Upload
hoho-nienda
View
61
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan
oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi
respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan
sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus,
sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh
(Guyton, 2005).
Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu
keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai
dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana
sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu
eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial
oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida
arterial (PCO2) > 45 mmHg (Guyton, 2005).
Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan
gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60
mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai
dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi
menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik(Rahardjo, 2002).
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak,
susunan neuromuskular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem
kardiovaskuler. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan,
sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi
arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan
underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut
(Rahardjo, 2002; Price, 2006).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan.
b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran
klinis, etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas.
2. Tujuan Khusus
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Program Pendidikan
Profesi di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Pernapasan
Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan
Oksigen (O2) bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai
tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:(Guyton,
2005).
1. Ventilasi
a. Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari
luar tubuh ke alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-
alveoli. Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi.
Paru-paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara, yaitu
diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil rongga
dada, dan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau
memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi,
kontraksi diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah.
Kemudian selama ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat
elastis daya lenting paru (elastic recoil), dinding dada, dan struktur
abdominal akan menekan paru-paru (Guyton, 2005; Price, 2006).
Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot
interkostalis eksterna. Otot lain yang membantu adalah otot
sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum ke atas, otot
serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot
skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang
berperan saat ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot
interkostalis interna. Kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, jadi
inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada
bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan elastik paru
sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energy
(Guyton, 2005; Price, 2006).
1) Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intraalveolar) lebih
rendah dari tekanan udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan
dapat berkisar antara -1mmHg sampai dengan -3mmHg. Pada saat
inspirasi dalam tekanan intraalveolar dapat mencapai -30mmHg.
Menurunnya tekanan intrapulmonar pada waktu inspirasi
disebabkan oleh mengembangnya rongga thoraks karena
berkontraksinya otot-otot inspirasi (Guyton, 2005; Price, 2006).
Proses inspirasi:
Kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna
Volume thorax membesar Tekanan Intrapleura menurun
Paru mengembang Tekanan intraalveolar menurun Udara
masuk ke dalam paru (Guyton, 2005).
2) Ekspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada
tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan
intrapulmonar meningkat bila volume rongga paru mengecil yang
terjadi saat otot-otot inspirasi berelaksasi. Pada proses ekspirasi
biasa tekanan intraalveolar berkisar antara +1mmHg sampai
+3mmHg (Guyton, 2005).
Proses ekspirasi:
Otot inspirasi relaksasi volume thoraks mengecil
tekanan intrapleura meningkat volume paru mengecil
tekanan intra alveolar meningkat udara bergerak keluar paru
(Guyton, 2005).
3) Tekanan Intrapleura
Tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan
pleura viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara
dan mempunyai tekanan negatif kurang lebih -4mmHg
dibandingkan dengan tekanan intraalveolar (Guyton, 2005).
4) Volume pernapasan semenit
Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran
pernapasan tiap menit, dan ini sesuai dengan volume alun napas
(volume Tidal/VT) dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT
normal kira-kira 500ml dan frekuensi pernapasan normal kira-kira
12 kali permenit. Oleh karena itu, volume pernapasan semenit
rata-rata sekitar 6 liter/menit (Guyton, 2005).
b. Ventilasi Alveolar (VA)
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena
O2 pada tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses
difusi. Besarnya ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya
udara yang masuk atau keluar paru, laju napas, udara dalam jalan
napas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara masuk atau keluar
paru dalam setiap kali bernapas disebut sebagai Volume Tidal (VT)
yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT normal pada
orang dewasa berkisar 500 – 700 ml. Volume napas yang berada di
jalan napas dan tidak ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead
Space (VD) atau Ruang Rugi dengan nilai normal sekitar 150 – 180 ml
yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2) Alveolar
Dead Space, dan (3) Physiologic Dead Space (Guyton, 2005; Price,
2006).
Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di
dalam mulut, hidung dan jalan napas yang tidak terlibat dalam
pertukaran gas. Alveolar Dead Space yaitu volume napas yang telah
berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran gas yang dapat
disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah atau udara
yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah
pada alveoli tersebut (Guyton, 2005).
Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang
masuk dalam alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan
lainnya) setiap menit. Ini sama dengan frekuensi napas dikalikan
dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli setiap kali bernapas:
VA = (VT – VD) x RR
VA: Ventilasi Alveolar
VT: Volume Tidal
VD: Volume dead space/ ruang rugi
RR: Respiration Rate
Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan
kurang lebih 40 mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi
ventilasi. Hiperventilasi alveolar adalah VA yang diperlukan untuk
kebutuhan metabolisme tubuh dan direfleksikan dengan PaCO2
kurang dari 40 mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar adalah VA
yang diperlukan untuk metabolisme tubuh dengan PaCO2 lebih dari
40 mmHg (Guyton, 2005)..
2. Difusi
Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya
dalam proses pernapasan adalah difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah
paru dan difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis
antara alveolus dan kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga
udara pernapasan sampai di alveoli untuk mengadakan pertukaran gas.
Kecepatan difusi dipengaruhi oleh 4 faktor utama (Guyton, 2005) :
a. Karakteristik gas, perbedaan tekanan parsial antar gas di alveoli dan di
dalam plasma.
b. Jarak yang harus dilalui proses difusi
1) Variabel membran dinding alveolar dan kapiler
2) Ketebalan jaringan
3) Permukaan area
4) Sifat membran dan koefisien difusi gas, kelarutan gas, sifat
fisikokimia
c. Konsentrasi eritrosit di capillary bed dan volume rata-rata di dalam
kapiler.
d. Kecepatan uptake gas oleh kapiler darah normal atau rata-rata eritrosit
atau volume kapiler/mmHg.
Terjadinya difusi O2 dan CO2 ini karena adanya perbedaan tekan
parsial. Tekanan udara luar sebesar 1 atm (760 mmHg), sedangkan
tekanan parsial O2 di paru-paru ±760 mmHg. Tekanan parsial pada kapiler
darah arteri ±100 mmHg, dan di vena ± 40mmHg. Hal ini menyebabkan
O2 berdifusi dari udara ke dalam darah. Sementara itu, tekanan parsial CO2
dalam vena ±47 mmHg, tekan parsial CO2 dalam arteri ±41 mmHg dan
tekan parsial dalam alveolus ±40mmHg. Oleh karena itu CO2 berdifusi
dari darah ke alveolus (Guyton, 2005).
Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan darah,
kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang
tercipta oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel-sel dan pemasukan teru-
menerus O2 segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah
yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian
antara darah dan alveolus, akibat gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta
oleh produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus
CO2 alveolus oleh proses ventilasi (Guyton, 2005).
3. Transport O2 dan CO2
Bila O2 telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, O2
terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler
jaringan, dimana O2 dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya
hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk
mengangkut 30-100 kali jumlah O2 yang dapat ditranspor dalam bentuk O2
terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan, O2 bereaksi
dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar
karbondioksida (CO2). Karbondioksida kemudian masuk ke dalam kapiler
jaringan dan ditranspor kembali ke paru-paru (Guyton, 2005).
Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1)
secara fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi
berikatan dengan hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira
sebesar 97% O2 ditranspor melalui cara ini. Ikatan kimia O2 dengan Hb ini
bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk
ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah
arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam
plasma darah (Guyton, 2005).
Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai
hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PaO2).
Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transpor
seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam
keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang
terdapat dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya
keracunan karbonmonoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb),
O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk
larutan fisik dengan memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari
tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik) (Guyton, 2005).
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk
memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan
jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan
dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena
campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan
untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat
jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan
menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna
merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri
(Guyton, 2005).
Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan
dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena
tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2
berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel
darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma
(HCO3-). Karbondioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini
(Guyton, 2005) :
CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-
Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam
bikarbonat-karbonat. Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat
dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya
hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme
yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH darah melebihi
pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi
(ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme)
menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2
seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser
ke kiri sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH),
dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan,
menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH) (Guyton, 2005).
