15

Click here to load reader

GRASI DI INDONESIA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: GRASI DI INDONESIA

GRASI DI   INDEONSIA

2 02 2011

A. Pendahuluan.

Grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana oleh Presiden. Menurut penjelasan UU No 22 tahun 2002, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis dan tidak terkait dengan penilaian putusan hakim. pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Selanjutnya dijelaskan bahwa kendati pemberian grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.[1]

Dengan diundangkannya UU No 22 tahun 2002, kesempatan mendapatkan pengampunan dari Presiden atau Grasi dibatasi, batasannya adalah lama hukuman dan hukuman mati. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang garsi menyebutkan bahwa putusan pidana yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 tahun. Dengan ini terlihat bahwa yang berhak mendapatkan grasi adalah pidana-pidana berat, yang dalam prakteknya justru menghambat jalannya eksekusi, apalagi bagi terpidana mati, banyak terpidana mati yang terkatung-katung nasibnya hanya karena menunggu grasi dari Presiden.

Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum diseluruh dunia. Sebagaimana diketahui, grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Maka meskipun ada nasihat atau pertimbangan dari Mahkamah Agung, Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non hukum berdasarkan hak prerogratif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana (starfvermiderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Jadi Grasi (dalam bahasa latin “Gratia”) adalah semacam anugerah (di Belgia disebut “Genade”) dari Kepala Negara dalam rangka memperingan atau membebaskan pidana si terhukum. Namun juga grasi itu bias ditolak oleh Presiden.

Undang-Undang tidak menentukan pertimbangan seperti apa yang harus digunakan Presiden untuk memberikan Grasi, Undang-Undang hanya menyebutkan bahwa Presiden memberikan Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Yang menjadi pasti dengan adanya UU No 22 tahun 2002 adalah pembatasan terhadap hukuman yang dapat diajukan Grasi.

Dalam hukum Pidana Islam, tindak pidana terbagi menjadi tiga macam, yaitu pidana hudud, pidana qhisas diyat dan pidana ta’zir, kaitannya dengan pengampunan hukuman, pembagian ini berfungsi untuk memisahkan pidana yang tidak mengenal pengampunan dan pidana yang bisa diampunkan. Untuk pidana hudud, hukum Islam telah menentukan bahwa salah satu kewajiban penguasa Negara atau khususnya Kepala Negara menurut Imam al-Mawardi sebagaimana

Page 2: GRASI DI INDONESIA

dikutip oleh Hasbie As Shiddiqie, adalah menegakkan hukum-hukum Allah agar orang tidak berani melanggar hukum-hukum Allah yang batas-batasnya telah Allah tetapkan dan menjaga hak-hak hamba-Nya dari kebinasaan dan kerusakan.[2] Oleh karena itu hukuman ini tidak bisa diampunkan oleh penguasa Negara, disamping karena hukuman had ini adalah murni hal Allah. Telah ditegaskan bahwa pidana hudud tidak mengenal pengampunan oleh korban atau pengausa Negara.

Islam mengajarkan bahwa perkara hudud yang telah sampai kepada yang berwenang tidak boleh lagi diampuni. Dalam kitab al-Muwata, Imam Malik menceritakan bahwa sekelompok orang telah menangkap seorang pencuri untuk dihadapkan kepada Khalifah Utsman, namun di tengah jalan mereka bertemu dengan Zubair yang kemudian memberikan syafa’at kepada pencuri tersebut. Awalnya mereka menolak dan meminta Zubair untuk melakukannya di hadapan Utsman, namun Zubair mengatakan bahwa apabila sebuah masalah hudud telah sampai kepada penguasa, Allah melaknat orang yang memberi dan meminta ampunan.[3] Dalam pidana qishash-diyat, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatur bahwa korban atau walinya punya hak untuk menuntut atau mengampuni. Allah berfirman di dalam al-Qur’an :

ف�م�ن� �ى �ث ن �األ� ب �ى �ث ن و�األ� �د� �ع�ب �ال ب �د �ع�ب و�ال �حر� �ال ب �حر� ال �ل�ى �ق�ت ال ف�ي �ق�ص�اص ال م �ك �ي ع�ل �ب� ت ك وا ء�ام�ن *ذ�ين� ال �ه�ا ي� �اأ ي

