 45.

10 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 53.

11 Stuart, Robson. Desawarṇana (Nȃgarakaŗtȃgama) by Mpu Prapanca. (Leiden: KITLV,

1995). Lihat Sukawati Susetyo, Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima Dompu, Volume

27, Nomor 2 (Jakarta: Forum Arkeologi, Agustus 2014). h. 122. 12

H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 53.

16

istirahat yang disebut dengan Amukti Palapa.13

Jadi Gadjah Mada akan melakukan

pembebasan diri dari tugas-tugas negara atau pensiun jika Gadjah Mada sudah

menaklukkan daerah-daerah tersebut.

Sebagaimana dalam kitab Negarakartagama (1365) menyebutkan bahwa

daerah yang dikuasai Majapahit di Nusantara meliputi pulau Sumbawa antara lain

tercatat nama Dompo, Bima, dan Sape. Diduga Sang Bima sedang memimpin suatu

ekspedisi yang singgah di pulau Satonda kemudian tiba di Asakota teluk Bima. Di

sana Sang Bima memahat prasasti pada batu karang yang dikenal dengan Wadu Pa’a.

D. Kedatangan Islam ke Bima

Mubalig Islam memulai penyiaran agama Islam di pulau Sumbawa antara tahun

1540-1550 yang dibawa oleh para mubalig dan pedagang dari Demak, mengingat

pada masa itu Demak merupakan pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara,

menggantikan kekuasaan Malaka yang sudah dikuasai oleh Portugis sejak tahun

1511.14

A Salim Harahap menyebutkan bahwa penyiaran agama Islam di pulau

Sumbawa antara tahu 1540-1550. Walaupun hanya disebutkan pulau Sumbawa

namun para sejarawan berkeyakinan para mubalig dan pedagang Demak sudah

datang ke Bima, mengingat bima pada waktu itu merupakan kerajaan yang

berperanan dalam perniagaan di jalur selatan wilayah Nusantara. Sejak abad ke-15,

kerajaan Bima mencapai kejayaan berkat perjuangan Raja Manggampo Donggo, Ma

Wa’a Bilmana, La Mbila dan Raaja Samara, Bahkan pada masa pemerintahan Raja

Ma Wa’a Ndapa dan Ruma Bicara La Mbila, Bima suadah berperan dalam percaturan

13

Amelia dan Libra Hari Inagurasi, “Amukti Palapa dan Kebaharian Masa Majapahit Abad

ke-14.” Dalam BERITA IPTEK Nasionalisme Berbasis Teknologi E-Win, disunting oleh Rusdi

Mochtar. (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2007). h. 84. Lihat Sukawati Susetyo,

Pengaruh Peradaban Majapahit di Kabupaten Bima Dompu, Volume 27, Nomor 2 (Jakarta: Forum

Arkeologi, Agustus 2014). h. 122. 14

M. Hilir Ismail. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara, h. 47.

17

niaga Internasional yang berpusat di Sunda Kelapa (Jakarta). Para pedagang Bima

sudah mempunyai perkampungan khusus di Sunda Kelapa.15

Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang

ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke

Bima pada tahun 1513 M, pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para pedagang

Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate,

Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah

kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk

menyiarkan agama Islam.16

Pengislaman di Pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan Sunan Prapen

putra Sunan Giri yang pernah menguasai kerajaan Sumbawa dan Bima. Sunan Prapen

datang ke Sumbawa dan Bima sebagai ulama dan juru dakwah yang bertugas untuk

menyebarluaskan ajaran agama Islam secara damai, namun pengislaman tersebut

tidak dapat berlangsung lama dan pengaruhnya tidak begitu kuat akibat dari gugurnya

Sultan Tranggono tahun 1546 dan terjadi revolusi istana yang menyebabkan

runtuhnya kerajaan Demak.

Cahaya Islam yang masih redup kembali bersinar setelah para pedagang dari

Sulawesi datang menyebarkan Islam di Bima sekitar tahun 1617 (± 1028 H) di bawa

secara damai berdasarkan ikatan kekeluargaan, oleh empat orang pedagang dari Goa,

Luwu, Bone, dan Tallo. Dalam kitab BO menjelaskan bahwa Ruma Ta Ma Bata

Wadu (La Ka’i), La Mbila, Bumi Jara, dan Manuru Bata sepakat untuk menerima

ajaran Islam pada 10 Rabiulawal 1030 H (± 1619). 17

Keempat petinggi kerajaan

tersebut mengganti nama mereka sesuai nama Islam:

- Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Ka’i) menjadi Abdul Kahir

- La Mbila menjadi Jalaluddin

- Bumi Jara menjadi Awaluddin

15

A Salim Harahap, Sejarah Penyiaran Islam di Asia Tenggara, (Medan: Penerbit Toko Buku

Islamiyah, 1965), h. 55. 16

M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di dana Mbojo(Bima), h. 57. 17

M. Hilir Ismail, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalan Sejarah Nusantara. h. 52.

18

- Manuru Bata menjadi Sirajuddin.

Dari sumber lontara Luwu Wajo diperoleh keterangan bahwa sebelum ketiga

mubalig (Dato ri Bandang, Dato ri Pattimang, dan Dato ri Tiro) memulai penyebaran

agama Islam di Gowa, mereka terlebih dahulu datang ke Luwu melalui Selat Bone.

Tujuannya adalah untuk mengislamkan Raja Luwu yang dianggap masyarakat Bugis-

Makassar sebagai raja atau kerajaan yang diakui kemuliaanya di kalangan raja dan

kerajaan Bugi-Makassar. Raja Luwu yang pertama kali memeluk agama Islam adalah

La Pattiware Daeng Parabu, yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Waliyul

Mudharuddin pada 1 Ramadhan 1013 H (1603 M).18

Dalam catatan sejarah Kerajaan Gowa pernah mengirim ekspedisi militernya ke

Bima pada tahun 1616 dan berhasil diduduki oleh panglima perang Gowa Bernama

Lomo Mandolle. Kedatangan pasukan Gowa ke Bima bukan merupakan awal

kedatangan Islam di Bima. Sebelum serangan pasukan Gowa, Bima dan Sumbawa

telah didatangi mubalig-mubalig Islam dari Jawa, antara lain Sunan Prapen dari Giri,

sehingga ada kemungkinan agama Islam sudah dipeluk oleh penduduk setempat

sebelum abad ke-17.19

Pengislaman tersebut tidak berlangsung lama sehingga

menyebabkan ajaran agama Islam tidak menyebar secara menyeluruh.

Pada awal abad ke-17 terjadi perebutanan kekuasaan (takhta) di antara keluarga

kerajaan, yaitu antara Raja Salisi (mantau Asi Peka) dengan La Ka’I atau Abdul

Kahir I yang merupakan keponakannya. Raja Salisi yang berambisi untuk menjadi

Raja, hendak ingin membunuh Abdul Kahir I karena dianggap hambatan baginya

untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah Raja Salisi

berhasil membunuh kakak dari Sultan Abdul Kahir yang merupakan Putera Mahkota

juga dari Raja Samara.20

Peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya hambatan proses

18

Boedhihartono, dkk, Sejara Kebudayaan Indonesia: Sistem Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009), h. 178. 19

Boedhihartono, dkk, Sejara Kebudayaan Indonesia: Sistem Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers,

2009), h. 180. 20

H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 108-109.

19

islamisasi yang dilakukan oleh Abdul Kahir I, La Mbila atau Jalaluddin, dan kawan-

kawanya.

Abdul Kahir I meminta batuan kepada Kerajaan Gowa untuk menangkap Raja

Salisi, setelah berhasil di tangkap barulah Abdul Kahir I dinobatkan sebagai Sultan

Bima yang mendirikan Kerajaan Islam pertama di Bima. Sultan Abdul Kahir

memerintah pada tahun 1620-1640, sejak saat itu hubungan kerajaan Bima dengan

kerajaan Gowa menjadi sangat erat. 21

Ikatan kekeluargaan kerajaan Bima dengan

Makassar semakin dipererat dengan adanya pernikahan silang antara kedua kerajaan

yaitu antara Sultan Abdul Khair Sirajuddin dengan adik Sultan Hasanuddin yang

bernama Karaeng Bonto Je’ne pada tanggal 12 Rajab 1066 (± 13 September 1646).22

Sejak muncul sebagai pusat kekuasaan Islam, Kesultanan Bima diperintah oleh

empat belas sultan, mulai dari Sultan Abdul Kahir (1620-1640) sampai Sultan

Muhammad Salahuddin (1915-1951) sebagai Sultan Bima yang terakhir.

Kedatangan Islam ke tanah Bima selain memberikan kesejahteraan hidup bagi

masyarakat juga telah memberikan ruh pada peradaban dan kebudayaan, sehingga

melahirkan berbagai budaya yang unik seperti Hanta Karo’a dalam Bahasa Bima,

artinya mengangkat al-Qur’an pada budaya Hanta Ua Pua dan biasa dilakukan dalam

acara penobatan Sultan. Islam telah memberikan warna pada budaya lokal masyarakat

(local culture), sehingga dalam setiap bentuk tradisi ritual atau upacara keagamaan

secara nyata mengandung nilai agama dan kebudayaan secara bersama.

21

H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 112-114. 22

M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di dana Mbojo(Bima), h. 70.

20

BAB III

SEJARAH DAN PENGERTIAN HANTA UA PUA

A. Sejarah Munculnya Hanta Ua Pua

Upacara adat Hanta Ua Pua awalnya dibawa dan diperkenalkan oleh para

mubalig Islam pada masa Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang memimpin dari tahun

1640-1682 dan bergelar Rumata Mantau Uma Jati yang berarti raja pemilik rumah

jati. Pelaksanaan tradisi Hanta Ua Pua merupakan syiar Islam yang terus

dilaksanakan dan tetap dilestarikan sepanjang sejarah Kesultanan Bima. Upacara

adat Hanta Ua Pua pertamakali di adakan di Istana kesultanan Bima di depan Sultan

dan masyarakat secara meriah.

Pada masa kepemimpinannya, terjadi pasang surut perkembangan ajaran

agama Islam. Dakwah Islam pun sempat terhenti setelah meninggalnya Sultan Abdul

Kahir I pada tanggal 14 Desember 1640 dan meninggalnya dua ulama Melayu yang

pertamakali menyiarkan ajaran agama Islam ke Bima yaitu Datu ri Bandang dan

Datu ri Tiro. Sebelum meninggal kedua ulama tersebut telah berwasiat kepada anak

cucunya di Pagaruyung Sumatra Barat untuk datang ke Bima memenuhi janjinya

dalam meneruskan dakwah Islam.

Sebelum kedatangan para mubaliq, tampuk pemerintahan kesultanan Bima

diserahkan kepada putranya Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang masih muda

umurnya ± 13 Tahun. Dalam usianya yang sangat muda ia masih memerlukan

Bimbingan ilmu agama dari para ulama yang berpengalaman, namun dalam

kenyataan para utusan yang diharapkan menjadi guru dan pembimbing bagi Sultan

Muda tersebut terlambat hadir di Bima. Hal ini lah yang menyebabkan pada awal

pemerintahannya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin kurang memahami Agama Islam.1

Pada saat itu Islam baru berusia belasan tahun sebagai agama kerajaan. Dalam

usianya yang demikian muda, Sultan Abdul Khair Sirajuddin belum mengamalkan

1 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, (Mataram: PT Mahani

Persada September 2010), h. 13.

21

ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna dalam kehidupan pribadi maupun

kemasyarakatan.2 Sehingga lebih cenderung ke urusan dunia ketimbang urusan

akhirat, akhirnya mempengaruhi sikap dan perilakunya.

Akibatnya ajaran agama Islam tidak tumbuh dan berkembang secara

menyeluruh ditengah masyarakat Bima pada tahun 1650-an. Selain itu kurangnya

perhatian Sultan terhadap pentingnya ajaran agama Islam karena lebih mencintai seni

budaya.

Setelah beberapa tahun akhirnya anak cucu dari kedua ulama besar itu tiba di

Bima melalui Gowa untuk memenuhi janji kedua ulama besar tersebut untuk mengisi

kekosongan mubaliq Islam. Datu Raja Lelo merupakan anak dari Datu Seri Nara

Dirja yang merupakan anak cucu dari kedua ulama besar tersebut. Datu Raja Lelo

meneruskan perjalanannya ke Bima bersama teman-temannya untuk melanjutkan

dakwah Islam.

Setibanya di Bima Datu Raja Lelo dan teman-temannya Datu Iskandar, Datu

Selang Koto, Datu Lela, dan Datu Panjang menemukan keadaan negeri Bima tidak

seperti dulu lagi bagai bercerai-berai. Kekecewaan pun dirasakan oleh Datu Raja

Lelo dan teman-temannya karena sikap Sultan yang tidak mau tahu akan nasihat dan

peringatan dari penasehat dan guru Sultan sebagaimana telah diwariskan

pendahulunya.

Keadaan yang sudah berubah dan situasi lingkungannya yang tidak mendukung

membuat para mubalig sempat merasa putus asa dan tidak tahan untuk berlama-lama.

Sehingga mereka sepakat untuk pergi meninggalkan Bima dan kembali bergabung

dengan ayahnya Datuk Seri Nara Dirja yang sudah sampai di kerajaan Gowa terlebih

dahulu guna memperkuat barisan penyiar agama Islam di Gowa. Kesepakatan itu di

sampaikan ke Sultan dan Sultan menyetujuinnya.3

Setelah berpikir lama Datuk Raja Lelo tidak ingin menyerah begitu saja dalam

menyebarkan ajaran Islam. Langkah awal yang dilakukan ialah menyadarkan Sultan

2 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 139.

