37
Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru: Perspektif Ekonomi Islam Written by SUGIANTO Tuesday, 22 May 2012 05:47 font size Print Email Be the first to comment! Rate this item 1 2 3 4 5 (0 votes)

Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru: Perspektif Ekonomi Islam

Written by  SUGIANTO Tuesday, 22 May 2012 05:47 font size Print Email Be the first to comment!

Rate this item

1 2 3 4 5

(0 votes)

Page 2: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

 A. Pendahuluan

Globalisasi adalah suatu proses yang multi-dimensi, meliputi

ekonomi, politik, sosial, budaya dan ideologi.[1] Fenomena

globalisasi mewujud dalam bentuk penyempitan waktu dan ruang

dalam hubungan sosial.[2] Artinya hubungan sosial antara

individu dengan masyarakat maupun antar masyarakat dalam

suatu negara bahkan antar negara telah menjadi begitu

transparan, tidak lagi mengenal batas-batas politik.

Perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi informasi,

perdagangan internasional, serta mobilitas tenaga kerja,

Page 3: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

modal dan keuangan antar negara sejak tiga dasawarsa terakhir

telah mengakibatkan peran ekonomi suatu negara secara

individual terhadap perekonomian global menjadi semakin kurang

penting atau kurang berarti. Tentunya, proses ini telah dan akan

mempengaruhi suatu konstruk sistem sosial suatu masyarakat

yang telah mapan selama ini. Sejauh mana pengaruh ini,

ditentukan oleh bagaimana sebuah masyarakat atau negara itu

memberikan respon terhadap globalisasi tersebut.

Globalisasi, dari perspektif pesimis, dapat mengarah pada

melemahnya lembaga-lembaga ekonomi nasional dalam

menghadapi kekuatan-kekuatan global seperti perusahaan-

perusahaan multinasional dan pasar-pasar uang internasional,

yang muncul adalah kecemasan memasuki abad 21. Globalisasi

hanya akan menghasilkan sedikit pemenang dan sejumlah besar

pecundang. Para calon pemenangnya adalah negara-negara

industri maju, perusahaan-perusahaan multinasional dan kelas

profesional, sedangkan calon pecundangnya adalah sejumlah

besar negara-negara berkembang, usaha-usaha skala kecil dan

menengah serta kelas buruh.[3] Dari perspektif optimis,

globalisasi menjanjikan banyak peluang dan harapan bagi

masyarakat dan negara-negara sedang berkembang untuk

mengejar ketertinggalannya dalam pembangunan bidang

ekonomi dan sosial terhadap negara-negara maju. Beberapa data

empiris memang menunjukkan bahwa negara-negara sedang

berkembang yang terlibat secara aktif dalam globalisasi cendrung

mengalami kenaikan taraf hidup yang lebih baik dibandingkan

Page 4: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

dengan negara-negara yang relatif tertutup terhadap

perekonomian dunia.[4]

Makalah ini berupaya menguraikan jawaban dari beberapa

pertanyaan tentang globalisasi dan pengaruhnya terhadap negara

berkembang (terutama negara-negara Muslim). Pertama, apakah

sebenarnya pengertian dan proses terjadinya globalisasi? Kedua,

apa sajakah dimensi-dimensi globalisasi? Ketiga, bagaimanakah

implikasinya terhadap negara berkembang? Keempat,

bagaimanakah ekonomi Islam memberikan solusi kritis terhadap

implikasi globalisasi tersebut? Makalah ini tidak berusaha

menguraikan pengaruh globalisasi terhadap negara berkembang

dalam segala aspeknya, tetapi penekanan ditujukan pada

hubungannya dengan pembangunan ekonomi di negara

berkembang.

 B. Globalisasi: Pengertian dan Proses

 Pembicaraan tentang ‘globalisasi’ atau ‘global’ akhir-akhir

ini cukup populer. Sebelum dibahas lebih jauh, penjelasan

tentang definisi diperlukan agar lebih jelas. Kata global berasal

dari kata “globe” dan mulai dimaksudkan sebagai planet yang

berarti bumi bulat sejak beberapa abad yang lalu.[5] Dalam

bahasa Inggris kata sifat global populer sejak tahun 1890-an yang

dimaksudkan sebagai “keseluruhan dunia’ dengan tambahan arti

“berbentuk bola”.[6] Istilah-istilah “globalize” dan ”globalism”

dalam penerbitan baru muncul 50 tahun yang lalu,[7] sedangkan

istilah “globalization” pertama sekali muncul dalam sebuah

Page 5: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

kamus (American English) tahun 1961,[8] dan “global village”

dipakai oleh McLuhan tahun 1964,[9] ketika menjelaskan

kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang telah

menciptakan sebuah dunia baru.

 Penggunaan istilah globalisasi dalam wacana keilmuan

kontemporer ternyata mempunyai banyak arti. Menurut hasil

kajian Scholte,[10] definisi globalisasi dapat dibagi kepada lima

konsep. Pertama, globalisasi adalah “internationalization.”[11]

Global adalah kata sifat yang menggambarkan hubungan-

hubungan lintas batas antar negara, dan globalisasi menunjuk

suatu pertumbuhan pertukaran dan saling ketergantungan

internasional. Konsep globalisasi dalam pengertian pertama ini

digunakan oleh Paul Hirst dan Grahme Thomson yang

mengidentifikasi globalisasi dalam pengertian “pertumbuhan dan

perluasan arus perdagangan dan investasi modal antar

negara.”[12] Kedua, konsep globalisasi digunakan dalam arti

“liberalization” yaitu suatu proses menghilangkan pembatasan-

pembatasan yang dibebankan pemerintah terhadap pergerakan-

pergerakan antar negara agar tercipta suatu ekonomi dunia yang

‘terbuka’, ‘tanpa batas’. Sander menyarankan agar globalisasi

menjadi suatu slogan terkemuka untuk menggambarkan proses

integrasi ekonomi internasional.[13] Ketiga, konsep globalisasi

digunakan sebagai “universalization”, yaitu proses penyebaran

berbagai objek dan pengalaman kepada orang di seluruh penjuru

bumi. Pengertian ini yang pertama sekali dimaksud oleh Oliver

Reisre dan B. Davies tahun 1940-an yang menggunakan kata

Page 6: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

kerja “globalize” dalam arti “universalize” dan meramalkan suatu

sistesis budaya planet dalam suatu “humanisme global”.[14]

Keempat, globalisasi berarti “westernization” atau

“modernization”, khususnya dalam suatu bentuk ‘Amerikanisasi’.

[15] Globalisasi adalah suatu dinamika dengan cara modernisasi

struktur-struktur sosial (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme,

birokratisme, dll.) tersebar ke seluruh dunia, biasanya, dalam

prosesnya menghancurkan keberadaan budaya lokal dan

penentuan nasibnya sendiri. Globalisasi digambarkan seperti

imperialisme McDonald’s, Hollywood dan CNN.[16] Martin Khor

menggolongkan kolonisasi Dunia Ketiga termasuk dalam

pengertian ini.[17] Dan kelima, konsep globalisasi diartikan

sebagai “deterritorialization” atau “supraterritorialization”.

Globalisasi membawa suatu penyusunan kembali geografi, agar

ruang sosial tidak lebih panjang pemetaannya dalam pengertian

tempat, jarak dan batas-batas wilayah. David Held dan Tony

McGrew dalam hal ini mendefinisikan globalisasi sebgai “suatu

proses (atau sekumpulan proses) yang mewujudkan suatu

transformasi dalam ruang organisasi hubungan-hubungan dan

transaksi-transaksi sosial”.[18] Tampaknya Scholte sendiri lebih

setuju dengan definisi kelima ini. Menurutnya, globalisasi,

suprateritorial atau istilah lain ‘transworld’, atau ‘transborder”

menggambarkan keadaan dimana ruang wilayah secara

substansial adalah lebih penting.[19]

 Kelima definisi di atas, walaupun terdapat perbedaan

secara substansial tetapi tetap menunjukkan bahwa batas-batas

Page 7: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

wilayah, budaya, politik, sosial dan ekonomi tidak dapat menahan

laju globalisasi. Kelima definisi tersebut mewakili berbagai pola

pemikiran aliran masing-masing. Golablisasi secara substansial

berarti transparannya berbagai batas baik wilayah, politik, sosial,

budaya maupun ekonomi yang selama ini sangat ketat. Walaupun

demikian proses globalisasi dan respon masing-masing negara

berbeda-beda, terutama negara-negara berkembang.

 Dari segi kemunculannya, terdapat perdebatan panjang

tentang awal munculnya globalisasi.[20] Menurut Immanuel

Wallerstein,[21] proses globalisasi dapat dilihat dari tiga tingkat

sistem sosial. Pertama, mini system, yaitu gabungan satu

pembagian kerja[22] dengan satu sistem budaya. Ekonomi

diusahakan melalui pertanian dan perburuan sederhana secara

bersama. Kedua, world-empires, mempunyai sistem budaya yang

beragam tetapi satu sistem politik dengan satu pembagian kerja.

Contoh peradaban Cina, Mesir dan Roma. Dan ketiga, world-

economics, yaitu penggabungan politik dan budaya yang

beragam dalam satu pembagian kerja. Pada tingkat ketiga ini

globalisasi dimulai yaitu pada abad ke-16.

 Scholte[23] membagi proses globalisasi kepada tiga tahap.

Pertama, munculnya suatu imajinasi global hingga abad ke-18.

tahap ini merupakan masa persiapan yang panjang tanpa suatu

konsepsi yang jelas. Globalisasi masih dalam imajinasi dan

pemikiran. Ide-ide tentang bumi sebagai satu tempat sudah ada,

seperti agama-agama “dunia”. Kedua, globalisasi yang baru mulai

Page 8: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

(incipient globalization), bahwa globalisasi sudah bukan imajinasi

dan hubungan-hubungan sosial yang lebih substantif muali

dibangun dari tahun 1850-an hingga 1950-an. Tahap ini dimulai

oleh munculnya teknologi komunikasi, yaitu telegrap tahun 1850-

an, telepon dan radio tahun 1890-an, dan transportasi air tahun

1919. Dimulainya pasar global yang pertama dengan berdirinya

The London Metal Exchange (LME) tahun 1876. tahap ketiga,

globalisasi skala penuh (full-scale globalization), yaitu dimulai

1960-an. Pada tahap ini hubungan-hubungan lintas dunia

mencapai peningkatan yang besar selama empat dekade terakhir

abad kedua puluh baik dari segi jumlah, ragam, intensitas,

kelembagaan, dan pengaruh fenomena globalisasi.

 C. Globalisasi: Suatu Keniscayaan

Globalisasi pada prinsipnya dijelaskan oleh dua kata kunci;

interaksi dan integrasi, yaitu interaksi ekonomi antar negara dan

tingkat integrasinya. Interaksi ekonomi mencakup arus

perdagangan, produksi dan keuangan, sedangkan integrasi

berarti bahwa perekonomian lokal atau nasional setiap negara

secara efektif merupakan bagian tak terpisahkan dari satu

perekonomian tunggal dunia. Karena itu globalisasi ekonomi

dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana perekonomian

nasional dan lokal terintegrasi ke dalam satu perekonomian

tunggal yang bersifat global.[24]

Globalisasi tidak serta merta wujud, tetapi terdapat berbagai

faktor yang mendorong atau menyebabkan globalisasi. Menurut

Page 9: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Scholte,[25] paling tidak terdapat empat penyebab terjadinya

proses globalisasi. Pertama, penyebaran rasionalisme sebagai

kerangka pikir pengetahuan yang dominan. Rasionalisme

merupakan suatu konfigurasi umum tentang pengetahuan yang

meningkatkan penyebaran pemikiran global dan, melalui

rasionalisme tersebut, globalisasi menjadi tren yang lebih luas.

