G99131088_bab2

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    1/17

     

    3

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A.  Tinjauan Pustaka

    1.  Kelembaban

    a.  Definisi Kelembaban

    Kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air di

    atmosfer. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di

    udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak (absolut),

    kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air (Kadir,

    2006).

    Total massa uap air per satuan volume udara disebut sebagai

    kelembaban absolut (absolute humidity, umumnya dinyatakan dalam

    satuan kg/m3). Kelembaban relatif adalah perbandingan antara tekanan

    uap air aktual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi

     jenuh. Umumnya dinyatakan dalam persen (Lakitan, 2002).

     b.  Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kelembaban Udara

    Tinggi rendahnya kelembaban udara di suatu tempat sangat

     bergantung pada beberapa faktor yaitu :

    1) Suhu

    Udara dapat menyerap air dalam bentuk uap. Banyaknya uap

    air yang diserap tergantung dari suhu udara dan tersedianya air.

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    2/17

    4

    Makin tinggi suhu udara makin banyak air yang dapat diserap

    (Soemarto, 1986).

    2) Tekanan udara

    Tekanan udara juga mempengaruhi kelembaban udara di

    mana apabila tekanan udara pada suatu daerah tinggi maka

    kelembabannya juga tinggi, hal ini disebabkan oleh kapasitas

    lapang udaranya yang rendah (Yuniarba, 2012).

    3) 

    Pergerakan angin

    Adanya angin memudahkan proses penguapan yang terjadi

     pada air laut menguap ke udara. Besarnya tingkat kelembaban ini

    dapat berubah menjadi air dan terjadi pembentukan awan

    (Yuniarba, 2012).

    4) 

    Kuantitas dan kualitas penyinaran

    Kandungan uap air di udara akan meningkat jika banyak air

    yang berubah dari bentuk cair ke bentuk gas. Proses ini dapat

     berlangsung jika ada masukan energi yaitu matahari (Lakitan,

    2002).

    5) 

    Vegetasi

    Jika tumbuhan tersebut kerapatannya semakin rapat maka

    kelembabannya juga tinggi hal ini disebabkan oleh adanya seresah

    yang menutupi pada permukaan tanah sangat besar sehingga

     berpengaruh pada kelembabannya. Bahkan sebaliknya apabila

    kerapatannya jarang maka tingkat kelembabannya juga rendah

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    3/17

    5

    karena adanya seresah yang menutupi permukaan tanah ini sedikit

    (Yuniarba, 2012).

    2.  Paru Manusia

    a.  Anatomi Saluran Pernapasan Bawah

    Anatomi saluran pernapasan bawah terdiri dari:

    1) Trakea

    Trakea adalah struktur fibroelastik yang kaku. Kartilago

    hialin berbentuk setengah cincin yang saling menyambung

    mempertahankan bentuk lumen trakea. Bagian dalam trakea

    dibatasi oleh epitel kolumner bersilia. Permukaan posterior trakea

    agak pipih dibandingkan sekelilingnya karena cincin tulang rawan

    di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di depan esofagus

    (lihat gambar 2.1). Trakea berawal setinggi kartilago krikoid di

    leher (C6) dan berakhir setinggi angulus Ludovici (T4/5) dimana

    terjadi bifurkasio menjadi bronkus utama kanan dan kiri. Tempat

    trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri dikenal

    sebagai karina (Faiz dan Moffat, 2004;Wilson, 2006).

    2) 

    Bronkus dan Segmen Bronkopulmonalis

    Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama

    kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan bronkus

    utama kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya

    hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus utama kiri lebih panjang dan

    lebih sempit dibandingkan dengan bronkus utama kanan dan

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    4/17

    6

    merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam

    (Wilson, 2006).

    Bronkus utama kiri memasuki hilus dan terbagi menjadi

     bronkus lobus superior dan inferior. Bronkus utama kanan bercabang

    menjadi bronkus ke lobus atas sebelum memasuki hilus dan begitu

    masuk hilus terbagi menjadi bronkus lobus medial dan inferior. Tiap

     bronkus lobus bercabang menjadi bronki segmental. Tiap bronkus

    segmental memasuki sebuah segmen bronkopulmonalis (Faiz dan

    Moffat, 2004).

    Tiap segmen bronkopulmonalis berbentuk piramid dengan

    apeks ke arah hilus. Segmen merupakan unit struktural lobus yang

    memiliki bronkus segmental, arteri, dan sistem limfatikus sendiri

    (Faiz dan Moffat, 2004).