3 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 140.

22

atas kelemahannya di bidang Agama. Dengan modal keikhlasan, kesabaran dan rasa

kasih sayang, akhirnya mereka berhasil menemukan pendekatan yang dapat diterima

oleh sultan. Datu Raja Lelo bersama empat temannya mengadakan acara perpisahan

sekaligus memperingati hari Maulid Nabi atau yang dikenal dengan sebutan Hanta

Ua Pua, yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal di pemukiman para ulama di Ule (

kampung luar ). Dalam acara tersebut berkenan dihadiri oleh Sultan, maka oleh

kelima ulama terkemuka dirancang berbagai jenis kegiatan yang dapat memikat hati

Sultan yang berdarah Seni itu, selain melakukan kegiatan Dakwah ( Tadarus al-

Qur’an, tablik dan ceramah ), maka diadakan pula atraksi kesenian yang islami.4

Diselenggarakannya Hanta Ua Pua bukan tampa maksud dan tujuan, Datu

Raja Lelo dan kawan-kawannya ingin Sultan mencabut kembali izin keberangkatan

mereka ke Gowa sebagaimana yang pernah diajukannya kepada Sultan. Akhirnya

Datu Raja Lelo dan kawan-kawannya dapat berdakwah kembali dengan cara dan

metode yang baru tampa menghilangkan atau mengurangi nilai-nilai keislamannya.

Usaha mulia yang dirintis oleh para ulama itu tidak sia-sia. Sultan bersama

anggota majelis Adat berkenan hadir di Ule, guna mengikutii upacara yang baru

pertama kali disaksikannya. Gema wahyu Illahi yang dilantunkan oleh para ulama

mampu menggetarkan hati Sultan Muda Usia. Dalam jiwanya lahir rasa cinta pada

al-Qur’an serta bertekat mengamalkan isinya. Nasihat dan petuah para ulama yang

disampaikan melalui ceramahnya melahirkan tekad untuk memperbaiki segala

kekhilafannya, lirik syair Jiki Molu ( jikir maulud ) yang diseilingi dengan suara

Berjanji dan marhaban yang melantunkan keutamaan dan kemulian Nabi

menimbulkan kecintaan sejati kepada Nabi Muhammad SAW penghulu para Nabi

dan Rasul.5

Dengan usaha keras yang disertai dengan do’a Datu Raja Lelo dan kawan-

kawannya berhasil mencairkan kembali hati Sultan yang sempat membeku. dan ikrar

Sultan Abdul Kahir I, diputar kembali guna menyadarkan Sultan bahwa komitmen

4 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 14.

5 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 15.

23

Sultan Abdul Kahir I terhadap Islam harus dipatuhi oleh siapa saja yang akan

menjadi Sultan Bima.6

Ikrar Sultan Abdul Kahir I, yang bergelar “Mabata Wadu”:

“hai sekalian hadat, hai sekalian Gelarang, aku menyaksikan perkataanku dan

perjanjianku ini kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yaitu Tuhan yang Maha

Esa dan kepada Rasulullah penghulu kita Nabi Muhammad dan kepada

sekalian malaekat Allah ta’ala, maka barang siapa yang berubah melalui

perjanjian aku dengan kedua guruku itu sampai keturunannya sebagai mana

tersebut dalam kitab BO ini, ia itulah orang yang dimurkai oleh Allah Ta’ala

dan Rasulullah serta sekalian malaekat, niscayalah orang itu tiadalah mendapat

dunia dan akhirat. Wa llahu khairusyahidinn”.7

Sejak peristiwa puncak perayaan Hanta Ua Pua itu Sultan Abdul Khair

Sirajuddin membuka mata dan hatinya dan kembali mendorong semangat untuk

memperbaharui tekat dan mengkukuhkan niat guna mengendalikan pemerintahan

yang bernafaskan Islam.

Sultan menitahkan Datuk Raja Lelo sebagai guru dan penasehat Sultan. Sultan

menetapkan hari besar Islam yang diperingati dengan resmi oleh pemerintahan

kerajaan pada setiap tahun yang disebut Rawi ma tolu kali samba’a (kegiatan yang

dilakukan 3 kali setahun) yaitu Upacara adat Hanta Ua Pua atau Maulid Nabi, hari

raya Idul Fitri dan Idul Adha, dinyatakan sebagai acara resmi kerajaan.8 Sejak itu

ajaran agama Islam mulai di tingkatkan dan dikembangkan kembali di dalam Istana

Kesultanan Bima maupun di kalangan masyarakat Bima.

Perubahan sikap Sultan Abdul Khair Sirajuddin terhadap pentingnya agama

Islam dan betapa besar peranan sumpah yang diucapkan oleh ayahnya Sultan Abdul

Kahir I dalam perkembangan Islam di Bima, membuatnya menjadi seorang yang

mencintai agama. Kecintaannya kepada agama pula yang menyebabkan lahirnya ide-

6 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 142.

7BO Melayu, ditulis awal Kesultanan oleh para ulama keturunan Melayu, dikutib dari buku

Ringkasan Sejarah Kabupaten Bima, 1968, stensilan, oleh Ahmad Amin budayawan keturunan

Melayu. 8 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 123.

24

ide baru yang bernafaskan Islam. Sehingga perkembangan politik, ekonomi, dan

sosial budaya selalu berdasarkan Islam. 9

Perubahan sikap Sultan Abdul Khair Sirajuddin terhadap agama dilukiskan

dalam kitab BO’ Melayu sebagai berikut:

“Setelah diperingatkan kepadanya oleh gurunya akan sumpah almarhum

ayahnya dengan kedua gurunya (Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro),

barulah timbul dari kesadaran Sultan ini, sehingga menjadilah urusan agama

merupakan penting dalam perhatian dan pelaksanaan beliau dalam

menjalankan pemerintahan sehari-hari, malah beliau bersama gurunya ini

Datuk Maharaja Lelo diadakanlah setiap tahun upacara “ua pua” yang terkenal

di Bima, sebagai suatu keramaian adat yang sangat besar setiap tahunya

disediakan biaya dari Kesultanan yang bersumber dari hasil sawah Hadat

sejumlah 200 Ha. Upacara ini dilangsungkan setiap tahun pada bulan Maulud

(Bulan Rabi’ul Awal) mulai pada 17 hari bulan sampai dengan 15 hari bulan

pada siang hari dan malam hari”.10

Sultan Abdul Khair Sirajuddin mengikuti jejak ayahnya dalam menempatkan

dirinya sebagai pendamping dan pelindung para mubaliq Islam. Ia memperlakukan

para mubalig yang merupakan anak cucu dari Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro

sebagai guru atau penasehat di bidang agama Islam. Sultan menyediakan daerah

permukiman khusus bagi para mubalig yaitu yang bertempat di kawasan pantai

sebelah timur teluk Bima. Selain itu mereka juga dibebaskan dari semua kewajiban

membayar pajak. Kewajiban mereka setiap tahun kepada kesultanan hanya

menyerahkan sirih puan kepada sultan sebagai kedaulatan atas daerah pemukiman.

Sejumlah petak sawah diberikan kepada mereka untuk bercocok tanam dan menjadi

sumber nafkahnya, dan sebagian dikembalikan kepada kerajaan karena jumlahnya

yang banyak. Sawah yang dikembalikan disebut tolo bali (sawah yang dikembalikan)

dan tempat permukiman berada di sebelah utara tolo bali yaitu kampo malayu

(kampung Melayu).11

9 M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. h. 71-75.

10 Kitab BO, catatan lama kerajaan Bima.

11 H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo. h. 124.

25

Tanah persawahan tolo bali oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin bersama ulama

sebagai gurunya dijadikan tanah pemakaman. Disanalah jasad Sultan dan sebagian

gurunya bersemayam sedangkan sebagian dari gurunya di makamkan di Toro Tampa

(Ule).12

B. Pengertian Hanta Ua Pua

Dalam antropologi budaya, dikenal macam-macam suku dan budaya dari

berbagai daerah, salah satu dari suku tersebut adalah dou mbojo (orang Bima) yang

memiliki budaya upacara adat Hanta Ua Pua yang telah digelar secara turun temurun

pada masa lalu, terutama pada masa-masa keemasan dan kejayaan Kesultanan Bima

yaitu masa kepemimpinan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682). Upacara adat

yang erat kaitannya dengan sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima ini telah

menjadi rutinitas masyarakat Bima sejak tahu 1650an-1951. Hanta Ua Pua

dilaksankan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan Peringatan

Maulid Nabi Muhammad SAW.

Hanta Ua Pua dalam bahasa Bima, Hanta yang berarti angkat atau

mengangkat, Ua Pua yang berarti sirih puan atau tempat penyimpanan sirih. Jadi

Hanta Ua Pua adalah mengangkat seperangkat tempat penyimpanan sirih yang

dihiasi dengan satu rumpun tangkai bunga telur berwarna warni dan dimasukkan ke

dalam satu wadah segi empat.

Menurut Hasan Ibrahim, seorang tokoh adat Melayu yang semasa hidupnya

memegang jabatan penghulu Melayu dalam lembaga Sara Hukum Majelis Adat Dana

Mbojo, kata Ua Pua berasal dari bahasa Melayu sirih puan, Arti Etimologis

(Denotasi) kata tersebut adalah wadah untuk menyimpan sirih. Arti terminologis

(konotasi) kata Ua Pua adalah rangkaian upacara adat untuk memeriahkan Hari

Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, yang dilaksanakan selama sajuma’a (sejum’at

/ sepekan) pada wura molu (bulan maulud / Rabiul Awal). Puncak dari upacara Ua

Pua ditandai dengan penyerahan Ua Pua yang berisi sebuah Kitab suci al-Qur’an

12

M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, h. 73.

26

oleh penghulu Melayu kepada sultan yang berlangsung pada pagi hari tanggal 12

Rabiul Awal bertempat di Istana Bima. Upacara tersebut merupakan simbol

kesepakatan ulama dan Sultan bersama seluruh Rakyat untuk menjujung tinggi

(mencintai kitab suci al-Qur’an). Dengan kata lain al-Qur’an akan dijadikan sumber

hukum serta pedoman dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di samping

“sunnah Rasul” dan “Ijtihad para Ulama” (Ijma, Qyas dan Urfshaih).13

Dalam upacara adat Hanta Ua Pua, daun sirih dijadikan juga sebagai simbol

budaya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Kesultanan Bima

pada masanya. Hal ini tergambar ketika berlangsungnya musyawarah untuk

pelaksanaan upacara adat Hanta Ua Pua. Dalam kegiatan musyawarah itu para tamu

dan tetua adat di jamu dengan daun sirih.

Penggunaan sirih dalam budaya adat Bima bukan hanya dalam upacara Hanta

Ua Pua saja tetapi juga dipakai dalam upacara menyambut tamu, dan upacara

meminang. Makna lain dari daun sirih itu sendiri adalah sebagai simbol

penghormatan pada tamu, sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial, dan

sebagai media komunikasi sosial. Selebihnya dimakan oleh masyarakat yang

dipercaya khasiatnya dapat menguatkan gigi.

Budaya sirih puan pada awalnya memang diperkenalkan oleh orang-orang

Melayu dari Sumatra yang melakukan dakwah Islam di Bima dengan

menggabungkan budaya asli Bima dengan budaya Melayu (akulturasi). Jadi tidak

heran apabila ada sedikit kesamaan budaya Bima dengan budaya Melayu. Walaupun

demikian, upacara Hanta Ua Pua ini sendiri memiliki perbedaan dengan budaya lain

baik dari segi perayaannya maupun dari peralatan yang dipakai. Upacara Hanta Ua

Pua ini diisi dengan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, pembacaan Barzanji dan

Qosidah Dimba, serta beberapa tarian daerah, dan atraksi unjuk kebolehan oleh

pemuda Bima di depan Sultan dan Masyarakat sebagai wujud penghormatan. Upacara

13

Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 22-23.

27

Hanta Ua Pua hadir sebagai bentuk dan cara masyarakat Bima mengekspresikan diri

dalam menunjukan identitas diri sebagai masyarakat Muslim.

Budaya sirih puan ini juga tidak asing didaerah-daerah lain yang mayoritas

penduduknya adalah Islam. Misalnya di daerah Aceh, memiliki budaya yang hampir

sama dengan Bima yang dikenal dengan budaya ranub (budaya makan sirih), yaitu

sama-sama menggunakan daun sirih dan pinang dalam pelaksanaan setiap upacara

adat. Namun daerah Bima memiliki cara tersendiri dalam pelaksanaannya.

Dalam pelaksanaan Maulid Nabi atau Molot di Aceh, diselenggarakan di

meunasah, hari pelaksanaan setiap tahunnya ditetapkan oleh pengurus gampong.

