Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    1/19

    IV.3. Gunung-Api dan Mitigasi Bencana Erupsi

    Hendra Grandis, Hasanuddin Z. Abidin, Prihadi Soemintadiredja,

     Niniek R. Herdianita dan Djoko Santoso

    1. Pendahuluan

    Gunung-api adalah rekahan pada kerak bumi tempat keluarnya lelehan batuan cair

    (yang disebut magma) dan gas atau material lainnya ke permukaan bumi. Letusan atau

    erupsi gunung-api terjadi ketika material panas muncul ke permukaan bumi yang dapat

    mengancam keselamatan harta-benda dan jiwa manusia, kerusakan lingkungan serta

    kerugian lainnya. Secara geologi Indonesia terletak pada daerah tektonik aktif dimana

    terjadi pertemuan atau tumbukan beberapa lempeng tektonik. Tumbukan lempeng-

    lempeng tersebut dapat menyebabkan bencana alam terutama gempa bumi dan aktivitas

    gunung-api.

    Di dunia terdapat sekitar 500 gunung-api aktif dengan rata-rata dalam satu tahun 50

    gunung-api mengalami erupsi. Berdasarkan catatan sejarah sejak tahun 1600-an bencana

    gunung-api telah menelan korban sebanyak kurang-lebih 260.000 jiwa. Dari jumlah

    tersebut kira-kira 160.000 jiwa atau 67% diantaranya adalah korban akibat bencana

    gunung-api di Indonesia. Dua letusan gunung-api terbesar dalam masa sejarah pernah

    terjadi di Indonesia, yakni Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau

     pada tahun 1883, masing-masing menimbulkan korban jiwa sebanyak 92.000 dan

    36.000 orang.

    Sebagai peristiwa atau fenomena alam, erupsi gunung-api merupakan salah satu bahaya

    alam (natural hazard ) yang tidak dapat dihindarkan keberadaan maupun kejadiannya.Kondisi tektonik Indonesia memposisikan kehidupan manusia dan lingkungan di

    Indonesia menjadi rentan terhadap bencana alam (natural disaster ) akibat erupsi

    gunung-api. Oleh karena itu diperlukan kajian dan tindakan yang dapat meminimumkan

    dampak erupsi gunung-api (mitigasi). Di samping itu, fenomena-fenomena yang

    mendahului terjadinya erupsi gunung-api dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi

     bencana akibat erupsi gunung-api tersebut.

    Selain menyimpan potensi bahaya, gunung-api juga memberikan manfaat bagi

    kehidupan manusia. Banyaknya gunung-api di Indonesia juga menempatkan Indonesia

    sebagai salah satu negara dengan potensi energi panas bumi (geotermal) yang sangat

     besar. Energi geotermal merupakan salah satu energi alternatif yang harus

    dikembangkan pemanfaatannya di Indonesia mengingat semakin menipisnya cadangansumber energi berbasis fosil terutama migas dan batubara. Dari potensi energi geotermal

    Indonesia sebesar hampir 30.000 MW baru sekitar 1000 MW atau kurang dari 5% yang

    telah dimanfaatkan. Dalam hal ini, teknologi yang dikembangkan untuk pemantauan

    dan mitigasi bencana gunung-api dapat pula diterapkan dalam eksplorasi daerah prospek

    geotermal, demikian pula sebaliknya.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    2/19

    Di Indonesia, mengingat jumlah gunung-api nya yang relatif cukup banyak, bahaya

    letusan gunung-api harus mendapatkan perhatian yang serius baik dari pemerintah

    maupun masyarakat. Indonesia mempunyai 129 gunung-api aktif (lihat Tabel 4.3.1)

    serta 271 titik erupsi yang merupakan konsekuensi dari interaksi dan tumbukan antara

     beberapa lempeng benua.

    Tabel 4.3.1. Distribusi dan tipe gunung-api di Indonesia (Katili & Siswowidjojo, 1994).

    Pulau Jumlah Gunung-apiTotal

     /Kawasan Tipe-A Tipe-B Tipe-C

    Sumatera 12 12 6 30

    Jawa 21 8 5 34

    Bali 2 - - 2

     Nusa Tenggara 20 3 5 28

    Laut Banda 9 1 - 10

    Sulawesi Utara 6 2 5 13

    Sangihe 5 - - 5Halmahera dan sekitarnya 5 2 - 7

    Total  80 28 21 129Tipe-A : Gunung-api yang tercatat mempunyai letusan freatik ataupun magmatik sejak 1600.Tipe-B : Gunung-api yang tercatat tidak mempunyai letusan freatik ataupun magmatik sejak

    1600, tapi menunjukkan kegiatan solfatara dan fumarol. Tipe-C : Gunung-api yang tercatat tidak mempunyai aktivitas vulkanik, tapi hanya

    menunjukkan kegiatan solfatara dan fumarol.

     

    Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta, dan juga kenyataan bahwa P. Jawa yang

     penduduknya paling padat juga mempunyai gunung-api yang paling banyak, maka tidak

    dapat dipungkiri bahwa bahaya letusan gunung-api adalah sesuatu yang nyata bagirakyat Indonesia. Oleh sebab itu pemantauan aktivitas gunung-api di Indonesia haruslah

    selalu dilaksanakan secara maksimal dan terus menerus.

    2. Gunung-Api dan Potensi Bahayanya

    Pembentukan Gunung-Api

    Terbentuknya gunung-api atau proses volkanisme berhubungan erat dengan aktivitas

    tektonik. Di Indonesia kegiatan tektonik yang berhubungan dengan pembentukan

    gunung-api adalah penunjaman kerak bumi (subduction). Morfologi gunung-api sangat

     beragam yang dipengaruhi oleh komposisi magma yang dihasilkan, tingkat kekuatanletusan, jumlah gas dan fluida lain dan interaksinya dengan magma. Secara umum

    gunung-api diklasifikasikan berdasarkan aktivitas, morfologi dan bentuk erupsinya.

    Komposisi magma berhubungan erat dengan lokasi, dalam hal ini lempeng tektonik

    tempat terbentuknya suatu gunung-api. Pada zona subduksi, gunung-api seperti di

    Indonesia umumnya dicirikan oleh bentuk menjulang tinggi dengan lereng yang curam

    yang disebut gunung-api strato.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    3/19

    Gunung-api kaldera merupakan gunung-api yang paling eksplosif di bumi. Kaldera

    adalah cekungan atau depresi yang terdapat pada puncak gunung-api yang sangat besar,

     jauh lebih besar dari lubang kawah. Kaldera terbentuk akibat letusan atau keluarnya

    magma dari kantung magma dangkal. Keluarnya magma dalam jumlah besar

    menyebabkan keruntuhan puncak gunung-api dan membentuk depresi atau cekungan

    yang cukup besar. Contoh gunung-api kaldera diantaranya: Yellowstone, Long Valleydan Crater Lake di Amerika Serikat, Aso di Jepang, Taupo di Selandia Baru, Krakatau,

    Toba dan Bromo (Kaldera Tengger) di Indonesia dan sebagainya.

