Upload
kica-erdiansyah
View
46
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ada3
Citation preview
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND
WILAYAH BOGOR
ADHITYA NOVIANTO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
ABSTRACT
ADHITYA NOVIANTO. Spatial and Temporal Distribution of the Urban Heat Island in Bogor
Region. Supervised by SONNI SETIAWAN and SOBRI EFFENDY.
The activities which is centered in the urban or industrial areas form a typical
microclimate characteristic that is the urban heat island. In general, UHI refers to increase of the
air temperature, but it can also refer to the relative heat surface or sub-surface material that have a
higher temperature than the temperature surround it. In this study analysis is conducted by using
remote sensing data that has advantages in the provision of spatial data with a wide coverage area.
The determination of spatial and temporal distributions of UHI Bogor region use Terra MODIS
L1B raster image data with channel 31 and channel 32 through extraction surface temperature
components. The raster image uses two raster image data (day and night) in a month of July in the
year 2000 until 2011. The results of this study indicate that Bogor area at the day time have an
average surface temperature of 26.8 C, while at the night time an average surface temperature of
19.4 oC. During the day time, the surface temperature forms the urban heat island pattern which
centered in the city of Bogor. While at the night time, the surface temperature tends to form an
increasing surface temperature gradient towards to the city of Depok until to the city of Jakarta. At
the day time, the city of Bogor gives the intensity of UHI greater than at night time. During the
daytime the intensity of UHI which are concentrated in the city of Bogor has an average value of
2.1 C at the distance of 7 km and 3.6 C at the distance of 14 km. While at the night time the
intensity of UHI has an average value of 0.3 C at the distance of 7 km and 1.2 C at the distance
of 14 km.
Keywords: Bogor, MODIS, spatial, temporal, urban heat island
iii
ABSTRAK
ADHITYA NOVIANTO. Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah Bogor.
Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN and SOBRI EFFENDY.
Aktivitas yang terpusat di suatu perkotaan atau wilayah industri membentuk karakteristik
iklim mikro yang khas yaitu pulau panas perkotaan (urban heat island). Secara umum, UHI
mengacu pada pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada panas relatif permukaan
atau material sub permukaan yang memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu
sekitar. Dalam studi ini analisis dilakukan dengan menggunakan data pengindraan jauh yang
memiliki kelebihan dalam penyediaan data spasial dengan cakupan wilayah yang luas. Penentuan
distribusi spasial dan temporal UHI wilayah Bogor dilakukan dengan menggunakan data citra
Terra MODIS L1B pada kanal 31 dan kanal 32 melalui ekstraksi komponen suhu permukaan. Data
citra yang digunakan yaitu dua data citra satelit (siang dan malam) di bulan Juli pada tahun 2000
hingga 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah Bogor pada siang hari memiliki
suhu permukaan rata-rata sebesar 26.8 oC, sedangkan pada malam hari suhu permukaan rata-rata
sebesar 19.4 oC. Pada saat siang hari, suhu permukaan membentuk pola urban heat island yang
memusat di Kota Bogor. Pada saat malam hari, suhu permukaan cenderung membentuk gradien
suhu permukaan yang meningkat menuju Kota Depok hingga Kota Jakarta. Pada siang hari Kota
Bogor memberikan intensitas UHI yang lebih besar dibandingkan pada malam harinya. Pada siang
hari intensitas UHI yang memusat di Kota Bogor memiliki nilai rata-rata sebesar 2.1 oC pada jarak
7 km dan 3.6 oC pada jarak 14 km. Pada malam hari nilai intensitas UHI rata-rata sebesar 0.3
oC
pada jarak 7 km dan 1.2 oC pada jarak 14 km.
Kata kunci: Bogor, MODIS, spasial, temporal, urban heat island
iv
Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND
WILAYAH BOGOR
ADHITYA NOVIANTO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vi
Judul Skripsi : Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah
Bogor
Nama : Adhitya Novianto
NIM : G24080066
Menyetujui,
Pembimbing I
Sonni Setiawan, M.Si
NIP. 19760116 200604 1 006
Pembimbing II
Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si
NIP. 19641124 199003 1 001
Mengetahui,
Ketua Departeman Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S
NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dan puji syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas segala
Rahmat, Hidayah, dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul: Distribusi Spasial Dan Temporal Urban Heat
Island Wilayah Bogor. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan di
program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian, Bogor.
Dalam penyusunan skripsi dan pelaksanaan penelitian tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1 Bapak Sonni Setiawan, M.Si. dan Bapak Dr. Sobri Effendy, M.Si. dari Departemen Geofisika dan Meteorologi selaku pembimbing yang memberikan saran dan
bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
2 Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi beserta seluruh dosen dan karyawan atas bantuan selama mengikuti pendidikan.
3 Bapak Sutardi, Ibu Sri Murni dan Fery Hermawan selaku keluarga atas doa restu yang senantiasa diberikan.
4 Rizki Fitria dan keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan moral. 5 Faiz, Iput, Nadita, Ferdy, Fida, Fauzan, Pungki, Firman, Taufik, Emod, Yuda, dan
teman-teman yang telah berkontribusi selama penelitian berlangsung.
Penulis menyadari dalam tulisan skripsi ini belum sempurna, sehingga
diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga
berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan serta kepada seluruh pihak yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2013
Adhitya Novianto
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 November 1990 di
Jakarta, dari bapak bernama Sutardi dan ibu bernama Sri Murni.
Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD
Negeri Rawamangun 07 Pagi Jakarta Timur pada tahun 2002,
pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 99 Jakarta pada tahun
2005 dan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 36 Jakarta pada
tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Institut
Pertanian Bogor, program studi mayor Meteorologi Terapan,
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam dan program studi minor Ilmu Komputer.
Selama perkuliahan, penulis ikut berperan aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
Beberapa organisasi yang pernah diikuti yaitu, anggota Himpunan Profesi Himagreto,
DPM-FMIPA periode 2010, MPM-KM periode 2010, dan pernah aktif di Unit Kegiatan
Mahasiswa Panahan IPB. Penulis pernah melakukan kegiatan magang di BMKG Pusat
yang berada di Kemayoran, Jakarta. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas
Mahasiswa-Gagasan Tertulis dan Program Kreativitas Mahasiswa-Artikel Ilmiah.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si), penulis membuat tugas akhir
dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah Bogor
dibawah bimbingan Bapak Sonni Setiawan, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si.
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. xii
I PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................................. 1
II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 1
2.1 Pengindraan Jauh ................................................................................................................ 1
2.1.1 Konsep Dasar Pengindraan Jauh ............................................................................. 1
2.1.1.1 Gelombang Elektromagnetik .......................................................................... 2
2.1.1.2 Hukum-hukum tentang Radiasi ...................................................................... 2
2.1.1.3 Sistem Pengindraan Jauh ................................................................................ 3
2.1.2 Citra MODIS ........................................................................................................... 4
2.1.2.1 Koreksi Citra .................................................................................................. 4
2.1.2.2 Koreksi Bow-tie Citra MODIS ....................................................................... 5
2.2 Suhu Permukaan ................................................................................................................. 5
2.3 Urban Heat Island .............................................................................................................. 6
2.3.1 Jenis Urban Heat Island ......................................................................................... 6
2.3.2 Karakteristik Spasial dan Temporal Urban Heat Island ......................................... 6
2.3.3 Sebab dan Dampak Urban Heat Island................................................................... 7
III METODOLOGI ......................................................................................................................... 8
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................................. 8
3.2 Data dan Peralatan .............................................................................................................. 9
3.3 Metode Penelitian ............................................................................................................... 9
3.3.1 Pemilihan Data Citra Satelit .................................................................................... 9
3.3.2 Proses Pengolahan Data Citra Satelit ...................................................................... 9
3.3.3 Suhu Permukaan ..................................................................................................... 9
3.3.4 Urban Heat Island ................................................................................................ 10
3.3.5 Digital Elevation Model dan Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor ........................... 11
3.4 Asumsi Dasar Penelitian ................................................................................................... 11
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 11
4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ........................................................................................ 11
4.2 Pengolahan Data Citra MODIS......................................................................................... 13
4.3 Suhu Permukaan ............................................................................................................... 13
4.4 Struktur Urban Heat Island .............................................................................................. 16
4.5 Intensitas Urban Heat Island ............................................................................................ 17
V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 20
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 20
5.2 Saran ................................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 20
x
DAFTAR TABEL
1 Tutupan lahan wilayah Bogor .................................................................................................. 12
2 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu permukaan antara
kanal 31 dengan kanal 32 pada (a) siang hari dan (b) malam hari .......................................... 14