ف�م�ن� ح�م�ة- و�ر� م� �ك ب ر� م�ن� �خ�ف�يف- ت �ك� ذ�ل ان7 �ح�س� �إ ب �ه� �ي �ل إ �د�اء- و�أ وف� �م�ع�ر �ال ب �اع- �ب ف�ات ي�ء- ش� �خ�يه� أ م�ن� �ه ل عف�ي�البقرة } : �يم- �ل أ ع�ذ�اب- �ه ف�ل �ك� ذ�ل �ع�د� ب �د�ى {178اع�ت

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178)

Dalam hal ini, Allah telah memberikan wewenang kepada ahli waris terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi untuk menuntut qishash. Dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan di mana pelaku pembalas bukanlah negara melainkan ahli waris dari orang yang terbunuh, oleh karena itu negara sendiri tidak berhak untuk memberikan ampunan. Akan tetapi jika korban tidak cakap di bawah umur atau gila sedang ia tidak punya wali, maka kepala negara bisa menjadi walinya dan bisa memberikan pengampunan. Jadi kedudukannya sebagai wali Allah yang memungkinkan dia mengampuni, bukan kedudukannya sebagai penguasa Negara.

Untuk pidana ta’zir sendiri para fuqaha’ berbeda pendapat, apakah penguasa negara bisa memberikan pengampunan terhadap semua macam pidana ataukah hanya sebagian saja. Menurut sebagian fuqaha’, pada pidana hudud dan qishash yang tidak lengkap, yaitu yang hanya dikenakan hukuman ta’zir, tidak boleh diampunkan, sadangkan menurut fuqaha’ lain, semua macam pidana ta’zir bisa diampunkan, jika bisa mewujudkan kemaslahatan.[4]

Page 3: GRASI DI INDONESIA

Sedangkan dalam masalah pidana ta’zir, hukum Islam mengatur bahwa penguasa diberi hak untuk membebaskan pembuat dari hukuman dengan syarat tidak mengganggu korban. Korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadinya. Namun karena pidana ini menyinggung hak masyarakat, hak pengampunan yang diberikan oleh korban tidak menghapuskan hukuman sama sekali, hanya sebatas meringankan. Jadi dalam pidana ta’zir, penguasalah yang berhak menentukan hukuman dengan pertimbangan kemaslahatan.

Hukum Islam tidaklah mutlak melarang pemaafan hukuman atau Grasi oleh Presiden. Grasi diperbolehkan dalam batas-batas yang sangat sempit dan demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat. Hanya hukuman-hukuman yang ringan yang tidak membahayakan kepentingan umumlah yang boleh diampuni oleh Kepala Negara. Dan untuk pidana pembunuhan tidaklah ada hak Kepala Negara untuk mengampuni hukuman.

Sisi lain yang harus diperhatikan, mengapa kewenangan memberikan Grasi bagi Presiden di Indonesia perlu dipertanyakan keabsahannya dalam Hukum Islam adalah bahwa kekuasaan Negara Indonesia terbagi dalam beberapa kekuasaan, dimana kekuasaan peradilan atau yudikatif meruapkan kekuasaaan yang bebas dari campur tangan Kepala Negara sebagai Eksekutif, yaitu dipegang oleh Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibidang peradilan yang merdeka.

Pembahasan mengenai Grasi memang tidak biasa dibicarakan karena kebanyakan orang menganggap kewenangan Presiden ini tidak ada masalah. Dalam buku-buku mengenai hukum pidana, masalah ini juga tidak memiliki banyak tempat, karena Grasi ini bukan merupakan bentuk upaya hukum, hanya terkadang disinggung dalam bab pelaksanaan hukuman, khususnya hukuman mati yang prosedurnya harus melalui pengajuan Grasi, selain itu dalam bab-bab lain persoalan ini sama sekali tidak disinggung.

Berangkat dari latar belakang yang telah penulis paparkan, maka terlihat jelas perbedaan dan persamaan yang ada dalam hak pemberian grasi oleh lembaga grasi di Indonesia dan kewenangan kepala Negara memberi ampunan dalam hukum Islam. Oleh karena itu yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah ; bagaimana hukum positif dan hukum Islam mengatur tentang pemberian ampunan/grasi terhadap pelaku tindak pidana ?

