GOVERNANCE THE COMMON SUNGAI CITARUM.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • SUNGAI CITARUM DALAM PERSPEKTIF TEORI GOVERNANCE OF

    THE COMMONS

    Oleh : Kristian ([email protected]/[email protected])

    I. PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Ramai di berbagai media bahwa Sungai Citarum di Jawa Barat menurut laporan

    organisasi lingkungan Green Cross Swiss dan organisasi nirlaba Blacksmith

    Institute Internasional menjadi 10 tempat paling tercemar di dunia pada tahun

    2013. Sungai Citarum merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 9 juta

    manusia yang hidup di sekitarnya, dan juga bagi sekitar 2.000 pabrik yang berdiri

    di sepanjang aliran sungai tersebut. Sungai ini, menurut hasil penelitian yang

    dilakukan oleh kedua organisasi dimaksud, terkontaminasi limbah yang

    mengandung aluminium dan mangan. Dari hasil tes, air yang biasa diminum oleh

    warga di sekitar Sungai Citarum berada di level sangat berbahaya karena 1.000

    kali di atas standar berbahaya yang ditetapkan di Amerika Serikat

    (http://nationalgeographic.co.id).

    Menurut Greenpeace dalam website resminya, air yang mengalir melalui Citarum

    telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia

    beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500

    pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka,

    sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung

    jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa

    pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah). Pada tingkat

    pengelolaan Sungai Citarum juga memiliki banyak permasalahan. Adalah temuan

    Badan Pemeriksa Keuangan di Tahun 2012 yang menyebutkan ketidakefektifan

    pengelolaan Sungai Citarum dilakukan oleh pemerintah daerah dan Pemerintah

    Pusat, dimana pada tataran Pemerintah Pusat terdapat dua roadmap yang berbeda

    antara milik Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum mengenai pengelolaan

    Daerah Aliran Sungai Citarum. BPK kemudian menginstruksikan Bappenas

    untuk, bersama Kementerian PU, mengelola roadmap Citarum sesuai dengan

  • perjanjian dalam loan Integrated Citarum Water Resource Management

    Investment Program Nomor 2500-INO (SF) dan 2501-INO (SF).

    Sungai merupakan sumber daya air yang memiliki sifat dan karakteristiknya

    berbeda dengan sumber daya lain. Menurut Pangesti dalam Samun Jaja Raharja

    (2008) sifat sungai mengalir dari hulu ke hilir, sehingga apa yang dilakukan di

    hulu akan memberi dampak pada hilir. Dampak pemanfaatan air di hulu akan

    menghilangkan peluang di hilir pencemaran di hulu akan menimbulkan biaya

    sosial di hilir (externality cost) dan sebaliknya pelestarian di hulu akan memberi

    manfaat di hilir. Dalam suatu wilayah sungai, lanjut Samun Jaja Raharja (2008),

    banyak terdapat institusi yang terlibat secara langsung dan tidak langsung.

    Masing-masing institusi merasa paling berhak melakukan pengelolaan,

    menggunakan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing.

    Akibat dari hal ini terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan

    kewenangan pengelolaan.

    Pertanyaan Penelitian

    Bagaimanakah pengelolaan Sungai Citarum dalam konteks teori Governance of

    the Commons

    Tujuan Penelitian

    Untuk merumuskan pengelolaan Sungai Citarum dalam konteks teori

    Governance of the Commons

    II. DESKRIPSI KASUS

    Sungai Citarum adalah sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat,

    Indonesia. Sungai Citarum dengan panjang 269 km bersumber dari mata air

    Gunung Wayang (di sebelah selatan kota Bandung), mengalir ke utara melalui

    bagian tengah wilayah Provinsi Jawa Barat dan bermuara di Laut Jawa.