3 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan hasil ekstraksi citra
dengan suhu udara observasi .................................................................................................... 15
4 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (siang hari) ............................. 16
5 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (malam hari) .......................... 16
xi
DAFTAR GAMBAR
1 Komponen utama sistem pengindraan jauh................................................................................ 2
2 Spektrum elekromagnetik .......................................................................................................... 2
3 Intensitas emisi benda hitam (blackbody) pada berbagai suhu (Michaelsen 2010) .................... 3
4 Morfologi efek bow-tie (Maier et al. 2004) ............................................................................... 5
5 Profil suhu udara dalam urban canopy layer (UCL) dan suhu permukaandalam kondisi
heat island optimum pada (a) siang hari dan (b) malam hari (Voogt 2002) .............................. 6
6 Model pola spasial suhu udara kota pada malam hari (Voogt 2002) ......................................... 7
7 Perkembangan umum suhu udara harian perkotaan dan pedesaan (garis tebal) dan
intensitas heat island (garis tipis) (Voogt 2002) ........................................................................ 7
8 Wilayah kajian (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) ................................................................. 8
9 Diagram alir metodologi penelitian.......................................................................................... 10
10 Peta ketinggian di wilayah Bogor ............................................................................................ 12
11 (a) Data belum terkoreksi dan (b) data terkoreksi, citra MODIS akuisisi 12 Juli 2002
(siang hari) ............................................................................................................................... 13
12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi suhu kecerahan (K) kanal 31 dengan kanal 32 pada
citra MODIS tahun 2011 akuisisi 31 Juli 2011 (a) siang hari dan (b) malam hari .................. 14
13 Peta lokasi stasiun meteorologi ................................................................................................ 14
14 Analisis regresi suhu permukaan hasil ekstraksi citra akuisisi (a) 23 Juli 2003 dan
(b) 26 Juli 2003 dengan suhu udara observasi. ........................................................................ 15
15 Sebaran jumlah sel citra tahun 2009 (siang hari) ..................................................................... 16
16 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (siang hari) .......................... 17
17 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (malam hari) ........................ 17
18 Pengambilan data sampel titik suhu permukaan wilayah Bogor .............................................. 18
19 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __
kolom biru) dan 14 km (UHI+14 __
kolom
merah) pada saat siang hari ...................................................................................................... 19
20 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __
kolom biru) dan 14 km (UHI+14 __
kolom
merah) pada saat malam hari.................................................................................................... 19
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1 Spesifikasi dan dimensi satelit MODIS ................................................................................... 23
2 Spesifikasi resolusi spektral MODIS ....................................................................................... 23
3 Karakteristik dan kegunaan umum sensor MODIS .................................................................. 24
4 Peta tutupan lahan wilayah Bogor ............................................................................................ 25
5 Persentase tutupan lahan wilayah Bogor .................................................................................. 25
6 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang
hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2000-2003 ............................................................... 26
7 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang
hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2004-2007 ............................................................... 27
8 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang
hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2008-2011 ............................................................... 28
9 Perbandingan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS dengan suhu udara hasil
observasi (siang hari) ............................................................................................................... 29
10 Perbandingan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS dengan suhu udara hasil
observasi (malam hari) ............................................................................................................. 30
11 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2000-2005 (siang hari) .................. 31
12 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (siang hari) .................. 32
13 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2000-2005 (malam hari) ................. 33
14 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (malam hari) ................. 34
15 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2000-2005 ........................................................... 35
16 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2006-2011 ........................................................... 36
17 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2000-2005 ......................................................... 37
18 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2006-2011 ......................................................... 38
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk yang diikuti
dengan peningkatan luasan ruang terbangun
dan jumlah kendaraan bermotor di suatu
perkotaan membawa dampak secara tidak
langsung terhadap perubahan komponen
unsur iklim. Perubahan unsur iklim yang
terjadi antara lain seperti suhu, arah dan
kecepatan angin, dan kelembaban udara. Dari
keempat unsur tersebut, perubahan yang
paling dirasakan yaitu peningkatan suhu.
Peningkatan aktivitas yang terpusat di
suatu perkotaan atau wilayah industri
membentuk karakteristik iklim mikro yang
khas. Salah satu karakteristik iklim mikro
yang tampak adalah dengan terbentuknya
pulau panas (heat island). Pulau panas
perkotaan atau biasa disebut urban heat
island (UHI) adalah suatu fenomena
peningkatan suhu rata-rata di daerah dengan
bangunan yang lebih padat dari pada suhu
udara terbuka sekitarnya (Atkinson 2003).
Fenomena UHI pada suatu daerah
ditandai dengan adanya suhu yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan suhu
sekitarnya. Secara umum, UHI mengacu pada
pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa
mengacu pada panas relatif permukaan atau
material sub permukaan. Suhu udara tertinggi
biasanya terdapat di pusat kota (urban) atau
kawasan industri dan akan menurun secara
bertahap ke arah daerah pinggir kota
(suburban/rural). Dari beberapa penelitian
ditemukan bahwa heat island berkembang
cepat di musim kemarau dan sering terjadi di
pusat kota dan kawasan industri. Selain itu
intensitas UHI akan jauh berkembang pada
siang hari dan akan menyusut pada malam
hari (Oke 1997; Voogt 2002).
Pendugaan UHI yang efektif dapat
dilakukan dengan kajian observasi suhu udara
di perkotaan dan sekitarnya. Contoh kajian
UHI seperti yang telah dilakukan oleh Masat (2009) dengan pendekatan analisis data
stasiun cuaca. Suhu udara di kota Jakarta
lebih besar 0.8 oC dibandingkan suhu udara
yang berada di pinggiran kota. Namun, untuk
mengetahui luasan distribusi suhu permukaan
suatu daerah dengan cakupan yang luas dapat
juga dilakukan dengan melakukan
pemantauan dari data citra satelit. Seperti
yang dilakukan Effendy et al. (2006) dalam
penelitiannya menganalisis dampak UHI
terhadap perubahan indeks kenyamanan
(THI) menggunakan data Landsat.
Dalam studi ini dilakukan analisis
penentuan distribusi spasial dan temporal
UHI wilayah Bogor dengan menggunakan
data pengindraan jauh. Menurut Streutker
(2003), teknik pengindraan jauh memiliki
kelebihan dalam penyediaan data spasial
dengan akurasi baik serta cakupan wilayah
yang luas, sehingga pemanfaatan teknik
pengindraan jauh ini sangat membantu
apabila wilayah kajian tidak memiliki stasiun
pengamat cuaca yang memadahi. Selain itu,
teknik pengindraan jauh dapat menghemat
biaya dan waktu, serta menyediakan data
yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan.
Dengan demikian, penentuan distribusi UHI
secara spasial dan temporal yang diperoleh
melalui ekstraksi komponen suhu permukaan
dapat lebih mudah dilakukan.
1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah :
a Mengidentifikasi urban heat island wilayah Bogor dengan menggunakan data
citra satelit
b Membuat suatu analisis pola spasial dan temporal urban heat island wilayah Bogor
c Mengestimasi intensitas urban heat island wilayah Bogor
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengindraan Jauh Pengindraan jauh (remote sensing)
merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai permukaan
bumi seperti suatu objek, daerah, atau
fenomena melalui analisis data dari citra yang
diperoleh dari jarak jauh dengan
menggunakan sensor (Lillesand dan Kiefer
1994). Data yang diperoleh dari pengindraan
jauh dapat berbentuk hasil dari variasi daya,
gelombang bunyi atau elektromagnetik. Data
tersebut dikelola dan akan digunakan untuk
kepentingan tertentu.
2.1.1 Konsep Dasar Pengindraan Jauh Konsep pengindraan jauh terdiri atas
beberapa komponen dasar yang meliputi
sumber energi, atmosfer, target/objek kajian,
alur transmisi, dan satelit itu sendiri dengan
sensor beserta sistemnya (DeMers dan
Michael 2005). Komponen dalam sistem ini
bekerja sama untuk mengukur dan mencatat
informasi mengenai target tanpa menyentuh
objek tersebut.
2
Gambar 1 Komponen utama sistem
pengindraan jauh
2.1.1.1 Gelombang Elektromagnetik Gelombang elektromagnetik atau energi
elektromagnetik dalam pengindraan jauh
merupakan energi yang dipancarkan maupun
dipantulkan oleh objek yang direkam oleh
sensor satelit. Gelombang elektromagnetik
dapat berasal dari matahari (pasif) maupun
satelit itu sendiri (aktif). Gelombang ini
seperti gelombang atau gerakan partikel yang
dapat merambat melalui dan tanpa melalui
medium. Energi atau radiasi yang
ditranmisikan ini dapat merambat di medium
atmosfer bumi maupun di dalam ruang
hampa. Gelombang elektromagnetik terdiri
dari beberapa spektrum panjang gelombang,
mulai dari gelombang pendek sampai
gelombang panjang.
Gambar 2 Spektrum elekromagnetik
Gelombang elektromagnetik bergerak
secara harmonis berbentuk sinusiodal pada
suatu kecepatan cahaya, digambarkan dengan
persamaan berikut:
(1) dimana,
c : kecepatan cahaya (3 x 108
m/s)
f : frekuensi gelombang (Hz)
: panjang gelombang (m)
Umumnya dalam pengindraan jauh,
istilah spektrum menunjuk pada bagian
tertentu dan sumber energinya seperti
spektrum yang sering digunakan yaitu, sinar
tampak dan inframerah reflektif, inframerah
panas, dan gelombang mikro. Istilah saluran
(band) atau kanal (channel) digunakan untuk
porsi yang lebih kecil, misalnya pada
spektrum sinar tampak memiliki kanal atau
band biru, hijau, dan merah.
