2
GAMBARAN UMUM RISET PENGARUH ASIMETRI DESENTRALISASI TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DI ACEH DAN PAPUA Empat belas tahun sudah pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Dalam implementasinya, terdapat beberapa kendala seperti kurangnya kapasitas pemerintah local dalam menjalankan fungsinya sebagai akibat ketergantungan daerah pada pusat pada masa Orde Baru yang menyebabkan kemandulan pada pemerintah daerah. Selain itu, adanya desain tunggal dalam pelaksanaan desentralisasi di tengah keragaman karakteristik lokal menyebabkan munculnya gejolak dalam pengembangan wilayah di Indonesia. Hal lain tercermin dari munculnya pemekaran wilayah, baik provinsi maupun kabupaten dimana sebuah pemerintah lokal dapat terbagi menjadi dua atau lebih pemerintahan baru untuk meningkatkan pelayanan public di daerah tersebut, menciptakan pemerintahan local yang lebih efektif, serta membawa pemimpin politik baru pada posisi pemimpin daerah tersebut (Firman, 2010). Pemekaran ini berdampak pada peningkatan drastis jumlah pemerintahan local baru. Di sisi lain, hal ini turut meningkatkan beban pemerintah pusat dalam memberikan dana alokasi umum yang digunakan pemerintah daerah untuk membiayai urusan- urusan daerah, seperti membayar gaji pegawai. Hal ini kemudian dipertanyakan keefektifannya, mengingat pemekaran wilayah tidak diimbangi dengan adanya perbaikan dalam pelayanan publik. Penelitian yang dilakukan oleh USAID (2006) terkait dengan evaluasi terhadap daerah otonomi baru menunjukkan prestasi yang rendah dalam pelayanan public, penggunaan dana yang tidak efektif, juga kurangnya tenaga professional dalam penyediaan layanan public. Hadiz (2004) juga mengemukakan bahwa praktik pemekaran wilayah ini merupakan perpendekan untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia pada level daerah. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka digagas konsep asimentri desentralisasi yang merupakan pemberian kewenangan khusus pada wilayah tertentu di suatu negara yang didasarkan pada pertimbangan historis, politik, keberagaman etnik dan budasya, akselerasi pembangunan, dan sebagainya. Dengan pemberlakuan asimetri desentralisasi, Hannum (2001:1-3) mensinyalir terdapat dua manfaat yang ditimbulkan, yakni sebagai solusi terjadinya konflik etnis dan konflik lainnya serta sebagai respon demokratis dan damai terhadap masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang selama ini termarginalkan. Dalam konteks Indonesia, pemberian status asimetri desentralisasi dilakukan di Provinsi Aceh dan Papua. Pemberlakuan desentralisasi ini

GAMBARAN UMUM RISET

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gambaran umum riset otda

Citation preview

Page 1: GAMBARAN UMUM RISET

GAMBARAN UMUM RISETPENGARUH ASIMETRI DESENTRALISASI TERHADAP PENGEMBANGAN

WILAYAH DI ACEH DAN PAPUA

Empat belas tahun sudah pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Dalam implementasinya, terdapat beberapa kendala seperti kurangnya kapasitas pemerintah local dalam menjalankan fungsinya sebagai akibat ketergantungan daerah pada pusat pada masa Orde Baru yang menyebabkan kemandulan pada pemerintah daerah. Selain itu, adanya desain tunggal dalam pelaksanaan desentralisasi di tengah keragaman karakteristik lokal menyebabkan munculnya gejolak dalam pengembangan wilayah di Indonesia. Hal lain tercermin dari munculnya pemekaran wilayah, baik provinsi maupun kabupaten dimana sebuah pemerintah lokal dapat terbagi menjadi dua atau lebih pemerintahan baru untuk meningkatkan pelayanan public di daerah tersebut, menciptakan pemerintahan local yang lebih efektif, serta membawa pemimpin politik baru pada posisi pemimpin daerah tersebut (Firman, 2010). Pemekaran ini berdampak pada peningkatan drastis jumlah pemerintahan local baru. Di sisi lain, hal ini turut meningkatkan beban pemerintah pusat dalam memberikan dana alokasi umum yang digunakan pemerintah daerah untuk membiayai urusan-urusan daerah, seperti membayar gaji pegawai. Hal ini kemudian dipertanyakan keefektifannya, mengingat pemekaran wilayah tidak diimbangi dengan adanya perbaikan dalam pelayanan publik. Penelitian yang dilakukan oleh USAID (2006) terkait dengan evaluasi terhadap daerah otonomi baru menunjukkan prestasi yang rendah dalam pelayanan public, penggunaan dana yang tidak efektif, juga kurangnya tenaga professional dalam penyediaan layanan public. Hadiz (2004) juga mengemukakan bahwa praktik pemekaran wilayah ini merupakan perpendekan untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia pada level daerah.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka digagas konsep asimentri desentralisasi yang merupakan pemberian kewenangan khusus pada wilayah tertentu di suatu negara yang didasarkan pada pertimbangan historis, politik, keberagaman etnik dan budasya, akselerasi pembangunan, dan sebagainya. Dengan pemberlakuan asimetri desentralisasi, Hannum (2001:1-3) mensinyalir terdapat dua manfaat yang ditimbulkan, yakni sebagai solusi terjadinya konflik etnis dan konflik lainnya serta sebagai respon demokratis dan damai terhadap masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang selama ini termarginalkan.

Dalam konteks Indonesia, pemberian status asimetri desentralisasi dilakukan di Provinsi Aceh dan Papua. Pemberlakuan desentralisasi ini dilakukan pada tahun 2001 yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Pemberian otonomi khusus pada Aceh dilakukan sebagai respon demokratis terhadap kehidupan rakyat Aceh yang menempatkan ulama pada posisi terhormat. Sementara penetapan Papua sebagai daerah otonomi khusus dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghomatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penerapan asimetri desentralisasi pada dua provinsi tersebut pasti berdampak pada pengembangan wilayahnya. Pengembangan wilayah ini diperlukan untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Untuk mengukur

Page 2: GAMBARAN UMUM RISET

pengembangan wilayah ini akan diukur dengan menggunakan tiga indicator, yakni pertumbuhan ekonomi, ketersediaan pelayanan public, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis statistik deskriptif yang menjelaskan perkembangan setiap indicator pada kabupaten/kota dari provinsi Aceh dan Papua. Adapun tahapan analisis yang dilakukan sebagai berikut: 1) analisis pengaruh asimetri desentralisasi terhadap pengembangan wilayah di

kabupaten/kota yang termasuk dalam Provinsi Aceh dan Papua dan2) perbandingan tingkat kemajuan perkembangan wilayah antar kabupaten/kota

di Provinsi Aceh dan Papua.