Dalam mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW ada yang disebut dengan kenduri

(hajatan), biasanya dilakukan dengan menyerahkan apa yang dinamakan ranub bate

(sirih di dalam sebuah pinggan kecil dari tembaga atau perak dengan taplak kecil

yang bagus), selain sirih juga ada sedikit pinang. Acara molot hanya dihadiri oleh

para tamu pria saja, biasanya berkumpul di meunasah sebelum tengah hari atau pada

waktu siang; teungku dan beberapa leube datang lebih awal untuk mengkisahkan

molot yang dinamakan meulike (dari zikir), seperti di Jawa menyebut zikir moulut dan

adapula pembacaan kitab Barzanji. Pada saat itu mereka berdiri dan ditengah-tengah

diletakan tempat kemenyan, maka asap wangi bercampur dengan lagu pujian terhadap

utusan Allah.14

Sedangkan pada peringatan Maulid orang-orang Bugis di Bali memiliki

kebiasaan dan ciri khas tersendiri untuk menunjukan keakraban mereka dengan

penduduk asli Bali yang mayoritasnya adalah non Muslim. Warga Muslim setempat

mengarak miniatur perahu yang berisi bunga telur yang disusun-susun dan berjalan

mengelilingi gang untuk dibagikan kepada masyarakkat baik muslim maupun non

Muslim. Hal tersebut juga merupakan simbol penghormatan mereka kepada leluhur,

orang-orang Bugis yang dulu datang ke Bali. Hal tersebut sudah menjadi tradisi

turun-temurun dari nenek moyang mereka yang berasal dari Gowa Sulawesi Selatan.

14

C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat Dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1996), h. 164-165.

28

Di Keraton Yogyakarta, perayaan Maulid Nabi dikenal dengan acara sekaten

(asalnya: syahadatain), yang diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang dan

sangat kuat dipengaruhi budaya lokal.15

Cara ini tentu berbeda dengan yang

dilaksanakan di masjid-masjid pada jaman lampau, yakni dengan membaca syair

Arab yang dikenal oleh dunia pesantren dengan al-Barzanji, al-Diba’, dan al-Burdah

atau Syaraf al-Anam.16

C. Filosofi yang Terkandung di Dalam Hanta Ua Pua

Ua Pua dalam bahasa melayu disebut sirih puan adalah satu rumpun tangkai

bunga telur (Bima: Bunga Dolu), yang terbuat dari telur ayam yang dibungkus dan

dihias dengan kertas minyak yang beraneka warna. Tangkainya terbuat dari bambu

sepanjang 30 cm yang ditancapkan kedalam satu wadah segi empat bersama dengan

daun sirih dan pinang, dan dihias ala tradisi Melayu. Jumlah bunga telur tersebut

berjumlah 99 tangkai yang sesuai dengan Asma’ul Husna (nama-nama Allah yang

baik). Kemudian di tengah-tengahnya diletakan sebuah kitab suci al-Qur’an. Bunga

telur inilah yang dikelilingin oleh para penari Lenggo Mbojo dan Lenggo Melayu,

beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh

seluruh mayarakat sepanjang jalan.17

Ua Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai dalam Bahasa

Bima disebut Uma Lige beserta para penghulu Melayu dan pengikutnya yang terdiri

dari empat orang gadis penari Lenggo Mbojo, dan empat orang perjaka penari Lenggo

Melayu. Uma Lige berbentuk segi empat berukuran 4x4 M dengan atap bersusun dua,

dan terbuka dari ke empat sisinya, agar dapat dilihat oleh masyarakat dengan jelas,

serta menyerupai miniatur masjid sebagai simbol kebesaran rumah Allah SWT. yang

dijadikan tempat beribadah, pendidikan, dan kegiatan dakwah bagi umat Islam.

15

Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hal.

204. 16

Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, hal. 336. 17

Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 21.

29

Uma Lige tersebut diusung oleh 44 orang pria sebagai simbol dari keberadaan

44 jenis keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur

Pemerintahan kesultanan Bima. Mereka melakukan perjalanan dari kampo malaju

(kampung Melayu) menuju Istana Kesultanan Bima atau Asi Mbojo untuk diterima

oleh Sultan Bima dengan Amanah yang harus dikerjakan bersama yaitu memegang

teguh ajaran Islam.18

Uma Lige digambarkan sebagai suatu kerajaan atau kesultanan. Pada bagian-

bagian Uma Lige memiliki makna filosofi tersendiri sebagaimana yang diyakini oleh

Kesultanan dan masyarakat. Diantaranya, atap Uma Lige yang memiliki urutan yang

paling atas dimaknai sebagai pemerintahan, ditengah-tengan Uma Lige ada kitab suci

al-Qur’an sebagai sumber hukum dan konsep tatanan kepemerintahan, kemudian

ulama sebagai transformasi nilai al-Qur’an pada masyarakat dan negara, Asmaul

Husna sebagai sumber kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam segala dimensi

kehidupan. Sultan sebagai penegak hukum dalam menjalankan sistem

kepemerintahan yang sesuai dengan syariat Islam. Sirih Puan sebagai simbol budaya

Melayu, dan orang-orang yang menggotong atau mengusung Uma Lige sebagai

masyarakat yang menjalankan syariat atau hukum.19

Sirih Puan yang dijadikan sebagai simbol budaya Melayu merupakan budaya

asal dari para mubalig yang menyiarkan Islam di Bima. Islam dibawa ke Bima oleh

dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang

sekarang masuk wilayah Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra

Barat melalui melalui Sape (sekarang Labuan Sape). Dua datuk yang juga berprofesi

sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro atau yang

dikenal dengan nama Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro. Selain ke Bima, dua

18

Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 29. 19

Hasil wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).

30

datuk ini juga dikenal sebagai tokoh utama penyebar agama Islam di Pulau

Sulawesi.20

Islam dapat dikenal dan diterima oleh masyarakat Bima dengan mudah melalui

budaya. Budaya memiliki peran dan pengaruh penting terdapat pembentukan katakter

suatu nmasyarakat. Karena itu para mubalig mengenalkan ajaran agama Islam kepada

masyarakat dengan menyesuikannya dengan budaya lokal yang sudah ada, yaitu

dengan mengambil kebaikan dari budaya asli masyarakat dan meninggalkan budaya

yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Tujuan dari penyesuaiannya sendiri agar

tercipta karakter masyarakat yang dapat menerima dan menjunjung tinggi nilai

keimanan dan kerohanian terhadap suatu kepercayaan yang dianut.

Budaya adat Hanta Ua Pua merupakan budaya yang di cangkok sedikit

banyaknya dari budaya Melayu yang mengalami akulturasi dengan budaya lokal

setempat. Jadi tidak heran apabila ada kesamaan tradisi dan budaya pada beberapa

daerah di Nusantara. Misalnya, seperti Upacara Adat Hanta Ua Pua yang ada di

daerah Bima dengan budaya Ranup lampuan (adab penyambutan tamu)di Aceh.

Dalam tradisi adat diatas sama-sama menggunakan daun sirih atau sirih puan yang

melambangkan kesejahteraan dan keterbukaan terhadap tamu, namun dalam

prosesinya memiliki perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya.

D. Tujuan Hanta Ua Pua

Bulan Rabiul Awal merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi umat Islam di

dunia. Di mana pada bulan ini Allah SWT. telah mengaruniakan kepada kita umat

manusia, seorang Nabi dan Rasul bernama Muhammad bin Abdullah sebagai rahmat

bagi semesta alam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Anbiya; 107 :

ل ع ل ح لعني ةي نير اعل ي ام

20

Henri Chambert-Loir & Siti Maryam R. Salahuddin, Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan

Bima, 1999.

31

Artinya: “dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan menjadi

rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiya; 107).21

Tanggal 12 Rabiul Awal menjadi salah satu tanggal istimewa bagi sebagian

umat muslim di dunia khususnya di Nusantara. Pada Tanggal 12 Rabiul Awal ini

Nabi besar Muhammad SAW dilahirkan ke dunia sebagai Nabi akhir zaman,

pembawa risalah dan penyempurna iman. Beliau merupakan sosok teladan bagi umat

Islam.

Maulid Nabi Muhammad SAW itu sendiri merupakan tradisi yang berkembang

di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Masyarakat Islam di Bima

menyambut Maulid Nabi bersamaan dengan mengadakan perayaan upacara adat

Hanta ua Pua, namun bukan hanya sekedar mengenang hari lahirnya Nabi saja, tetapi

juga sebagai wujud penghormatan pada para ulama yang memiliki jasa dalam

menyebarkan agama Islam di Bima.

Adapun tujuan utama dari perayaan upacara adat Hanta Ua Pua sebagai

berikut22

:

1. Untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

2. Untuk mengenang kembali sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima

dan berdirinya Kesultanan Bima.

3. Untuk penghormatan atas jasa-jasa para penghulu Melayu beserta seluruh

kaum keluarga yang telah berjasa menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.

Melalui 3 tujuan tersebut diharapkan Sultan sebagai pemimpin beserta

masyarakat taat menjalakan perintah agamanya sesuai petunjuk al-Qur’an dan Sunnah

Rosul serta ijtihad para ulama. Dengan begitu dapat meningkatkan pemahaman dan

pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci al-Qur’an dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat Bima dan ditunjukan dengan penyerahan Kitab Suci al-Qur’an

kepada Sultan sebagai pemimpin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan

seluruh rakyat.

21

Q.S. al-Anbiya; 107. 22

M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, h. 72.

32

Upacara Hanta Ua Pua ditetapkan sebagai upacara yang resmi diadakan setiap

tahunnya dalam Kesultanan Bima, tidak lain sebagai bentuk kecintaannya kepada

Nabi besar Muhammad SAW dan rasa hormatnya kepada para Ulama yang telah

menyebarkan agama Islam di Bima, sehingga Bima menjadi suatu pemerintahan yang

bernafaskan Islam.

Salah satu bentuk kecintaan kita kepada Nabi besar Muhammad SAW adalah

dengan bershalawat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam (Q.S al-

Ahzab: 56.)

منن لن نكئ ن ا منوله ه اع ئ اانع ه ع ا نن ي ل مهئ نكئ من ا لوع

Artinya:“sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.

Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian untuk Nabi dan

ucapakanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab: 56).23

Upacara Hanta Ua Pua merupakan bentuk kecintaan dan penghormatan

Kesultanan Bima dan masyarakat pada Rasulullah dan para ulama yang berjasa

sekaligus sebagai penerus Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran agama

Islam di Bima. Dalam kegiatan upacara Hanta Ua Pua ini dihadiri hampir seluruh

elemen masyarakat Bima terutama orang-orang yang keturunan melayu. Namun

banyak juga orang-orang yang datang dari luar daerah untuk menyaksikan upacara

Hanta Ua Pua ini khususnya daerah bagian Timur.

E. Nilai Yang Terkandung dalam Hanta Ua Pua.

Mempertahankan nilai budaya serta melestarikannya merupakan suatu hal yang

sangat penting. Sudah sepatutnya pemerintah dan masyarakat membangun kesadaran

akan pentingnya nilai budaya dalam mempertahankan jati diri sebagai sebuah bangsa

yang patut memiliki kadaulatan agar tidak mudah terombang ambing oleh arus

globalisasi yang tidak sesui dengan kebiasaan masyarakat setempat.

23

QS al-Ahzab: 56.

33

Dalam hal ini, United Nations Educational, Scientific, and Cultural

Organization (UNESCO) telah mengingatkan bangsa-bangsa di dunia betapa

pentingnya jati diri (bangsa atau masyarakat) di era globalisasi.24

Untuk menjaga

stabilitas kehidupan masyarakat sehingga mereka bisa berdiri sejajar dengan

masyarakat lain dari bangsa maju dan tidak menjadi bahan eksploitasi bagi

kepentingan-kepentingan industri serta perkembangan informasi dan teknologi.

Dengan demikian, upacara Hanta Ua Pua ini selalu dijaga kelestarian dan nilai-

nilai yang terkandung dalam adat istiadat sara dana mbojo atau pemerintah

kesultanan Bima yang selalu diidentikan dengan nilai-nilai keislaman yang

diselaraskan dengan ajaran agama, sehingga semua kalangan masyarakat dapat

menerimanya tanpa harus kehilangan identitas budaya yang sudah sejak lama

diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun. Adapun nilai-nilai yang

terkandung dalam upacara Hanta Ua Pua yaitu:

1. Nilai Sosial

Upacara adat Hanta Ua Pua menjadi momentum silaturahmi antar suku bangsa di

Nusantara maupun masyarakat yang ada di Bima. Selain itu, dengan adanya

upacara Hanta Ua Pua ini masyarakat kembali menegakan budaya mbolo ro

dampa (musyawarah dan mufakat), dan budaya karawi kaboju (gotong royong),

yang melibatkan masyarakat dan pihak Istana Kesultanan guna mengadakan

prosesi Hanta Ua Pua. Masyarakat bertugas sebagai pekerja yang mencari

beberapa kayu dan bambu untuk membuat uma lige (mahligai). Kemudian

melibatkan panggita yang bertugas mendisain bentuk uma lige, dan juga seniman

untuk menghias bunga telur serta merangkai susunan sirih puan.25

Pada upacara

Hanta Ua Pua ini dapat dilihat ada 44 orang dari kampung yang berbeda

mengusung uma lige secara bersama-sama, itu merupakan bentuk dari karawi

kaboju (gotong royong). Dalam budaya mbolo ro dampa (musyawarah dan

24

Edi Sedyawati, Eksistensi Budaya Daerah Di Antara Budaya Nasional dan Global, Makalah

Gelar Budaya NTB, Mataram : 1997), h. 4. 25

Hasil wawancara pribadi penulis dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 10 September 2016).

34

mufakat), masyarakat berkumpul tampa membeda-bedakankan golongan atau

strata sosial, baik masyarakat biasa maupun pejabat kesultanan. Semuanya

menyatu dalam musyawarah dan bebas mengeluarkan pendapat hingga

memperoleh solusi atau jalan keluar dari masalah yang dimusyawarahkan.