2.1.1.2 Hukum-hukum tentang Radiasi Sifat radiasi elektromagnetik mudah
diuraikan dengan menggunakan teori
gelombang namun lebih mudah diuraikan
dengan menggunakan partikel karena
interaksinya dengan objek dapat mudah
diterangkan. Hukum Planck memberikan
dasar mengenai energi elektromagnetik yang
dapat dibagi-bagi menjadi beberapa paket
atau kuanta. Teori ini secara khusus
digunakan untuk menjelaskan sebaran
intensitas radiasi yang dipancarkan oleh
benda hitam. Selain itu teori ini juga
menjelaskan efek fotoelektrik yang
menyimpulkan bahwa energi cahaya datang
dalam bentuk kuanta yang disebut foton.
Besarnya energi dalam satu kuanta
tergantung pada frekuensi dan panjang
gelombang radiasinya, sesuai dengan
persamaan:
(2) dimana,
E : energi kuantum (J)
h : tetapan Planck (6.626x10-34
J/s)
f : frekuensi (Hz)
Apabila persamaan di atas digabungkan
dengan persamaan gelombang maka menjadi:
Berdasarkan persamaan di atas maka
energi kuantum berbanding terbalik dengan
panjang gelombang. Semakin panjang
panjang gelombang maka semakin rendah
tenaga kuantumnya dan sebaliknya.
Semua benda di permukaan bumi
merupakan sumber radiasi walaupun besar
dan komposisi spektralnya berbeda dengan
radiasi matahari. Oleh karena itu semua
benda pada suhu di atas nol Kelvin
memancarkan radiasi elektromagnetik secara
terus menerus. Besarnya energi radiasi suatu
objek di permukaan bumi merupakan fungsi
suhu permukaan objek tersebut, seperti yang
ditunjukkan oleh Hukum Stefan Boltzman
yaitu:
(4) dimana,
W : fluks energi radiasi yang dipancarkan
oleh permukaan objek setiap detik per
satuan luas (W m-2
)
: tetapan Stefan Boltzman (5.56697 x 10
-8 W m
-2 K
-4)
T : suhu absolut objek (K)
3
Hukum ini berlaku untuk sumber energi
sebagai benda hitam sempurna (blackbody)
yaitu benda yang akan menyerap tenaga yang
diterimanya dari segala sudut penerimaan dan
memancarkannya kembali ke segala arah
dengan seluruh panjang gelombang yang ada.
Fakta di alam, hampir semua benda tidak
memiliki sifat seperti benda hitam sempurna
yang ada hanya mendekati sifat tersebut.
Oleh karena itu setiap energi yang
dipancarkan suatu objek di permukaan bumi
tidak tergantung pada suhu absolutnya, tetapi
tergantung pada daya pancarnya sehingga
jumlah energi yang dipancarkan merupakan
fungsi suhu dan akan meningkat dengan
adanya peningkatan suhu. Hal ini
menyebabkan jumlah energi yang
dipancarkan suatu objek bervariasi dengan
suhunya dan didasarkan pada panjang
gelombangnya.
Gambar 3 Intensitas emisi benda hitam
(blackbody) pada berbagai suhu
(Michaelsen 2010)
Pada kurva di atas memperlihatkan
distribusi radiasi untuk benda hitam
sempurna pada berbagai suhu. Kurva tersebut
menunjukkan adanya pergeseran puncak
distribusi radiasi benda hitam ke arah panjang
gelombang yang makin pendek apabila suhu
naik yang menyebabkan intensitas radiasi
yang dipancarkan juga naik. Panjang
gelombang yang dominan atau panjang
gelombang yang mencapai radiasi maksimum
berkaitan dengan suhunya. Hubungan antara
pancaran maksimum objek, panjang
gelombang, dan suhu dinyatakan dengan
hukum pergeseran Wien dengan persamaan:
Berdasarkan persamaan di tersebut,
dengan suhu mutlak matahari 6000 K maka
akan didapatkan nilai panjang gelombang
maksimum radiasi matahari yang mampu
memberikan pancaran puncak maksimum
terjadi pada panjang gelombang 0.55 m.
Nilai tersebut merupakan nilai tengah
panjang gelombang untuk cahaya tampak.
Permukaan bumi dengan suhu permukaan
sebesar 300 K memberikan nilai pancaran
puncak maksimum pada panjang gelombang
9.7 m. Oleh karena itu, pengindraan jauh
termal banyak dilakukan pada kisaran
panjang gelombang infra merah yaitu antara
8 m sampai 14 m.
2.1.1.3 Sistem Pengindraan Jauh Seluruh sistem pengindraan jauh mutlak
memerlukan sumber energi. Sumber energi
dapat berupa sumber energi alami, misalnya
matahari, atau sumber energi buatan yang
dapat memancarkan energi elektromagnetik
berasal dari satelit itu sendiri. Energi
berinteraksi dengan target atau objek yang
ingin dikaji dan sekaligus berfungsi sebagai
media untuk meneruskan informasi kepada
sensor. Sensor adalah sebuah alat yang
mengumpulkan dan mencatat radiasi
elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan
dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses
menjadi format yang siap pakai, diantaranya
berupa citra (imagery). Citra ini kemudian
diinterpretasikan untuk mencari informasi
mengenai target. Proses interpretasi biasanya
melakukan pengolahan data citra dengan
bantuan komputer dan perangkat lunak
pengolah citra.
Data pengindraan jauh dapat dianalisis
untuk mendapatkan informasi tentang objek,
daerah, atau fenomena yang diindra atau
diteliti. Analisis data pengindraan jauh
memerlukan data rujukan seperti peta
tematik, data statistik, dan data lapangan.
Hasil akhir yang diperoleh berupa informasi
mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan,
kondisi lokasi, dan kondisi sumberdaya
daerah yang diindrakan. Hasil akhir suatu
proses pengolahan indraja tergantung pada
tujuan dan kebutuhan si pengguna. Oleh
karena itu, pihak pengguna merupakan
komponen penting dalam sistem indraja.
Keseluruhan proses mulai dari pengambilan
data, analisis data hingga penggunaan data
disebut Sistem Pengindraan Jauh (DeMers
dan Michael 2005).
4
2.1.2 Citra MODIS Citra MODIS (Moderate-Resolution
Imaging Spectroradiometer) adalah muatan
instrumen ilmiah berupa sensor yang
diluncurkan ke orbit Bumi pada tahun 1999
oleh NASA pada Satelit Terra (EOS AM),
dan pada tahun 2002 pada Satelit Aqua (EOS
PM). Satelit ini mampu meliputi areal dengan
luasan 2330 km. MODIS dirancang untuk
memberikan pengukuran dalam skala besar
dinamika global seperti pergerakan awan di
bumi, radiasi netto dan proses yang terjadi di
lautan, di darat, dan di atmosfer yang lebih
rendah.
Instrumen memiliki 36 saluran (band)
atau kanal (channel) dengan panjang resolusi
spektral gelombang berkisar dari 0.4 m
sampai 14.4 m dan pada resolusi spasial
yang bervariasi yaitu 250 m (kanal 1-2), 500
m (kanal 3-7) dan 1000 m (kanal 8-36)
(Lampiran 3). MODIS memiliki resolusi
temporal 1 sampai 2 hari untuk mengambil
gambar citra permukaan bumi sepanjang satu
putaran penuh keliling bumi. MODIS
memiliki resolusi radiometrik sampai 12 bits
sehingga dapat membedakan warna hingga
4000 warna. Sensor ini dapat bekerja pada
cahaya tampak, inframerah, dan gelombang
mikro. Citra yang paling sering dimanfaatkan
adalah data hasil citra visible light. Hasil citra
dari sensor satelit ini dapat memberikan
informasi mengenai dinamika global dan
proses-proses yang terjadi di darat, laut dan
atmosfer. Selain itu sensor satelit ini dapat
menghitung radiasi gelombang panjang
pemukaan dari benda-benda alam seperti
tanah, pasir, vegetasi, dan lainnya,
berdasarkan fungsi Planck dan hukum Stefan-
Boltzmann (Wang et al. 2005).
2.1.2.1 Koreksi Citra Tahapan paling penting dalam
pengolahan awal citra satelit adalah
melakukan koreksi, sehingga citra tersebut
sesuai dengan peta yang diinginkan dan
hilang dari berbagai kesalahan yang ada.
Untuk dapat memberikan informasi yang
benar, baik jenis informasi maupun skalanya,
rekaman citra satelit harus diperbaiki.
Citra digital yang belum diolah berisi
distorsi geometrik sehingga tidak dapat
digunakan sebagai peta. Kesalahan geometrik
terjadi selama proses pengumpulan data.
Citra yang mempunyai kesalahan geometrik
berarti jarak, luas, arah, sudut, dan bentuk
bervariasi di semua bagian citra. Sumber
distorsi geometrik antara lain merupakan
distorsi panoramik (sumber kesalahan
geometri terbesar), orientasi, rotasi bumi,
kesalahan instrumen, dan ketidakstabilan
platform (wahana).
Sistem koordinat pada hasil produk citra
MODIS yang dikeluarkan oleh NASA
sesungguhnya sudah datar (planimetri), hanya
saja belum mempunyai koordinat peta yang
benar. Dalam hal ini, koreksi geometrik
sesungguhnya melibatkan proses georeferensi
karena semua sistem proyeksi sangat terkait
dengan koordinat peta. Georeferensi adalah
suatu proses memberikan koordinat peta pada
citra yang sesungguhnya sudah planimetris.