    3) Bronkiolus

    Percabangan bronkus berjalan terus menjadi bronkus yang

    ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus

    terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung

    alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis

    tengah kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin

    tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya

    dapat berubah (Wilson, 2006).

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    5/17

    7

    4) 

    Asinus

    Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang

    merupakan unit fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas.

    Asinus terdiri dari (1) bronkiolus respiratorius, yang terkadang

    memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya (2)

    duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan (3) sakus

    alveolaris terminalis, yaitu struktur akhir paru (lihat gambar 2.2).

    Asinus atau kadang-kadang disebut lobulus primer memiliki garis

    tengah kira-kira 0,5 sampai 1,0 cm. Alveolus dipisahkan dari

    alveolus di dekatnya oleh dinding tipis atau septum. Lubang kecil

     pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn (Wilson, 2006).

    Gambar 2.1. Trachebronchial Tree (Seeley et al., 2008)

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    6/17

    8

    Gambar 2.2. Bronkiolus dan Alveolus (Seeley et al., 2008)

    Gambar 2.3. Alveolus dan Membran Respiratorius (Seeley et al., 2008)

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    7/17

    9

    Menurut Seeley et al.,(2008), ada dua tipe bentuk sel pada

    dinding alveoli (lihat gambar 2.3). Pneumosit tipe I merupakan

    epitel skuamous simpleks yang melapisi 90% dari permukaan

    alveoli. Sebagian besar pertukaran gas antara udara alveoli dengan

    darah terjadi pada sel ini. Pneumosit tipe II berbentuk bulat atau

    kuboid merupakan sel sekretoris yang memproduksi surfaktan.

     b.  Fisiologi Sistem Pernapasan

    Sistem pernapasan mempunyai peran atau fungsi menyediakan

    oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) dari

    tubuh. Fungsi penyediaan O2 serta pengeluaran CO2 merupakan fungsi

    yang vital bagi kehidupan. O2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh

    yang harus dipasok terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan

    toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh. Bila tertumpuk di dalam

    darah akan menurunkan pH sehingga menimbulkan keadaan asidosis

    yang dapat mengganggu faal badan bahkan dapat menyebabkan

    kematian (Alsagaff dan Mukty, 1995)

    Menurut Seeley et al., (2008), sistem pernapasan diperlukan

    karena semua sel hidup tubuh memerlukan oksigen dan menghasilkan

    karbon dioksida. Sistem pernapasan membantu dalam pertukaran gas

    dan melakukan fungsi-fungsi lain juga seperti :

    1)  Pertukaran gas, memungkinkan oksigen dari udara untuk

    memasuki darah dan karbondioksida untuk meninggalkan darah.

    Sistem kardiovaskular mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    8/17

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    9/17

    11

    2) 

    Volume residu (RV), yaitu jumlah gas yang tersisa di paru-paru

    setelah menghembuskan nafas secara maksimal atau ekspirasi

     paksa. Nilai normalnya adalah 1200 ml.

    3)  Kapasitas vital (VC), yaitu jumlah gas yang dapat diekspirasi

    setelah inspirasi secara maksimal. VC = VT + IRV + ERV

    (seharusnya 80% TLC). Besarnya adalah 4800 ml.

    4)  Kapasitas total paru-paru (TLC), yaitu jumlah total udara yang

    dapat dimasukan ke dalam paru-paru setelah inspirasi maksimal.

    TLC = VT + IRV + ERV + RV. Besarnya adalah 6000 ml.

    5) 

    Kapasitas residu fungsional (FRC), yaitu jumlah gas yang

    tertinggal di paru-paru setelah ekspirasi volume tidal normal.

    FRC = ERV + RV. Besarnya berkisar 2400 ml.

    6) 

    Kapasitas inspirasi (IC), yaitu jumlah udara maksimal yang dapat

    diinspirasi setelah ekspirasi normal. IC = VT + IRV. Nilai

    normalnya sekitar 3600 ml.

    7)  Volume cadangan inspirasi (IRV), yaitu jumlah udara yang dapat

    diinspirasi secara paksa sesudah inspirasi volume tidal normal.

    8) 

    Volume cadangan ekspirasi (ERV), yaitu jumlah udara yang dapat

    diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal normal.

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    10/17

    12

    Gambar 2.4. Volume Paru dan Kapasitas Paru (Seeley et al., 2008)

    d. 

    Pengukuran Faal Paru

    Beberapa parameter yang dapat menggambarkan fungsi

     pernapasan antara lain adalah:

    1)  Kapasitas vital paksa (FVC) adalah pengukuran kapasitas vital

    yang didapat dari ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin.

