8
III. Gambaran Trade Facilitation di Indonesia Oleh: Evi Dita Pratiwi (110673200) Perekonomian Indonesia selama ini selal dicirikan oleh struktur produksi yang banyak diproteksi oleh pemerintah terutama pada subsector industry manufaktur. Misalnya saja industry pertanian di Indonesia pada tahun 1987 mendapatkan subsidi sebesar 20% dan pada tahun yang sama pada sector industry mendapatkan subsidi sebesar 131%. 1 Pemberian subsidi sebesar itu ternyata tidak berlangsung lama, setelah Indonesia menjadi anggota WTO pada tahun 1995, Indonesia harus mengurangi subsidi di bidang pertanian dan di bidang perindustrian nasionalnya. Hal tersebut dikarenakan pada WTO terdapat sebuah perjanjian subsidi dimana Negara anggota dilarang untuk memberikan subsidi yang dapat mempengaruhi pasar perdagangan dan dapat merugikan pengusaha di Negara pengekspor. Apabila subsidi yang diberikan Indonesia merugikan pengusaha di Negara pengimpor, maka Negara pengimpor itu dapat melakukan tindakan terhadap pemerintah Indonesia yang memberikan subsidi tersebut. 2 Bergabungnya Indonesia dengan WTO merupakan alasan utama Indonesia mengurangi subsidi yang diberikan oleh 1 Isang Gonarsyah, Nuhfil Hanani A.R., Bonar M. Sinaga, “Dampak Liberarlisasi Perdagangan Terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan Antisipasinya Menghadapi Era Abad Asia Pasific,” Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol 1. No. 3, hlm. 344. 2 Erman Rajagukguk, et.all, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2011), hal. 46.

Gambaran Trade Facilitation Di Indonesia

  • Upload
    anetho

  • View
    218

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

III. Gambaran Trade Facilitation di IndonesiaOleh: Evi Dita Pratiwi (110673200)Perekonomian Indonesia selama ini selal dicirikan oleh struktur produksi yang banyak diproteksi oleh pemerintah terutama pada subsector industry manufaktur. Misalnya saja industry pertanian di Indonesia pada tahun 1987 mendapatkan subsidi sebesar 20% dan pada tahun yang sama pada sector industry mendapatkan subsidi sebesar 131%.[footnoteRef:1] Pemberian subsidi sebesar itu ternyata tidak berlangsung lama, setelah Indonesia menjadi anggota WTO pada tahun 1995, Indonesia harus mengurangi subsidi di bidang pertanian dan di bidang perindustrian nasionalnya. Hal tersebut dikarenakan pada WTO terdapat sebuah perjanjian subsidi dimana Negara anggota dilarang untuk memberikan subsidi yang dapat mempengaruhi pasar perdagangan dan dapat merugikan pengusaha di Negara pengekspor. Apabila subsidi yang diberikan Indonesia merugikan pengusaha di Negara pengimpor, maka Negara pengimpor itu dapat melakukan tindakan terhadap pemerintah Indonesia yang memberikan subsidi tersebut.[footnoteRef:2] [1: Isang Gonarsyah, Nuhfil Hanani A.R., Bonar M. Sinaga, Dampak Liberarlisasi Perdagangan Terhadap Kinerja Perekonomian Indonesia dan Antisipasinya Menghadapi Era Abad Asia Pasific, Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol 1. No. 3, hlm. 344.] [2: Erman Rajagukguk, et.all, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum, 2011), hal. 46.]

Bergabungnya Indonesia dengan WTO merupakan alasan utama Indonesia mengurangi subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Misalnya saja Subsidi yang diberikan di bidang pertanian yang awalnya sebesar 20%, pemerintah menurunkannya menjadi 5%.[footnoteRef:3] Selain itu kenaggotaan Indonesia di WTO menyebabkan system Liberal yang sudah ada sejak tahun 1985 semakin bertambah besar.[footnoteRef:4] Adanya system liberal yang ada di Indonesia tak lepas dari pengaruh globalisasi ekonomi yang ada di dunia. [3: Gonarsyah, Op.Cit., hal. 344.] [4: Feri Hadi Priantio, The Effects of Trade Liberalization on Wage Inequality and Informality in Indonesia : An Empirical Study, Economic and Finance in Indoneisa, Vol. 59 (2), hal. 145]

Proses globalisasi ekonomi diartikan sebagai perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau structural, dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin ceat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia.[footnoteRef:5]Dengan adanya teknologi yang modern maka batas-batas geografis yang ada di dunia ini semakin tipis. [5: Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 1.]

Derajat globalisasi dari suatu Negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indicator utama, yaitu rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari Negara tersebut sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia, atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari Negara itu sebagai suatu persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobalnya perekonomian dari Negara tersebut.[footnoteRef:6] [6: Ibid., hal. 3.]

Faktor pendorong yang menyebabkan cepat atau tidaknya globalisasi ekonomi adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya saja adanya penemuan satelit, hand phone (HP), fax, internet, dan e-mail serta adanya alat-alat transportasi yang memadai dan mendukung percepatan globalisasi ekonomi seperti adanya pesawat terbang yang membuat orang-orang dari Negara yang tinggal berjauhan dapat dengan mudah dan cepat menuju ke suatu negara yang mereka inginkan.[footnoteRef:7] [7: Ibid., hal. 17.]

Globalisasi perdagangan di Indonesia sebenarnya telah dimulai sudah sejak lama hal ini terbukti dari berkurangnya batas-batas antar negara sehingga para pedagang yang ada di Negara lain dapat dengan mudah untuk berkomunikasi dan membeli serta dapat menginvestasikan uang yang mereka miliki ke negara yang mereka mau. Selain itu dengan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995 dan Indonesia merupakan pendiri ASEAN (Association South East Asia Nation) pada tahun 1967.[footnoteRef:8] Dengan kedua hal tersebut maka mendukung adanya perkembengan ekonomi dan memfasilitasi Negara lain agar bisa dan dengan mudah melakukan investasi di Indonesia. Pada subab ini maka akan dibahas mengenai keanggotaan Indonesia di WTO dan bagaimana peran Indonesia dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh WTO, terutama perjanjian yang baru saja disahkan oleh WTO di Bali pada bulan Desember 2013 mengenai perjanjian fasilitasi. [8: Diunduh dari www.ASEAN.org pada hari Selasa, 12 Agustus 2014 pukul 15.40 WIB.]

Perjanjian fasilitasi apabila dipahami berdasarkan pengertian yang diberikan oleh WTO adalah The simplification and harmonization of international trade procedures dimana pengertian dari prosedur itu sendiri adalah activities, practices, and formalities involved in collecting, presenting, communicating and processing data required for the movement of goods in international trade.[footnoteRef:9] International Chamber and Commerce mengartikan Trade Facilitation sebagai penyederhanaan aturan bea cukai dan proses administrasi pada transaksi perdagangan international. Dimana tujuan dari WTO untuk mengurangi biaya bea cukai dan proses administrasi adalah agar batas-batas Negara yang ada menjadi tidak ada dan untuk memfasilitasi pergerakan arus barang yang ada di Indonesia.[footnoteRef:10] [9: WTO, 2002a, Trade Facilitation. [[www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/eol/e/wto02/wto2_69.htm#note2]] [10: ICC Business World Trade Agenda [Fact sheet] diterbitkan pada 1 July 2013. www.iccwbo.org. ]

Pada Garis-garis Besar Haluan Besar Negara (GBHN) 1988 telah diatur mengenai perdagangan luar negeri, menetapkan bahwa kebijaksanaan pembangunan perdagangan luar negeri Indonesia harus diarahkan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan dalam dan luar negeri, sehingga lebih memperlancar arus barang dan jasa, mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat, menunjang efisiensi produksi, meningkatkan ekspor, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan dan memeratakan pendapat rakayat serta memantapkan stabilitas ekonomi.[footnoteRef:11] [11: Kebijaksanaan dan Pokok-pokok Ketentuan di Bidang Perdagangan Luar Neger, (Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri Pusat, Departemen Perdagangan, 1992/1993), hal. 3.]