    Sebaran gunung-api di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian gunung-api Sirkum

    Pasifik dan Mediteranea. Gunung-api tersebut membentuk jalur melengkung seperti

     busur, yang dapat dibagi menjadi empat busur, yaitu:

    a.  Busur gunung-api Sunda, yakni deretan gunung-api yang terletak di Pulau

    Sumatra, Jawa, dan Kepulauan Nusa Tenggara Barat serta Timur.

     b.  Busur gunung-api Banda, adalah deretan gunung-api yang terletak di Kepulauan

    Banda.c.  Busur gunung-api Maluku, yaitu deretan gunung-api yang tersebar di Kepulauan

    Maluku – Halmahera.

    d.  Busur gunung-api Sulawesi Utara – Sangihe, adalah deretan gunung-api yang

    tersebar di Sulawesi Utara dan Kepulauan Sangihe atau Sangir-Talaud.

    Bahaya Gunung-api

    Gunung-api aktif berpotensi menimbulkan berbagai jenis fenomena yang disebut

    sebagai bahaya (hazard ). Bencana (disaster ) terjadi jika terdapat persinggungan antara

     bahaya tersebut dengan kepentingan manusia dan kondisi lingkungan. Letusan gunung-

    api selain menimbulkan kerugian dan korban juga dapat mengubah tanah, air danlingkungan pada umumnya secara drastis bahkan pada jarak yang jauh dari pusat erupsi.

    Bahaya gunung-api dapat dikelompokkan menjadi bahaya primer atau langsung dan

     bahaya sekunder atau tak-langsung. Bahaya primer terjadi hanya selama letusan

    gunung-api sedang berlangsung. Bahaya sekunder tidak terbatas hanya pada saat

     berlangsungnya aktivitas erupsi. Erupsi volkanik yang dahsyat dapat menimbulkan

     pencemaran udara, gangguan kesehatan penduduk sekitar, gangguan lalu-lintas udara,

    mempengaruhi cuaca dan iklim meskipun sementara. Bahaya longsor dan aliran lumpur

    dapat terjadi meskipun tidak terjadi erupsi volkanik.

    a.  Aliran Lava

    Lava adalah magma yang keluar melalui lubang erupsi dan mengalir di permukaan

    Aliran lava sangat berbahaya. Kecepatan alir lava sangat dipengaruhi oleh komposisi

    kimia magma. Magma riolitik yang kaya akan SiO2 akan mengalir lebih lambat

    dibanding magma basaltik dan andesitik. Viskositas magma juga dipengaruhi oleh suhu

    magma. Semakin tinggi suhu magma, viskositasnya akan semakin rendah, sehingga lava

    semakin mudah mengalir. Aliran lava yang kental dan tebal dapat membentuk kubah

    lava yang dapat runtuh atau longsor dan menghasilkan aliran piroklastik.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    4/19

    b.  Aliran Piroklastik

    Aliran piroklastik ( pyroclastic flow) adalah campuran fragmen batuan, abu, gas

    volkanik dan udara bersuhu tinggi (200-700°C) yang mengalir menuruni lereng dengan

    kecepatan tinggi (lebih dari 70 km/jam). Aliran piroklastik yang juga sering disebut

    sebagai awan panas terjadi pada saat erupsi eksplosif yang meruntuhkan dinding kawahatau kubah lava hasil aktivitas sebelumnya. Endapan aliran piroklastik pada lembah di

    lereng gunung-api dapat menyebabkan terjadinya bahaya gunung-api yang lain yaitu

    lahar.

    c.  Tephra

    Tephra adalah jatuhan yang berasal dari lontaran material volkanik padat dengan

     berbagai ukuran mulai dari bom/batu volkanik sampai abu volkanik yang menyertai

    letusan dalam kawah dengan kekuatan sangat besar. Material padat tersebut didorong

    oleh gas bertekanan tinggi dan sebagian mengikuti lintasan peluru atau proyektil.

    Kecepatan proyektil dapat mencapai lebih dari 300 meter/detik dan jarak horisontal

    maksimum dapat melebihi 5 km dari titik asal, bergantung ukuran proyektil dan

    kekuatan letusan. Fragmen yang paling kecil berupa abu volkanik terbang ke udara

    membentuk kolom erupsi dan kemudian jatuh mengikuti arah angin.

    d.  Lahar

    Lahar adalah istilah yang diadopsi dari bahasa Indonesia untuk aliran lumpur volkanik

    (volcanic mudflow). Lahar merupakan aliran material volkanik yang telah bercampur

    dengan air (danau kawah atau air permukaan) dan mengalir menuruni lereng atau

    mengikuti lembah dan sungai dengan kecepatan tinggi. Campuran ini terdiri dari

     berbagai ukuran fragmen batuan mulai dari debu volkanik sampai bongkahan dengan

    ukuran besar. Lahar terutama disebabkan oleh curah hujan yang tinggi selama dan

    setelah erupsi volkanik. Lahar dapat menyebabkan bahaya tak langsung karena dapat

    merusak lingkungan. Aliran lahar dapat menyebabkan kerusakan lahan subur yang

    kemudian menyebabkan bahaya kelaparan.

    e.  Longsor

    Longsor (landslide) adalah gerakan massa batuan dan tanah yang terjadi ketika lereng

    gunung-api runtuh dan meluncur ke bawah. Kecepatan tinggi dan momentum yang

     besar menyebabkan longsoran mencapai jarak yang jauh dan bahkan menerjang

     penghalang alamiah berupa punggungan atau bukit. Longsoran yang mencapai sungai di

    lereng gunung-api dapat mengalir lebih jauh dalam bentuk lahar. Longsoran yang

    membawa apa saja yang diterjangnya sering pula disebut sebagai longsoran puing

    (debris avalanche).

    f.  Gas Volkanik

    Gas volkanik yang terlarut dalam magma terlepas ke udara saat terjadi erupsi. Gas

    volkanik mengikuti pergerakan angin sehingga dapat menyebar jauh dari lubang kawah.

    Gas volkanik terutama berupa uap air, karbon dioksida (CO2) dan sulfur dioksida (SO2)

    serta aerosol bersifat asam yang terbawa bersama partikel tephra dan partikel garam

     berukuran mikroskopik. Gas yang paling berbahaya bagi manusia, binatang dan

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    5/19

     pertanian adalah SO2, CO2 dan HF. Gas karbon dioksida lebih berat dari udara sehingga

    cenderung menuju tempat yang lebih rendah dan terkumpul di dekat permukaan tanah.