    Volume udara ini pada keadaan normal nilainya kurang lebih

    sama dengan kapasitas vital (VC), tetapi pada pasien yang

    mengalami obstruksi akan terlihat pengurangan yang nyata, akibat

    adanya hambatan pada ekspirasi dan udara terperangkap di dalam

     paru-paru.

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    11/17

    13

    2) 

    Volume ekspirasi paksa (FEV) yaitu volume udara yang dapat

    diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. Biasanya FEV diukur

    selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan dan disebut

    FEV1. FEV sangat penting untuk mengetahui adanya gangguan

    kapasitas ventilasi.

    (Ikawati, 2007)

    Indikator-indikator ini dapat diperoleh dari pengukuran

    menggunakan spirometer, baik spirometer konvensional maupun

    elektronik. Dengan pemeriksaan spirometrik dapat diketahui atau

    ditentukan semua volume pernapasan kecuali volume residu serta

    semua kapasitas pernapasan kecuali kapasitas pernapasan yang

    mengandung komponen volume residu seperti kapasitas paru total

    dan kapasitas residu fungsional (Alsagaff dan Mukty,

    1995;Ikawati, 2007).

    3)   Peak expiratory flow (PEF) yaitu kecepatan hembusan maksimum

    (dinyatakan dalam liter/menit) yang diukur pada 10 milidetik

     pertama ekspirasi. PEF lebih mudah diukur dengan menggunakan

    alat yang disebut  peak-flow-meter.  Nilai PEF juga seringkali

    dipakai untuk menentukan derajat keparahan penyakit obstruksi,

    walau tidak sevalid nilai FEV1/FVC (Ikawati, 2007). 

    e.  Rasio FEV1 

    Menurut Wilson (2006) dan Brewis et al.,(1995), sebaiknya

    selalu dihubungkan dengan FVC atau VC. Individu normal dapat

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    12/17

    14

    menghembuskan napas sekitar 80% dari kapasitas vitalnya dalam satu

    detik, dinyatakan sebagai rasio FEV1. Rasio FEV1  diterapkan secara

    luas sebagai indeks dari ada atau tidak adanya hambatan aliran udara.

    Tidak banyak perbedaan apakah FVC atau VC yang dipergunakan

    sebagai rasio. Hasilnya kurang lebih sama.

    Sedangkan menurut Mengkidi (2006), FEV1  yaitu besarnya

    volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Adanya

    obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik

     pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi

     pada perbandingan dengan FVC nya. Bila FEV1/FVC kurang dari 75

    % berarti abnormal. 

    Gambar 2.5. Rasio FEV1 (Almostadoctor, 2011)

    f.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasio FEV1 

    Faktor-faktor yang mempengaruhi rasio FEV1 adalah :

    1)  Usia

    Usia memiliki pengaruh yang besar pada penurunan fungsi paru.

    Penuaan menyebabkan kemungkinan kehilangan elastisitas paru-

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    13/17

    15

     paru, yang dapat menyebabkan penutupan saluran napas prematur

    dan penjebakan udara selama ekspirasi paksa. Penuaan juga

     berhubungan dengan peningkatan pengembangan dinding dada,

    dan penurunan kekuatan otot-otot pernafasan, yang semuanya

    mengarah pada penurunan fungsi paru (Ingram, 2006).

    2)  Merokok

    Menurut Mangesiha dan Bakele (1998), terdapat hubungan yang

    signifikan antara kebiasan merokok dan gangguan saluran

     pernapasan. Hal yang serupa menurut Ingram (2006), seseorang

    yang memiliki riwayat merokok dan saat ini masih merokok

    memiliki dampak negatif pada fungsi paru. Terus-menerus

    merokok meyebabkan penurunan fungsi paru yang lebih besar

    dan menyebabkan semakin memburuknya penyakit pernapasan.

    Pada perokok aktif terjadi penurunan FEV1 , FVC, dan rasio FEV1 

    dibandingkan dengan bukan perokok.

    3)  Jenis Kelamin

    Pada dewasa, kapasitas paru paru laki-laki berbeda dengan

     perempuan. Perempuan memiliki efisiensi paru yang lebih

    sedangkan laki-laki memiliki kapasitas residu yang lebih besar.

    Perempuan memiliki nilai FEV1  dan FVC yang lebih rendah

    tetapi rasio FEV1 lebih tinggi daripada laki-laki (Ingram, 2006).

