Upload
moh-junaedy-yama
View
71
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
EDISI 2011 No. 1
Analisis Stratigrafi Seismik Endapan Syn-rift Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan: Pleriminary Study for Unexplored Area (Angga Direzza, Sugeng S Surjono, Eko Widianto)
Pendekatan Polinomial Orde-3 Hubungan Kecepatan Grup dan Fase dalam Estimasi Tetapan Anisotropi Medium Isotrop Transversal Tegak dari Difraksi Gelombang Seismik-P (Imam Setiaji Ronoatmojo, Djoko Santoso, Teuku Abdullah Sanny, Fatkhan)
Penentuan Struktur Urat (Vein) Pirit di Kawasan Malang Selatan Berdasarkan Respon Geolistrik Polarisasi Terimbas (Sunaryo)
Advanced Interpretation of Spectral Decomposition Method for Estimating Oil Reservoir Distribution; a Case Study (M.wahdanadi, Andy Februana P., Anofrilla)
Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 2-D untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber dan Penerima (Andri Dian Nugraha, Ahmad Syahputra, Fatkhan)
JURNAL GEOFISIKAISSN: 0854-4352
Jurnal GEOFISIKA adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI). Jurnal
ini diperuntukkan sebagai sarana publikasi dan komunikasi ilmiah di bidang geofisika secara luas mulai dari topik-
topik teoritik dan fundamental sampai dengan topik-topik yang terkait dengan penerapan geofisika di berbagai
bidang. Makalah yang dimuat dalam jurnal GEOFISIKA dapat berupa hasil penelitian yang orisinal, tinjauan
(review) tentang kemajuan terkini dari suatu topik tertentu, studi kasus penerapan metoda geofisika, serta resensi
tentang buku atau perangkat lunak yang berkaitan dengan geofisika. Makalah hendaknya dikirimkan ke alamat
sekretariat redaksi atau ke salah satu dari editor pelaksana. Makalah dapat diserahkan dalam bentuk cetakan (hard-
copy) atau dalam file komputer (soft-copy). Setiap makalah yang diterima akan ditinjau kelayakannya melalui
proses review yang ketat oleh pakar-pakar bidang yang terkait.
Editor kepala (chief editor)
Djedi S. WidartoUpstream Technology Center
PT. PertaminaGedung Kwarnas Lt.11
Jln. Medan Merdeka Timur, No. 06, Jakarta [email protected]
Dewan Editor (Board of Editors)
Hernowo DanusaputroJurusan Fisika – FMIPA
Universitas Diponegoro [email protected]
Telp.0811280608
Syaeful BachriProgram Studi Geofisika – FMIPA
Institut Teknologi [email protected]
Telp. 08122340854
Wiwit SuryantoLab. Geofisika FMIPA
Universitas Gajah [email protected]
Telp. 0274-545183
Eddy Ibrahim SyuebDept. Fisika Universitas Sriwijaya
Armi SusandiMeteorologi Institut Teknologi
Badrul Mustafa KemalTeknik Sipil Universitas Andalas
Mitra Bebestari (reviewer)
Gedung Patra Office Tower, lt. 20 suite 2045Jl. Jend. Gatot Subroto Kav 32-34, Jakarta 12950
telp. / fax.(021) 5250040email: [email protected]
http://www.hagi.or.id
Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) didirikan pada tanggal 9 Oktober 1976 di Bandung
Nanang T. Puspito (TG-ITB)Andri Dian Nugraha (TG-ITB)
Agus Laesanpura (TG-ITB)Sonny Winardhie (TG-ITB)
Sigit Sukmono (TG-ITB)Wahyudi W. Parnadi (TG-ITB)
Wahyu Triyoso (TG-ITB)
Edi P. Utomo (Puslit Geoteknologi LIPI Bandung)Eko Widianto (Trisakti)Abdul Harris (Geofisika UI)Awali Priyono (TG-ITB)Irwan MeilanoHasanuddin Z. Abidin
Alamat Redaksi Jurnal Geofisika:
Untuk menjamin keseragaman format, naskah
hendaknya mempunyai margin sebagai berikut :
a. Margin atas kiri kanan dan bawah berturut-turut 3
3 2,5 2,5 cm, kecuali pada bagian abstrak margin
kiri dan kanan masing-masing 4 dan 3,5 cm.
b. Badan naskah harus ditulis dalam 2 kolom
dengan lebar tiap kolom 7,25 cm dan jarak antar
kolom 1 cm.
Huruf dan Spasi
· Badan naskah dicetak 1 spasi dengan huruf Times
New Roman 11 poin.
· Judul makalah dicetak tebal denga huruf besar
Times New Roman 14 poin, center
· Nama dan afiliasi penulis berturut-turut dengan
huruf Times New Roman 11 poin, 2 spasi di
bawah judul. Nama penulis diberi garis bawah
· Abstrak (Abstract) dicetak miring dengan huruf
Times New Roman 11 poin, 3 spasi dibawah
penulis.
Judul
Judul Makalah: Judul sebaiknya singkat dan jelas
serta mencerminkan isi naskah. Judul makalah diikuti
nama (tanpa gelar) dan afiliasi penulis, abstrak serta
kata kunci (keywords). Judul Bagian: Judul bagian
dicetak tebal dengan huruf besar dan diberi nomor,
dimulai dari sisi kolom kiri.
Judul Sub-Bagian: Judul sub-bagian dicetak dengan
gabungan huruf besar dan kecil, diberi nomor dan
dimulai dari sisi kiri kolom.
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia
yang baik dan benar atau Bahasa Inggris.
Penggunaan singkatan dan tanda-tanda diusahakan
mengikuti aturan nasional atau internasional. Satuan
yang digunakan hendaknya mengikuti sistem satuan
internasional (SI).
Persamaan harus dicetak dan diberi nomor seperti
contoh di bawah ini:
T = 1/V ds (1)
Gambar
Gambar dapat dimasukkan dalam kolom atau meliputi
kedua kolom. Legenda gambar harus terlihat jelas
dengan ukuran minimum 10 poin. Keterangan ganbar
ditulis sebagai berikut “Gambar 1 Keterangan
Gambar”.
Daftar Pustaka
Daftap pustaka dicantumkan pada bagian akhir
naskah dengan format seperti pada contoh berikut:
Chao-ying, B. and Greenhalgh, S., 2006. 3D
Local earthquake Hypocenter Determination
with an Irregular Shortest-Path Method,
BSSA, 99,6, 2257 - 2268.
Grandis, H., 2007. Buku Ajar Inversi Geofisika,
Institut Teknologi Bnadung.
Stamps, D. S. and Smalley, R. Jr., 2006. Strings
and Things for Locating Earthquake,
Seismological Research Letters, 77,6,677-
683.
Bahasa, Satuan dan Persamaan
EDITORIAL
Jurnal GEOFISIKA kali ini hadir, meskipun agak terlambat, dengan beragam topik makalah mulai dari ilmu-ilmu
dasar hingga terapan. Makalah ilmu-ilmu dasar masih merupakan bagian penting dalam pengembangan geofisika itu
sendiri sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Sementara itu, topik geofisika terapan lebih banyak ditulis oleh
kalangan industri maupun lembaga riset yang lebih banyak menggunakan geofisika untuk mempelajari fenomena
Bumi, baik yang terkait dengan sumber daya energi maupun tektonofisika, dan aplikasi lainnya. Untuk penerbitan
nomor-nomor berikutnya, Editor berharap kepada anggota HAGI untuk dapat mengirimkan makalah-makalah
terbaiknya, dan dengan topik terkini di dunia geofisika tentu sangat kami harapkan. Kami berharap topik makalah
akan semakin beragam, baik itu sebagai sains murni maupun terapan, dan melibatkan geofisika padat (solid earth
geophysics) maupun geofisika fluida (fluid geophysics). Semoga harapan kami dapat kita wujudkan bersama, demi
kemajuan organisasi HAGI yang kita cintai ini.
TIM EDITOR
2
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
ANALISIS STRATIGRAFI SEISMIK ENDAPAN SYN-RIFT AREA LEMBAK, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN :
PLERIMINARY STUDY FOR UNEXPLORED AREA
1 2 3Angga Direzza , Sugeng S Surjono , Eko Widianto1Eksplorasi, PT. Pertamina EP (PEP)
2Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada (UGM)3PT. Pertamina Upstream Technology Center (UTC)
Abstrak
Pada Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan, berkembang endapan syn-rift yang belum dikaji secara teliti.
Sementara itu, berdasarkan interpretasi seismik diperkirakan terdapart endapan syn-rift Pre-Talangakar atau
Kelompok Lahat (LAF) yang mempunyai potensi besar berkembangnya petroleum system dan akumulasi
hidrokarbon. Metoda stratigrafi seismik diaplikasikan pada Area Lembak, Cekungan Sumatera Selatan untuk
mengetahui potensi tersebut. Melalui pendekatan tektonostratigrafi dan stratigrafi sikuen, penulis dapat mengetahui
arsitektur endapan syn-rift, sistem pengendapannya, dan sejarah pembentukan cekungan. Selain itu, tipe cekungan
serta potensi batuan induk dapat diprediksi. Berdasakan kajian awal ini, endapan syn-rift pada Area Lembak sangat
menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Abstract
Syn-rift sediments in Lembak Area, South Sumatra Basin are potential province for hydrocarbon accumulation
although they were underexplored. Meanwhile, based on seismic interpretation it is predicted that there are syn-rift
deposits, Pre- Talangakar or Lahat group (LAF), which have the greatest potential development of the petroleum
system and hydrocarbon accumulation. Seismic stratigraphic method was applied to determine it. Through
tectonostratigraphy and sequence stratigraphic approaches, the author can describe the architecture of syn-rift
sediments, deposition systems, and the history of basin formation. In addition, the type of basin and the potential of
source rock also can be predicted. Based on this preliminary study, syn-rift sediments in the Lembak Area are very
interesting to be explored future.
Keyword : seismic stratigraphy, tectonostratigraphy, syn-rift sediments, basin analysis
Pendahuluan
Endapan syn-rift di daerah Sumatera Selatan umumnya
memiliki status underexplored. Pada sisi lain,
batupasir dari Formasi Benakat, sebagai bagian
endapan syn-rift, telah terbukti secara komersial
sebagai reservoar hidrokarbon di Lapangan Benakat,
Lapangan Puyuh (Maulana et al., 1999; Tarazona et al.,
1999) dan Lapangan Ibul. Melalui pendekatan
tektonostratigrafi dan stratigrafi sikuen dari data
seismik, penelitian ini mencoba untuk mengetahui
arsitektur endapan syn-rift, sistem pengendapannya,
dan sejarah pembentukan cekungan pada Area
Lembak, Cekungan Sumatera Selatan (Gambar 1).
Metodologi Penelitian
Secara umum, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah stratigrafi seismik (seismic
stratigraphy) dengan menggunakan pendekatan
analisis tektonostratigrafi (Prosser, 1993) dan
stratigrafi sikuen (Vail, 1987). Metode ini
diaplikasikan untuk mendefinisikan tatanan stratigrafi
pada endapan syn-rift di Area Lembak.
Keterbatasan data sumur menjadikan data seismik
sebagai fokus utama objek penelitian. Oleh karena itu,
metode seismik stratigrafi diharapkan dapat
menjawab permasalahan di atas.
Atribut Seismik
Sebelum dilakukan penarikan sikuen dan fasies,
penulis melakukan analisis atribut seismik dan miss-
tie analysis untuk optimalisasi penarikan horizon dan
3
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
struktur serta pengikatan antar lintasan 2D (Gambar
2). Atribut high cut filter digunakan untuk
menghilangkan amplitudo berfrekuensi tinggi yang
dianggap sebagai noise sedangkan atribut fasa sesaat
(instantaneous phase) digunakan untuk menarik
kemenerusan reflektor koheren yang lemah seperti
pada pembajian dan ketidakselarasan.
Batas Sikuen Seismik
Penulis menggunakan beberapa kriteria untuk
mengidentifikasi batas sikuen seperti yang diajukan
oleh Changson (2001), diantaranya :
1. Kontak ketidakselarasan stratigrafi ditunjukkan
oleh pemancungan pada hinge margin, permukaan
onlap dan downlap pada lerang, dan kontak
konkordan pada pusat cekungan;
2. Batas sikuen juga ditunjukkan oleh perubahan
karakter fisik secara tiba-tiba seperti perbedaan
litologi maupun fasies seismik;
3. Incised valley didefinsikan sebagai batas sikuen;
4. Apabila tidak dijumpai ketidakselarasan, batas
sikuen dapat diidentifikasi dari perubahan
hubungan perlapisan.
Dengan menggunakan keempat kriteria di atas, maka
dapat diidentifikasi adanya dua batas sikuen dan
perkiraan top batuan dasar (lihat Gambar 3). Sikuen 1
(S1) dibatasi oleh Top Basement (BSMT) – Batas
PALEMBANG
PRABUMULIH
Gambar 1. Peta konfigurasi batuan dasar Cekungan
Sumatera Selatan (Sapiie et al., 2005)
4
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 3. Interpretasi a) batas sikuen dan fasies seismik pada penampang fasa sesaat serta b) fasies
pengendapannya pada lintasan kunci Barat-Timur di Area Lembak.
Sikuen (SB) 1 sedangkan Sikuen 2 (S2) dibatasi oleh
Batas Sikuen (SB) 1 - dan Batas Sikuen (SB) 2 yang
dinterpretasikan setara dengan Top LAF. Karena tidak
terdapatnya data sumur yang menembus sampai
batuan dasar pada daerah hanging wall, maka top
batuan dasar disini diinterpretasikan sebagai top
lapisan yang mendasari endapan syn-rift yang dapat
berupa endapan pre-rift (Formasi Kikim) maupun
batuan Pra-Tersier.
Analisis Data
Fasies Seismik dan Fasies Pengendapan
Fasies seismik ditentukan berdasarkan
pengelompokan batas atas, batas bawah, dan karakter
internal lapisan. Fasies seismik yang telah
diidentifikasi diterjemahkan menjadi fasies
pengendapan berdasarkan model distribusi sedimen
pada konsep tektonostratigrafi (Prosser, 1993) dan
stratigrafi sikuen (Vail, 1987).
5
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
a. Fasies pada Sikuen 1 (S1)
S1 diinterpretasikan termasuk pada sikuen
pengendapan awal pemekaran (rift initiation). Prosser
(1993) menyebutkan bahwa pada tahap rift initiation
pergerakan sesar akan menghasilkan daerah depresi
dan diikuti oleh sistem pengendapan gravitasional
(gravity-driven sedimentray system). Laju
penurunannya relatif sama dengan laju pasokan
sedimen sehingga pola ketebalnya akan relatif
seragam. Sistem drainase utama cekungan akan sejajar
dengan sumbu cekungan sebagai sistem sungai
longitudinal (longitudinal river system). Tinggian baru
yang terbentuk pada footwall crests dan hanging wall
crests dapat berpotensi sebagai sumber sedimen.
Pada Gambar 3, terlihat bahwa pada S1 terdapat
incised valley (ivf) di bagian hanging wall yang
memotong batuan dasar. Karakter internal chaotic
yang mengisinya diinterpretasikan sebagai endapan
pasiran (sand prone) (Widmier dan Sangree, 1972;
dalam Veeken, 2007). Terdapat juga karakter internal
hummocky dan discontinuous pada pusat cekungan
yang bergradasi menuju hinge margin menjadi pola
onlap terhadap BSMT. Karakter tersebut
diinterpretasikan mewakili fasies pendapan awal S1
dan mengindikasikan sistem sedimentasi yang
mempertahankan laju penurunan cekungan (kept pace
with subsidence) (Prosser, 1993).
Pada saat pasokan sedimen berkurang,
diinterpretasikan bahwa condense section (cs)
terbentuk sebagai downlap surface yang terlihat jelas
pada lereng (slope). Dalam model rift initiation,
penjelasan mengenai kehadiran downlap surface
dianggap sebagai batas akhir fase ini sedangkan pada
penelitian ini, batas sikuen ditentukan oleh kehadiran
incised valley (ivf) sebagai akibat dari pergerakan
rotasional hanging wall (Prosser, 1993 dan Strecker et
al., 1999). Pola paralel dan mounded diatas downlap
surface yang berubah menjadi sigmoid dan chaotic ke
arah pusat cekungan diinterpretasikan sebagai
perkembangan fasies dari sistem alluvial menjadi
sistem delta.
b. Fasies pada Sikuen 2 (S2)
S2 diinterpretasikan sebagai sikuen yang diendapkan
pada saat laju penurunan sesar maksimum (rift climax).
Prosser (1993) menjelaskan bahwa pada tahap rift
climax laju pergerakan sesar mencapai maksimum dan
cekungan umumnya tenggelam (drowning). Tinggian
topografi sesar pada footwall berada pada lingkungan
subaerial sementara pusat cekungan secara simultan
terendam (submerge). Laju penurunannya relatif lebih
besar daripada laju pasokan sedimen sehingga
cekungannya menjadi miskin sedimen (starvation).
Rift climax dapat dicirikan oleh berkembangnya pola
agradasi bersamaan pembentukan pola divergen
akibat pergerakan rotasional hanging wall selama
pengendapan. Pola mounded yang berasosiasi dengan
kipas-kipas (fans) dan talus hadir di sumbu cekungan.
Selain itu, pola sub-paralel (inter-bedding) reflektor
pada pusat cekungan merepresentasikan kontras
litologi antara kipas-kipas (fans) dan endapan
lakustrin.
Pada Gambar 3 juga dapat ditunjukkan bahwa batas
antara S2 dengan S1 pada hinge margin masih
dicirikan bidang erosional berupa incised valley (ivf).
Pola prograding fill dalam incise valley juga
mencirikan bahwa pengisinya didominasi oleh
endapan pasiran (sand prone) (Widmier dan Sangree,
1972 dalam Veeken, 2007). Struktur mounded yang
terbentuk pada pusat cekungan diinterpretasikan
sebagai lake-floor fan atau sub-lacustrine fan (Vail,
1987; Bochas et al., 2004). Pola agradasi dan
progradasi pada bidang footwall S2 terlihat lebih jelas
daripada S1. Karakter ini menandakan lebih
berkembangnya sistem delta kipas (fan delta) atau
kipas alluvial (alluvial fan) pada bidang border fault
(Prosser, 1993).
Pola sub-paralel beragradasi dengan amplitudo
reflektor yang tegas terdapat pada pusat cekungan.
Pola tersebut identik dengan deskripsi Prosser (1993)
mengenai perselingan (inter-bedding) antara kipas-
kipas (fans) dengan endapan lakustrin. Perkembangan
fasies ini mencirikan tahap pertengahan rift climax
(Prosser, 1993). Pada tahap ini lingkungan lakustrin
menjadi dominan. Kemungkinan besar banyak
diendapkan klastika halus di pusat cekungan yang
berfungsi sebagai batuan induk. Lapisan klastika
halus pada S2 ini diinterpretasikan setara dengan
Benakat (Shale Member) dari LAF. Permukaan banjir
maksimum (maximum flooding surface / mfs) pada S2
terbentuk sebagai downlap surface (horizon hitam
putus-putus Gambar 3).