    Berdasarkan Permen PU No.11A Tahun 2006, wilayah sungai Citarum

    merupakan wilayah sungai lintas Provinsi (Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-

    Ciliwung-Citarum merupakan wilayah sungai lintas Provinsi Banten-DKI

    Jakarta-Jawa Barat) yang kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah

    Pusat. Sungai Citarum berperan penting bagi kehidupan sosial ekonomi

  • masyarakat khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Citarum digunakan

    sebagai sumber air baku air minum (6%), irigasi pertanian (86,70%), sumber air

    perkotaan (0,370%) serta sebagai pemasok air untuk kegiatan rumah tangga dan

    industri (2%), sedang sisanya tidak terpakai (www.citarum.org).

    Dalam dua puluh tahun terakhir ini kondisi lingkungan dan kualitas air di

    sepanjang Sungai Citarum semakin menurun. Dalam kurun waktu ini jumlah

    penduduk, permukiman dan kegiatan industri di sepanjang aliran sungai

    bertambah dan berkembang dengan pesat. Salah satu faktor utama yang

    mempercepat pencemaran sungai ini adalah perilaku yang kurang baik seperti

    membuang limbah dari industri dan rumah tangga langsung ke sungai tanpa

    melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

    Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di

    Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka menurut Pusat Pengelolaan

    Ekoregion Jawa Kementerian Lingkungan Hidup (http://ppejawa.com), DAS

    Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu:

    Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang Ujung Saguling

    Zona Citarum Tengah : Saguling Cirata Jatiluhur

    Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir Muara Citarum

    Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi

    kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa

    perencanaanyang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah

    konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin

    tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk

    ke jaringan prasarana air. Permasalahan di daerah Citarum Tengah disebabkan

    tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung yang berdampak

    terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan,

    pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke

    Sungai Citarum. Berdasarkan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung rata-

    rata produksi sampah sebesar 6.500 m3 per hari, dimana 1500 m3 diantaranya

    tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang

    tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar

  • 500.000 m3 pertahun. Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya

    alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat

    berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi

    prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi,

    kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di

    muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan

    daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum

    disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus dimana

    Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir. Bersamaan dengan

    meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di

    Karawang yang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di

    Karawang tidak mampu lagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi

    banjir di Telukjambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang

    dan Kabupaten Bekasi.

    III. ANALISA

    Pendekatan Teori Governance of the Common dalam Pengelolaan Sungai

    Teori Governance of the Commons dikemukankan oleh Elinor Ostrom dimana

    mula-mula dia mengemukakan mengenai fenomena pengurasan sumber daya

    alam yang telah mengalami kegagalan dalam pengolaannya. Pengelolaan sumber

    daya alam berkutat pada pertanyaan seberapa baik pembatasan penggunaannya

    sehingga dapan mempertahankan keberlangsungan jangka panjang nilai

    ekonomis dari sumber daya alam tersebut. (Elinor Ostrom, 1990:1).

    Sumber daya alam, seperti lahan peternakan, lahan perikanan, hutan, air,

    memiliki permasalahan dalam pengelolaannya. Adapun masalah pengelolaannya

    telah dikemukakan oleh Garrett Hardin di tahun 1968 dengan ungkapan the

    tragedy of the commons. Sumber daya alam yang bersifat gratis atau disebut

    Olstrom sebagai sumber daya bersama (common pool resources) sangat terbuka

    bagi siapapun untuk mengelolanya. Semua orang merasa memiliki hak untuk

    menggunakannya, sehingga tiap-tiap orag tersebut akan selalu memaksimalkan

    kepentingan pribadinya dan akibatnya sumber daya alam akan selalu

    dieksploitasi. Atau seperti ungkapan H. Scott Gordon dalam Olstrom (1990:3)

  • yang menyatakan bahwa segala sumber daya atau kekayaan alam yang bebas

    dimiliki siapapun tidak akan dianggap penting oleh siapapun, dan bagi siapapun

    yang secara lugu menunggu waktu yang tepat untuk menggunakan sumber daya

    tersebut pada akhirnya akan mendapati kenyataan bahwa orang lain telah

    menghabiskannya. Hal yang bisa juga diambil dari pendekatan the tragedy of the

    commons tersebut adalah adanya permasalahan free rider (Olstrom 1990:6)

    dengan asumsi disaat seseorang tidak bisa dikecualikan dari manfaat yang

    disediakan oleh orang lain (pengelolaan sumber daya bersama yang merupakan

    barang publik), maka tiap-tiap orang akan termotivasi untuk tidak memberikan

    kontribusinya.

    Dalam paparan lainnya Olstrom juga menyatakan ketika suatu unit sumber daya

    bersama menghasilkan manfaat untuk banyak pihak maka penggunaan oleh satu

    pihak akan menimbulkan ekternalitas negatif untuk pihak lainnya, dimana suatu

    sumber daya alam publik yang tidak diatur akan tereksploitasi sedemikian rupa

    sehingga lama kelamaan akan hancur (Elinor Ostrom, 2002).

    Untuk mengantisipasi the tragedy of the commons sebagian menyarankan untuk

    menyerahkan kepada negara dalam pengelolaan sumber daya bersama, sebagian

    lagi menyarankan kepada pengelolaan privat. Untuk yang mengedepankan peran

    negara dalam pengelolaannya memiliki asumsi bahwa kepentingan pribadi tidak

    dapat diharapkan untuk melindungi kepemilikan publik sehingga diperlukan

    kekuasaan yang memaksa untuk mengelola sumber daya bersama yang ada.

    Tetapi, Olstrom menanggapi pendekatan kekuasaan negara tersebut dengan

    pernyataan bahwa kekuasaan yang terkontrol hanya bisa dilakukan dengan

    asumsi-asumsi keakuratan informasi yang ada, kemampuan monitoring yang

    baik, kemampuan memberi sanksi yang baik serta minimnya biaya administrasi

    dalam pengelolaan sumberdaya bersama oleh kekuasaan negara (Olstrom,

    1990:10).

    Adapun pihak-pihak yang mengedepankan privatisasi sumber daya bersama

    menyatakan bahwa dengan hak kepemilikan pribadi akan didapatkan pengelolaan

    sumber daya alam yang efektif. Sumber daya bersama yang ada akan dibagi

    dengan adil kepada tiap orang sehingga masing-masing orang dapat mengelola

  • dan memonitor sumber daya miliknya sendiri. Kritik Olstrom terhadap

    pendekatan ini mengemukakan bahwa mereka mengasumsikan sumber daya

    yang ada adalah homogen dan tetap. Pendekatan privat tersebut tidak akan

    berhasil untuk sumber daya yang bersifat tidak tetap seperti sistem pengairan

    maupun perikanan. Kritik Olstrom ini dapat digambarkan pada pengelolaan

    aliran sungai, dimana jika hak privat berkuasa atas kepemilikan sungai maka

    pihak yang berada di hulu sungai akan membendung wilayah sungainya dan

    menggunakannya hanya untuk kepentingan pribadinya saja dimana hal tersebut

    tentunya akan merugikan pihak di hilir sungai. Pada akhirnya, ketiadaan

    kelembagaan tata kelola akan memposisikan sumber daya alam terancam oleh

    peningkatan populasi manusia, konsumsi maupun dari kehadiran teknologi.

    Ostrom kemudian mengemukakan bahwa dalam suatu komunitas kerjasama,

    aturan dan kelembagaan yang tidak bersifat pasar ataupun yang tidak dihasilkan

    oleh perencanaan terpusat dapat muncul dari komunitas dan menjaga

    keberlangsungan pengelolaan sumber daya alam secara bersama-sama. Argumen

    ini didapatkan Olstrom dari salah satu pengamatan empirisnya yaitu di sistem

    perikanan Alanya Turki (Ostrom, 1990:20).