B. Pembahasan.

1.      Definisi Grasi Menurut Hukum Pidana di Indonesia.

Secara etimologis, grasi berarti anugerah, dan dalam terminologi hukum, grasi diartikan sebagai keringanan hukuman yang diberikan kepala negara kepada terhukum setelah mendapat keputusan hakim atau pengampunan secara individual.[5] Pada hakikatnya grasi merupakan pemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana oleh kepala negara. Jika pengampunan diberikan kepada seseorang secara individu, maka disebut grasi; jika diberikan kepada sekelompok orang terpidana atau kepada keseluruhan mereka, maka disebut amnesti; dan jika diberikan dengan cara menghapuskan tuntutan atau menghentikan penyidikan kasus oleh aparat penegak hukum, maka disebut abolisi.

Page 4: GRASI DI INDONESIA

Salah satu jaminan bagi pengadilan ialah ketentuan bahwa untuk menjalankan keadilan, pengadilan harus bebas dari segala bentuk campur tangan pihak mana pun. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia pasal 103 menyatakan : “Segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh alat-alat perlengkapan yang bukan perlengkapan pengadilan, dilarang kecuali jika diizinkan oleh undang-undang.”[6] Hal ini dimaksudkan agar hakim dapat menjalankan keadilan secara bebas dan objektif. Pengecualian terhadap larangan itu ialah adanya hak memberi grasi bagi kepala negara untuk menghapuskan, mengurangi atau meniadakan tuntutan atau hukuman-hukuman yang dijatuhkan dengan keputusan pengadilan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 14 ayat satu menyebutkan : “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”[7]

Pada mulanya tindakan pengampunan didasarkan pada kemurahan hati orang yang berkuasa. Karena penguasa dipandang sebagai sumber keadilan dan hak pengadilan sepenuhnya berada ditangannya, maka tindakan pengampunan itu semata-mata didasarkan pada hasrat untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa. Pada perkembangan selanjutnya anggapan terhadap grasi bergeser kepada anggapan bahwa hak lembaga-lembaga ini harus dilihat sebagai suatu tindakan pengadilan atau lebih tepat sebagai tindakan keadilan untuk menghapuskan atau mengurangi ketidakadilan di dalam memperlakukan undang-undang. Di samping tujuan untuk mengadakan koreksi terhadap keputusan pengadilan, maka pengampunan itu juga dapat diberikan karena pertimbangan kepentingan negara yang mendorong untuk tidak menjalankan keputusan pengadilan itu. Faktor kemanusiaan juga ikut menjadi bahan pertimbangan dan bagian dari tujuan pemberian pengampunan tersebut.

2.      Definisi Grasi Dalam Fiqh Islam.

Dalam kajian fiqh, grasi dikenal dengan berbagai istilah, seperti al-‘afwu dan al-syafa’at yang menurut Fakhruddin ar-Razi (ahli fiqh Madzhab Maliki) diartikan sebagai “suatu permohonan dari seseorang terhadap orang lain agar keinginannya dipenuhi.”[8] Di bidang peradilan, al-‘afwu atau al-syafa’at mempunyai arti khusus, seperti yang disampaikan oleh Ali bin Muhammad as Sayyid as Sarif al-Jurjani, ahli ilmu kalam serta ahli hukum Madzhab Maliki, dan pengarang kitab “at-Ta’rifat” (definisi istilah-istilah penting Islam). Menurutnya, syafa’at adalah ;

حقه في الجناية وقع الذي من الذنوب عن التجاوز في السؤال ] 9 [هي

Artinya : “suatu permohonan untuk dibebaskan atau dikurangi dari menjalani hukuman terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan.”

Dengan memperhatikan pengertian-pengertian di atas, maka istilah syafa’at dapat diartikan sebagai grasi, atau amnesti atau abolisi dibidang hukum pidana umum. Oleh karenanya, di dalam ajaran agama Islam latar belakang adanya syafa’at yang ada di dunia ini hanya untuk diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang membutuhkannya. Dengan demikian, secara umum, Islam memandang bahwa pada dasarnya memberikan syafa’at berupa bantuan, baik materiil maupun moril, atau pertolongan lainnya menurut kebutuhan orang yang meminta syafa’at adalah tindakan terpuji. Apa yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. kepada para sahabatnya, “apabila datang seseorang meminta, agar kebutuhannya dapat dipenuhi” (HR.