4. Pengaturan ventilasi
Tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga homeostasis
tekanan parsial oksigen dan karbondioksida arterial (PaO2 dan PaCO2)
serta pH. Tiga unsur dasar pengaturan ventilasi adalah:
a. Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan
mengirimkan melalui serabut saraf aferen ke pusat kontrol di otak
b. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke
efektor
c. Efektor (otot-otot pernapasan) sehingga timbul ventilasi
Tidak seperti pacemaker jantung, pacemaker pernapasan tidak
dijumpai di paru tetapi terletak di medulla batang otak, yang terdiri dari
beberapa komponen dan subsentral yang berinteraksi sehingga
menghasilkan napas yang ritmik. Output dari pusat pernapasan ini
ditransmisikan melalui nn.phrenicus ke diafragma dan melalui saraf-saraf
lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central ini dipengaruhi oleh
sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun
kimiawi (Guyton, 2005).
Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari
batang otak. Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan
(kontrol volunteer). Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada
kondisi tertentu.
a. Pusat Pernapasan
Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak
yaitu (Guyton, 2005) :
1) Medullary Respiratory Centre
Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla, terdiri dari dua
bagian, yaitu:
a) Inspiratory area: sel-sel neuron terletak di region dorsalis
medulla yaitu nucleus ductus solitaries, bertanggung jawab
pada pengaturan ritme ventilasi.
b) Expiratory area: sel-sel neuron terletak di region anterior
medulla (nucleus ambiguous dan nucleus retroambiguous).
Nuclei ini tidak aktif pada pernapasan normal, karena ventilasi
dicapai dengan kontraksi otot-otot inspirasi (terutama
diafragma) diikuti relaksasi pasif sampai terjadi keseimbangan.
Pada kondisi tertentu (misalnya olahraga) ekspirasi akan aktif
sebagai aktifitas sel-sel ekspirasi.
c) Apneustic centre: terletak di bagian bawah pons. Akibat
aktifitas impuls dari bagian ini, akan berakibat perpanjangan
waktu inspirasi. Pada kondisis normal kerja apneustic centre
pada manusia tidak diketahui, namun pada trauma otak yang
berat tipe pernapasan ini akan tampak.
d) Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para
brachialis. Aktifitas sentra ini mengatur volume inspirasi dan
rate inspirasi. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kerja
bagian ini adalah sebagai “fine tuning” dari irama pernapasan.
2) Cortical Center
Input kortikal pada sentra respirasi akan menghasilkan respirasi
yang bersifat kontrol voluntary.
3) Bagian Lain Otak
Bagian lain dari otak seperti sistem limbik dan hipotalamus dapat
merubah pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan
ketakutan.
b. Efektor
Otot-otot efektor respirasi termasuk di dalamnya adalah
diafragma, mm.intercostalis, mm.Abdominalis, dan
m.sternokleidomastoideus, berada dalam kendali setara pernapasan.
Bayi baru lahir, terutama prematur, otot-otot respirasi belum
terkoordinasi, terutama selama tidur.
c. Sensor
1) Central Chemoreceptor
Sel yang berada pada sentrum ventilasi, yang mana sensitif
terhadap perubahan pH cairan ekstraseluler. Perubahan cairan
ekstraseluler diperngaruhi oleh PaCO2, karena CO2 akan diubah
menjadi HCO3. Aktivitas ventilasi akan meningkat yang
merupakan akibat dari kenaikan CO2 atau sebaliknya.
Karbondioksida akan dengan mudah melintasi sawar darah otak,
sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO2 (2-3 mmHg) akan
dengan cepat merubah ventilasi permenit.
2) Peripheral Chemoreceptor
Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang arcus aorta.
Kecepatan aliran darah pada badan carotis berhubungan dengan
diameter pembuluh darah, yang akan diikuti respon ventilasi pada
perubahan PaO2 dan kurang tanggap terhadap perubahan PaCO2.