    Konsentrasi gas CO2 yang berlebihan di suatu tempat sangat mematikan bagi manusia

    dan binatang. Sulfur dioksida dapat menyebabkan hujan asam lokal dan polusi udara.

    g.  Gempa Bumi

    Proses naiknya magma dari dapur magma ke lubang kawah selama aktivitas erupsi

    sering disertai dengan terjadinya gempa bumi volkanik. Umumnya pengaruh gempa

     bumi volkanik hanya bersifat lokal dengan tingkat kekuatan jauh lebih rendah dari pada

    gempa bumi tektonik. Meskipun demikian getaran gempa bumi volkanik dapat memicu

    longsornya lereng gunung-api yang tidak stabil.

    h.  Tsunami

    Tsunami volkanik dapat timbul jika tanah longsor, aliran piroklastik dan lahar masuk ke

    laut atau danau besar. Tsunami volkanik dapat juga disebabkan oleh dislokasi dasar laut

    oleh gunung-api lepas pantai. Runtuhnya struktur bangunan gunung-api (volcanic

    edifice) yang dipicu oleh letusan gunung-api atau gempa dapat mengarah ke pergeseran

    lereng yang selanjutnya menimbulkan tsunami. Meletusnya G. Krakatau tahun 1883

    menimbulkan tsunami yang menyebabkan korban dalam jumlah besar.

    3. Mitigasi Bencana Gunung-Api

    Mitigasi adalah usaha untuk meminimumkan dampak suatu bencana. Mitigasi bencana

    gunung-api merupakan usaha yang melibatkan beberapa bidang keilmuan atau keahlian

    sehingga bersifat multi-disiplin. Usaha mitigasi bencana gunung-api diantaranya dengan

    menghindarkan penduduk dari daerah bahaya, misalnya dengan melakukan evakuasi

    menjelang terjadinya letusan. Untuk itu salah satu hal yang mutlak perlu dilakukanadalah pemantauan gunung-api yang menerus sehingga tingkat kegiatan gunung-api

    tersebut dapat diduga atau diketahui.

    Ada beberapa metode pemantauan aktivitas gunung-api yang telah diaplikasikan

    sekarang ini (Banks et al., 1989; McGuire et al., 1995; Scarpa and Tilling, 1996), yaitu

    antara lain metode seismik, metode visual, metode deformasi, metode kimia gas,

    metode termal, metode gaya-berat, metode geomagnetik, dan metode penginderaan jauh

    (dengan menggunakan sistem video, citra satelit dan sebagainya) seperti yang

    ditunjukkan pada Gambar 4.3.1. Metode-metode ini dapat diimplementasikan secara

    episodik dengan selang waktu tertentu, maupun secara kontinyu. Patut dicatat di sini

     bahwa metode yang paling banyak digunakan untuk pemantauan gunung-api di

    Indonesia saat ini adalah metode seismik yang pada dasarnya digunakan untukmengevaluasi aktivitas yang terjadi di dalam gunung-api.

    Pemantauan yang bersifat terus-menerus maupun pengukuran parameter fisis yang

    menggambarkan struktur internal gunung-api secara sporadis sangat bermanfaat bagi

    usaha mitigasi bencana gunung-api. Beberapa aspek yang berhubungan bidang

    keilmuan / keahlian yang berperan dalam usaha mitigasi bencana gunung-api antara lain

    adalah sebagai berikut:

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    6/19

    Geofisika

    a.  Gempa Volkanik

    Aktivitas gunung-api yang mengarah pada letusan hampir selalu didahului oleh

     peningkatan jumlah gempa volkanik. Gempa volkanik terjadi karena adanya gerakanatau dorongan magma yang kuat dari dalam bumi mendekati permukaan bumi melalui

    lubang kepundan. Pada umumnya intensitas gempa volkanik lebih lemah jika

    dibandingkan dengan gempa tektonik. Pemantauan aktivitas kegempaan (seismisitas)

    menggunakan jaringan pengamatan gempa bumi (seismograf) secara terus menerus

     perlu dilakukan pada suatu gunung-api aktif.

    • Metode Visual

    • Metode Seismik

    • Metode Deformasi

    • Metode Kimia Gas

    • Metode Termal

    • Metode Gaya Berat

    • Metode Geomagnetik• Metode Inderaja

    METODE PEMANTAUAN

    AKTIVITAS GUNUNGAPI •  Episodik

    •  Kontinyu

    Implementasi

    • Metode Visual

    • Metode Seismik

    • Metode Deformasi

    • Metode Kimia Gas

    • Metode Termal

    • Metode Gaya Berat

    • Metode Geomagnetik• Metode Inderaja

    METODE PEMANTAUAN

    AKTIVITAS GUNUNGAPI •  Episodik

    •  Kontinyu

    Implementasi

     

    Gambar 4.3.1. Metode-metode pemantauan aktivitas gunung-api, diacu dari USGS-Volcano

    (2006).

    Terdapat beberapa tipe gempa yang terjadi pada gunung-api yang dapat digunakan

    sebagai petunjuk adanya peningkatan aktivitas yang mengarah pada erupsi gunung-api

    tersebut, yaitu:

    Gempa volkanik frekuensi tinggi dengan frekuensi dominan sekitar 5-15 Hz, dicirikan

    sebagai sinyal pada seismograf dengan fasa gelombang P dan gelombang S yang dapat

    dibedakan. Fokus gempa umumnya berada pada kedalaman besar (1-20 km) dan

     berasosiasi dengan proses perekahan batuan akibat terdesak oleh naiknya magma.

    Gempa frekuensi tinggi sering disebut pula sebagai gempa tipe A atau gempa volkano-

    tektonik (VT). 

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    7/19

    Gempa volkanik frekuensi rendah dengan frekuensi dominan sekitar 1-5 Hz,

    dicirikan sebagai sinyal pada seismograf dengan fasa gelombang P dan gelombang S

    yang tidak dapat dibedakan. Fokus gempa umumnya dangkal (kurang dari 1 km) dan

     berasosiasi dengan fenomena getaran atau vibrasi magma pada kantung magma. Gempa

    frekuensi tinggi sering disebut pula sebagai gempa tipe B dan jumlahnya meningkat

    tajam sebelum terjadi letusan. 

    Tremor volkanik tercatat di seismograf sebagai getaran yang hampir terus menerus

    (kontinyu) baik bersifat harmonik maupun tidak teratur. Getaran ini menunjukkan

    keberadaan magma yang sudah sangat dekat dengan permukaan. 

    Pola seismisitas gunung-api umumnya sangat kompleks dan sulit diinterpretasi.