Penerapan Stratigrafi Sikuen
Penulis mengambil hipotesis bahwa dalam penelitian
ini, setiap suksesi dan fasies yang terbentuk pada fase
6
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
tektonostratigrafi terutama rift climax dapat
dididefinisikan dalam pembagian sikuen berdasarkan
konsep sikuen stratigrafi sikuen yang dikembangkan
oleh Vail (1987) (Exxon Sequence Model) pada daerah
passive margin. Hal ini selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Changson (2001) yaitu bahwa
konsep stratigrafi sikuen dapat diaplikasikan untuk
mengetahui suksesi pengendapan lakustrin pada
cekungan rift.
Awal rift climax (early rift climax) identik dengan fase
Lowstand System Tract (LST) dimana penciri fase ini
ditunjukkan oleh kehadiran unit fasies dasar cekungan
yaitu basin floor fan atau dalam daerah penelitian
sama dengan lake-floor fan. Pertengahan rift climax
(mid-rift climax) identik dengan fase Transgressive
System Tract (TST). TST terbentuk pada saat kenaikan
muka air laut yang cepat. Fase ini dicirikan oleh pola
retrogradasi dan berakhir sampai mencapai
permukaan banjir maksimum (mfs). Pada daerah
penelitian, fase ini diinterpretasikan sebagai tahap
dominasi perkembangan lingkungan lakustrin dan
ruang akomodasi yang terbentuk merupakan fungsi
dari kenaikan relatif muka air danau (relatif lake level
rise) dan pergerakan rotasional hanging wall
(Changson et al., 2001). Akhir rift climax identik
dengan fase Highstand System Tract (HST) dimana
pengendapan fasiesnya terjadi setalah mfs dan ditandai
oleh pola progradasi menuju cekungan membentuk
delta dan dataran pantai dengan pelamparan yang luas
(Slatt, 2006).
Pada penerepan yang lebih lanjut, dengan
menggunakan konsep stratigrafi sikuen, kita juga
dapat menjelaskan mengenai bagaimana distribusi
fasies yang dapat berpotensi sebagai reservoar dan
batuan pada sistem rift, untuk meningkatkan tingkat
keakuratan analisis stratigrafi, dan sebagai metode
untuk analisis dan evaluasi cekungan (basin analysis
atau basin evaluation) (Takano, 2007).
Peta Isopach dan Peta Fasies
Peta isopach dihitung berdasarkan ketebalan
stratigrafi sebenarnya (true stratigraphic tickness)
dari masing-masing sikuen. Peta isopach digunakan
untuk melihat pola ketebalan lapisan sikuen,
kemungkinan daerah pembajian, dan paleotopografi
sikuen. Sedangkan peta fasies seismik dikelompokkan
berdasarkan karakter batas atas (A), batas bawah (B),
dan karakter internal (C) dalam sikuen menggunakan
kode Ramsayer (1977) yaitu A-B/C yang pada tahap
selanjutnya di terjemaahkan kedalam fasies
pengendapan.
Peta isopach (warna) dan peta fasies (garis putih putus-
putus) ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4.a.
menunjukkan pola isopach dari S1 (BSMT-SB1) atau
tebal sikuen rift initiation. Pola tinggian lokal purba
yang diwakilkan oleh isopach rendah (merah) terlihat
sangat jelas berundulasi dan mengelilingi cekungan.
Diinterpretasikan bahwa sumber sedimen pengisi
cekungan berasal dari tinggian-tinggian tersebut dan
masuk ke dalam cekungan melalui incised valley
sebagai sistem pengendapan gravitasional (gravity-
driven sedimentary system). Pembajian dari fasies
alluvial-fluvial kemungkian terdapat pada tinggian A
di barat dan tinggian B di utara.
Gambar 4.b menunjukkan pola isopach dari S2 (SB1-
SB2) atau tebal sikuen rift climax. Pola ketebalan
lapisannya terlihat lebih seragam mengelilingi puat
cekungan. Geometri cekungan terlihat lebih sempit
secara lateral, lebih tebal secara vertikal dan lebih
melingkar daripada S1. Hal ini diinterpretasikan
berkaitan dengan semakin cepatnya laju penuruan
hanging wall secara rotasional pada tahap rift climax.
Daerah delta melebar ke arah selatan-barat daya.
Pembajian tetap berada pada daerah A dan didominasi
oleh fasies delta sedangkan pembajian di daerah B
didominasi oleh fasies alluvial-fluvial.
Dari kombinasi peta isopach fasies dan di atas dapat
disimpulkan bahwa daerah tinggian A dan B sangat
potensial sebagai daerah pemerangkapan stratigrafi
berupa pembajian baik untuk S1 maupun S2,
sedangkan fasiesnya dapat terdiri dari alluvial-fluvial
pada S1 dan delta pada S2.
Tipe Cekungan dan Potensi Batuan Induk
Pola-pola fasies seismik yang terdapat pada S2
t e ru t ama t ahap pe r t engahan r i f t c l imax
mengindikasikan bahwa perbandingan antara laju
pembentukan ruang akomodasi dan pengisian
cekungan relatif seimbang dan mencirikan suatu
konfigurasi fasies dari balanced-fill lake basin
(Bochas et al., 2000). Interpretasi ini berlawanan
dengan karakteristik rift climax yang dijelaskan oleh
Prosser (1993) sebelumnya dimana pada tahap
tersebut kemungkinan akan terbentuk cekungan
miskin sedimen (stravation atau underfilled lake
basin). Perbedaan tersebut terjadi karena Prosser
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
7
Gambar 4. Peta isopach dalam milisecond (warna) dan peta fasies pengendapan untuk a) S1- rift initiation dan b)
S2 - rift climax. Garis putih putus-putus menandakan batas fasies pengendapan. Panah menunjukkan arah
pengendapan. Lingkaran hitam A dan B menunjukkan lokasi potensi pemerangkaan stratigrafi berupa pembajian
dan incised valley.
8
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
(1993) menggunakan asumsi bahwa pasokan sedimen
pengisi cekungan dianggap relatif konstan sehingga
penambahan ruang akomodasi tidak diimbangi oleh
pengisian sedimen.
Selain ditafsirkan dari geometri dan fasies pengisi
cekungan, tipe balanced-fill lake basin juga dapat
diidentifikasi dari karakter batuan induk dan
hidrokarbon seperti yang didefinisikan oleh Bochas et
al., (2000). Mereka menyebutkan bahwa pada tipe
cekungan ini, batuan induknya akan didominasi oleh
kerogen Tipe I, campuran kerogen tipe I-III dekat
flooding surface dan harga TOC memiliki kisaran
menengah sampai tinggi. Karakter hidrokarbonnya
cenderung menghasilkan minyak (oil prone), bersifat
parafin, dan kaya akan biomarker alga. Batuan
induknya digolongkan sebagai high-quality oil shale.
LAF yang tertembus pada sumur PX-3 terdapat pada
akhir dari rift climax (2975 – 3010 mbpl). Meskipun
demikian, analisis geokimia batuan induk dari LAF
yang dilakukan oleh Lemigas (1999) pada sumur PX-3
menyimpulkan bahwa LAF memiliki batuan induk
campuran tipe I-III. Kualitas batuan induknya
memiliki harga TOC 0,8 – 2,2%. Hasil uji produksi
pada kedalaman 3013-3018 mbpl menghasilkan
minyak dengan harga derajat API yang tinggi di atas
50 atau Specific Gravity (SG) sekitar 0.78 yang
digolongkan sebagai light oil atau minyak ringan
(paraffinic?) (Hunt, 1979). Analisis data biostratigrafi
pada LAF menunjukkan bahwa terdapat kelimpahan
Alga Concentris pada kedalaman 3038-3096 mbpl
(Lemigas, 1998 dalam Pertamina, 2001). Penjelasan
mengenai batuan induk, hidrokarbon, dan
biostratigrafi di atas memperkuat penafsiran bahwa
cekungan yang terbentuk pada S2 memiliki tipe
balanced-fill lake basin dan cenderung berfungsi
sebagai oil kitchen.
Potensi Akumulasi Hidrokarbon
Tatanan stratigrafi endapan syn-rift yang didefinisikan
berdasarkan data seismik menggunakan pendekatan
tektonostratigrafi dan stratigrafi sikuen digunakan
dalam menjelaskan perkembangan cekungan. Pada
tahap selanjutnya, hasil analisis tersebut dituntun
untuk menafsirkan potensi akumulasi hidrokarbon
atau play yang dapat berkembang di Area Lembak.
Model akumulasi hidrokarbon dari cekungan rift pada
Area Lembak dianggap analog dengan model yang
dikemukakan oleh Atkinson et al. (2006) untuk
cekungan rift Paleogen di Indonesia Meskipun
Atkinson et al. (2006) tidak menjelaskan secara detail
mengenai distribusi fasies pada cekungan rift serta
karakteristik dari masing-masing play, model tersebut
dapat memberikan gambaran umum mengenai
hubungan antara unsur-unsur sistem perminyakan
dengan play eksplorasi hidrokarbon pada cekungan
rift.
Model akumulasi hidrokarbon pada endapan syn-rift di
Area Lembak ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Model akumulasi hidrokarbon untuk endapan syn-rift pada Area Lembak modifikasi dari Atkinson et. al., (2006) (Direzza, 2010).
9
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Berdasarkan evaluasi terhadap risiko penemuan
hidrokarbon yang berhubungan dengan unsur sistem
perminyakan seperti charging, perangkap, waktu
migrasi, dan lapangan penemuan hidrokarbon, maka
dapat ditentutkan beberapa play terhadap geometri
cekungannya seperti hanging wall, inversion dan
lake-floor fan pada pusat cekungan, dan footwall.
Selaras dengan pemodelan Atkinson et al. (2006),
lokasi terbaik untuk pemerangkapan hidrokarbon di
Area Lembak terdapat pada hanging wall play. Hal
tersebut dapat dijelaskan bahwa daerah hanging wall
merupakan jalur utama migrasi hidrokarbon
(charging), perangkap stratigrafi berkembang sebagai
pembajian atau perubahan fasies sedangkan
perangkap struktur berkembang sebagai hasil evolusi
tektonik. Penjelasan tersebut dibuktikan juga oleh
banyaknya penemuan hidrokarbon yaitu PY-1, PX-1,
dan PX-2 yang terletak pada hanging wall half graben
Lembak (Gambar 3 dan 4).
Berdasarkan model akumulasi hidrokarbon pada Area
Lembak pada Gambar 5, dapat diketahui bahwa masih
banyak daerah pada endapan syn-rift yang menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Dengan kata lain, masih
banyak play pada endapan syn-rift yang belum
dibuktikan (unproven play) dan sangat menarik untuk
dijadikan target baru dalam strategi eksplorasi
hidrokarbon selanjutnya di Area Lembak.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai
stratigrafi seismik pada endapan syn-rift di Area
Lembak, maka dapat disimpulkan :
1. Melalui pendekatan analisis tetktonostratigrafi dan
stratigrasi sikuen, metode stratigrafi seismik dapat
diterapkan untuk mengetahui evolusi pembentukan
dan pengisian cekungan khususnya pada endapan
syn-rift, sebagai underexplored area di Area
Lembak.
2. Endapan syn-rift dapat dibagi menjadi dua sikuen
yaitu Sikuen 1 (S1) dan Sikuen 2 (S2) yang masing-
masing dibatasi oleh ketidakselarasan menyudut
pada hinge margin dan keselarasan korelatif pada
pusat cekungan. Dua sikuen yang teridentifikasi di
atas diiterpretasikan sebagai manifestasi dari
perbedaan laju penurunan hanging wall secara
rotasional dengan arah orientasi utama barat-timur
: S1 – rift initiation dan S2 – rift climax.
3. Fasies endapan syn-rift dapat terdiri atas sistem
alluvial : alluvial-fan, fan-delta, incised valley; dan
sistem lakustrin: lake-floor fan, lacustrine, lake
delta. S1 didominasi oleh endapan alluvial
sedangkan S2 didominasi oleh endapan lakustrin.
4. Cekungan pada Area Lembak, khususnya pada
sikuen rift climax, dapat dikategorikan sebagai
balanced-fill lake basin yang akan memiliki batuan
induk utama berupa serpih lakustrin (oil prone).
5. Area Lembak masih memiliki banyak potensi
sistem perminyakan dan akumulasi hidrokarbon
yang cukup baik dan menarik untuk dieksplorasi
lebih lanjut.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen
Migas, BPMIGAS, serta majemen PT. Pertamina EP
yang telah memberikan izin untuk mempublikasikan
karya ilmiah ini.
Daftar Pustaka
Atkinson, C., M. Renolds, and O. Hutapea, 2006,
Stratigraphic traps in the Tertiaryrift basins of
Indonesia : case studies and future potential, in :
Allen et al., (editors), 2006, The Deliberate
Search for the Stratigraphic Trap, Geological
Society Special Publication, no.254, p.105-126
Bochas, K. M., A.R.Carroll, J.E. Neal, and P.J.
Mankiwicz, 2000, Lake-Basin Type, Source
Potential, and Hydrocarbon Character: an
Integrated Sequence - Stratigraphic-
Geochemical - Framework, in E.H. Gierlowski-
Koedesch and K.R Kelts, eds., Lake basin
trough space and time : AAPG Studies in
Geology 46. P.3-34.
Bochas, K. M., 2004, Reservoir Prediction in Lake
Systems: Complex, and Challangeing,
Association of American Petroleum Geologists
(AAPG) Hedberg Conference, Baku, Azerbaijan
Changson, L., K. Eriksson, L. Sitian, W. Yongxian, R.
Jianye, and Z. Yanmei, 2001, Sequence
architechture, depositional systems, and
control development of lacustrine basin fill,
Association of American Petroleum Geologists
(AAPG) Bulletin, v.85, no.11, p.2017-2043.
10
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Direzza, Angga, 2010, Analisis Cekungan dan Potensi
Akumulasi Hidrokarbon pada Endapan Syn-
Rift Berdasarkan Stratigrafi Seismik Area
Lembak, Cekungan Sumatera Selatan, Tesis
Program Studi S-2 Teknik Geologi Universitas
Gadjah Mada (UGM), unpublised.
Hunt, J. M., 1979, Petroleum, Geochemistry and
Geology, Freeman, San Francisco, 675 pp.
Lemigas, 1999, Evaluasi Geokimia Lanjut Daerah
Tepus, Internal Report.
Maulana, E., A. Sudarsana, and S. Situmeang, 1999,
Characterization of a Fluvial Oil Reservoir in
the Lemat Sandstone (Oligocene), Puyuh Field,
South Sumatra Basin, Proc. IPA 27th Annual
Convention, p. 83-104.
Pertamina, 2001, South Sumatra Paleogen Syn-Rift
Deposition Study, Subdinas Eksplorasi
Cekungan Dinas Teknologi Eksplorasi,
Internal Report.
Prosser, S., 1993, Rift-Related Linked Depositional
Systems and Their Seismic Expression, in:
Williams, G.D. and Dobb, A., (editors), 1993,
Tectonics and Seismic Sequence Stratigraphy,
Geological Society Special Publication, no.71,
p.35-66
Sapiie, B., M. Hadiana, I. Nugraha, and Sayentika,
2005, Analogue Modeling of Rift Mechanism in
The Paleogene Graben System of Western
Indonesia, Proc. IPA, 30th Annual Convention,
p.593-604
Slatt, R. M., 2006, Stratigraphic Reservoir
Characterization for Petroleum Geologists,
Geophysicists, and Engineers, Handbook of
petroleum exploration and production, Vol.6,
Elseiver, Amsterdam, Netherlands.
Strecker, U., J.R. Steidtmann, and S.B. Smithson,
1999, A conceptual tectonostratigraphic model
for seismic facies migrations on a fluvio-
lacustrine extensional basin: AAPG Bulletin,
v.83, p.43–61.
Tarazona, C., J. S. Miharwatiman, A. Anita, and C.
Caughey, 1999. Redevelopment of Puyuh Oil
Filed (South Sumatra): A Seismic Success Story:
Proc. IPA 27th Annual Convention, p. 65-82
Vail, P.R., 1987. Seismic stratigraphy interpretation
using sequence stratigraphy. Part 1: Seismic
stratigraphy interpretation procedure. In: A.W.
Bally (Ed.), Atlas of Seismic Stratigraphy,
Amer. Assoc. Petrol. Geol. Studies in Geology
27, 1, pp. 1–10.
Veeken, P.C.H, 2007, Seismic Stratigraphy, Basin
Analysis and Reservoir Characterization,
Elsevier, France.
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
PENDEKATAN POLINOMIAL ORDE-3 HUBUNGAN KECEPATAN GRUP DAN FASE DALAM
ESTIMASI TETAPAN ANISOTROPI MEDIUM ISOTROP TRANSVERSAL TEGAK DARI DIFRAKSI
GELOMBANG SEISMIK-P
1 2 2 2Imam Setiaji Ronoatmojo , Djoko Santoso , Teuku Abdullah Sanny , Fatkhan1)PT. ELNUSA Tbk, Graha Elnusa Lt.13, Cilandak Kav. 1B, Jakarta
2) Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Teknik Geofisika, Jalan
Ganesha 10 , Bandung
Abstrak
Kecepatan gelombang seismik berperan cukup penting dalam metoda seismik eksplorasi. Apabila hal tersebut
dihubungkan dengan sifat fisik medium dalam perambatan gelombang, maka sifat anisotropi medium akan
mengakibatkan perubahan kecepatan pada variasi arah. Untuk itu telah banyak dikaji pengaruh sifat anisotropi
medium terhadap perubahan harga kecepatan, dimana kajian tersebut berkembang pada pembelajaran keterkaitan
antara kecepatan grup dan kecepatan fase. Dalam hal ini, perbedaan harga antara keduanya dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sifat anisotropi medium. Pada umumnya kajian mengenai sifat anisotropi diperoleh dari suatu
fungsi refleksi gelombang seismik-P, namun pada studi ini akan diturunkan dari fungsi difraksi yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Sehingga dalam kaitan tersebut, dilakukan metoda penyelesaian numerik dengan
pendekatan polinomial yang didasarkan pada hubungan antara kecepatan grup dan kecepatan fase dengan tetapan
anisotropi pada suatu geometri difraksi, dimana hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan keberadaan waktu
tunda rambat gelombang seismik-P dari sumber di permukaan ke suatu sumber difraksi di bawah permukaan.