Page 5: GRASI DI INDONESIA

Muttafaq ‘alaih [al-Bukhari dan Muslim]), merupakan penjelasan bahwa orang yang memberikan syafa’at akan diberi pahala karena tindakan tersebut diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.[10]

3.      Fungsi Grasi.

Seorang Raja sering dipandang sebagai sumber keadilan dan wewenang mengadili sepenuhnya berada ditangan raja. Tapi dalam jalan sejarahnya, ditambah pula dengan dilepaskannya wewenang mengadili dari tangan raja sebagai akibat dari pembaharuan ketatanegaraan dunia dengan “Trias Politika” yang. dipelopori oleh Montesque. Maka, sifat dari grasi itu bergeser kepada jurusan anggapan, bahwa hak grasi itu harus dilihat sebagai tindakan keadilan, untuk menghapuskan atau mengurangi ketidakadilan di dalam memperlakukan undang-undang, yang tidak mungkin atau menurut perasaan hakim tidak mungkin dihindarkan.[11]

Pandangan ini agaknya yang lebih tepat dijadikan alasan untuk memberikan grasi, sebab bagaimanapun bentuknya suatu aturan hukum jika tidak menegakkan keadilan maka tidaklah ada artinya menegakkan hukum, dan sekaligus akan merusak citranya badan-badan peradilan.

Adapun setiap keputusan hakim yang sudah tetap tidak dapat diganggu gugat atau diubah kecuali dengan menggunakan upaya hukum yang ada seperti banding atau  kasasi. Dengan kedua macam upaya hukum inilah keputusan hakim atau pengadilan yang sudah tetap dapat diubah dan atau dikukuhkan. Baik banding maupun kasasi, keduanya berfungsi sebagai alat koreksi terhadap keputusan hakim dalam usaha mencari dan menerapkan keadilan yang berada di luar perhitungan hakim pengadilan tingkat sebelumnya. Sebab tidak mustahil keputusan hakim tersebut ada di antaranya yang tidak cocok dengan keadilan yang murni dalam pandangan manusiawi, disebabkan antara lain keterbatasan kemampuan seorang hakim disatu pihak atau karena lemahnya pembuktian, sedang dilain pihak seorang hakim tidak boleh menolak atau tidak menberi putusan terhadap suatu perkara yang ada dalam wewenangnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, lalu bagaimanakah fungsi grasi ? Apabila upaya hukum seperti banding atau kasasi itu sebagai alat kontrol yang dapat mengubah atau mengukuhkan putusan maka berbeda dengan grasi, di mana sesuai dengan perkembangan sifat grasi sebagai kontrol terhadap pelaksanaan keputusan hakim, yang dihubungkan dengan pelaksanaan dan akibat dari pelaksanaan putusan itu, sehingga dapat diberikan grasi pelaksanaan hukuman dapat dirubah, akan tetapi tidak merubah materi dan eksistensi putusan hakim. Fungsi grasi hanya terbatas kepada mangeksekusikan pelaksanaan hukuman baik sebagian maupun semuanya.

Sebagai bahan perbandingan selanjutnya perlu ditambahkan sepintas, tentang upaya-upaya lainnya sebagai hak presiden untuk menggugurkan hukuman, dan atau meniadakan, tuntutan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yakni amnesti dan abolisi. Amnesti jangkauannya lebih luas lagi, di mana amnesti tidak hanya sekedar menggugurkan hukuman atau mengekskusikan hukuman tapi juga untuk meniadakan wewenang bagi penuntut umum untuk mengadakan penuntutan sehingga kejahatan, yang dilakukan oleh seseorang tersangka dianggap tidak ada. Sedangkan Abolisi adalah hak presiden untuk menghentikan dan meniadakan penuntutan, dilakukan terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan terhadap siapapun yang telah dimulai dengan penuntutan.[12]

Page 6: GRASI DI INDONESIA

Amnesti dan Abolisi adalah hak Presiden, sebab baik amnesti maupun abolisi keduanya dapat diberikan oleh kepala negara setelah mendapat persetujuan Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan alasan untuk diberikan amnesti atau abolisi adalah “atas kepentingan negara”[13] bukan karena alasan yang lain. Di Indonesia, pemerintah telah memberikan ammesti dan abolisi antara lain kepada mantan-mantan pengikut PRRI/Permesta.