    Meskipun demikian pengamatan terhadap aktivitas kegempaan tersebut telah berhasil

    memperkirakan letusan beberapa gunung-api aktif sehingga dapat mengurangi jumlah

    korban jiwa. Sebagai contoh tremor volkanik telah berhasil digunakan untuk

    memprediksi letusan Mount Saint Helens di Amerika Serikat tahun 1980 dan Gunung

    Pinatubo di Filipina tahun 1991. Contoh kasus serupa di Indonesia diantaranya adalah

    letusan Gunung Merapi tahun 2006 dan Gunung Kelud 2007. Pemantauan gunung-apimenggunakan jaringan seismograf telah dilakukan secara sistematik oleh Pusat

    Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk gunung-api yang dianggap berbahaya

    dengan tingkat aktivitas cukup tinggi.

    b.  Magnetik

    Pengukuran medan magnet yang menghasilkan peta anomali magnetik di daerah

    volkanik bermanfaat untuk memperkirakan struktur bawah-permukaan mengingat

     batuan volkanik memiliki sifat kemagnetan yang sangat kontras. Struktur internal

    gunung-api kemungkinan besar sangat berpengaruh pada pola evolusi atau aktivitas

    gunung-api tersebut di masa yang akan datang.

    Untuk keperluan mitigasi bencana gunung-api, pengukuran data magnetik dengan

    resolusi spasial yang cukup tinggi perlu dilakukan secara sistematik pada semua

    gunung-api aktif. Kemajuan dalam bidang instrumentasi magnetik dan navigasi

    memungkinkan pengukuran data magnetik secara airborne yang disebut sebagai survey

    aeromagnetik. Namun demikian pemetaan anomali magnetik secara konvensional

    melalui survey ground magnetic dapat saja dilakukan sebagai alternatif.

    Selain pemetaan anomali magnetik yang bersifat “statik” dapat pula dilakukan

     pengukuran medan magnetik secara kontinyu sebagai bagian dari pemantauan aktivitas

    gunung-api aktif. Penelitian yang telah dilakukan di Gunung Merapi menunjukkan

    adanya perubahan anomali magnetik periode sangat panjang (lebih dari 10 tahun), periode menengah (1-2 tahun) dan periode pendek (dalam orde bulan). Perubahan

    anomali magnetik periode menengah diduga berkorelasi kuat dengan periode aktivitas

    Gunung Merapi (Zlotnicki dkk, 2000).

    Dengan asumsi bahwa temperatur magma telah melampaui temperatur Curie batuan

    maka magma tidak memiliki sifat kemagnetan atau memiliki intensitas magnetisasi

    lebih rendah relatif terhadap batuan sekitarnya. Kondisi tersebut dapat menimbulkan

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    8/19

    anomali magnetik yang bervariasi sesuai dengan perubahan posisi magma selama proses

    aktivitas volkanik. Grandis dkk (2004) melakukan simulasi yang menggambarkan

     perubahan anomali magnetik pada beberapa titik di sekitar puncak sebagai respons

     perubahan posisi benda anomali non-magnetik yang bergerak secara bertahap naik dari

    kedalaman 5000 meter mendekati permukaan bumi. Hasil simulasi tersebut

    diperlihatkan pada Gambar 4.3.2.

    Secara umum data hasil pemantauan anomali magnetik Gunung Merapi memiliki pola

    yang identik dengan hasil simulasi, namun dengan amplitudo yang lebih kecil dan

    interval waktu perubahan yang relatif lama. Hal tersebut menunjukkan bahwa simulasi

    numerik yang telah dilakukan tidak dapat merepresentasikan mekanisme yang

    sebenarnya. Pada kasus Gunung Merapi, perubahan anomali magnetik yang timbul

    diasumsikan lebih didominasi oleh mekanisme piezo-magnetik (Zlotnicki, 2000), yaitu

     perubahan medan magnet akibat perubahan tekanan magma. Sementara itu asumsi yang

    digunakan pada simulasi adalah adanya fenomena termo-magnetik.

    Mogi dkk (2003) juga melakukan simulasi proses erupsi Usu Volcano (Hokkaido,

    Jepang) pada tahun 2000 dan berhasil memperoleh pola perubahan anomali magnetikyang sesuai dengan data pengamatan (Gambar 4.3.3). Simulasi dan data tersebut

    mengindikasikan adanya letusan menyamping (lateral blast ). Keberhasilan pemantauan

    gunung-api aktif dengan pengukuran anomali medan magnet secara kontinyu cukup

    menjanjikan, terutama untuk prediksi aktivitas volkanik jangka menengah. Hal tersebut

    dimaksudkan sebagai komplemen pemantauan seismisitas dengan jangka yang lebih

     pendek. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dan implementasi di lapangan perlu

    segera dilakukan secara lebih intensif.

    0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

    Easting (km)

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    18

    20

       N  o  r   t   h   i  n  g   (   k  m   )

    REF

    sta-1

    sta-2

    sta-3

    sta-4

    N

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

    time

    -20

    -10

    0

    10

    20

      m  a  g  n  e   t   i  c  a  n  o  m  a   l  y   (  n   T   )

    sta-1

    sta-2

    sta-3

    sta-4

     Gambar 4.3.2. Kontur ketinggian kerucut gunung-api dan posisi 4 titik pengamatan di sekitar

     puncak (kiri), perubahan anomali magnetik hasil simulasi pada ke 4 titik pengamatan tersebut

    (kanan). 

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    9/19

     

    Gambar 4.3.3. Simulasi perubahan anomali magnetik sebagai respons perubahan posisi atau

    trayektori bola dipol (atas) dan data hasil pemantauan anomali magnetik di Usu Volcano,

    Hokkaido, Jepang (bawah) (Mogi dkk, 2003). 

    c.  Gravitasi

    Sebagaimana pengukuran medan magnet, pengukuran anomali gravitasi yang bersifat

    “statik” dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan struktur bawah-permukaan mengingat

     batuan volkanik memiliki kontras rapat massa dengan batuan di sekitarnya. Di samping itu

     pengukuran anomali gravitasi yang bersifat “dinamik” bersama pengukuran deformasi

    menggunakan teknik geodetik (dibahas pada bagian berikutnya) dapat dimanfaatkan untuk

     prediksi erupsi gunung-api. Namun mengingat perubahan rapat-massa yang terlibat sangat

    kecil maka diperlukan pengukuran gravitasi yang lebih teliti yaitu pada skala mikro-Gal.

    Secara teoritik perubahan harga gravitasi akibat perubahan ketinggian (Free AirGradient , FAG) adalah -308.6 mikroGal/m. Dengan asumsi kantong magma sebagai

    titik massa ( point source) sebagaimana model Mogi pada pemodelan deformasi, maka

     Bouguer Corrected Free Air Gradient   (BCFAG) berharga antara -253 sampai -230

    mikroGal/m untuk rapat massa 2000 kg/m3 dan 2800 kg/m3.dengan harga FAG teoritik.

    Kedua parameter tersebut (FAG dan BCFAG) memberikan batasan yang

    memungkinkan prediksi erupsi berdasarkan hasil pemantauan gravitasi-mikro dan

    deformasi (Williams-Jones dan Rymer, 2002).

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    10/19

    Harga FAG sebaiknya didasarkan pada hasil pengukuran di titik pengamatan dengan

    cara mengukur gravitasi-mikro pada dua ketinggian yang berbeda (misal 1 meter).

    Setelah diketahui FAG dan BCFAG maka hasil pemantauan gravitasi-mikro (g) dan

    deformasi (h) antar waktu dapat di-plot sebagaimana Gambar 4.3.3 untuk

    memperkirakan kondisi gunung-api yang sedang dipantau.

    Zona 1 pada Gambar 4.3.4 berasosiasi dengan intrusi magma berkecepatan rendah

    dengan viskositas magma tinggi sehingga interaksi dengan kantung magma rendah.

    Terjadi peningkatan massa total (net) pada sistem yang menghasilkan g/h yang

     berada pada Zona 1 atau sepanjang garis BCFAG. Peningkatan rapat massa atau tidak

    ada perubahan rapat massa (sepanjang garis BCFAG) merupakan indikasi bahwa

    magma tidak dapat naik ke permukaan dan gunung-api dapat dianggap dalam kondisi

    stabil.

    Zona 2 pada Gambar 4.3.4 berasosiasi dengan intrusi magma berkecepatan tinggi

    dengan viskositas magma rendah sehingga terjadi interaksi magma baru dengan kantung

    magma. Pemanasan dan percampuran magma menghasilkan peningkatan massa total

    (net) namun terjadi penurunan rapat massa yang menghasilkan g/h yang berada pada

    Zona 2 atau antara garis FAG dan BCFAG. Pada kondisi ini peningkatan tekanan gas

    dalam kantung magma dapat digunakan sebagai indikasi atau prekursor aktivitas erupsi.

    Gambar 4.3.4. Plot harga gradien gravitasi terhadapketinggian (FAG) dan FAG yang telah dikoreksi

    Bouguer (BCFAG) yang dapat digunakan sebagaiindikator tingkat aktivitas gunung-api (Williams-Jones

    dan Rymer, 2002). 

    d. 

    Resistivitas

    Resistivitas atau konduktivitas merupakan parameter fisika yang paling sensitif dan

     berhubungan erat dengan fenomena termal. Pada daerah volkanik, interaksi intensif

    antara magma dengan batuan sekitarnya dan air-tanah menyebabkan fenomena

    hidrotermal yang membentuk zona konduktif. Oleh karena itu metode geofisika yang

    memungkinkan perkiraan distribusi resistivitas dapat digunakan untuk penyelidikan

    struktur bawah-permukaan suatu daerah volkanik.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    11/19

    Metode magnetotelurik (MT) merupakan salah satu metode geofisika yang dapat

    memperkirakan struktur internal gunung-api berdasarkan distribusi resistivitas bawah-

     permukaan. Survey MT di Usu Volcano berhasil memetakan adanya intrusi resistif pada

    lingkungan batuan tersier konduktif. Intrusi tersebut adalah produk letusan tahun 1977-

    1978 yang mengalami proses pendinginan sehingga bersifat resistif. Di samping itu

    metode MT juga berhasil mengidentifikasi adanya lapisan lava resistif kuarter.Meskipun demikian model resistivitas berdasarkan data MT tersebut kurang tegas

    mengindikasikan keberadaan kantong magma konduktif (Matsushima dkk, 2001).

    Gambar 4.3.4 menunjukkan perubahan data MT (TM-mode) sebagai respons perubahan

    model 2-D magma konduktif yang mensimulasikan aktivitas atau erupsi volkanik

    (Grandis dkk, 2005). Pemodelan 3-D yang dapat memperhitungkan struktur bawah-

     permukaan dan kondisi topografi daerah volkanik secara lebih realistis masih menjadi

     bahan kajian penelitian yang sangat intensif (Grandis, 2008; Spichak dkk, 2004).

    Gambar  4.3.5.  Perubahan profil resistivitas semu (TM-mode) akibat perubahan struktur 2-D

    yang menggambarkan kenaikan magma konduktif mendekati permukaan.

    Geodesi

    Saat terjadinya erupsi gunung-api selalu disertai dengan bergeraknya material-material

    kerak atau kulit bumi. Hal ini mengakibatkan terjadinya deformasi di permukaan bumi.

    Salah satu cara mitigasi bencana gunung-api adalah dengan memonitor deformasi

     permukaan bumi yang terjadi. Deformasi diukur secara geodetik, sehingga diketahui

    area dan kecepatan terjadinya deformasi. Hal ini sebenarnya tergantung dari ukuran dan

    kedalaman tubuh magma.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    12/19

    Selama ini sudah banyak diketahui bahwa letusan-letusan gunung-api yang eksplosif

    sering diawali oleh deformasi berupa kenaikan permukaan tanah yang relatif cukup

     besar (Scarpa and Gasparini, 1996). Bahkan untuk gunung-api yang sudah lama tidak

    menunjukkan aktivitasnya, adanya fenomena deformasi tubuh gunung-api yang

     bersangkutan, merupakan salah satu indikator yang dapat dipercaya dari kebangkitan

    kembali aktivitas gunung-api tersebut. Disamping itu menurut Van der Laat (1997) sertaDvorak and Dzurisin (1997), deformasi permukaan gunung-api, yang berupa vektor

     pergeseran titik dan vektor kecepatan perubahannya, dapat memberikan informasi

    tentang karakteristik dan dinamika dari kantong (reservoar) magma. Informasi gejala

    deformasi tersebut dapat dimodelkan untuk menentukan lokasi, kedalaman, bentuk,

    ukuran dan perubahan-perubahan tekanan sumber penyebab deformasi. Kemungkinan

     besar fakta tersebut adalah pembentukan kantong magma dan kantong hidrotermalnya.

    Dalam hal ini laju pemasukan magma ke tubuh gunung-api dan volume muntahan

    magmanya, seandainya terjadi letusan, akan dapat diduga dengan menggunakan data

    dan informasi deformasi (Dvorak and Dzurisin, 1997).

    Pada prinsipnya deformasi dari tubuh gunung-api dapat berupa penaikan permukaan

    tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi), seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4.3.6. Deformasi yang berupa inflasi umumnya terjadi karena proses

    gerakan magma ke permukaan yang menekan permukaan tanah di atasnya. Dalam hal

    ini deformasi yang maksimal biasanya teramati tidak lama sebelum letusan gunung-api

     berlangsung. Sedangkan deformasi berupa deflasi umumnya terjadi selama atau sesudah

    masa letusan. Pada saat itu tekanan magma di dalam tubuh gunung-api telah melemah.