Selanjutnya metoda tersebut diuji dengan pemodelan fisik medium isotrop transversal tegak (vertical transverse
isotropy). Hasil pengujian terhadap beberapa penyelesaian numerik dengan pendekatan polinomial orde 2, 3, 4 dan
5 menunjukkan hubungan fungsional yang cukup signifikan antara variabel terikat dan variabel bebas. Hal ini 2ditunjukkan oleh harga F > F , P(f) > 0. dan nilai koefisien determinasi (R ) > 0,9. Bila nilai koefisien A dan A tabel 1 2
yang dihasilkan masing-masing polinomial dimasukkan ke dalam persamaan penghitungan tetapan anisotropi maka
tampak nilai tetapan dipengaruhi oleh nilai koefisien A sedangkan nilai tetapan dipengaruhi oleh nilai koefisien 1
A danA . Hal ini juga menunjukkan bahwa pada perhitungan tetapan akan terbebani kesalahan dari koefisien A 1 2 1
dan A .2
Abstract
Seismic velocity is an important aspect in seismic exploration, it is found that anisotropic properties of media yields
a velocity variation for different direction. Many studies attend as references for discussing the relation of phase
velocity to group velocity. Anisotropic tendency in seismic exploration is observed as a variation of velocity
orientation in a vertical and horizontal direction. This will generate a shifting position from the target along as
seismic P-wave propagation. The difference is more obvious in large offsets. Generally, anisotropy properties of
media were studied through reflected P-wave function but here we will introduce an approach using a diffraction
function. A polynomial equation, which is relating a diffracted P-wave travel time to anisotropy parameter has
been derived for a weak anisotropic medium. It is done by considering the existence of a propagation of seismic P-
wave delay time from a surface source to a sub-surface diffraction source. A physical examination of the polynomial
diffraction equation has been done by using the vertical transversal isotropy medium . The test is conducted on some nd rd th thvariation response of polynomial order including 2 , 3 , 4 , and 5 order polynomial. The result shows there is a
significant functional relationship between dependent variables and independent variables, which is shown by the 2value of F>F , P (f)> 0 and the coefficient of determination (R )> 0.9 . If the A and A coefficient value table 1 2
respectively are inserted into the anisotropy parameter estimation shows that is influenced by the coefficient A1
meanwhile is influenced by coefficient A and A . 1 2
Keywords: seismic velocity, group velocity, phase velocity, anisotropy parameter, polynomial approach
d e
e
d
e
11
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Pendahuluan
Pada saat ini, medium bumi telah dianggap sebagai
medium anisotrop dalam kajian ilmu geofisika
eksplorasi. Sifat anisotropi dan heterogenitas materi
penyusun bumi harus diperhitungkan sejak dari
pekerjaan pengumpulan data, pengolahan sampai
penafsiran data geofisika. Menurut Sheriff (2002) :
“anisotropy (seismic) is variation of seismic velocity
depending on either the direction of travel (for P- or S-
waves) or the direction of polarization (for S-waves)”.
Dalam definisi tersebut tampak bahwa kecepatan
merupakan parameter fisik gelombang yang berperan
penting dalam metoda seismik eksplorasi, serta
mempunyai kekhasan dalam medium anisotrop.
Akurasi estimasi kecepatan mempunyai arti cukup
penting, karena kecepatan adalah parameter kritikal
yang mempengaruhi kwalitas saat koreksi distorsi
dekat permukaan (Taner et.al, 1974), pemrosesan data
multi-fold (Mayne, 1962) dan migrasi data seismik
(Berkhout, 1984; Claerbout, 1985). Data kecepatan
juga akan berpengaruh pada estimasi kecepatan
interval yang digunakan sebagai dasar konversi
waktu ke kedalaman, baik dengan perhitungan rumus
Dix maupun proses tomografi, sehingga dibutuhkan
pengetahuan yang cukup mengenai aspek medium
terutama litologi dan stratigrafi untuk mengetahui
bagaimana pengaruh medium terhadap parameter
kecepatan dengan mengamati karakter gelombang
seismik pada saat merambat melalui medium tersebut
(Domenico, 1984).
Kecenderungan anisotropi dalam metoda seismik
eksplorasi teramati sebagai perbedaan nilai kecepatan
pada arah tegak dan mendatar. Perbedaan tersebut
akan muncul terutama saat offset yang digunakan
merupakan offset-offset jauh.
Pada tahun 1932, McCollum dan Snell menemukan
fakta bahwa nilai kecepatan gelombang seismik-P
arah mendatar pada endapan serpih Lorraine di
Canada adalah 1,4 kali nilai kecepatan tegaknya
(Levin, 1978). Kemudian berbagai pembelajaran
anisotropi mulai berkembang sejak tahun 1950-an
yang mendeskripsikan bahwa kecenderungan
anisotropik terjadi pada medium yang mempunyai
ketebalan perlapisan lebih rendah dari pada panjang
gelombang seismik yang merambat pada medium
tersebut (Postma, 1955 op.cit Dellinger, 1991).
Sementara itu, bukti adanya sifat intrinsik anisotropi
diperoleh dari pengamatan laboratorium terhadap
beberapa sampel batuan yang terjadi berkaitan dengan
perubahan tekanan di bawah permukaan (Nur, 1969
op. cit Dellinger, 1991). Bachman (1979) menemukan
sifat transverse isotropy pada core yang berasal dari
pemboran laut dalam. Hal yang sama juga diamati
oleh Jones dan Wang (1981) dari pengamatan core di
Willinston Basin , North Dakota.
Meskipun demikian aplikasi bagi anggapan anisotropi
diabaikan sampai tahun 1980-an, karena kebanyakan
data seismik direkam dengan offset-offset dekat yang
tidak menunjukkan kecenderungan anisotropi,
walaupun sebenarnya medium tidak bersifat isotropi.
Implikasi yang nyata teramati adalah pada saat proses
koreksi kecepatan NMO (normal move-out), yaitu
saat digunakannya data dengan offset dekat, maka bila
medium tersebut anisotrop atau bukan, hasil koreksi
pada reflektornya menunjukkan kenampakan koreksi
yang datar. Namun ketika menggunakan data offset
yang jauh, khususnya bagi medium yang anisotropik
maka hasil koreksinya sulit untuk menampakkan
refektor yang datar.
Pengaruh dari adanya sifat anisotropik juga terjadi
pada saat proses migrasi, dimana data waktu tempuh
dari offset-offset jauh yang mempunyai sudut pantul
lebih besar dari 400 merupakan data yang mengalami
penggeseran energi dari arah berkas semula ke posisi
lainnya yang mengacu pada posisi titik singgung
muka gelombangnya (Dellinger 1991). Pada saat
interpretasi data seismik, anggapan anisotropik mulai
diperhitungkan seperti saat analisis AVO (amplitude
versus offset), dimana Blangy (1994) dan Ruger
(1998) melakukan koreksi pada persamaan Aki-
Richard dengan memasukkan parameter anisotropi
pada koefisien yang merupakan gradien persamaan
tersebut.
Adapun estimasi nilai tetapan anisotropi bisa
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Pengamatan secara langsung dilakukan dengan
menggunakan data VSP dari suatu sumur eksplorasi,
sedangkan pengamatan secara tidak langsung
dilakukan dengan menggunakan suatu fungsi refleksi.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan hal yang
sama tetapi melalui fungsi difraksi yang muncul pada
suatu common shot gather dengan beberapa alasan
yang melatar-belakanginya yaitu :
12
13
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
1. Suatu difraksi yang muncul pada common shot
gather masih merupakan gelombang seismik yang
asli dan belum mengalami perubahan akibat
pemrosesan digital.
2. Fungsi tersebut bukan berada pada domain
bawah permukaan sehingga bukan merupakan
sekumpulan unit di dalam binning melainkan suatu
hamburan energi seketika yang diamati dalam
domain permukaan.
3. Fungsi tersebut bisa dianggap sebagai sekumpulan
unit gelombang transmisi sebagaimana yang
diamati oleh Thomsen (1986).
Dari penelitian ini diharapkan bisa diperoleh metoda
alternatif untuk menentukan suatu tetapan anisotropi
yang mempunyai arti sangat penting dalam
pemodelan kecepatan serta sangat berpengaruh pada
kwalitas penampang seismik terutama pada survai
yang menggunakan offset-offset jauh di daerah yang
mempunyai kecenderungan anisotropik. Berdasarkan
penelusuran pustaka, orisinalitas penelitian terletak
pada pengkajian hubungan antara kecepatan grup dan
fase pada medium anisotrop melalui fungsi waktu
tempuh gelombang seismik-P difraksi.
Medium Isotrop Transversal Tegak
Pembelajaran mengenai sifat anisotropi merupakan
pembelajaran mengenai perambatan gelombang
seismik pada suatu medium. Pada hakekatnya
perambatan gelombang adalah perambatan energi
sehingga hal tersebut tidak terlepas dari pembahasan
mengenai tegangan dan regangan yang berarti
perambatan energi gelombang menimbulkan tegangan
yang mengakibatkan regangan pada medium.
Menurut Hukum Hooke, hubungan tersebut
dinyatakan dalam Persamaan (1) sebagai :
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
=
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
zx
yz
xy
zz
yy
xx
zx
yz
xy
zz
yy
xx
c
cc
ccc
cccc
ccccc
cccccc
e
e
e
e
e
e
s
s
s
s
s
s
66
5655
464544
36353433
2625242322
161514131211
(1)
ije dengan adalah tegangan, adalah stiffness
dan adalah regangan. Tensor elastisitas mempunyai
21 konstanta independen, seperti tampak pada notasi
matriks 6x6 diatas yang merupakan reduksi dari 36
konstanta, dimana konstanta untuk i,j =
1,2,3,….; konstanta independen tersebut dapat dicari
melalui 21 kali pengukuran tegangan dan regangan
pada arah-arah tertentu.
jiijcc =
ijs
ijc
( ) ( )
( ) ( )
( ) ( )
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
--
--
--
=
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
zx
yz
xy
zz
yy
xx
zx
yz
xy
zz
yy
xx
c
c
c
ccccc
ccccc
ccccc
e
e
e
e
e
e
s
s
s
s
s
s
44
44
44
3344334433
4433334433
4433443333
22
22
22
(2)
( )
( )
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
-
-
=
úúúúúúúúúúúúúúú
û
ù
êêêêêêêêêêêêêêê
ë
é
zx
yz
xy
zz
yy
xx
zx
yz
xy
zz
yy
xx
c
c
c
ccc
cccc
cccc
e
e
e
e
e
e
s
s
s
s
s
s
66
44
44
331313
13116611
13661111
2
2
(3)
Maka kecepatan gelombang seismik-P pada suatu
variasi sudut fase dapat ditentukan melalui
Persamaan (4) (Tsvankin, 2001; Helbig dan Thomsen,
2005) :
dengan,
[ DccccVp +-++= qr
q 233114433
2 sin)(2
1)( [
( )4433 2cc -
Pada kasus isotropi sebagaimana ditunjukkan oleh
matriks Persamaan (2) maka hanya terdapat 2
konstanta independen yaitu dan dimana pada
arah diagonal terdapat konfigurasi simetris dari 2
konstanta independen serta nilai , dan diisi
dengan . Sedangkan untuk kasus anisotropi
polar berupa medium berlapis yang mempunyai
sumbu simetri tegak lurus bidang isotropi, mempunyai
5 konstanta independen sebagaimana ditunjukkan
dalam Persamaan (3) berikut :
33c 44c
12c 13c 23c
q
(4)
33114433
24413
24433 )(()(2[2){( ccccccccD +--++-º
[ ] 2
1
424413
2443311
244 }sin)(4)2(sin)2 qq cccccc +--++- (5)
14
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Menurut Helbig dan Thomsen (2005), pangkat 4 dan
akar pada Persamaan (5) menunjukkan kompleksitas
dalam geofisika, meskipun demikian ada beberapa
asumsi yang dianut antara lain hal tersebut
mengandung aproksimasi simetri polar, lalu
kebanyakan merupakan medium anisotrop lemah dan
efek anisotropi selalu menunjukkan gabungan
pengaruh dari c .
Apabila tetapan anisotropi pada kasus anisotropi polar
dinyatakan sebagai dan maka hubungan tetapan
anisotropi tersebut dengan konstanta independen
dinyatakan sebagaimana berikut :
33
334413
443333
24433
24413 2
)(2
)()(
c
ccc
ccc
cccc -+»
-
--+ºd
33
3311
2c
cc -ºe
[ ]qeqqdq 422 sincossin1)0()( ++= PP VV
Gambar 1. Geometri kecepatan grup dan kecepatan
fase (Thomsen, 1986)
Fungsi Difraksi
Selama ini fungsi difraksi dianggap sebagai sesuatu
yang mengganggu data refleksi yang akan diproses
dan biasanya dihilangkan pada saat migrasi sebelum
dan sesudah stack, namun pada kali ini fungsi tersebut
akan digunakan untuk penghitungan tetapan
anisotropi.
Kemudian jika ditelaah lebih lanjut, maka suatu
peristiwa difraksi adalah suatu fenomena gelombang
seismik yang mengenai bidang diskontinyu dengan
karakteristik menyebar ke segala arah. Semakin kecil
obyek maka akan semakin kuat difraksinya.
Sebaliknya jika semakin besar obyek, pola difraksinya
melemah dan akan didapatkan sinyal refleksinya.
Dalam karakteristik dasarnya, gelombang yang
terdifraksi tidak dapat dibedakan dari gelombang
refleksi. Amplitudo difraksi akan maksimum pada
beberapa titik sepanjang kurva difraksi setelah suatu
kenampakan reflektor berakhir, dalam hal ini refleksi
merupakan tangensial dari difraksi (Sheriff dan
Geldart, 1995). Pengurangan amplitudo terjadi secara
cepat ketika menjauh dari titik ini. Kurva difraksi akan
bervariasi tergantung posisi masing-masing sumber
dan penerima. Apabila kurva waktu tempuh
gelombang refleksi memenuhi Persamaan (8) :
nx tt
Vh
x
hhx
Vt D+=+»+= 0
22
4
2)4(
1
ij
d e
(6a)
(6b)
Sehingga diperoleh hubungan :
(7)
Parameter dan sering disebut sebagai parameter
anisotropi dimana nilainya akan mendekati nol bila
medium bersifat isotropik. Selanjutnya dengan
mengetahui hubungan kecepatan fase dan
parameter anisotropi, maka akan dapat ditentukan
suatu model kecepatan yang mendekati sebenarnya.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nilai , dan dasar penetapan asumsi
tersebut sebagaimana tampak dari Gambar 1 yakni :
1. Pada medium anisotrop, sudut fase atau sudut
yang merupakan sudut yang dibentuk oleh garis
normal gelombang dan vektor bilangan
gelombang k yang tegak lurus terhadap muka
gelombang bukanlah suatu berkas sinar yang
berasal dari suatu titik awal sumber di permukaan.
2. Perubahan sudut fase ( ) tidak bertumpu pada
satu titik tetapi akan selalu mengikuti perubahan
sudut grup ( , sehingga geometri perubahannya
akan lebih kompleks daripada geometri
perubahan sudut (
3. Sudut fase ( ) merupakan sudut teoritis yang tidak
bisa diukur di lapangan, sedangkan untuk
kepentingan praktis biasa digunakan sudut grup
(
f)
f).
f).
d e
( )qV
fq tantan =
q
q
q
(8)
dimana besarnya x diasumsikan lebih kecil dari h,
maka untuk kondisi sumber berada di atas titik
difraktor A, persamaan kurva travel-time difraksinya
menjadi :
nx tt
Vh
x
hhxh
Vt D+=+»++= 2
2
2])4([
10
222
(9)
wavefront
wave vector k
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Kurva difraksi juga berbentuk hiperbola seperti kurva
refleksi tetapi memiliki nilai waktu normal moveout
dua kali dari gelombang refleksi. Ketika posisi sumber
ledakan tidak terletak vertikal diatas titik difraktor,
maka kurva travel-time diberikan oleh Persamaan
(10) :
))(()[(1 2222
haxahV
t x +-++=
Vh
xaatt n
)(20
-+D+» (10)
Sedangkan kurva difraksi pada common mid-point gather memiliki persamaan kurva travel-time yang berbeda dengan persamaan diatas yaitu seperti Persamaan (11) berikut :
úúû
ù
êêë
é
ïþ
ïýü
ïî
ïíì
-++ïþ
ïýü
ïî
ïíì
++= 2222 )2
()2
()1
( bx
hbx
hV
tx (11)
Dari ketiga persamaan tersebut, Persamaan (10) yang
akan digunakan saat penurunan matematika, karena
mengacu pada domain sumber di permukaan,
Adapun persamaan polinomial yang dijadikan dasar
untuk penurunan matematika dalam penelitian ini
adalah Persamaan (12) yang menyatakan hubungan
antara kecepatan grup dan tetapan anisotropi yang
didasarkan pada persamaan-persamaan yang berlaku
untuk medium isotrop transversal tegak (Berryman,
1979; Thomsen, 1986; Dellinger, 1991; Tsvankin,
2001; Helbig dan Thomsen, 2005) , yakni :
[ ]qhqdq 42 sinsin1)0()( ++= PP VV (12)
Dan juga persamaan lainnya yang menggambarkan
suatu sifat anisotropi yang bisa menimbulkan suatu
pergeseran posisi sebagaimana Persamaan (13)
berikut :
2
22
)(
)()()( ÷÷
ø
öççè
æ+=
q
qqf
d
dVVV (13)
Kemudian bila kedua persamaan tersebut
disubstitusikan maka akan diperoleh persamaan :
22222 )3162()42(1[)0()( ZZVV ddhhddf -++++=
]15)1416(4232
ZZ hdhh --+
q2sin=Z
(14a)
dengan :
(14b)
Selanjutnya persamaan tersebut dapat ditulis menjadi :
( ) [ ]43222 1)0( sZrZqZpZVV ++++=f
dimana :
( )242 dd +=p
( )23162 ddhh -+=q
( )dhh 14162-=r
( )215h-=s
(14d)
(14e)
(14f)
(14g)
Gambar 2. Geometri difraksi (modifikasi dari Sheriff
dan Geldart, 1995)
Pada penelitian ini, selanjutnya penulis men-
substitusikan persamaan waktu tempuh difraksi ke
dalam persamaan tersebut berdasarkan geometri
difraksi sebagaimana Gambar 2 diatas sehingga akan
diperoleh persamaan :
22
22
22
0
2
220
)()1(1
'
1
1'
ZpqZp
hah
hatt
h
hat
x
-+-+=
úú
û
ù
êê
ë
é
÷÷
ø
ö
çç
è
æ
++
+-
úúúúú
û
ù
êêêêê
ë
é
÷÷÷÷÷
ø
ö
ççççç
è
æ
++
543 )()()( ZsZrsZqr -+-+-+
Jika a = 0 maka berlaku persamaan :
32
2
0
20
)()()1(1
2
'
2
'
ZqrZpqZpt
t
t
x
-+-+-+=
úû
ùêë
é-
úû
ùêë
é
54 )()( ZsZrs -+-+
(15a)
(15b)
(14c)
15
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Bila koefisien A1 dan A2 dari persamaan diatas dapat
diketahui dari suatu pencocokan polinomial maka
akan diperoleh harga melalui persamaan :
124 21 -+= ddA
8
)1(1642 12,1
++±-=
Ad
Setelah harga diketahui maka harga dapat dicari
melalui persamaan :
dddhh 27162
2 --+=A
d
(16a)
(16b)
e d
(16c)
)162(
)27( 22
d
ddde
+
+++=
A (16d)
Bila dikaji lebih lanjut polinomial dalam matematika
adalah pernyataan matematika yang melibatkan
jumlahan perkalian pangkat dalam satu atau lebih
variabel dengan koefisien. Sebuah polinomial dalam
satu variabel dengan koefisien konstan memiliki
bentuk seperti berikut:
nn xAxAxAxAAy +++++= ......3
32
210(17)
Pangkat tertinggi pada suatu polinomial menunjukkan
orde dari polinomial tersebut. Bila ditinjau dari
karakteristik kurvanya maka suatu polinomial orde 2
atau yang sering disebut sebagai persamaan kwadrat
akan mempunyai bentuk kurva parabola, sedangkan
pada orde 3 akan berbentuk kurva kubik dengan
sepasang tinggian dan rendahan kurva, sementara
polinomial dengan orde lebih besar dari 3 akan
berbentuk kurva non linear kontinyu.
