15
MAKALAH HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih Dosen: Muhammad Sar’an, M.Ag. Disusun Oleh: IIS ISOP SOPIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ. MUTTAQIEN PURWAKARTA 2008

Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Anda bebas membaca, mempelajari, dan mengunduh file ini. Jangan lupa comment...!! Lebih lanjut, hubungi [email protected].

Citation preview

Page 1: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

MAKALAH

HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen: Muhammad Sar’an, M.Ag.

Disusun Oleh:

IIS ISOP SOPIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ. MUTTAQIEN

PURWAKARTA

2008

Page 2: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

mengutus para RasulNya untuk memberi bimbingan serta petunjuk kepada

manusia ke jalan yang benar, sholawat serta salam semoga terlimpah kepada

pembela kebenaran yakni Rasulullah SAW.

Alhamdulillah, karena berkat rahmatNya penulis bisa menyelesaikan

makalah ini yang diberi judul “HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM

‘ALAIH”, sebagai salah satu tugas mata kuliah Ushulul Fiqhi.

Akhirnya penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada seluruh

pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga amal baik

dan jasa mereka mendapat balasan yang beripat ganda dari Allah SWT. Amin.

Purwakarta, Mei 2008

Penulis

Page 3: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1

B. RUMUSAN / TUJUAN ................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3

A. HAKIM ......................................................................................... 3

B. MAHKUM FIH ............................................................................. 4

a. WAJIB ..................................................................................... 4

b. MANDUB .............................................................................. 5

c. HARAM ................................................................................. 6

d. MAKRUH .............................................................................. 6

e. MUBAH ................................................................................. 7

C. MAHKUM ‘ALAIH ....................................................................... 8

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 10

KESIMPULAN .................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 11

Page 4: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-HAKIM; Al-Hakim adalah Allah, dan yang memperkenalkan

hukum-hukumNya ialah Rasul-rasulNya, dengan apa yang disampaikan

kepada manusia.

Timbul suatu pertentangan bahwa mereka yang menyampaikan

hukum Allah adalah khusus para Rasul dan tidak ada jalan untuk

memahami hukum Allah dengan akal sebelum mengutus seorang nabi.

Dikatakan pula bahwa akal bisa sendirian memahami hukum Allah

dalam perbuatan berdasarkan pengetahuannya akan hal yang baik dan

buruk.

Pendapat yang pertama berdasarkan bahwa dalam perbuatan-

perbuatan itu tidak terdapat sifat-sifat baik dan buruk menurut dzatnya

dengan sebab perbuatan itu diminta Allah untuk melakukannya atau

meninggalkannya. Akan tetapi ia minta untuk melakukan apa yang

dikehendakinya sehingga buruk. Maka tak ada jalan bagi akal untuk

mengetahui kebaikan sesuatu perbuatan atau keburukannya kecuali

apabila ia mengetahui dengan permintaan untuk meninggalkannya. Atau

berdasarkan bahwa dalam perbuatan-perbuatan itu terdapat sifat baik atau

buruk menurut dzatnya, akan tetapi tidak tidak lazim dengan sifat itu

hukum Allah menjadi sesuai dengan jangkauan akal atas hal itu, maka tak

ada taklif (pembedaan hukum) sebelum datangnya hukum syara’ sehingga

hasilnya satu yaitu tidak adanya taklif sebelum datangnya syariat walaupun

berbeda ‘illat (sebab)nya.

Pendapat kedua berdasarkan persifatan perbuatan-perbuatan

dengan baik dan buruk menurut sifat dzatnya dan bahwa akal bisa

sendirian memahami hal itu sebelum datangnya syariat dan hukum-hukum

Allah harus sesuai dengan akal perbuatan-perbuatan itu, maka

Page 5: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

2

dimungkinkan memahami hukum-hukum itu sebelum datangnya syariat

sesuai dengan yang dipahami oleh akal.

Berangkat dari persoalan yang diataslah mendorong penulis

menyusun makalah ini, sebagai salah satu wacana untuk menambah

pengetahuan bagi si pembaca, untuk itu haruslah dapat ditunjukkan yang

benar diantara pendapat itu, maka haruslah kita bicarakan lebih terperinci

lagi pemahaman-pemahaman yang berkaitan dengan tersebut di atas,

melalui judul makalah “HAKIM, MAHKUM FIH, DAN MAHKUM ALAIH”.