2. Nilai Spiritual

Upacara Hanta Ua Pua mengandung nilai syiar Islam, nilai budaya, nilai

kebersamaan gotong royong, dan juga saling menghargai satu sama lain antara

ulama dan umara atau pemimpin dan ulama sebagai pemimpin dan penasehat para

Sultan pada masa itu.26

Hanta Ua Pua diadakan untuk memperingati hari kelahiran

Nabi Muhammad SAW dan penghormatan pada ulama. Dou Mbojo (masyarakat

Bima) meyakini bahwa dengan diadakannya prosesi upacara Hanta Ua Pua atau

Maulid Nabi ini mampu menumbuhkan dan menambah rasa cinta mereka pada

Nabi Muhammad SAW sekaligus menghormati jasa para ulama yang menjadi

penerus Nabi dalam mendakwahkan Islam. Ulama digambarkan sebagai hawo ro

ninu27

yaitu tempat berteduh dan berkaca yang dijadikan panutan oleh masyarakat.

Nabi Muhammad SAW merupakan suri teladan bagi umat Islam Sebagaimana

firman Allah dalam surat al-Ahzab:

ئس ةاح ي هئسع نع ه كي يعف له لدقي

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Muhammad SAW itu suri teladan

yang baik bagimu”. (Q.S Al Ahzab 33:21)28

Nabi Muhammad SAW merupakan al-Qur’an yang berjalan yang menjadi

pedoman bagi seluruh umat Islam untuk memperoleh kehidupan yang bahagia

dunia dan akhirat.

26

Hasil wawancara via telepon penulis dengan Ruslan Muhammad atau Alan Malingi,

(Bima:13 Januari 2017). 27

Hawo ro ninu artinya teduh dan kaca (tempat berteduh dan berkaca yang menjadi pengayom

sekaligus panutan bagi masyarakat). 28

Q.S Al-Ahzab: 21.

35

3. Nilai Pendidikan

Upacara Hanta Ua Pua juga mengandung nilai pendidikan agama yang sangat

penting bagi Masyarakat Islam, pertama: dalam pendidikan membentuk karakter

atau akhlak seseorang. Dalam pendidikan membentuk karakter ini Nabi

Muhammad SAW, menjadi model panutan untuk memperoleh akhlak yang baik

bagi umat manusia. Kedua: menanamkan nilai kesadaran masyarakat terhadap

pentingnya nilai sejarah, terutama sejarah masuknya Islam di daerah Bima. Ketiga:

menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan

terhadapnya untuk dijalankan. Seperti yang terkandung dalam ungkapan Su’u sa

wa’u sia sa wale yang bermakna (siap sedia menanggung resiko dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawab).29

4. Nilai Ekonomi

Upacara adat Hanta Ua Pua ini mampu menarik perhatian wisatawan lokal

maupun wisatawan asing. Dalam hal ini upacara Hanta Ua Pua memiliki nilai

kearifan lokal yang sangat luar biasa yang bisa dibanggakan oleh masyarakat

bima. Dalam pelaksanaan upacara Hanta Ua Pua memberikan keuntungan

tersendiri bagi para pedagang, dan pengrajin. Tidak sedikit masyarakat yang

membuka pasar untuk memperoleh penghasilan dari dagangannya yang berupa

makanan-makanan khas daerah, senjata-senjata tradisional yang digunakan dalam

tarian adat Bima, pakaian adat serta hasil kerajian tangan masyarakat setempat dan

lain-lain.

Pada hakekatnya manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri,

melainkan membutuhkan orang lain dalam berbagai aktivitas dan hal-hal lainnya,

seperti bergaul, tolong-menolong, kerja bakti, menjaga keamanan, dan lain-lain.

Hubungan sosial masyarakat tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk norma atau

aturan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.

29

Wawancara penulis dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 10 September 2016).

36

Dalam upacara adat Hanta Ua Pua, nilai kebersamaan masyarakat dan

pemerintah Kesultanan Bima tergambar dalam bentuk kerjasama. Kerjasama yang

dilakukan bersama-sama disebut sebagai gotong royong untuk dapat meringankan

beban masing-masing pekerjaan. Masyarakat dan pegawai Istana Kesultanan Bima

saling bekerjasama dalam mempersiapkan segala peralatan yang akan digunakan

dalam upacara adat. Tujuannya untuk mewujudkan rasa kebersamaan dalam

masyarakat. Dalam proses pelaksanaannya, upacara Hanta Ua Pua menjadi wadah

berkumpulnya masyarakat yang saling tolong menolong dalam mempersiapkan acara

tersebut sehingga terjalin kerukunan antar warga masyarakat, sehingga hubungan

silaturahim antar masyarakat akan semakin erat.

37

BAB IV

HANTA UA PUA SEBAGAI BUDAYA ISLAM DI BIMA

A. Peran dan Pengaruh Hanta Ua Pua Terhadap Masyarakat dan Kesultanan

Bima

Tradisi Hanta Ua Pua merupakan cara dan upaya masyarakat dalam

menerjemahkan pesan-pesan agama melalui sikap dan perbuatan dalam bentuk tradisi

budaya. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi

berikutnya sebagai warisan budaya Islam yang dapat membentuk dan menuntun pola

perilaku manusia untuk menjadi manusia yang berakhlak.

Hanta Ua Pua memiliki nilai-nilai keislaman yang dapat diselaraskan dengan

ajaran agama. Salah satunya yaitu, Adanya nilai kebersamaan karawi kaboju (gotong

royong) antara tiga elemen yaitu ulama, umaro (pemerintah) dan masyarakat.

Kemudian sebelum adanya karawi kaboju ada yang namanya mbolo ro dampa

(musyawarah) untuk mencapai mufakat dalam menentukan harinya kapan akan

dilaksanakan, apa saja yang dibutuhkan dalam prosesi Hanta Ua Pua.1

Islam memang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Bima, dan itu dapat

dilihat dari ketaatan pemimpin serta masyarakat terhadap syariat Islam sehingga

membuat kedudukan Islam menjadi sangat kuat di daerah Bima. Pengaruh budaya

Hindu-Budha dan kepercayaan asli suku Bima pun menjadi terkikis dan mengalami

perubahan dengan disisipkannya nilai-nilai Islam kedalam tradisi budaya tersebut.

Namun tidak pada Dou Donggo Ipa (Orang Pegunungan) yang merupakan suku asli

Bima yang masih bertahan dengan adat dan budayanya yaitu kepercayaan terhadap

makakamba makakimbi (animisme dinamisme) dan memilih menjauhkan diri dari

kehidupan sosial.

Dalam tradisi Hanta Ua Pua, seluruh lapisan masyarakat yang ada dalam

wilayah kekuasaan Kesultanan Bima dapat merayakan dan menyaksikan upacara adat

1 Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).

38

tersebut yang dipusatkan pada Istana Kesultanan. Masyarakat yang posisi wilayah

tempat tinggalnya cukup jauh dari pusat Istana Kesultanan Bima, harus melakukan

perjalanan yang memakan waktu berjam-jam untuk dapat menyaksikannya, namun

jarak bukanlah penghalang bagi masyarakat Bima untuk tetap menjalin tali

silaturahim dengan sesama. Bima juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan lain

di daerah sekitarnya seperti Gowa, sullu, Makassar, dan Ternate yang sempat menjadi

wilayah kekuasaan Kesultanan Bima.

Melalui tradisi Hanta Ua Pua inilah, dakwah Islam mulai mengarahkan pada

pengisian makna dan nilai-nilai Islami yang integratif ke dalam segala jenis seni dan

budaya yang akan dikenalkan dan dikembangkan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Pada upacara adat Hanta Ua Pua ini, ada prosesi budaya dan dengan prosesi budaya

ini masyarakat sekaligus orang-orang penting yang memegang kekuasaan di

Kesultanan Bima diperkenalkan Islam tampa keluar dari adat istiadat dan budaya

mereka, sehingga ketika mereka menerima Islam, mereka dapat menerima dengan

suka rela.2

Dampaknya, syariat Islam yang di perkenalkan pada masyarakat adalah syariat

yang sedikit banyak telah di padukan dengan tradisi lokal yang berlaku di kerajaan

dan masyarakat sebelumnya. Untuk itu, para penyiar Islam berusaha memberikan ruh

dan warna pada tradisi lokal dengan ajaran Islam, sehingga betul-betul menjadi tradisi

Islami yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan tidak menghilangkan budaya

lokal yang baik (local wisdom).

Upacara adat Hanta Ua Pua memiliki peran penting dalam penyebaran agama

Islam di Bima. Ua Pua menjadi media atau alat perantara yang paling efektif dalam

pelaksanaan dakwah Islam di Bima pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Khair

Sirajuddin “Rumata Mantau Uma Jati”. Berkat media Ua Pua ini para mubalig Islam

dari Melayu berhasil menghidupkan kembali Islam yang sempat mati suri.

2 Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).

39

Orang Melayu sejak beberapa abad yang silam telah mempunyai peran penting

dalam penyiaran agama Islam di Bima, orang-orang Melayu tidak hanya dikenal

sebagai pedagang yang ulet dan handal, tetapi mereka juga dikenal sebagai perantara

dalam penyebaran Islam dan mengantarkan budaya Melayu ke daerah Bima dan

sekitarnya.3 Selama Sultan Abdul Khair Sirajudin memerintah tercatat beberapa

peristiwa penting yang terjadi di kerajaan Bima antara lain:

1. Penyesuaian hukum adat dengan hukum Islam sehingga pemerintahan

kerajaan benar-benar berjalan sebagaimana lazimnya kerajaan Islam.

2. Penyesuaian bentuk majelis kerajaan dengan memasukkan unsur-unsur

agama Islam, kalau sebelumnya Majelis Kerajaan terdiri dari Majelis Syara’

dan Majelis Hadat, maka setelah penyesuaian terdiri dari unsur Syara', unsur

Syara' Tua dan unsur hukum.

3. Memperluas penyiaran agama Islam dengan mewajibkan pelaksanaan syariat

Islam dari memberikan kedudukan yang tinggi bagi para mubalig. Oleh

karena itu dalam Kronik Bima.4 Sultan Abdul Khair Sirajudin disebut

sebagai palita agama.

4. Memerintahkan penyempurnaan Kitab Catatan Harian Kerajaan dengan

membuat (menulis) Bo’ dengan huruf Arab dan berbahasa Melayu.

Segala upaya telah dilakukan oleh para mubalig untuk membuka kembali

memori para pemimpin dan masyarakat dalam mengingat kembali sumpah dan ikrar

sultan pertama, Sultan Abdul Kahir I “Ruma ma bata wadu”, terkait dengan peran

dan tanggung jawabnya untuk menjalankan sumpah para leluhur untuk melanjutkan

dakwah Islamiah.5 Serta mengingatkan kembali kepada Sultan yang baru, yang akan

menjadi pucu ro mua (pemimpin tertinggi) dalam kesultanan Bima untuk tetap taat

kepada ajaran agama Islam dan harus mampu menjadi hawo ro ninu (pengayom dan

pelindung) bagi rakyatnya.

Adapun makna Ua Pua sebagai media dakwah Islam yaitu ua yang berarti

pinang ini memiliki pohon yang tinggi atau simbol ketinggian dan buahnya memiliki

3 Helius Syamsuddin. The Coming of Islam and The Role of The Malays as Middelman on Bima

, Papers of Dutch –Indonesian Historical Conference held at Logevuursche, The Netherlands. 23-27

Juni 1980, h. 292. 4 J. Noorduyn, Makasar and The Islamization of Bima, (BKI., 142, 1987), h. 112.

5 Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).

40

serat dan daging buah yang lembut yang khasiatnya bagus buat kesehatan tapi itu

hanyalah simbolitas. Bahwa sejatinya para ulama ini kedudukannya tinggi dan

fungsinya adalah untuk mengobati penyakit masyarakat untuk mengarahkan dan

membimbingnya. Bagian dalam buahnya juga memiliki terkstur yang lembut, yang

mewakili sikap dan kelembutan hati seorang ulama karena seorang ulama sudah

sepatutnya memiliki sikap yang lemah lembut dalam menghadapi masyarakat.

sedangkan pua itu berasal dari kata puan yang artinya tuan atau orang yang terhormat

yang memiliki hati yang lembut dan memiliki ilmu.6

Jadi tugas seorang ulama bukan hanya mentransfer tentang ilmu-ilmu

keagamaan tetapi juga mentransfer nilai tentang kehidupan, etika dan akhlak kepada

masyarakat. Kemudian sifat dan prilakunya patut ditiru, maka ada istilah hawo ro

ninu, yaitu menjadi tempat orang untuk melabuhkan perasaannya, mengadukan keluh

kesannya, tempat orang mencontohi sifat dan prilakunya.

Adapun Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan dakwah Islam di

Bima. Mulai dari masa kepemimpinan Sultan Abdul Kahir I yang menjadi pemimpin

sekaligus ulama, mampu menanamkan nilai-nilai Islam di tanah Bima (Bima: dana

mbojo). Kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdul Khair Sirajuddin

yang juga ditanamkan nilai Islam, dibina dan di bimbing langsung oleh para ulama

dari Melayu dan ulama dari tanah Bugis. Langkah-langkah kongkritnya adalah

menjadikan undang-undang kerajaan mengandung nilai syariat Islam, yang beralih

dari hukum kerajaan yang lama dimana yang tadinya mengandung hukum tradisi

budaya masyarakat dan hukum Ncuhi (hukum kerajaan) sekarang lebih ditegakkan

nilai keislamannya sehingga seluruh lapisan masyarakat mengamalkan Islam dalam

kehidupannya sehari-hari. 7

6

Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 7 Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).