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    14/17

    16

    4) 

     Body Mass Index (BMI)

    Efek BMI pada fungsi paru lebih tinggi pada laki-laki dan tidak

     bergantung pada usia. Semakin turun berat badan seseorang,

    fungsi parunya semakin meningkat, dan semakin naik berat badan

    seseorang maka fungsi parunya semakin menurun (Ingram, 2006).

    5)  Aktivitas Fisik

    Ada perbedaan pendapat tentang pengaruh aktivitas fisik terhadap

    fungsi paru. Penelitian yang dilakukan oleh Kljin et al., (2005),

     pasien dengan cystic fibrosis mengungkapkan bahwa nilai setelah

     follow up  pada kelompok pelatihan aerobik dan non-aerobik;

    aktivitas fisik tidak mempengaruhi fungsi paru di kedua

    kelompok. Penelitian oleh Cheng et al., (2003), menyimpulkan

     bahwa peningkatan aktivitas fisik juga meningkatkan FEV1  dan

    FVC tapi tidak ada perbedaan pada rasio FEV1.

    3.  Hubungan Kelembaban yang Tinggi dengan Rasio FEV1 

    Menurut Baughman dan Arens (1996), pengaruh utama

    kelembaban pada kesehatan adalah melalui biologi polutan. Garis besar

     berikut ini menjelaskan masalah kesehatan yang paling sering dikaitkan

    dengan biologi polutan. Penyakit menular (patogen): bakteri (misalnya,

    Streptococcus, Legionella), virus (misalnya, common cold , influenza),

     jamur (misalnya,  Aspergillus fumigatus), dan reaksi alergi (misalnya,

    asma, rhinitis): tungau debu.

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    15/17

    17

    Kelembaban mempengaruhi konsentrasi beberapa polutan di dalam

    ruangan. Sebagai contoh, kelembaban yang tinggi menahan udara yang

     basah dan meningkatkan kemungkinan pertumbuhan jamur. Jamur

    tumbuh tidak memerlukan kehadiran air, tetapi dapat terjadi ketika

    kelembaban relatif yang tinggi atau properti higroskopik (kecenderungan

    untuk menyerap dan menahan uap lembab) dari permukaan bangunan

    yang memberikan kecukupan uap lembab untuk terakumulasi (EPA,

    2008;EPA, 2011).

    Menurut Saksono dalam Setyaningsih et al., (1998), kelembaban

    sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya

    mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi.

    Polutan nonbiological, seperti formaldehida, ozon, oksida nitrogen,

    dan sulfur, mempengaruhi kesehatan manusia terutama melalui iritasi

    kimia pada selaput lendir. Formaldehida dilepaskan ke dalam ruangan

    dari bahan bangunan tergantung pada kelembaban atmosfer. Surface

    reaction, dan jumlah kadar toksisitas ozon, nitrogen oksida (NOx) dan

    oksida sulfur (SOx) di udara, mungkin dipengaruhi oleh tingkat

    kelembaban. Beberapa peningkatan hamburan debu selalu terdeteksi

     pada tingkat kelembaban yang tinggi, bahkan di kondisi sangat berdebu-

     pun (Baughman dan Arens, 1996;Howell et al, 2006).

    Udara dalam keadaan tercemar, partikel polutan ikut terinhalasi dan

    sebagian akan masuk ke dalam paru. Selanjutnya sebagian partikel akan

    mengendap di alveoli. Dengan adanya pengendapan partikel dalam

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    16/17

    18

    alveoli, ada kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru (Mengkidi,

    2006).

    FEV1 yaitu besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu

    detik pertama. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya

    volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai

    absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC nya. Bila FEV1/FVC

    kurang dari 75 % berarti abnormal (Mengkidi, 2006).

  • 8/20/2019 G99131088_bab2

    17/17

    19

    B.  Kerangka Pemikiran

    Keterangan :

    : Variabel luar terkendali

    C.  Hipotesis

    1.  Ada hubungan antara kelembaban udara yang tinggi dengan rasio FEV1.

    2.  Arah hubungan negatif antara kelembaban udara yang tinggi dengan

    rasio FEV1.

    1. Pertumbuhan mikroorganisme, jamur, dan

     bakteri

    2. Polusi udara yang meningkat

    Status Gizi

    Penurunan Rasio

    FEV1 

    Aktivitas Fisik

    Tingkat

    kelembaban udara

    tinggi

    Kadar polutan yang

    terhisap

    Gangguan Fungsi

    Paru

    Riwayat Penyakit

    Lama Menghuni

    Kebiasaan

    Merokok

    Usia