    Pada saat itu permukaan tanah cenderung kembali ke posisinya semula.

    In fl as i (Penaikan Muka Tanah ) Def las i (Penurunan Muka Tanah )

    Magma

    Tubuh gunung api yang terangkat 

    menjelang letusan

    Magma

    Tahap letusandan sesudahnya,

     permukaantanah menurun.

    Gambar 4.3.6. Gejala deformasi pada gunung-api aktif.

    Gejala deformasi gunung-api akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh

    gunung-api. Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik dalam arah horisontal maupun

    vertikal. Menurut Van der Laat (1997), nilai pergeseran ini bisa mencapai puluhanmeter pada gunung-api silisik yang membentuk kubah lava. Pada gunung-api yang

    kantong magmanya masih jauh di bawah permukaan atau gerakan naiknya magma

    relatif lambat, deformasi yang teramati relatif kecil, kadang-kadang nilai strain-nya

    lebih kecil dari 0.1 ppm/tahun.

    Pemantauan deformasi suatu gunung-api dapat dilakukan dengan menggunakan

     berbagai macam sensor atau sistem, dan berdasarkan moda implementasinya dapat

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    13/19

    diklasifikasikan atas dua tipe, yaitu metode episodik  dan metode kontinyu seperti yang

    ditunjukkkan pada Gambar 4.3.7. Pada metode episodik, pemantauan dilakukan secara

    episodik dalam selang waktu tertentu. Metode deformasi episodik   ini umumnya

    menggunakan data-data pengamatan terestris, seperti jarak (dari EDM, Electronic

    Distance Measurement), arah (dari theodolit), beda tinggi (dari sipat datar), dan

     perubahan gaya berat (dari pengukuran mikrogravitas); dan sekarang ini juga mulaimenggunakan data pengamatan GPS. Sedangkan pada metode deformasi kontinyu

     pemantauan dilakukan secara terus menerus. Metode deformasi kontinyu ini umumnya

    menggunakan sensor-sensor tiltmeter, extensiometer, dan dilatometer, yang hanya

    mengkarakterisir deformasi yang sifatnya sangat lokal. Patut ditekankan di sini bahwa

    GPS yang dikombinasikan dengan sistem telemetri/komunikasi data juga dapat

    digunakan untuk memantau deformasi gunung-api secara kontinyu. Baik untuk metode

    episodik maupun kontinyu, dapat diperkirakan bahwa GPS akan punya peran yang

     penting dalam proses pemantauan deformasi gunung-api di masa-masa mendatang.

    Episodik

     Pengukuran Jarak (EDM)

     Pengukuran Sudut

     Pengukuran Beda Tinggi (Sipat Datar) Pengukuran Mikro Gravitasi

     Survai GPS Periodik

     INSAR (Interferometric SAR)

     Tiltmeter 

     Extensiometer 

     Dilatometer 

     Jaringan GPS Kontinyu

    Kontinyu

    METODE

    DEFORMASI

     

    Gambar 4.3.7. Metode deformasi untuk pemantauan gunung-api.

    Patut dicatat bahwa secara operasional pemantauan deformasi gunung-api dengan GPS,

     baik secara episodik maupun kontinyu, sudah diterapkan di banyak gunung-api diseluruh dunia. Contoh-contoh kasus dalam hal ini bias dilihat di USGS-Volcano (2006).

    Untuk kasus gunung-api di Indonesia, pemantauan gunung-api secara episodik dengan

    metode survei GPS telah diterapkan di beberapa gunung-api. Gambar 4.3.8.

    menunjukkan beberapa lokasi gunung-api yang deformasinya dipelajari dengan survei

    GPS yang dilaksanakan oleh Kelompok Keilmuan (KK) Geodesi ITB bekerjasama

    dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen ESDM.

    Guntur 

    Papandayan

    BromoBatur 

    P. JAWA

    Ijen

    Semeru

    KeludGalunggung

    Tangkuban Perahu

    STUDIED VOLCANOES

    Guntur 

    Papandayan

    BromoBatur 

    P. JAWA

    Ijen

    Semeru

    KeludGalunggung

    Tangkuban Perahu

    GUNUNGAPI YANG DIPELAJARI

    Guntur 

    Papandayan

    BromoBatur 

    P. JAWA

    Ijen

    Semeru

    KeludGalunggung

    Tangkuban Perahu

    STUDIED VOLCANOES

    Guntur 

    Papandayan

    BromoBatur 

    P. JAWA

    Ijen

    Semeru

    KeludGalunggung

    Tangkuban Perahu

    GUNUNGAPI YANG DIPELAJARI

    Gambar 4.3.8. Beberapa gunung-api yang dipantau secara episodik.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    14/19

    Survei GPS di gunung-gunung-api yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.8 tidak dimulai

     pada tahun yang sama; yaitu Guntur sejak 1996, Papandayan sejak 1998, Kelud sejak

    1999, Batur sejak 1999, Galunggung sejak 2001, Bromo sejak 2001, Ijen sejak 2002,

    Tangkuban Perahu sejak 2002, dan Semeru sejak 2003. Umumnya survei di gunung-

    gunung tersebut dilaksanakan setahun sekali. Beberapa hasil dari studi deformasi

    gunung-api dengan metode survei GPS tersebut diberikan di Abidin et al. (1997, 1998a,1998b, 1999, 2000, 2001, 2004, 2005).

    Geologi dan Geokimia

    a. Komposisi gas

    Gunung-api melepaskan gas-gas volkanik, seperti H2S, H2, CO, CO2, HCl, HF dan He.

    Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa erupsi gunung-api hampir selalu ditandai

    dengan terjadinya peningkatan kandungan gas-gas volkanik ini. Untuk itu dalam

    melakukan mitigasi bencana gunung-api, salah satu cara adalah dengan memonitor

    kandungan gas di keluaran-keluaran gas, seperti fumarola, solfatara, steam vent , dll.

    Pengambilan sampel gas dilakukan secara periodik untuk melihat perubahan kandungan

    gas-gas volkanik yang bertujuan untuk memantau aktivitas gunung-api. Studi di G.

    Merapi menunjukkan, bahwa erupsi Merapi pada November 1994 ditandai dengan

    meningkatnya kandungan gas H2, CO2, CO, SO2 dan HCl terhadap kandungan uap air,

    serta rasio SO2/H2S dan H2/H2S(Priatna dan Kadarsetia, 2007).

    Peningkatan aktivitas G. Tangkuban Parahu pada April 2005 juga ditandai dengan

     peningkatan kandungan gas CO2  dan H2S yang terjadi sesuai dengan peningkatan

    aktivitas seismik dan deformasi (Dana dkk, 2006).

    b. Manifestasi panasbumi di permukaan

    Perubahan fisik manifestasi atau kenampakan panasbumi di permukaan dapat dijadikan

    cara memonitor kondisi gunung-api dengan mudah. Perubahan ini menunjukkan adanya

     perubahan komposisi kimia air dan gas panasbumi dan dapat mengindikasikan

     pergerakan magma ke permukaan.

    Magma melepaskan gas-gas volkanik seperti CO2 dan H2S yang dapat terkondensasi ke

    dalam air tanah atau air permukaan. Hal ini akan mengakibatkan perubahan tipe air

     panasbumi dari air klorida yang mempunyai derajat keasaman sekitar netral, menjadi air

    sulfat dan bikarbonat yang ber-pH asam. Perubahan ini dapat diamati dari perubahan

    fisik mata air panas atau kolam air panas yang tadinya bening dan jernih berubah

    menjadi keruh. Gas-gas volkanik tersebut juga dapat merubah pola alterasi batuan disekitar keluaran gas. Alterasi akan didominasi oleh mineral-mineral lempung, seperti

    kaolinit dan smektit, yang berasosiasi dengan alunit dan residu silika.

    Mazot dkk (2007) menunjukkan perubahan karakteristik dan komposisi kimia

    manifestasi panasbumi di Papandayan sebelum dan setelah erupsi tahun 2002. Terdapat

     peningkatan kandungan gas-gas volkanik seperti HCl, SO2, H2S dan HF pada air di

    danau kawah sebelum terjadinyanya erupsi, sehingga merubah tipe air danau (Gambar

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    15/19

    4.3.9, Mazot dkk, 2007). Pembentukan alterasi argilik lanjut terlihat dari material-

    material yang terlempar saat erupsi terjadi. Meskipun demikian, setelah erupsi

     November 2002, kandungan gas-gas volkanik pada air danau kawah kembali normal.

    Seperti halnya karakteristik kimia air danau kawah G. Kelud yang menunjukkan

     peningkatan temperatur dan kandungan unsur-unsur terlarut, seperti SO4, Cl, B, F, Ca,K dan Fe (Gambar 4.3.10), disamping peningkatan kandungan gas-gas volkanik, seiring

    dengan peningkatan aktivitas vulkanisme (Kadarsetia dkk, 2006).

    Gambar 4.3.9. Plot antara kandungan Cl dengan SO4 dan Mg dalam air sebelum (1994-2002)

    dan setelah (2003-2005) erupsi Papandayan (Mazot dkk, 2007).

    c. Vulkanostatigrafi

    Vulkanostratigrafi mempelajari urut-urutan endapan volkanik yang dihasilkan dari

    aktivitas gunung-api. Dengan mempelajari urutan batuan, komposisi mineralogi dan

    kimia endapan tersebut, dapat diketahui karakteristik erupsi gunung-api yang terjadi.

    Dengan melakukan pentarikhan umur batuan volkanik, maka akan diketahui

    terjadinyanya erupsi gunung-api yang menghasilkan endapan tersebut. Selanjutnya

    dapat diketahui tipe erupsi yang terjadi dan siklus waktu terjadinya.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    16/19

     

    Gambar 4.3.10. Kandungan K, Ca dan Fe air danau kawah G. Kelud antara tahun 1987 hingga2005 (Kadarsetia dkk, 2006).

    4. Kesimpulan dan Penutup

    Beberapa aspek mitigasi bencana gunung-api yang disampaikan pada tulisan ini masih

     bersifat garis besar yang dapat dikembangkan lebih lanjut, baik dalam tataran riset

    maupun implementasi yang bersifat pemantauan rutin. Aspek lain yang juga perlu

    diperhatikan dan dikembangkan adalah manajemen bencana khususnya bencana akibat

    erupsi gunung-api.

    Elemen-elemen yang menunjang hal itu khususnya dari segi sumber daya manusia banyak tersebar di berbagai institusi pendidikan dan penelitian. Untuk itu diperlukan

    sinergi dan kerja-sama yang baik demi membangun keunggulan dalam bidang

    volkanologi di tingkat regional bahkan internasional. Dengan demikian ilmu

     pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan kegunung-apian dapat lebih

    dikembangkan di Indonesia secara signifikan mengingat potensi yang cukup besar

    dalam bidang ini.

    Daftar Pustaka

    Abidin, H.Z., O.K. Suganda, M.A. Kusuma, I. Meilano, B. Setyadji, D. Muhardi, R.Sukhyar, J. Kahar, and T. Tanaka, 1997, Monitoring the Deformation of Guntur

    Volcano (West Java, Indonesia) Using GPS Survey Method : Status and Future

    Plan. Proceedings of International Symposium on Natural Disaster Prediction

    and Mitigation, Kyoto, December 1-5, pp. 81 – 88.

    Abidin, H.Z., 1998a, Monitoring the deformation of volcanoes in Indonesia using

    repeated GPS survey method: status, results and future plan. Proceedings of the

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    17/19

     International Workshop on Advances in GPS Deformation Monitoring, ISBN : 1-

    86308-073-2, Curtin University, Perth, 24-25 September, Paper no. 18.

    Abidin, H.Z., I. Meilano, O.K. Suganda, M.A. Kusuma, O. Yolanda, D. Muhardi, B.

    Setyadji, R. Sukhyar, J. Kahar, and T. Tanaka, 1998b, Some Aspects of Volcano

    Deformation Monitoring Using Repeated GPS Surveys. Proceedings of Spatial

     Information Science, Technology and Its Applications, Wuhan, China, 13-16

    December, pp. 92 - 109.

    Abidin, H.Z., I. Meilano, O.K. Suganda, M.A. Kusuma, I. Meilano, M. Gamal, W.S.

    Tjetjep, R. Sukhyar, A.D. Wirakusumah, T. Tanaka, J. Kahar, C. Rizos, and M.S.

    Widodo, 1999, The Status of Deformation Monitoring of Active Volcanoes in

    Indonesia with GPS Satellite System. Proceedings of the 28th Annual Convention

    of Indonesian Association of Geologists, Vol. IV : Developments in Engineering,

    Environment, and Numerical Geology, Jakarta, 30 Nov. - 1 Dec. 1999, pp. 261 -

    277.

    Abidin, H.Z., D. Darmawan, O.K. Suganda, M. A. Kusuma, I. Meilano, F. Anthony, M.

    Gamal, and A.D. Wirakusumah, 2000, Studi Deformasi Gunung Papandayan

    Dengan Metode Survei GPS. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan HAGI

    (Himpunan Ahli Geofisika Indonesia) ke-25, ISBN : 979-95053-4-8, Bandung, 3-4

    Oktober, pp. 330-335.

    Abidin, H.Z., D. Darmawan, M. A. Kusuma, M. Hendrasto, O.K. Suganda, M. Gamal, F.