41

B. Hanta Ua Pua Sebagai Simbol Penghormatan pada Ilmu dan Ulama

Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara

damai.8 Penyebarnya terutama guru sufi dan pedagang dari Arabia. Pada awalnya

mereka membawa Islam ke pantai timur Aceh, kemudian ke Malaka, selanjutnya

sepanjang rute dagang pulau-pulau rempah di Indonesia Timur, dan juga kota-kota

pelabuhan di pantai utara pulau Jawa.9

Sejarah menunjukkan bahwa pengislaman seluruh kawasan nusantara ternyata

berlangsung secara tidak seragam. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian atau

bagian lainnya bergantung tidak hanya waktu pengenalannya, tapi juga pada watak

budaya lokal yang dihadapi Islam.10

Sebagai contoh, di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim dan

sangat terbuka terhadap kehidupan kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang

lebih mudah dari pada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih

tertutup.11

Keberadaan ulama di Indonesia merupakan bagian dari proses sejarah Islam.

Ulama adalah orang yang paling berjasa dalam mensyiarkan Islam dan

memperkenalkannya pada masyarakat Nusantara-Melayu. Upaya para ulama dalam

proses Islamisasi awalnya disandang sejalan dengan perannya sebagai pedagang.12

Sejak itulah, jumlah masyarakat Muslim semakin meningkat dan dapat ditemukan

diberbagai wilayah Nusantara. Salah satunya di daerah Bima yang memang di

Islamkan oleh seorang ulama keturunan bangsawan Melayu dari Sumatra Barat.

Penyebaran Islam di daerah Bima yang melalui pelabuhan Sape, dilakukan

penuh damai, kekeluargaan dan bersatu dalam cita-cita untuk menyiarkan ajaran

8 Azumardi Azra, Renaisens Islam Asia Tenggara, sejarah wacana dan kekuasaan, (Bandung:

PT Remaja Rosda Karya, 1999), h. 8. 9 Azumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII,

(Bandung: Penerbit Mizan, 1994), h. 11-12. 10

Syamsul Arif, Islam Pribumi Indonesia, (Tahlilan: Salah Satu Integrasi Budaya dan Agama). 11

Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), h.

18. 12

Jajat Burhanudin, Pemikiran dan Institusi Politik Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h.

89.

42

agama Islam di Kerajaan Bima.13

Kronik Bima menyebutkan bahwa Abdul Kahir,

sultan Bima I memeluk agama Islam pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 1030 Hijrah

bertepatan dengan 7 Januari 1621, tidak lama setelah raja Goa mengirim ekspedisi

militernya yang kedua pada tahun 1619.14

Kronik Bima juga menyebutkan bahwa Sultan Bima I (raja yang pertama

memeluk agama Islam) tidak identik dengan tokoh atau raja Bima yang menolak

memeluk agama Islam. Pamannnya yang dikenal sebagai Mantau Asi Peka atau Raja

Salisi berselisih dengan keponakannya Abdul Kahir yang bergelar Ma Bata Wadu

yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam.15

Walau sempat terjadi konflik antara raja Salisi mantau Asi Peka dengan

keponakannya putra mahkota La ka’I (Abdul Kahir I) dalam hal perebutan

kekuasaan, sehingga menghambat proses islamisai di Bima. Namun semuanya dapat

diatasi setelah ditangkapnya raja Salisi berkat bantuan dari pasukan kerajaan

Makassar yang dibantu oleh masyarakat Sape dan Wera.

Ulama dalam padangan masyarakat bima digambarkan sebagai hawo ro ninu

yaitu tempat berteduh dan berkaca yang dijadikan panutan oleh masyarakat setara

dengan raja. Kemuliaan tersebut sejalan dengan ajaran Agama Islam yang

menempatkan para ulama sebagai pewaris para nabi dan jalur transmisi ilmu-ilmu

syariat. Sehingga, pendapat dan buah pemikiran ulama merupakan referensi hukum

yang patut dijalankan.

Adapun pesan moral yang ingin disampaikan melalui tradisi Hanta Ua Pua

yaitu; pesan moral yang paling inti disitu adalah, pertama: bahwa masyarakat dan

juga para Raja harus menghormati ulama karena ulama ini adalah pewaris para nabi,

sumber transmisi ilmu dan ilmu tidak akan terpancar dengan baik kalau tidak

menghargai orang yang membawa ilmu tersebut. Untuk membangun masyarakat

peradaban yang bagus itu adalah harus dengan ilmu sedangkan ilmu kepemerintahan

13

H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 112. 14

H. Abdullah Tajib, BA. Sejarah Bima Dana MBojo, h. 33. 15

Tawalinuddin Haris, Masuknya Islam dan Munculnya Bima Sebagai Pusat Kekuasaan Islam

di Kawasan Nusa Tenggara, (Volume 17 Nomor 2 Juli - Desember 2011), h. 275.

43

itu sendiri berasal dari ulama, maka saat itulah diajarkan secara masal kepada

masyarakat tentang adab dan perilaku terhadap para ulama. Kedua: bahwa adanya

nilai kebersamaan, nilai gotong royong, kemudian ada mufakat dan musyawarahnya,

disamping itu juga terdapat poin penting dimana masyarakat bisa melihat bahwa

membangun suatu bangsa atau negara itu harus ada kerukunan dan keharmonisan

terhadap tiga elemen tersebut. Dimana masyarakat menjadi poin penting suatu

negara, kemudian ulama tempat transfer ilmu dan para Raja sebagai pengayom

masyarakat.16

Karena ulama adalah sumber ilmu syariat sedangkan raja atau sultan adalah

simbol hukum maka para ulama mencari cara terbaik untuk menebarkan ilmu syariat

tersebut dengan legalitas hukum yang jelas sehingga masyarakat luas dengan mudah

tunduk dan patuh pada syiar tersebut, maka melunakkan hati raja dan

mengingatkannya pada sumpah para leluhur mereka terhadap islam adalah suatu

keniscayaan maka dibuatlah acara Hanta Ua Pua sebagai sarana untuk mengingatkan

tanggung jawab tersebut sekaligus menegaskan akan pentingnya penghormatan pada

ilmu dan ulama lewat simbolitas uma lige yang diusung oleh para pemuda.

Pada upacara adat Hanta Ua Pua, ada beberapa syarat yang tidak boleh

ketinggalan dan harus ada dalam pelaksanaan upacara adat. Pertama: seorang ulama

atau tokoh keturunan Melayu yang menjadi para da’i atau mubalig, mereka sebagai

simbol. Kedua: disiapkanya para penari sebagai pengiring sekaligus tanda

penghormatan kepada Sultan yang akan memberikan seserahan sirih puan tersebut.

Kemudian ada al-Qur’an juga sebagai simbol hukum dan bunga telur sebagai

lambang kesatuan para ulama, masyarakat dan pemerintahan dan juga adanya para

pemuda dari berbagai kampung, seperti yang ada di sape donggo, wera, dan Melayu

masing-masing datang untuk mewakili kampungnya karena para pemuda itu akan

menjadi penerus.17

16

Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 17

Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016).

44

Pada acara tersebut juga dinobatkanlah ulama itu dengan gelar kehormatan

ruma guru18

sebagai simbol status sosial yang setara dengan raja atau sultan agar

memilki kekuatan hukum dan legitimasi politik. Dengan adanya status sosial itu

ulama dengan mudah melakukan dakwah islamiyah kepada para pejabat istana dan

masyarakat yang masih minim pengetahuannya tentang Islam.

C. Rangkaian dalam Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua.

Dalam pelaksanaan upacara Hanta Ua Pua, ada beberapa persyaratan yang

harus dipenuhi sebelum diadakan prosesi tersebut, diantaranya; 1). Mbolo ro dampa

musyawarah untuk mencapai mufakat 2). Ziki molu (dzikir Maulid) dan pembacaan

kitab barzanji) di Istana Kesultanan Bima yang dihadiri oleh majelis Hadat

Kesultanan Bima yang terdiri dari majelis Sara Tua, majelis Sara-sara, dan majelis

Sara hukum dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammhad SAW dengan

membacakan Barzanji.19

Ketika dzikir berlangsung beberapa orang melakukan

pengirisan daun pandan yang dicampur dengan kembang-kembang dan wangi-

wangian dan dibagikan kepada peserta dzikir dan tamu.

Dalam acara itu juga berlangsung acara adat Weha Tau Apa yaitu perjamuan

kue Apam yang dimakan dengan opor serta minum serbat. Setiap pejabat mempunyai

satu perangkat hidangan yang ditata di atas talam dan ditutup dengan Tonggo Apa.

Penataan kue Apam diatur menurut peringkat kepangkatan masing – masing pejabat

dalam persidangan juga berdasarkan pangkatnya. Perangkat hidangan ini kemudian

dibawah kerumah masing-masing. Penutupan acara di tandai dengan membagikan

bunga rampai kepada hadirin.20

Barulah upacara adat Hanta Ua Pua dapat

dilaksanakan keesokan harinya yang dipusatkan di halaman depan Istana Kesultanan

Bima, yang dikenal dengan nama Asi Mbojo.

18

Ruma secara Bahasa itu tuan atau sunan, pada awalnya ruma itu khusus untuk raja dan

keturunan raja, seperti panggilan kepada ibu suri ruma ka’u atau ina ka’u. Begitu juga dengan

sebutan anak raja dengan ungkapan ana ruma (anak raja). Namun dalam perkembangannya gelar

tersebut berlaku juga bagi para bangsawan dan tokoh masyarakat yang sudah bertalian keluarga

dengan raja sebagai simbol status sosial. 19 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 25. 20

Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 26.

45

Diawali pemukulan Ranca Na’e (gong besar) pada pukul 6 pagi dari loteng

Gerbang Istana (Lare-Lare Asi). Hal tersebut dimkasudkan sebagai peringatan bahwa

hari upacara adat telah tiba. Kemudian pada sekitar pukul 7 pagi utusan Sultan yang

terdiri dari tokoh-tokoh adat, anggota laskar kesultanan, bersama penari lenggo

Mbojo menjemput penghulu Melayu di kediamannya, Kampung Melayu.21

Upacara

adat Hanta Ua Pua diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni budaya

tradisional. Seluruh seniman dan Pendekar dari berbagai pelosok desa dalam wilayah

kesultanan Bima berkumpul di lapangan Sera Suba untuk mempertunjukan

keahliannya.

Pada pukul 8 pagi, rombongan penghulu Melayu berangkat dari Kampung

Melayu menuju Istana Bima. Keberangkatan rombongan tersebut ditandai dengan

dentuman meriam. Adapun rombongan yang menyertai para penghulu Melayu secara

berurutan antara lain:22

1. Pasukan Jara Wera sebagai pengawal pembuka jalan. Pasukan Jara Wera

adalah pasukan yang setia pada Sultan dan berani mati dalam membela

agama Islam yang dibentuk dari sejarah perjuangan putra mahkota La Ka’i

(Sultan Abdul Kahir) seluruh pasukan berseragam putih sebagai lambang

kesucian dan keikhlasan dalam membela agama, rakyat, dan negerinya. Para

penunggangnya adalah para pendekar yang menunjukan jalan serta

mengantar para datuk yang datang dari Makassar menuju Bima lewat Teluk

Bima ketika pertama kali membawa ajaran Islam di Kerajaan Bima. Itulah

sebabnya pasukan Jara Wera berada di posisi yang paling depan dalam

upacara adat Hanta Ua Pua.

2. Kemudian diikuti oleh pasukan Jara Sara’u yaitu, pasukan elit berkuda

Kesultanan Bima sebagai pengawal kehormatan. Pasukan ini terampil dalam

memainkan senjata seperti, pedang, keris, tombak diatas kuda. Dalam

Upacara Hanta Ua Pua mereka menampilkan atraksi dengan hentakan kaki

kuda yang khas dari kuda pilihan.

21

Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 27. 22

Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 25-26. Pada tanggal

23 Februari 2012, upacara Hanta Ua Pua digelar dengan meriah dan ditonton oleh banyak masyarakat

Bima bahkan diluar daerah Bima. Pada akhir acara terdapat pembagian bunga dolu atau bunga telur

yang dipercaya oleh masyarakat dapat mempermudah rejeki bahkan jodoh. Kemeriahan upacara Hanta

Ua Pua ini juga mengundang perhatian dari beberapa wartawan dari stasiun Televisi swasta untuk

meliput langsung kegiatan upacara Hanta Ua Pua.

46

3. Anggota Laskar Suba Na’e adalah pasukan prajurit Kesultanan Bima yang

membawa beberapa peralatan perang berupa tombak dan tameng sebagai

simbol kesiagaan pasukan kejaraan dalam mengamankan negeri. Dibelakang

pasukan Laskar Suba Na’e berjalan rombongan pengiring Uma Lige oleh

keluarga besar Kampung Melayu yang merupakan tamu kehormatan dalam

upacara Hanta Ua Pua. Setelah rombongan iringan Uma Lige sampai di

depan istana barulah penghulu Melayu turun untuk mengantarkan rumpun

bunga dolu dengan al-Qur’an untuk diserahkan kepada Sultan Bima.