Sistem proyeksi berpijak pada tiga kaidah
yaitu mempertahankan jarak, sudut dan luas
(equal distance, equal angle, equal area). Di
Indonesia, sistem proyeksi yang digunakan
adalah sistem proyeksi UTM (Universal
Transverse Mercator) dengan datum DGN-95
(Datum Geodesi Nasional) atau WGS84
untuk tingkat internasionalnya.
Koreksi radiometrik merupakan teknik
perbaikan citra satelit untuk menghilangkan
efek atmosferik yang mengakibatkan
kenampakan bumi tidak selalu tajam. Koreksi
radiometrik bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh haze, kekaburan citra, dan
kekurangjelasan daya pisah unsur, sehingga
mampu membuat citra terlihat lebih tajam
dan jelas detailnya (Supriatna dan Sukartono
2002). Selain itu koreksi radiometrik juga
berfungsi untuk menghilangkan efek
duplikasi data pada citra di baris-baris
tertentu seperti koreksi bow-tie pada citra
MODIS.
Koreksi ini merupakan tahap awal
pengolahan data sebelum analisis dilakukan.
Perlu diketahui, untuk melakukan koreksi
radiometrik sebaiknya dilakukan sebelum
menggabungkan kanal-kanal citra. Hal ini
dimaksudkan agar objek yang terekam mudah
diinterpretasikan atau dianalisis untuk
menghasilkan data atau informasi yang benar
sesuai dengan keadaan lapangan.
Cropping merupakan teknik dasar pada
pengolahan data citra dengan memotong
daerah kajian pada citra. Hal ini dilakukan
supaya daerah yang diamati terpusat,
sehingga daerah yang diamati memiliki
batasan hanya sampai pada wilayah kajian
yang diambil dari citra sebenarnya. Karena
data citra yang dikaji (yang telah dilakukan
proses cropping) akan lebih cepat dalam
memproses data. Kegunaan lainnya adalah
pengamatan citra yang memiliki batasan
dapat memiliki ukuran size yang lebih kecil
pada pengamatan visual maupun dari segi
ukuran file dibandingkan dari citra
5
sebelumnya yang lebih besar. Karena
pengamatan citra pada cakupan yang besar
membutuhkan super-computer yang memiliki
spesifikasi kebutuhan komputer yang besar
dengan ukuran harddisk besar, resolusi layar
besar, dan memori RAM yang besar pula.
2.1.2.2 Koreksi Bow-tie Citra MODIS Data mentah pada citra MODIS pada
baris-baris tertentu terdapat kerusakan citra
berupa duplikasi baris di bagian tertentu. Hal
ini terjadi karena pada perangkat satelit
terdapat peningkatan Instantaneous Field Of
View (IFOV) dari 1x1 km pada titik terendah
(nadir) menjadi hampir mendekati 2x5 km
pada sudut scan maksimum yaitu 55o.
Pengaruh bow-tie terjadi ketika sensor
pemandaian mencapai sudut 15o, besar sudut
semakin meningkat akan menyebabkan
semakin jelas efeknya (Wen 2008). Untuk
memperbaiki kerusakan tersebut perlu
dilakukan koreksi radiometrik untuk
menghilangkan efek tersebut. Selanjutnya
seluruh data pada citra asli akan
ditransformasikan secara matematik ke citra
akhir atau resampling. Dalam hal ini dibentuk
piksel baru sebagai perbaikan pada piksel
lama yang mengalami kerusakan yaitu
dengan teknik tetangga terdekat (nearest neighbour). Teknik ini dilakukan dengan cara
mengalihkan titik keabuan piksel yang telah
terkoreksi dengan harga keabuan piksel
tetangganya pada citra semula.
Gambar 4 Morfologi efek bow-tie
(Maier et al. 2004)
Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4,
bahwa data dipengaruhi oleh efek bow-tie
menempati sebagian dari gambar. Oleh
karena itu, efek bow-tie harus dihapus
sebelum aplikasi data MODIS dikeluarkan.
Scan pertama dan ketiga diwakili oleh kisi
yang cerah, sedangkan scan kedua diwakili
oleh kisi yang hitam (Wen 2008).
2.2 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai
suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu
permukaan benda tergantung dari sifat fisik
permukaan objek, diantaranya yaitu
emisivitas, kapasitas panas jenis, dan
konduktivitas termal. Misalkan permukaan
pada daratan di siang hari yaitu memiliki
emisivitas dan kapasitas panas jenis yang
rendah, sedangkan konduktivitas termalnya
tinggi, maka suhu permukaan objek tersebut
akan meningkat.
Suhu permukaan diperoleh dari suhu
kecerahan yang diturunkan dari persamaan
Planck seperti berikut:
( (
) )
dimana,
: radiasi yang dipancarkan benda hitam, dalam hal ini yaitu L T : suhu mutlak (K)
Suhu permukaan dengan mudah dapat
diidentifikasi dengan memakai asumsi
emisivitas sama dengan satu dimana sifat
tersebut dimiliki oleh benda hitam (Wang et
al. 2005). Benda hitam adalah objek yang
menyerap seluruh radiasi elektromagnetik,
kemudian menurut teori fisika klasik, objek
tersebut juga haruslah memancarkan energi
yang diserapnya. Oleh karena itu energi suatu
benda dapat diukur.
Dalam remote sensing, suhu permukaan
dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan
rata-rata dari suatu permukaan yang
digambarkan dalam cakupan suatu piksel
dengan berbagai tipe permukaan yang
berbeda. Besarnya suhu permukaan
dipengaruhi oleh panjang gelombang yang
ditangkap oleh sensor. Suhu permukaan dapat
dideteksi dengan baik menggunakan kanal
inframerah termal. Namun, kondisi keawanan
juga tidak luput dari tangkapan sensor.
Kondisi keawanan merupakan salah satu
gangguan untuk menganalisis permukaan
bumi. Suhu permukaan awan biasanya
memiliki suhu yang lebih rendah
dibandingkan suhu permukaan. Sehingga
dalam keadaan ini dapat digunakan metode
filter pada suhu yang rendah.
Suhu permukaan merupakan salah satu
kunci keseimbangan energi pada permukaan
dan merupakan variabel klimatologis yang
utama dalam mengendalikan fluks energi
gelombang panjang yang melalui atmosfer.
Suhu di dekat permukaan atau lapisan
perbatas sangat dipengaruhi oleh fluks energi
dan karakteristik fisis permukaan.
Kesetimbangan energi alam antara input
6
radiasi matahari, emisivitas, panjang
gelombang, dan transfer panas terasa
menghasilkan siklus diurnal pemanasan dan
pendinginan dari permukaan bumi dan
lapisan batas atmosfer. Seperti dalam halnya
untuk menganalisis urban heat island, suhu
permukaan merupakan kontribusi terbesar
dalam memberikan panas kota setelah
aktivitas manusia.
2.3 Urban Heat Island Urban heat island (UHI) adalah
karakteristik panasnya daerah urban
dibandingkan dengan daerah non-urban yang
mengelilinginya. Secara umum, UHI
mengacu pada peningkatan suhu udara, tetapi
UHI dapat juga mengacu pada panas relatif
sebuah permukaan atau material diatasnya.
UHI secara tidak sengaja meningkatkan
perubahan iklim lokal karena modifikasi
atmosfer dan permukaan pada daerah urban.
Namun, UHI tidak berpengaruh langsung
terhadap pemanasan global karena
pendudukan suatu kota hanya merupakan
sebagian kecil dari seluruh permukaan bumi.
UHI mempunyai implikasi penting bagi
kesehatan dan kenyamanan manusia, polusi
udara, neraca energi, dan perencanaan kota.
UHI di kota beriklim panas sangat tidak
menguntungkan karena menyebabkan
kapasitas udara semakin banyak menyimpan
udara panas dibandingkan udara dinginnya,
selain itu juga meningkatkan ketidak-
nyamanan manusia, dan meningkatkan
konsentrasi polusi udara. Meningkatnya
jumlah populasi di dunia, terutama pada
negara berkembang, berarti akan
meningkatkan intensitas UHI di negara
tersebut yang akan mempengaruhi kehidupan
manusia (Voogt 2002).
2.3.1 Jenis Urban Heat Island Observasi mengenai UHI banyak
didapatkan dari pengukuran suhu udara
berasal dari stasiun cuaca/meteorologi
maupun alat observasi manual yang
ditempatkan di bawah atap bangunan-
bangunan dan pohon-pohon, dikenal sebagai
urban canopy layer (UCL). Observasi ini
dapat dilakukan dengan menggunakan
jaringan stasiun-stasiun yang tetap atau dari
stasiun buatan yang bergerak, contohnya pada
kendaraan yang ditempelkan termometer.
Sekarang, teknologi pengindraan jauh
dengan sensor inframerah termal dapat
digunakan untuk mengamati UHI permukaan,
dengan resolusi spasial yang tinggi. Sensor
ini mendeteksi radiasi yang dipancarkan dan
dipantulkan oleh permukaan. Keluaran yang
dihasilkan berupa suhu permukaan dan bisa
dilanjutkan menjadi suhu udara dengan
komponen-komponen meteorologis tertentu
yang diperlukan. Suhu permukaan yang
dihasilkan ini mungkin cukup berbeda
dengan suhu permukaan yang sebenarnya
karena adanya perbedaan informasi yang
diperoleh oleh citra pada sebuah piksel.
Ukuran spasial juga mempengaruhi ketepatan
nilai digital pada sebuah citra.
Gambar 5 Profil suhu udara dalam urban canopy layer (UCL) dan suhu
permukaan dalam kondisi heat
island optimum pada (a) siang
hari dan (b) malam hari (Voogt
2002)
Suhu permukaan sangat sensitif pada
perubahan kondisi permukaan dibandingkan
suhu udara. Hal tersebut diperlihatkan pada
Gambar 5 yang memperlihatkan banyaknya
perbedaan variabilitas spasial dan variasi
temporal pada siang dan malam. Meskipun
UHI yang didapatkan dari suhu udara dan
suhu permukaan saling terkait, namun
keduanya tidaklah sama, dan perbedaan
keduanya harus diperhatikan diantaranya
(Voogt 2002).
2.3.2 Karakteristik Spasial dan Temporal Urban Heat Island
Istilah UHI timbul karena pola isoterm
yang membentuk seperti pulau. Besarnya
pola yang timbul tergantung dari daerah yang
terurbanisasi. Pola ini akan membentuk
gradien suhu yang yang membentuk mulai
dari daerah pinggiran sampai memuncak di
pusat kota. Perbedaan suhu antara urban dan
desa di sekelilingnya dapat mencapai 12 C
pada kota-kota metropolitan. Di dalam
wilayah terbangun, pola ini dipengaruhi
secara lokal oleh adanya ruang terbuka hijau
seperti taman kota, badan air, dan banyak
sedikitnya ruang terbangun (Voogt 2002).
(a)
(b)
7
Pola spasial isoterm biasanya mengikuti
daerah terurbanisasi. Pola topografi (pesisir
atau lokasi lembah) juga dapat menambah
kompleksitas kepada karakteristik spasial
UHI. Besarnya heat island atau intensitas
heat island diukur dari perbedaan antara suhu
udara rural dan suhu tertinggi di daerah
urban (Voogt 2002).
Gambar 6 Model pola spasial suhu udara
kota pada malam hari (Voogt
2002)
UHI pada malam hari akan meningkat
sebagai akibat perbedaan rata-rata
pendinginan antara wilayah urban dan rural.
Perbedaan ini akan semakin tinggi saat
keadaan cerah dan tidak berangin/lemah.
Intensitas heat island secara umum
meningkat mulai saat matahari tenggelam,
walaupun puncaknya bergantung pada
keadaan cuaca dan musim. Dalam beberapa
kasus, nilai intensitas yang bernilai negatif
yang disebut cool island, terjadi karena
karakteristik dalam perkotaan yang lambat
dalam meningkatkan suhu akibat adanya
halangan radiasi yang masuk dibandingkan di
daerah pinggiran yang memiliki lahan
terbuka.
Gambar 7 Perkembangan umum suhu udara
harian perkotaan dan pedesaan
(garis tebal) dan intensitas heat
island (garis tipis) (Voogt 2002)
Intensitas atau besarnya heat island
maksimum biasanya terjadi pada saat malam
hari dimana perbedaan suhu udara wilayah
urban dan suburban mencapai maksimum.
Wilayah urban akan cenderung memper-
tahankan suhu dalam kota dibandingkan
wilayah suburban. Lebih lanjut lagi, setelah
matahari terbit suhu udara di daerah rural
akan menyamai suhu udara di wilayah urban.
Hal ini disebabkan wilayah urban memiliki
tutupan bayangan oleh bangunan tinggi
(urban canopy) dan melemahnya sinar
matahari karena lapisan polusi yang terangkat
yang mengakibatkan suhu udara meningkat
lebih lambat pada pagi hari. Pada lintang
rendah, efek ini dapat saja memproduksi
urban cool island di mana daerah rural lebih
panas daripada daerah urban (Voogt 2002).
Selain itu kondisi lokal seperti topografi,
daerah iklim, dan musim mempengaruhi
karakteristik urban heat island wilayah lokal
tersebut (Oke 1997).
Penelitian tentang UHI di beberapa kota
besar di Indonesia dengan data satelit
menunjukkan adanya perubahan temperatur
yang merupakan salah satu indikasi adanya
perubahan iklim, hal ini ada hubungannya
dengan perubahan lahan yang terjadi akibat
urbanisasi. Di Bandung teramati perluasan
UHI (daerah dengan suhu tinggi 30-35 0C
yang terletak pada kawasan terbangun di
pusat kota per tahun kira-kira 12606 ha atau
4.47%, di Semarang 12174 ha atau 8.4%, di
Surabaya 1512 ha atau 4.8%. Pertumbuhan
kawasan terbangun di Bandung per tahun
kurang lebih 1029 ha (0.36%), Semarang
1200 ha (0.83%), dan Surabaya 531.28 ha
(1.69%) (Tursilowati 2007).
2.3.3 Sebab dan Dampak Urban Heat Island
Voogt (2002) mengatakan bahwa
formasi urban heat island dipengaruhi oleh
karakteristik permukaan dan kondisi
atmosferik. Tambahan panas langsung
menuju atmosfer melalui aktivitas manusia,
yang dikenal sebagai panas antropogenik
dapat memainkan peran penting dalam
pembentukan UHI. Penyebab-penyebab itu
secara lebih rinci sebagai berikut.
1 Geometri Permukaan (Surface Geometry) Geometri permukaan merupakan struktur
pada permukaan yang terdiri dari struktur
datar/halus dengan tambahan berbagai bentuk
struktur kasar lainnya. Pada wilayah urban
memiliki ruang terbangun yang merupakan
struktur geometri permukaan kasar.
Penambahan geometri permukaan yang kasar
8
dengan terperangkapnya radiasi matahari oleh
pemantulan berganda memicu pemanasan
sebagai akibat dari absorpsi sinar matahari
yang lebih besar. Selain itu, bangunan yang
letaknya berdekatan mengurangi sky view
factor yang mengurangi kehilangan panas
radiatif, terutama pada malam hari. Geometri
permukaan juga dapat menimbulkan
sheltering effect yang mengurangi kehilangan
panas konvektif dari permukaan dan udara di
dekat permukaan.
2 Properti termal permukaan Material bangunan pada wilayah urban
merupakan penyimpan panas yang baik.
Material ini memiliki kapasitas panas yang
lebih tinggi dan pemasukan termal
permukaan yang lebih besar.
3 Kondisi permukaan Bangunan urban yang tahan air seperti
pengaspalan mengurangi evaporasi, sehingga
energi lebih banyak diarahkan pada panas
sensibel yang dapat memanaskan udara
daripada panas laten (panas yang diambil
untuk evaporasi air).
4 Panas Antropogenik Panas antropogenik dilepaskan oleh
penggunaan energi urban pada bangunan,
kendaraan, dan dari manusia.
5 Efek Rumah Kaca Urban Atmosfer urban yang tercemar dan lebih
panas mengemisikan radiasi termal berlebih
ke arah bawah menuju permukaan kota.
Kelembaban kota yang meningkat juga dapat
berkontribusi pada efek ini.
6 Kondisi atmosfer UHI yang paling kuat dapat diamati
ketika langit cerah dan angin tenang. Awan
dan kelembaban atmosferik dapat
mempengaruhi panas radiatif permukaan
menuju atmosfer. Kelembaban atmosferik
bertindak seperti awan yang melakukan
pendinginan radiatif. Kelembaban atmosferik
yang tinggi akan mengurangi intensitas heat
island; kelembaban yang lebih rendah
memudahkan pendinginan radiatif. Ketika
kecepatan angin meningkat, percampuran
turbulen juga meningkat sehingga dapat
menekan besar UHI. Angin yang disebabkan
oleh adveksi skala lokal memindahkan panas
secara horizontal juga dapat mempengaruhi
UHI. Adveksi panas dapat memacu
peningkatan UHI dan adveksi dingin dapat
menekan peningkatan UHI.
UHI dapat menimbulkan dampak positif
dan negatif bagi kota. Untuk kota beriklim
hangat, atau kota iklim temperate pada
musim panas, UHI meningkatkan
penggunaan energi untuk pendingin udara
(AC). Peningkatan permintaaan akan energi
dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Emisi gas rumah kaca dapat
mendegradasikan kualitas udara. Suhu urban
yang makin tinggi dapat memicu
terbentuknya kabut urban karena emisi
polutan dan reaksi fotokimia atmosferik.
Panasnya suhu kota juga dapat menyebabkan
penyebaran penyakit vector-borne.
Pada iklim yang lebih dingin, UHI dapat
memberikan efek positif seperti berkurangnya
tutupan salju sehingga penggunaan energi
juga berkurang. UHI tidak secara langsung
berpengaruh terhadap pemanasan global. UHI
adalah modifikasi iklim lokal. Dampak UHI
pada skala global terbatas pada catatan suhu
jangka panjang yang dilakukan pada stasiun-
stasiun cuaca. Namun urbanisasi yang terjadi
kota dengan adanya stasiun cuaca menjadikan
kemampuan untuk mendeteksi iklim global
lebih sulit karena superposisi dengan efek
iklim lokal.
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Wilayah kajian melingkupi Kabupaten
Bogor dan Kota Bogor (wilayah Bogor) yang
berada pada koordinat 61230 - 65310 LS dan 1061838 - 1071926 BT.