Kerangka pikir pengetahuan itu menyangkut (i) rasionalisme

adalah sekular, bahwa realitas adalah dunia fisik, materi,

meniadakan daya-daya transenden dan ketuhanan; (ii)

rasionalisme adalah antroposentris, bahwa realitas dunia yang

utama untuk kepentingan dan aktivitas manusia (keutuhan

lingkungan tidak diutamakan); (iii) rasionalisme mempunyai

karakter ‘ilmuwan’, bahwa fenomena yang dipahami melalui

metode penelitian ‘objektif’ mempunyai kebenaran yang tak

dapat dibantah; (iv) rasionalisme adalah alat, bahwa rasionalisme

merupakan alat untuk manusia dalam memecahkan masalah

secara cepat. Kedua, perubahan-perubahan utama dalam

perkembangan kapitalisme. Kapitalisme adalah suatu struktur

produksi dimana aktivitas ekonomi diorientasikan pertama dan

terutama kepada akumulasi surplus. Kapitalisme mendorong

globalisasi dalam empat cara: (i) global market (pasar global)

untuk meningkatkan volume penjualan dan mencapai skala

ekonomi tertentu; (ii) glabal accounting harga dan

pertanggungjawaban beban untuk meningkatkan keuntungan; (iii)

global sourcing untuk meminimalisasi biaya produksi; dan (iv)

global commodities sebagai tambahan saluran akumulasi. Ketiga,

Page 10: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

inovasi-inovasi teknologi komunikasi dan pemrosesan data.

Kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah

mendorong komunikasi global, transaksi finasial global, koordinasi

produksi dan pemasaran global, dan aktivitas-aktivitas global

lainnya. Keempat, konstruksi kerangka-kerja regulatory

(peraturan) yang memungkinkan. Regulasi yang menjadi motor

penggerak globalisasi dalam empat cara: (i) standardisasi yang

bersifat teknis dan prosedural; (ii) liberalisasi pergerakan-

pergerakan uang, investasi dan perdagangan lintas batas negara;

(iii) jaminan hak-hak milik modal global; dan (iv) legalisasi

organisasi dan aktivitas global.

Senada dengan pendapat Scholte di atas, menurut Firdausy,[26]

ada tiga motor penggerak dalam globalisasi ekonomi: pertama,

liberalisasi yaitu liberalisasi aliran modal dalam bentuk aliran

uang yang menyertai perdagangan barang dan jasa, penanaman

modal asing dan investasi porto-folio. Kedua, privatisasi, karena

secara teoritis dan praktis dapat berfungsi dalam mengalokasikan

sumber-sumber ekonomi secara lebih efisien dan efektif

dibandingkan dengan nasionalisasi. Kebijakan privatisasi pertama

sekali dicanangkan oleh Perdana Menteri Margareth Tatcher dari

Inggris pada tahun 1979 dan terbukti sukses. Ketiga, deregulasi

yaitu pengurangan berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah

yang tidak pro-pasar dan tidak pro-efisiensi sehingga peran

pemerintah adalah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi

para pelaku ekonomi dan bisnis.

Page 11: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Menurut The Group of Lisbon (1995) sebagaimana dikutip oleh

Firdausy,[27] bentuk globalisasi dapat dikategorikan menjadi

tujuh jenis. Pertama, globalisasi keuangan dan pemilikan modal

melalui deregulasi pasar modal, mobilisasi modal internasional,

merjer dan akuisisi. Kedua, globalisasi pasar dan strategi ekonomi

melalui integrasi kegiatan usaha skala intersional, aliansi

strategis, dan pembangunan usaha terpadu di negara lain. Ketiga,

globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan

pengembangan. Keempat, globalisasi sikap hidup dan pola

konsumsi atau globalisasi budaya. Kelima, globalisasi aturan-

aturan pemerintah. Keenam, globalisasi politik internasional.

Ketujuh, globalisasi persepsi dan sosial budaya internasional.

Menurut Scholte,[28] globalisasi paling tidak berhubungan

dengan empat dimensi, yaitu dimensi produksi, dimensi

pemerintahan, dimensi komunitas, dan dimensi pengetahuan.

Pada dimensi produksi, globalisasi telah menimbulkan global

kapital. Kapital tidak saja menjadi komoditas, tetapi telah menjadi

commodification.[29] Percepatan globalisasi telah memperluas

skop commodifikation ke dalam tiga area. Pertama,

konsumerisme[30] – banyak berhubungan dengan produk global –

telah memperluas bidang industri kapital. Merek-merek global

(global branding) menjadi incaran para konsumen global ini,

seperti Sony, Armani, Michael Jackson, Coca-Cola, dan lain-lain.

Kedua, pertumbuhan skop kapital finansial. Perbankan global,

sekuritas global dan jenis-jenis bisnis global lainnya telah secara

luar biasa meningkatkan volume dan ragam instrument finansial.