B. RUMUSAN / TUJUAN

Karena untuk mengetahui lebih lanjut pemahaman tentang masalah

yang berkaitan dengan perumusan yang dipaparkan di atas, supaya tidak

terjadi kekeliruan atau pemahaman yang menyimpang dikemudian hari.

Page 6: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKIM

Tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa hakim, yaitu yang

menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya perbuatan ialah Allah.

Sebagaimana sudah diketahui, bahwa untuk membawa dan

menyampaikan hukum atau syari’at kepada manusia, maka Hakim (Allah)

membangkitkan utusan-utusan (Rasul-rasulNya). Di sini timbul pertanyaan.

Apakah sebelum dibangkitkan Rasul-rasul itu, dapat juga diketahui hukum

atau syari’at Tuhan itu? Dalam hal ini ada dua pendapat :

a. Golongan Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan al Asyari (lahir 874

M) berpendapat bahwa hukum-hukum Tuhan tersebut tidak dapat

diketahui oleh akal semata-mata. Karena itu, perbuatan-perbuatan yang

terjadi sebelum dibangkitkan Rasul-rasul Tuhan, tidak ada hukumnya.

Umpamanya kufur tidak haram dan iman tidak wajib.

b. Golongan Mu’tazilah, yang dipelopori oleh Wasil bin Atha (700 – 749 M)

berpendapat bahwa hukum dan syari’at Tuhan sebelum dibangkitkan

utusan-utusan Tuhan dapat diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui

baik atau buruknya sesuatu perbuatan itu sendiri maupun karena sifat-

sifatnya. Berhubung dengan itu, orang mukallaf harus memperkuat

kebajikan dan menjauhkan keburukan. Allah akan memberi balasan

terhadapnya berdasarkan apa yang diketahui akalnya sebagaimana juga

berdasar syari’at yan dibawa utusan-utusan Tuhan. Kalau tidak demikian,

maka orang-orang baik dan orang-orang jahat sama kedudukannya dan

sama pula balasannya. Sedang pada tiap-tiap masa tentu terdapat orang-

orang baik dan orang jahat.

Ringkasnya, tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa akal semata-mata bisa

mengatahui kebaikan atau keburukan sesuatu perbuatan tentang pahala

terhadap baik dan siksa terhadap perbuatan jahat, tidak diketahui akal. Paling

Page 7: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

4

jauh yang dicapai akal, ialah adanya pujian terhadap kebaikan dan celaan

terhadap kejahatan.

Page 8: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

5

B. MAHKUM FIH

Yang dimaksud dengan mahkum fih, ialah perbuatan yang dihukumkan

(perbuatan hukum). Perbuatan yang dihukumkan ada lima, sebab akibat dari

bermacam-macam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan

sabda nabi, di mana kedua-duanya telah diterangkan dalam membicarakan

dasar hukum.

A. Wajib

Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila

dikerjakan, dan diberi siksa bila ditinggalkan.

Wajib dibagi seperti berikut:

1. Dilihat dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang diminta, wajib dapat

dibagi dua:

a. Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan

seperti membaca surat fatihah dalam salat.

b. Wajib mukayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa

macam yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam kifarat sumpah

ada 3 macam, yaitu memberi makan 10 orang miskin atau memberi

pakaian kepada 10 orang miskin atau membebaskan seorang budak.

Disini boleh dipilih salah satu diantara ketiga macam hukum

tersebut.

2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya, wajib dibagi dua pula:

a. Wajib mudhayyaq : (yang disempitkan) atau mi’yar. Yakni waktu

untuk melakukan puasa yang harus dikerjakan selama satu bulan

itu.

b. Wajib muwassa’ : (yang diluaskan waktunya) atau dzarf. Waktunya

lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan

kewajiban, seperti waktu salat lima waktu. Dalam kewajiban

muwassa’, pekerjaan tersebut boleh dilakukan disembarang waktu

dalam batas waktu yang telah ditentukan.

3. Dilihat dari segi siapa yang memperbuatnya, wajib dibagi juga:

a. Wajib ‘aini: yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap

orang mukallaf, seperti salat lima waktu.