Setelah memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat ditarik garis pemisah perbedaannya sebagai berikut :

a.      Banding dan kasasi keduanya berfungsi sebagai upaya hukum untuk merubah atau mengukuhkan putusan pengadilan. Kedua jenis upaya hukum ini adalah wewenang pengadilan dan dilakukan dengan proses pengadilan pula, dalam usaha memperbaiki putusan hakim atau pengadilan ditingkat sebelumnya.

b.      Grasi juga sebagai upaya hukum, dengan memberikan pengampunan untuk mengekskusikan hukuman sebagai hak prirogative Kepala Negara. Pertimbangan dalam memberikan grasi lebih dititik beratkan kepada pandangan akan akibat dari pelaksanaan hukuman, serta dilakukan diluar proses pengadilan, sebab grasi tidak menyinggung putusan pangadilan.

c.       Amnenti dan Abolisi juga adalah hak Presiden dengan persetujuan Mahkamah Agung, yang dengan diberikan amnesti, abolisi dapat mengeksekusikan hukuman, menghentikan penuntutan dan meniadakan penuntutan terhadap seseorang atau beberapa orang yang melakukan kejahatan.

Dengan memperhatikan akan sifat grasi itu sendiri dan dihubungkan dengan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa grasi, di samping memberikan ampunan juga mengkoreksi pelaksanaan hukuman sebagai hasil putusan hakim. Mengingat bahwa alat koreksi semacam ini bukanlah wewenang sembarang orang melainkan wewenang Kepala Negara, sedangkan seorang Kepala Negara menurut sistem Ketatanegaraan Modern di abad ini tidak berwenang mencampuri pekerjaan peradilan bahkan dilarang. Maka hanya dengan hak grasi seorang Kepala Negara dapat campur tangan terhadap pekerjaan peradilan yakni dengan dapat merubah atau meniadakan pelaksanaan hukuman atas hasil putusan pengadilan atau hakim. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa fungsi grasi adalah sebagai jalan bagi seorang Kepala Negara untuk dapat mencampuri pekerjaan peradilan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam usaha memindahkan siterpidana dari hukuman yang sedang berlaku demi alasan-alasan tertentu.

4.      Analisis.

Lazimnya, pemberian grasi ini hanya kepada para terpidana mati saja, akan tetapi pada hakikatnya tidaklah tertentu kepada satu hukuman saja, melainkan setiap hukuman dapat diberi grasi dengan batasan sebagaimana yang dijelaskan di dalam undang-undang grasi pasal 2 ayat (2) yakni, putusan pemidanaan mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Sedangkan di dalam fiqh Islam, pengampunan hukuman hanya berlaku pada hukuman qishash-diat dengan sebutan al-syafa’at, di mana hal tersebut juga bermakna grasi namun tatacaranya yang berbeda. Sebab pengampunannya bukanlah milik seorang kepala negara.

Page 7: GRASI DI INDONESIA

Sedangkan pada hukuman had, tidak berlaku pengampunan apabila sudah diputuskan oleh hakim atau qadhi. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan ;

�ب7 ع�ي ش �ن� ب ع�م�ر�و ع�ن� ح�د�ث ي �ج7 ي جر� �ن� اب م�ع�ت س� ق�ال� و�ه�ب7 �ن اب � نا �ر� ب خ�� أ �م�ه�ر�ي� ال د�اود� �ن ب �م�ان �ي ل س �ا �ن ح�د*ث

�حدود� ال �ع�اف�وا ت ق�ال� *م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الل*هم ص�ل*ى الله� سول� ر� �ن* أ �ع�اص� ال �ن� ب ع�م�ر�و �ن� ب الله� �د� ع�ب ع�ن� �يه� ب� أ ع�ن�

} داود } أبو رواه و�ج�ب� ف�ق�د� Uح�د م�ن� �ي �غ�ن �ل ب ف�م�ا م� �ك �ن �ي ب ف�يم�ا