Gambar 8 Wilayah kajian (Kabupaten Bogor
dan Kota Bogor)
9
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari sampai dengan bulan Oktober tahun
2012, bertempat di Laboratorium
Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer,
Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.
3.2 Data dan Peralatan Alat yang digunakan pada penelitian ini
yaitu berupa seperangkat komputer dengan
perangkat lunak pengolah data satelit (ENVI
dan ER Mapper), pengolah sistem informasi
geografis (Arc GIS), pengolah data statistik
(Minitab dan Ms Excel), serta dokumentasi
(Ms Word).
Data yang digunakan dalam penelitian
ini berupa data citra MODIS yang mencakup
seluruh wilayah Bogor (kota dan kabupaten),
data Digital Elevation Model (DEM) untuk
mengetahui ketinggian wilayah Bogor, data
observasi meteorologi berupa data suhu
udara, dan peta tata ruang wilayah Bogor
yang mencakup data spasial penggunaan
lahan.
Pada penelitian ini, data citra MODIS
yang digunakan sebanyak 24 akuisisi yaitu
pada tahun 2000 hingga tahun 2011 pada
waktu siang dan malam hari di setiap
tahunnya.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pemilihan Data Citra Satelit
Pemilihan data sangat penting untuk
memberi batasan sebelum mengolah data
citra satelit untuk lebih lanjut. Batasan yang
dipakai dalam pemilihan data antara lain
temporal selection dan spatial selection.
Temporal selection atau pemilihan data
secara temporal yang digunakan yaitu dua
data citra satelit (1 siang dan 1 malam) di
bulan Juli pada tahun 2000 hingga tahun
2011. Spatial selection atau pemilihan data
secara spasial yang digunakan yaitu data citra
satelit yang mencakup wilayah Bogor dengan
syarat memiliki tingkat keawanan yang
menunjukkan langit cerah tanpa awan atau
hampir tidak ada awan.
Data citra satelit dapat dipilih dan
diunduh melalui alamat situs:
http://ladsweb.nascom.nasa.gov. Data yang
dipilih adalah data satelit Terra MODIS
Level 1B. Kanal yang digunakan yaitu kanal
31 dan kanal 32.
3.3.2 Proses Pengolahan Data Citra Satelit
Proses awal pengolahan data citra satelit
dilakukan untuk mendapatkan data dengan
informasi yang sesuai. Proses awal ini
mencakup kesesuaian posisi koordinat hingga
pembenaran informasi pada setiap piksel.
Tahap-tahap yang dilakukan antara lain:
1) Georeferensi MODIS dengan Koreksi Bow-tie
Georeferensi adalah proses memasukan
citra ke dalam sistem koordinat tertentu.
Proses georeferensi disebut juga proses
registrasi citra. Cara yang digunakan pada
penelitian ini yaitu dengan mengekspor
ground check point (GCP) atau titik ikat yang
menggunakan perangkat lunak ENVI.
Penentuan sistem koordinat dilakukan dengan
memilih sistem proyeksi dan datum yang
akan digunakan. Pada penelitian ini
digunakan sistem proyeksi UTM dan datum
WGS-84. Koreksi bow-tie dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak ENVI yang
berfungsi untuk menghilangkan efek
duplikasi data pada citra di baris-baris
tertentu.
2) Pemotongan (Cropping) Wilayah Bogor
Data citra satelit dalam satu subset
memiliki ukuran spasial yang luas, sehingga
memiliki ukuran file yang sangat besar.
Pemotongan (cropping) data citra diperlukan
agar data citra yang dianalisis lebih lanjut
memiliki batasan spasial dengan ukuran file
yang lebih kecil. Batasan spasial yang dipakai
pada penelitian ini yaitu wilayah Bogor dan
sekitar. Data citra satelit dipotong dengan
data vektor wilayah bogor. Data vektor dapat
dibuat dengan menggunakan perangkat lunak
ER Mapper dengan menggunakan peta tata
ruang wilayah bogor sebagai peta acuan.
3.3.3 Suhu Permukaan Suhu permukaan diturunkan dari nilai
radiansi atau energi yang diterima bumi per
satuan luas berdasarkan persamaan Planck
(Lim 2001). Planck dalam persamaannya
menggunakan brigthness temperature yang
dapat dianggap sebagai suhu permukaan dari
suatu objek. Hukum Planck digunakan untuk
menurunkan suhu permukaan karena hukum
tersebut dapat menghitung intensitas radiasi
yang dipancarkan oleh suatu objek
permukaan.
Intensitas radiasi berkaitan dengan panas
objek di bumi dan besarnya panas dapat
ditunjukkan dengan suhu permukaan. Suhu
permukaan dapat diekstraksi melalui kanal
pada sensor satelit. Kanal yang digunakan
pada citra MODIS yaitu kanal 31 dan kanal
32 dengan masing-masing nilai tengah
10
panjang gelombang yaitu 11.03 m dan
12.02m. Adapun persamaannya yaitu:
(
( ) )
dimana,
Tb : suhu kecerahan (K)
C1 : konstanta radiasi pertama
(1.1911 x 108 W M
-2 sr
-1 (m
-1)
-4)
C2 : konstanta radiasi kedua
(1.439 x 10-4
K m)
L(i) : nilai radiansi kanal ke-i (Wm
-2m
-1sr
-1)
i : nilai tengah panjang gelombang kanal ke-i (m)
Ekstraksi dari kedua kanal dapat
mempresentasikan masing-masing gambaran
suhu permukaan, walaupun memiliki selisih
nilai. Suhu permukaan akhir didapat dari nilai
rata-rata kedua suhu kecerahan pada kanal 31
dan kanal 32.
dimana,
Ts : suhu permukaan (K)
Tb31 : suhu kecerahan kanal 31 (K)
Tb32 : suhu kecerahan kanal 32 (K)
3.3.4 Urban Heat Island Besarnya intensitas urban heat island
pada suatu daerah merupakan perbandingan
besar antara suhu yang berada di wilayah
urban dengan suhu yang berada di wilayah
suburban. UHI dapat dilihat secara spasial
melalui citra satelit dengan menggunakan
pendekatan suhu permukaan. Dengan
menggunakan pendekatan suhu permukaan
dapat digunakan persamaan sebagai berikut:
SUHI = Ts urban Ts suburban (9) dimana,
SUHI : intensitas surface urban heat
island
Ts urban : suhu permukaan di wilayah
urban
Ts suburban : suhu permukaan di wilayah
suburban
Gambar 9 Diagram alir metodologi penelitian
11
Wilayah bogor secara umum dibagi
menjadi dua bagian: wilayah urban berada di
Kota Bogor dan wilayah suburban berada di
Kabupaten Bogor. Nilai suhu permukaan
(Ts) diambil dari hasil ekstraksi suhu
permukaan pada citra satelit. Pada citra satelit
memiliki informasi nilai suhu permukaan
yang didapat dari karakteristik spasial pada
setiap piksel. Hal ini dapat dijadikan acuan
dalam mengidentifikasi intensitas UHI.
3.3.5 Digital Elevation Model dan Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor
Suhu udara pada suatu wilayah memiliki
hubungan erat dengan kondisi topografi dan
ketinggian wilayah tersebut. Oleh karena itu
penelitian ini membutuhkan sebuah data
topografi dan ketinggian wilayah Bogor. Data
topografi dan ketinggian sebuah daerah dapat
dimodelkan dengan menggunakan data DEM
(Digital Elevation Model). Data DEM dapat
diolah dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS. Data ini disesuaikan dengan peta
tata ruang wilayah Bogor dan hasil
pengolahan data citra satelit untuk
menghasilkan analisis distribusi spasial dan
temporal UHI di wilayah Bogor.
Pada penelitian ini, proses klasifikasi
penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi
data landuse wilayah Jawa Barat pada tahun
2002 yang telah dipotong. Klasifikasi lahan
dilakukan dengan menggunakan klasifikasi
tak terbimbing (Unsupervised Classification).
Klasifikasi tak terbimbing dimulai dari
mengklasifikasikan dari kelas-kelas atau
wilayah-wilayah yang kita spesifikasikan atau
dari jumlah nominal kelas yang dijadikan
pembeda antara masing-masing penutupan
lahan. Klasifikasi tak terbimbing secara
sendiri akan mengategorikan semua piksel
menjadi kelas-kelas dengan menampakan
spektral atau karakteristik spektal yang sama.
Di wilayah Bogor, penutupan lahan
dibedakan menjadi sembilan bagian, yaitu air
tawar, belukar/semak, gedung/pemukiman,
hutan, kebun/perkebunan, rumput/tanah
kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan,
dan tegalan/ladang.
3.4 Asumsi Dasar Penelitian Pada penelitian ini, untuk mendapatkan
nilai suhu permukaan sebagai identifikasi
urban heat island menggunakan beberapa
asumsi sebagai berikut:
1 Data citra satelit yang digunakan berupa data yang memiliki tingkat keawanan
yang menunjukkan langit cerah tanpa
awan atau hampir tidak ada awan.
2 Atmosfer bersifat statis, sehingga faktor angin tidak berpengaruh.
3 Suhu permukaan yang dihasilkan oleh data citra satelit memiliki perbandingan
yang mirip dengan suhu udara data
observasi meteorologi, sehingga suhu
permukaan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi UHI.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian Kabupaten Bogor adalah sebuah
kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan
Cibinong sebagai pusat pemerintahan dan
industri. Kota Bogor adalah sebuah kota di
Provinsi Jawa Barat yang wilayahnya berada
di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor.
