21
Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada Pekerjaan Pembangunan Apartemen PT. X Tahun 2017 Azyyati Nabiilah Zahra Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Kelelahan merupakan salah satu faktor pembentuk kecelakaan tim kerja di konstruksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kondisi kelelahan pekerja konstruksi PT.X. Dengan desain penelitian cross sectional, menggunakan kuesioner Industrial Fatigue Research Committee, didapatkan 100% pekerja mengalami kelelahan saat sebelum dan setelah bekerja, dengan proporsi kelelahan diatas rendah meningkat setelah bekerja dari 52,5% menjadi 69,3%, artinya dibutuhkan penilaian lanjut dan perbaikan. Upaya pengendalian yang sudah dilakukan membatasi jam kerja lembur, penyediaan mess, dan olahraga rutin. Upaya lain yang dapat dilakukan memperketat kebijakan jam kerja, promosi perilaku hidup sehat, dan pengendalian faktor lingkungan kerja. Kata Kunci: IFRC; Kelelahan; Kesehatan kerja; Pekerja Konstruksi Description of Construction Workers Fatigue Condition at PT. X Apartment Development Work Year 2017 Abstract Fatigue is one of the main factor of worker’s accident in construction. This study aimed to find out the fatigue conditions of PT. X construction workers. Using cross-sectional design and Industrial Fatigue Research Committee Questionnaire, it was found that 100% of workers experience fatigue before and after work, with the prevalence of fatigue above low increased after working from 52.5% to 69.3%, meaning that further assessment and improvement were needed. Control measures that had been done were limiting the overtime hours, providing temporary shelter, and regular exercise. It was suggested to tighten the policy of working hours, promote healthy lifestyle, and control working environment factors. Keywords: Fatigue; Construction Worker; IFRC; Occupational health Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada Pekerjaan Pembangunan Apartemen PT. X Tahun 2017

Azyyati Nabiilah Zahra

Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected]

Abstrak

Kelelahan merupakan salah satu faktor pembentuk kecelakaan tim kerja di konstruksi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kondisi kelelahan pekerja konstruksi PT.X. Dengan desain penelitian cross sectional, menggunakan kuesioner Industrial Fatigue Research Committee, didapatkan 100% pekerja mengalami kelelahan saat sebelum dan setelah bekerja, dengan proporsi kelelahan diatas rendah meningkat setelah bekerja dari 52,5% menjadi 69,3%, artinya dibutuhkan penilaian lanjut dan perbaikan. Upaya pengendalian yang sudah dilakukan membatasi jam kerja lembur, penyediaan mess, dan olahraga rutin. Upaya lain yang dapat dilakukan memperketat kebijakan jam kerja, promosi perilaku hidup sehat, dan pengendalian faktor lingkungan kerja. Kata Kunci: IFRC; Kelelahan; Kesehatan kerja; Pekerja Konstruksi

Description of Construction Workers Fatigue Condition at PT. X Apartment Development Work Year 2017

Abstract

Fatigue is one of the main factor of worker’s accident in construction. This study aimed to find out the fatigue conditions of PT. X construction workers. Using cross-sectional design and Industrial Fatigue Research Committee Questionnaire, it was found that 100% of workers experience fatigue before and after work, with the prevalence of fatigue above low increased after working from 52.5% to 69.3%, meaning that further assessment and improvement were needed. Control measures that had been done were limiting the overtime hours, providing temporary shelter, and regular exercise. It was suggested to tighten the policy of working hours, promote healthy lifestyle, and control working environment factors.

Keywords: Fatigue; Construction Worker; IFRC; Occupational health

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 2: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Pendahuluan

Data statistik ILO tahun 2005 memperlihatkan, walaupun sektor konstruksi hanya

mempekerjakan 6% -- 10% tenaga kerja di berbagai negara industri, sebanyak 25% -- 40% dari

kematian akibat kerja terjadi di lokasi konstruksi. ILO mengestimasikan setiap tahun terdapat

sedikitnya 60.000 kecelakaan fatal di lokasi konstruksi di seluruh dunia (ILO, 2005). Di

Indonesia, tahun 2010, PT Jamsostek dan Kemenaker Indonesia mencatat bahwa sektor

konstruksi menduduki peringkat pertama dan berkontribusi terhadap 31,9% dari seluruh

kecelakaan kerja di berbagai sektor industri Indonesia (Darisman, 2011).

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh HSE (2003) terhadap 100 kecelakaan di

konstruksi, ditemukan bahwa salah satu faktor pembentuk kondisi kecelakaan pada tim kerja

adalah kelelahan pekerja. Kondisi pekerja konstruksi yang berisiko mengalami kelelahan dan

berdampak pada konsentrasi berkurang, pengambilan keputusan yang buruk, gagal dalam

menggunakan peralatan kerja, dan perilaku kompromi terhadap peraturan keselamatan kerja,

dapat berkontribusi sebagai penyebab kecelakaan kerja (S. Hide, S. Atkinson, T. Pavitt et al.,

2003 dan Chan. M, 2011).

Di Indonesia, kelelahan kerja merupakan salah satu dari tiga penyebab kejadian cedera dan

kecelakaan akibat kerja di bidang konstruksi (Darisman, 2011). Penelitian yang dilakukan di

perusahaan konstruksi Manado menemukan bahwa dari 40 orang pekerja buruh bangunan,

92,5% pekerja mengalami kelelahan dengan 35% kelelahan berat (Limbong, N., Josephus, J.,

Kawatu, P., 2015). Sementara, penelitian yang dilakukan di Semarang terhadap tenaga kerja

bangunan menemukan 71,43% pekerja mengalami kelelahan ringan pada pengukuran sebelum

bekerja, dan 100% pekerja mengalami kelelahan dengan presentase kelelahan ringan 11,43%,

kelelahan sedang 42,86%, dan kelelahan berat 45,71% saat setelah bekerja (Hastuti, 2015).

Hasil pra survei pada pekerja konstruksi PT. X bulan Mei 2017, menemukan beberapa

aspek pekerjaan yang memiliki potensi risiko kelelahan di tempat kerja, seperti durasi/jam kerja

yang lama, periode/jadwal kerja yang panjang tanpa hari libur, dan frekuensi kerja lembur yang

sering. Dari hasil wawancara terhadap 20 pekerja konstruksi di lapangan, 90% pekerja

melakukan kerja lembur dalam seminggu terakhir, 72,2% (13 orang) diantaranya melakukan

kerja lembur 7 kali dengan rata-rata jam kerja lembur yaitu 5,29 jam per hari, rata-rata bekerja

selama kurang lebih 13 jam sehari atau 91 jam seminggu. Selain itu, ditemukan 80% pekerja

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 3: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

yang sering merasa lelah atau pegal di seluruh badan. 60% pekerja sering merasa mengantuk.

Kondisi kelelahan apabila dibiarkan terus menerus akan semakin meningkat, dan sering kali

menimbulkan gangguan kesehatan dan/atau kecelakaan, oleh karena itu dibutuhkan penilaian

kondisi kelelahan pada setiap pekerjaan konstruksi di PT. X.

Tinjauan Teoritis

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh, berupa kondisi letih, jenuh, dan

kekurangan tenaga, dari kerusakan lebih lanjut yang terjadi akibat tingkat pengeluaran energi

yang berlebih, baik secara psikologis maupun fisiologis pada pekerjaan dengan pengerahan

kekuatan fisik dan mental yang berlebihan, tanpa adanya waktu istirahat atau pemulihan yang

cukup sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan secara aman,

efisien, dan efektif (Tarwaka, dkk, 2004; Theron dan Heerden, 2011; Macdonald, 2006; Lewis

dan Wessely 1992 dalam Zhang, et. al, 2015; Grandjean, 1979 dan Safe Work Australia, 2013).

Gejala kelelahan diantaranya merasa lelah, lesu, letih, lemas, mengantuk, enggan bekerja,

persepsi dan proses berpikir yang lebih lamban dan buruk, kurang kewaspadaan, mata terasa

berat dan tidak merasa segar setelah tidur, sakit kepala atau pusing, nyeri/sakit otot dan

pelemahan otot lainnya, gangguan dalam mengambil keputusan dan melakukan penilaian hingga

koordinasi tangan-mata berkurang atau pandangan kabur dan pingsan (Theron dan Heerden,

2011; Safe Work Australia, 2013; Nurmianto, 2004).

Berdasarkan jangka waktunya kelelahan dibedakan menjadi dua, yaitu kelelahan akut

(gejala dirasakan kurang dari 6 bulan) dan kelelahan kronik (gejala dirasakan lebih dari 6 bulan).

Sedangkan, berdasarkan proses fisiologinya kelelahan dibagi menjadi kelelahan mental dan

kelelahan fisik. Kelelahan mental menggambarkan kapasitas psikologis dan kemauan seseorang

yang berkurang untuk bertindak secara memadai yang disebabkan oleh tekanan mental dan fisik

yang didapat sebelumnya (O’Neill dan Panuwatwanich, 2013). Sementara, kelelahan fisik adalah

fenomena rasa sakit/nyeri yang terlokalisasi pada otot akibat tekanan atau beban fisik yang

berlebihan (stress atau kontraksi berlebihan pada otot) yang dapat menyebabkan menurunnya

performa otot dengan karakteristik menurunnya kekuatan/daya kerja, jarak antara stimulasi awal

dengan terjadinya kontraksi menjadi lebih panjang, dan pergerakannya (kontraksi-relaksasi)

menjadi lambat (Grandjean, 1979).

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 4: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Menurut Grandjean (1979), kelelahan dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab.

Dalam jurnalnya ”Fatigue in Industry”, Grandjean (1979) menganalogikan kelelahan seperti

sebuah bejana yang diisi air dimana terdapat lubang di bagian dasarnya. Dalam ilustrasi ini, air

menggambarkan kumpulan semua tekanan yang membebani seseorang setiap harinya, atau sama

dengan faktor penyebab kelelahan. Tinggi air tersebut dalam bejana, menggambarkan tingkat

kelelahan yang dialami seseorang. Sementara, waktu istrahat dianalogikan dengan aliran air yang

keluar melalui lubang yang terdapat di dasar bejana. Agar bejana tidak terlalu penuh atau

meluap, kita harus memastikan arus air yang masuk dari berbagai sumber (faktor penyebab

kelelahan) minimal harus seimbang besarnya dengan arus air yang keluar melalui pemulihan.

Menurut Grandjean (1979), proses pemulihan terhadap kelelahan sebagian besar terjadi

saat seseorang tertidur di malam hari, namun dapat melalui cara lainnya seperti saat jam istirahat

kerja, atau segala bentuk pemberhentian sementara saat bekerja. Siklus arus masuk dan keluar

tersebut harus terjadi dalam waktu 24 jam. Jika arus masuk berupa faktor penyebab kelelahan

dibiarkan terus menumpuk, akan mengorbankan kesehatan seseorang berupa mulai timbulnya

gejala dan tanda kelelahan.

Faktor risiko kelelahan dapat dibagi menjadi faktor risiko terkait kerja dan tidak terkait

kerja. Faktor risiko kelelahan terkait kerja diantaranya kerja lembur, shift kerja, waktu istirahat,

waktu kerja, beban kerja, desain kerja, pencahayaan, iklim kerja, dan tingkat kebisingan di

tempat kerja. Sementara, faktor risiko tidak terkait kerja yaitu usia, kondisi sakit dan penyakit,

kondisi psikologis, gaya hidup, kualitas dan kuantitas tidur, status gizi, commuting time,

kewajiban sosial dan keluarga, dan kerja sampingan (Grandjean, 1979; Theron & Heerden, 2011;

Safe Work Australia, 2013).

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi cross sectional dan metode semi

kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan menilai tingkat dan jenis kelelahan beserta faktor

risikonya pada pekerja konstruksi (buruh bangunan) pembangunan apartemen PT. X bulan Mei -

- Juni 2017, dengan menggunakan kuesioner IFRC (kuesioner 30 item gejala kelelahan

subjektif). Populasi penelitian ini adalah seluruh pekerja konstruksi apartemen PT. X tahun 2017.

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 5: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Jumlah sampel penelitian menggunakan rumus besar sampel pada studi deskriptif (Lemeshow,

David, 1997 dan Murti, 2010) dan metode proportional sampling.

𝑛 =𝑁 .𝑍(!!∝/!)! .𝑃 .𝑄

[𝑑! 𝑁 − 1 ]+ [𝑍(!!∝/!)! .𝑃 .𝑄]

Keterangan:

n: besar sampel minimal

Z2(1- α/2): nilai pada distribusi normal standar yang sama dengan tingkat kemaknaan α,

untuk α = 0,05 maka Z = 1,96

P: proporsi pekerja yang mengalami keluhan fatigue berdasarkan penelitian

sebelumnya (P = 0,45)

N: besar populasi (N = 150)

d: tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki, nilai d = 0,05

Berdasarkan perhitungan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini adalah

sebesar 108 orang. Namun saat pengambilan data, terdapat pekerja yang tidak memenuhi kriteria

inklusi, sehingga sampel menjadi 101 orang, yaitu 39 pekerja pembesian, 40 pekerja bekisting, 6

pekerja pengecoran, 4 pekerja MEP, dan 12 pekerja harian.

Analisis data dalam penelitian ini bersifat univariat dengan menilai tingkat kelelahan, jenis

kelelahan, dan distribusi proporsi dari masing-masing variabel faktor risiko kelelahan pada

pekerja. Setelah itu, distribusi proporsi faktor risiko kelelahan yang terkait pekerjaan dan tidak

terkait pekerjaan pada masing-masing jenis pekerjaan konstruksi akan dilihat kemungkinannya

dalam memberikan pengaruh terhadap gambaran kelelahan pekerja yang telah didapatkan.

Hasil dan Pembahasan

Tingkat dan Jenis Kelelahan

Hasil penelitian menemukan, semua pekerja konstruksi mengalami kelelahan saat sebelum

dan setelah bekerja, dan tingkat kelelahan meningkat setelah bekerja dari 52,5% (40,6%

kelelahan sedang, 11,9% kelelahan tinggi) menjadi 69,3% (60,4% kelelahan sedang, 7,9%

kelelahan tinggi, 1% kelelahan sangat tinggi). Sehingga, disimpulkan bahwa secara garis besar

dibutuhkan penilaian lebih lanjut dan perbaikan terhadap tingkat kelelahan pekerja saat sebelum

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 6: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

dan setelah bekerja. Sementara, dari hasil analisis prevalensi gejala kelelahan setelah bekerja,

didapatkan jenis kelelahan pada pekerja pembesian, bekisting, dan harian adalah kelelahan beban

fisik (lebih terbebani secara fisik), sementara pada pekerja pengecoran dan MEP adalah

kelelahan umum.

Faktor Risiko Terkait Kerja

Usia

Rata-rata usia pada responden adalah 31 tahun, dengan usia termuda 19 tahun dan usia

tertua 65 tahun. Dari hasil analisis, didapatkan distribusi usia pada pekerja konstruksi tersebut

sebagian besar berada pada kategori lebih besar dari 25 tahun (62,4%), terutama pada pekerja

pembesian dan bekisting. Menurut CCOHS (2012), seseorang akan mencapai keseluruhan

perkembangan atau kematangan fisik sekitar usia 25 tahun dan akan mengalami penurunan

kekuatan otot rata – rata sebesar 15% -- 20% pada usia 20 -- 60 tahun. Selain itu umumnya

kapasitas kardiorespirasi akan mengalami penurunan fungsi sebesar 40% pada usia kisaran 30 --

60 tahun. Sedangkan kapasitas fungsional mental dan sosialnya akan mengalami penurunan pada

usia 45 tahun (WHO, 1996 dalam Sa’abah, 2001). Hal ini berarti, setelah mencapai usia 25

tahun, terjadi penurunan kekuatan otot dan fungsi tubuh lainnya yang menyebabkan risiko

seseorang untuk mengalami kelelahan lebih besar dari sebelumnya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa berdasarkan usianya, sebagian besar responden lebih berisiko terhadap

kelelahan, terutama responden pada kelompok kerja pembesian dan bekisting. Hal ini juga

diperkuat dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa pada kelelahan tinggi, proporsi usia

>25 tahun lebih besar. Selain itu, hanya pekerja usia >25 tahun yang mengalami kelelahan sangat

tinggi.

Status Kesehatan

Masih terdapat 16,8% pekerja yang status kesehatannya berisiko terhadap kelelahan.

Pekerja yang memiliki status kesehatan lebih berisiko adalah pekerja yang memiliki penyakit

dan/atau pengobatan yang mungkin dapat mempengaruhi kelelahan pekerja. Beberapa jenis

penyakit yang diderita oleh responden diantaranya gangguan (sakit) pinggang dan asma yaitu

terdapat pada pekerja pembesian, penyakit anemia diderita oleh pekerja pembesian dan bekisting,

penyakit maag pada pekeja pembesian dan harian, penyakit gangguan pendengaran pada pekerja

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 7: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

pembesian, penyakit hipotensi pada pekerja pengecoran, penyakit gangguan ginjal pada pekerja

bekisting, serta keluhan pusing pada pekerja bekisting, dan pekerja pengecoran.

Menurut Theron dan Heerden (2011), kelelahan yang terjadi secara berkepanjang dapat

menjadi salah satu tanda terdapatnya penyakit yang berperan sebagai penyebab utama kelelahan.

Beberapa penyakit yang dapat menjadi penyebab utama atau memicu kelelahan diantaranya

anemia, gangguan tidur seperti insomnia, sleep apnea, infeksi urin, dll (Safe Work Australia,

2013). Selain itu, kondisi fisik yang mengalami dehidrasi (Tarwaka, 2004) dan keletihan fisik

(O’Neill dan Panuwatwanich, 2013) akan memperparah dampak dari kelelahan.

Secara garis besar, walaupun sebagian besar pekerja status kesehatannya tidak berisiko,

beberapa pekerja lainnya menderita penyakit yang dapat memicu dan memperparah kelelahan

kerja. Diantaranya adalah penyakit anemia, hipotensi, penyakit ginjal, asma, dan keluhan pusing.

Sementara, beberapa penyakit yang mungkin dapat terjadi akibat kelelahan atau beban kerja

berlebih, yaitu maag dan sakit pinggang. Sedangkan, penyakit yang dapat membahayakan

keselamatan dan kesehatan pekerja selama berada di proyek konstruksi yaitu gangguan

pendengaran dan asma.

Status Merokok

Sebagian besar responden adalah perokok (82,2%), bahkan semua pekerja MEP adalah

perokok. Salah satu gaya hidup yang menyebabkan kelelahan secara tidak langsung adalah

merokok, karena melalui nikotin rokok dapat mengurangi aliran oksigen dalam jaringan paru dan

dalam darah. Sementara, untuk menghasilkan energi tubuh kita membutuhkan glukosa dan

oksigen. Sehingga apabila seseorang merokok, proses penghasilan energi menjadi terhambat.

Selain itu, rokok juga dapat menstimulasi sistem syaraf dan dapat mempengaruhi kualitas tidur

(Theron dan Heerden, 2011). Oleh karena itu, promosi kesehatan mengenai bahaya rokok bagi

kesehatan dan anjuran tempat kerja bebas asap rokok juga perlu dibahas atau diberikan bagi

pekerja konstruksi

Konsumsi Minuman Berkafein

Rata-rata konsumsi minuman berkafein pada seluruh responden, adalah 2,64 gelas per hari,

paling banyak yaitu 8 gelas per hari namun ada juga yang tidak minum. Dari hasil analisis

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 8: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

didapatkan konsumsi minuman berkafein tertinggi pada kelompok kerja bekisting. Selain itu,

juga ditemukan bahwa sebagian besar responden (69,9%) mengonsumsi kopi sebelum tidur.

Menurut Better Health Channel dalam Theron dan Heerden (2011), minum minuman

berkafein dapat menstumulasi sistem syaraf dan dapat menyebabkan insomnia. Selain itu,

ketergantungan terhadap minuman berkafein akan berkontribusi terhadap kurangnya tidur serta

hanya memberikan dorongan energi sementara pada tubuh, namun energi tersebut menjadi cepat

habis dan memicu kelelahan. Selain itu minum minuman berkafein 1 atau 2 kali dalam sehari

dapat meningkatkan energi dan kewaspadaan mental, akan tetapi, apabila dikonsumsi lebih dari 6

kali dalam sehari membuat rentan terhadap kecemasan, mudah marah atau tersinggung, dan

kinerja yang berkurang. Selain itu, konsumi kopi atau minuman berkafein lainnya akan

berkontribusi terhadap kekurangan tidur apabila diminum dalam rentang 6 jam sebelum tidur.

Jumlah konsumsi kafein pada sebagian besar pekerja sudah cukup baik, dengan tidak

melebihi 6 kali (gelas) sehari. Namun, masih ada pekerja yang minum minuman berkafein

hingga 8 gelas per hari. Selain itu, sebagian besar pekerja, masih mengonsumi kopi dalam

rentang 6 jam sebelum tidur.

Konsumsi Air Minum

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa rata-rata konsumsi air putih pada seluruh

responden adalah 2,24 liter per hari. Konsumsi air putih yang paling sedikit yaitu 0,24 liter per

hari terdapat pada kelompok kerja harian dan paling banyak yaitu 7 liter per hari terdapat pada

kelompok kerja pengecoran.

Menurut Theron dan Heerden (2011), perilaku minum yang kurang dapat menyebabkan

dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh. Apabila tubuh mengalami dehidrasi, fungsinya

menjadi kurang efisien dan meningkatkan risiko atau memperparah kelelahan. Pekerja konstruksi

bekerja pada lingkungan kerja yang panas, lembab, dan didukung dengan beban kerja fisik yang

berat sehingga menjadi lebih rentan terhadap dehidrasi dan heat stress karena memiliki aktivitas

fisik yang berat, suhu tubuh yang tinggi, dan banyak mengeluarkan cairan tubuh melalui

keringat. Dalam EHS Today (2001), penelitian fisiologis menunjukkan bahwa konsumsi cairan

dapat mengurangi suhu tubuh dengan meningkatkan aliran darah pada kulit (skin blood flow)

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 9: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

yang lebih tinggi. Oleh karena itu, NIOSH, ACGIH, dan OSHA merekomendasikan pekerja pada

pekerjaan di luar ruang atau yang beririsko tinggi terhadap heat stress untuk minum air

(sebanyak 500-700 ml) setiap 15-20 menit (atau rekomendasi dari OSHA yaitu 1-1,5 liter setiap

jam untuk yang bekerja pada suhu 39-46 oC) (suhu di Depok saat panas yaitu ±30oC -- 35oC

sehingga membutuhkan 0,7 -- 1 liter per jam ) agar tubuh tetap cukup terhidrasi dan agar suhu

tubuh yang aman dapat terjaga (EHS Today, 2001 dan OSHA, n,d). Selain itu, penelitian

mengenai kelelahan yang dilakukan kepada pekerja industri pengecoran logam di Kabupaten

Klaten, Jawa Tengah yang menemukan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan pada pekerja

yang minum air 2 liter dan 4 liter dalam sehari dengan kelelahan yang lebih tinggi dialami oleh

pekerja yang minum air 2 liter per hari (Prianto, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan sebanyak 83,2% pekerja merasa haus saat

sebelum dan setelah bekerja. Selain itu, dari wawancara mendapatkan sebagian besar pekerja

mengeluhkan bahwa kuantitas air minum yang disediakan oleh mandor di bidang kerjanya

masing-masing, masih sangat kurang, bahkan ada beberapa pekerja yang mengatakan bahwa air

minum yang disediakan hanya sekitar 1 galon air untuk pekerja yang ada di satu lantai (mencapai

15-20 pekerja) untuk satu hari kerja. Beberapa pekerja juga mengemukakan bahwa mereka

sengaja menahan rasa haus saat bekerja karena untuk mengambil air minum, pekerja merasa

terlalu letih untuk menuruni sekitar 5-6 lantai dan menaik kembali dalam waktu yang singkat.

Kuantitas Tidur

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa rata-rata kuantitas tidur setiap hari pada

seluruh responden, adalah 6,79 jam per hari. Berdasarkan hasil analisis di dapatkan bahwa

sebagian besar (53,3%) pekerja tidur per hari ≥7 jam, namun terdapat lebih dari separuh (66,7%)

kelompok harian tidur <7 jam. Selain itu juga didapatkan sebagian besar responden memiliki

gangguan tidur, dengan presentase sebesar 59,4%. Beberapa penyebab gangguan tidur tersebut

yaitu tubuh pegal-pegal / terlalu letih, merasa banyak pikiran, berisik, banyak nyamuk, panas,

insomnia, gelisah, terbiasa tidur malam, terkena asap/fume dari pengelasan, lampu terlalu silau,

mimpi buruk, banyak pekerja yang berlalu-lalang (keamanan). Gangguan berisik, banyak

nyamuk, panas, terkena asap/fume dari pengelasan, lampu terlalu silau, dan banyak pekerja yang

berlalu lalang semua bersumber dari mess pekerja. Selain gangguan tidur hal yang mengurangi

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 10: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

atau menjadi gangguan dalam mendapatkan kuantitas tidur yang baik yaitu disebabkan oleh

makan/minum sebelum tidur, ada 63,4% yang makan atau minum tepat sebelum tidur. Beberapa

makan/minuman yang dikonsumsi sebelum tidur yaitu kopi, mie instan, teh, nasi+ lauk pauk,

roti, susu, minuman berenergi, dan gorengan. Konsumsi terbesar pada kopi yaitu sebanyak

46,9%. Selain makanan/minuman sebelum tidur gangguan lainnya yaitu melakukan aktivitas lain

sebelum tidur namun setelah berbaring di tempat tidur, dengan prsentase sebesar 71,3% pekerja

yang melakukannya. Aktivitas yang dilakukan oleh pekerja sebelum tidur namun setelah

berbaring di tempat tidur diantaranya mengoperasikan/melakukan aktivitas dengan handphone

(sms, internet, telepon, dll), mengobrol, menonton TV, merokok, mendengar radio, mendengar

musik.

Menurut CDC (2015) dan Depkes RI, waktu tidur yang dibutuhkan untuk kelompok

masyarakat usia dewasa yaitu 7-8 jam. Kekurangan tidur yang dialami seseorang secara terus

menerus akan mengakibatkan sleep debt atau hutang tidur yang dapat terakumulasi dan

menyebabkan peningkatkan risiko kelelahan (Theroon dan Heerden, 2011; Kuswana, 2014).

Selain itu, kekurangan kuantitas tidur di malam hari juga dapat menyebabkan tingkat kadar

alkohol darah menjadi 0,05% jika terjaga selama 17 jam dan 0,1% jika terjaga selama 20 jam,

sehingga menyebabkan daya kerja dan performa menurun, konsentrasinya hilang, dan

kelelahannya semakin meningkat (Work Cover Tasmania, 2013). Menurut Gupta (2006),

manusia membutuhkan kualitas tidur yang baik dengan beberapa siklus tidur yang terdiri dari

tahap tidur NREM (Non-Rapid Eye Movement) dan tidur REM (Rapid Eye Movement) untuk

memulihkan fungsi otak dan untuk menghindari kondisi kelelahan. Kualitas dan kuantitas tidur

yang tidak teratur atau buruk dapat meningkatkan risiko kelelahan dengan menghilangkan

kesempatan tubuh untuk memulihkan dirinya dari tekanan atau beban kerja yang sebelumnya

dialami.

Status IMT

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki status

IMT normal yaitu 53,5%, dan 46,5% lainnya memiliki statis IMT tidak normal. Diantara seluruh

kelompok pekerja berdasarkan aktivitasnya, kelompok pekerja yang memiliki prevalens status

IMT tidak normal paling banyak adalah kelompok kerja harian, dengan prevalens 66,7%.

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 11: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Menurut Depkes (2011), seseorang yang kekurangan berat badan (kurus) disebabkan

konsumsi energi lebih rendah dari kebutuhannya yang mengakibatkan sebagian cadangan energi

tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan. Salah satu kerugian seseorang yang kekurangan

berat badan yaitu mudah lelah dan kurang mampu berkerja keras. Sementara, kelebihan berat

badan terjadi apabila makanan yang dikonsumsi mengandung energi yang melebihi kebutuhan

tubuh. Kelebihan energi tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan dalam bentuk lemak

sehingga mengakibatkan seseorang menjadi lebih gemuk. Salah satu kerugian seseorang yang

memiliki berat badan yang lebih adalah gerakan yang menjadi tidak gesit atau lambat dan

menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Sedangkan menurut Theron dan Heerden (2011)

pola makan yang tidak sehat seperti pola makan dengan diet rendah karbohidrat atau makan

makanan yang memiliki kandungan gizi yang sedikit menyebabkan tubuh tidak memiliki cukup

bahan bakar untuk menjalankan sistem metabolismenya sehingga dapat memicu kondisi

kelelahan pada seseorang.

Commuting Time

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden memiliki kategori commuting time

≤30 menit, dengan presentase sebesar 99%. Diantara seluruh kelompok pekerja berdasarkan

aktivitasnya, satu-satunya kelompok pekerja yang memiliki satu orang dengan kategori

commuting time >30 menit adalah pekerja pembesian, dimana pekerja tersebut memiliki peran

kerja sebagai mandor utama. Selain pekerja pembesian tersebut, selruh pekerja tinggal di mess

pekerja yang commuting time-nya kurang lebih 5 menit. Hal ini menandakan bahwa pada

variabel ini sudah dilakukan pengendalian dengan baik.

Kerja Sampingan

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (95%) tidak memiliki kerja

sampingan. Beberapa jenis kerja sampingan yang dilakukan oleh sebagian kecil pekerja

konstruksi diantaranya adalah pembuatan gudang, tukang batu, supir, penjual pulsa elektrik, dan

mandor di proyek konstruksi lainnya.

Kewajiban Sosial dan Keluarga

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 12: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Dari hasil penelitian, sebagian besar responden dengan presentase 67,3% sudah

berkeluarga (memiliki tanggungan/kewajiban untuk menafkahi keluarga), dan 90,1% tidak

memiliki kewajiban sosial saat ini. Jenis kewajiban sosial yang dilakukan oleh pekerja konstruksi

PT. X bulan Mei, tahun 2017 yaitu menjadi anggota karang taruna, anggota organisasi

keagamaan, klub motor, anggota partai, anggota persatuan sepak bola, anggota perserikatan

daerah, serta anggota perserikatan lainnya.

Faktor Risiko Tidak Terkait Kerja

Waktu Kerja dan Kerja Lembur

Hasil penelitian meneukan rata-rata lama waktu kerja total (normal + lembur) pada

responden pekerja konstruksi mencapai 12,17 jam per hari dan 78,36 jam per minggu. Jika

dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian, tingginya rata-rata waktu kerja tersebut sangat

membahayakan karena dapat meningkatkan risiko kelelahan dan kejadian cedera akibat kerja.

Menurut Theron dan Heerden (2011), penelitian membuktikan bahwa risiko terjadinya

insiden/cedera dan gangguan kesehatan akibat kerja meningkat pada pekerja yang bekerja lebih

dari 60 jam dalam seminggu atau lebih dari 12 jam dalam sehari, dengan tingkat kejadian

insiden/cedera akibat kerja dua kali lipat jika dibandingkan dengan pekerja yang bekerja 8 jam

sehari (Queensland Government Department of Employment and Industrial Relations, 2008

dalam Theron dan Heerden, 2011). Selain itu, beberapa penelitian dalam laporan CDC juga

menemukan bahwa pada jam ke-9 dan jam ke-12 dari jam kerja akan terjadi penurunan

kewaspadaan, peningkatan kelelahan, dan penurunan fungsi kognitif pada pekerja (Caruso, et.al.,

2004). Penelitian lain juga menemukan bahwa budaya jam kerja yang panjang (long work hours)

dimana pekerjanya bekerja dalam periode yang lama tanpa istirahat, atau dalam beberapa hari

yang panjang tanpa hari libur (mencapai batas 50 jam perminggu atau lebih), dapat menghasilkan

kondisi kelelahan pada pekerja yang dapat meningkatkan risiko cedera menjadi dua kali lipat

dibandingkan pekerja dengan jam kerja normal (HSE, 2003; Dong, 2005).

Shift Kerja

Hasil penelitian menemukan, distribusi shift kerja pada responden lebih banyak pada

kategori shift pagi, yaitu sebesar 94,1% (95 orang) dan 5,9% lainnya memiliki shift kerja malam.

Hal ini berarti, pada responden, sebagian besar responden memiliki kondisi shift kerja yang

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 13: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

cenderung tidak berisiko terhadap kelelahan kerja. Namun, berdasarkan hasil penelitian,

ditemukan bahwa sebagian besar (51%) pekerja konstruksi mengeluhkan bahwa diantara 3 fase

kerja, yaitu bekerja pagi, siang, dan malam, fase yang paling melelahkan adalah bekerja siang

hari (dialami oleh pekerja shift pagi) dengan berbagai alasan, diantaranya karena kondisi

lingkungan yang panas, beban kerja yang lebih berat, terburu waktu, dan kondisi tubuh sudah

mulai letih.

Pada pengaruhnya terhadap kelelahan, jadwal kerja shift akan mengganggu ritme sirkadian

tubuh sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur seseorang, mempengaruhi

kinerja atau performa kerja, serta dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme tubuh

(Theron dan Heerden, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh The Circardian Centre di

USA menemukan bahwa pekerja shift, terutama yang bekerja di malam hari, dapat terkena

beberapa gangguang kesehatan, seperti gangguan tidur, kelelahan, penyakit jantung, tekanan

darah tinggi, dan gangguan gastrointestinal, yang ditambah dengan tekanan (stres) yang besar

sehingga meningkatkan risiko kecelakaan (Suma’mur, 2009). Selain itu, pekerja shift malam juga

memliki tingkat kesiagaan yang rendah pada rentang waktu jam 3-5 pagi sehingga dapat

meningkatkan risiko kecelakaan akibat kerja (Workcover Tasmania, 2013). Dengan demikian

dapat disimpulkan, berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, pekerja pada shift kerja malam

cenderung lebih berisiko terhadap kelelahan dibanding dengan pekerja shift pagi.

Masa Kerja

Hasil penelitian menemukan sebagian besar pekerja konstruksi memiliki masa kerja

(waktu bekerja terhitung mulai pertama kali masuk kerja) antara 1 hingga 3 bulan, yaitu dengan

proporsi 61,4% (62 orang), yang artinya sebagian besar pekerja masih tergolong pekerja baru.

Masa kerja dapat memiliki hubungan positif maupun negatif terhadap kelelahan. Peningkatan

masa kerja dapat memiliki dampak negatif terhadap kelelahan melalui efek akumulasi beban

kerja fisik dan tekanan-tekanan kerja yang ditimbulkan, sehingga memicu timbulnya gangguan

pada tubuh seperti penurunan fungsi fisiologi berupa berkurangnya kinerja otot yang ditandai

dengan semakin rendahnya gerakan dan penurunan fungsi psikologi lainnya (Melati, 2013;

Atiqoh, et.al., 2014). Disamping itu, masa kerja juga dapat memiliki dampak positif terhadap

kelelahan. Masa kerja erat kaitannya dengan kemampuan beradaptasi antara pekerja dengan

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 14: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

pekerjaan dan lingkungan kerjanya (atau yang biasa disebut sebagai healthy worker effect).

Perbedaan tingkat adaptasi masing-masing pekerja berdasarkan lama kerjanya mempengaruhi

tingkat keluhan kelelahan yang dirasakan. Apabila masa kerja seseorang semakin panjang,

ketegangan yang dirasakan dapat menurun dan aktivitas atau performa kerja dapat meningkat.

Hal tersebut dapat terjadi akibat proses adaptasi pekerja terhadap tekanan atau beban kerja yang

dirasakan selama bekerja. (Atiqoh, et.al., 2014).

Beban Kerja

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden memiliki beban kerja berat yaitu

65,3%, 14,9% memiliki beban kerja sangat berat,sementara 16,8% lainnya memiliki beban kerja

sedang, dan 3% memiliki beban kerja ringan. Diantara seluruh kelompok kerja sesuai aktivitas

kerjanya, kelompok pekerja yang memiliki prevalens pekerja dengan beban kerja berat terbesar

adalah kelompok kerja harian yaitu dengan prevalens 75% (9 orang). Sementara, kelompok

pekerja yang memiliki prevalens pekerja dengan beban kerja sangat berat yang terbesar adalah

kelompok kerja pembesian yaitu dengan prevalens 20,5% (8 orang).

Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kelelahan, pekerja harian yang memiliki beban kerja

fisik yang berat dengan prevalens terbesar, termasuk ke dalam kelompok pekerja yang memiliki

proporsi tingkat kelelahan sedang yang tertinggi saat sebelum dan setelah bekerja. Pada

umumnya, aktivitas pekerjaan konstruksi adalah aktivitas kerja yang membutuhkan tenaga ekstra

secara fisik. Artinya, pekerjaan (konstruksi) dengan kerja fisik seperti itu sendiri, sudah dapat

menjadi penyebab meningkatnya risiko kelelahan pada pekerja (Safe Work Australia, 2013).

Belum lagi, jika ditambah dengan beban yang berat. Menurut HSE (n,d) dan Nurmianto (2004),

beban kerja yang berat akan menghasilkan kebutuhan yang berlebihan pada pekerja sehingga

memicu kelelahan, dan menurunkan performa kerja dengan mengurangi kecepatan bekerja dan

meningkatkan risiko terjadinya error saat bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian pada

pekerja harian yang memiliki tingkat kelelahan sedang dengan proporsi tertinggi diantara

pekerja-pekerja lainnya.

Lingkungan Kerja

Sebagian besar responden merasa iklim kerja di tempat kerjanya saat ini cenderung panas

dengan proporsi 41,6%, sementara 23,8% lainnya merasa iklim kerja di tempat kerjanya saat ini

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 15: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

terlalu panas, dan 12,9% (13 orang) merasa iklim kerja saat ini sangat terlalu panas. Alasan yang

banyak dikeluhkan oleh pekerja mengenai klim kerja di tempat kerjanya saat ini adalah cuaca

yang cenderung panas, terlalu panas, dan sangat terlalu panas yang disebabkan oleh faktor alami

yaitu, panas dari uap beton, dan struktur bangunan yang terbuka (memungkinkan matahari

menyorot langsung).

Pada dasarnya, metabolisme tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan sekitar.

Apabila udara lingkungan panas, tubuh memerlukan banyak istirahat untuk meminimalisasi

metabolismenya. Iklim cuaca yang panas dapat menurunkan kadar cairan dalam tubuh melalui

pengeluaran keringat. Kondisi kehilangan cairan tersebut akan memicu atau meningkatkan

perasaan dan kondisi kelelahan pada seseorang.

Hasil penelitian menemukan, sebagian besar responden yaitu 67,3% merasa pencahayaan

di tempat kerjanya sudah cukup terang, 17,8% merasa terang, 8,9% merasa gelap, 4% merasa di

tempat kerjanya terlalu terang, dan 2% merasa terlalu gelap. Alasan pekerja yang merasa

pencahayaan berlebihan yaitu karena sinar matahari langsung (silau) dan lampu yang terlalu

dekat di basement. Sementara, beberapa alasan yang banyak dikeluhkan pekerja terkait dengan

pencahayaan yang kurang diantaranya karena lampu di bawah lantai 1, lantai 1, dan lantai 2

kurang terang atau terkadang mati saat malam hari.

Pada dasarnya, pencahayaan yang baik di ruang kerja memungkinkan tenaga kerja dapat

melihat objek yang dikerjakannya secara jelas, cepat, dan tanpa upaya yang tidak perlu

(Suma’mur, 2009). Pekerja yang sering atau secara terus menerus bekerja di bawah cahaya yang

redup (insufisiensi) dalam jangka pendek akan mengalami ketidaknyamanan pada mata (eye

strain), berupa nyeri atau kelelahan mata, sakit kepala, mengantuk, dan fatigue (kelelahan)

(Kurniawidjaja, 2012).

Hasil penelitian menemukan, 44,6% responden merasa tingkat kebisingan di tempat

kerjanya cenderung bising, sedangkan 26,7% lainnya merasa agak bising, 9,9% merasa sangat

terlalu bising, 9,9% merasa tidak bising, dan 8,9% merasa terlalu bising. Beberapa alasan yang

paling banyak dikeluhkan adalah akibat suara alat kerja dan perilaku pekerja bongkaran.

Menurut Suma’mur (2009), kebisingan dapat mengakibatkan meningkatnya kelelahan.

Kebisingan di tempat kerja dapat mengganggu konsentrasi seseorang, menyebabkan pengalihan

perhatian (menurunkan tingkat fokus), melemahkan motivasi untuk berfikir dan bekerja,

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 16: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

menyebabkan rasa terganggu, dan dapat mempengaruhi sistem pencernaan, sistem

kardiovaskuler, atau sistem faal tubuh lainnya.

Simpulan dan Saran

Simpulan

1. Semua pekerja konstruksi mengalami kelelahan saat sebelum dan setelah bekerja, dan

tingkat kelelahan meningkat setelah bekerja dari 52,5% (40,6% kelelahan sedang, 11,9%

kelelahan tinggi) menjadi 69,3% (60,4% kelelahan sedang, 7,9% kelelahan tinggi, 1%

kelelahan sangat tinggi). Jenis kelelahan pada pekerja pembesian, bekisting, dan harian

adalah kelelahan beban fisik, sementara pada pekerja pengecoran dan MEP adalah

kelelahan umum.

2. Faktor risiko terkait kerja yang mempengaruhi tingkat kelelahan pekerja konstruksi yaitu

usia diatas 25 tahun, perokok, konsumsi minuman berkafein diatas 5 gelas per hari,

konsumsi air minum dibawah 2 liter per hari, dan kewajiban keluarga (sudah berkeluarga).

3. Beberapa faktor risiko tidak terkait kerja yang mempengaruhi tingkat kelelahan pekerja

konstruksi jam kerja lembur diatas 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, waktu kerja

diatas 8 jam per hari dan 40 jam per minggu, masa kerja kurang dari 1 bulan, beban kerja

berat, iklim kerja panas, cahaya kerja terlalu terang, dan tingkat kebisingan yang tinggi.

4. Upaya pengendalian yang telah dilakukan PT. X untuk menurunkan risiko kelelahan kerja

yaitu membatasi pekerja yang bekerja lembur hingga pagi hari (hingga pukul 04.00 WIB)

agar tidak masuk kerja sebelum jam 16.00 WIB keesokan harinya, menyediakan mess

pekerja, dan mengadakan kegiatan senam rutin.

Saran

• Kebijakan mengenai waktu kerja maksimal sebaiknya kembali diperketat agar sesuai

dengan UU No. 13 tahun 2003 atau setidaknya diubah perlahan menjadi maksimal 11 --

12 jam dalam siklus 24 jam sehari, maksimal 60 jam seminggu.

• Menambah jumlah pekerja lapangan (buruh konstruksi) agak proses produksi dapat terus

berjalan sementara pekerja tetap bekerja dengan jam kerja (normal + lembur) yang baik

bagi kesehatan dan keselamatannya

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 17: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

• Memberikan waktu istirahat kerja (terutama pada jam ke-9 bekerja) dan waktu break

diantara waktu-waktu istirahat kerja

• Melakukan pengenalan situasi dan pelatihan pra-kerja pada pekerja yang direkrut

perusahaan sebelum mulai bekerja.

• Apabila pada lantai 1, 2, dan basement terlalu gelap, sebaiknya fasilitas penerangan seperti

lampu kerja ditambah jumlahnya atau diganti dengan radius sinar yang lebih luas.

• Disarankan agar disediakan minum bagi pekerja setiap lantai atau setiap 2 lantai untuk

memudahkan akses pekerja meminumnya, minimal 4-5 liter perorang.

• Sebaiknya, kondisi mess dapat diperbaiki suhu ruangnya dengan ventilasi, di fogging

secara rutin, dan tidak diperbolehkan melakukan aktivitas kerja seperti pengelasan, di

dekat mess.

• Menyediakan makanan yang sehat dan bergizi dengan harga yang terjangkau sebagai

makan yang dijual di kantin pekerja

• Memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai waktu kerja yang baik dan risiko yang

dapat terjadi apabila memaksakan tubuh untuk tetap bekerja saat tubuh seharusnya sudah

beristirahat (risiko kelelahan kerja).

• Disarankan melakukan promosi kesehatan mengenai healthy lifestyle

• Melakukan pemeriksaan kesehatan, terutama pada penyakit-penyakit yang berbahaya

(hazard-based) jika diderita oleh pekerja di proyek konstruksi (termasuk penyakit yang

dapat menjadi penyebab utama, memicu, atau memperparah kelelahan).

Daftar Pustaka

Adiatmika, I. (2009). Total Ergonomic Approach in Decreasing Quality of Fatigue of Metal Crafters. Indonesian Psychological Journal, 25(1), pp.71-78.

Anonim. (2013). Mengatasi DOMS (Delayed Onset Muscle Soreness) / Pegal Setelah Bangun Tidur | Cycling Indonesia. [online] Tersedia di: http://www.cycling-id.com/threads/mengatasi-doms-delayed-onset-muscle-soreness-pegal-setelah-bangun-tidur.993/ [Diakses pada 10 Juli 2017].

Atiqoh, J., et al. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Kerja pada Pekerja Konveksi Bagian Penjahitan di CV Aneka Garment Gunungpati Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol.2(2) pp.1-8.

Australian Safety and Compensation Council, 2006. Summary of Recent Indicative research: Work-Related Fatigue. Australian : Australian Government.

Beurskens, JHM 2000, ‘Fatigue among working people: validity of a questionnaire measure’ Occupational Environment Medicine, vol. 57, pp. 353 -- 357.

Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumhan Rakyat Republik Indonesia, (2016). Ekspor Jasa Konstruksi Indonesia Ditargetkan Mencapai Rp 6 Triliun. [online] PU-Net. Tersedia di: http://pu.go.id/m/main/view/11175 [Diakses pada 14 Desember 2016].

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 18: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Biswas, L. (2013). 8 Work-Phase of a Building Construction Project, BCT-2. [online ]Tersedia di: http://www.acivilengineer.com/2013/10/Work-Phases-of-a-building-Construction-BCT-2.html [Diakses pada 2 Januari 2017].

Boylan, I. (2011). Fatigue Management in the Workplace. [online] Tersedia di: http://www.bssnz.co.nz/files/d7d6b154869a5ea1097895f2b723727bn/47/Fatigue%20management%20-%20Better%20sleep%20solutions%20BSSNZ%20Expo16.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].

Bridger, R.S. (2003). Introduction to Ergonomics 2nd Edition. London: Taylor & Francis. Broemmel, M. (2010). Smoking & Fatigue. [online] livestrong.com. Available at: http://www.livestrong.com/article/261182-

smoking-fatigue/ [Diakses pada 25 April 2017]. Brown, J. and Antuñano, M.D., M. (n.d.). Circadian Rhythm Disruption and Flying. [online] Tersedia di:

https://www.faa.gov/pilots/safety/pilotsafetybrochures/media/Circadian_Rhythm.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016]. Buckworth, J 2013, Exercise Psychology (2nd Ed), Champaign IL: Human Kinetics. Cambridge Dictionary, (n.d.). Commute Meaning in the Cambridge English Dictionary. [online] Dictionary.cambridge.org.

Tersedia di: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/commute [Diakses pada 1 Januari 2017]. Cambridge University Press, (2015). Workload. [online] Tersedia di: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/workload

[Diakses pada 31 Desember 2016]. Canadian Centre for Occupational Health and Safety, (2012). Aging Workers. [online] Tersedia di:

https://www.ccohs.ca/oshanswers/psychosocial/aging_workers.html [Diakses pada 1 Januari 2017]. Canadian Centre for Occupational Health and Safety. (2012). Fatigue. [online] Tersedia di:

https://www.ccohs.ca/oshanswers/psychosocial/fatigue.html [Diakses pada 15 Desember 2016]. Caruso CC 2004, Overtime and Extended Work Shifts: Recent Findings on Illnesses, Injuries, and Health Behaviours [online]

Tersedia di: http://www.cdc.gov/niosh/docs/2004-143/pdfs/2004-143.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016]. Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Insufficient Sleep is a Public Health Problem. [online] Tersedia di:

http://www.cdc.gov/features/dssleep/ [Diakses pada 26 Desember 2016]. Darisman, M. (2011). OSH Status Report - Indonesia: Invisible Victims of Development. [online] Tersedia di:

http://www.amrc.org.hk/sites/default/files/Indonesia_1.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016]. Departemen Kesehatan RI 2011, Pedoman Praktis Memantau Status Gizi Orang Dewasa [online] Tersedia di:

http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/10/pedpraktis-stat-gizi-dewasa.doc [Diakses pada 28 Desember 2016]. Departemen Pekerjaan Umum RI, (2008). Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Konstruksi. [online] Tersedia di:

http://pu.go.id/uploads/services/infopublik20120418140900.pdf [Diakses pada 2 Januari 2017]. EHS Staff. (2001). Construction Supplement: Hydration -- Keeping Workers Cool and Comfortable. [online] Tersedia di:

http://ehstoday.com/news/ehs_imp_34497 [Diakses pada 10 Juli 2017]. Farlex, (2012). ergotropic. [online] Tersedia di: http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/ergotropic [Diakses pada 27

Desember 2016]. Gov.UK, (2016). Rest breaks at work [online] Tersedia di: https://www.gov.uk/rest-breaks-work/overview [Diakses pada 28

Desember 2016]. Grandjean, E 1979, ‘Fatigue in Industry’ British Journal of Industrial Medicine, vol. 36, pp. 175 -- 186. Gupta, AK 2006, Industrial Safety & Environment, New Delhi: Laxmi Publication (P) Ltd. Harper Collins Publishers, (n.d.). Commuting | Definition, meaning & more | Collins Dictionary. [online] Available at:

https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/commuting [Accessed 1 Jan. 2017]. Hastuti, D. (2015). Hubungan Antara Lama Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja Konstruksi di PT. Nusa Raya Cipta

Semarang. [online] Tersedia di: http://lib.unnes.ac.id/23122/1/6411411206.pdf [Diakses pada 16 Desember 2016]. Health and Safety Executive, (n.d.). What breaks am I entitled to under the working time regulations?. [online] Tersedia di:

http://www.hse.gov.uk/contact/faqs/workingtime.htm [Diakses pada 28 Desember. 2016]. Hide, S. et.al. (2003). Causal Factors in Construction Accidents. [online] Tersedia di:

http://www.hse.gov.uk/research/rrpdf/rr156.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016]. Hill, R. (1998). Stress and Fatigue Their Impact on Health and Safety in the Workplace. [online] Tersedia di:

http://www.worksafe.govt.nz/worksafe/information-guidance/all-guidance-items/stress-and-fatigue-their-impact-on-health-and-safety-in-the-workplace/stress.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].

Human and Safety Executive, (n.d.). Human Factors: Workload. [online] Tersedia di: http://www.hse.gov.uk/humanfactors/topics/workload.htm [Diakses pada 31 Desember 2016].

ICAO. 2002. Fundamental Human Factors Concepts. Civil Aviation Authority. International Labour Office Geneva, (2004). Overtime. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---

ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_170708.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016].

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 19: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

International Labour Office Geneva, (2004). Rest Periods. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_170718.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].

International Labour Organization, (2004). Shift Work [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_170713.pdf [Diakses pada 26 Desember 2016].

International Labour Organization, (2005). Facts on Safety at Work. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/documents/publication/wcms_067574.pdf [Diakses pada 14 Desember 2016].

International Labour Organization, (2011). Working time in the twenty-first century [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_161734.pdf [Diakses pada 25 Desember 2016].

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (n.d.). Informasi Cerdik: Istirahat. [online] Tersedia di: http://promkes.depkes.go.id/wp-content/uploads/pdf/publikasi_materi_promosi/Informasi%20CERDIK/6.%20Istirahat%20Cukup_285x285mm.pdf [Diakses pada 1 Januari 2017].

Keputusan Menteri Nomor 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Kroemer, K.H.E. & Grandjean, E. (1997). Fitting the Task to the Human 5th edition. Philadelphia: Taylor & Francis. Kurniawidjaja, L.M. (2011). Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. UI Press Kuswana, W.S. (2014). Ergonomi dan K3. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Künn-Nelen, A. (2015). Does Commuting Affect Health?. Health Economics, 25(8), pp.984-1004. Labour Department Occupational Safety and Health Branch Hong Kong, (2003). Guide on Rest Breaks. [online] Tersedia di:

http://www.labour.gov.hk/eng/public/os/D/B129.pdf [Diakses pada 28 Desember2016]. Lemeshow, S. and David, J. (1997) Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Limbong, N.et.al. (2015). Gambaran Pengukuran Kelelahan Kerja dengan Metode Objektif dan Subjektif Pada Tenaga Kerja di

PT. Sastramas Estetika Megamas Kota Manado. [online] Tersedia di: http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/Jurnal-Nugrah-Y.-Limbong.pdf [Diakses pada 16 Desember 2016].

Markkanen, P. (2004). Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_120561.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016].

Melati, S. (2013). Hubungan Antara Umur, Masa Kerja dan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja Pada Pekerja Mebel di Cv. Mercusuar dan Cv. Mariska Desa Leilem Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa. [online] Tersedia di: http://fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/Jurnal-Srini-Melati-091511186-KESKER.pdf [Diakses pada 31 Desember 2016].

Meterissian, S. (2008). Toil and Trouble?: Should Residents be Allowed to Moonlight?. Can Fam Physician, vol 54(10) pp.1367-1369.

Millar, M. (2012). Measuring Fatigue [online] Tersedia di: http://www.icao.int/safety/fatiguemanagement/FRMSBangkok/4.%20Measuring%20Fatigue.pdf [Diakses pada 27 Desember 2016].

Morrow, LS. (2010). The Psychosocial of Commuting: Understanding Relationships Between Time, Control, Stress, and Well-Being [Disertasi] Program Doktor, Filosofi Universitas Connecticut, Amerika Serikat.

Murti, B. (2010). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. National Health Service. (2015). Water, drinks and your health - Live Well - NHS Choices. [online] Tersedia di:

http://www.nhs.uk/Livewell/Goodfood/Pages/water-drinks.aspx [Diakses pada 10 Juli 2017]. National Health Service. (2015). Why am I tired all the time? - Live Well - NHS Choices. [online] Tersedia di:

http://www.nhs.uk/Livewell/tiredness-and-fatigue/Pages/why-am-I-tired.aspx [Diakses pada 10 Juli 2017]. O’Neill, C, Panuwatwanich, K 2013, The Impact of Fatigue on Labour Productivity: Case Study of Dam Construction Project in

Queensland ‘4th International Conference on Engineering, Project, and Production Management, pp. 993 -- 1005. Occupational Safety and Health Administration United States, (n.d.). Illumination. - 1926.56 | Occupational Safety and Health

Administration. [online] Tersedia di: https://www.osha.gov/pls/oshaweb/owadisp.show_document?p_table=STANDARDS&p_id=10630 [Diakses pada 31 Desember 2016].

Occupational Safety and Health Administration United States, (n.d.). OSHA's Campaign to Prevent Heat Illness in Outdoor Workers | Protective Measures to Take at Each Risk Level - Actions for High Risk Conditions: Heat Index is 103 degrees

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 20: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

F to 115 degrees F | Occupational Safety and Health Administration. [online] Tersedia di: https://www.osha.gov/SLTC/heatillness/heat_index/protective_high.html [Diakses pada 10 Juli 2017].

Parrington, T. (n.d.). Smoking & Fatigue. [online] eHow. Available at: http://www.ehow.com/about_5467658_smoking-fatigue.html [Diakses pada 25 April 2017].

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor

Kimia di Tempat Kerja. Priatno, T. (2000). Perbedaan Kelelahan Dengan Pemberian Air Minum Pada Pekerja Industri Pengecoran Logam Kembar Jaya

Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Price, M 2011, The Risks of Night Work [online] Tersedia di: http://www.apa.org/monitor/2011/01/night-work.aspx [Diakses

pada 28 Desember 2016]. Sa'abah, M. (2001) Bagaimana awet muda dan panjang usia. Jakarta: Gema Insani, pp.13-22. Safety Institute of Australia (SIA), 2012. OSH Body of Knowledge: Psychosocial Hazard Fatigue. Australian OHS Education

Accreditation Board. Safe Work Australia, (2013). Guide for Managing the Risk of Fatigue at Work [online] Tersedia di:

http://www.safeworkaustralia.gov.au/sites/SWA/about/Publications/Documents/825/Managing-the-risk-of-fatigue.pdf [Diakses pada 29 Desember 2016].

Safe Work Australia, (2015). Work-Related Injuries and Fatalities in Construction, Australia, 2003 to 2013. [online] Tersedia di: http://www.safeworkaustralia.gov.au/sites/SWA/about/Publications/Documents/926/fatalities-in-construction.pdf [Diakses pada 15 Desember 2016].

Saito, K. (1999). Measurement of Fatigue in Industries. Industrial Health, vol.37(2) pp.134-142. Skapinakis, Petros. Glyn, dan Howard Meltzer. 2000. Clarifying The Relationship Between Unexplained Chronic Fatigue and

Psychiatric Morbidity: Results From a Community Survey in Great Britain. Am J Psychiatry; 157:1492-1498. Sucita, I. K., Broto, A. B., 2011, Identifikasi dan Penanganan Risiko K3 Pada Pryek Konstruksi Gedung. Poli Teknologi Vol. 10

No.1, pp. 83 -- 92. Suma’mur, P.K. (2009). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sagung Seto. Susetyo, et.al. (2012). Pengaruh Shift Kerja Terhadap Kelelahan Karyawan dengan Metode Bourdon Wiersma dan 30 Items of

Rating Scale. Jurnal Teknologi AKPRIND, 5(1). Suyatno. (2009). Penentuan Status Gizi. [online] Tersedia di: suyatno.blog.undip.ac.id/files/2009/11/pengertian-penentuan-

status-gizi.pdf [Diakses pada 26 Desember 2016]. Tarwaka, et.al 2004, Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Produktivitas, Surakarta: Uniba Press. Tarwaka (2010). Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi dan Aplikasi di Tempat Kerja. Solo: Harapan Press

Solo. Theron, WJ, Heerden, GMJ 2011, ‘Fatigue Knowledge – a new lever in safety management’ The Journal of The Southern

African Institute of Mining and Metallurgy, vol. 111, pp.1 -- 10. Toyib, Y. (2015). Rencana Strategis 2015-2019 Menjadi Pembina Konstruksi dan Investasi yang Berintegritas Tinggi, Andal,

dan Kokoh. [online] Tersedia di: http://binakonstruksi.pu.go.id/v2/file/1456739044-renstra2015.pdf [Diakses pada 14 Desember 2016].

Tucker, P, Folkard, S 2012, Working Time, Health and Safety: a Research Paper Study [online] Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_protect/---protrav/---travail/documents/publication/wcms_181673.pdf [Diakses pada 28 Desember 2016].

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. White, J, Beswick, J 2003, Working Long Hours [online] Tersedia di: http://www.hse.gov.uk/research/hsl_pdf/2003/hsl03-02.pdf

[Diakses pada 25 Desember 2016]. Winwood, Peter.C, Kurt Lushington, Anthony H. Winefield. 2006. Further Development and Validation of The Occupational

Fatigue Exhaustion Recovery (OFER) Scale. JOEM. Volume 48 Number 4 WorkCover Tasmania. (2013). Fatigue Management. [online] Tersedia di:

http://worksafe.tas.gov.au/__data/assets/pdf_file/0004/288202/Fatigue_management_fact_sheet.pdf [Diakses pada 26 Desember 2016].

Work Safe New Zealand, (2014). Fatigue in Construction. [online] Tersedia di: http://www.worksafe.govt.nz/worksafe/information-guidance/all-guidance-items/fatigue-in-construction-fact-sheet/fatigue-in-construction-fact-sheet [Diakses pada 16 Desember 2016].

World Health Organization. (1996). Penuaan dan Kapasitas Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017

Page 21: Gambaran Kondisi Kelelahan Pekerja Konstruksi Pada

Zhang, M. et.al. (2015). Influence of Fatigue on Construction Workers’ Physical and Cognitive Function. [online] Tersedia di: http://occmed.oxfordjournals.org/content/early/2015/02/20/occmed.kqu215.full.pdf [Daikses pada 16 Desember 2016].

Gambaran kondisi ..., Azyyati Nabiilah Zahra, FKM UI, 2017