Dari penjelasan tersebut bisa dipahami bahwa apabila
suatu fungsi polinomial yang belum diketahui
ordenya tetapi mempunyai nilai variabel bebas dan
variabel terikat yang diketahui, maka pemilihan orde
polinomialnya berpengaruh pada perubahan nilai
koefisien yang digunakan pada masing-masing
pendekatan orde terkait (Ronoatmojo et.al., 2008).
Penyelesaian numerik yang digunakan adalah dengan
cara pencocokan polinomial menggunakan regresi
polinomial (non linear), sehingga sangat penting
untuk mencari nilai galat dari masing-masing fungsi
hampiran. Adapun persamaan yang akan dihampiri
adalah persamaan hasil penurunan matematika
dengan orde 5 dengan suatu nilai variabel (x , y ) yang i i
diketahui dari hasil pengukuran. Nilai koefisien yang 0tetap dalam hal ini hanyalah nilai koefisien A dari x 0
yaitu bernilai 1 yang merupakan harga intercept. Nilai
tersebut tetap karena pada saat t berada pada posisi d
offset = 0, maka nilainya sama dengan . Selanjutnya
dengan jalan operasi matriks yang lazim digunakan
pada saat regresi polinomial akan dicari masing-
masing fungsi hampirannya. Sehingga salah satu
perangkat atau kriteria penilaian untuk penetapan orde
polinomial adalah melalui analisis varian dan
analisis t.
Diskusi dan Pembahasan
Jika dilakukan pengeplotan terhadap seluruh data
dan yang dihasilkan dari perhitungan (Gambar 3),
tampak bahwa ada suatu perubahan gradual antara
hasil perhitungan tetapan anisotropi dengan
menggunakan pencocokan polinomial orde 2 dan
polinomial orde 3, sedangkan perubahan ke arah
polinomial orde 4 serta orde 5 akan lebih nyata
perbedaannya, demikian pula tercermin dari masing-
masing perubahan koefisien A dan A . Hal ini 1 2
menandakan bahwa semakin besar orde polinomial-
nya akan semakin besar pula nilai kesalahan yang
terjadi. Yang patut juga dicatat bahwa nilai kesalahan
akan lebih besar daripada nilai kesalahan yang terjadi
pada , mengingat perhitungan secara kumulatif
dipengaruhi oleh nilai koefisien A dan A . Namun 1 2
demikian kesalahan perhitungan tidak semata-mata
akibat kesalahan pada , misalnya pada kasus
polinomial orde 2 dan orde 3, kesalahan tersebut
terjadi akibat nilai koefisien A dimana koefisien A 2 1
yang ada masih mampu memberikan nilai yang
mendekati akurat.
Bila dikaji lebih lanjut sumber dari kesalahan berasal
dari asumsi dasar nilai yang diaplikasikan
pada saat penurunan matematika melalui persamaan
pythagoras segitiga SDG (Gambar 2) serta pada saat
proses penghitungan nilai dianggap sama
dengan . Sehingga untuk orde polinomial yang
lebih tinggi kesalahan yang terjadi juga akan menjadi
lebih besar nilainya (Ronoatmojo et.al., 2009;
Ronoatmojo et.al., 2010). Dari pemodelan matematika
dan pengujian matematika tersebut dapat diperoleh
suatu klasifikasi penerapan metoda yang masing-
masing berlaku untuk nilai tetapan anisotropi tertentu.
Pembagian kelas tersebut didasarkan pada distribusi
tetapan anisotropi yang pernah dipublikasikan oleh
Thomsen (1986) dan kesalahan yang muncul dari
penyelesaian numerik.
d
e
e
d e
e
d
d
20t
qf tan=
fsin
qsin
16
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 3. Tetapan anisotropi hasil perhitungan vs model untuk pencocokan polinomial orde 2, 3, 4 dan 5
Sehingga dengan cara mengkaji masing-masing kelas
kita bisa tetapkan area berlakunya metoda yang diteliti
dimana tidak semua kelas menunjukkan suatu
tanggapan positif terhadap berlakunya asumsi. Pada
area dimana asumsi tidak diperkenankan akan jelas
menunjukkan adanya suatu kesalahan yang muncul
dari koefisien persamaan regresi polinomial, serta
akan masuk di dalam perhitungan tetapan anisotropi.
Selengkapnya k elas-kelas tersebut adalah :
1. Kelas 1 0 < d < 0,1 dan h < 0,1 2. Kelas 2 0 < d <0,1 dan h > 0,1 3. Kelas 3 d > 0,1 dan h > 0,1 4. Kelas 4 d < 0 dan h > 0 5. Kelas 5 d > 0,1 dan h < 0
Kelas 1 0 < d < 0,1 dan h < 0,1
Kebanyakan medium anisotrop berada pada area
Kelas 1 (Gambar 4) serta sering disebut sebagai
medium anisotrop lemah. Jika diamati tampak
bahwa nilai perbandingan untuk model d =
00,1 dan e= 0,2 mencapai 1,45 pada sudut q = 60
dengan bentuk kurva yang berubah dari non linier
dengan sedikit lengkungan ke suatu kurva mendekati
linear.
Meskipun pada kasus tersebut nilai perbandingan 0 mencapai 1,45 pada sudut = 60 , namun
hasil perhitungan dapat dikatakan akurat, dimana
pengujian dilakukan dengan menghitung kembali
q
q
f
tan
tan
q
f
tan
tan
Tetapan anistropi hasil perhitungan vs model
17
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
tetapan anisotropi medium anisotrop dengan = 0,01
dan = 0,02 menghasilkan = 0,01 dan = 0,02 lalu
masing-masing = 0,01 dan = 0,05 menghasilkan =
0,01 dan = 0,05 , kemudian = 0,07 dan = 0,1
menjadi = 0,05 dan = 0,08 serta = 0,1 dan = 0,2
menjadi = 0,09 dan = 0,13 . Hal ini berarti bahwa
metoda yang diusulkan berlaku untuk kasus medium
yang mempunyai tetapan anisotropi pada area
tersebut.
.
d
e d e
d e d
e d e
e e d e
d e
Kelas 2 0<d<0,1 dan h>0,1
Medium anisotrop yang berada pada area Kelas 2
disebut juga medium anisotrop lemah seperti halnya
Kelas 1 , hanya dalam hal ini mempunyai nilai yang
lebih besar dari 0,1.
h
q
f
tan
tan
18
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 5. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 2.q
q
f
tan
tan
Gambar 6. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 3.q
q
f
tan
tan
19
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 7. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 4.q
q
f
tan
tan
Gambar 8. Kurva perubahan untuk variasi sudut fase ( ) pada Klas 5.q
q
f
tan
tan
20
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Dari hasil pengujian tampak bahwa besarnya atau
selisih dari e dan d akan mempengaruhi besarnya
kesalahan penghitungan nilai e, yang pada akhirnya
juga akan berpengaruh pada perubahan estimasi nilai
d, dimana hal ini terjadi pada saat h > 0,49.
Bila diamati dari kurva uji untuk medium dengan
tetapan d = 0,01 dan e = 0,5 (Gambar 5) tampak bahwa 0nilai meningkat tajam dari 1,28 pada 20 menjadi 2,3
0pada 54 , sehingga hal ini yang menyebabkan
kesalahan tersebut terjadi. Untuk menghindari adanya
kesalahan perhitungan maka langkah yang dilakukan 0adalah mencuplik data pada sudut q < 30 , dimana
pada prakteknya sudut tersebut harus dikonversikan
ke sudut f terlebih dahulu .
Kelas 3 d > 0,1 dan h > 0
Medium anisotrop yang berada pada Kelas 3 bisa
dikatakan bukan lagi merupakan medium anisotrop
lemah, sebab nilai sudah mencapai lebih dari
02,1 pada sudut = 54 . Bila ditinjau dari hasil
pengujian tetapan anisotropi, maka kesalahan mula-
mula akan terjadi pada saat penghitungan , tetapi hal
tersebut bertambah dan pada akhirnya juga akan
merambat pada tetapan seiring dengan peningkatan
nilai (Gambar 6).
Dari bentuk kurva uji, tampak bahwa sangat sulit
untuk mendapatkan nilai yang tidak mengandung
kesalahan yang bisa diabaikan, karena mulai dari
sudut rendah sudah mempunyai nilai deviasi
yang cukup tinggi, meskipun demikian pada
kondisi tertentu kita masih bisa memperoleh hasil
yang mendekati benar.
Kelas 4 d < 0 dan h > 0
Medium anisotrop yang berada dalam area Kelas 4
akan mengalami perlambatan pada kecepatan
tegaknya, namun karena nilai selalu positif maka
juga akan didapatkan bernilai positif. Jika diamati dari
kurva uji, tampak bahwa ada 2 jenis tanggapan yakni
tanggapan yang mempunyai kurang dari nilai
h
q
e
d
d
d
e h
q
f
tan
tan
q
f
tan
tan
q
f
tan
tan
1,1 pada sudut 540, dan yang jauh lebih besar dari
angka tersebut. Untuk kasus yang bernilai kurang dari
1,1 akan menghasilkan estimasi dan yang benar,
kategori ini juga ditandai oleh nilai < 0,1.
Selanjutnya bila harga > 0,1 maka akan terjadi
kesalahan sebagaimana sebelumnya mula-mula
terjadi pada nilai dan akhirnya pada nilai
(Gambar 7).
Kelas 5 > 0 dan < 0
Sebagaimana tampak pada Gambar 8 , medium
anisotrop yang berada dalam area Kelas 5 akan berada
di atas garis ellipticity dimana nilai selalu negatif,
atau dengan kata lain kecepatan mendatarnya akan
lebih kecil daripada kecepatan tegak. Kasus medium
ITT (isotrop transversal tegak) seperti ini tidak banyak
dimana kebanyakan medium anisotrop mempunyai
nilai kecepatan mendatar yang lebih tinggi dari pada
kecepatan tegaknya.
Bila diamati dari kurva ujinya (Gambar 8) maka
tampak adanya nilai reverse pada sudut sekitar 200 0sampai 30 , sehingga menyebabkan inkonsistensi
gradien perubahan nilai yang mengakibatkan
kesalahan yang signifikan. Bentuk kesalahan ini
berbeda dengan kesalahan sebelumnya yang
cenderung gradual.
Batas Area Penerapan Metoda
Dari hasil uji matematika dan numerik dari model-
model yang berada pada kelima klas, tampak bahwa
untuk Kelas 1 metoda bisa diterapkan dengan nilai
akurat bila < 0,05 dengan < 0,1 serta akan muncul
kesalahan tetapi tidak terlalu besar pada berkisar
0,05 – 0,1 dengan < 0,1, sedangkan untuk Kelas 2
tampak bahwa metoda bisa diterapkan untuk
menghitung dengan kecenderungan didapatkan
kesalahan pada yang signifikan.
Selanjutnya untuk Kelas 3, sebagaimana Kelas 2 maka
kesalahan muncul pada perhitungan , yang akan
secara signifikan akan membesar bersamaan dengan
membesarnya harga . Kemudian untuk Kelas 4
metoda didapatkan akurat untuk nilai > - 0,05
dengan < 0,05 . Sedangkan untuk Kelas 5 meskipun
q
d e
h
h
e d
d h
h
q
d h
d
h
d
e
e
d
h
d
q
f
tan
tan
21
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
nilai tetapan anisotropi tidak bisa akurat tetapi masih
bisa diterapkan untuk d < 0,2 dan h < -0,05.
Sehingga untuk tetapan anisotropi dengan nilai 0 < d
< 0,1 dan h < 0,1 perbedaan harga tan f dan tan q
tidak mengakibatkan kesalahan perhitungan,
sedangkan untuk tetapan anisotropi dengan nilai 0 < d
< 0,1 dan h > 0,1 perbedaan tan f dan tan q akan
mengakibatkan kesalahan perhitungan tetapan e.
Selanjutnya untuk tetapan dengan nilai d > 0,1 dan h
> 0 maka perbedaan tan f dan tan q akan
mengakibatkan kesalahan pada nilai tetapan q, lalu
untuk tetapan dengan nilai d < 0 dan h > 0 maka
perbedaan tan f dan tan q akan mengakibatkan
kesalahan pada nilai tetapan e bila h > 0,15 , dan untuk
tetapan dengan nilai d > 0,1 dan h < 0 maka perbedaan
tan f dan tan q akan mengakibatkan kesalahan baik
pada nilai tetapan d maupun e.
Kesimpulan
Dengan mengacu pada tujuan dan hasil penelitian
yang diperoleh dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Penelitian ini telah memberikan kontribusi
pengetahuan baru tentang hubungan antara fungsi
difraksi dan tetapan anisotropi suatu medium
isotrop transversal tegak (ITT) yaitu berupa
metoda penentuan tetapan anisotropi d dan e
melalui suatu pendekatan polinomial orde 3 yang
belum pernah ada sebelumnya.
2. Adanya asumsi bahwa tan f = tan q akan
menimbulkan kesalahan saat dijumpai adanya
perbedaan tan f dan terutama untuk medium
dengan d > 0,1 dan h > 0,1 sehingga hal tersebut
akan berimplikasi pula pada pencocokan
persamaan dengan polinominal orde 4 dan orde 5.
Hal ini tercermin pada kesalahan yang cukup
signifikan pada koefisien A dan A . Perbedaan 1 2
nilai tan f dan tan q teramati dengan jelas saat 0sudut grup lebih besar dari 30 , yang
diperlihatkan dengan kurva nilai perbandingan
antara keduanya yang meningkat tajam gradien
kurvanya.
3. Perhitungan secara akurat terjadi bila model
berada pada Kelas 1 dengan tetapan 0 < d < 0,1
dan h < 0,1 yang dikenal sebagai medium
anisotrop lemah.
f
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT.
ELNUSA Tbk, Prof.Dr. W.G.A Kadir, Dr.
Loektamadji A.P, Dr. Awali Prijono, Dr. Sonny
Winardhie, Dr. Bagus Endar Nurhandoko, dan Dr. Ir.
Eko Widianto, MT.
Daftar Acuan
Bachman, R.T. , 1979, Acoustic anisotropy in marine
sediments and sedimentary rocks, Journal of
Geophysical Research, 84, B13, p.7661-7663
Berkhout, A.J., 1984, Seismic migration, Elsevier
Publ., Amsterdam
Blangy, J.P., 1994, AVO in transversely isotropic
media- an overview, Geophysics 59, p. 775-781
Claerbout, J.F., 1985, Imaging the earth's interior,
Blackwell Sci. Publ., Oxford
Dellinger, J.A., 1991, Anisotropic seismic wave
propagation, Stanford Univ. Ph.D dissertation,
unpublished
Domenico , S.N., 1984, Rock lithology and porosity
determination from shear and compressional
wave velocity, Geophysics, 1188 - 1195
Helbig, K., and Thomsen, L., 2005, 75-plus years of
anisotropy in exploration and reservoir seismic,
Geophysics, 70, 9ND-23ND
Jones, L.E.A and Wang, H.F., 1981, Ultrasonic
velocities in Cretaceous shales from the
Williston basin, Geophysics, 46, 288-297
Levin, F.K., 1978, The reflection, refraction, and
diffraction of waves in media with an elliptical
velocity dependence, Geophysics, 43, 528 – 537
Mayne, W.H. 1962, Common reflection point
horizontal stacking techniques, Geophysics, 27,
927-938
Ronoatmojo, I.S., Santoso, D., Sanny , T.A., Fatkhan,
Bahar, A., and Poerwaka, L.A., 2008,
Numerical study of anisotropy parameter
determination using seismic P-wave diffraction
in vertical transverse isotropic media,
22
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Proceeding of the 119th SEGJ conference, The
Society of Exploration Geophysicist of Japan,
Tokyo, p.105-108
Ronoatmojo, I.S., Santoso, D., Sanny , T.A., Fatkhan,
Bahar, A., and Poerwaka, L.A., 2009,
Pemodelan Numerik Relasi Tetapan Anisotropi
Medium Isotrop Transversal Tegak dan Fungsi
Difraksi Gelombang Seismik-P, Proceeding of
the 33th HAGI annual meeting, HAGI,
Bandung
Ronoatmojo, I.S., Santoso, D., Sanny ,T.A., and
Fatkhan., 2010, Seismic P-wave diffraction
modeling to determine anisotropy parameters in
VTI medium, Proceeding of the SEG/Denver
2010 Annual Meeting, The Society of
Exploration Geophysicist , Denver
Ruger, A., 1998, Variation of P-wave reflectivity with
offset and azimuth in anisotropic media,
Geophysics, 63, 935-947
Sheriff, R.E., 2002, Encyclopedia of Geophysics,
Tulsa
Sheriff, R.E., and Geldart, L.P., 1995, Exploration
Seismology, 2nd Edition, Cambridge
University Press
Taner,M.T., Koehler, F., and Alhilali, K.A., 1974,
Estimation and correction of near surface time
anomalies, Geophysics, 441-463
Thomsen, L., 1986, Weak elastic anisotropy,
Geophysics, 51, 1954-1966
Tsvankin, I., 2001, Seismic signatures and analysis of
reflection data in anisotropic media. Pergamon
Press
LAMPIRAN: Penurunan matematika persamaan
polinomial orde 5 hubungan kecepatan grup dan
fase dengan tetapan anisotropi pada geometri
difraksi
Tampak dari Persamaan (13) bahwa besarnya
pergeseran akibat adanya sifat anisotropik adalah
sebesar yang akan mengakibatkan perbedaan
antara kecepatan grup dan kecepatan fase.