Page 12: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Ketiga, globalisasi juga telah menciptakan keadaan-keadaan

pertumbuhan besar dalam kapital komunikasi dan informasi. Pada

dimensi ini globalisasi juga mereorganisasi perusahaan secara

global. Globalisasi pada dimensi pemerintahan mempercepat lima

perubahan umum: (i) berakhirnya kedaulatan negara; (ii)

reorientasi pelayanan suprateritorial sebaik kepentingan wilayah

negaranya; (iii) menurunnya tekanan terhadap jaminan

keselamatan sektor publik; (iv) redefinisi penggunaan

peperangan; dan (v) meningkatnya ketergantungan terhadap

penyusunan regulasi multilateral. Pada dimensi komunitas,

globalisasi mendorong (i) peningkatan bentuk bangsa dari state-

nation (negara-bangsa) kepada ethno-nation, region-nation, dan

transworld-nation; (ii) munculnya identitas kolektif yang tidak

didasarkan pada kerangka-kerja nasional; (iii) menikatnya

komunitas manusia kosmopolitan kepada komunitas manusia

universal; dan (iv) tumbuhnya identitas hibrida[31] dan komunitas

yang saling melengkapi dalam politik dunia kontemporer.

Globalisasi pada dimensi pengetahuan, disamping meningkatnya

rasionalime dengan berbagai atributnya seperti sekularisme,

antroposentrisme, saintisme, dan instrumentalisme, juga telah

menumbuhkan pengetahuan non-rasional, seperti revivalisme

keagamaan, ekosentrisme, dan pemikiran pos-modernisme.

D. Implikasi Globalisasi terhadap Negara Berkembang

 Kenyataannya, globalisasi bak air bah, tidak dapat

dibendung, apalagi bagi negara-negara yang telah

Page 13: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

menandatangani perjanjian WTO, termasuk Indonesia. Menurut

Marzuki Usman seperti yang dikutip oleh Mahmud Toha,

globalisasi atau era kesejagatan bagi Indonesia adalah suatu hal

yang pasti karena Indonesia salah satu negara pendiri World

Trade Organization (WTO), yaitu dengan ditandatangani

perjanjian WTO pada bulan April 1994 yang kemudian diratifikasi

oleh DPR pada bulan November 1994. Hakekat perjanjian

tersebut adalah dunia akan menuju kepada pasar bebas paling

lambat sebelum tahun 2020.[32]

 Bagi negara-negara maju globalisasi lebih banyak

berimplikasi positif ketimbang negatif, karena mereka adalah

negara-negara yang paling siap baik secara ekonomi maupun

politik dibandingkan negara-negara berkembang. Pasar bebas

dan globalisasi, terutama bagi negara-negara berkembang

menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua pandangan yang

kontradiktif berkaitan implikasi globalisasi; pandangan optimis

dan pandangan pesimis.

 Bagi para ekonom dan pendukung kapitalisme, sperti Stern

(2000) dan Madison (1998) sebagaimana dikutip Mahmud Toha,

globalisasi (i) dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

pengentasan kemiskinan; (ii) dapat mempercepat terwujudnya

pemerintahan yang demokratik dan masyarakat madani dalam

skala global; (iii) tidak mengurangi ruang gerak pemerintah dalam

kebijakan ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi

Page 14: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

jangka panjang; (iv) tidak berseberangan dengan desentralisasi;

dan (v) bukan penyebab krisis ekonomi.[33]

 Pandangan kontradiktif diberikan oleh kalangan skeptis

seperti Holley (2000) sebagaimana dikutip oleh Mahmud Toha,

bahwa globalisasi adalah: (i) sebagai kapitalisme kasino; (ii) anti

negara; (iii) sebagai kompetisi yang menghancurkan; (iv) sebagai

pembunuh pekerjaan; (v) merugikan kaum miskin; (vi) sebagai

individualisme yang berlebihan; (vii) sebagai imperialisme

budaya; dan (viii) merupakan kompor bagi munculnya gerakan-

gerakan neo-nasionalis dan fundamentalis.[34]

 Implikasi-implikasi globalisasi bagi negara berkembang

dapat dilihat uraian berikut ini. Pertama, peningkatan integrasi

perekonomian nasional ke dalam pasar global menjanjikan

pembesaran dramatis atas volume dan karakter arus-arus sumber

daya internasional. Kenyataannya, tatkala pasar-pasar nasional

negara berkembang dibuka, pasar-pasar internasional justru

banyak yang masih tertutup bagi ekspor mereka. Proteksionisme

negara-negara maju terhadap produk ekspor negara-negara

berkembang terus meningkat sebelum tercapainya Perjanjian

GATT (Generat Agreement on Tariff and Trade; Persetujuan

Umum tentang Tarif dan Perdagangan) pada tahun 1994 dengan

dicapainya kesepakatan Uruguay Round dan WTO.[35] Bahkan,

proteksionisme negara-negara maju masih terus berlanjut setelah

perjanjian GATT tersebut. Berbagai alasan digunakan oleh

negara-negara maju dalam melegalisasi proteksionisme mereka,

Page 15: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

seperti standar kualitas barang yang rendah, negara pengekspor

melanggar HAM atau perusak ekologi hutan tropis, dan

sebagainya.

 Kedua, karena ekspansi perdagangan sangat ditentukan

oleh sektor perbankan yang menjadi sumber pembiayaan bagi

semua transaksi dagang internasional itu, maka peningkatan

ukuran, daya saing, dan difusi pasar finansial internasional

mengandung kekuatan potensial yang besarguna menarik

perekonomian berpendapatan rendah ke dalam perekonomian

dunia secara utuh. Bagi negara-negara berkembang peningkatan

integrasi ke dalam pasar-pasar finansial internasional sangat

berpotensi untuk memperbaiki prospek mereka dalam upaya

meningkatkan fleksibilitas dan pertumbuhan ekonomi

nasionalnya. Kenyataannya, proses globalisasi pasar finansial

dunia hanya akan menurunkan biaya-biaya transaksi dagang bagi

negara-negara masju yang sudah memiliki akses ke pasar-pasar

internasional; sedangkan bagi negara-negara berkembang yang

sama sekali belum atau kurang memiliki akses itu, maka

globalisasi pasar finansial hanya akan memperbesar kerugian

komparatif mereka.[36]

 Ketiga, globalisasi pasar finansial juga sangat rentan dari

pelaku spekulan pasar uang dan pasar modal. Ketergantungan

setiap negara terhadap valuta asing menjadi sangat tinggi.