    Suatu tata kelola sumber daya yang efektif di dalam komunitas yang bekerjasama

    dapatlah dicapai ketika (i) sumber daya alam dan penggunaannya oleh manusia

    dapat dimonitor, dan informasi yang ada dapat diverifikasi dan dimengerti

    dengan baik (ii) tingkat perubahan populasi, teknologi ekonomi maupun sosial

    relatif moderat (iii) komunitas menjaga komunikasi tatap muka secara tetap

    sehingga tercipta modal sosial saling mempercayai dan keterbukaan sehingga

    meminimalisir biaya monitoring (iv) pihak luar kelompok dapat dikecualikan

    dalam pengelolaan sumber daya alam dengan biaya minim serta (v) adanya

    dukungan dari anggota kelompok untuk memonitor dan menghormati aturan

    yang telah dibentuk. (Tomas Dietz et.al, 2003).

    Ostrom pada akhirnya merumuskan prinsip-prinsip yang dapat menjaga

    kerjasama kelompok dapat bertahan dengan waktu yang lama (Ostrom, 1990:90),

    yaitu :

  • Ditentukannya batasan-batasan dalam kelompok. Siapa saja anggota kelompok

    dan siapa mendapatkan apa haruslah jelas

    Aturan yang mengelola penggunaan kepemilikan bersama harus sesuai atau

    seiring senada dengan kebutuhan dan kondisi lokal

    Anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan yang ada

    Terdapatnya suatu sistem monitoring terhadap perilaku anggota yang dilakukan

    oleh masing-masing anggota secara bersamaan

    Penerapan sanksi secara bertingkat dengan melihat tingkatan kesalahan

    Tiap anggota komunitas memiliki akses pada mekanisme penyelesaian konflik

    yang minim biaya

    Adanya pengakuan dari pihak yang berwenang terhadap nilai-nilai yang dianut

    oleh komunitas sehingga legitimasinya diakui

    Untuk sistem sumber daya bersama yang besar, ketujuh prinsip di atas

    diorganisir dalam sitem jaringan

    Sebagai sumber daya bersama, aliran sungai dicirikan oleh dua hal (Samun Jaja

    Raharja, 2008.). Pertama adalah pengecualian (exclusion) terhadap pengguna

    potensional sangat mahal, hampir sama dengan besarnya pembangunan fasilitas

    pembagian air karena sifat dari aliran air tersebut. Kedua, pada suatu saat aliran

    sungai akan berkurang sehingga penggunaan air oleh seseorang akan mengurangi

    jumlah yang tersedia untuk orang lain.

    Pengelolaan air khususnya sungai di Indonesia masih bersifat sentralistik dan

    hirarkial, seperti dapat dilihat pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

    2004 tentang Sumber Daya Air yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat

    memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk :

    a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;

    b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

    provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

    c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

    provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

  • d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai

    lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis

    nasional;

    e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

    provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;

    f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,

    penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas

    provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategi nasional;

    g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,

    peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah

    lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;

    h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air

    wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai

    strategis nasional;

    Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Sungai Citarum

    ditetapkan sebagai Wilayah Sungai Strategis Nasional sehingga pengelolaannya

    ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dikaitkan dengan teori governance of the

    common, pengelolaan suatu sumber daya bersama oleh negara adalah salah satu

    cara untuk mengantisipasi terjadinya tragedy of the commons. Tetapi hal tersebut

    dapat berhasil jika asumsi-asumsi yang berkaitan dengan keakuratan informasi,

    kemampuan monitoring, pemberian sanksi dan minimnya biaya pelaksanaan

    dapat terpenuhi. Dalam pengelolaan Sungai Citarum yang memiliki panjang 269

    km, informasi yang harus dikumpulkan untuk dapat membuat suatu perencanaan

    yang baik dan pelaksanaan monitoring sangatlah masif dan menimbulkan biaya

    yang tinggi. Kecenderungan yang ada akan terkumpul informasi yang tidak

    akurat dan lemahnya monitoring. Jika monitoring lemah dapat dipastikan banyak

    terjadi pelanggaran yang dilakukan dalam pengelolaan Daerah Sungai Citarum.

    Hal ini dapat dilihat dari maraknya pembuangan limbah rumah tangga dan

    industri ke aliran Sungai Citarum. Hal lain dari ketidakberhasilan pengelolaan

    sentralistik terlihat dimana sejak tahun 2008, Bappenas telah menyusun peta

  • Citarum yang diterjemahkan dalam proyek Integrated Citarum Water Resources

    Management Investment Program (Program Investasi Pengelolaan Sumber Daya

    Air Citarum Terpadu/ICWRMIP) dengan dana utang dari Bank Pembangunan

    Asia (ADB) senilai Rp 16 triliun. Program ini berlangsung 30 tahun dan dibagi

    dalam dua tahap, masing-masing tahap 15 tahun, tetapi sampai sekarang program

    yang telah menghabiskan dana Rp. 9 Trilyun pada tahap pertama pelaksanaan

    belumlah memberi manfaat yang signifikan untuk masyarakat maupun Sungai

    Citarum sendiri.

    IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

    Kesimpulan

    Sumber daya bersama yang tidak diatur akan tereksploitasi sedemikian rupa

    sehingga lama kelamaan akan hancur

    Pengelolaan suatu sumber daya bersama tidak serta merta hanya mengacu di antara dua

    pilihan saja, menyerahkan pada pengelolaan negara atapun memberikan kebebasan

    dalam hak milik pribadi saja.

    Kekuasaan yang terkontrol hanya bisa dilakukan dengan asumsi-asumsi

    keakuratan informasi yang ada, kemampuan monitoring yang baik, kemampuan

    memberi sanksi yang baik serta minimnya biaya administrasi dalam

    pengelolaan sumberdaya bersama oleh kekuasaan negara

    Kepemilikan pribadi akan sumber daya bersama akan menimbulkan eksternalitas

    negatif bagi pihak lain

    Pengelolaan Sungai Citarum sangat tidak efektif karena terlalu sentralistis sehingga

    terjadi kerusakan lingkungan yang signifikan serta pemborosan anggaran

    Rekomendasi

    Perlu diubahnya pola pikir sentralistik (government) dalam pengelolaan Daerah Aliran

    Sungai Citarum menjadi tata kelola (governance) berskala komunitas

    Perlu ditingkatkannya partisipasi dan peran masyarakat dalam pengelolaan Sungai

    Citarum serta memberi akses kepada masyarakat untuk membentuk komunitas dalam

    pengelolaannya yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kondisi lokal

    Perlu diterapkan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar

  • Perlu dibentuk jaringan komunitas dalam pengelolaan Sungai Citarum yang dibagi

    menjadi tiga bagian jaringan besar yaitu Sungai Citarum Hulu, Tengah dan Hilir

    sehingga dapat meminimalisir biaya pencarian informasi dan monitoring

    Perlunya kejelasan status hukum dari Daerah Aliran Sungai Citarum

    Perlunya peningkatan koordinasi antar instansi dan antara tingkat pemerintah dalam

    pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum

    Perlu dilakukan normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam

    penampungan banjir, sumur-sumur resapan, pembangunan waduk dan embung,

    penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistem penyediaan air minum

    dan air kotor, rehabilitasi jaringan irigasi serta pengembangan pembangkitan

    tenaga listrik yang ke depannya dalam pengelolaannya diserahkan kepada

    komunitas-komunitas masyarakat yang ada

    KEPUSTAKAAN

    Dietz, Tomas et.al. 2003. The Struggle to Govern the Commons. Science.

    American Association for the Advancement of Science. New York.

    Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Intitutions for

    Collective Action. Cambridge University Press.

    _________. 2002. Common Pool Resources, Ambienta & Socieda-Ano V-No.

    10-1o Semestre de 2002.

    Jaja Raharja, Samun. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Universitas Indonesia. Jakarta.