Adapun penyelesaian kwadrat dari Persamaan (12)
adalah :
( )( )[ ]2422sinsin10)( qhqdq ++= VV
( ) qhdqd 4222 sin)2(sin21(0[ +++= V
)sinsin2 826 qhqdh ++
Sedangkan untuk mencari nilai , mula pertama
dilakukan penurunan Persamaan (12) yang kemudian
dikwadratkan.
(L.1)
( ) ( )( )qqhqqdq
qcossin4cossin20 3+=÷
ø
öçè
æV
d
dV
( )( )( )232
2
cossin4cossin20 qqhqqdq
q+=÷
ø
öçè
æV
d
dV
( ) ( ) qddhqd 42222 sin416sin4(0 -+=V
( ) )sin16sin1616 8262 qhdhh --+
Selanjutnya dengan mensubstitusikan Persamaan
(L.2) dan (L.5) ke dalam Persamaan (13) akan
diperoleh persamaan :
( ) ( ) ( ) 22222 3162421(0)( ZZVV ddhhddf -++++=
( ) )151416 4232 ZZ hdhh --+
q2
sin=Z
Apabila kecepatan grup tersebut diaplikasikan ke
dalam geometri difraksi sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 2, maka akan diperoleh persamaan
sebagai berikut :
.
tan1
tan2
2
úúû
ù
êêë
é
+=
f
fZ
.22
2
úúû
ù
êêë
é
+=
hx
xZ
Jika waktu tempuh gelombang difraksi dalam suatu
fungsi offset sumber di permukaan ke penerima
dinyatakan sebagai t , maka :x
dkx ttt +=
Dalam hal ini t yang merupakan waktu tunda difraksi k
adalah waktu tempuh sepanjang ruas S'D saat sumber
berada sejauh a dari suatu proyeksi difraktor di
di permukaan, maka t akan berubah menjadi jika k
a = 0, atau sumber berada tepat di atas titik difraktor.
2
)(
)(÷÷ø
öççè
æ
q
q
d
dV
(L.2)
2
)(
)(÷÷ø
öççè
æ
q
q
d
dV
(L.3)
(L.4)
(L.5)
(L.6)
dengan
(L.7)
(L.8)
atau,
(L.9)
2
0t
23
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Tampak dari hubungan dalam segitiga siku-siku S'SD
bahwa besarnya t adalah :k
h
hattk 2
220 +
=
Jika t ' adalah waktu tempuh saat x = 0, maka :0
2' 0
0
ttt k +=
2' 0
220
0t
h
hatt +
+=
÷÷
ø
ö
çç
è
æ+
+= 1
2'
220
0h
hatt
÷÷
ø
ö
çç
è
æ+
+
=
1
'
2 22
00
h
ha
tt
Selanjutnya dari persamaan pythagoras segitiga siku-
siku SGD diperoleh hubungan :
( )( )222dtVhx f=+
Bila Persamaan L.6 dan L.8 disubstitusikan ke dalam
Persamaan L.15, maka akan diperoleh :
( ) )1(0
)1(43222
2
sZrZqZpZVtZ
hd ++++=
÷÷
ø
ö
çç
è
æ
-
( )
( ) ( ) )1(01
432222
sZrZqZpZVttZ
hkx ++++-=÷
÷
ø
ö
çç
è
æ
-
2
0
22 4
)0(t
hV =
Serta dengan mensubstitusikan Persamaan L.10 dan
L.14 maka akan diperoleh persamaan :
2
2
22
22
0
2
220
)()1(1
'
1
1'
ZpqZp
hah
hatt
h
hat
x
-+-+=
úú
û
ù
êê
ë
é
÷÷
ø
ö
çç
è
æ
++
+-
úúúúú
û
ù
êêêêê
ë
é
÷÷÷÷÷
ø
ö
ççççç
è
æ
++
543 )()()( ZsZrsZqr -+-+-+
2
20
20
)()1(1
2
'
2
'
ZpqZpt
t
t
x
-+-+=
úû
ùêë
é-
úû
ùêë
é
543 )()()( ZsZrsZqr -+-+-+
(L.10)
(L.11)
(L.12)
(L.13)
atau,
(L.14)
(L.15)
apabila,
(L.16)
(L.17)
(L.18)
(L.19)
Jika a = 0 maka berlaku persamaan :
(L.20)
24
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
PENENTUAN STRUKTUR URAT (VEIN) PIRIT DI KAWASAN MALANG SELATAN
BERDASARKAN RESPON GEOLISTRIK POLARISASI TERIMBAS
1SUNARYO
1 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
[email protected]; [email protected]; 08123354285; (0341)463499
Abstrak
Penelitian geolistrik polarisasi terimbas menggunakan konfigurasi dipol-dipol untuk mengetahui respon parameter
polarisasi terimbas percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), serta chargeability (m) telah dilakukan pada
zona mineralisasi pirit di kawasan Malang Selatan. Akuisisi data menggunakan reistivitymeter ABEM dan home
made fungsi frekuensi pada lokasi tergrid dengan spasi (X,Y) 40cm. Pada lintasan 1 diperoleh 45 data dengan spasi
40m, dan 129 data dengan spasi 20. Sedangkan pada lintasan 2 diperoleh sejumlah 69 data dengan spasi 20m.
Pengolahan data dilakukan dengan menghitung nilai parameter-parameter percent frequency effect (PFE), metal
factor (MF), dan chargeability (m). Selanjutnya data yang diperoleh dilakukan pengolahan dan interpretasi
menggunakan metode inversi linear kuadrat terkecil dengan bantuan program RES2DINV versi 3.54. Dari
pengolahan dan interpretasi diperoleh bahwa struktur tubuh urat (vein) terletak pada kedalaman 7m sampai dengan
kedalaman 35m, terletak antara titik ukur 326 dan 328 serta mendangkal pada kedalaman atas 3.5m sampai dengan
kedalaman bawah 15m pada titik ukur antara 303 dan 355.
Kata Kunci: pirit, polarisasi terimbas.
DETERMINING PYRITE VEIN STRUCTURE OF SOUTH MALANG BY MEANS OF INDUCED
POLARIZATION GEOELECTRICAL RESPONSE
Abstract
Study on induced polarization to know how respon percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), and
chargeability (m) parameters to determine of pyrite mineralization zone of South Malang has been done. Induced
polarization data has been acquired by using ABEM and IP home made frequency function. Data acquisition has
been done on gridded location with spacing (X,Y) 40cm. For line section 1 has been carried out 45 datas for spacing
40m, and 129 datas for spacing 20m. Mean while for line section 2 has been carried out 69 datas for spacing 20m.
Data processing has been done to carried out percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), and chargeability
(m) parameters. All of processing result were arranged in pseudodepth section and interpreted by using least-square
invertion metode by using RES2DINV version 3.54 software. From data processing and interpretation has been
carried out vein pyrite structure by means of parameters respon to pyrite vein body with depth to top 7m and depth to
bottom 35m, and lateral location between measurement point 326 and 328 and then depth to top 3.5m and depth to
bottom 15m at lateral location between measurement location 303 and 355.
Key words: pyrite, induced polarization.
1. Pendahuluan
Sifat ambiguitas terhadap hasil dari penerapan
parameter fisika untuk mengetahui kondisi bawah
permukaan bumi merupakan alasan untuk mencari
metode yang tepat agar sifat ambiguitas dapat
direduksi semaksimal mungkin. Disamping
kemampuan interpretasi yang komprehensif,
mengintegrasikan atau mengkombinasikan sebanyak
mungkin parameter fisika untuk tujuan sebuah target
anomali masih merupakan metode yang terbaik
hingga saat ini, terutama untuk target anomali yang
memiliki kontras parameter terhadap host rock yang
relatif kecil. Usaha karakterisasi, simulasi, dan
pemodelan untuk mendapatkan ciri yang tegas
terhadap target-target tersebut sangat penting untuk di
lakukan karena justru target-target ini yang
25
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
mempunyai nilai ekonomi tinggi dan/atau menjadi
problem yang harus segera diatasi.
Sebagai zona intrusi dasit, diorit, dan granodiorit, di
Desa Bangkong-Gadjahrejo, Gedangan, Malang
banyak dijumpai batuan yang terpropilitkan dan
terkersikkan akibat dari alterasi hidrotermal. Oleh
karena itu, di daerah penelitian ini banyak terbentuk
urat (vein) yang meskipun mempunyai nilai kontras
parameter fisika yang cukup besar, namun mempunyai
ukuran (volume) yang kecil dengan lokasi yang
cenderung menyebar. Dalam kondisi yang demikian,
dengan menggunakan peralatan geofisika yang ada
hingga saat ini, dibutuhkan desain lapangan (field
design) yang matang dan pemilihan parameter yang
mampu mendeteksi ukuran dan kontras parameter
target terhadap host rock yang signifikan. Dengan
demikian, kombinasi penerapan parameter kontras
massa untuk mendeteksi batuan pengintrusi, serta
parameter magnetik dan kelistrikan untuk mendeteksi
penyebaran maupun struktur urat (vein) merupakan
pilihan yang paling dapat diandalkan dari pada
pengintegrasian atau kombinasi pada aspek
processing dan interpretasinya.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian dilakukan
menggunakan metode kelistrikan yaitu geolistrik
induced polarization (IP) yang melibatkan parameter
resistivitas semu, percent frequency effect (PFE),
metal factor (MF), dan chargeability (m) untuk
menentukan struktur urat (vein) pirit baik secara
lateral (X, Y) maupun secara vertikal/ke dalaman (Z).
Penelitian tentang struktur bawah permukaan di
Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang dilakukan
pertamakali dengan menggunakan parameter
gayaberat untuk mengetahui target sebaran batuan
intrusi dasit, diorit, dan granodiorit berdasarkan
interpretasi anomali Bouguer (Sunaryo dkk., 2001).
Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut, pada lokasi-
lokasi yang terdeteksi adanya batuan-batuan intrusi
dilakukan penelitian dengan parameter gayaberat
spasi pendek, VLF-R, dan resistivitas wenner-
schlumberger, termasuk kawasan Gedangan Malang
Selatan (Sunaryo dkk., 2002).
Dalam rangka mendapatkan hasil yang mempunyai
resolusi tinggi, maka dilakukan penelitian dengan
desain survai tergrid jarak 40m dengan menggunakan
kombinasi parameter gayaberat, magnetik, VLF-R,
dan potensial diri pada luasan sekitar 800m x 800m
dengan target sebaran tubuh pirit. Anomali target
berupa pirit ditentukan berdasarkan singkapan (out
crop) yang dijumpai di kawasan tersebut (Sunaryo
dkk., 2004, 2005, dan 2006). Sampai dengan
penelitian yang terakhir ini, masih belum diperoleh
lokasi struktur urat (vein) pirit yang tegas terutama
untuk target sebaran cabang-cabang urat (vein).
Oleh karena itu, pada penelitian kali ini digunakan
parameter fisika lain yang belum diterapkan di
kawasan ini padahal secara teori mempunyai respon
sensitif terhadap anomali target mineral yaitu
parameter respon induced polarization (IP) yang
berupa resistivitas semu (apparent resistivity), percent
frequency effect (PFE), metal factor (MF), dan
kemampuan menyimpan potensial (chargeability
(m)). Berdasarkan pengintegra sian atau kombinasi
dari parameter-parameter tersebut, diharapkan
struktur urat (vein) pirit baik secara lateral (X,Y)
maupun secara vertikal/kedalaman (Z) akan dapat
diperoleh dengan resolusi yang tinggi serta mampu
mereduksi ambiguitas sebesar-besarnya.
2. Prinsip Dasar Metoda
Mineral logam yang terdapat di dalam bumi secara
umum dalam bentuk senyawa-senyawa, misalnya
senyawa sulfida yang memiliki kontras konduktifitas
yang tinggi dibandingkan dengan sekelilingnya.
Senyawa ini merupakan penghantar ionik. Oleh
karena itu mineral senyawa ini mudah menimbulkan
gejala induced polarization (IP) apabila arus listrik
dialirkan ke dalam bumi. (Parasnis, 1962, dan Telford,
1978).
Gejala adanya induced polarization (IP) dapat diamati
dan diukur dengan cara mengalirkan arus listrik
terkontrol ke dalam bumi, untuk selanjutnya diukur
respon IP-nya dalam bentuk: kawasan frekuensi,
kawasan waktu, atau pengukuran sudut fase. Untuk
alasan teknis, penelitian ini dilakukan pada kawasan
frekuensi (frequency domain).
Untuk mengetahui respon IP dari suatu mineral,
dilihat berdasarkan parameternya yaitu dengan
mendefinisikan Frequency Effect sebagai berikut:
( )
1
12
V
VVFE
-= ............................................ (1)
26
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
................................ . (2)
Dimana:
V1: respon pada frekuensi tinggi
V2 : respon pada frekuensi rendah
Karena besarnya arus listrik yang diinjeksikan ke
dalam bumi adalah sama untuk semua frekuensi, maka
dapat dituliskan dalam bentuk:
ac
acdcFEr
rr -=
Karena nilai chargeabilitas:
dc
acdcmr
rr -=
maka persamaan (1.2) dapat dituliskan menjadi:
m
mFE
-=
1................................ . (3)
FE
FEm
+=
1
dan
................................ . (4)
Dengan menghitung Percent Frequency Effect
(PFE), yaitu:
%100FExPFE = ................................... (5)
maka Metal Factor (MF) dapat dihitung dengan persamaan:
1002 xx
PFEMF
ac
pr
= ................................... (6)
Dengan diperolehnya respon induced polarization
(IP) sebagaimana dipaparkan di atas, yaitu: resistivitas
semu (apparent resistivity), percent frequency effect
(PFE), metal factor (MF), dan kemampuan
menyimpan potensial (Chargeability (m)), maka
mineral-mineral terutama kelompok sulfida termasuk
pirit yang berbeda dengan nilai kontras resistivitas
yang sama (tidak dikenali oleh parameter lain) akan
lebih mudah untuk dikenali dengan kombinasi dari
parameter-parameter tersebut.
3. Akuisisi Data dan Peralatan
Akuisi data penelitian dilaksanakan di kawasan
Gedangan Malang Selatan pada luasan sekitar 800m x
800m. Sedangkan peralatan utama yang digunakan
adalah perangkat resistivitymeter ABEM dan
penambahan IP home made fungsi kawasan frekuensi
atau ac-dc. Disamping itu, peralatan pendukung yang
dibutuhkan adalah GPS, peta-peta, dan Handy Talky
(HT).
Rancangan akuisisi data (data acquisition design)
dibuat dengan merujuk pada penelitian sebelumnya
(preliminary research), yaitu:
1). Peta kontur anomali Bouguer gayaberat kawasan
Malang Selatan. (Sunaryo,dkk, 2001, dan 2002).
2). Peta kontur anomali Bouguer gayaberat zona
Bangkong Malang Selatan (Sunaryo dkk., 2006)
sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3.
3). Peta kontur anomali medan magnet total zona
Bangkong Malang Selatan (Sunaryo dkk., 2006)
sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.
4). Peta kontur anomali potensial diri zona Bangkong
Malang Selatan (Sunaryo dkk., 2004, 2005, dan
2006) sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2.
Berdasarkan rujukan-rujukan di atas, lintasan akuisisi
data pseudodepth untuk geolistrik resistivitas, dan
polarisasi terimbas (induced polarization) ditentukan
sebagaimana pada gambar 1 sampai dengan 4.
LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
405
302
400 401
316 317 318 319 320 321 322 323 324 325
373
374 375 376 377 378 379 382
297
354353352350349348347
245
273 274
246 248 249 250 251
301
252
326 327 328
269 270 271
295 296
218 220 223 224 226
278
304
330
380
408
433 434
460459458456455
272
219
193
142
118115
141
167
221
119
197
222
196
170
192
166
140
114
88
62
36
10 1211 14 15
414037
63
89
64
90
38 39
66 69
92
144
171
275
98
34 35
6160
86 87
113112
138 139
164
190
165
191
216
242
268
294293
346
372
398
424
450
476
502
528
554
580 581
503
477
425
451
267
241
215
189
163
137
111
8584
110
136
162
188
214
240
292
266
base
265
239
187
161
135
109
186
82
108
134
160
212 213
238
264
290289
263
237
291
211
185
159
133
107
81
120
9493
146
172
198 199
173
147
121
95 96
122
148
174
200 201
227
253
279
305
331 332 333basebase
452
478
504
530
556
582 583
557
531
505
479
453 454
480
506
532
558
584
559
533
507
481 482
508
534
560
585 586
561
535
509
483
432
406 407
381
355
329
303
277
225
276
basebase
345
371
423
449 501
475
527
553
579578
552
526
500
474
422
396
370
344343
369
395
421
447
473
499
525
551550
549
523
497
524
498
472471
445
419
393
367
315 basebase
562 564
591590589588
563
537536
510
484 485
511
565
539538
512 513
461
435
409
592 593
567566
540 541
514 515
488 489
463
411
385
359
307
446
420
394
368
342
baseBASE
Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase
Gambar 1. Lintasan pseudodepth pada kontur
topografi DEM. Interval 5m
27
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590
549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564
523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538
497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512
471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486
445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460
419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434
393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408
367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382
341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356
315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330
289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304
263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278
237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252
211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226
185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200
159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174
133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148
107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96
Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase
LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
325
299298
324
350
323322321320319318317316315314313
287 289 290 291 292 293 294 295 296 297
351 352
326
300
348
374
400
243
377
325325
269 270 271 272 273
247 248
274
301
217216
242241
218 219 220 221 222 223 224 225 226
252
278
304
330
356
382
408
434
460459458457456455454453
403
325325
247 248248
222 223
249
194
168
142
116115
325325
141
167
193
166
140
114
88
62
36
10 11 13
38
64
89 90
64
38 39
14 15
4140
65 66 67
91 92
117
143
170 171169
195 196 197
9
35
8
34
6160
86 87
113112
138 139
165164
190
216
191
248
268
325325
452
346
372
398
424
450
476
502
528
554
580 581
555
529
503
477
451
427
401
349
267
241
215
189
163
137
111
8584
110
136
162
188
214
240
266
325325
265
239
213
187
161
135
109
8382
108
134
186
212
238
264
160
263
237
211
185
159
133
107
81
120
94
119
146
172
198
173
147
121
95 96
122
148
174
200 201
227
253
279
305
331 332
306
199
325325
452
478
504
530
556
582 583
557
531
505
479 480
376
506
532
558
584 585
559
533
507
481 482
508
534
560
586 587
564
535
509
483
432
406 407
381
355
329
303
277
251250
325325
345
371
397
423
449
475
501
527
553
579578
552
526
500
474
448
422
396
370
344343
369
395
421
447
473
499
525
551550
524
325325
549
523
497 498
472
446
471
445
419 420
393 394
367
341
368
342
510
536 537
511
484
562
588 589 590 591
565564563
538 539
512 513
487486485
461
435433
353
379
405
431
405
378
404
430
402
347
373
399
380
354
328
302
325
Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase
Gambar 2. Lintasan pseudodepth pada kontur
potensial diri Interval 5mV.
Gambar 3. Lintasan pseudodepth pada kontur
anomali Bouguer. Interval 0.5mGal.
405
302
400 401
316 317 318 319 320 321 322 323 324 325
373
374 375 376 377 378 379 382
297
354353352350349348347
245
273 274
246 248 249 250 251
301
252
326 327 328
269 270 271
295 296
218 220 223 224 226
278
304
330
380
408
433 434
460459458456455
272
219
193
142
118115
141
167
221
119
197
222
196
170
192
166
140
114
88
62
36
10 1211 14 15
414037
63
89
64
90
38 39
66 69
92
144
171
275
98
34 35
6160
86 87
113112
138 139
164
190
165
191
216
242
268
294293
346
372
398
424
450
476
502
528
554
580 581
503
477
425
451
267
241
215
189
163
137
111
8584
110
136
162
188
214
240
292
266
base
265
239
187
161
135
109
186
82
108
134
160
212 213
238
264
290289
263
237
291
211
185
159
133
107
81
120
9493
146
172
198 199
173
147
121
95 96
122
148
174
200 201
227
253
279
305
331 332 333basebase
452
478
504
530
556
582 583
557
531
505
479
453 454
480
506
532
558
584
559
533
507
481 482
508
534
560
585 586
561
535
509
483
432
406 407
381
355
329
303
277
225
276
basebase
345
371
423
449 501
475
527
553
579578
552
526
500
474
422
396
370
344343
369
395
421
447
473
499
525
551550
549
523
497
524
498
472471
445
419
393
367
315 basebase
562 564
591590589588
563
537536
510
484 485
511
565
539538
512 513
461
435
409
592 593
567566
540 541
514 515
488 489
463
411
385
359
307
446
420
394
368
342
base
LINTASAN PSEUDODEPTH 01 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
LINTASAN PSEUDODEPTH 02 Geolistrik Polarisasi Terimbas dan Resistivitas
Area akuisisi data Geolistrik Resistivitas Mise a-la Mase
Gambar 4. Lintasan pseudodepth pada kontur
anomali magnetik. Interval 50nT.
4. Hasil Pengolahan Data dan Interpretasi
Berdasarkan gambar 1 nampak bahwa lintasan
akuisisi data terletak pada topografi yang relatif datar.
Sedangkan pada gambar 2 sampai dengan gambar 3,
nampak bahwa lintasan terletak pada kontur anomali,
baik potensial diri, gayaberat, maupun magnetik yang
mempunyai pola atau bentuk klosur yang relatif
berimpit satu dengan yang lain.
Dengan demikian, lokasi inilah yang secara lateral
diinterpretasikan sebagai zona mine ralisasi di
kawasan penelitian. Dengan melakukan pengukuran
secara pseudodepth, sebaran anomali pirit ke arah
vertikal dapat diperkirakan.
Adapun hasil selengkapnya adalah sebagai berikut:
1). Geolistrik Resistivitas.
Konfigurasi lapangan yang digunakan untuk
metode ini adalah konfigurasi dipole-dipole
pseudodepth. Konfigurasi didesain untuk
mendapatkan variasi resistivitas dalam arah
lateral dan kedalaman dengan pergeseran
elektroda potensial (n) dibatasi hingga 6 kali.
28
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Berdasarkan aturan tersebut, maka untuk lintasan
01 (warna biru) dengan a=40m diperoleh
sejumlah 45 data dan untuk a=20m diperoleh
sejumlah 129 data. Sedangkan untuk lintasan 02
(warna merah) dengan a=20m diperoleh sejumlah
69 data.
2). Geolistrik Polarisasi Terimbas.
Konfigurasi lapangan yang digunakan untuk
metode ini juga sama dengan geolistrik
resistivitas, yaitu konfigurasi dipole-dipole
pseudodepth. Konfigurasi didesain untuk
mendapatkan variasi resistivitas dalam arah
lateral dan kedalaman dengan pergeseran
elektroda potensial (n) juga dibatasi hingga 6 kali.
Berdasarkan aturan tersebut, maka untuk lintasan
01 (warna biru) dengan a=40m, frekuensi 5Hz dan
15Hz masing-masing diperoleh sejumlah 45 data
dan untuk a=20m dengan frekuensi yang sama
masing-masing diperoleh sejumlah 129 data.
Sedangkan untuk lintasan 02 (warna merah)
dengan a=20m dan frekuensi yang sama masing-
masing juga diperoleh sejumlah 69 data.
Interpretasi dilakukan dengan menggunakan
pemodelan inversi untuk memperoleh informasi
tahanan jenis bawah permukaan secara lebih
kuantitatif. Prinsip dasar metode inversi linier kuadrat
terkecil adalah modifikasi model awal secara iteratif
hingga diperoleh model yang responnya cocok dengan
hasil pengukuran akuisisi data lapangan. Modifikasi
model didasarkan pada informasi mengenai
sensitivitas parameter observasi (data) terhadap
perubahan parameter model. Perhitungan respon
model dilakukan melalui persamaan diferensial
metode beda-hingga atau elemen-hingga.
Loke dan Barker (1996) mengemukakan pendekatan
inversi linear kuadrat terkecil untuk data tahanan jenis
2D yang cukup efisien. Model awal adalah medium
homogen sehingga modifikasi model awal tersebut
hanya memerlukan matriks Jacobi untuk medium
homogen pula. Matriks Jacobi untuk medium
homogen dengan konfigurasi elektroda pole-pole
dapat dihitung secara analitik dan dapat digunakan
untuk menghitung matriks Jacobi untuk konfigurasi
elektroda lainnya. Hal ini mengingat adanya prinsip
superposisi potensial akibat sumber arus dan titik
pengukuran potensial tambahan. Untuk mempercepat
proses perhitungan inversi, elemen-elemen matriks
Jacobi berbagai konfigurasi elektroda telah dihitung
dan disimpan dalam file.
4.1 Hasil Pengolahan Data dan Interpretasi
Geolistrik Resistivitas.
4.1.1 Lintasan 1.
Data yang diperoleh sepanjang lintasan 1
sejumlah 45 data (datum points) dengan jarak
antar spasi minimal 40m.
Pengolahan dan interpretasi menggunakan
bantuan komputer dan program inversi
RES2DINV versi 3.54. Hasil iterasi dengan
iterasi maksimum 25 iterasi dicapai error terkecil
12.8% dengan hasil bahwa nilai resistivitas rendah
terdistribusi dibagian tengah pada kedalaman
sekitar 35m searah dengan lintasan. Di bagian
atas dan bawah cenderung mempunyai nilai
resistivitas tinggi, terutama di bagian bawah
(gambar 5).
Gambar 5. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section resistivitas semu lintasan 1.
29
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
4.1.2 Lintasan 2. Data yang diperoleh sepanjang lintasan 2 sejumlah
67 data (datum points) dengan jarak antar spasi
minimal 20m.
Gambar 6. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik resistivitas semu lintasan 2.
Hasil iterasi dengan iterasi maksimum 25 iterasi
dicapai error terkecil 17.9% dengan hasil nilai
resistivitas rendah terdistribusi dibagian atas dan
tengah pada kedalaman sampai dengan sekitar
35m searah dengan lintasan. Di bagian atas
cenderung nilai resistivitas tinggi, distribusi tidak
merata (gambar 6).
4.2 Hasil Pengolahan Data Interpretasi Geolistrik
Polarisasi Terimbas.
4.2.1 Lintasan 1.
Geolistrik polarisasi terimbas (induced
polarization) pada dasarnya adalah sama dengan
geolistrik resistivitas. Namun demikian, pada
polarisasi terimbas jumlah datums point 2 (dua)
kali resistivitas, karena polarisasi terimbas
menggunakan 2(dua) frekuensi ukur, yaitu
frekuensi dc (5Hz.) dan ac (15Hz.).
Gambar 7.
frequency effec (PFE) lintasan 1.
Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas percent
Gambar 8.
metal factor (MF) lintasan 1
Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas
30
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 9.
chargeability (m) lintasan 1.
Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas
Data yang diperoleh sepanjang lintasan 1
sejumlah 45 data (datum points) dengan jarak antar
spasi minimal 40m. Untuk keperluan pengolahan
dan interpretasi data-data disusun dalam bentuk
pseudodepth section(gambar 5).
Hasil iterasi dengan iterasi maksimum 21 dicapai
error terkecil untuk percent frequency effect (PFE),
metal factor (ME), dan chargeability (m) masing-
masing berturut-turut adalah 34.4%, 29%, dan
0.25%. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai PFE
tinggi dan rendah terdistribusi sebagaimana
gambar 7, sedangkan nilai MF dan m masing-
masing dapat dilihat pada gambar 8 dan 9.
4.2.2 Lintasan 2.
Data yang diperoleh sepanjang lintasan 2 adalah
67 data (datum points) dengan jarak antar spasi
minimal 20m.
Hasil dari iterasi dengan iterasi maksimum 21
iterasi dicapai error terkecil untuk percent
frequency effect (PFE), metal factor (MF), dan
chargeability (m) masing-masing berturut-turut
adalah 36.8%, 36.3%, dan 0.20%. Hasil ini
menunjukkan bahwa nilai percent frequency effect
(PFE) tinggi dan rendah terdistribusi sebagaimana
pada gambar 10, sedangkan untuk nilai metal
factor (MF) dan chargeability (m) masing-masing
dapat dilihat pada gambar 11 dan 12.
Gambar 10.
percent frequency effect (PFE) lintasan 2.
Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas
31
Gambar 11. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas metal factor (MF) lintasan 2.
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 12. Penampang melintang hasil inversi pseudodepth section geolistrik polarisasi terimbas chargeability (m) lintasan 2.
5. Pembahasan.
Untuk mendapatkan nilai kuantitatif kearah
kedalaman, dilakukan penelitian dengan konfigurasi
pseudosection menggunakan parameter resistivitas,
percent frequency effect (PFE), metal factor (MF), dan
chargeability (m) dengan mengambil lintasan
berdasarkan hasil interpretasi lateral kualitatif
terhadap penelitian sebelumnya (gayaberat, magnetik,
potensial diri, dan mise a-la mase).
32
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 13. Model hasil inversi lintasan 1 pseudodepth resistivity dan polarisasi terimbas percent frequency
effect (PFE), metal factor (PFE), dan chargeability (m).
Berdasarkan gambar 13 nampak nilai resistivitas
rendah terdistribusi pada kedalaman 20m sampai
dengan 45m, nilai percent frequency effect (PFE)
rendah hingga sedang terdistribusi pada kedalaman
20m sampai dengan 50m, nilai metal factor (MF)
tinggi terletak pada kedalaman 7m sampai dengan
35m, sedangkan nilai chargeability (m) sedang
terletak pada kedalaman 7m sampai dengan 30m.
Dengan demikian, Nilai metal factor (MF) yang
tinggi pada kedalaman 7m sampai dengan 35m dan
terletak antara titik ukur 326 dan 328 serta didukung
oleh parameter-parameter lain menunjukkan bahwa
posisi ini merupakan tubuh utama pirit yang
merupakan target utama penelitian.
33
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 14. Model hasil inversi lintasan 2 pseudodepth resistivity dan polarisasi terimbas percent frequency effect(PFE), metal factor(PFE), dan chargeability(m).
Sedangkan berdasarkan gambar 14 nampak nilai
resistivitas rendah terdistribusi pada kedalaman 3.5m
sampai dengan 30m, nilai percent frequency effect
(PFE) sedang hingga tinggi terdistribusi pada
kedalaman 3.5m sampai dengan 10m, nilai metal
factor (MF) relatif tinggi terletak pada kedalaman
3.5m sampai dengan 15m, sedangkan nilai
chargeability (m) sedang hingga tinggi terletak pada
kedalaman 3.5m sampai dengan 10m. Dengan
demikian, Nilai metal factor (MF) yang tinggi pada
kedalaman 3.5m sampai dengan 15m dan terletak
antara titik ukur 303 dan 355 serta didukung oleh
parameter lain menunjukkan bahwa posisi ini
merupakan tubuh utama pirit yang merupakan target
utama penelitian.
Kombinasi hasil interpretasi terhadap lintasan 1 dan
lintasan 2, menunjukkan bahwa tubuh utama pirit
mendangkal ke arah timur terhadap BASE dan
semakin dalam ke arah barat terhadap BASE.
6. Kesimpulan
Setelah dilakukan akuisisi data, pengolahan data, dan
interpretasi, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Diperoleh respon yang tegas dari parameter-
parameter yang terlibat di dalam metode polarisasi
terimbas terhadap tubuh urat pirit di lokasi
penelitian.
2. Tubuh utama pirit terletak pada kedalaman 7m
sampai dengan 35m yang terletak antara titik ukur
326 dan 328 serta mendangkal pada kedalaman
3.5m sampai dengan 15m pada titik ukur antara
303 dan 355.
Daftar Pustaka
Loke M.H. and Barker R.D., 1996, Rapid Least-
squares Inversion of Apparent Resistivity
34
Pseudosection by Quasi-Newton Method.
Geophysics Prospecting 44, 131-152.
Parasnis, D.S., 1962, Principles of Applied
Geophysics, Chapman and Hall, ltd., London.
Sunaryo, Sakti, S.P., Rahmansyah, A., 2001,
Identifikasi Potensi Pertambangan dan Mineral
Kawasan Malang Selatan, FMIPA UB-
BAPEKAB, Malang.
Sunaryo, Sakti, S.P., Rahmansyah, A., 2002,
Inventarisasi Potensi Pertambangan dan
Mineral Kawasan Malang Selatan,
LEMLIT UB - BAPEKAB, Malang.
Sunaryo, Susilo,A., Djamil, 2004, Penentuan Struktur
Zona Mineralisasi Emas dan/atau pengikutnya
di Bangkong-Gajahrejo Gedangan Malang
berdasarkan Parameter Potensial Diri (Self
Potential), FMIPA UNIBRAW, Malang.
Sunaryo, Susilo, A., Djamil, 2005, Penentuan Struktur
Zona Mineralisasi Emas dan/atau pengikutnya
di Bangkong-Gajahrejo Gedangan Malang
berdasarkan Parameter Potensial Diri (Self
Potential), NATURAL Journal ISSN 1410-5713
Vol.9 N0.1 , Malang.
Sunaryo, Sukandarrumidi, Sri Brotopuspito, Kirbani,
Susanto,Adhi, 2006, Respon kontras densitas,
suseptibiltas, dan potensial diri terhadap zona
mineralisasi pirit di Gedangan Malang Selatan:
Penyelidikan geofisika, Prosiding Seminar
Nasional Basic Science III FMIPA UNIBRAW
ISBN 979-25-6030-0, Malang.
Telford, W.M., Geldart L.P.,, Sheriff, R.E., Keys,
D.A., 1978, Applied Geophysics, Cambridge
University Press, Cambridge.
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
ADVANCED INTERPRETATION OF SPECTRAL DECOMPOSITION METHOD FOR ESTIMATING
OIL RESERVOIR DISTRIBUTION; A CASE STUDY
1 2 3M.Wahdanadi , Andy Februana P. , Anofrilla 1) KSO Pertamina EP-Patina Group Limited
2) Geophysics Reservoirs Program of Physics Department, University of Indonesia3) Geophysics Program, University of Padjadjaran
Abstrak
Interpretasi Lanjutan dari Spectral Decompostion (SDM) diaplikasikan untuk mengidentifikasi reservoar minyak di
sebuah lapangan minyak berlokasi di Cekungan Tarakan – Kalimantan Timur. Hasil analisa ini menjanjikan.
Reservoar utama di lapangan ini adalah lapisan batu pasir delta berumur Miocene yang diapit oleh 2 lapisan
vulkanik. Lapisan vulkanik pertama (atas) menyerap energy seismic dan mengurangi resolusi vertical seismic pada
target reservoar dengan frekuensi dominan 13 Hz. Distribusi lateral dari reservoar minyak ini sangat sulit karena
ketebalan yang berkisar 15 sampai 60 ft.
SDM digunakan untuk memprediksi distribusi reservoar minyak dengan menentukan respon frekuensi dominan.
CWT (Continuous Wavelet Transform)-SDM digunakan dengan Mexican Hat sebagai wavelet model. Melengkapi
data log sumur dan seismic 3D preserved amplitude, “interpretasi lanjutan” diaplikasikan dengan analisa pola grafik
pada frekuensi rendah hingga tinggi pada 4 karakteristik reservoar (kompak, gas, minyak, dan air). Pola spesifik dari
grafik akan digunakan untuk membedakan dan memperkirakan persebaran reservoar minyak.
The CWT-SDM diaplikasikan pada rentang frekuensi 0–60 Hz. Setiap sumur yang telah diikat dengan data seismik,
akan dibuat grafik dari magnitude terhadap frekuensi pada beberapa interval perforasi dan marker vulkanik. Masing-
masing karakter reservoar akan memperlihatkan pola unik dari magnitude terhadap frekuensi. Reservoar minyak
selanjutkan akan mudah untuk dikenali. Hasil akhir menunjukkan metoda ini akurat dan dapat diaplikasikan untuk
memprediksikan distribusi paket reservoar minyak dan lapisan vulakinik yang tidak dapat dilakukan dengan
interpretasi standar.
Abstract
Advance interpretation of Spectral Decomposition Method (SDM) is applied to identify oil bearing reservoirs in an
oil field located in Tarakan Basin – East Kalimantan. The result is promising. The main reservoirs in the field are
deltaic Miocene sandstones beds between 2 volcanic layers. The first (upper) volcanic layer absorbs the seismic
energy and decreases vertical seismic resolution within target reservoirs at 13 Hz dominant frequency. Defining
lateral distribution of reservoirs is difficult due their thickness that ranges from only 15 to a maximum of 60 ft.
SDM has been used to predict oil reservoir distribution by finding its dominant frequency response. We use CWT
(Continuous Wavelet Transform)-SDM with Mexican Hat as wavelet input model. In addition to well logs and 3D
preserved amplitude seismic data, the "advanced interpretation" also applies the analysis of graphic patterns at low,
middle, and high frequency ranges for 4 main reservoir characteristics (tight layer, gas reservoir, oil reservoir, and
water reservoir). A specific graphic pattern is then used to distinguish the oil bearing reservoirs.
The CWT-SDM is applied in 0–60 Hz frequency ranges. For each well that has been tied to seismic, we make
graphics of magnitude versus frequency at several perforation data and volcanic markers. Each reservoir character
shows a unique pattern in magnitude versus frequency. Oil bearing reservoir is then detectable. Final result shows
that this method is accurate and applicable to predict distribution of oil-bearing reservoir package as well as
predicting some volcanic layers that cannot be resolved by standard interpretation.
Keywords: Oil Reservoir, Spectral Decomposition, CWT
35
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
1. Introduction
Time-frequency decomposition (also called spectral
decomposition) of a seismic signal aims to characterize
the time-dependent frequency response of subsurface
rocks and reservoir (Satish Sinha, Partha S. Routh, Phil
D. Anno, and John P. Castagna., 2005). Commonly
Spectral decomposition method is used to calculate the
composition of certain frequency from seismic data
with magnitude as the final result. The wave of seismic
reflection data will be processed within characteristic
frequency for each depth layer. Spectral decomposition
enables the interpreter to visualize seismic data in the
time-frequency domain. Typically used in thin bed
analysis, spectral decomposition is based on the
concept that a thin bed reflection in the frequency
domain has a unique spectral response that can
qualitatively indicate bed thickness in the time domain.
The method breaks down the seismic signal into its
frequency components and generates amplitude and
phase maps tuned to specific frequencies (i.e. a tuning
cube) (Janice, L., Rongfeng, Z. Karl, M., 2006). For a
given seismic analysis window, Tuning Cube generates
amplitude and phase response for each frequency over
range of frequencies. Data is displayed as a volume
where the z axis is now the frequency axis. Animating
through the spectral decomposition images allows
interpreters to detect subtle changes in reservoir
thickness and heterogeneity not obvious in static
displays.
Continued study by Burnett & Castagna (2004) shows
the modeled response using sonic and reflectivity logs,
explains this difference in dynamic behavior (Figure
1). The only change between the two curves is that the
velocity pay zone has been replaced by a brine-filled
sand velocity. The local reflectivity of both cases has
been analyzed for spectral content and is shown in the
graph of amplitude versus frequency. One can clearly
see that the hydrocarbons are responsible for the high
amplitudes at and around 32 Hz and the associated
dimming at 47 Hz. They also are responsible for subtle
changes in reflectivity at other frequencies. Similarly,
the amplitude low at 24 Hz in the curve with no
hydrocarbons can be seen in the maps in the area
surrounding the reservoir. The amplitude maxima of
the reservoir at 32 Hz and the following minima at 47
Hz, plus the amplitude minima at 24 Hz in the brine-
filled area adjacent to the reservoir observed in the
maps, are explained by the spectral modeling.
X field has produced 550 MBO from 4 sandstones
Meliat Formation layers at the depth interval 3,000-
3,300 ft. This field located in Tarakan Basin,
dominated by volcanic deposit environment and
fluvio-deltaic sandstone with various reservoir
thickness 10-45 ft. Combination of geological aspects
(stratigraphic and structural), limited existing well,
and low frequency seismic data is a major problem for
estimating the distribution of hydrocarbon reservoir in
X field. Frequency as a seismic attribute contains the
information of reservoir temporal thickness and fluid
response within reservoir. For describe both of
information, we are used Spectral Decomposition
CWT. This method can show frequency response of
volcanic rock and reservoirs. This frequency response
was observed at magnitude versus frequency gather
(frequency response pattern) for volcanic rock (tight
layer), gas reservoir, oil and water. Applying advanced
analysis of Spectral decomposition based on
recognized frequency response of oil reservoir, we can
estimate oil reservoir distribution and increase its
accuracy.
2. Geology Area Study
X Field discovered as Oil Field in 1980 is located in
Tarakan Basin, East Kalimantan. The Tarakan Basin
has a similar development to the Kutai-Mahakam
Basin (Lentini and Darman, 1996), which it resembles
in many ways. It comprises four subbasins, two
onshore (the Tidung and Berau synrift basins-mainly
Late Eocene to Middle Miocene), and two offshore
(the Belungan-Tarakan and Muara postrift basins with
mainly younger fill). The Tarakan Basin is generally a
passive deltaic margin with a minor wrench tectonic
overprint. Magnetic anomalies imply sea-floor
spreading with associated NW trending transform
faults.
FIGURE 1. Simple Fluid substitution via velocity,
Hydrocarbon reflectivity shown in shaded area and exhibited
at 32 Hz and 47 Hz (Burnett and Castagna, 2004)
36
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
The study was focused at Meliat Formation in Tarakan
Sub-basin. Tarakan Sub-basin, mostly offshore
including Tarakan Island, is the northernmost Tertiary
sedimentary basin in Kalimantan. It is bounded to the
north by Pliocene-recent volcanic of Sampoerna High
and to Kuching High. To the south, it is separated from
Kutai- Mahakam Basin. Base on well data, the Meliat
Formation has both clastics and exstrusive/intrusives
rocks. The clastic sediments are dominantly lower
deltaic plain claystone with interbeds of sandstone.
Two major volcanic/intrusive bodies and several minor
bodies were penetrated.
Stratigraphic column of Tarakan Sub-basin can be
shown at figure 2. Meliat Formation was developed at
the Middle to Late Miocene. Early Synrift (Middle
Eocene), this sequence is dominated by volcanics and
volcaniclastics of the Sembakung Formation. It is
highly tectonized. Late Synrift (Late Eocene), this
comprises fluvio-deltaic to shallow marine shales,
marking a rapid transgressive phase (Harry Doust, Ron
A. Nobel, 2008). Delta front facies of Meliat Formation
consist of quartz sandstones interbedded with shales
and locally conglomeratic sandstones.
FIGURE 2. Stratigraphic Column of Tarakan Sub-basin
37
Structurally, the study area exists in fault zone, with
disquisition from west to east that is volcanic intrusion
zone and has complex fault structure. Whereas the
south part is an anticline and the north part is a
sincline. All existing wells located at the high closure
with several major faults that are a normal fault (Fault
Normal). Generally, the structure of the "X" field is
strongly influenced by normal faults that act at the
Southwest - Northeast and Northwest - Southeast
direction. The develop pattern are Northeast -
Southwest direction is related with 4 folds pattern of
northwest - southeast direction.
3. Seismic & Well Data
In this study, we used seismic data 3D PSTM
acquisition in 2010 and well data (Figure 4). The
seismic data has spectrum frequency 10-30 Hz with
dominant frequency is 13 Hz in target reservoir which
is located between two volcanic layers. Upper
volcanic rock layer reflects most of seismic energy
thus vertical resolution for target reservoir is
decreased showing by low dominant frequency. Both
of volcanic layers are shown by bright amplitude from
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
seismic data and very low value Gamma Ray log. This
seismic data will be tied and correlated with well-1,
well-2, and well-3 as shown at figure 4.
Well-1 (Figure 5) is vertical well shows that the upper
boundary as a marker Upper Volcanic located at about
2500 ft (850 ms) and the lower boundary as a lower
Volcanic located at a depth of about 3900 ft (1050 ms).
Well-1 has produced 550 MBO, but it was shut in
because of high water saturation. Sand-A (30 ft), Sand-
B (20 ft), Sand-C (30 ft), and Sand-D (45 ft) at around
3000 ft are 4 main reservoirs that produced oil. These 4
main reservoirs have high water saturation so we
interpreted as water reservoirs. Volcanic upper (Vlc
Up) and volcanic lower (Vlc Low) are chosen as
models for tight layers.
Next, Well-2 (Figure 5) is a deviated gas well. At the
target zone there is only one water reservoir, Sand-C
(3200 ft MD). This reservoir located nearby fault so it
has poor quality of signal to noise ratio seismic trace.
We chose a “40 ft” gas sand reservoir (Sand-G) at 4900
ft MD as a model for gas reservoir.
Well-3 (Figure 5) is a deviated oil production well.
Sand-A (10 ft), Sand-B (20 ft), and Sand-C (15 ft) at
around 3000 ft are 3 main reservoirs that have only
FIGURE 3. Well to seismic tie analysis with a minimum phase extracted wavelet from seismic
38
10% water saturation. Sand-C is chosen as a model for
oil reservoirs.
4. Methods
First, a well to seismic tie analysis must be done for
showing where positions of reservoirs in seismic data
are. A Global Wavelet was extracted from Well-1 on
the target reservoir intervals using polarity increasing
AI recorded as peak with minimum phase (Figure 3),
obtained a maximum correlation coefficient 0.789 at
Well-1, 0.521 at Well-2, and 0.608 at Well-3.
Reservoir targets are generally located at depths of
2500 ft – 3900 ft. After wells are tied to seismic data,
we start the analysis of spectral decomposition. Time-
frequency decomposition method (time-frequency
decomposition) which is also known as spectral
decomposition is intended to see the seismic response
at a particular frequency. The basic idea of this method
is doing the FFT (Fast Fourier Transform) of each
window of time continuously to obtain the frequency
range of the target zone (reservoir). The CWT samples
wavelets using a moving, scalable time window and
allows for finer sampling of the seismic trace, also
provides better frequency resolution at lower
frequencies (Janice, L., Rongfeng, Z. Karl, M., 2006).
There are three models of wavelet is used as the basic
parameters for spectral decomposition analysis of
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
FIGURE 4. Vertical seismic display and well correlation at seismic 3D data PSTM
FIGURE 5. Well data analysis
39
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
CWT, there are Morlet, Gaussian, and Mexican Hat.
Spectral decomposition analysis is started by using
CWT (continuous wavelet transform) algorithm to
extract seismic trace at well-1 position. This analysis
will be generated in range frequency of 1-60 Hz
because of low frequency seismic data. Figure 6 shows
comparison CWT in frequency gather with Morlet,
Gaussian, and Mexican Hat model wavelet. Best
analysis magnitude of spectrum frequency performed
by Mexican hat as model wavelet result that gives focus
picture with good vertical and horizontal resolution.
The next stage is the spectral decomposition analysis
with previous specified parameter at well-1 and two
other existing deviated wells for creating frequency
gathers. For each deviated wells, seismic trace is
extracted at reservoir position (inline and crossline).
Figure 7 shows frequency gather for each wells and
marker for volcanic, water, oil, and gas reservoir.
5. Advance Analysis of Spectral Decomposition
From 3 existing frequency gathers then magnitudes are
extracted at each marker position for creating graphic
magnitudes versus frequency as shown in figure 8. This
graphic tells that volcanic and reservoirs can be
FIGURE 6. Comparison frequency gather with Morlet, Gaussian, and Mexican Hat model wavelet
40
distinguished. Volcanic responds high magnitude and
small change in decreasing magnitude for high
frequencies. Furthermore we can see patterns of
frequency responses for water, oil, and gas reservoir.
Gas reservoir responds high magnitude at low
frequency and decrease quickly with increasing
frequency. Water reservoir responds high magnitude
at low frequency then dropped to low magnitude and
followed small increasing magnitude at high
frequency. Similar with water reservoir, oil reservoir
responds high magnitude at low frequency then
dropped to low magnitude and followed significant
increasing magnitude at high frequency.
Frequency response magnitudes of each marker
reservoir and volcanic from 1-60 Hz are plotted in
figure 8. It shows that each marker has different
response from low to high frequency. Analyzing the
pattern from frequency response magnitude, each
marker can be distinguished.
Focused in oil reservoir pattern (figure 8) we made 3
interest range of frequency, Low (6-10 Hz), Mid (11-
15 Hz), and High (Hz), Mid (11-15 Hz), and High (18-
22 Hz). CWT is applied for each frequency in these
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
FIGURE 7. Frequency gather for existing wells and markers for volcanic, water, oil, and gas reservoirs.
41
ranges. Low, Mid, and High cubes were created by
stacking each frequency cubes as previous defined
criteria. Figure 9 shows section of low, mid, and high
frequency cube. Either low, mid, or high frequency still
shows no differences for volcanic rock and reservoir
and an extended method is needed to improve accuracy
of spectral decomposition analysis.
From figure 9 we can find a new approximation by
calculating gradient of “low to mid frequency” as ΔML
and gradient of “mid to high frequency” as
ΔHM. Section of ΔML and ΔHM can be seen in figure
10. Volcanic rocks have high magnitude in ΔML
section and low magnitude in ΔHM section. Oil
reservoir now can be seen clearly with low magnitude
in ΔML section and high magnitude in ΔHM section.
For optimizing oil reservoirs distribution final Spectral
Decomposition cube (Final SpecD) is calculated by
subtracting ΔHM with ΔML. Final Section of
Advanced Spectral Decomposition Analysis can be
seen in figure 11 high magnitudes above 300 shows oil
reservoirs. There is still a limitation because of input
seismic is a low frequency seismic 3D, spectral
decomposition with CWT algorithm can improve
vertical resolution by showing a package of oil
reservoirs(sand-A, sand-B and sand-C). At Well-1
(time 1.016ms), we can see other oil reservoir potential
(lower oil reservoir potential) that has not been
developed. From this section there may be a water
FIGURE 8. The result of Spectral Decomposition for each markers at the existing wells
coning indication at Sand-D. Small volcanic rock in
well-3 is identified in this final spec D section.
Figure 12 shows comparison horizon slice of PSTM
volume and spectral decomposition volume of
existing package oil reservoir. From PSTM horizon
slice we can predict reservoir distribution, to increase
accuracy of oil reservoir distribution advance spectral
decomposition is recommended to be applied.
We also tried finding lower oil reservoir distribution
with previous horizon slice methods. Figure 13 shows
comparison horizon slice of PSTM volume and
spectral decomposition volume of lower oil reservoir.
We could not see reservoir distribution from PSTM
horizon slice but with spectral decomposition horizon
slice this lower oil reservoir can be image clearly.
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
FIGURE 9. Vertical seismic sections as the Spectral Decomposition result at the low-mid-high frequency
42
FIGURE 10. Seismic sections part of Advanced Spectral Decomposition analysis
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
FIGURE 11. Seismic section of final Advance Spectral Decomposition analysis
43
FIGURE 12. Existing oil reservoir horizon slice of PSTM volume (left) and horizon slice of final Advance Spectral Decomposition (right)
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
44
FIGURE 13. Lower oil reservoir potential horizon slice of PSTM volume (left) and horizon slice of final Advance Spectral Decomposition (right)
6. Conclusions
From 3 wavelet models, Mexican Hat is the best model
wavelet for imaging frequency responses. The results
of processing had good vertical and horizontal
resolution in frequency range 1-60 Hz. Spectral
decomposition method with CWT algorithm and
Mexican Hat Wavelet can describe the frequency
responses pattern of volcanic stone, water, oil, and gas
reservoir. Each marker had unique pattern that can be
used for analysis. Advanced Spectral Decomposition
Analysis is an approximation that developed for
increasing accuracy of identifying oil reservoir based
on its unique pattern. This method shows great promise
to become another valuable seismic detection tool in
the search for hydrocarbons.
7. Reference
Harry Doust. and Ron, A. Nobel., 2008. *Petroleum
System of Indonesia. Marine and Petroleum
Geology 25 (2008)*, 103-129.
Janice, L., Rongfeng, Z. and Karl,M., 2006.
*Enhancing Reservoir Visualization with
Spectral Decomposition*, DEW Journal, July
2006, 38-42.
Janice, L., Rongfeng, Z. and Karl,M., 2006.
*Fine tuning with spectral decomposition*,
E&P Magazine, July 2006
Lentini, M. and Darman, H., 1996. *Aspects of the
Neogene Tectonic history and hydrocarbon
geology of the Tarakan Basin*, In: Proceedings
of Industrial Petroleum Association 25th
Annual Conference, (IPA96-1.1-168), pp.
241–251
Michael D. Burnett and John P. Castagna. 2004.
*Advances in Spectral Decomposition and
Reflectivity Modeling in the Frio Formation of
the Gulf Coast*,Online presentation from
Geophysical Corner column in AAPG
Explorer, January, 2003
Satish Sinha, Partha S. Routh, Phil D. Anno, and John
P. Castagna. 2005.* Spectral decomposition of
seismic data with continuous - wavelet
transform*, Geophysiscs, Vol. 70, No. 6
(November – December 2005); P.P19-2
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Pemograman Ray Tracing Metode Pseudo-Bending Medium 2-D Untuk Menghitung Waktu Tempuh Antara Sumber dan Penerima
1 1 1 Andri Dian Nugraha , Ahmad Syahputra , Fatkhan1 Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung
([email protected] / [email protected])
Abstrak
Rekonstruksi lintasan sinar gelombang melewati suatu medium dikenal dengan ray tracing. Ray tracing digunakan
untuk perhitungan waktu tempuh gelombang melewati suatu medium dari sumber ke stasiun penerima. Gelombang
merambat dengan mengikuti prinsip Fermat, melewati suatu medium dengan waktu tempuh yang minimum. Metode
yang digunakan merupakan aplikasi metode pseudo-bending dengan beberapa modifikasi untuk optimasi
perhitungan. Kami mengembangkan dan menguji pemograman dalam bahasa MATLAB ini dalam beberapa model
kecepatan 2-D dengan anomali kecepatan rendah, kecepatan tinggi hingga model dengan perubahan kecepatan
secara linier terhadap kedalaman. Hasil yang diperoleh, menunjukkan lintasan sinar gelombang akan selalu berusaha
melewati medium dengan kecepatan yang lebih tinggi dengan waktu tempuh yang minimum. Aplikasi dari
pemograman ini, dapat diterapkan pada inversi tomografi antara lubang bor 2-D untuk keperluan geoteknik dan
eksplorasi.
Kata kunci: Ray Tracing, Prinsip Fermat, Model Kecepatan 2-D
Abstract
We reconstructed seismic ray path through a medium from source to receiver by applying ray tracing pseudo bending
method. Basically, the ray tracing method based on Fermat principle to calculate minimum travel time. In this study,
we modified ray tracing method and created a MATLAB script that can be used for 2-D velocity model with varrying
anomalies. The results show seismic ray path travelling through high velocity medium with minimum travel time and
has a good agreement with Fermat principle. For the advance purposes, we can applied our script to 2-D cross hole
tomography inversion in geotechnic and exploration.
Keywords: Ray Tracing, Fermat principle, 2-D velocity model
1. Pendahuluan
Ray tracing sangat dibutuhkan untuk menghitung
waktu tempuh gelombang seismik dalam inversi
tomografi untuk memperoleh struktur kecepatan
gelombang P maupun S serta relokasi hiposenter
untuk kasus sumber gempa bumi. Ada 3 metode ray
tracing yang telah berkembang saat ini, antara lain:
1. Shooting menggunakan hukum Snell's.
2. Pseudo-bending menggunakan prinsip Fermat.
3. Full wave equation dengan menggunakan prinsip
Huygens.