Devisa yang dikumpulkan negara dengan susah payah guna

membiayai pembangunan dapat dengan mudah dan dalam

Page 16: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

sekejap lari ke luar negeri (capital flight) oleh ulah para spekulan

jahat yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Streeten

(2001) sebagaimana dikutip Toha,[37] memberikan bukti-bukti

empiris bahwa arus devisa global telah mencapai jumlah yang

sangat mencengangkan yaitu US $ 2 triliun setiap hari, 98 persen

diantaranya untuk aktivitas ekonomi yang bersifat spekulatif.

Krisis keuangan yang terjadi di Indonesia yang diperkirakan

sebagai “contagian effects” dari krisis keuangan yang terjadi di

Thailand adalah diakibatkan oleh ulah spekulasi ini.

 Keempat, poses globalisasi ternyata cenderung

memperkecil kekuatan dan pengaruh ekonomi suatu negara

secara individual, apalagi jika itu adalah negara berkembang

yang kemampuannya serba terbatas. Negara-negara berkembang

yang tidak terlibat secara aktif atau secara langsung ke dalam

blok-blok perdagangan yang didominasi oleh dolar Amerika, yen

Jepang atau mark Jerman, baik di kawasan Amerika Utara, di

Palung Pasifik maupun di Eropa, akan menghadapi masa-masa

sulit.[38]

 Kelima, proses globalisasi telah meningkatkan dominasi

ekonomi oleh perusahaan-perusahaan multinasional, para pemilik

modal dan para menejer serta kelompok profesional. Masa

dominasi negara telah beralih kepada lembaga-lembaga

keuangan dunia seperti IMF (International Monetery Fund) dan

Bank Dunia (World Bank). Ketergantungan terhadap kedua

lembaga ini telah membuat negara-negara penerima bantuan

Page 17: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

atau peminjam tidak berdaya dalam menentukan kebijakan-

kebijakan ekonomi dan pembagunan negaranya. Bank Dunia dan

IMF adalah corong dan eksekutor paham ekonomi neo classic

yang sangat mengagungkan kekuatan dan mekanisme pasar

sebagai mesin pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dunia.

Instrumen kebijakan utamanya adalah deregulasi, liberalisasi,

privatisasi, devaluasi, dekontrol dan anti defisit anggaran belanja

negara.[39]

 Keenam, salah satu perwujudan ketidakadilan antar negara

yang terus memburuk adalah meningkatnya arus migrasi

internasional ilegal, terutama migrasi tenaga kerja atau biasa

dikenal dengan istilah ‘international brain drain” dari berbagai

negara Selatan yang miskin ke negara-negara industri di Utara

yang lebih makmur. Tetapi, bagi negara-negara maju tujuan

migrasi itu mulai merasa bahwa para pekerja pendatang tersebut

merupakan ancaman terhadap perekonomian dan juga

kebudayaan serta “cara hidup” mereka.[40]

 E. Tatanan Ekonomi Baru dan Peran Pemerintah:

Perspektif Islam

 Resistensi terhadap globalisasi dan sistem ekonomi kapitalis

sebagai motor penggerak utama globalisasi sebenarnya sudah

sering disuarakan, bahkan dari jantung kapitalisme itu sendiri.

[41] Berbagai peristiwa dekade terakhir, terutama krisis ekonomi

tahun 1997 di Asia telah semakin menimbulkan kesadaran bahwa

tatanan ekonomi dunia saat ini mencerminkan ketidak-adilan dan

Page 18: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

ketimpangan struktur ekonomi di banyak tempat terutama

negara-negara berkembang. Beberapa alternatif telah dimajukan,

seperti green economy. Belakangan banyak kalangan, termasuk

ahli-ahli ekonomi Barat mulai melirik sistem ekonomi yang

ditawarkan oleh Islam sebagai pilar tatanan ekonomi baru dunia.

Tatanan ekonomi baru yang diperlukan itu harus mencerminkan

keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan

moralitas. Tatanan ekonomi yang ditawarkan Islam dilandasi

dengan fondasi yang kuat, yaitu tauhid (keesaan Tuhan), khilafah

(perwakilan), dan ‘adalah (keadilan).[42]

Ketiga landasan tersebut merupakan satu kesatuan yang saling

terkait. Tauhid merupakan muara dari semua pandangan dunia

Islam. Tauhid mengandung arti alam semesta didesain dan

diciptakan secara sadar oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang

bersifat esa, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Q.S.

Ali Imran: 191; Shad: 27; al-Mu’minun: 15). Dari pandang tauhid

manusia diciptakan, oleh karena itu asal manusia juga satu.

Karena itu pulalah manusia merupakan khalifah-Nya atau wakil-

Nya di bumi (Q.S. al-Baqarah:30; al-An’am:165). Sumber daya

alam yang diciptakan harus dimanfaatkan untuk pemenuhan

kebahagiaan seluruh umat manusia. Pada sisi ini, jelas

bertentangan dengan konsep self interest kapitalisme. Implikasi

dari pandangan tersebut adalah pandangan persaudaraan

universal, yang kemudian menimbulkan persamaan sosial dan

menjadikan sumber daya alam sebagai amanah karena statusnya

Page 19: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

sebagai wakil Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Pandangan ini tidak akan terlaksana secara substansial tanpa

dibarengi dengan keadilan sosial-ekonomi. Penegakan keadilan

dan penghapusan semua bentuk ketidak-adilan telah ditekankan

dalam al-Qur’an sebagai misi utama Rasul Allah (Q.S.Hadid: 25).