    Ki-mata, and C. Rizos, 2001, Studi Deformasi Gunung Kelut Dengan Metode

    Survei GPS. Surveying & Geodesi, Jurnal Ilmiah Jurusan Teknik Geodesi ITB,

    ISSN : 0852-0569, Vol. XI, No.2, Mei, pp. 11 - 18.

    Abidin, H.Z., M. Hendrasto, H. Andreas, D. Darmawan, M.A. Kusuma, M. Gamal, O.K.

    Suganda, I. Kusnadi, dan A.D. Wirakusumah, 2002, Studi Deformasi Gunung-api

    Batur Dengan Metode Survei GPS. Surveying & Geodesi, Jurnal Ilmiah Jurusan

    Teknik Geodesi ITB, ISSN : 0852-0569, Vol. XII, No.3, September, pp. 1 – 10.Abidin, H.Z., H. Andreas, M. Gamal, M. Hendrasto, Ony K. Suganda, M.A. Purba-

    winata, Irwan Meilano, and F. Kimata, 2004, The Deformation of Bromo

    Volcano as Detected by GPS Surveys Method.  Journal of Global Positioning

    Systems, Vol.3, No. 1-2, pp.16-24.

    Abidin, H.Z., H. Andreas, M. Gamal, O.K. Suganda, I. Meilano, M. Hendrasto, M.A.

    Kusuma, D. Darmawan, M.A. Purbawinata, A.D. Wirakusumah, and F. Kimata,

    2005, Ground De-formation of Papandayan Volcano Before, During and After

    Eruption 2002 as Detected by GPS Surveys. GPS Solutions. Springer-Verlag

    GmbH, ISSN: 1080-5370 (Paper) 1521-1886 (Online), DOI: 10.1007/s10291-005-

    0009-1.

    Banks, N.G., R.I. Tilling, D.H. Harlow, and J.W. Ewert, 1989, Volcano monitor-ing andshort term forecast. In Volcanic Hazards  (ed. R.I. Tilling), Ameri-can

    Geophysical Union, Washington, D.C., USA.

    Dana, I.N., Kadarsetia, E., Primulyana, S., Hendrasto, M. and Nasution, A., 2006,

    Peningkatan kegiatan Gunung-api Tangkubanparahu Jawa Barat pada bulan April

    2005. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, No. 4, 193-200.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    18/19

    Dvorak, J.J., and D. Dzurisin, 1997, Volcano Geodesy : The Search for Magma

    Reservoirs and the Formation of Eruptive Vents. Review of Geophysics, Vol. 35,

     No. 3, August, pp. 343 - 384.

    Grandis, H., Widarto, D.S., Yudistira, T., dan Herawati A., 2004, Simulasi fenomena

    volkano-magnetik menggunakan pemodelan magnetik 3-D. Prosiding PIT HAGI

    ke-29, Yogyakarta. 

    Grandis, H., Widarto, D.S., dan Sumintadiredja, P., 2005, Pencitraan struktur internal

    gunung-api aktif menggunakan metode magnetotellurik (MT). Laporan

    Penelitian RUT X.

    Grandis, H., 2008, Magnetotelluric (MT) inversion for 3-D conductivity model

    resolution using Markov Chain Monte Carlo (MCMC) algorithm: Preliminary

    results. Jurnal Geofisika 2006/1.

    Kadarsetia, E., Primulyana, S., Sitinjak, P., dan Saing, U.B., 2006, Karakteristik

    kimiawi air danau kawah Gunung-api kelud, Jawa Timur pasca letusan tahun

    1990. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1, No. 4, 185-192.

    Katili, J.A., dan S.S. Siswowidjojo, 1994, Pemantauan Gunung-api di Filipina dan

     Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

    Matsushima, N., Oshima, H., Ogawa, Y., Takakura, S., Satoh, H., Utsugi, M., and

     Nishida, Y., 2001, Magma prospecting in Usu Volkano, Hokkaido, Japan using

    magnetotelluric soundings. J. Volcanol. Geotherm. Res, 109, 263-277. 

    Mazot, A., Berbard, A., and Sutawidjaja, I.S., 2007, Hydrothermal system of the

    Papandayan volcano, West Java, Indonesia and its geochemistry evolution of

    thermal water after the November 2002 eruption. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2,

     No. 1, 15-29.

    McGuire, W.J., 1995, Monitoring active volcanoes – an introduction, In  Moni-toring

     Active Volcanoes by B. McGuire, C.R.J. Kilburn, and J. Murray (Eds), pp. 1-31,UCL Press Limited, London, 421 pp.

    Mogi, T., Sato, H., Saba, M., Tanimoto, K., Nishida, Y., Takada, M., Utsuki, M.,

    Hashimoto, T., and Sasai, Y., 2003, Electric and Magnetic field change

    associated with the 2000 Usu Volcano eruption.  IUGG General Assembly,

    Sapporo – Japan.

    Priatna, and Kadarsetia, E., 2007, Characteristics of volcanic gas correlated to the

    eruption activity; Case study in the Merapi Volcano, periods of 1990 – 1994.

     Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2, No. 4, 235-246.

    Scarpa, R., and P. Gasparini, 1996, A Review of Volcano Geophysics and Volcano-

    Monitoring Methods. In  Monitoring and Mitigation of Volcano Hazards  by R.

    Scarpa and R.I. Tilling (Eds.), Springer Verlag, Berlin, pp. 3 - 22.

    Scarpa, R., and R.I. Tilling (Eds.), 1996, Monitoring and Mitigation of Volcano

    Hazards. Springer Verlag, Berlin, 841 pp.

    Spichak V.V., Yamaya, Y., and Mogi, T., 2004, ANN modeling of 3-D conductivity

    structure of the Komagatake volcano (Hokkaido, Japan) by MT data. Proc. IV

     Int. Symp. MEEMSV-2004. La Londe Les Maures. France. 121-124.

  • 8/16/2019 Gunung-API Dan Mitigasi Bencana Erupsi

    19/19

    USGS-Volcano (2006). Situs internet dari U.S. Geological Survey Volcano Hazards

    Program. Alamat situs : http://volcanoes.usgs.gov.

    van der Laat, R. (1996) “Ground-Deformation Methods and Results.” In  Monitoring

    and Mitigation of Volcano Hazards  by R. Scarpa and R.I. Tilling (Eds.),

    Springer Verlag, Berlin, pp. 147 - 168.

    Williams-Jones, G., Rymer, H., 2002, Detecting volcanic eruption precursors: a new

    method using gravity and deformation measurements. J. Volcanol. Geotherm.

     Res, 113, 379-389. 

    Zlotnicki, J., Bof, M., Perdereau, L., Yvetot, P., Tjetjep, W., Sukhyar, R., Purbawinata,

    M.A., and Suharno, 2000, Magnetic monitoring at Merapi volcano, Indonesia.  J.

    Volcanol. Geotherm. Res, 100, 321-336.