Lembaga Indonesia yang memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah lembaga Bea Cukai. Di lembaga Bea Cukai Indonesia, barang-barang yang masuk atau pun keluar dari Indonesia dikenakan tariff tertentu. Besarnya tariff tentu berbeda-beda antara satu barang dengan yang lain. Perbedaan tersebut dapat saja terletak pada merek barang tersebut, jumlah barang yang keluar atau masuk, dan berbagai kategori lain yang diatur di dalam lenbaga Bea Cukai Indonesia. Pada perjanjian yang dibuat oleh WTO pada bulan Desember 2013 yang lalu mengenai perjanjian fasilitasi membahas mengenai pengurangan hambatan masuk ke suatu Negara yang termasuk anggota WTO. Maksudnya adalah Negara pengimpor seperti Indonesia, harus mengurangi hambatan masuk bagi barang-barang atau investor-investor asing sesame anggota WTO jika ingin berdagang atau berinvestasi di Indonesia. Hambatan yang dimaksud di atas merupakan hambatan-hambatan baik yang merupakan hambatan non tariff maupun hambatan mengenai tariff yang dapat menghambat masuknya barang dan atau jasa Negara asing ke Negara pengimpor. Salah satu hambatan tersebut adalah hambatan mengenai standar yang ditetapkan suatu Negara mengenai suatu makanan sehingga menghambat makanan dari Negara pengekspor tidak bisa masuk karena standar di Negara pengimpor sangat tinggi; selain itu ada juga hambatan yang berupa tingginya biaya masuk barang dari Negara pengekspor yang mengakibatkan barang dari Negara pengekspor menjadi mahal dan tidak dapat bersaing dengan barang-barang yang dijual oleh pengusaha di Indonesia.[footnoteRef:12] [12: Erman Rajagukguk, et.all., Op.Cit., hal. 25.]

Perjanjian fasilitasi yang dilaksanakan oleh WTO secara garis besar mengatur bahwa Indonesia harus mencabut subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia dalam bidang pertanian, mengizinkan para investor asing menanamkan modalnya di sector-sektor Indonesia dan hambatan tariff seperti biaya masuk barang impor dikurangi bahkan ditiadakan.[footnoteRef:13] [13: Agreement on Trade Facilitation ]

Apabila dianalisis berdasarkan keadaan ekonomi Indonesia pada saat ini, Indonesia belum mampu untuk menjalankan perjanjian tersebut. Hal itu dikarenakan sector pertanian Indonesia masih membutuhkan subsidi dari pemerintah karena masih sedikit petani di Indonesia yang bisa membeli bibit pertanian tanpa bantuan pemerintah, selain itu tidak menentunya iklim di Indonesia serta masih banyaknya hama menyebabkan petani gagal panen dan hal tersebut akan berakibat buruk bagi petani jika subsidi pertanian dicabut. Factor lain yang menyebabkan Indonesia belum siap untuk melakukan perjanjian fasilitasi adalah apabila barang-barang luar negeri masuk ke Indonesia dengan harga yang sama atau bahkan lebih rendah dari barang produksi Indonesia serta dengan kualitas yang lebih baik, maka masyarakat Indonesia tentu lebih memilih membeli barang-barang luar negeri, hal ini akan mengakibatkan merugi nya pengusaha Indonesia, apabila mencapai tahap yang lebih parah, banyak pengusaha Indonesia yang akan gulung tikar karena tidak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri. [footnoteRef:14] [14: www.spi.or.id diakses pada hari Senin, 11 Agustus 2014 pukul 22.03 WIB. ]

Ketidaksiapan Indonesa terhadap perjanjian fasilitasi dikarenakan Indonesia yang sejak dulu terkenal dengan prinsip gotong royong dan pemerintah yang sering memabntu pertanian serta industry-industri Indonesia harus mengubah pemahaman itu menjadi liberal, dimana pemerintah tidak lagi ikut campur tangan mengenai permasalahan yang ada di pasar. Praktik liberalisasi dalam sector investasi strateig seperti tanah, tambang dsb juga tidak cocok dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia seperti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Agraria dan Pasal 33 UUD 1945.[footnoteRef:15] [15: www.kpa.or.id diakses pada hari Senin, 11 Agustus 2014 pukul pukul 22.15 WIB.]

IV. Dampak Agreement on Trade Facilitation Terhadap Arus Barang