Kabupaten Bogor dan Kota Bogor (wilayah
Bogor) yang merupakan wilayah kajian
berada pada koordinat 61230 - 65310 LS dan 1061838 - 1071926 BT.
Kabupaten Bogor memiliki luas 2071.21
km2 dan jumlah penduduknya 4 771 932 jiwa.
Kota Bogor memiliki luas yang lebih kecil
yaitu 118.50 km dengan jumlah
penduduknya 950 334 jiwa(2010). Kabupaten
Bogor memiliki kepadatan penduduk yang
lebih renggang yaitu sebesar 2303.93
jiwa/km2, sedangkan Kota Bogor memiliki
kepadatan penduduk 8019.7 jiwa/km.
Sebelah utara Kabupaten Bogor
berbatasan dengan Kabupaten Tangerang
(Banten), Kota Depok, dan Kabupaten
Bekasi; sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Karawang; sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sukabumi; sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Lebak
(Banten).
Bagian utara Kabupaten Bogor
merupakan dataran rendah (lembah Sungai
Ciliwung dan Sungai Cisadane, sedangkan
bagian selatan berupa pegunungan, dengan
puncaknya: Gunung Halimun (1764 m),
Gunung Salak (2211 m), Gunung Gede
(2958 m), dan Gunung Pangrango (3018 m)
yang merupakan gunung tertinggi kedua di
Jawa Barat.
12
Gambar 10 Peta ketinggian di wilayah Bogor
Kota Bogor terletak pada ketinggian 190
sampai 330 meter di atas permukaan laut.
Wilayah ini memiliki udara yang relatif sejuk
dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya
adalah 26 C dan kelembaban udaranya
kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di
Bogor mencapai 21.8 C, paling sering terjadi
pada Bulan Desember dan Januari. Kota
Bogor memiliki curah hujan tahunan
mencapai 1700 mm, namun pada wilayah
sekitarnya bisa mencapai 3500 mm.
Tingginya curah hujan disebabkan banyak
terjadinya hujan konvektif di daratan pulau
Jawa Barat dan efek orografis di wilayah
Bogor (Kusumawati et al. 2008).
Tabel 1 Tutupan lahan wilayah Bogor
Klasifikasi penutupan lahan di Bogor
dilakukan melalui interpretasi data landuse
wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 yang
telah dipotong. Klasifikasi lahan
menggunakan klasifikasi tak terbimbing
(unsupervised classification). Penutupan
lahan (land cover) pada wilayah kajian
diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu
air tawar, belukar/semak, gedung/
pemukiman, hutan, kebun/perkebunan,
rumput/tanah kosong, sawah irigasi, sawah
tadah hujan, dan tegalan/ladang.
Wilayah Bogor yang memiliki luas total
sebesar 2189.71 km2, memiliki berbagai
tutupan lahan beragam dan tersebar yang
telah diklasifikasikan seperti pada Tabel 1.
Pada bagian selatan, barat, dan timur wilayah
kajian terdapat tutupan lahan yang dominan
lebih hijau, yaitu antara lain: perkebunan,
hutan, semak/belukar, sawah tadah hujan,
tegalan/ladang. Pada bagian utara dan tengah
wilayah kajian terdapat tutupan lahan yang
dominan antara lain: gedung, pemukiman
penduduk, sawah irigasi, dan rumput/tanah
kosong. Perkebunan memiliki tutupan lahan
terbesar di wilayah Bogor yaitu sebesar 20%
dari tutupan lahan seluruhnya, sedangkan
gedung dan pemukiman hanya memiliki
tutupan lahan sebesar 11%.
Dengan terkonsentrasinya lahan
terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota
Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota
(suburban/rural), mengindikasikan akan
adanya fenomena urban heat island. Hal ini
ditandai dengan adanya wilayah lahan
terbangun yang terpusat di Kota Bogor dan
Tutupan Lahan Luas (km2) Persentase (%)
Kebun/Perkebunan 438.14 20.01
Hutan 377.54 17.24
Belukar/Semak 317.66 14.51
Sawah Tadah Hujan 260.54 11.9
Gedung/Pemukiman 246.02 11.24
Tegalan/Ladang 242.49 11.07
Sawah Irigasi 237.43 10.84
Rumput/Tanah kosong 52.47 2.4
Air Tawar 17.42 0.8
13
Kota Cibinong. Pada bagian selatan, barat,
dan timur wilayah Bogor terdapat tutupan
lahan yang dominan lebih hijau. Hal ini
menyebabkan wilayah perkotaan akan
cenderung lebih panas dibandingkan wilayah
di pinggir kota sehingga membentuk seperti
kubah di pusat kota.
4.2 Pengolahan Data Citra MODIS Informasi suhu permukaan untuk
menentukan urban heat island dalam
penelitian ini menggunakan data citra Terra
MODIS L1B. Data citra ini dapat
memberikan ukuran spasial dalam cakupan
wilayah yang besar dan waktu temporal yang
konsisten pada setiap waktunya. Data citra
MODIS cocok digunakan dalam penelitian
ini yaitu untuk menentukan UHI di wilayah
Bogor.
Pada citra yang digunakan perlu
dilakukan adanya pemotongan wilayah kajian
(cropping). Hal ini dilakukan supaya daerah
yang diamati memiliki batasan hanya sampai
pada wilayah kajian dari citra yang diambil
dari citra sebenarnya. Karena data citra yang
dikaji atau yang telah dilakukan proses
cropping akan lebih cepat dalam proses
pengolahan data.
Data mentah citra MODIS yang didapat
merupakan data sudah terkoreksi secara
geometrik dan radiometrik. Namun data citra
ini belum memiliki sistem koordinat yang
sesuai dan masih terdapat bow-tie effect. Data
citra yang masih memiliki efek bow-tie dapat
dihilangkan dan dinormalkan dengan
menggunakan perangkat lunak ENVI. Pada
dasarnya perangkat lunak ini melakukan
koreksi radiometrik, khusus untuk efek bow-
tie, yaitu dengan membenarkan informasi
nilai radians efek duplikasi baris-baris akibat
dari perbesaran sudut Instantaneous Field Of
View (IFOV).
Sistem proyeksi ditentukan secara
otomatis dengan cara georeferensi. Proses
georeferensi pada citra dilakukan dengan
memberikan koordinat peta pada citra. Data
citra tersebut sesungguhnya sudah datar
(planimetri), hanya saja belum mempunyai
koordinat peta yang benar. Dalam hal ini,
koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan
proses georeferensi karena semua sistem
proyeksi sangat terkait dengan koordinat
peta. Sistem proyeksi peta yang digunakan
yaitu sistem proyeksi Universal Transverse
Mercator (UTM) dengan datum WGS-84.
Keluaran titik ikat atau Ground Check Point
(GCP) secara otomatis dihasilkan dengan
adanya proses georeferensi citra. Dengan cara
inilah data citra sudah terkoreksi geometrik
secara benar dengan sistem proyeksi yang
sesuai.
Gambar 11 (a) Data belum terkoreksi dan (b)
data terkoreksi, citra MODIS
akuisisi 12 Juli 2002 (siang hari)
Data citra MODIS memiliki cakupan
spasial dan temporal yang baik, sehingga
hasil pengolahan data yang didapatkan
memenuhi kriteria dalam cakupan luasan
kajian dengan rentang periode data yang
diperlukan. Hasil analisis data citra akan
lebih baik apabila data memiliki cakupan
sudut pengamatan dengan kondisi langit yang
cerah (Wan et al. 2004).
4.3 Suhu Permukaan Suhu permukaan yang diekstraksi dari
data citra MODIS merupakan nilai suhu
permukaan pada wilayah kajian, yaitu
wilayah Bogor. Wilayah Bogor yang
dimaksud antara lain Kota Bogor sebagai
pusat kota dan Kabupaten Bogor sebagai
wilayah suburban.
Dalam satu hari, satelit Terra mengambil
gambar suatu tempat yang sama sebanyak
dua kali. Nilai suhu permukaan pada citra
MODIS yang diekstraksi merupakan
gambaran suhu permukaan di wilayah Bogor
yang terekam antara pukul 08.00 - 10.00
(siang hari) dan antara pukul 20.00 - 22.00
(malam hari) waktu setempat. Pada penelitian
ini, data citra MODIS diambil sebanyak 24
akuisisi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun
2011 pada waktu siang dan malam hari di
setiap tahunnya.
Dari data citra MODIS yang telah
dipilih, kanal 31 dan kanal 32 dapat
digunakan untuk mengestraksi suhu
permukaan. Suhu permukaan diturunkan
berdasarkan persamaan Planck (Lim 2001).
Suhu permukaan hasil ektraksi kanal 31 dan
kanal 32 memiliki pola sebaran yang relatif
sama.
(a) (b)
14
Hal ini ditunjukkan seperti pada Gambar
12. Pada grafik tersebut dapat terlihat pada
kanal 31 dan kanal 32 memiliki nilai
koefisien determinasi sebesar 1. Kedua kanal
mempunyai hubungan yang linier dengan
masing-masing komponen yang saling
berhubungan.
