Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA BERDASARKAN TINGKAT
KEMANDIRIAN ACTIVITY DAILY LIVING (ADL) ANAK
RETARDASI MENTAL SEDANG DI SEKOLAH
LUAR BIASA KABUPATEN BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan
FRANSISCA JUNFLIANY SITANGGANG
NPM.AK.1.15.016
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2019
ABSTRAK
Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar
terutama di negara-negara berkembang. Menurut World Health Organization,
terdapat sebanyak 15% dari penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami
gangguan mental dan fisik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh orangtua
berdasarkan tingkat kemandirian activity daily living pada anak retardasi mental
sedang di Sekolah Luar Biasa Kabupaten Bandung.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
deskriptif dengan menggunakan sampel teknik total sampling yaitu sebanyak 26
orangtua yang memiliki anak retardasi mental sedang berumur 12-21 tahun.
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Pola Asuh Orangtua (Elza
Yusman, 2009) dan kuesioner Kemandirian Anak (Muliana, 2013). Analisa data
dalam penelitian ini adalah analisa univariat dengan analisis distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki tingkat kemandirian
berdasarkan pola asuh orangtua, anak retardasi mental sedang yang mendapatkan
pola asuh orang tua demokrasi ada 8 anak (34,8 %) tidak mandiri, 9 anak (39,1 %)
cukup mandiri dan 6 anak (26,1 %) mandiri. Yang menunjukkan bahwa anak
retardasi mental sedang yang mendapatkan pola asuh orang tua permisif ada 1 anak
(33,3 %) tidak mandiri, 2 anak (66,7 %) cukup mandiri dan tidak ada anak yang
mandiri. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan pihak orangtua dapat
meningkatkan pola asuh yang lebih baik khususnya pada anak retardasi mental
sedang sehingga meningkatkan kemandirian anak.
Kata Kunci : Pola Asuh Orangtua, Kemandirian Anak, Retardasi Mental
Sumber : Buku 10 (2010-2018)
Jurnal 7 (2012-2017)
Skripsi 2 (2013)
ABSTRACT
Mental retardation is a world problem with big implications especially in
developing countries. According to the World Health Organization, there are as
many as 15% of the world's population or 785 million people experience mental
and physical disorders.
This study aims to determine the description of parenting based on the level of
independence of daily living activity in mentally retarded children at Bandung
Extraordinary School.
The design used in this research is descriptive method by using a total sampling
technique of 26 parents who have mentally retarded children aged 12-21 years. The
instruments in this study used the Parenting Parenting questionnaire (Elza Yusman,
2009) and the Children's Independence questionnaire (Muliana, 2013). Data
analysis in this research is univariate analysis with frequency distribution analysis.
The results showed that children who have a level of independence based on
parenting, mental retardation children who get parenting democracy are 8 children
(34.8%) not independent, 9 children (39.1%) are quite independent and 6 children
(26.1%) are independent. Which shows that moderate mental retardation children
who get parenting permissive parents there is 1 child (33.3%) is not independent,
2 children (66.7%) are quite independent and no children are independent. Based
on the results of this study parents are expected to be able to improve parenting
better, especially in children with moderate mental retardation, thereby increasing
children's independence.
Keywords: Parenting Parenting, Children's Independence, Mental Retardation
Source: Book 10 (2010-2018)
Journal 7 (2012-2017)
Thesis 2 (2013)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan begitu besar kasih dan karunianya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “GAMBARAN POLA ASUH
ORANGTUA BERDASARKAN TINGKAT KEMANDIRIAN ACTIVITY
DAILY LIVING (ADL) ANAK RETARDASI MENTAL SEDANG DI
SEKOLAH LUAR BIASA KABUPATEN BANDUNG”.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini
tidak lepas dari segala saran, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. H. Mulyana, S.H., M.Pd., MH.Kes., selaku ketua Yayasan Adhi Guna Kencana
Bandung.
2. Dr. Entris Sutrisno, MH.Kes., Apt., selaku Rektor Universitas Bhakti Kencana
Bandung.
3. R. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep., selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Bhakti Kencana Bandung.
4. Lia Nurlianawati, S.Kep., Ners., M. Kep., selaku ketua Program Studi Sarjana
Keperawatan Universitas Bhakti Kencana Bandung.
5. Yuyun Sarinengsih, S.Kep., Ners., M.Kep., selaku pembimbing I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis dengan
penuh kesabaran serta memberikan saran yang sangat bermanfaat sehingga
proposal penelitian ini selesai tepat waktu.
6. Sri Lestari Kartikawati, S.ST., M.Keb., selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis dengan
penuh kesabaran serta memberikan saran yang sangat bermanfaat sehingga
proposal penelitian ini selesai tepat waktu.
7. Denni Fransiska S. Kp., M. Kep., selaku penguji I yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan masukan dan arahannya dengan penuh kesabaran dan
ketulusan.
8. Ani Rasiani, S. Kep., Ners., M. Kep., selaku penguji II yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan masukan dan arahannya dengan penuh kesabaran dan
ketulusan.
9. Kepada semua dosen dan staf Universitas Bhakti Kencana Bandung yang telah
banyak memberikan ilmu dan pengetahuan selama ini.
10. Bapak Andang Jumhawan, S. Pd selaku kepala sekolah Sekolah Luar Biasa
Sabilulungan yang telah banyak berpartisipasi dalam memberikan bantuan,
saran serta masukan kepada penulis.
11. Bapak H. Asep Hidayat, S. Pd selaku kepala sekolah Sekolah Luar Biasa
Roudhotul Zannah yang telah banyak berpartisipasi dalam memberikan
bantuan, saran serta masukan kepada penulis.
12. Kepada semua guru dan staf Sekolah Luar Biasa Sabilulungan Kabupaten
Bandung yang telah banyak memberikan bantuan, saran serta masukan.
13. Kepada semua guru dan staf Sekolah Luar Biasa Roudhotul Zannah Kabupaten
Bandung yang telah banyak memberikan bantuan, saran, serta masukan.
14. Kepada orangtua tercinta, papah dan mamah terimakasih untuk segala
dukungan dan pengorbanan selama ini, terimakasih juga telah memberikan
dukungan moril maupun materil kepada peneliti selama mengikuti pendidikan.
15. Kepada seluruh mahasiswa dan mahasiswi angkatan 2015 yang telah
memberikan dukungan moril kepada peneliti selama mengikuti pendidikan.
16. Kepada seluruh orangtua Sekolah Luar Biasa Sabilulungan yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini dan kepada seluruh orangtua
Sekolah Luar Biasa Roudhotul Zannah yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian ini, terimakasih telah bersedia menerima Fransisca
untuk melakukan penelitian.
17. Kepada sahabat-sahabat tersayang (Siti Komala, Eris Ristina, Siti Solihat,
Anita Triana, Hany Vianie, Fanny Rafanda, dan Jesiawati) yang selalu
memberikan semangat.
18. Serta semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian ini
tepat waktu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna sehingga
dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki
kemajuan ilmu keperawatan dimasa yang akan mendatang.
Bandung, 21 Agustus 2019
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ..................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ......................................................................... xi
DAFTAR BAGAN ......................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 10
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 11
1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................... 11
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................. 11
BAB II TINJAUAN TEORI ......................................................... 12
2.1 Anak Retardasi Mental .............................................................. 12
2.1.1 Definisi Anak Retardasi Mental ....................................... 12
2.1.2 Klasifikasi Anak Retardasi Mental .................................. 13
2.1.3 Karakteristik Anak Retardasi Mental ............................... 17
2.1.4 Faktor-faktor Yang Menyebakan Retardasi Mental ......... 21
2.1.5 Batasan Usia Remaja ........................................................ 26
2.1.6 Bentuk-bentuk Retardasi Mental ...................................... 27
2.1.7 Ciri-ciri Retardasi Mental ................................................ 29
2.1.8 Dampak Anak Retardasi Mental ...................................... 30
2.1.9 Pencegahan Retardasi Mental .......................................... 31
2.1.10 Pengobatan Anak Retardasi Mental ............................... 31
2.2 Kemandirian .............................................................................. 33
2.2.1 Definisi Kemandirian ....................................................... 33
2.2.2 Kemandirian Anak Retardasi Mental ............................... 33
2.2.3 Ciri-ciri Kemandirian Anak Retardasi Mental ................. 35
2.2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian ........ 37
2.3 Activity Daily Living ................................................................. 39
2.3.1 Definisi Activity Daily Living ........................................... 39
2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Activity Daily Living ........... 39
2.4 Pola Asuh Orangtua .................................................................. 41
2.4.1 Definisi Pola Asuh Orangtua ........................................ 41
2.4.2 Klasifikasi Pola Asuh Orangtua ................................... 42
2.4.3 Ciri-ciri Pola Asuh Orangtua ........................................ 43
2.4.4 Hal-hal Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua ..... 45
2.5 Teori Model Keperawatan Dorothea Orem ............................... 46
2.5.1 Teori Perawatan Diri ........................................................ 46
2.5.2 Teori Defisit Perawatan Diri ............................................ 47
2.5.3 Teori Sistem Keperawatan ............................................... 47
2.6 Kerangka Konsep ...................................................................... 49
BAB III METODELOGI PENELITIAN .................................... 50
3.1 Rancangan Penelitian ................................................................ 50
3.2 Paradigma Penelitian ................................................................. 50
3.3. Hipotesa Penelitian .................................................................. 52
3.4 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional .......................... 53
3.4.1 Definisi Konseptual ........................................................ 53
3.4.2 Definisi Operasional ....................................................... 54
3.5 Populasi dan Sampel ................................................................. 55
3.5.1 Populasi ........................................................................ 55
3.5.2 Sampel .......................................................................... 55
3.6 Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 56
3.6.1 Instrumen Penelitian ........................................................ 56
3.6.2 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen .......................... 56
3.6.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 57
3.7 Langkah-langkah Penelitian ...................................................... 59
3.7.1 Tahap Persiapan ............................................................. 59
3.7.2 Tahap Pelaksanaan ............................................................. 59
3.7.3 Tahap Akhir ................................................................... 60
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 60
3.8.1 Pengolahan Data ............................................................. 60
3.8.2 Analisis Data .................................................................. 61
3.9 Etika Penelitian ......................................................................... 63
3.10 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 64
3.10.1 Lokasi Penelitian .......................................................... 64
3.10.2 Waktu Penelitian .......................................................... 64
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................... 65
4.1 Hasil Penelitian Pada Analisa Univariat ................................... 65
4.2 Pembahasan ............................................................................... 66
4.2.1 Gambaran Tingkat Kemandirian Activity Daily Living
(ADL) Anak Retardasi Mental Sedang Berdasarkan
Pola Asuh Orangtua Di Sekolah Luar Biasa Kabupaten
Bandung ........................................................................... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................ 69
5.1 Kesimpulan ............................................................................... 69
5.2 Saran .......................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Retardasi Mental, Rentang IQ, Pendidikan, Klinis,
Estimasi dan Umur Mental .................................................... 16
Tabel 3.1 Definisi Operasional .............................................................. 54
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Gambaran Tingkat Kemandirian
Activity Daily Living (ADL) Anak Retardasi Mental Sedang
Berdasarkan Pola Asuh Orangtua Di Sekolah Luar Biasa
Kabupaten Bandung .............................................................. 65
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Gambaran Pola Asuh Orangtua Berdasarkan Tingkat
Kemandirian Activity Daily Living (ADL) Anak
Retardasi Mental Sedang Di Sekolah Luar Biasa
Kabupaten Bandung .............................................................. 49
Bagan 3.1 Kerangka Penelitian .............................................................. 52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kesediaan Sebagai Pembimbing
Lampiran 2 : Surat Permohonan Ijin Studi Pendahuluan
Lampiran 3 : Surat Keterangan Penelitian Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik
Lampiran 4 : Surat Ijin Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
Lampiran 5 : Lembar Konsul Uji Content
Lampiran 6 : Permohonan Ijin Uji Validitas Dan Reliabilitas
Lampiran 7 : Surat Keterangan Uji Validitas Dari SLB SATRIA GALDIN
Lampiran 8 : Surat Keterangan Penelitian Dari SLB ROZA
Lampiran 9 : Surat Keterangan Penelitian Dari SLB SABILULUNGAN
Lampiran 10 : Surat Keterangan Layak Etik
Lampiran 11 : Lembar Oponen
Lampiran 12 : Lembar Bimbingan
Lampiran 13 : Dokumentasi
Lampiran 14 : Hasil Uji Validitas
Lampiran 15 : Hasil Pengolahan Data
Lampiran 16 : Lembar Informed Consent dan Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 17 : Daftar Riwayat Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orangtua mendambakan anak yang sehat. Anak yang sehat jika pertumbuhan
dan perkembangannya sesuai dengan tahap umurnya, tidak mengalami gangguan
penyakit secara fisik maupun mental (Wahyu, 2010). Orangtua menginginkan
anaknya bertumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya. Pertumbuhan
yang diinginkan oleh orangtua seperti sehat fisik, mental, kognitif dan sosial. Anak
yang lambat dalam perkembangannya, baik perkembangan sosial maupun
kecerdasannya disebut dengan anak keterbelakangan mental atau retardasi mental
(Suyono, Ranuh & Soetjiningsih, 2016).
Menurut World Health Organization, terdapat sebanyak 15% dari penduduk
dunia atau 785 juta orang mengalami gangguan mental dan fisik. Retardasi mental
merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama di negara-negara
berkembang (Prasa, 2013). Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat Tahun 2018 jumlah Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Jawa Barat ada 43
Sekolah Luar Biasa dengan jumlah tuna netra sebanyak 50 orang, tuna runggu
sebanyak 381 orang, tunagrahita ringan sebanyak 918 orang, tunagrahita sedang
sebanyak 535 orang, tuna daksa ringan sebanyak 84 orang, tuna daksa sedang
sebanyak 40 orang, tuna laras sebanyak 3 orang, tuna wicara sebanyak 3 orang,
attention deficit hyperactivity disorder sebanyak 9 orang, down syndrome sebanyak
65 orang, dan autis sebanyak 260 orang.
Retardasi mental adalah keterlambatan perkembangan dimulai pada masa
anak yang ditandai oleh intelegensi atau kemampuan kognitif di bawah normal dan
terdapat hambatan pada perilaku adaptif sosial. Retardasi mental terbagi beberapa
yaitu retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat. Anak dengan retardasi
mental tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah biasa karena cara berpikirnya
terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, dan pengertian bahasa
dan berhitungnya pun sangat lemah. Sementara itu yang dimaksud dengan perilaku
adaptif adalah kemampuan seseorang untuk mandiri, menyesuaikan diri, dan
mempunyai tanggung jawab sosial sesuai dengan kelompok umur dan budayanya
(Soetjiningsih, 2013).
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa anak retardasi mental mengalami
hambatan dalam kecerdasannya maka dari itu target kemandiriannya harus
disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki sehingga dapat dikatakan mandiri
bagi anak retardasi mental adanya kesesuaian antara kemampuan yang aktual
dengan potensi yang mereka miliki (Astati, 2011). Kemandirian adalah suatu
keadaan dapat mengurus diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain (Friedman,
2010). Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul secara spontan tetapi
perlu diajarkan dan dilatih pada anak agar tidak menghambat tugas-tugas
perkembangan anak selanjutnya. Beberapa upaya untuk mencapai ciri kemandirian
yang sesuai dengan potensi yang dimiliki anak retardasi mental diantaranya
menumbuhkan rasa percaya diri, menumbuhkan rasa tanggung jawab,
menumbuhkan kemampuan menentukan pilihan dan mengambil keputusannya
sendiri, menumbuhkan kemampuan mengendalikan emosi (Astati, 2011).
Ciri-ciri kemandirian anak retardasi mental sedang diantaranya dapat dilatih
merawat dirinya sendiri, walaupun koordinasi motorik masih sedikit terganggu,
bisa menghitung dan mengetahui macam-macam warna dan membaca beberapa
suku kata (Muliana, 2013). Kemandirian pada anak retardasi mental dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu intelegensi, kebudayaan, tingkat pendidikan orangtua,
jumlah anak dalam keluarga dan pola asuh orangtua, dimana di dalamnya terdapat
kebutuhan silih asah, silih asih, silih asuh sehingga kemandirian yang dimiliki
adalah kemandirian yang utuh (Turk et al, 2010). Menurut Ali & Asrori (2010) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian yaitu diantaranya
gen atau keturunan orangtua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di sekolah dan
sistem kehidupan di masyarakat. Kemandirian pada anak retardasi mental yaitu
salah satunya melakukan aktivitas sehari-hari. Activity daily living (ADL) adalah
pengukuran kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas secara mandiri
(Jahidin, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi activity daily living diantaranya adalah
umur dan status perkembangan, fungsi kognitif, fungsi psikososial, tingkat stress,
ritme biologi dan status mental (Hardywinoto, 2007). Orangtua sangat berpengaruh
dalam membentuk kemandirian anak, kemandirian anak berawal dari keluarga serta
dipengaruhi oleh pola asuh orangtua (Jahidin, 2014). Kemandirian seperti halnya
dalam psikologi yang merupakan suatu perkembangan yang baik jika diberikan
terus-menerus yang dilakukan sejak dini. Latihan tersebut bisa berupa memberikan
tugas tanpa bantuan. Kemandirian pada anak akan memberikan dampak yang
positif bagi anak sebaiknya kemandirian diajarkan kepada anak sejak dini sesuai
dengan kemampuannya. Keinginan anak untuk mandiri pada anak masih sering
mengalami hambatan-hambatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari
karena masih tergantung oleh orang lain (Teguh, Rompas & Ransun, 2012).
Dampak dari masalah kemandirian pada anak retardasi mental adalah
gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari secara mandiri termasuk
gangguan dalam perilaku adaptif yaitu hambatan untuk memenuhi standar perilaku
sesuai dengan usia dari lingkungan dan budayanya yang mencakup masalah
komunikasi, defisit perawatan diri (self care), keterampilan sosial dan interpersonal
sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhinya (Pleyte & Humris,
2010). Kemandirian pada anak berasal dari keluarga dan dipengaruhi oleh pola asuh
orangtua. Di dalam keluarga orangtualah yang berperan dalam mengasuh,
membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk bisa mandiri.
Masa anak-anak adalah masa yang sangat penting dalam proses
perkembangan kemandirian, maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan
orangtua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian sangatlah wajar.