4. Penari Sere adalah sejenis tari perang yang dimainkan oleh enam orang

bersama bintara Kesultanan Bima yang disebut “Bumi Sumpi” sebagai tanda

terjaminnya keamanan dan ketertiban jalannya Upacara Hanta Ua Pua. Para

penari sere memegang tombak sambal mengacungkannya sambil melangkah

menuju tangga istana dengan diiringan musik tambur dan Silu. Terkahir

diikuti oleh rombongan Pemuka Adat Bima (Dana Mbojo). Setelah

Penghulu Melayu beserta rombongan tiba di Istana Bima disambut pula

dengan dentuman meriam dan berbagai atraksi serta tarian tradisional seperti

tari kanja23

, tari sere, Gantaong dan dilanjutkan dengan Mihu24

.

Saat terjadi hanta karo’a atau penyerahan al-Qur’an kepada Sultan Bima.

Peristiwa ini menjadi acara inti rangkaian upacara adat. Penyerahan al-Qur’an dari

penghulu Melayu kepada Jena Teke atau Raja muda. Setelah Ua Pua yang berisi al-

Qur’an diserahkan, penghulu Melayu dan Sultan duduk berdampingan sambil

menyaksikan Tari Lenggo, Ua Pua sebagai lambang keharmonisan hubungan dan

simbol kesamaan visi dan misi masyarakat Mbojo dalam kehidupan beragama,

berbangsa dan bernegara. Kemudian dibagian akhir upacara ditandai dengan

pembagian 99 tangkai bunga telur sebagai simbol Asma’ul Husna (99 sifat Allah

S.W.T) kepada seluruh hadirin.25

Tujuan dari penyerahan al-Qur’an oleh penghulu Melayu kepada Sultan, yaitu

untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat, bahwa al-Qur’an merupakan

sumber hukum dan konsep tatanan kepemerintahan yang harus di laksanakan oleh

seluruh lapisan masyarakat, serta mengajak para pemimpin dan masyarakat agar tetap

23

Tarian mpaa kanja merupakan tarian kesatria yang dilakukan oleh panglima perang, sebagai

pernyataan setia dan penghormatan tertinggi terhadap pemimpin sekaligus menegaskan bahwa

pemimpin telah menyatu dengan tubuh adat dan negeri. 24

Mihu yaitu pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai upacara

penyerahan U’a Pua yang berisi Kitab Suci Al-qur’an. 25 Ruslan Muhammad atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, h. 27.

47

dan terus membaca serta menjalankan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-

hari. Sebagaimana firman Allah SWT memberi anjuran kepada manusia untuk setiap

saat membaca al- Qur'an karena keutamannya.

صل صل نلا ةلا ملق أ ةلا ل نل با تلك ول ليبلل ك م ل ب

نل ل ك لةب ل للأ ب لا ل ل رلب ب لا مل ب ب ل لك ب بال ب ل ك حل ن بالشب ل بنلت ل

Artinya:"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al

Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari

(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya

mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari

ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu

kerjakan."(Al-'Ankabuut: 45)26

Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya juga memerintahkan untuk membaca

al-Qur`an pada setiap waktu dan setiap kesempatan dengan bentuk perintah yang

bersifat mutlak. Pada hari Kiamat, Allah SWT akan menjadikan pahala membaca al-

Qur`an sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, datang memberikan syafa’at dengan

seizin Allah kepada orang yang rajin membacanya.

D. Fungsi Hanta Ua Pua terhadap Perkembang an Islam di Bima

Hanta Ua Pua memiliki kedudukan yang istimewa dihati komunitas Muslim

yang ada di Bima. Hanta Ua Pua merupakan suatu kegiatan yang bersejarah dalam

perkembangan umat Islam di Bima. Didalamnya ada beberapa tradisi yang menjadi

tujuan dari pelaksanaan Hanta Ua Pua yakni, upacara penobatan, peringatan

masuknya Islam di Bima, dan peringatan Maulid yang jatuh pada tanggal yang sama

yaitu 12 Rabiul Awal. Pada prosesi pelaksanaan semua peringatan diatas diturut

sertakan dalam perayaan Hanta Ua Pua.

Peringatan Hanta Ua Pua dilakukan di Istana Kesultanan Bima, yang turut

dihadiri oleh majelis Hadat Kesultanan Bima, yang terdiri dari Sara Tua, majelis

26

Q.S. Al-'Ankabuut: 45.

48

sara-sara, dan majelis Sara Hukum. penghulu Melayu, pejabat kesultanan serta

seluruh lapisan masyarakat dengan membaca al-Barzanji.27

Tradisi Hanta Ua Pua diadakan dengan penuh makna, dan mengagungkan

nilai-nilai islam. Ua Pua berisi 99 tangkai bunga telur yang menjadi lambang Asmaul

husna dan dipercayai oleh masyarakat dapat membawa berkah tersebut merupakan

bentuk ketaatan masyarakat dengan menggungkan nama-nama Allah SWT. Dalam

prosesi Hanta Ua Pua, sirih puan yang terdiri dari daun sirih dan bunga telur tersebut

memiliki makna tersendiri.

Bunga telur dimaknai sebagai simbol persatuan. Simbol persatuan ini dibagi

dalam tiga pola masyarakat, yaitu terdiri dari kulit telur, putih telur, dan kuning telur.

Kulit telur atau cangkang telur ini diibaratkan sebagai pemimpin yang dapat

mengayomi dan menjaga masyarakatnya. Putih telur diibaratkan sebagai masyarakat,

kemudian kuning telur ini sebagai inti yaitu ulama yang akan memberikan

pencerahan sehingga ada keseimbangan antara ulama, umaro (pemimpin) dan

masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan dan kerja sama antara ketiga pola tersebut

agar tidak rusak. sedangkan daun sirih dilambangkan sebagai simbol penghormatan

kepada tamu dan sebagai simbol kehidupan, dan kehidupan itu sendiri akan ada

apabila ada kerelaan untuk saling menghargai satu sama lain.28

Sebagai suatu peringatan yang tidak boleh mengandung kegiatan yang bersifat

hiburan, Maulid Nabi harus didefinisikan dengan kriteria prosesinya bukan pada

kriteria perayaannya.29

Karena pada prosesi Hanta Ua Pua para ulama, anggota

kerajaan dan masyarakat melakukan ziki molu (zikir maulud) dan pembacaan kitab al-

Barzanji pada malam hari, barulah pada pagi harinya diadakan perayaan yang disertai

dengan hiburan dan tari-tarian untuk memeriahkan perayaan Hanta Ua Pua.

27

https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses tanggal

5 Januari 2017. 28

Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 29

Toha Hamim, Tradisi Maulid Nabi di Kalangan Pesantren, (jurnal studi agama-agama), h.

257.

49

Masyarakat Bima sangat antusias sekali dalam menyambut kedatangan upacara

adat Hanta Ua Pua, karena acara ini langka hanya 1 kali dalam setahun di adakan dan

itu merupakan pekan raya dalam Kesultanan Bima. Masyarakat dari berbagai daerah

datang, bahkan mereka rela meninggalkan tanaman, sawah dan ladangnya hanya

untuk ikut meramaikan dan menyaksikan Hanta Ua Pua berlangsung dan disatu sisi

masyarakat juga merasa penasaran ingin mengetahui siapa yang menjadi tokoh atau

ulama keturunan Melayu yang akan diusung dengan uma lige oleh 44 orang pemuda

dari berbagai desa. Disatu sisi juga terjadi mobilitas ekonomi dimana masyarakat dari

berbagai daerah akan bertemu, saling menyapa antara suku dan melakukan barter

saling tukar menukar barang kebutuhan sehingga terjalin kekuatan silaturahim antar

suku.30

Hanta Ua Pua merupakan bentuk dari seni budaya tradisional yang diciptakan

guna mensyukuri nikmat Allah SWT dengan segala anugerah yang telah limpahkan

kepada manusia dengan berbagai potensi. Selain itu untuk menghayati kebesaran

Allah SWT baik yang terdapat di alam maupun yang terdapat pada hasil buatan

manusia itu sendiri.

Beberapa fungsi dari Hanta Ua Pua dalam upaya pengembangan Islam di Bima

antara lain;

1. Sebagai Pengingat

Sejak berdirinya Kesultanan Bima yang dipimpin oleh Abdul Kahir I dan

dibantu oleh para ulama. Sultan wajib menjalankan ajaran agama secara kaffah,

dengan menjalankan semua yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang.

Diadakanya tradisi Hanta Ua Pua, guna. Memperingati maulid Nabi serta

mengingatkan kembali atau menghidupkan kembali kejayaan Islam di Bima yang

sempat berjaya di Indonesia bagian Timur.31

Hanta Ua Pua juga mengingatkan dan menegaskan kembali kepada para

pemimpin atau Sultan yang baru dan masyarakat akan tugas dan kewajiban mereka

30

Wawancara pribadi dengan Ahmad Zakaria, (Tangerang: 7 Oktober 2016). 31

Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).

50

dalam melanjutkan syar Islam, karena dalam mensyarkan Islam bukan hanya

dilakukan oleh para mubalig dan tokoh agama saja tetapi masyarakat juga memiliki

kewajiban dalam mesyarkan Islam, sebagaimana mereka telah mengidentitaskan

dirinya sebagai seorang muslim.

2. Sebagai Penghormatan Pada Ulama

Fungsi Hanta Ua Pua sebagai memperingati masuknya Islam di Bima dan

menghormati ulama dari Melayu sebagaimana yang tercatat dalam sejarah yang

dikenal dengan Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro, kerena ulama sangat dihormati.32

Upacara Hanta Ua Pua diresmikan sebagai salah satu perayaan terbesar Islam

setelah Idul Fitri dan Idul Adha yang rutin diadakan setiap tahunya. Dalam

pelaksanaan Hanta Ua Pua ini, ulama, pemerintah, dan masyarakat dapat

menyaksikan secara bersama dengan penuh suka cita. Itu mencerminkan betapa rukun

dan sejahteranya hubungan ketiga elemen tersebut kala itu, tampa adanya perbedaan,

semuanya melebur menjadi satu dalam perayaan Hanta Ua Pua.

3. Sebagai Momentum Silaturahmi dan Bermusyawarah.

Tradisi upacara Hanta Ua Pua disamping sebagai wujud untuk memperingati

hari Maulid Nabi dan mengenang jasa para ulama penyebar Islam di Bima, juga

merupakan kegiatan dan sarana untuk mewujudkan rasa kebersamaan dalam

masyarakat. Sebab, dalam proses pelaksanaannya, upacara Hanta Ua Pua menjadi

wadah berkumpulnya masyarakat dari berbagai suku dalam daerah kekuasaan Bima.

datang dan bekerja secara gotong royong serta saling tolong menolong dalam

mempersiapkan acara tersebut. Daripada itu dapat kita lihat antusias masyarakat

menyambut perayaan Hanta Ua Pua dengan penuh gembira.

Dalam perayaan tersebut beberapa suku akan berkumpul dan berbaur dengan

suku-suku lainya sehingga terjadi interaksi ataupun komunikasi antara suku dan tidak

sedikit yang melakukan barteran atau hanya sekedar menonton bersama. Pada

perayaan upacara Hanta Ua Pua masyarakat dapat menyaksikan berbagai kreasi seni

32

Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).

51

budaya yang ditampilkan baik tari-tarian adat maupun hasil kreasi tangan masyarakat.

Dengan begitu hubungan antara masyarakat akan terbangun dan terjalin dengan

rukun.

4. Sebagai Perantara dalam Dakwah Islam.

Budaya Hanta Ua Pua memiliki suatu kearifan lokal yang mampu

membimbing dan menuntun dalam setiap pelaksanaan dakwah agar berjalan secara

menyeluruh sehingga memperoleh hasil yang optimal bagi keseimbangan dan

kemajuan masyarakat.

Hanta ua pua menjadi salah satu media penyebaran Islam di Bima pada

periode-periode awal masuknya Islam di Bima meskipun perayaan Hanta Ua Pua

dilaksanakan pada masa kepemimpinan Sultan Bima yang ke-2 Abdul Khair

Sirajudddin, masa kepemimpinannya 1640-1682 dan itu ditetapkan oleh kesultanan

Bima sebagai perayaan hari besar yang dikenal dengan rawi na’e matolu kali

samba’a, perayaan yang dilakukan 3 kali dalam setahun yaitu Idul Fitri, Idul Adha,

dan Hanta Ua Pua. Itu menjadi sebuah peringatan perayaan, karena yang dinamakan

wura molu atau Hanta Ua Pua penjadi perayaan besar-besaran selama sehari

semalam.33

Hanta Ua Pua dikatakan sebagai bagian dari fungsi media dakwah Islam,

karena berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Bima.34

Dakwah juga

memiliki hubungan simbiosis yang erat dengan budaya Hanta Ua Pua dalam

kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan kewargaan sejalan

dengan nilai-nilai Islam yang memuliakan, menyelamatkan, dan membahagiakan

umat manusia. Hanta Ua Pua juga berperan dalam mendukung keberlangsungan dan

keberhasilan pelaksanaan dakwah. Sementara itu, dakwah sendiri mendukung

keberlangsungan dan kelestarian budaya Hanta Ua Pua dengan terus diadakan

perayaan setiap tahunnya.