Penentuan waktu tempuh gelombang antara sumber
dan penerima merupakan bagian yang penting pada
proses inversi tomografi. Beberapa pemanfataan
metode ray tracing tomografi global untuk
mencitrakan struktur zona subduksi sampai
kedalaman mantel (Widiyantoro dkk., 1997),
tomografi regional untuk mendelineasi heterogenitas
kerak di zona subduksi (Nugraha dan Mori, 2006 ) dan
tomografi gunung api untuk menduga zona lemah
(Priyono dkk., 2010). Pada penelitian ini, dilakukan
modifikasi dan pemograman metode ray tracing
metode pseudo bending (Um dan Thurber, 1987)
dalam medium 2-D untuk keperluan studi geoteknik
dan eksplorasi tomografi antara lubang bor. Ray
tracing metode pseudo bending pada medium 2-D
yang digunakan ini merupakan sebuah pendekatan
dalam proses minimisasi secara langsung waktu
45
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
tempuh dengan cara memberikan gangguan kecil
secara bertahap pada lintasan sinar gelombang. Ray
tracing ini merupakan tahapan yang penting pada
proses inversi tomografi 2-D ataupun 3-D untuk
menghitung waktu tempuh antara sumber dan
penerima yang melewati medium suatu model
kecepatan. Pada studi ini telah dilakukan pemograman
dalam bahasa Matlab untuk proses ray tracing metode
pseudo-bending (Um dan Thurber, 1987) dalam
medium 2-D dengan beberapa modifikasi untuk
proses perhitungan. Tujuan dari studi ini yaitu untuk
membuat pemograman ray-tracing dalam bahasa
Matlab yang dapat diaplikasikan pada inversi
tomografi untuk keperluan geoteknik ataupun
eksplorasi seperti tomografi antara lubang bor untuk
memperoleh gambaran struktur kecepatan gelombang
seimik.
2. Metode
Waktu tempuh (T) sepanjang lintasan gelombang
antara sumber dan penerima dapat diekspresikan
sebagai sebuah persamaan integral, seperti di bawah
ini (Thurber, 1993) :
(1)
Dimana dl = segmen panjang lintasan gelombang dan
V = kecepatan medium yang dilewati sinar
gelombang. Dalam proses perhitungan, lintasan sinar
gelombang dapat didiskritisasi dengan menggunakan
n titik (jumlah titik bending) pada X , X ,..........., X
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Setelah
direlokasi posisi X dan X didapat titik lintasan
yang baru X
Gambar 1. Ilustrasi dari skema tiga titik pertubasi
1 2 n
k-1 k+1
k .
k-1 k+1
k
midk
k mid
k-1
k+1
(2)
Dan jarak Rc dihitung dengan rumus sebagai berikut :
(3)
dimana L = X - X dan c = (K mid1
VK+1
1
VK1( 2
Sehingga didapat titik lintasan sinar gelombang yang
baru, sebagai berikut: X = X K mid nRc (4)
dimana n nn
Gambar 2. Skema urutan titik pertubasi dari kiri ke kanan yang digunakan dalam pemograman ray tracing pada studi ini.
2.1. Algoritma
Untuk memudahkan dalam pemograman ray tracing
metode pseudo-bending ini, kami membuat diagram
alir, sebagai berikut :
46
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 3. Diagram alir pemograman ray tracing metode pseudo-bending pada penelitian ini.
Berangkat dari posisi sumber dan penerima, kemudian
parameterisasi model dilakukan. Parameterisasi
model yang digunakan pada penelitian ini berupa blok
(grid 2-D). Ukuran blok ditentukan tergantung dari
tingkat heterogenitas dalam arah vertikal dan arah
horizontal dari model kecepatan. Setelah membuat
model kecepatan sesuai dengan parameterisasi model
kemudian dihitung gradien kecepatan yang
merupakan turunan kecepatan terhadap jarak spasial
arah X dan Z untuk kasus 2-D.
(5)
Salah satu tahapan penting dalam algortima ini adalah
penentuan jumlah titik tekuk dan banyaknya
pertubasi. Tahapan ini sangat berpengaruh terhadap
optimasi waktu algoritma ini dalam mencapai nilai
konvergensinya. Penentuan kedua nilai tersebut
dipengaruhi oleh parameterisasi model yang berujung
dengan tingkat heterogenitas model awal.
Pada pemograman ini, ray tracing berawal dengan
lintasan ray lurus. Kemudian lintasan ray yang lurus
ini diberi gangguan arah n sejauh Rc pada setiap titik
tekuknya. Lintasan ray diperbaharui sebanyak jumlah
pertubasi.
Masing-masing ray hasil setiap pertubasi dihitung
pajangnya pada setiap blok dengan cara membagi ray
tersebut menjadi segmen-segmen kecil. Semakin kecil
segmennya semakin tinggi tingkat ketelitian dalam
menghitung ray pada setiap blok.
Waktu tempuh gelombang merambat dihitung dengan
mengalikan panjang ray setiap blok dengan nilai
slowness (1/kecepatan) pada setiap blok.
Waktu Tempuh = (6)
Dimana S adalah slowness pada blok ke-f yang f
dilewati oleh ray. dL merupakan segmen panjang ray f
pada blok ke-f yang dilewati ray. Kemudian dari
waktu tempuh masing-masing pertubasi pada ray
tracing dipilih waktu minimumnya dan kemudian
pertubasi ke-i dengan waktu minimum ini menjadi ray
tracing akhir yang memenuhi prinsip Fermat.
3. Hasil Uji Ray Tracing
Dalam pemograman ray tracing 2-D metode pseudo-
bending pada penelitian ini kami mengujinya dalam
beberapa model kecepatan sehingga program ray
tracing ini dapat digunakan dalam berbagai model
kecepatan.
Model Kecepatan 2 Lapis : Homogen
PosisiSumber & Penerima
Parameterisasi Model
Model Kecepatan
Model Gradien Kecepatan
Jumlah Titik Tekuk
Banyak Pertubasi
Ray Tracing Awal (Lurus)
Ray Tracing Psedo-Bending
Waktu Tempuh
Minimum Waktu Tempuh
Ray Tracing
Panjang Ray Setiap Blok
Gambar 4. Hasil ray tracing metode pseudo bending
(garis hitam) untuk setiap pertubasi dengan 200 titik
tekuk dan jumlah pertubasi 100 pada model 1
47
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
lapisan sama dengan ukuran dimensi blok arah z. Ray
tracing yang memenuhi waktu tempuh minimum
adalah ray tracing dengan warna merah tebal.
Gambar 5. Waktu tempuh pada setiap pertubasi rayt
racing. Pada pertubasi ke 50, waktu tempuh tiba-tiba
turun dengan signifikan dikarenakan ray tracing
gelombang langsung menjadi gelombang refraksi.
Waktu tempuh minimum dicapai pada pertubasi ke-
59.
Model Kecepatan N-Lapis: Gradasi terhadap Kedalaman
Gambar 6. Hasil ray tracing metode pseudo bending
(garis hitam) untuk setiap pertubasi dengan 80 titik
tekuk dan jumlah pertubasi 200 pada model kecepatan
N lapis dengan gradasi kecepatan pada masing-masing
lapisan. Ray tracing yang memenuhi waktu tempuh
minimum adalah ray tracing dengan warna merah
tebal.
Gambar 7. Waktu tempuh pada setiap pertubasi rayt
racing. Saat ray melewati lapisan dengan kecepatan
yang sama terlihat waktu tempuh semakin bertambah
seiring pertubasi yang membuat jarak tempuh
semakin jauh. Pada saat ray berhasil melewati batas
lapisan, waktu tempuh berubah dengan signifikan.
Waktu tempuh minimum dicapai pada pertubasi ke-
189.
Model Kecepatan N-Lapis: Gradasi terhadap Kedalaman dengan Undulasi
Gambar 8. Hasil ray tracing metode pseudo bending
(garis hitam) untuk setiap pertubasi dengan 40 titik
tekuk dan jumlah pertubasi 300 pada model kecepatan
N lapis dengan gradasi kecepatan pada masing-
masing lapisan dan batas lapisan berundulasi. Ray
tracing yang memenuhi waktu tempuh tercepat adalah
ray tracing dengan warna merah. Ray tracing
menunjukkan waktu tempuh minimum berada pada
saat gelombang merambat di sekitar batas lapisan.
48
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
Gambar 9. Waktu tempuh pada setiap pertubasi ray
tracing. Pada model kecepatan gradasi terhadap
kedalaman, ray akan selalu ditekuk ke arah kecepatan
yang lebih tinggi. Waktu tempuh semakin lama
semakin menurun seiring nilai pertubasi. Pada
pertubasi ke-200 waktu tempuh sudah menunjukkan
konvergensi. Waktu tempuh minimum dicapai pada
pertubasi ke-300. Jika pertubasi diperbesar maka ray
tracing tidak akan banyak berubah pada posisi dan
nilai waktu tempuh.
Model Kecepatan Homogen dengan Anomali
Positif dan Negatif
Gambar 10. Hasil ray tracing dengan metode pseudo-
bending (20 titik tekuk dan 20 kali pertubasi) pada
model kecepatan homogen dengan anomali positif
(kotak biru) dan negatif (kotak merah) di tengahnya.
Ray (hitam) berasal dari 20 posisi sumber dan diterima
oleh 1 stasiun penerima. Terlihat gelombang
merambat menjauhi medium dengan kecepatan
rendah dan melewati medium dengan kecepatan tinggi
sehingga memenuhi prinsip Fermat.
Model Kecepatan Gradasi dengan Anomali Positif dan Negatif
Gambar 11. Hasil ray tracing dengan metode pseudo-
bending (20 titik tekuk dan 20 kali pertubasi) pada
model kecepatan gradasi terhadap kedalaman dengan
anomali negatif di tengahnya. Ray (hitam) berasal dari
20 posisi sumber dan diterima oleh 1 stasiun penerima.
Ray berusaha menjauhi kecepatan yang lebih rendah
sehingga ditekuk ke arah kecepatan yang lebih tinggi.
Gambar 12. Hasil ray tracing dengan metode pseudo-
bending (20 titik tekuk dan 20 kali pertubasi) pada
model kecepatan gradasi terhadap kedalaman dengan
anomali positif di tengahnya. Ray ditekuk ke arah
kecepatan yang lebih tinggi sehingga ray tertarik ke
anomali positif.
49
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
3.1. Optimasi Jumlah Titik Tekuk dan Banyak
Pertubasi
Dari pengujian ray tracing metode pseudo-bending
dengan menggunakan beberapa model kecepatan,
jumlah titik tekuk dan banyak pertubasi berpengaruh
terhadap hasil ray tracing dengan metode ini. Faktor
utama yang paling mempengaruhi tekukkan ray pada
metode ini adalah gradien kecepatan dan
Gambar 14. Ray tracing dengan menggunakan 50
titik tekuk dan banyak pertubasi 150. Pada pertubasi
ke-113 ray tracing berada pada waktu tempuh
minimum yaitu 0.0378 s. Dari jumlah titik tekuk = 50
ini, dapat dilihat saat ray tracing diperbaharui setiap
pertubasinya memiliki jarak yang dekat (rapat)
terhadap pertubasi sebelumnya.
50
Gambar 13. Ray tracing dengan menggunakan 30 titik
tekuk dan banyak pertubasi 50. Pada pertubasi ke-41
ray tracing berada pada waktu tempuh minimum yaitu
0.0378 s. Dari jumlah titik tekuk = 30 ini, dapat dilihat
saat ray tracing diperbaharui setiap pertubasinya
memiliki jarak yang jauh (renggang) terhadap
pertubasi sebelumnya.
Gambar 15. Waktu tempuh untuk setiap pertubasi.
Dengan menggunakan 30 titik tekuk konvergensi
waktu tempuh mulai terlihat pada pertubasi ke-35
parameterisasi model. Gradien kecepatan yang
merupakan turunan kecepatan terhadap dimensi
spasial dipengaruhi oleh parameterisasi model yang
menjadi dimensi spasial dalam pemograman ini. Jika
ray melewati medium homogen maka ray tidak akan
mengalami gangguan karena gradien kecepatan pada
medium tersebut bernilai 0.
Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan ini yaitu
untuk setiap dimensi parameterisasi model diharapkan
memiliki nilai gradien kecepatan (asal tidak 0) dengan
cara membuat model gradasi di dalam setiap lapisan.
Model gradasi ini akan membuat gradien kecepatan
akan memiliki nilai dan ray tracing metode pseudo-
bending ini akan dapat dijalankan.
. Kesimpulan
Modifikasi algoritma ray tracing metode pseudo-
bending pada penelitian ini terletak pada jumlah titik
tekuk yang ditentukan diawal, sedangkan Um dan
Thurber (1987) berawal dari 1 titik bending kemudian
jumlah titik bending bertambah seiring pertubasi.
Selain itu Um dan Thuber (1987) menggunakan
double paths segment dalam mengeksplorasi ruang
model.
Dari pemograman dan pengujian beberapa model
kecepatan pada penelitian ini, ray tracing metode
pseudo-bending ini sangat baik diterapkan dalam
rekonstruksi penjejakan sinar gelombang yang
memenuhi prinsip fermat dengan waktu tempuh
tercepat. Persamaan matematika dalam menghitung
Rc merupakan sebuah pendekatan dari penyelasaian
4
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
persamaan gelombang. Dalam hal ini Rc kadang dapat
memiliki nilai imajiner dan akan bernilai sangat besar.
Dalam menjaga kestabilan tekukkan (gangguan) yang
diberikan kepada ray ditekuk ke arah n sejauh Rc,
nilai Rc diberi syarat dalam penerimaan jarak tekukkan
ray, yaitu Rc dapat diterima jika bernilai 0 – 1 dan jika
Rc ditemukan bernilai imajiner maka Rc dianggap
bernilai 0 pada pertubasi tersebut.
Optimasi ray tracing metode pseudo bending dari segi
waktu perhitungan ini dipengaruhi oleh jumlah titik
tekuk dan banyak pertubasi. Jumlah titik tekuk dan
banyak pertubasi akan dipengaruhi oleh parameterisasi
model dan model kecepatan. Semakin banyak titik
tekuk maka ray tracing akan semakin halus tetapi
membutuhkan waktu yang semakin lama dalam
mencapai konvergensi waktu tempuh minimum.
Pemograman ray tracing metode pseudo bending
Gambar 16. Waktu tempuh untuk setiap pertubasi.
Dengan menggunakan 50 titik tekuk konvergensi
waktu tempuh mulai terlihat pada pertubasi ke-100.
dalam penelitian ini, dapat diaplikasikan pada inversi
tomografi waktu tempuh antara lubang bor, untuk
memperoleh struktur kecepatan gelombang seismik
bawah permukaan.
5. Daftar Pustaka
Nugraha, A. D., dan Mori , J . , Three-
dimensional velocity structure in the Bungo
channel and Shikoku area, Japan, and its
relationship to low-frequency earthquakes,
Geophysical Research Letters, Vol. 33,
L24307, doi:10.1029/2006GL028479,
2006.
Widiyantoro, S., &, van der Hilst, R.D., Mantle
structure beneath Indonesia inferred from
high-resolution tomographic imaging.
Geophys. J. Int., 130, 167-182, 1997.
Priyono, A., Suantika, G., Widiyantoro, S., Priadi, B.,
dan Surono., Three-dimensional P- and S-
wave Velocity Structures of Mt. Guntur,
West Java, Indonesia, from Seismic
Tomography, Int. J. Tomogr. Stat., Vol.16.,
W11., 2010.
Thurber, C. H., Local earthquake tomography
velocities and Vp/Vs theory, in Seismic
Tomography: Theory and Practice, pp. 563-
583, edited by H. M. Iyer and K. Hirahara,
CRC Press, Boca Raton, Fla, 1993.
Um, Junho and Clifford Thurber. A Fast Algorithm
for Two Point Seismic Ray Tracing. Bulletin
of the Seismological Society of America,
Vol.77, No.33, pp. 972-986, 1987.
51
JURNAL GEOFISIKA 2011/01
SYARAT DAN FORMAT PENULISAN JURNAL GEOFISIKA
Umum
Redaksi menerima artikel berupa hasil penelitian atau
hasil studi, baik dalam bentuk kajian teoritik maupun
eksperimental atau gabungan keduanya dalam bidang
Geofisika.
Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan
memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.
Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format
penulisan Jurnal Geofisika. Informasi dalam naskah
belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses
untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun
elektronik.
Pengiriman dan Penilaian Naskah
Naskah asli yang dikirimkan ke redaksi Jurnal
Geofisika harus sesuai dengan format penulisan
naskah yang ditentukan. Naskah tersebut sebaiknya
dikirimkan dalam bentuk softcopy. Penulis yang
memasukkan naskahnyake redaksi Jurnal Geofisika
sebaiknya melampirkan biografi ringkas, afiliasi, dan
alamat lengkap termasuk alamat e-mail (bila ada).
Makalah yang masuk akan diseleksi oleh Tim Editor
yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi,
mengembalikan untuk diperbaiki, dan menolak tulisan
yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian
akan dilakukan secara obyektif dan tertulis. Naskah
yang ditolak untuk dimuat dalam Jurnal Geofisika
akan dikembalikan kepada penulis.
Format Penulisan Naskah
Format penulisan Jurnal Geofisika dapat dilihat pada
halaman berikut. Panduan penulistersebut sesuai
dengan format baku Jurnal Geofisika, dan dapat
dijadikan sebagai contoh.
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris. Bila menggunakan BahasaIndonesia,
menggunakan bahasa yang benar. Penggunaan bahasa
dan istilah asing sebaiknya disertai makna/arti istilah
tersebut.
JUDUL MAKALAH
1 1 2PenulisPertama , Penulis Kedua , Penulis Ketiga1)Afiliasi Penulis Pertama dan Kedua
2)Afiliasi Penulis Ketiga
Abstrak
Abstrak berisi latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, dan kesimpulan secara ringkas. Sebaiknya jumlah kata
dalam abstrak tidak lebih dari 300 kata. Abstrak ditulis dengan huruf Times New Roman dengan font 11 yang dicetak
miring. Tata letak abstrak ini dapat dijadikan contoh format baku penulisan dalam Jurnal M,eteorologi dan
Geofisika.
Abstract
An abstract consists of background, objectives, methodology, results, and conclution in brief. The abstract should be
less than 300 words, in 11 point Italic Times New Roman font. The layout of this abstract can be used as a template.
Keywords: terdiri dari tiga sampai lima kata dalam Bahasa Inggris.
1. Struktur Naskah
Struktur naskah adalah judul, nama penulis (tanpa
gelar), afiliasi tempat bekerja, abstrak, kata kunci,
pendahuluan/latar belakang dan tujuan, isi naskah,
kesimpulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka.
2. Format Makalah
Tata Letak
Naskah dicetak dengan format kertas ukuran A4.
Setiap halaman diberi nomor dan panjang naskah
antara 10 sampai 15 halaman.
52