Walaupun pihak sekolah ikut terlibat dalam memandirikan anak, namun keluarga
adalah pilar yang paling utama dalam pembentukan anak untuk mandiri (Teguh,
2012). Pola asuh orangtua adalah bentuk perlakuan yang diterapkan oleh orangtua
dalam rangka memelihara, merawat, mengajar, membimbing dan melatih anak-
anak mereka dan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan.
Secara garis besar ada tiga pola asuh yang bisa diterapkan kepada anak yaitu pola
asuh otoriter, permisif dan demokratis (Sochib, 2010).
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang kaku, diktator dan selalu memaksa
anak untuk selalu mengikuti perintah tanpa banyak alasan biasanya dalam pola asuh
ini ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan yang tanpa menjelaskan alasan
yang pasti kepada anak . Pola asuh permisif adalah pola asuh yang segala aturan
atau ketetapan keluarganya berada di tangan anak. Pola asuh demokratis adalah
pola asuh yang dipandang paling tepat untuk diterapkan pada anak dan anggota
keluarga lainnya karena suatu keputusan diambil secara bersama dengan
mempertimbangkan kedua belah pihak (Sochib, 2010).
Pola asuh dan kasih sayang dari orang-orang terkait juga dapat meningkatkan
kepercayaan diri bagi anak retardasi mental untuk terus belajar dan belajar
mengembangkan dirinya. Hal ini sesuai dengan teori Marmi & Margayati (2013)
yang menyatakan bahwa suatu sikap belum secara langsung terwujud dalam suatu
tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan yaitu fasilitas dan faktor
dukungan (support) orang-orang terdekat khususnya orangtua. Dampak dari anak
retardasi mental yang mendapatkan pola asuh yang buruk dari orangtuanya akan
mengakibatkan gangguan psikologis, rendah diri serta hambatan dalam
melaksanakan fungsi sosial, kekerasan seks dan cenderung menjadi pemalu dan
suka menyendiri (Safrudin, 2014).
Dalam pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat sangat
mempengaruhi mutu asuhan keperawatan. Oleh karena itu untuk dapat memberikan
asuhan keperawatan yang berkualitas maka perawat harus memiliki ilmu dan
praktik keperawatan salah satunya dengan menggunakan model teori keperawatan.
Salah satu teori yang dipakai dalam penelitian ini yaitu Self Care Defisit yang
dikemukakan oleh Dorothea Orem. Teori Orem menggambarkan pemenuhan
kebutuhan sendiri dan kemampuan klien dalam melakukan perawatan secara
mandiri (Achir Yani, 2017). Terdapat tiga kategori sistem keperawatan yang dapat
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri klien yaitu sistem bantuan
penuh (wholly compensatory system), sistem bantuan sebagian (partly
compensatory system) dan sistem dukungan pendidikan (supportif-education
system). Dalam penelitian ini sistem keperawatan yang digunakan yaitu sistem
sistem dukungan pendidikan (supportif-education system).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Sekolah Luar Biasa
Sabilulungan pada tanggal 20 Maret 2019 berdasarkan hasil wawancara singkat
peneliti dengan salah satu orangtua siswa yaitu ibu E yang memiliki anak retardasi
mental sedang yaitu An. S yang berumur 12 tahun, hasil menunjukkan bahwa
anaknya masih belum bisa mandiri contohnya seperti memakai busana yang
berkancing dibantu, tidak bisa menalikan sepatu yang bertali, kalau ngepel, nyapu,
nyuci piring kadang bisa sendiri tetapi mungkin kurang bersih maka dari itu selalu
diawasi karena ibu E mengaku khawatir tetapi ibu E terkadang memberikan
kebebasan kepada anaknya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan salah
satu guru yaitu ibu H yang mengajar salah satu anak retardasi mental sedang yaitu
An. R yang berumur 13 tahun mengatakan bahwa siswanya tersebut memang
kemandiriannya belum berkembang baik contohnya keramas tidak bersih dan tidak
rutin dalam seminggu, kesekolah rambut acak-acakan, sepertinya juga jarang gosok
gigi karena ibu H lihat giginya kuning, baju tidak rapih.
Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan dua orangtua yang telah
dikunjungi rumahnya pada tanggal 19 April 2019 didapatkan hasil dari ibu M, ibu
dari An. K yang berumur 12 tahun dan bapak M, bapak dari An. I yang berumur 14
tahun yang masing-masing menyatakan bahwa anaknya kurang mandiri contohnya
seperti memakai baju masih dibantu, untuk menghias diri seperti menyisir rambut
dibantu, makan kadang harus disuapin. Untuk pekerjaan rumah seperti menyapu,
ngepel kalau disuruh kadang tidak bersih. Masing-masing orangtua juga
menyatakan bahwa anaknya memang jarang mengobrol kalau di rumah, tetapi tidak
tahu kalau di sekolah seperti apa. Hasil observasi yang telah dilakukan di sekolah
kepada An. K bahwa kata guru anaknya semaunya, kalau dia mau dia kerjakan
tetapi kalau tidak yah dia tidak mau menyelesaikan tugasnya, tidak selalu
membutuhkan bantuan secara total. Hasil observasi yang telah dilakukan di sekolah
kepada An. I saat belajar masih dibantu contohnya waktu melakukan praktek
kerajinan dibantu oleh guru untuk menyelesaikan tugasnya.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Sekolah Luar Biasa
Roudhotul Zannah pada tanggal 20 Maret 2019 adalah berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan salah satu guru yaitu ibu. E yang mengajar anak
retardasi mental sedang menyatakan bahwa kemampuan anak berbeda-beda,
contohnya saja ketika dikelas ada salah satu anak yang tidak dapat membereskan
bukunya dan itu harus dibantu oleh guru. Ada juga anak yang tidak bisa
menggunakan sepatu yang bertali itupun masih dibantu dan ada juga anak yang
mengancingkan bajunya masih salah. Ibu. E juga menyatakan bahwa sebagian
orangtua belum bisa menerima keadaan anaknya yang berkebutuhan khusus dan
sampai menekan anak dan memaksakan kehendaknya. Ada juga yang menerima
kemauan anaknya seperti apa.
Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan dua orangtua yang telah
dikunjungi rumahnya pada tanggal 19 April 2019 didapatkan hasil dari ibu A yang
memiliki An. J yang berumur 11 tahun dan ibu C yang memiliki An. R yang
berumur 8 tahun bahwa memang anaknya belum mandiri seperti mandi, makan,
BAB dan BAK, memakai baju harus dibantu secara total. Hasil observasi singkat
di sekolah bahwa An. J kesulitan memakai sepatu sendiri, jaket harus dipakaikan
oleh guru ketika waktu pulang sekolah, dan suka melemparkan tasnya karena tidak
mau belajar. Hasil observasi singkat di sekolah bahwa An. R bahwa belajar masih
dibantu sama guru, kesehariannya hanya main game di handphone dan sering
ditinggalkan di rumah sendiri.
Menurut Astati (2010) bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh anak retardasi
mental membawa pengaruh pada terhambatnya proses penyesuaian diri pada
lingkungan sosial serta memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri. Mereka
membutuhkan bantuan dari orang lain, terutama orangtuanya. Fakta diatas di
dukung oleh pernyataan Heward, 2003 (dalam Hendriani dkk, 2006) menyatakan
bahwa peningkatan kemampuan hidup anak retardasi mental akan sangat
tergantung pada pola asuh orangtua, sebab pada dasarnya keberhasilan bukan hanya
merupakan tanggung jawab dari lembaga pendidikan yang terkait saja tetapi juga
pola asuh orangtua serta penerimaan diri setiap anggota keluarga akan memberikan
energi dan kepercayaan dalam diri anak retardasi mental untuk lebih berusaha
meningkatakan setiap kemampuan yang dimiliki, sehingga hal ini akan
membantunya untuk dapat hidup mandiri, lepas dari ketergantungan pada bantuan
orang lain. Sebaliknya pola asuh yang kurang baik, penolakan dari orang-orang
terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri, menarik
diri, dari lingkungan, selalu diliputi oleh ketakutan ketika berhadapan dengan orang
lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan pada akhirnya mereka benar-benar
menjadi orang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta tidak mandiri atau
selalau bergantung kepada orang lain, termasuk dalam merawat diri mereka sendiri.
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vonny Khresna Dewi
(2016). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji korelasi Spearman Rank
menunjukkan bahwa nilai p.value : 0,00 berarti ada hubungan yang bermakna
antara pola asuh orang tua dengan tingkat kemandirian anak retardasi mental ringan
di SDLB YPLB Banjarmasin Tahun 2016. Hasil pada penelitian ini didapatkan
bahwa orangtua yang memiliki pola asuh otoriter lebih banyak tidak memberikan
kebebasan pada anak yang sesuai dengan keinginannya, orangtua jarang
memberikan hadiah ataupun pujian atas prestasi yang telah diperoleh anak,
orangtua sering membatasi anak dalam melakukan apapun yang diinginkan.
Orangtua pun jarang merasa puas dengan apa yang anak telah lakukan. Hal
ini dikarenakan pada anak retardasi mental, orang tua lebih menerapkan aturan-
aturan atau larangan karena anak yang retardasi mental lebih membutuhkan
pengawasan dibandingkan anak normal lainnya. Sehingga orang tua membatasi
aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh anak. Selain itu umur orang tua sebagian
besar adalah umur 36-45 tahun (dewasa akhir).
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyawati, Endang
Listyaningsih dan Agus Eka Nurma Y (2015) menunjukkan ada hubungan pola
asuh orangtua dengan personal hygiene saat menstruasi pada anak tunagrahita
dengan menunjukkan nilai p value : 0,007 dengan desain penelitian korelasi
pendekatan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan setiap responden (ibu)
menerapkan pola asuh yang berbeda, ada yang otoriter, permisif dan demokratif.
Berdasarkan pernyataan diatas bahwa pola asuh orangtua sangat
mempengaruhi kemandirian anak, maka peneliti tertarik untuk mengambil
penelitian dengan judul “Gambaran Pola Asuh Orangtua Berdasarkan Tingkat
Kemandirian Activity Daily Living (ADL) Anak Retardasi Mental Sedang Di
Sekolah Luar Biasa Kabupaten Bandung”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran Pola Asuh Orangtua
Berdasarkan Tingkat Kemandirian Activity Daily Living (ADL) Anak Retardasi
Mental Sedang Di Sekolah Luar Biasa Kabupaten Bandung?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola asuh
orangtua berdasarkan tingkat kemandirian activity daily living (ADL) anak retardasi
mental sedang di Sekolah Luar Biasa Kabupaten Bandung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa-
mahasiswi tentang gambaran pola asuh orangtua berdasarkan tingkat
kemandirian activity daily living anak retardasi mental sedang di Sekolah
Luar Biasa Kabupaten Bandung.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Orangtua
Penelitian ini agar lebih meningkatkan pola asuh orangtua dalam
melatih kemandirian anak retardasi mental sedang.
b. Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan serta memahami pola asuh orangtua
yang baik pada anak retardasi mental sedang.
c. Bagi Perawat Anak
Diharapkan agar perawat anak lebih memahami tentang pola asuh
orangtua dalam memandirikan anak retardasi mental sedang.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Anak Retardasi Mental
2.1.1 Definisi Anak Retardasi Mental
Menurut Pieter, dkk (2011) keterbelakangan mental (mental
retardation) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan
yang berada dibawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya kemampuan
menyesuaikan diri (perilaku maladaptif) yang mulai tampak pada awal
kelahiran. Pada mereka yang mengalami retardasi mental memiliki
keterbelakangan dalam kecerdasan, mengalami kesulitan belajar dan
adaptasi sosial. Menurut Soetjiningsih (2013) retardasi mental adalah
keterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai
oleh intelegensi atau kemampuan kognitif dibawah normal dan terdapat
kendala pada perilaku adaptif sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa retardasi mental merupakan
keterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak-anak yang
ditandai dengan penurunan intelegensi atau kemampuan kognitif yang di
bawah normal.
2.1.2 Klasifikasi Anak Retardasi Mental
Pada umumnya anak retardasi mental dikelompokkan berdasarkan
pada taraf intelegensinya yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang,
berat dan sangat berat.
1) Anak Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan disebut juga moron atau debil. Retardasi
mental ringan ini memiliki IQ antara 52-68 pada skala Binet. Sedangkan
menurut Skala Weschler (WISC) anak retardasi mental ringan memiliki
IQ antara 55-69. Anak retardasi mental ringan masih dapat belajar
membaca, menulis dan berhitung secara sederhana. Berkat bimbingan
dan pendidikan yang baik anak retardasi mental ringan pada waktunya
akan dapat memperolah penghasilan untuk dirinya sendiri.
Anak retardasi mental ringan dapat di didik menjadi tenaga kerja
semi-skilled contohnya seperti pekerjaan laundry, pertanian,
peternakan, pekerjaan rumah tangga bahkan jika di didik dan dilatih
dengan baik anak retardasi mental ringan sedang dapat bekerja di pabrik
tetapi dengan sedikit pengawasan. Namun demikian anak retardasi
mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara
independen. Anak retardasi mental biasanya akan membelanjakan
uangnya, sulit merencanakan soal masa depan dan bahkan suka berbuat
kesalahan.
Umumnya anak retardasi mental ringan ini seperti tidak mengalami
gangguan fisik. Tetapi mereka secara fisik terlihat seperti anak normal.
Oleh sebab itu sangat sulit untuk membedakan secara fisik antara anak
retardasi mental ringan dengan anak yang normal.
2) Anak Retardasi Mental Sedang
Anak retardasi mental sedang disebut juga imbesil. Anak retardasi
mental sedang memiliki IQ 36-51 pada skala Binet. Sedangkan menurut
skala Weschler (WISC). Anak retardasi mental sedang dapat mencapai
perkembangan mental age sampai kurang lebih di usia 7 tahun. Anak
retardasi mental sedang dapat di didik seperti mengurus dirinya sendiri,
melindungi dirinya sendiri dari ancaman bahaya seperti menghindari
bencana kebakaran, berjalan di jalan raya dan berlindung dari hujan.
Anak retardasi mental sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
mengikuti pelajaran secara akademik seperti belajar cara menulis,
membaca dan berhitung walapun anak retardasi mental sedang masih
dapat menulis secara sosial misalnya seperti menulis namanya sendiri
alamat rumahnya dan lain-lain. Anak retardasi mental sedang masih
dapat di didik seperti mengurus dirinya yaitu diantaranya adalah mandi,
berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga
sederhana seperti menyapu, membersihkan perabot rumah tangga dan
yang lainnya. Di dalam kehidupan sehari-hari anak retardasi mental
sedang sangat membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. Anak
retardasi mental sedang masih dapat bekerja di tempat kerja yang
terlindung (sheltered workshop).
3) Anak Retardasi Mental Berat
Anak retardasi mental berat juga disebut sebagai anak idiot. Anak
retardasi mental berat juga dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat
dan sangat berat. Anak retardasi mental berat (severe) memiliki IQ
antara 20-32 menurut skala Binet. Dan menurut skala Weschler (WISC)
25-39. Anak retardasi mental berat memerlukan bantuan perawatan
secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan dan lain-lain. Bahkan
anak retardasi mental berat memerlukan perlindungan dari bahaya
sepanjang hidupnya.
4) Anak Retardasi Mental Sangat Berat
Anak retardasi mental sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah
19 menurut skala Binet. Sedangkan menurut skala Weschler (WISC) IQ
dibawah 24. Kemampuan mental age maksimal yang dapat dicapai
kurang dari tiga tahun.
Tabel 2.1 Kalsifikasi Retardasi Mental, Rentang IQ, Pendidikan, Klinis,
Estimasi dan Umur Mental
Klasifikasi IQ Pendidikan Klinis Estimasi Umur Mental
Retardasi
Mental Ringan
50-55 s.d
69-70
Dapat didik Anak dapat belajar
terampil dan hidup
mandiri
85% dari anak
retardasi mental
Setara anak
normal umur
8-12 tahun
Retardasi
Mental Sedang
35-40 s.d
49-55
Dapat
dilatih
Anak dapat merawat
diri dan bersosialisasi
10% dari anak
retardasi mental
Setara anak
normal umur
3-7 tahun
Retardasi
Mental Berat
20-25 s.d
34-40
- Anak perlu pengawasan
dalam latihan khusus
untuk mempelajari
keterampilan diri
3-4% dari anak
retardasi mental
Setara anak
normal umur
1-3 tahun
Retardasi
Mental Sangat
Berat
Kurang dari
20-25
- Anak tidak dapat
merawat diri
1-2% dari anak
retardasi mental
-
Sumber : ICD-10 (WHO) dalam Marcdante, dkk (2014) ; DSM-IV dalam Wong
(2009) ; DSM-III dalam semium 2006 ; Muttaqin (2011)
2.1.3 Karakteristik Anak Retardasi Mental
Menurut Apriyanto (2012) menguraikan karakteristik anak retardasi
mental sebagai berikut :
1) Karakteristik Umum
a. Kecerdasan
Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal
yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo
(rote-learning) bukan dengan pengertian.
b. Sosial
Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara dan
memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak mereka harus dibantu
terus-menerus, disingkirkan dari bahaya dan diawasi waktu bermain
dengan anak lain.
c. Intelegensi
Mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa dan
sukar mengungkapkan kembali suatu ingatan. Mereka menghindari
berpikir, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat
kreasi baru.
d. Dorongan dan Emosi
Perkembangan dan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-
beda sesuai dengan tingkat ketungrahitaan masing-masing.
Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang menghayati perasaan
bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
e. Organisme
Struktur dan fungsi organisme pada anak retardasi mental
umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara di
usia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang
indah, bahkan diantaranya banyak yang mengalami cacat bicara.
2) Karakteristik Khusus
Menurut Apriyanto (2012) mengemukakan karakteristik anak
retardasi mental menurut tingkat ketunagrahitannya sebagai berikut :
a. Karakteristik Retardasi Mental Ringan
Meskipun tidak dapat menyamai anak normal dan yang seusia
dengannya, mereka masih masih dapat membaca, menulis, dan
berhitung sederhana. Kecerdasannya berkembang dengan kecepatan
antara setengahdan tiga perempat kecepatan anak normal dan
berhenti pada usia muda. Mereka dapat bergaul dan mempelajari
pekerjaan yang hanya memerlukan semi skilled. Pada usia dewasa
kecerdasannya mencapai tingkat usia normal 9 dan 12 tahun.
b. Karakteristik Retardasi Mental Sedang
Anak retardasi mental sedang hampir tidak bisa mempelajari
pelajaran-pelajaran akademik. Namun mereka masih memiliki
potensi untuk mengurus diri sendiri dan dilatih untuk mengerjakan
sesuatu secara rutin , dapat dilatih berteman, mengikuti kegiatan dan
menghargai hak milik orang lain. Sampai batas tertentu mereka
selalu membutuhkan pengawasan, pemeliharaan dan bantuan orang
lain. Setelah dewasa kecerdasan mereka tidak lebih dari anak normal
usia 7 tahun.
c. Karakteristik Retardasi Mental Berat dan Sangat Berat
Anak retardai mental berat dan sangat berat sepanjang hidupnya
akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain.
Mereka tidak memelihara diri sendiri dan tidak dapat membedakan
mana bahaya dan mana bukan bahaya. Mereka juga tidak dapat
bicara kalaupun bicara hanya mampu mengucapkan kata-kata atau
tanda sederhana saja. Kecerdasannya walaupun mencapai usia
dewasa berkisar seperti anak normal usia paling tinggi 4 tahun.
3) Karakteristik Masa Perkembangan
a. Masa Bayi
Pada masa ini sulit untuk segera membedakannya tetapi para
ahli mengemukakan bahwa ciri-ciri bayi tunagrahita adalah tampak
mengantuk saja, apatis, tidak pernah sadar, jarang menangis, kalau
menangis terus-menerus, terlambat duduk, bicara dan berjalan.
b. Masa Kanak-kanak
Pada masa ini anak retardasi mental sedang lebih mudah
dikenal daripada anak retardasi mental ringan. Karena anak retrdasi
mental sedang mulai memperhatikan ciri-ciri klinis seperti
mongoloid, kepala besar, kepala kecil dan lain-lain. Tetapi anak
retardasi mental ringan (yang lambat) memperlihatkan ciri-ciri yaitu
sulit memulai dan melanjutkan sesuatu, mengerjakan seseuatu
berulang-ulang tetapi tidak ada variasi, penglihatannya tampak
kosong, melamun, ekspresi muka tanpa ada pengertian. Selanjutnya
retardasi mental ringan (yang cepat) memperlihatkan ciri-ciri :
mereaksi cepat tetapi tidak tepat, tampak aktif sehingga memberi
kesan anak ini pintar, pemusatan perhatian sedikit, hiperaktif,
bermain dengan tangannya sendiri, cepat bergeraktanpa dipikirkan
terlebih dahulu.
c. Masa Sekolah
Masa ini merupakan masa yang penting diperhatikan karena
biasanya anak retardasi mental langsung masuk sekolah dan ada
dikelas-kelas SD biasa. Ciri-ciri yang mereka munculkan adalah
sebagai berikut :
1) Adanya kesulitan belajar hampir pada semua mata pelajaran
(membaca, menulis, dan berhitung)
2) Prestasi yang berkurang
3) Kebiasaan kerja tidak baik
4) Perhatian yang mudah beralih
5) Kemampuan motorik yang kurang
6) Perkembangan bahasa yang jelek
7) Kesulitan menyesuaikan diri
Pada masa ini anak sangat perlu perhatian yang khusus
karena terbentuknya anak pada masa mendatang.
d. Masa Pubertas
Masa ini perubahan yang dimiliki remaja anak retardasi mental
sama halnya dengan remaja normal atau biasa. Pertumbuhan fisik
anak berkembang normal, tetapi perkembangan pada berpikir dan
kepribadiannya berada dibawah usianya atau tidak normal.
Akhirnya anak akan mengalami kesulitan dalam pergaulan dan
mengendalikan diri. Beberapa karkteristik dari anak tunagrahita
antara lain lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru.
Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental
berat, cacat fisik dan perkembangan gerak, kurang dalam
kemampuan menolong diri sendiri, tingkah laku dan interaksi yang
tidak normal serta tingkah laku yang kurang wajar dan terus-
menerus.
2.1.4 Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Retardasi Mental
Menurut Soetjiningsih (2014), faktor penyebab retardasi mental adalah:
1. Pranatal
a. Chromosomal Aberrastion
1) Down Sindrom
Dari 95% kasus down sindrom disebabkan trisomy 21,
sisanya disebabkan oleh translokasi dan mosaic.
2) Delesi
Contoh sindrom cri-du-chat disebabkan dilesi pada
kromosom 5p3.
3) Sindrom Malformasi Akibat Mikrodilesi
Contoh sindrom prader-willi (paternal origin) dan angelman
(maternal origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q 11-
12, terdapat perbedaan fenotip karena mekanisme imprinting.
b. Disorders With Autosomal-Dominant Inberitance
Contoh adalah tuberous sclerosis yang disebabkan oleh mitasi
gen pada pembentukan lapisan ectodermal dari fetus. Bila diagnosis
tuberous sclerosis ditegakkan, kedua orangtuanya harus diperiksa
karena beresiko kejadian dan dapat berulang 50% pada setiap
kehamilan.
c. Disorder With Autosomal-Recessive Inberitance
Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini,
contohnya adalah phenylketonuria (PKU) penyakit metabolik yang
banyak diketahui. Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun
1934 oleh folling pada anak dengan retardasi mental.
d. X-Linked Mental Retardation
Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi
mental setelah down syndrome. Kelainan kromosom terjadi pada
lokasi Xq27,3.
1) Infeksi sitomegalovirus kongenital dapat menyebabkan
mikrosefali gangguan pendengaran sensorineural dan retardasi
psikomotor.
2) Toksoplasmosis congenital mengakibatkan 20% bayi yang
terinfeksi mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefalus,
gangguan perkembangan psikomotor, mata dan pendengaran.
3) HIV congenital dapat menyebabkan ensefalopati, yang ditandai
oleh mikrosefali, kelainan neurologi progresif, retardasi mental
dan gangguan perilaku.
e. Zat-zat Racun
Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol,
yang dapat menyebabkan fetal alcohol syndrome (FAS). Alkohol
menyebabkan tiga kelainan yaitu : 1. Gambaran dismorfik (bila
terpajan pada tahap organogenesis), 2. Retardasi pertumbuhan
prenatal dan pascanatal, 3. Disfungsi susunan saraf pusat (SSP)
termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan
motorik lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada
jumlah akohol yang dikonsumsi.
f. Toksemia Kehamilan dan Insufiensi Plasenta
Intrauterine growth retardation (IUGR) banyak penyebabnya.
Penyebab yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat
mengakibatkan kelainan pada SSP, prematuritas dan terutama
IUGR merupakan predisposisi komplikasi perinatal yang bisa
mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan
lainnya.
2. Perinatal
a. Infeksi
Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan gangguan
perkembangan misalnya herpes simpleks tipe 2 yang dapat
menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya. Infeksi bakteri yang
menyebabkan sepsis dan meningitis dapat mengakibatkan
hidrosephalus.
b. Masalah Kelahiran
Asfiksia berat, prematuritas, trauma lahir, dan gejala-gejala
neurologis pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor
resiko retardasi mental.
c. Masalah Perinatal Lainnya
Misalnya pada retinopathy of prematurity (fibroplasias
retrolental) karena pemakaian oksigen 100% pada bayi
permatur, selain itu mengakibatkan kebutaan juga dapat
mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusatdan retardasi
mental. Demikian juga hiperbilirubinemia dapat menyebabkan
ikterus dan retardasi mental.
3. Pascanatal
a. Infeksi misalnya ensefalitis dan meningitis
b. Zat racun misalnya keracunan zat yang mengandung logam-
logam berat
c. Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala pada
kecelakaan, hampir tenggelam (near-drowning)
d. Masalah psikososial misalnya deprivasi maternal, kurang
stimulasi, kemiskinan.
e. Penyebab Yang Tidak Diketahui
Sekitar 30% penyebab retardasi mental sedang dan berat
dan 50% retardasi mental ringan tidak diketahui. Kebanyakan
anak yang menderita retardasi mental ini berasal dari golongan
sosial dan ekonomi yang rendah karena kurangnya stimulasi
dari lingkungannya yang secara bertahap menurunkan IQ
bersamaan dengn terjadinya maturasi (kematangan). Demikian
pula keadaan sosial ekonomi rendahdapat menjadi penyebab
organik retardasi mental, misalnya logam berat yang subklinik
dalam jangka waktu lama dapt mempengaruhi kemampuan
kognitif.
2.1.5 Batasan Usia Remaja
Menurut Kartono batasan usia remaja dibagi tiga yaitu :
1. Remaja Awal (12-15 tahun)
Pada masa ini, remaja sedang mengalami perubahan jasmani yang
sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif
sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini
remaja tidak ingin dianggap anak-anak lagi sebelum bisa meninggalkan
pola kekanak-kanakannya. Pada masa ini juga remaja merasa sunyi,
ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan sering merasa kecewa.
2. Remaja Pertengahan (15-18 tahun)
Pada masa ini kepribadian remaja masih bersifat kekanak-kanakan
tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan
kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan
nilai-nilai tertentu dan melakukan pemikiran filosofi dan etis. Maka dari
itu perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal maka rentan
pada usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya
diri yang dimiliki pada remaja ini menimbulkan kesanggupan pada
dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang
dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri
atau jati dirinya.
3. Remaja Akhir (18-21 tahun)
Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah
mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan
sendiri olehnya dengan keberanian. Remaja sudah mulai memahami
arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah
mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang
baru saja ditemukannya.
2.1.6 Bentuk-bentuk Retardasi Mental
Ada beberapa bentuk retardasi mental menurut Pieter, dkk (2011)
yaitu diantaranya adalah :
1) Alcohol Syndrome
Alcohol syndrome yaitu retardasi mental yang diakibatkan bahan
kimia dan obat-obatan, seperti penylalanin.
2) Lesch-Nyham Syndrome
Lesch-nyham syndrome adalah retardasi mental yang diakibatkan
gangguan cerebral palsy (pengencangan otot). Ciri-ciri Lesh-Nyham
Syndrome ditandai dengan perilaku mencederai diri sendiri seperti
menggigit jari atau bibir. Gangguan ini hanya diderita oleh anak laki-
laki karena yang bertanggungjawab adalah gen resesif, yakni ketika gen
berada di kromososm X pada laki-laki tidak memiliki gen yang normal
untuk menyeimbangi dan karena laki-laki tidak memiliki kromosom X
yang kedua.
3) Down Syndrome
Down syndrome adalah bentuk retardasi mental akibat adanya
abnormalitas kromosom 21 yang memberikan penampilan fisik yang
khas seperti wajah mongoloid. Ciri-ciri khas down syndrome adalah
mata sipit dan mengarah ke atas, hidung rata, mulut kecil dengan langit-
langit datar sehingga lidah menjulur keluar, ada malformasi
jantungbawaan mengarah demensia Alzheimer. Gangguan otak pada
down syndrome menyebabkan kurang ingatan dan gangguan kognitif
lainnya. Selain akibat penyimpangan kromosom, faktor pendukung lain
yang dapat menyebabkan down syndrome adalah akobat usia ibu yang
terlalu tua atau terlalu muda untuk mengandung.
4) Fragile X
Fragile X adalah bentuk retardasi mental akibat penyimpangan
pada kromosom X yang berkaitan dengan masalah-masalah belajar,
hiperaktif, menghindar tatapan mata, perseperative speech dan ciri-ciri
fisik yang tidak lazim seperti telinga, buah zakar, lingkaran kepala yang
besar. Estimasi gangguan ini diperkirakan satu diantara dua ribu laki-
laki.
5) Cultural Familial Retardation
Cultural familial retardation yaitu bentuk retardasi mental yang
ringan dan disebakan oleh pengaruh lingkungan dan kombinasi
pengaruh biologis dan psikososial seperti akibat penganiayaan fisik,
penelantaran dan deprivasi sosial. Ciri-ciri yang memiliki familial
retardation adalah yang memiliki skor IQ 50-70 memiliki keterampilan
adaptif yang cukup baik namun tidak berpotensi untuk
mengembangkan keterampilannya memiliki keterlambatan dalam
perkembangan.
2.1.7 Ciri-ciri Anak Retardasi Mental
1) Psikis
Kondisi psikis anak retardasi mental cenderung sulit untuk
memusatkan perhatian, cepat lupa, sukar membuat kreasi baru serta
rentang perhatiaanya pendek, mudah bosan, mengantuk, kurangnya
minat belajar dalam waaktu yang lama, mudah frustasi yaitu
menghentikan aktifitas atau pekerjaan jika tidak berhasil, mudah marah
atau tersinggung dan tidak kooperatif, menarik diri karena malu dan
tidak memiliki keberanian untuk berkomunikasi dengan orang lain
(Kemis & Rosmawati, 2013).
2) Sosial
Perilaku sosial adalah aktivitas dalam berhubungan dengan orang
lain yang meliputi suatu prses berfikir, beremosi dan mengambil
keputusan (Jahja, 2011). Dalam pergaulan, anak retardasi mental tidak
dapat mengurus dirinya senidri, mereka bergantung kepada orang lain.
Karena kemampuan intelektualnya terbatas, anak retardassi mental
sering kali bermain bersama dengan anak yang lebih muda darinya.
Anak retardasi mental mempunyai kepribadian yang dinamis,
mudah goyah dan tidak memiliki pandangan yang luas. Anak retardasi
mental mengalami kesulitan dalam memahami norma lingkungan
sekitar, sehingga anak retardasi mental sering dianggap aneh oleh
masyarakat karena tidakannya yang tidak sesuai dengan tingkat
umurnya (Kemis & Rosmawati, 2013).
2.1.8 Dampak Anak Retardasi Mental
Menurut Efendi (2009), dampak yang dapat ditimbulkan pada anak
retardasi mental ada empat tahap yaitu :
1) Tahap Pertama
Pada tahap satu akan diketahui kelainan atau ketunaan pada salah
satu organnya atau lebih. Dalam hal ini akan berkurang dalam
kemampuannya untuk memfungsikan secara maksimum organ atau
instrumen anggota tubuh yang akan mengalami kelainan.
2) Tahap Kedua
Pada tahap ini dua alat motorik dan sensori yang tidak berfungsi
akan berdampak pada anak retardasi mental yang melakukan eksplorasi
sehingga akan mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas.
3) Tahap Ketiga
Pada tahap tiga anak retardasi mental akan mengalami hambatan
pada saat melakukan aktivitas dan akan menimbulkan reaksi
emosisonal akibat ketidakberdayaannya.
4) Tahap Keempat
Pada tahap empat reaksi emosional yang ditimbulkan terus
menumpuk dan intensitasnya semakin meningkat, maka reaksi
emosionalnya yang muncul tidak akan menguntungkan bagi
perkembangan kepribadiannya
2.1.9 Pencegahan Retardasi Mental
Menurut Judarwanto (2009) pencegahan anak retardasi mental yaitu :
1) Pencegahan Primer
Dapat dikatakan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat,
perbaikan keadaan sosio ekonomi, konseling genetik dan tindakan
kedokteran (umpamanya perawatan prenatal yang baik, pertolongan
persalinan yang baik, kehamilan pada wanita adolesen dan diatas 40
tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-anak).
2) Pencegahan Sekunder
Meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak,
perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu
cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi ; pada mikro sevali yang
kongenital, operasi tidak menolong).
3) Pencegahan Tersier
Merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya
disekolah luar biasa. Dapat diberi neuroleptika kepada yang gelisah,
hiperaktif atau dektrukstif.
2.1.10 Pengobatan Anak Retardasi Mental
Menurut Lumbantobing (2001) dalam Muhit, 2015) menyatakan
bahwa pengobatan anak retardasi mental yaitu :
1) Konseling
Kepada orangtua dilakukan secara fleksibel dengan tujuan untuk
membantu mereka dalam mengatasi frustasi oleh karena mempunyai
anak dengan retardasi mental. Orangtua sering menghendaki anak diberi
obat, oleh karena itu dapat diberi penerangan bahwa smapai sekarang
belum ada obat yang dapat membat anak menjadi pandai, hanya ada obat
yang dapat membantu pertukaran zat (metabolisme) sel-sel otak.
2) Latihan dan Pendidikan
Menurut American Occupational Therapy Association (2003)
dalam Armatas (2009), latihan dan pendidikan yang dapat diberikan
pada anak retardasi mental yaitu :
a. Occupational Therapy (Terapi Gerak)
Terapi ini memberikan kepada anak retardasi mental untuk
melatih gerak fungsional anggota tubuh (gerak kasar dan halus).
b. Play therapy (Terapi Bermain)
Terapi ini merupakan terapi yang diberikan kepada anak
retardasi mental dengan cara bermain misalnya berhitung, bermain
sosial drama dan bermain jual dan beli.
c. Activity Daily Living (Aktifitas Sehari-hari)
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anak
sehingga mereka dapat merawat dirinya dan tidak bergantung
kepada orang lain.
1. Live Skill (Keterampilan Hidup)
Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak
dengan IQ dibawah rata-rata biasanya tidak diharapkan dapat
hidup mandiri. Untuk bekal hidupnya mereka diberikan
keterampilan dengan harapan kelak dapat hidup di lingkungan
keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri
dan usaha.
2. Vocational Therapy (Terapi Bekerja)
Selain diberikan keterampilan anak dengan retardasi mental
juga diberikan latihan kerja. Dengan bekal latihan yang telah
dimilikinya, anak retardasi mental diharapkan dapat bekerja di
lingkungan sesuai dengan kemampuannya.
2.2 Kemandirian
2.2.1 Definisi Kemandirian
Kemandirian adalah suatu keadaan dapat mengurus diri sendiri tanpa
bergantung kepada orang lain (Friedman, 2010). Kemandirian merupakan
suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama
perkembangan, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri
dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan sehingga individu mampu
berpikir dan bertindak sendiri (Mutadin, 2002 dalam Mukaromah, 2012).
2.2.2 Kemandirian Anak Retardasi Mental
Kemandirian anak retardasi mental adalah keseimbangan antara
merawat diri dan mempunyai kemampuan untuk mengurusnya dirinya
sendiri akan kebutuhan dasarnya dan mereka senantiasa memerlukan
bantuan dan pengawasan. Pada anak retardasi mental sedang mereka lambat
dalam pengembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, keterampilan
merawat diri dan keterampilan motorik terlambat. Anak retardasi mental
sedang juga memerlukan pengawasan seumur hidup dan program
pendidikan khusus demi mengembangkan potensi mereka yang terbatas
agar memperoleh beberapa keterampilan dasar (Soemantri, 2006). Menurut
Parker (2002) tahap-tahap kemandirian bisa digambarkan sebagai berikut :
1) Tahap Pertama
Mengatur kehidupan dan diri mereka sendiri. Misalnya : makan, ke
kamar mandi, mencuci, membersihkan gigi, memakai pakaian dan lain
sebagainya.
2) Tahap Kedua
Melaksanakan gagasan-gagasan mereka sendiri dan menentukan
arah permainan mereka sendiri.
3) Tahap Ketiga
Mengurus hal-hal di dalam rumah dan bertanggung jawab terhadap
diantaranya :
a. Sejumlah pekerjaan rumah tangga, misalnya menjaga kamarnya
tetap rapih, meletakkan pakaian kotor di tempat pakaian kotor dan
menata meja.
b. Mengatur bagaimana menyenangkan dan menghibur dirinya sendiri
dalam alur yang diperkenankan.
c. Mengelola uang saku sendiri pada masa kini, anak-anak harus diberi
kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi kehidupannya, misalnya membelanjakan uang sku
seperti yang diinginkan, kegiatan ekstra apa yang ingin diikuti,
kesempatan adanya hadiah tertentu yang diberikan karena tanggung
jawab dan komitmen tambahan.
4) Tahap Keempat
Mengatur diri sendiri di luar rumah, misalnya di sekolah,
menyelesaikan pekerjaan rumah, menyiapkan segala keperluan,
kehidupan sosial, aktivitas ekstra dan lain sebagainya.
5) Tahap Kelima
Mengurus orang lain baik di dalam maupun di luar rumah, misalnya
menjaga saudara ketika orangtua sedang mengerjakan sesuatu yang lain.
2.2.3 Ciri-ciri Kemandirian Anak Retardasi Mental
Ciri-ciri kemandirian anak retardasi mental dilihat dari tingkatan IQ
atau standar intelegensinya :
1) Retardasi mental taraf perbatasan atau subnormal (IQ 68-85) umur
mental 12-16 tahun. Ciri-cirinya :
a. Dapat di didik di sekolah biasa, meskipun tiap kelas dicapai dalam 2
tahun
b. Dapat berfikir secara abstrak
c. Dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk
2) Retardasi mental ringan atau debil (IQ 52-68) umur mental 8-11 tahun.
Ciri-cirinya dapat dilatih dan di didik :
a. Dapat dilatih merawat dirinya sendiri dan melakukan semua
pekerjaan rumah
b. Tidak dapat di didik di sekolah biasa tetapi harus di lembaga atau
sekolah luar biasa
c. Koordinasi motorik tidak mengalami gangguan
3) Retardasi mental sedang atau imbecile (IQ 35-50) umur mental 4-8
tahun. Ciri-cirinya dapat dilatih dan dapat di didik sampai ke taraf II-III
SD :
a. Dapat dilatih merawat dirinya sendiri seperti makan, mandi,
berpakaian, berhias sendiri.
b. Koordinasi motorik biasanya masih sedikit terganggu
c. Bisa menghitung 1-20 mengetahui macam-macam warna dan
membaca beberapa suku kata.
4) Retardasi mental berat (IQ 20-35) umur mental 2-4 tahun. Ciri-cirinya
dapat dilatih dan tidak dapat di didik :
a. Dapat dilatih merawat dirinya sendiri
b. Perkembangan fisik dan berbicara masih terlambat
c. Masih mudah terserang penyakit
5) Retardasi mental sangat berat atau idiot (IQ 0-19) umur mental kurang
dari 2 tahun. Ciri-cirinya tidak dapat dilatih dan di didik :
a. Tidak dapat merawat dirinya sendiri
b. Perkembangan fisik seperti duduk, jalan, bicara terlambat. Sering tak
dapat diajak berbicara, berbicara hanya satu suku kata saja (maa,
paa).
c. Mudah terserang penyakit lain misalnya TBC dan infeksi lain.
2.2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Anak Retardasi
Mental
Menurut Ali dan Asrori (2010) ada faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kemandirian yaitu sebagai berikut :
1) Gen atau Keturunan Orangtua
Orangtua yang memiliki sifat kemandirian yang tinggi seringkali
menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun faktor
keturunan ini masih jadi perdebatan karna ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya bukan sifat kemandirian kepada anaknya melainkan sifat
orangtuanya yang mucul berdasarkan cara orangtua mendidik anaknya.
2) Pola Asuh Orangtua
Cara orangtua mengasuh atau mendidik anaknya akan
mempengaruhi perkembangan kemandirian anak, orangtua yang
menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat
mendorong kelancaran perkembangan anak. Namun orangtua yang
sering mengeluarkan kata-kata “jangan” tanpa disertai dengan
penjelasan yang rasional (masuk akal) akan menghambat
perkembangan anak.
3) Jenis Kelamin
Anak laki-laki biasanya lebih banyak waktunya untuk mandiri dari
pada anak perempuan, karena anak laki-laki memiliki sifat yang agresif
dominan dan maskulin dibandingkan anak perempuan yang sifatnya
pasif, lemah lembut dan feminim.
4) Urutan Posisi Anak
Anak pertama sangat diharapkan sebagai pengganti orangtua
dituntut untuk bertanggung jawab, sedangkan anak tengah memiliki
peluang untuk mandiri, anak bungsu yang memperoleh perhatian
berlebihan dari orangtua dan kakak-kakaknya lebih banyak bergantung
dan tidak mandiri.
5) Usia Anak
Semenjak kecil anak melihat dan mengeksplorasi lingkungannya
atas kemampuannya sendiri dan melakukan apa yang menjadi
kemauannya sendiri. Semakin bertambah usia anak, maka semakin
tinggi tingkat kemandirian anak, karena anak belajar dan berproses dari
lingkungan dan dirinya sendiri.
6) Sistem Pendidikan Di Sekolah
Proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangkan
demokratisasi tanpa argumentasi serta adanya tekanan punishment akan
menghambat kemandirian seorang anak. Sebaliknya adanya
penghargaan terhadap potensi anak, pemberian rewards dan penciptaan
kompetitif yang positif akan memperlancar perkembangan kemandirian
anak.
7) Intelegensi
Anak yang memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih cepat
menangkap sesuatu yang membutuhkan kemampuan berpikir, sehingga
anak yang cerdas cenderung cepat dalam membuat keputusan untuk
bertindak dibarengi dengan kemampuan analisi yang baik terhadap
suatu resiko yang akan dihadapinya. Intelegensi berhubungan dengan
tingkat kemandirian anak yang artinya semakin tinggi intelegensi
seorang anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.
2.3 Activity Daily Living
2.3.1 Definisi Activity Daily Living
Activity daily living (ADL) merupakan pengukuran kemampuan
seseorang dalam melakukan aktivitas secara mandiri. Orangtua sangat
berpengaruh dalam membentuk kemandirian anak. Kemandirian anak
berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orangtua (Jahidin,
2014).
2.3.2 Faktor Yang Mempengaruhi Activity Daily Living
Menurut Hardywinoto (2007) kemauan dan kemampuan dalam
melakukan activity daily living tergantung dalm beberapa faktor antara lain:
1) Umur dan Status Perkembangan
Merupakan suatu tanda kemauan dan kemampuan klien bereaksi
terhadap ketidakmampuan dalam melakukan activity daily living. Pada
saat perkembangan mulai bayi sampai dewasa, perlahan-lahan
perubahan akan bergantung menjadi mandiri dalam melakukan activity
daily living.
2) Fungsi Kognitif
Tingkatan kognitif akan dapat mempengaruhi kemampuan dalam
melakukan activity daily living. Fungsi kognitif merupakan proses yang
menunjukkan proses penerimaan, mengorganisasikan dan
menginprestasikan suatu stresor stimulus dalam berfikir dan dalam
menyelesaikan masalah. Proses mental akan dapat memberikan
kontribusi dalam fungsi kognitif dalam mengganggu proses berfikir
logis dan akan menghambat kemandiannya dalam melakukan activity
daily living.
3) Fungsi Psikososial
Fungsi psikososial akan menunjukkan kemampuan seseorang dalam
mengingat sesuatu hal yang lalu dalam menginformasikan suatu cara
yang realistik. Fungsi psikososial yaitu meliputi interaksi yang
kompleks antara suatu perilaku intrapersonal dan interpersonal.
Gangguan pada intrapersonal yaitu pada gangguan konsep diri atau
ketidakstabilan emosi. Gangguan interpersonal akan mengakibatkan
pada masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial atau dalam
disfungsi penampilan peran dan dapat mempengaruhi activity daily
living.
4) Tingkat Stres
Stress merupakan suatu respon fisik nonspesifik terhadap berbagai
macam kebutuhan manusia. Stres dapat timbul dari tubuh atau
lingkungan atau akan mengganggu keseimbangan tubuh. Stressor
tersebut dapat berupa injuri atau psikologi seperti kehilangan.
5) Ritme Biologi
Ritme biologi akan dapat membantu makhluk hidup dalam mengatur
lingkungan fisik dan akan membatu homeostasis internal
(keseimbangan dalam tubuh dan lingkungan). Salah satu irama biologi
yaitu irama sirkadian yang akan berjalan dalam waktu 24 jam. Beberapa
faktor akan ikut berperan pada irama sirkardian yaitu faktor lingkungan
seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca yang mempengaruhi activity
daily living.
6) Status Mental
Status mental akan menunjukkan keadaan intelektual seseorang dan
keadaan mental akan memberikan suatu implikasi pada pemenuhan
kebutuhan dasar individu.
2.4 Pola Asuh Orangtua
2.4.1 Definisi Pola Asuh Orangtua
Pola asuh orangtua adalah bentuk perlakuan yang diterapkan oleh
orangtua dalam rangka memelihara, merawat, mengajar, membimbing dan
melatih anak-anak mereka dan memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan (Sochib, 2010). Pola asuh orangtua
berfungsi memberikan kelekatan dan ikatan emosional atau kasih sayang
anatar orangtua dan anakanya juga adanya penerimaan dan tuntutan dari
orangtua dan melihat bagaimana orangtua menerapkan disiplin (Hurlock
dalam Septriatri, 2012). Secara garis besar ada tiga pola asuh yang bisa
diterapkan kepada anak yaitu pola asuh otoriter, permisif dan demokratis
(Sochib, 2010).
2.4.2 Klasifikasi Pola Asuh Orangtua
1) Pola Asuh Authotarian (Otoriter)
Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator, dan
memaksa anak unuk selalu mengikuti perintah pengasuh tanpa banyak
alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik
dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa
guna dan alasan dibalik aturan tersebut.
2) Pola Asuh Permisif
Sifat dari pola asuh ini yakni segala ketetapan dan aturan keluarga
ditangan anak. Pola asuh permisif adalah salah satu pola asuh yang
paling banyak diterapkan di tengah-tengah keluarga. Alasan yang
paling sering dikemukakan oleh pengasuh yang menerapkan pola asuh
permisif terhadap anak-anak remaja mereka adalah kurangnya waktu
untuk mengawasi anak-anak mereka karena kesibukan sehari-hari dan
berbagai alasan lainnya.
3) Pola Asuh Demokrasi
Pola asuh demokrasi dipandang paling memadai untuk diterapkan
pada anak dan anggota keluarga lainnya, kedudukan antara pengasuh
dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan
mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang
bertanggungjawab yang artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap
harus dibawah pengawasan orangtua dan dapat dipertanggungjawabkan
secara moral.
2.4.3 Ciri-ciri Pola Asuh Orangtua
Menurut Syamsu Yusuf (2008) terdapat beberapa ciri-ciri pola asuh
orangtua diantaranya yaitu :
1) Pola Asuh Demokratis
a. Bersikap bersahabat
b. Percaya kepada diri sendiri
c. Mampu mengendalikan diri
d. Memiliki rasa sopan
e. Mau bekerja sama
f. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
g. Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas
h. Berorientasi terhadap prestasi
Pola asuh secara demokratis sangatlah positif pengaruhnya
pada masa depan anak, anak akan selalu optimis dalam melangkah
untuk meraih apa yang diimpikan dan dicita-citakannya.
2) Pola Asuh Otoriter
a. Hukuman yang keras
b. Suka menghukum secara fisik
c. Bersikap mengomando
d. Bersikap kaku (keras)
e. Cenderung emosional dalam bersikap menolak
f. Harus mematuhi peraturan-peraturan orangtua dan tidak boleh
membantah
Akibatnya anak cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mudah tersinggung
b. Penakut
c. Pemurung tidak bahagia
d. Mudah terpengaruh dan mudah stress
e. Tidak memiliki masa depan yang jelas
f. Tidak bersahabat
g. Gagap (rendah hati)
3) Pola Asuh Permisif
a. Kontrol orangtua terhadap anak sangat lemah
b. Memberikan kebebasan kepada anak untuk dorongan atau
keinginannya
c. Anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar
oleh anak
d. Hukuman tidak diberikan karena tidak ada aturan yang
mengikat
e. Kurang membimbing
f. Anak lebih berperan daripada orangtua
g. Kurang tegas dan kurang komunikasi
Akibatnya anak cenderung memiliki ciri-ciri kepribadian :
a. Agresif
b. Menentang atau tidak dapat bekerja sama dengan orang lain
c. Emosi kurang stabil
d. Selalu berekspresi bebas
e. Selalu mengalami kegagalan karena tidak ada bimbingan
2.4.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua
Gunarsa (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
orangtua terhadap anaknya adalah :
1. Karakter orangtua dan anak
2. Kepribadian orangtua dan anak
3. Tempramen orangtua dan anak
4. Kemauan dan kemampuan anak untuk menerima perubahan
5. Asal-usul dan latar belakang orangtua
6. Pendidikan orangtua
7. Budaya yang diterapkan di keluarga
8. Demografi dan domisili keluarga
9. Sistem religi yang dianut oleh keluarga
10. Tekanan dan dukungan dari keluarga dan masyarakat
11. Pekerjaan dan karier atau jabatan orangtua
12. Kemampuan penalaran anggota keluarga
2.5 Teori Model Keperawatan Dorothea Orem
Teori defisit perawatan diri (Deficit Self Care) Orem dibentuk menjadi 3 teori
yang saling berhubungan :
2.5.1 Teori perawatan diri (self care theory)
Menggambarkan dan menjelaskan tujuan dan cara individu melakukan
perawatan dirinya. Teori perawatan diri (self care theory) berdasarkan Orem
terdiri dari :
a. Perawatan diri adalah tindakan yang diprakarsai oleh individu dan
diselenggarakan berdasarkan adanya kepentingan untuk
mempertahankan hidup, fungsi tubuh yang sehat, perkembangan dan
kesejahteraan.
b. Agen perawatan diri (self care agency) adalah kemampuan yang
kompleks dari individu atau orang-orang dewasa (matur) untuk
mengetahui dan memenuhi kebutuhannya yang ditujukan untuk
melakukan fungsi dan perkembangan tubuh. Self Care Agency ini
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman hidup,
orientasi sosial kultural tentang kesehatan dan sumber-sumber lain yang
ada pada dirinya.
c. Kebutuhan perawatan diri terapeutik (therapeutic self care demands)
adalah tindakan perawatan diri secara total yang dilakukan dalam
jangka waktu tertentu untuk memenuhi seluruh kebutuhan perawatan
diri individu melalui cara-cara tertentu seperti, pengaturan nilai-nilai
terkait dengan keadekuatan pemenuhan udara, cairan serta pemenuhan
elemen-elemen aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut (upaya promosi, pencegahan, pemeliharaan dan penyediaan
kebutuhan).
2.5.2 Teori defisit perawatan diri (deficit self care theory)
Menggambarkan dan menjelaskan keadaan individu yang
membutuhkan bantuan dalam melakukan perawatan diri, salah satunya
adalah dari tenaga keperawatan. Setiap orang memiliki kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri, tetapi ketika seseorang
tersebut mengalami ketidakmampuan untuk melakukan perawatan diri
secara mandiri, disebut sebagai Self Care Deficit. Defisit perawatan diri
menjelaskan hubungan antara kemampuan seseorang dalam bertindak atau
beraktivitas dengan tuntunan kebutuhan tentang perawatan diri, sehingga
ketika tuntutan lebih besar dari kemampuan, maka seseorang akan
mengalami penurunan atau defisit perawatan diri.
Orem memiliki metode untuk proses penyelesaian masalah tersebut,
yaitu bertindak atau berbuat sesuatu untuk orang lain, sebagai pembimbing
orang lain, sebagai pendidik, memberikan support fisik, memberikan
support psikologis dan meningkatkan pengembangan lingkungan untuk
pengembangan pribadi serta mengajarkan atau mendidik orang lain.
2.5.3 Teori sistem keperawatan (nursing system theory)
Menggambarkan dan menjelaskan hubungan interpersonal yang harus
dilakukan dan dipertahankan oleh seorang perawat agar dapat melakukan
sesuatu secara produktif. Terdapat tiga kategori sistem keperawatan yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri klien sebagai berikut:
a. Sistem Bantuan Penuh (Wholly Compensatory System)
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien yang dalam
keadaan tidak mampu secara fisik dalam melakukan pengontrolan
pergerakan serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi yang
termasuk dalam kategori ini adalah pasien koma yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, tidak mampu melakukan
pergerakan dan tidak mampu mengambil keputusan yang tepat bagi
dirinya.
b. Sistem Bantuan Sebagian (Partially Compensatory System)
Tindakan keperawatan yang sebagian dapat dilakukan oleh klien
atau individu dan sebagian dilakukan oleh perawat. Perawat membantu
dalam memenuhi kebutuhan self care akibat keterbatasan gerak yang
dialami oleh klien atau individu.
c. Sistem Dukungan Pendidikan (Supportif-Education System)
Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada klien atau individu
yang membutuhkan edukasi dalam rangka mencapai derajat kesehatan
setinggi-tingginya agar pasien mampu melakukan tindakan
keperawatan setelah dilakukan edukasi.
2.6 Kerangka Konsep
Bagan 2.1
Gambaran Pola Asuh Orangtua Berdasarkan Tingkat Kemandirian Activity Daily
Living (ADL) Anak Retardasi Mental
Sedang Di Sekolah Luar Biasa Kabupaten Bandung
Sumber : Hardywinoto (2007), Ali & Asrori (2010), Friedman (2010), Soetjiningsih (2013)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan
kemandirian :
- Gen atau Keturunan
Orangtua
- Jenis Kelamin
- Pola Asuh Orangtua
- Urutan Posisi Anak
- Usia Anak
- Sistem Pendidikan Di
Sekolah
- Intelegensi
Klasifikasi Anak Retardasi
Mental :
- Retardasi Mental
Ringan
- Retardasi Mental
Sedang
- Retardasi Mental Berat
- Retardasi Mental Sangat
Berat
Kemandirian Activity
Daily Living (ADL)