Page 9: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

6

b. Wajib kifayah: yaitu perbuatan yang diwujudkan oleh salah

seorang anggota masyarakat tanpa melihat siapa yang

mengerjakannya. Apabila telah diperbuat, maka hilanglah tuntutan

terhadap lainnya. Tetapi bila tak seorang pun yang melakukannya,

maka semuanya berdosa, seperti mendirikan tempat peribadatan,

rumah sakit, menyembahyangkan dan mengebumikan mayat.

4. Dilihat dari segi qadarnya (kwantitas), wajib dibagi dua:

a. Wajib muhaddad: yaitu kewajiban yang ditentukan syara’ batas

qadarnya (jumlahnya), seperti salat fardhu, zakat, kifarat, harga

pembelian dan nilai-nilai, kewajiban macam ini kalau tidak

dikerjakan pada waktunya, maka menjadi tanggungan kita

selamanya, sehingga kita menunaikannya.

b. Wajib ghairu muhaddad: yaitu kewajiban yang tidak ditentukan

syara’ batas qadarnya, seperti membelanjakan harta di jalan Tuhan,

memberikan makan orang yang sedang kelaparan dan sebagainya.

Adanya kewajiban-kewajiban tersebut adalah karena perintah syara’

tetapi tentang berapa jumlahnya tergantung kepada keadaan.

Kewajiban yang semacam ini kalau tidak kita berikan secukupnya

pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau hutang kita

untuk memenuhi kekuranganya pada waktu berikutnya. Dalam

waktu berikutnya ini kita sudah dihadapan dengan kewajiban yang

lain.

B. Mandub

Perbuatan mandub (sunat) yaitu sesuatu perbuatan yang bila diperbuat

mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mandub

juga disebut sunat atau mustahab.

Sunat dapat dibagi dua, yaitu:

a. Sunat ‘ain, ialah perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh

setiap orang, seperti salat sunat ratibah (salat sunat yang dikerjakan

sebelum atau sesudah salat lima waktu).

Page 10: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

7

b. Sunat kifayah, ialah perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat,

cukup oleh salah seorang golongan, seperti memberi salam,

mendo’akan orang-orang bersin. Demikian pula korban apabila sudah

dikerjakan oleh salah seorang keluarga suatu rumah, maka sudah

mencukupi bagi anggota keluarga lainnya.

Selain pembagian tersebut di atas, ada pula pembagian lain yaitu:

a. Sunat mu’akkadah, ialah perbuatan yang telah dikerjakan Rasul, atau

lebih banyak dikerjakan dari pada tidak seperti salat hari raya.

b. Sunat ghairu mu’akkadah, ialah segala rupa sunat yang tidak selalu

dikerjakan oleh Rasulullah SAW.

C. Haram

Perbuatan haram, yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang, bila ditinggalkan

kan diberi pahala dan apabila diperbuat dikenakan siksa; seperti

membunuh, mencuri, tidak memberi makan orang yang menjadi

tanggungannya. Perbuatan ini juga dinamakan ma’siat dan perbuatan jahat

(qabih).

Larangan dibai dua:

a. Larangan karena perbuatan itu sendiri (muharram lizatihi), seperti

dalam contoh-contoh tersebut di atas.

b. Larangan karena bertalian dengan perbuatan lain, seperti larangan jual

beli itu sendiri tidak dilarang, akan tetapi karena dilakukan dalam

waktu tersebut maka dilarang.

Firman Allah, surat Al-Baqarah : 173:

“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging

babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.

tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak

Page 11: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

8

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa

baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.

Al-Baqarah : 173)

D. Makruh

Perbuatan makruh, yaitu suatu perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan

akan diberi pahala dan apabila diperbuat tidak dikenakan siksa.

Makruh dibagi tiga:

a. Makruh tanzih: yaitu sesuatu perbuatan yang dirasakan

meninggalkannya lebih baik daripada memperbuatnya.

b. Tarkul-awla: yaitu meninggalkan yang lebih utama, seperti

meninggalkan salat Dhuha.

c. Makruh tahrim: yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang tetapi dalilnya

tidak pasti (qa’ti = yakin)

E. Mubah

Perbuatan mubah, ialah sesuatu perbuatan yang bila diperbuat tidak diberi

pahala dan bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mubah dinamakan

halal dan jaiz.

1. Yang dinyatakan syara’ boleh memilih, seperti kalau suka, boleh

memperbuat, kalau tidak suka, boleh meninggalkannya.

2. Yang tidak ada dalilnya dari syara’ yang dinyatakan boleh memilih,

tetapi syara’ menyatakan tidak ada halangan (dosa) untuk

memperbuatnya.

3. Yang tidak ada keterangan sesuatu apa dari syara’. Hukumnya

dikembalikan kepada baraah asliyyah, yakni tidak ada hukumnya.

Page 12: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

9

C. MAHKUM ALAIHI

Mahkum Alaihi ialah orang mukallaf, di mana perbuatannya menjadi

tempat berlakunya hukum Allah dan firmanNya. (subjek hukum).

Penjelasan : Allah berfirman : Dirikan salat. Perintah ini ditujukan

kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan salat, bukan ditujukan kepada

kanak-kanak atau orang yang sedang gila.

Sebagai kebijaksanaan Allah, perintah dan larangan (taklif =

pertanggung jawab, selanjutnya takilifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan

(ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Hak-hak Allah

maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan

kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan. Karena itu, kemampuan

ini menjadi dasar adanya taklif.

Pembagian kemampuan

Kemampuan dibagi dua:

1. Kemampuan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah wujud selanjutnya

kemampuan menerima). Yang dimaksud dengan kemampuan ini, ialah

kepatuhan seorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.

a. Dasar kemampuan menerima

Dasarnya ialah kemanusiaan. Selama kemanusiaan ada, yaitu selama

masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki.

b. Kemampuan menerima dibagi dua:

1) Kemampuan menerima tidak penuh, yaitu bagi bayi yang belum

dilahirkan mengingat ia tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia dapat

menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan (qabul),

seperti menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak

mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau walinya

memberikan sesuatu (bayi), maka yang terakhir ini tidak diwajibkan

membayar dari hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya.

2) Kemampuan menerima penuh, yaitu yang dimiliki seseorang

sesudah dilahirkan. Ia dapat menerima hak-hak dan kewajiban-

kewajiban sepenuhnya. Kemampuan ini dimiliki selama hidupnya.

Page 13: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

10

Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila terus menerus. Yang

dimasud dengan kewajiban yang dikenakan terhadap harta

bendanya. Karena belum sempurna akal dan badannya, maka

walinya yang melaksanakan.

2. Kemampuan berbuat (ahliyyah ada’a)

Yang dimaksud dengan kemampuan berbuat, ialah keputusan seseorang

untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik

yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Kalau

ia berpuasa (perbuatan), puasa ini sah, dan ia terkait dengan kewajiba-

kewajiba yang timbul dari perbuatan tersebut.

a. Dasar kemampuan berbuat:

Dasarnya ialah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia

diberi, “kemampuan berbuat”. Tetapi karena “berakal” adalah sesuatu

yang tidak nampak jelas, maka kedewasaan (bulugh) yang dijadikan

ukurannya, yang dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal

atau dari umurnya, kurang lebih 15 tahun.

b. Kemampuan dibagi dua:

1) Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi kanak-kanak yang

sudah tamyiz, yang dapat mengetahui baik atau buruknyasuatu

perbuatan, berguna atau tidaknya, tetapi pengetahuan tersebut

belum kuat.

2) Kemampuan berbuat yang penuh, yaitu bagi orang-orang yang

sudah dewasa.

Adapun kanak-kanak sebelum tamyiz tidak mempunyai

kemampuan berbuat sama sekali. Demikian juga yang masih dalam

kandungan.

Page 14: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

11

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hakim, yang menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya

perbuatan (Allah).

Untuk membawa dan menyampaikan hukum atau syari’at kepada

manusia, maka hakim (Allah) membangkitkan utusan-utusan (Rasul-

rasulNya).

Mahkum fih, perbuatan yang dihukumkan (perbuatan hukum).

Perbuatan yang dihukumkan ada lima (5) : Wajib, Mandub (Sunnah), Haram,

Makruh dan Mubah.

Mahkum Alaih, orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat

berlakunya hukum Allah dan firmanNya (subjek hukum).

Page 15: Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih

12

DAFTAR PUSTAKA

Hanafie, M.A, 1963, Usul Fiqih, Jakarta: PT. Bumi Restu.

Al-Khudhori Biek, Syekh Muhammad, 1982, Terjemah Ushul Fiqih,

Pekalongan: Raja Murah.