Berdasarkan landasan ini seharusnya ada keseimbangan dari

semua faktor ekonomi, bahkan pemisahan yang radikal antara

sektor moneter dengan sektor ril menjadi tidak tepat karena

mengakibatkan terjadi ketidakadilandan ketidak-merataan.

Peranan pemerintah dalam tatanan ekonomi baru tersebut, paling

tidak, mencakup empat hal. Pertama, maksimalisasi tingkat

pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatn sumber daya tersebut

harus memperhatikan prinsip kesejajaran dan keseimbangan

(equilibrium). Dalam ekonomi Islam konsep al-‘adl dan al-ihsan

menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran

sosial (Q.S. an-Nahl: 90). Hal ini penting, karena apabila terjadi

pemanfaatan yang tidak seimbang atau pemborosan yang terjadi

adalah kerusakan alam yang pada gilirannya adalah

ketidakseimbangan sunnatullah (hukum alam). Kerugiannya juga

pada manusia dalam jangka panjang.[43]

Kedua, minimalisasi kesenjangan distributif. Tujuan ini berkaitan

dengan prinsip dasar ekonomi Islam, keadilan distributif. Keadilan

distributif didefinisikan sebagai suatu distribusi pendapatan dan

kekayaan yang tinggi, sesuai dengan norma-norma fairness yang

diterima secara universal.[44] Tujuan ini juga berhubungan

Page 20: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

dengan prinsip kesamaan harga diri dan persaudaraan (Q.S. al-

A’raf: 32), prinsip tidak dikehendakinya pemusatan harta dan

penghasilan pada sejumlah kecil orang tertentu (Q.S. al-Hasyr: 7),

dan untuk memperbaiki kemiskinan absolut dan mengurangi

kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang mencolok (Q.S. al-

Ma’arij: 24-25).[45] Untuk mencapai tujuan ini beberapa institusi

Islam bisa dimanfaatkan seperti zakat dan wakaf

Ketiga, maksimalisasi penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan

ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributif,

sebagian karena mampu menciptakan kesempatan kerja (baru)

yang lebih banyak daripada yang mungkin bisa diciptakan dalam

keadaan ekonomi statis. Penciptaan lapangan kerja juga harus

diimbangi dengan pemberian tingkat upah yang adil berdasarkan

usaha-usaha produktifnya. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban

untuk memastikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya dengan

mendorong kegiatan ekonomi yang aktif, terutama dalam sektor-

sektor yang mampu menyerap semua lapisan.

Keempat, maksimalisasi pengawasan. Salah satu bagian integral

dari kesatuan sistem ekonomi Islam adalah lembaga Hisbah.

Peranannya, sebagaimana dirumuskan Ibn Taimiyah, adalah

melaksanakan pengawasan terhadap perilaku sosial, sehingga

mereka melaksanakan yang benar dan meninggalkan yang salah.

[46] Lembaga Hisbah adalah lembaga pengawasan terhadap

penyimpangan, di antaranya dari kegiatan ekonomi. Dalam

pemerintahan yang modern saat ini, lembaga ini dapat

Page 21: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

diaplikasikan dengan modefikasi tertentu yang mempunyai tugas

dan wewenang yang sama. Pengawasan dalam ekonomi Islam

adalah penting, karena suatu sistem ekonomi yang adil tidak

akan berjalan apabila terjadi kecurangan yang disebabkan oleh

perilaku menyimpang pelaku ekonomi.

F. Penutup

Suka atau tidak suka, globalisasi telah dan segera menyapa

setiap negara, setiap masyarakat di dunia. Oleh karena itu, tidak

satu negarapun mampu dan menganggap perlu untuk

mengisolasi diri dari pengaruh perekonomian dunia. Yang menjadi

permasalahan adalah seberapa besar manfaat yang dapat

dinikmati dan mudharat yang bakal dipikul oleh setiap negara

yang terlibat dalam proses globalisasi akan terpulang kepada

kesiapan negara yang bersangkutan dalam mengantisipasi segala

kemungkinan yang terjadi.

Sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di atas, ternyata kesiapan

negara-negara berkembang sangat lemah dibanding negara-

negara industri maju. Oleh karena itu, implikasi yang negatif

justru yang menimpa mereka, mulai dari sulitnya mengatasi krisis

ekonomi hingga ketergantungannya yang sangat besar kepada

negara-negara industri maju dan lembaga-lembaga keuangan

internasional seperti Bank Dunia dan IMF, terutama bantuan luar

negeri atau hutang.

Page 22: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Tatanan ekonomi baru yang lebih adil sangat diperlukan dan

ekonomi Islam dapat dijadikan alternatifnya, karena dibangun

tiga landasan utama yang mencerminkan dan menjamin keadilan

berjalan.

Daftar Bacaan

 

Firdausy. “Tantangan dan Peluang Globalisasi Bagi Perekonomian Nasional”. Dlm. Indonesia Menapak Abad 21: Kajian Ekonomi Politik. Jakarta: Millenium Publisher, 2000.

 Harvey, D. The Condition of Postmodernity. Oxford: Blackwell, 1989.

 Held, David dkk. global Transformation Politics, Economics and Culture. Cambridge: Polity Press, 1999.

 Hirst, Paul & Thomson, Grahme. “Globalisation: Ten Frequently Asked Questions and Some Surprising Answers.” Soundings. Vol. 4 (Autumn), 1996

 Ibn Taimiyah, Ahmad bin ‘Abd al-Halim. al-Hisbah fi al-Islam wa Wazifat al-Hukumah al-Islamiyah. Madinah: Islamic University, t.th..

Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam). Terj. Machnum Husein dari The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

 Khor, Martin. “Address to the International Forum on Globalization”. New York City, November 1995.

 McLuhan, M. Understanding Media. London: Routledge, 1964.

Page 23: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

 Mittelmann, James H. “The Dynamics of Globalization”. Dlm. James H. Mittelmann (peny.). Globalization: Critical Reflections. Boulder: Lynne Rienner, 1996.

 Naqvi, Syed Nawab Haider. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Terj. M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin dari Islam, Economics and Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

  Nasution, Mustafa Edwin. “Wakaf Tunai: Strategi untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi.” Istislah: Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan. Vol. I. No.2 (Apr-Jun 2002)

 Reiser, Oliver L. & Davies, B. Planetary Democracy: an Introduction to Scientific Humanism and Applied Semantics. New York: Creative Age Press, 1944

 Robertson, Roland. Globalization: Social Theory and Global Culture. London; Sage Publications, 1992

 Sander, H. “Multilateralism, Regionalism and Globalisation: The Challenges to the World Trading System.” Dlm. H. Sander dan A. Inotai (peny.). World Trade After the Uruguay Round: Prospects and Policy Options for the Twenty First Century. London; Routledge, 1996.

 Schiller, H.I. “Not Yet the Post-Imperialist Era”. Critical Studies in Mass Communication. vol.8, no.1 (Maret), 1991.

 Scholte, Jan Aart. Globalization: A Critical Introduction. London: Macmillan Press Ltd., 2000.

Spybey, T. Globalization and World Society. Cambridge: Polity Press, 1996.

 Stern, Nicholas. “Globalization and Poverty”. Paper dpresentasikan pada seminar LPEM, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2000.

 The Oxford English Dictionary. VI 2nd ed. Oxford: Clarendon, 1989.

Page 24: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

 Thoha, Mahmud. “Globalisasi antara Harapan dan Kecemasan”. Dlm. Mahmud Thoha (peny.). Globalisasi, Krisis Ekonomi & Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.

 Todaro, Michael P. Economic Development. 6th ed. London: Longman, 1997.

 Wallerstein, Immanuel. “The Rise and Future Demise of the World Capitalist System: Concepts of Comparative Analysis”. Comparative Studies in Society and History, 16 (1974): 387-415

 --------------The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth Century. New York: Academic Press, 1976).

 Waters, M. Globalisation. London: Routledge, 1995

 Waters, M. Globalisation. London: Routledge, 1995.

 Webster’s Third NewInternational Dictionary of the English Language Unabridged. Springfield, MA: Merriam, 1961.  

 [1]M. Waters, Globalisation (London: Routledge, 1995); James H. Mittelmann, “The Dynamics of Globalization” dlm. James H. Mittelmann (peny.), Globalization: Critical Reflections (Boulder: Lynne Rienner, 1996).

 [2]D. Harvey, The Condition of Postmodernity (Oxford: Blackwell, 1989).

 [3]Mahmud Thoha, “Globalisasi antara Harapan dan Kecemasan’, dlm. Mahmud Thoha (peny.), Globalisasi, Krisis Ekonomi & Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Pustaka quantum, 2002), h. 1-2.

 [4]Nicholas Stern, “Globalization and Poverty”, paper yang dpresentasikan pada seminar LPEM, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2000, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 1.

Page 25: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

 [5]Jan Aart Scholte, Globalization: A Critical Introduction (London: Macmillan Press Ltd., 2000), h. 43.

 [6]The Oxford Emnglish Dictionary, VI 2nd ed. (Oxford: Clarendon, 1989), h.  582.

 [7]Istilah ini dipakai pertama sekali oleh Oliver L.Reiser dan B. Davies, Planetary Democracy: an Introduction to Scientific Humanism and Applied Semantics (New York: Creative Age Press, 1944), h. 212, 219. Lihat: Scholte, Globalization, h. 43.

 [8]Webster’s Third NewInternational Dictionary of the English Language Unabridged (Springfield, MA: Merriam, 1961), h. 965.  

 [9]M. McLuhan, Understanding Media (London: Routledge, 1964).

 [10]Scholte, Globalization, h. 15-17.

 [11]Menurut Paul Kennedy (1993) dan Hadi Susastro (1999) sebagaimana dikutip oleh Firdausy, pengertian globalisasi perlu dibedakan dengan internasionalisasi dan multinasionalisasi; internasionalisasi merupakan aliran bahan baku, barang dan jasa maupun uang dan gagasan serta tenaga kerja dan arus modal antara dua negara atau lebih. Sedangkan multinasionalisasi merupakan proses pemindahan dan relokasi sumberdaya ekonomi, khususnya modal dan tenaga kerja dari suatu negara ke negara lain. Lihat Firdausy, “Tantangan dan Peluang Globalisasi Bagi Perekonomian Nasional”, dlm. Indonesia Menapak Abad 21: Kajian Ekonomi Politik (Jakarta: Millenium Publisher, 2000), h. 1-2.

 [12]Paul Hirst dan Grahme Thomson, “Globalisation: Ten Frequently Asked Questions and Some Surprising Answers,” Soundings, vol. 4 (Autumn), 1996, h. 48, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 15.

 [13]H. Sander, “Multilateralism, Regionalism and Globalisation: The Challenges to the World Trading System,” dlm. H. Sander dan A. Inotai (peny.), World Trade After the Uruguay

Page 26: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

Round: Prospects and Policy Options for the Twenty First Century (London; Routledge, 1996), h. 27, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.

 [14]Oliver L.Reiser dan B. Davies, Planetary Democracy, h. 39, 201, 205, 219, 225,  sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.