Artinya : “Diceritakan kepada kami oleh Sulaiman bin Daud al-Mahry; Dikabarkan kepada kami oleh ibn Wahbin berkata, aku mendengar ibn Juraij memperbincangkan tentang masalah ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; saling memaafkanlah kalian dalam masalah hukum had selama masih dalam urusan kalian, maka jika telah sampai kepadaku permasalahan had tersebut, maka ia wajib untuk dilakasanakan.” [HR. Abu Daud]

Dalam hal ini, hukuman yang sudah dijatuhkan oleh seorang hakim dari hukuman had ini tidak boleh ditawar lagi atau diampuni. Akan tetapi, sebelum permasalahan tersebut diputus oleh seorang hakim, ia harus terlebih dahulu berusaha untuk memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak yang bersengketa untuk berdamai dan saling memaafkan (hal ini dalam hukum perdata dikenal dengan sebutan mediasi).

Di samping itu, hakim hendaklah selalu berhati-hati jangan sampai salah dalam menjatuhkan hukuman. Artinya, jika hakim tidak menemukan keyakinan yang kuat, maka ia tidaklah boleh menjatuhkan hukuman. Adapun pengurangan hukuman terhadap had atau pengecualian hukuman terhadap had, bukanlah sebuah pengampunan, melainkan rukhshah. Sebagai contoh adalah, hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

ق�ال� م�ات� و�ط7 س� �ة� م�ائ �اه �ن ب ض�ر� �و� ل �ك� ذ�ل م�ن� �ض�ع�ف أ هو� الله� �ي* �ب ن �ا ي وا ق�ال و�ط7 س� �ة� م�ائ ب� ض�ر� �دوه ل اج� ق�ال�} ماجه } ابن رواه و�اح�د�ة] �ة] ب ض�ر� وه ب ف�اض�ر� اخ7 م�ر� ش� �ة م�ائ ف�يه� [ �اال �ك ث ع� �ه ل ف�خذوا

Artinya : “Rasul bersabda; pukullah ia dengan jilid seratus kali. Mereka berkata; wahai Nabi Allah, dia itu lebih lemah dari itu, jika kami pukul seratus jilid niscaya ia akan mati. Berkata Nabi; ambillah satu ikat lidi yang terdiri dari saratus lidi lalu pukullah ia satu kali pukullan.” [HR. Ibn Majah]

Contoh lain adalah mengenai hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri di suatu musim paceklik, karena maksud hanya untuk menghidarkan diri dari kematian atau menyelamatkan diri, jadi bukan mencuri karena hawa nafsu untuk sengaja mengambil atau memiliki barangnya. Mengenai masalah ini, para ulama fiqh sepakat bahwa tidak dipotong tangan pencuri dalam musim paceklik, karena darurat membolehkan untuk mencapai harta orang lain sekedar hajat, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Makhal bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; tidak dipotong dalam musim paceklik yang menimbulkan keadaan darurat.

Lalu bagaimanakah dengan hukuman ta’zir? Berhubungan dengan hal ini, hukuman ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, maka dari segi pengampunan juga demikian

Page 8: GRASI DI INDONESIA

pula, baik dengan sistem grasi atau lainnya. Dengan demikian, hukuam ta’zir dapat diberi grasi. Hal ini senafas dengan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

�ن* أ ة� �ش� ع�ائ ع�ن� ة� ع�م�ر� ع�ن� �يه� ب� أ ع�ن� �ر7 �ك ب �ي ب

� أ �ن� ب مح�م*د� ع�ن� �د7 ي ز� �ن ب �م�ل�ك� ال �د ع�ب �ا �ن ح�د*ث ح�م�ن� الر* �د ع�ب �ا �ن ح�د*ث} أحمد } رواه �حدود� ال �ال* إ �ه�م� ات �ر� ع�ث �ات� �ئ �ه�ي ال ذ�و�ي و �ق�يل أ ق�ال� *م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله ص�ل*ى الله� سول� ر�

Artinya : “Diceritakan kepada kami oleh Abd al-Rahman; diceritakan kepada kami oleh Abd al-Malik bin Zaid dari Muhammad bin Abi Bakr dari ayahnya dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, bawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; entengkanlah hukuman terhadap orang yang berbuat maksiat dari orang-orang yang baik-baik, melainkan terhadap hukuman had.” [HR. Ahmad]