B. Definisi Gagal Nafas
Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat
ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme
(eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-
sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal (Anonim, 2010).
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2).
PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50
mmHg), kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis
metabolik (Anonim, 2010).
Pada PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia,
berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] =
0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan pada PaCO2 > 45
mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis
metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan
menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah.
Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih
dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini dianggap sebagai
gagal napas tipe hiperkapnia (Anonim, 2010; Kaynar, 2010).
C. Klasifikasi Gagal Nafas
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia
dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi
gagal napas akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam
waktu menit sampai jam, pH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik
berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal
mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu
biasanya PH hanya menurun sedikit (Kaynar, 2010).
1) Gagal Nafas Hipoksemia
Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal
napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah
tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari
gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi
alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau
saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia
menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau
sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa
peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru,
asma, dan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) (Anonim, 2002;
Kaynar, 2010).
Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah
arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler,
vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan
rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam
hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke
jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan (Anonim,
2002; Kaynar, 2010).Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia.
Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena
faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan
karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal (Anonim,
2002; Kaynar, 2010).
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan
utama, yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh
campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi
rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan
di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki
kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah
vena sistemik. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2
alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang
bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena) (Anonim,
2002; Kaynar, 2010).
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-
shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur
dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran
arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2
diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1).
Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan
aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung kongenital dengan defek
septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis
lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat
(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
Ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi merupakan penyebab
hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasi-perfusi.
Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi
daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan
ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut.
Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih
dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit (Anonim, 2002;
Kaynar, 2010).
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari
gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia
arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus
karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya
hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi
hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada
pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon
ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di
ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar
membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi
hemoglobin dan keadaan perfusi pasien (Anonim, 2002; Kaynar, 2010)
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan
pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam
laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan
merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan
gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir
abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status
mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan
otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat.
Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan
vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi,
dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta
menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung
(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada
gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien
dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi
dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional
pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik
yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial
ringan (Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
2) Gagal Nafas Hiperkapnia
Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia
mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat
dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka
pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-
sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin
normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama
jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding
dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis
yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan
asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory
Distress syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia
(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang
terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas
dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat
karena hiperkapnia akut (Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama
sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai
kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah
lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis
lain daripada nilai PaCO2 mutlak (Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala
hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal,
pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang
meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang
menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea,
dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea
(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).
Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk
menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas
hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan
penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai
dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan
PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula
mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuskuler
yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi (Anonim, 2002;
Kaynar, 2010).
D. Penyebab Gagal Nafas
Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuskuler, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem
kardiovaskuler (Rahardjo, 2002) :
1. Otak
Neoplasma, epilepsi, hematoma subdural, keracunan morfin
2. Susunan Neuro-muskular
Miastenia gravis, polyneuritis, demyelinisasi, analgesia spinal tinggi,
pelumpuh otot
3. Dinding toraks dan diafragma
Luka tusuk toraks dan ruptur diafragma
4. Paru
Asma, infeksi paru, benda asing, pneumothoraks, hemathoraks, edema
paru, ARDS, aspirasi)
5. Kardiovaskuler
Gagal jantung dan emboli paru)
6. Pasca bedah toraks
E. Patofisiologi
1. Hipoventilasi
Penyebab hipoventilasi antara lain gangguan pada pusat nafas
(depresi karena obat-obatan), gangguan pada neuromuskuler (kelumpuhan
otot pernafasan, kerusakan persyarafan otot pernafasan), gangguan /
kelainan dinding dada (kegemukan, kifoskoliosis, Sikatriks dinding dada).
Hipoventilasi akan menyebabkan hipoksemia dan. Hipoksemia akibat
hipoventilasi ditandai dengan normalnya perbedaan tekanan parsial O2 di
alveoli dan di arteri dan dapat dikoreksi dengan pemberian terapi O2
2. V/Q mismatch (ketidak imbangan antara ventilasi dan perfusi)
Merupakan penyebab tersering gagal nafas akut. Pada V/Q yang
rendah (akibat hipoventilasi, atau ventilasi yang normal namun perfusi
yang relatif tinggi) akan terjadi hipoksemia dan hiperkapnia. Sedang pada
V/Q yang tinggi biasanya tidak mempengaruhi gangguan difusi gas,
kecuali bila gangguannya sangat ekstrim.