 [15]T. Spybey, Globalization and World Society (Cambridge: Polity Press, 1996), h. 27, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.

 [16]H.I. Schiller, “Not Yet the Post-Imperialist Era”, Critical Studies in Mass Communication, vol.8, no.1 (Maret), 1991, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.

 [17]Martin Khor, “Address to the International Forum on Globalization”, New York City, November 1995, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.

 [18]David Held dkk., global Transformation Politics, Economics and Culture (Cambridge: Polity Press, 1999), h. 16, sebagaimana dikutip oleh Scholte, Globalization, h. 16.

 [19]Scholte, Globalization, h. 48.

 [20]Lihat misalnya, Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture (London; Sage Publications, 1992); M. Waters, Globalisation (London: Routledge, 1995).

 [21]Immanuel Wallerstein, “The Rise and Future Demise of the World Capitalist System: Concepts of Comparative Analysis”, Comparative Studies in Society and History, 16 (1974): 387-415; lihat juga, idem, The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1976).

 [22]Pembagian kerja dalam konsep Wallerstein merupakan suatu sistem sosial dimana sektor-sektor atau kawasan-kawasan yang berbeda tergantung pada pertukaran ekonomi dengan sektor-sektor atau kawasan-kawasan lain untuk keperluan masa

Page 27: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

depan yang berkelanjutan bagi kawasan itu. Lihat: Wallerstein, The Rise and Future, h. 390.

 [23]Scholte, Globalization, h. 62-88.

[24]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 3.

[25]Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 89-108. 

 [26]Firdausy, Tantangan dan Peluang, h. 3-4.

 [27]Firdausy, Tantangan dan Peluang, h. 4.

 [28]Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, terutama bagian II Change and Continuity, h. 110-203.  

 [29]Komoditas dalam pandangan Marxian adalah objek-objek diciptakan, diserap dan dihimpum melalui pemilikan produksi dan pertukaran surplus. Suatu sumberdaya menjadi commodified ketika ia digabung atau dimasukkan kedalam proses akumulasi kapitalis.Contoh, sebuah lagu bisa menjadi commodofied melalui perekaman dan penjualan oleh industri musik. Lihat: Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 112. 

 [30]Konsumerisme menggambarkan perilaku dimana dengan hingar-bingarnya orang memperoleh (dan biasanya dengan cepat membuang) berbagai ragam barang yang disediakan untuk pengguna dengan segera tetapi kepuasannya berlangsung sebentar saja. Contohnya, entertainment, fantasi, fesyen dan foya-foya (pleasure). Sedangkan ‘Consumer capital’ merupakan surplus akumulasi didapat dalam konteks konsumsi hedonistik tersebut. Lihat: Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 113. 

 [31]Identitas hibrida mengambil dari beberapa untaian yang berbeda dalam ukuran substansial, supaya tidak ada penilai tunggal yang menganggap keunggulannya jelas dan konsisten daripada orang lain. Misalnya, seseorang bisa memegang beberapa kewarganegaraan, atau suku campuran, dll. Lihat: Uraian lebih luas baca: Scholte, Globalization, h. 180. 

Page 28: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

 [32]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 7.

 [33]Ibid, h. 17-25. 

 [34]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 9-17. 

 [35]Michael P. Todaro, Economic Development, 6th ed. (London: Longman, 1997), h. 660.

 [36]Ibid. 

 [37]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 9-10.  

[38]Michael P. Todaro, Economic Development,h. 660.

 [39]Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 14. Bandingkan: Mustafa Edwin Nasution, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi,” Istislah: Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, vol. I. No.2 (Apr-Jun 2002), h. 140-141. Melalui deregunalsi, segala aturan birokrasi yang membelenggu dunia bisnis harus dikendurkan. Dengan liberalisasi, segala macam tarif dan hambatan-hambatan bukan tarif juga harud diturunkan dan kalau perlu dihapuskan guna mendorong perdagangan internasional yang bebas. Privatisasi atau swastanisasi perusahaan-perusahaan negara diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi nasional. Dengan dekontrol, segala macam bentuk subsidi, termasuk subsidi energi terutama BBM dan listrik harus dihapus, karena hanya membebani anggalan belanja negara. Akhirnya melalui kebijakan APBN seimbang atau anti defisit, diharapkan dapat menekan tingkat inlasi. Lihat: Mahmud Thoha, Globalisasi, h. 14-15.  

 [40]Michael P. Todaro, Economic Development,h. 660-661. 

 [41]Ormerod (1994), misalnya , dalam karyanya, The Death of Economics; Stephen Rousseas (1979), Capitalism and Catastrophe. Sementara dari luar kapitalisme telah banyak lagi ulasan terhadap sistem ini, seperti karya Umae Chapra (1992), Islam and Economic Challenge.

Page 29: Globalisasi Dan Tatanan Ekonomi Baru

 [42]Umumnya para ahli ekonomi Islam menjadikan ketiga dasar di atas menjadi landasan utama ekonomi Islam, walaupun dalam uraiannya melebar.

 [43]Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, terj. M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin dari Islam, Economics and Society (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 39.

 [44]Ibid. h. 128. keadilan distributif merupakan sub-bagian dari konsep yang lebih luas yaitu “keadilan sosial” yang mewarnai seluruh jenis hubungan dalam masyarakat; dan diperhatikan terutama dalam hubungan-hubungan ekonomis. Ibid., h. 140-141.

 [45]Monzer Kahf, Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), terj. Machnum Husein dari The Islamic Economy: Analytical of the Functioning of the Islamic Economic System (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 137.

 [46]Ahmad bin ‘Abd al-Halim Ibn Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam wa Wazifat al-Hukumah al-Islamiyah (Madinah: Islamic University, t.th.), h. 15-17.