Adapun dari segi wewenang pemberian ampunan/grasi ini, maka yang berwenang memberikan garasi hanyalah Kepala Negara. Dalam sistem Hukum Pidana Umum, tidak ada jalan lain untuk memberikan pengampunan kepada para terpidana yang dalam arti, perbuatan jahatnya tidak terhapus, kecuali dengan menggunakan grasi. Hal ini tidak sejalan dengan hukum Islam, sebab dalam Islam, pengampunan adalah hak orang yang teraniaya dan hak penguasa termasuk orang yang menjatuhkan hukuman dalam hukum takzir.

Apabila wewenang ini hanya ditangan Kepala Negara, maka walaupun pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada penguasa di bawahnya, itu merupakan intruksi saja. Jika demikian, maka kebebasan pihak pengadilan tidak akan pernah ada lagi. Sedangkan dalam hukum ta’zir, wewenang memberikan pengampunan ada ditangan hakim yang memutuskan perkara. Jadi, bukan wewenang Kepala Negara, hanya saja hakim boleh mengambil kebijaksanaan menyerahkan kepada Kepala Negara untuk memberikan pengampunan.

Kemudian, mengapa tujuan ketentuan grasi harus diatur oleh undang-undang :

a.      karena untuk menghindarkan ketidakadilan yang mungkin terjadi sebagai akibat dilaksanakannya hukuman;

b.      karena untuk membela dan menegakkan kepentingan Negara.

Dalam hal ini, ajaran Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar mengegakkan dan menjalankan keadilan, sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan di dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 58 yang memerintahkan untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan seseorang harus bersikap adil dalam menetapkan suatu hukum.

Berdasarkan ayat ini, maka jelaslah bahwa prinsip keadilan merupakan hal yang harus ditegakkan, dan tentunya lebih ditekankan kepada para pemimpin dan penguasa yang senantiasa melayani kepentingan masyarakat. Ayat ini merupakan salah satu dari sekian banyak dalil naqli tentang menjalankan dan menegakkan keadilan.

Berbicara tentang adil, sungguh sudah menjadi problem pemikiran para ahli, lalu apakah yang sebenarnya disebut dengan adil? Dalam hal ini, penulis lebih conodng dengan arti “adil” secara lughatan yakni “sesuatu yang tidak lazim”. Dengan demikian, orang yang adil adalah orang yang

Page 9: GRASI DI INDONESIA

menjalankan hukum menurut hukum Allah. Sebab siapa yang tidak menghukumi sesuatu dengan hukum Allah maka dia adalah zhalim, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 45.

Nampaknya grasi merupakan salah satu alat untuk mencari keadilan, dan menegakkan keadilan adalah wajib hukumnya. Menggunakan suatu alat untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib. Sebagaimna kaidah fiqh merumuskan ;

ال واجب  ما فهـو به إال الواجب يتم

Artinya : “Sesuatu yang wajib tidak akan sempurna kecuali dengannya sesutu itu, maka hukumnya adalah wajib pula.”

Tujuan kedua adalah membela dan menegakkan kepentingan negara. Tujuan semacam ini dalam Islam memang sudah merupakan suatu prinsip yang sudah digariskan untuk dilaksanakan. Hal ini dapat diambil dari pengertian salah satu ayat di dalam al-Qur’an, surat al-Hajj ayat 39-40 ;

�ق�د�ير- } ل �ص�ر�ه�م� ن ع�ل�ى الله� �ن* و�إ �موا ظل *هم� ن� �أ ب �لون� ق�ات ي *ذ�ين� �ل ل ذ�ن� ح�قU{ 39أ �ر� �غ�ي ب �ار�ه�م� د�ي م�ن� خ�ر�جوا أ *ذ�ين� ال

* �ال الله …} إ �ا �ن ب ر� وا �قول ي �ن� {40أ

Artinya : “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. [39] (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…[40]”

Menumpas kezhaliman adalah di antara tugas utama suatu negara, oleh sebab itu segala usaha untuk itu harus dilakukan, termasuk perang yang cukup berat dan berbahaya. Grasi adalah hal yang lebih ringan dan tujuannya adalah menghindarkan ketidakadilan. Apabila berperang saja dibolehkan, tentulah grasi demikian pula diperbolehkan. Menghindarkan ketidakadilan berarti menolak kerusakan. Kaidah fiqh merumuskan ;

المصالح جلب على مقدم المفاسد درء

Artinya : “Menolak kerusakan harus didahulukan dari menerima mashlahat.”