3. Shunt
Keadaan dimana darah yang tidak teroksigenasi bercampur dengan
darah yang teroksigenasi. Percampuran yang tidak normal tersebut bisa
terjadi di jantung atau diluar jantung. Di jantung, biasanya akibat kelainan
jantung bawaan(VSD, ASD), sedang diluar jantung yaitu di paru,
seringkali akibat pneumonia, atelektasis, edema paru yang hebat. Dalam
keadaan normal shunt juga ter jadi, namun hanya sekitar 2_3 % saja. Pada
shunt jarang terjadi hiperkapnia, kecuali bila shunt > 60%, namun
hipoksemia yang terjadi sulit bisa dikoreksi dengan terapi O2
F. Manifestasi Klinis
a. Tanda
1) Gagal nafas total: aliran udara di mulut, hidung tidak dapat
didengar/dirasakan. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi
supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada
inspirasi. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan
ventilasi buatan
2) Gagal nafas parsial: terdengar suara nafas tambahan dan ada terdapat
retraksi dada.
b. Gejala
1) Hiperkapni yaitu penurunan kesadaran
2) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
G. Diagnosis Gagal Nafas Akut
Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien.
Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari
sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat
terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara
mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri
(arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang
dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya)
(Amin, 2006; Anonim, 2010).
H. Tatalaksana Gagal Nafas Akut
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),
dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas
tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah:
membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan,
serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal
nafas tersebut (Latief, 2002).
1. Gagal napas hiperkapnea
Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana
suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga
diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi
alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan
napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk,
drainase postural, atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan
selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan
untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal
sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator
mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada
pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan
hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus
tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa
karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat
serum (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia,
terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen
tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan
hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan
disesuaikan secara hati-hati. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik
karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien
dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, dan
penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan
terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru
obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema (Amin, 2006; Kaynar,
2010)
2. Gagal Napas Hipoksemia
Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas
hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi
respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnea,
tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan
otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada
anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus
dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik
harus diatasi (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada
semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada
posisi dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat
berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya
gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak
boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret
ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi, paru akan jarang
mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit
area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen (Amin,
2006; Kaynar, 2010).
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan
nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya.
Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan pengobatan spesifik ditujukan
untuk mengatasi penyebabnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
1. Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi
gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang
lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai
dengan etiologi penyakitnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut :
a. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan
tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic
drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi
inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi
sampai 34°C atau pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan
secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian oksigen dapat
dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka
tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila
ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur
dari 21-100%.
b. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari
cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut
akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratorik, hal
ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali
dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru
kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan
hiperkapnia kronik dengan pH darah tidak banyak berubah karena
sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis
respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.
Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat
menyebabkan pH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini
justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit
darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung
seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2
harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.
1) Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan
hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi
jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka
dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver),
biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian
atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik,
maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema
laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring
atau pipa trakea.
2) Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap,
bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth)
atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien
masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan
ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB
(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang
dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan
inspirasi maka tekanan negatif yang ditimbulkan akan
menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak
sesuai yang diatur.
3) Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan
dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh
ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedatif,
narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan
parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
4) Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga
untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan
baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien
melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-
tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan
drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan
ventilator.
2. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-
kadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti
operasi atau bronkoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat
dilihat pada tabel (Kaynar, 2010).
BAB III
KESIMPULAN
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan
menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas
hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.
Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal
napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding
thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien
dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri adekuat,
sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease,
yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://www.faqs.org/health/topics
Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://www.healthnewsflash.com
Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC.
Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada