Upload
palar-siahaan
View
119
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
The Role of Culture: Konsep kebudayaan, Perubahan Budaya, Teori-teori
Intergrasi
Studi kasus: konflik etnis Madura dan Melayu + Dayak di Kalimantan Barat
Tabel: Konflik antar-etnik di Kalimantan Barat sejak 19501
No. Tahun Konflik etnik Lokasi pemicu kejadian
1 1950 Madura vs Dayak Samalantan (Bengkayang)
2 1967 Madura vs Dayak Terap Toho, Kabupaten Pontianak
3 1968 Madura vs Dayak Sungai Pinyuh, Kabupaten
Pontianak
4 1976 Madura vs Dayak Kabupaten Pontianak
5 1977 Madura vs Dayak Samalantan (Bengkayang)
6 1979 Madura vs Dayak Samalantan (Bengkayang)
7 1983 Madura vs Dayak Sungai Ambawang, Kabupaten
Pontianak
8 1993 Madura vs Dayak Kota Pontianak
9 1994 Madura vs Dayak Tumbang Titi
10 1996-1997 Madura vs Dayak Sanggau Ledo, Bengkayang
11 1997 Madura vs Dayak Kota Pontianak
12 1999 Madura vs Melayu Parit Setia (Sambas)
13 1999 Madura vs Dayak Samalantan & Sanggau Ledo
(Bengkayang)
14 2000 Madura vs Melayu Kota Pontianak
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Nilai Motivasi Tiga Etnik di Kalimantan Barat dalam Jurnal Psikologi Sosial (JPS), Vol. 8, No. 01 Juli 2002
Berdasarkan disertasi Huub de Jonge (1989: 21), sejak tahun 1815-1940 pulau
Madura merupakan pulau terpadat di Indonesia, bahkan lebih padat daripada pulau Jawa.
Oleh karena itu, terjadi emigrasi dari pulau Madura ke daerah-daerah yang lebih sedikit
penduduknya (dalam hal ini pulau Kalimantan khususnya daerah Provinsi Kalimantan Barat).
Kalimantan Barat menjadi tujuan migrasi karena kepadatan penduduknya sangat rendah; pada
tahun 1980 hanya sekitar 17 jiwa per kilometer persegi.2
Para migran etnis Madura dikenal sebagai orang-orang yang memiliki etos kerja dan
jiwa wirausaha yang kuat serta pekerja keras dengan solidaritas sosial yang sangat kuat. Sifat-
sifat tersebut menjadi kunci sukses sekaligus pemicu konflik di Kalimantan Barat antara etnis
bersangkutan dengan etnis pribumi-Dayak.
Profesor Dr. Syarif Ibrahim Alqadie, dalam bukunya “Konflik Etnis di Ambon dan
Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis”, ‘Antropologi Indonesia’ (Th. XXIII No. 58 tahun
1999), menjelaskan beberapa faktor penyebab konflik seperti sifat dan kelakuan etnis, pola
pemukiman, dan tingkat pendidikan. Sifat dan kelakuan berkaitan dengan rasa kesukuan,
dalam hal ini etnis Madura memiliki kebiasan membawa senjata tradisional ke manapun
mereka pergi. Dari segi pola pemukiman, kebanyakan etnis Madura berpola kelompok, bukan
sisipan sehingga terkesan ekslusif. Akibatnya, hal ini menjadi penghalang proses asimilasi
dengan warga setempat. Terakhir, rendahnya pendidikan* menjadi kesulitan tersendiri baik
bagi etnis Madura maupun etnis Dayak dalam mengolah informasi dan beradaptasi. Oleh
karena itu, selain terpaksa hanya mampu menguasi sektor formal, kedua etnis juga menjadi
rentan tersulut kemarahan terhadap suatu isu.
Rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia pada kedua suku itu menambah
kekurangharmonisan. Orang Madura menggunakan bahasa Indonesia dialek Madura yang
kurang sempurna. Sedangkan orang Dayak berbahasa Indonesia dengan aksen Dayak yang
juga kurang sempurna. Intonasi meledak-ledak sebagai pencerminan sifat etnis Madura yang
keras kerap menimbulkan salah paham.
2 Diakses dari http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=76
* Dari 400 responden penelitian, 79 persen di antaranya tidak sekolah/buta huruf dan 10 persen tidak tamat SD