Dengan demikian, ditinjau dari segi tujuan ini maka dapat difahami bahwa ;

a.      Jika dalam suatu negara campur tangan Kepala Negara terhadap urusan peradilan (mengoreksi, meninjau putusan hakim) dilarang, maka grasi dipandang perlu adanya.

b.      Dalam suatu negara yang berlaku undang-undang Islam (qawanin al-Islam), maka grasi dipandang tidaklah diperlukan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami bahwa mengapa masalah ampunan/grasi ini harus diatur di dalam undang-undang adalah, karena hal tersebut merupakan hak dari seorang kepala negara. Dan agar tidak terjadi penyelewengan hak, maka perlu diatur oleh undang-

Page 10: GRASI DI INDONESIA

undang. Adapun grasi itu tidak dapat diperlakukan dalam suatu negara yang di dalamnya berlaku syari’at Islam secara murni, adalah karena grasi tersebut dapat meniadakan arti keputusan pengadilan disuatu pihak dan dipihak yang lain dapat menciptakan kediktatoran Kepala Negara.

C. Kesimpulan.

Kesimpulannya adalah, bahwa di Indonesia, setiap hukuman dapat diberi grasi dengan batasan sebagaimana yang dijelaskan di dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi pasal (2) ayat (2) yakni, putusan pemidanaan dengan hukuman pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Sedangkan di dalam hukum Islam, pengampunan hukuman hanya berlaku pada hukuman qishash-diat dengan sebutan al-‘afwu dan al-syafa’at yang juga bermakna grasi, namun tatacaranya yang berbeda. Sedangkan pada hukuman had tidak berlaku pengampunan apabila sudah diputuskan oleh hakim atau qadhi. Dari segi wewenang pemberian ampunan/grasi, maka yang berwenang memberikan grasi hanyalah Kepala Negara. Dalam sistem Hukum Pidana Umum, tidak ada jalan lain untuk memberikan pengampunan kepada para terpidana yang dalam arti, perbuatan jahatnya tidak terhapus, kecuali dengan menggunakan grasi. Hal ini tidak sejalan dengan hukum Islam, sebab dalam Islam, pengampunan adalah hak orang yang teraniaya dan hak penguasa termasuk orang yang menjatuhkan hukuman dalam hukum ta’zir.

[1] Sholeh Soeadi,S.H, Perpu 1/2002 Terorisme ditetapkan Presiden Megawati, (Jakarta: Durat Bahagia, 2002), h. 8

[2] TM Hasbie ash Shiddiqie, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1969), h. 110

[3] Imam Malik, al-Muwata’ “kitab hudud” bab tarku al ‘afwa fi qta’I as sariq iza rafi’a as sultan, (t.t.: Dar al Hayyi al ‘arabi, 1951), h. 484

[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 260

[5] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ketiga, h. 371

[6] Redaksi Asa Mandiri, Tiga UUD Republik Indonesia; UUD RI 1945 Hasil Amandemen; Konstitusi RIS 1950; UUD Sementara RI 1950, (Jakarta: Asa Mandiri, 2007), h. 127

[7] Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap; Pertama 1999-Keempat 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 10

[8] Abdul Aziz Dahlan (et al.)., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), h. 411

Page 11: GRASI DI INDONESIA

[9] Ali bin Muhammad as-Sayyid as-Sarif al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Hikmah, t.th.), h. 128

[10] Abdul Aziz Dahlan (et al.)., op.cit., h. 412

[11] R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Tiara, 1959), h. 180

[12] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliyah, (Jakarta: Balai Lektor Mahasiswa, t.th.), Jilid II, h. 296

[13] Utrecht, Ringkasan Sari Kuliyah Hukum Pidana II, (Bandung: PT. Penerbitan Universitas, 1962), h. 244