33

Wawancara via telepon dan via email penulis dengan Ruslan Muhammad atau Alan Malingi,

(Bima: 13 Januari 2017). 34

Wawancara via telepon penulis dengan Hanafi Yasin, (Jakarta: 10 Januari 2017).

52

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan yang diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya, maka

dengan demikian penulis mengemukakan kesimpulan antara lain:

Upacara adat Hanta Ua Pua merupakan salah satu dari bukti adanya jejak-jejak

kerajaan Islam di tanah Bima. Hanta Ua Pua merupakan budaya yang dicangkok dari

budaya Melayu, kemudian diangkat dan mulai di perkenalkan kepada masyarakat

Bima pada tanggal 12 Rabiul Awal yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Abdul

Khair Sirajuddin oleh para ulama Melayu guna melancarkan dakwah Islam.

Upacara adat ini sempat terhenti pasca wafatnya sultan ke-14 Sultan

Muhammad Salahuddin yang memiliki gelar Ma Kakidi Agama pada tahun 1951 dan

bersamaan dengan berakhirnya Kesultanan Bima pada tahun yang sama, yang

akhirnya upacara adat ini tidak dilakukan lagi. Dampaknya masyarakat mengalami

kehilangan suatu tuntunan hidup yang sangat berpengaruh terhadap penanaman nilai

keagamaan.

Upacara adat Hanta Ua Pua pernah dicoba diadakan kembali pada tahun 1952,

namun dihalangi oleh sekelompok masyarakat Islam sendiri dengan dalih upacara

Hanta Ua Pua berjiwa feodal. Pada tahun 2002 Hanta Ua Pua mulai digelar kembali,

setelah Majelis Adat Dana Mbojo mengusulkan kepada Pemerintah kota Bima dan

Kabupaten Bima untuk menggelar kembali kegiatan Hanta Ua Pua.

Selain sebagai media dakwah upacara Hanta Ua Pua juga sebagai simbol

penghormatan kepada para ulama Melayu yang telah berjasa menyebarkan agama

Islam di Bima dengan melahirkan sikap peduli terhadap sejarah, sehingga masyarakat

dapat belajar dan berguru dari sejarah yang dapat dijadikan sebagai cerminan hidup

dalam menata kehidupan yang lebih baik untuk kehidupan yang akan datang.

53

Upacara Hanta Ua Pua menjadi wadah untuk menyalurkan bakat serta

memotivasi para seniman dan budayawan untuk menciptakan karya seni yang

bermutu yang layak di pertunjukan dalam upacara Hanta Ua Pua. Selain itu, dengan

adanya budaya Hanta Ua Pua ini dapat mengapresiasi masyarakat terhadap

pentingnya suatu budaya. Kebudayaan akan tetap lestari jika ada kepedulian tinggi

dari pemerintah dan masyarakat.

B. Saran

Sebagai bukti dari sejarah berdirinya Islam di Bima, Hanta Ua Pua patut

dipertahankan dan harus tetap dilesterikan, karena tradisi Hanta Ua Pua merupakan

aset budaya yang sangat penting dalam upaya menjaga dan mempertahankan jati diri

atau identitas diri sebagai sebuah bangsa. Tentunya tidak lepas dari peran pemerintah

dalam membantu melestarikan budaya Hanta Ua Pua ini. Penulis berharap tradisi

Hanta Ua Pua ini dapat menjadi panduan dalam menghormati serta memuliakan

para ulama sebagai penerus Nabi SAW. Selain itu penulis juga berharap tradisi Hanta

Ua Pua ini dapat menjadi alternatif sekaligus daya tarik bagi wisatawan lokal

maupun asing.

54

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII. Bandung: Penerbit Mizan, 1994.

, Renaisens Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,

Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999.

, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan, 2002.

Abdul malik Mahmud, Hasan. NGUSU WARU: Sebuah kriteria pemimpin menurut

budaya local mbojo, (Bima-Dompu). Yansa Yogyakarta 2008.

Abdullah, L.Massir Q. Bo (Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan

Permuseuman Nusa Tenggara Barat, 1981/1982.

Abdul Hakim, Atang, Metodologi Studi Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

2000.

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999.

Burhanudin, Jajat, Pemikiran dan Institusi Politik Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeve.

Boedhihartono, dkk, Sejara Kebudayaan Indonesia: Sistem Budaya, Jakarta:

Rajawali Pers, 2009.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka. 2003.

Departemen Agama RI, al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Semarang: Toha

Putra 1998.

Harahap, A Salim, Sejarah Penyiaran Islam di Asia Tenggara, (Medan: Penerbit

Toko Buku Islamiyah, 1965.

Hurgronje, C. Snouck, Aceh, Rakyat Dan Adat Istiadatnya, Jakarta: INIS, 1996.

Ismail, M. Hilir. Menggali Pustaka Terpendam; Butir-butir Mutiara Dana Mbojo,

Bima 2001

55

, Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara,

Gunung Agung I, Mataram 2004.

, Sejarah Kebudayan Masyarakart Bima. Mataram : Lengge Press, 2005

, Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo (Bima) 1540-1950, Bogor: CV

Binasti, 2008.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1992.

, Pengantar Antropologi, Jakarta: PT Rinaka Cipta, 1996.

, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press, 1987.

Loir, Henri Chambert, Massir Qurais Abdullah, dkk. Iman dan Diplomasi, Serpihan

Sejarah Kerajaan Bima. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).,

Maret 2010.

Loir, Henri Chambert. Syair kerajaan Bima. Lembaga penelitian Perancis untuk

Timur Jauh, Jakarta, Bandung: Ecole Francajse D’Extreme-Orient 1982.

Loir, Henri Chambert, dan H. Siti Maryam Salahuddin. BO’ Sangaji Kai, Catatan

Kerajaan Bima. Ecole Francajse D’Extreme-Orient. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia 2012.

Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif. bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

2001.

Muhammad ,Ruslan atau Alan Malingi, Upacara Adat Hanta Ua Pua, Mataram: PT

Mahani Persada September 2010.

Noorduyn, J. Makasar and The Islamization of Bima, BKI., 142, 1987.

Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2012/2013

Ranjabar, Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia, 2006.

Sahidu, Djamaluddin, Kampung Orang Bima, Mataram: 2008, cet. II.

Sejarah Lisan Arsip Nasional Republik Indonesia, (Jakarta: Sub Bidang Sejarah Lisan

Arsip Nasional R.I, 1983.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1999.

56

Tajib, H. Abdullah. Sejarah Bima Dana MBojo. Jakarta: PT Harapan Masa PGRI

1995.

Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa

Dzurriyyah, 2010.

Jurnal dan Skripsi:

Arif, Syamsul, “Islam Pribumi Indonesia (Tahlilan: Salah Satu Integrasi Budaya dan

Agama)”.

Hamim, Toha. “Tradisi Maulid Nabi di Kalangan Pesantren”, (jurnal studi agama-

agama).

Haris, Tawalinuddin. “Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa” Wacana Vol. 8. NO: 1,

April 2006 17-31.

Haris, Tawalinuddin “Masuknya Islam dan Munculnya Bima Sebagai Pusat

Kekuasaan Islam di Kawasan Nusa Tenggara” Volume 17 Nomor 2 Juli -

Desember 2011, hal. 275.

Sedyawati. Eksistensi budaya daerah Diantara Budaya Nasional dan Global makalah

gelar budaya NTB, Mataram 1997.

Syamsuddin, Helius. The Coming of Islam and The Role of The Malays as

Middelman on Bima , Papers of Dutch –Indonesian Historical Conference held

at Logevuursche, The Netherlands. 23-27 Juni 1980.

Zakariah, Ahmad. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung Dalam Falsafah

Ndinga Nggahi Rawi Pahu: (Studi Analisis Terhadap Falsafah Budaya Etnik

(Mbojo) Bima NTB)”. Skripsi Fakultas Pendidikan Agama, STAI Shalahuddin

Al Ayyubi Jakarta, 2010.

57

Internet:

https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses

tanggal 5 Januari 2017.

http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/ltc3d334309455/parent/25806.

diakses tanggal 5 januari 2017, pukul 15:40 WIB

https://www.youtube.com/watch?v=uY8azFVsReEm. Diakses tgl 27 April 2016.

http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.

http://ilhamrakatezabima.blogspot.co.id/2011/03/profil-museum-asi-mbojo.html. Di

akses tanggal 5 Januari 2017.

https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/museum-asi-mbojo. Di akses

tanggal 5 Januari 2017.

Wawancara:

Muhammad, Ruslan atau Alan Malingi, Bima: 13 Januari 2017.

Yasin, Hanafi, Jakarta: 10 Januari 2017.

Zakaria, Ahmad, Tangerang: 7 Oktober 2016.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Foto Prosesi Hanta Ua Pua

Uma Lige yang di usung 44 pemuda dari berbagai desa1

Penghulu Melayu bersama para penari lenggo Mbojo, dan penari

lenggo melayu di atas Uma Lige.2

1 https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses tanggal

5 Januari 2017. 2https://www.scribd.com/doc/299517242/Upacara-Adat-Bima-Hanta-Ua-Pua. Diakses tanggal 5

Januari 2017.

Penari lenggo Mbojo, dan penari lenggo Melayu menari didepan Sultan

dan majelis Hadat dana Mbojo.3

Foto bunga telur Ua Pua4 pasukan jara Wera dan jara Sara’u

5

3 http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.

4 http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.

5 http://www.google.co.id/search?q=foto+hanta+ua+pua. Diakses tgl 5 Oktober 2016.

ISTANA KESULTANAN BIMA

Lokasi perayaan upacara Hanta Ua Pua. 6

Halaman Istana Kesultanan Bima7

6http://ilhamrakatezabima.blogspot.co.id/2011/03/profil-museum-asi-mbojo.html. Di akses

tanggal 5 Januari 2017. 7 https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/museum-asi-mbojo. Di akses tanggal

5 Januari 2017.

PERTANYAAN WAWANCARA PENELITIAN

WAWANCARA I

Narasumber : Ahmad Zakaria

Jabatan : Guru

Tanggal Wawancara: 7 Oktober 2016

Jenis Wawancara : Wawancara langsung

T: Apa pengaruh Hanta Ua Pua terhadap islamisasi di kesultanan dan masyarakat

Bima?

J: Pertama, yg jelas bahwa dengan adanya Hanta Ua Pua ini, ada prosesi budaya dan

dengan prosesi budaya ini masyarakat sekaligus orang-orang penting yang

memegang kekuasaan di Kesultanan Bima diperkenalkan Islam tampa keluar dari

adat istiadat dan budaya mereka, sehingga ketika mereka menerima Islam itu

dapat menerima dengan suka rela. Kedua, masih terkait dengan pengaruh Hanta

Ua Pua ini sebagai sarana untuk mengingatkan kembali kepada Sultan yang baru

terkait dengan peran dan tanggung jawabnya untuk menjalankan sumpah para

leluhur untuk melanjutkan dakwah Islamiah.

T: Kapan masyarakat Bima pertamakali melaksanakan upacara Hanta Ua Pua?

J: Sejatinya kalau menurut tahunya kurang tahu tapi yang jelas mulai dilaksanakan

pada kepemimpinan Abdul Khair Sirajuddin, kemudian dikenal atau mulai

diberlakukan tiga upacara adat yang besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan

hanta ua pua.

T: Apa yang membedakan prosesi upacara peringatan Maulid atau Hanta Ua Pua ini

dengan yang ada di daerah lain?

J: Kalau di Bima ini melibatkan para ulama yang digagas oleh para ulama yang

didukung oleh masyarakat kemudian dilibatkanlah pihak istana atau pihak

pemerintahan menggambarankan ada kesatupaduan antara ulama, umaro dan

masyarakat. Kalau maulid upacara-upacara di tempat lain hanya bersifat ritual

saja artinya mereka hanya duduk disuatu tempat kemudian membaca al-Barzanji.

Kalau ini ada prosesi budayanya dengan arak-arakan uma lige menuju Istana.

T: apa makna Hanta Ua Pua sebagai media dakwah Islam ?

J: makna Hanta Ua Pua, Ua yang berarti pinang ini memiliki pohon yang tinggi atau

simbol ketinggian dan buahnya memiliki serat yang khasiatnya bagus buat

kesehatan tapi itu hanyalah simbolitas.. Bahwa sejatinya para ulama ini

kedudukannya tinggi dan fungsinya adalah untuk mengobati penyakit masyarakat

untuk mengarahkan dan membimbingnya. Bagian dalam buahnya juga memiliki

terkstur yang lembut mewakili sikap dan kelembutan hati seorang ulama karena

seorang ulama sudah sepatutnya memiliki sikap yang lemah lembut dalam

menghadapi masyarakat. Kalau Pua itu berasal dari kata puan yang artinya orang

yang terhormat yang memiliki hati yang lembut dan memiliki ilmu. Jadi tugas

seorang ulama bukan hanya mentransfer tentang ilmu-ilmu keagamaan tetapi

juga mentransfer nilai tentang kehidupan, etika dan akhlak kepada masyarakat

yang bisa ditiru maka ada istilah hawo ro ninu, yaitu menjadi tempat orang untuk

melabuhkan perasaannya, mengadukan keluh kesannya, tempat orang

mencontohi sifat dan prilakunya.

T: Apa makna dari simbol bunga telur dan daun sirih dalam perayaan upacara adat

Hanta ua Pua?

J: Pertama, Bunga telur dimknai sebagai simbol persatuan. Bunga telur ini memiliki

tiga bagian yaitu, kuning telur, putih telur dan kulit telur yang masing-masing

memiliki makna tersendiri. kulit telur memiliki cangkang yang dapat melindungi

bagian dalam yang mudah hancur. Bahwa pola masyarakat itu ada tiga. 1.

Cangkang, 2. putih telur, 3. kuning telur. Cangkang ini yang mengayomi ibarat

dari pada pemimpin yang mengayomi dan menjaga masyarakat, putih telur

sebagai masyarakat, kemudian kuning telur ini sebagai inti yaitu ulama yang

akan memberikan pencerahan sehingga ada keseimbangan antara ulama, umaro

dan masyarakat. Jadi harus bekerja sama, tidak mungkin cangkangnya saja. Jika

kulitnya pecah maka isinyapun akan rusak. Maka menjaga cangkang perlu, maka

pemerintah yang benar itu harus didukung juga oleh masyarakat dan ulama,

begitu juga sebaliknya tidak akan bermanfaat cangkang telur apa bila kuning dan

putih telurnya rusak atau busuk maka semuanya akan ikut busuk. Jadi dapat

disimpulkan bahwa rusaknya ulama menyebabkan rusaknya masyarakan dan

kepemimpinan. Sebaliknya rusaknya kepemimpinan akan berimplikasi pada

rusaknya kesejahteraan masyarakat dan teraniayanya para ulama, namun ketika

rusaknya masyarakat maka pemerintah dan ulama yang akan bertanggung jawab.

Kedua, Daun sirih dilambangkan sebagai simbol penghormatan kepada tamu,

bahwa tamu yang hadat itu adalah tamu yang agung dan dimuliakan maka

puncak memuliakan orang dalam tradisi melayu itu adalah disiapkannya sirih dan

pinang itu adalah bentuk penyambutan para raja. Daun sirih juga dilambangkan

sebagai kehidupan dan kehidupan itu sendiri akan ada apabila ada kerelaan untuk

saling menghargai satu sama lain.

T: Nilai-nilai apa sajakah yang terkandung dalam upacara Hanta Ua Pua ini?

J: Adanya nilai kebersamaan gotong royong antara tiga elemen tadi. Yang pertama itu

masyarakat yang memiliki keahlian dalam membuat rancangan uma lige saling

bekerja sama, kemudian bagaimana merancang tari-tarian juga musiknya dan

mengkoordinasi masa yang akan mengangkat uma lige untuk sampai kedepan

istana serta bagaimana memposisikan ulama dan al-Qur’an yang ada di uma lige.

Ini merupakan wujud harmonisasi kehidupan diantara seorang ulama harus

didukung oleh masyarakat dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk

menciptakan tatanan keharmonisasian. Tidak akan mungkin jadi uma lige yang

bagus kalau tidak ada kerja sama. Kemudian diikuti dengan iring-iringan musik.

Jadi dalam proses kehidupan itu kita tidak boleh berjan sendiri. Disini diajarkan

bagaimana semua elemen tersebut turut bersama dalam membangun masyarakat

madani, sehingga ketika sampai pada proses perjalanan itu prosesi tradisi ini bisa

mdinikmati oleh masyarakat baik dari musik, dan bisa dicontoh bagaimana

menghargai ulama kemudian bagaimana masyarakat melihat karawi kaboju

(gotong royong), kemudian sebelum adanya karawi kaboju ada yang namanya

mbolo ro dampa (musyawarah) untuk mencapai mufakat dalam menentukan

harinya kapan akan dilaksanakan, apa saja yang dibutuhkan. Masyarakat yang

madani adalah masyarakat yang saling mendengarkan masukan dari orang lain

dan tidak ada istilah masyarakat memaksakan kehendak. Dengan adanya upacara

Hanta Ua Pua ini masyarakat kembali menegakan budaya mbolo ro dampa

(musyawarah dan mufakat), dan budaya karawi kaboju (gotong royong).

T: Apasaja syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan upacara adat

Hanta Ua Pua?

J: pertama, dipersiapkannya seorang ulama atau tokoh keturunan Melayu yang

menjadi para da’I atau mubalig mereka sebagai simbol. kedua, disiapkanya para

penari sebagai pengiring sekaligus sebagai tanda penghormatan kepada Raja

yang akan memberikan seserahan sirih puan tersebut. Kemudian ada al-Qur’an

juga sebagai simbol hukum dan bunga telur sebagai lambang kesatuan para

ulama, masyarakat dan raja dan juga adanya para pemuda dari berbagai

kampung, seperti yang ada di Sape, Donggo dan wera masing-masing datang

untuk mewakili daerahnya karena para pemuda itu akan menjadi penerus.

Kemudian musiknya juga harus ada beras kuning yang di lemparkan sebelum

jalan setiap pelaksanaan upacara hanta ua pua.

T: Bagaimana respon masyarakat terhadap upacara Hanta Ua Pua?

J: masyarakat sangat antusias sekali dalam menyambut perayaan hanta ua pua karena

acara ini langka hanya 1 kali dalam setahun di adakan ini dan itu merupan pekan

raya dalam kesultanan. Masyarakat dari berbai daerah datang bahkan mereka rela

meninggalkan tanamannya, sawah dan ladangnya hanya untuk ikut meramaikan

menyaksikan hanta ua pua berlangsung dan disatu sisi masyarakat juga merasa

penasaran ingin mengetahui siapa yang menjadi tokoh atau ulama keturunan

Melayu yang akan diusung dengan uma lige oleh 44 orang pemuda dari berbagai

desa. Disatu sisi juga terjadi mobilitas ekonomi dimana masyarakat dari berbagai

daerah akan bertemu dan melakukan barter saling tukar menukar barang

kebutuhan. Sehingga terjadi kekuatan.

T: Pesan moral apa sajakah yang ingin disampaikan melalui tradisi Hanta Ua Pua?

J: ya sangat banyak, pesan moral yang paling inti disitu adalah, pertama itu bahwa

masyarakat juga para raja harus menghormati ulama karena ulama ini adalah

pewaris para nabi sumber transmisi ilmu dan ilmu tidak akan terpancar dengan

baik kalau tidak menghargai orang yang membawa ilmu tersebut. Untuk

membangun masyarakat peradaban yang bagus itu adalah harus dengan ilmu

sedangkan ilmu kepemerintahan itu sendiri berasal dari ulama, sehingga maka

pada saat itulah diajarkan secara masal kepada masyarakat tentang adab dan

perilaku terhadap para ulama,. Kedua, bahwa adanya nilai kebersamaan, nilai

gotong royong, kemudian ada mufakat dan musyawarahnya, disamping itu juga

poin pentingnya bahwa masyarakat bisa melihat bahwa membangun suatu bangsa

atau negara itu harus ada kerukunan dan keharmonisan terhadap tiga elemen

tersebut. Dimana masyarakat menjadi poin penting suatu negara, kemudian

ulama tempat transfer ilmu dan para raja sebagai pengayom masyarakat.

WAWANCARA II

Narasumber : Hanafi Yasin

Jabatan : Guru

Tanggal Wawancara: Januari 2017

Jenis Wawancara : Wawancara via Telepon

T: Apa fungsi Hanta Ua Pua terhadap perkembangan Islam di Bima?

J: Fungsinya pertama: memperingati maulid Nabi serta mengingatkan kembali atau

menghidupkan kembali kejayaan Islam di Bima yang sempat berjaya di

Indonesia bagian Timur. Kedua: memperingati masuknya Islam di Bima dan

menghormati ulama dari Melayu yang tercatat dalam sejarah yang dikenal

dengan Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro, kerena ulama sangat dihormati.

Ketiga: Sebagai media dakwah Islam di Bima, karena berkaitan erat dengan

Islam acara maulid yang dibungkus dengan budaya karena masing-masing punya

cara sendiri, seperti di sasak punya cara tersendiri, di Jawa punya tersendiri, dan

di Bima mempunyai cara sendiri yang memiliki ciri khas tersendiri yang sampai

sekarang menjadi daya tarik para turis dan menjadi ciri dari masyarakat Bima

dalam hal perayaan untuk budaya Islam.

T: Langkah-langkah apa saja yang dilakukan dalam kegiatan dakwah Islam di Bima?

J: Mulai dari jaman kepemimpinan Sultan Abdul Kahir I yang menjadi pemimpin

sekaligus ulama, mampu menanamkan nilai-nilai Islam yang dalam sekali di

dana mbojo (tanah Bima). Kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama

Abdul Khair Sirajuddin yang juga ditanamkan nilai Islam, dibina dan di bimbing

langsung oleh para ulama dari Melayu dan ulama dari tanah Bugis.

Langkah-langkah kongkritnya adalah menjadikan undang-undang kerajaan

mengandung nilai syariat Islam, yang beralih dari hukum kerajaan yang lama

dimana yang tadinya mengandung hukum tradisi budaya masyarakat dan hukum

Ncuhi (hukum kerajaan) sekarang lebih ditegakkan nilai keislamannya sehingga

seluruh lapisan masyarakat mengamalkan Islam dalam kehidupannya sehari-hari.

Contohnya: budaya rimpu (cadar ala Bima), tidak ada masyarakat khususnya

bagi para wanita yang diperbolehkan membuka aurat, karena akan mendapatkan

sangsi atau hukuman pengasingan bagi yang melakukan pelanggaran. Itu

disebabkan hukum budaya dan hukum adatnya masih berjalan. Hukum sosial dan

hukum budayanya dibungkus dengan hukum Islam. Jadi budaya masyarakat

mengikuti budaya Islam.

Pada jaman dulu para sultan sangat hebat ngajinya yang dikenal dengan ngaji

bi’a karo’a. mereka ngaji sampai kedalamannya sehingga mereka itu faham dan

mengamalkan apa yang menjadi perintah ayat-ayat Al-Qur’an, jadi tidak hanya

ngaji lisan saja tetapi langsung diamalkan. Banyak guru ngaji yang tersebar

dalam masyarakat pada saat itu. Akan menjadi aif bagi masyarakat Bima kalau

tidak bisa mengaji.

WAWANCARA III

Narasumber : Alan Malingi

Jabatan : Penulis

Tanggal Wawancara: Januari 2017

Jenis Wawancara : Wawancara via Telepon dan Email.

T: Bagaimana Rangkaian atau prosesi Dalam Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua

Pua?

J: Rangakaiannya itu diawali dari penyiapan uma lige dengan bunag telur yang terdiri

dari 99 tangkai yang melambangkan asma’ul husnah, kemudian dipersiapkan dari

kampong melayu dibawah pimpinan penghulu melayu membawa kitab suci al-

Qur’an, sirih pinang, bunga telur dan penari lenggo, baik lenggo mbojo mapun

lenggo melayu menuju keistana Bima. Iring-iringan itu didahului dengan

pasukan-pasukan berkuda kerajaan Bima (jara sara’u dan jara Wera), keudian

lascar kesultanan uma lige, baru setelah itu keluarga-keluarga penghulu Melayu

itu. Diatas uma lige itu penguhu di apit oleh penari lenggo. Setelah tiba di istana

Bima di sambut oleh para pembesar-pembesar kerajaan dan sultan lalu

diserahkanlah kitab suci al-Qur’an, sirih pinang dan Bungan telur. Setelah

penyerahan itu atraksi kesenian dan pembagian bunga telur. Perjalan dari

kampung Melayu ke istana memakan waktu sekatar 1 jam, karena uma lige

sangant berat. Biasanya mulai jam 7 pagi sampai jam 8, karena prosesinya mulai

pada jam 8 pagi di halaman kesultanan Bima.

T: Apa fungsi hanta ua pua terhadap perkembangan Islam di Bima?

J: Hanta ua pua menjadi salah satu media penyebaran Islam di Bima pada periode-

periode awal masuknya Islam di Bima meskipun perayaan hanta ua pua

dilaksanakan pada masa kepemimpinan Sultan Bima yang ke II Abdul Khair

Sirajudddin, masa kepemimpinannya 1640-1682 dan seitu ditetapkan oleh

kesultanan Bima sebagai perayaan hari besar yang dikenal dengan rawi na’e

matolu kali samba’a, perayaan yang dilakukan 3 kali setahun yaitu Idul Fitri, Idul

Adha, dan Hanta Ua Pua. Itu menjadi sebuah remember of iven, karena yang

dinamakan wura molu atau Hanta Ua Pua penjadi perayaan besar-besaran

selama sehari semalam. Kitab suci al-Qur’an dibawa oleh penghulu Melayu

untuk diberikan ke Sultan untuk disyarkan. Adapun pernak-pernik uma lige,

bunga telur dan lain-lain itu adalah prosesi budaya yang mengiringi pengantaran

kitab suci al-Qur’an itu di kampung Melayu. Kampung Melayu itu tanah

kesultanan Bima.

T: Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam Hanta Ua Pua?

J: Yang pertama Syar Islam, kemudian nilai-nilai budaya, bersamaan gotong royong

dan juga saling menghargai satu sama lain antara ulama dan umara atau

pemimpin dan ulama sebagai pemimpin dan penasehat para sultan pada masa itu.

Nilai sosialnya masyarakat digerakan dan tergerak untuk menyiapkan segala

sesutau dalam rangka perayaan Hanta Ua Pua itu, karena sebelum prosesi itu ada

prosesi awal berupa pertunjukan-pertunjukan kesenian, zikir-zikir, dihalaman

sera suba (lapangan merdeka). Kemudian memasuki prosesi inti dan ada

pengantaran sirih pinang dan kitab suci al-Qur’an.