Gambar 12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi
suhu kecerahan (K) kanal 31
dengan kanal 32 pada citra
MODIS tahun 2011 akuisisi 31
Juli 2011 (a) siang hari dan (b)
malam hari
Pada Tabel 2 menunjukkan kedua kanal
memiliki pola sebaran yang saling
berhubungan erat. Data pada masing-masing
citra memiliki nilai koefisien determinasi
yang besar. Kedua kanal ini memiliki selisih
nilai pada masing-masing hasil ekstraksi suhu
permukaan. Suhu kecerahan pada kanal 32
lebih besar dibandingkan pada kanal 31.
Selisih antara kedua kanal berbeda sekitar 3
K. Oleh karena itu, suhu permukaan akhir
bisa didapatkan dari nilai rata-rata kedua
suhu kecerahan hasil ekstraksi pada kanal 31
dan kanal 32.
Tabel 2 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu
permukaan antara kanal 31 dengan
kanal 32 pada (a) siang hari dan
(b) malam hari
Suhu permukaan dalam citra
digambarkan dalam cakupan suatu piksel
dengan berbagai tipe permukaan yang
berbeda. Suhu permukaan pada hasil
ekstraksi pada citra MODIS memiliki nilai
yang berbeda dibandingkan dengan data suhu
udara hasil pengukuran di enam stasiun yang
tersebar.
Gambar 13 Peta lokasi stasiun meteorologi
Stasiun observasi meteorologi yang
terdapat di Bogor antara lain: Stasiun
Meteorologi Atang Senjaya yang berada di
wilayah Kota Bogor; Stasiun Meteorologi
Darmaga, Stasiun Meteorologi Cibinong, dan
Stasiun Meteorologi Citeko yang berada di
wilayah Kabupaten Bogor; Stasiun
Meteorologi Halim Perdanakusuma dan
Stasiun Meteorologi Curug Budianto yang
berada di luar wilayah Bogor.
Masing-masing stasiun meteorologi
dapat mewakili data pengukuran suhu udara
hingga radius 5 km sesuai dengan
(a) Siang (b) Malam
Akuisisi R-Sq S Akuisisi R-Sq S
12 Juli 2000 100% 0.0014 18 Juli 2000 100% 0.0003
12 Juli 2001 100% 0.0008 6 Juli 2001 100% 0.0005
20 Juli 2002 100% 0.0027 11 Juli 2002 100% 0.0005
23 Juli 2003 100% 0.0016 26 Juli 2003 100% 0.0002
23 Juli 2004 100% 0.0030 23 Juli 2004 100% 0.0005
3 Juli 2005 100% 0.0017 5 Juli 2005 100% 0.0006
26 Juli 2006 100% 0.0010 11 Juli 2006 100% 0.0010
11 Juli 2007 100% 0.0020 4 Juli 2007 100% 0.0014
8 Juli 2008 100% 0.0004 8 Juli 2008 100% 0.0003
12 Juli 2009 100% 0.0031 7 Juli 2009 100% 0.0009
24 Juli 2010 100% 0.0017 24 Juli 2010 100% 0.0013
31 Juli 2011 100% 0.0015 31 juli 2011 100% 0.0008
(b)
(a)
15
karakteristik topografi tempat didirikannya
stasiun tersebut. Data pengukuran suhu udara
ini dapat dikorelasikan dengan melakukan
analisis regrasi pada hasil ekstraksi suhu
permukaan pada citra MODIS.
Tabel 3 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan
hasil ekstraksi citra dengan suhu
udara observasi
Gambar 14 Analisis regresi suhu permukaan
hasil ekstraksi citra akuisisi (a)
23 Juli 2003 dan (b) 26 Juli 2003
dengan suhu udara observasi
Analisis korelasi atau hubungan
dilakukan dengan cara analisis regresi antara
suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS
sebagai peubah respon dengan suhu udara
hasil observasi dari enam stasiun sebagai
peubah prediktor. Analisis regresi memiliki
nilai koefisien determinasi (R2) dan standar
deviasi atau simpangan baku (S) yang
menunjukkan kesalingterkaitan antar kedua
peubah. Makin tinggi nilai koefisien
determinasi (R2) maka kedua peubah saling
memiliki keterkaitan. Sebaliknya standar
deviasi, merupakan gambaran besarnya
penyimpangan, makin kecil nilai S
(mendekati nol), kedua peubah saling
memiliki keterkaitan (Drapper dan Smith
1992).
Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa
setiap analisis regresi yang dilakukan
memiliki memiliki nilai koefisien determinasi
(R2) dan standar deviasi (S) masing-masing
yang menunjukkan korelasi atau
kesalingterkaitan antar kedua peubah.
Analisis regresi yang dilakukan pada citra
akuisisi 23 Juli 2003 dan 26 Juli 2003
(Gambar 14) memiliki koefisien determinasi
masing-masing sebesar 40.9% dan 76.8%
dengan nilai simpangan baku masing-masing
sebesar 1.71 dan 1.30. Hal ini menunjukkan
suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS
tersebut memiliki keterkaitan yang cukup
sesuai terhadap suhu udara hasil observasi
dari enam stasiun yang tersebar di wilayah
sekitar Bogor.
Suhu permukaan dan suhu udara
merupakan unsur meteorologi yang berbeda.
Namun kedua suhu ini saling terkait satu
sama lain. Suhu permukaan mempunyai
pengaruh utama terhadap suhu udara lapisan
perbatas (boundary layer). Suhu permukaan
berpengaruh terhadap fluks bahang terasa
(sensible heat) terutama pada siang hari, hal
ini yang menyebabkan suhu permukaan suatu
benda lebih tinggi dari suhu udara
(Mannstein 1987). Namun pada beberapa
keadaan, suhu permukaan dapat lebih dingin
dibandingkan suhu udara, terutama pada
malam hari. Hal ini dikarenakan oleh adanya
sifat konduktivitas oleh beberapa bahan
penyusun dasar permukaan. Seperti contoh,
dasar permukaan yang terbuat dari bahan
logam atau keramik akan lebih dingin
dibandingkan dasar permukaan yang masih
berupa tanah.
Menurut Effendy (2009), penggunaan
data pengindraan jauh dapat menutupi
kekurangan kerapatan stasiun cuaca. Hal ini
dinilai dapat memiliki prospek yang baik
untuk dikembangkan di masa-masa
mendatang tanpa mengurangi pentingnya
pengukuran secara insitu pada stasiun-stasiun
cuaca sebagai bahan referensi atau rujukan.
(a) Siang (b) Malam
Akuisisi R-Sq S Akuisisi R-Sq S
12 Juli 2001 57.0% 1.40 6 Juli 2001 94.7% 0.65
20 Juli 2002 56.5% 1.81 11 Juli 2002 79.3% 1.55
23 Juli 2003 40.9% 1.71 26 Juli 2003 76.8% 1.30
23 Juli 2004 3.0% 3.93 23 Juli 2004 5.1% 3.89
3 Juli 2005 42.5% 2.41 5 Juli 2005 62.1% 1.89
26 Juli 2006 67.0% 2.47 11 Juli 2006 44.1% 2.56
11 Juli 2007 44.6% 2.67 4 Juli 2007 66.4% 1.53
(b)
(a)
16
Stasiun cuaca dapat digunakan untuk
melakukan kalibrasi atau validasi model-
model pendugaan berdasarkan ekstraksi data
pengindraan jauh sebagai analisis lebih
lanjut.
Meskipun ada beberapa korelasi pada
citra yang kurang begitu baik, seperti pada
tahun 2004, namun data citra masih bisa
digunakan untuk menganalisis urban heat
island walaupun hanya menggunakan hasil
ekstraksi data suhu permukaan. Hal ini juga
dipengaruhi oleh keberadaan stasiun
meteorologi yang kurang mencukupi di
wilayah Bogor. Sehingga keberadaan stasiun
meteorologi dalam ukuran spasial kurang
mencukupi untuk melakukan validasi dan
kalibrasi sehingga menghasilkan model yang
baik. Namun dalam hal ini, fenomena UHI
diidentifikasi menggunakan data spasial,
meskipun dengan menggunakan pendekatan
suhu permukaan dari data citra. Namun
penggunaan data citra akan lebih baik lagi
apabila didukung dengan data konvensional
seperti data dari stasiun meteorologi.
4.4 Struktur Urban Heat Island Struktur UHI dapat dideskripsikan
melalui pola spasial dan pola temporal dari
hasil pengolahan data citra. Karakteristik
spasial dapat dilihat dari pola isoterm yang
terlihat pada peta spasial, sedangkan
karakteristik temporal dapat diinterpretasikan
melalui data statistika baik secara diurnal
hingga mencapai tahunan.
Gambar 15 Sebaran jumlah sel citra tahun
2009 (siang hari)
Hasil nilai suhu permukaan akhir pada
histogram seperti pada Gambar 15
merupakan nilai suhu permukaan secara
keseluruhan pada wilayah Bogor pada setiap
data citra. Hasil statistika suhu permukaan
mengikuti histogram pola sebaran normal.
Suhu permukaan dengan nilai terbanyak
mendekati nilai tengah (mean) dari suhu
permukaan tersebut. Banyaknya jumlah pada
masing-masing rentang suhu permukaan
dihitung dari jumlah sel dalam piksel pada
masing-masing data citra.
Tabel 4 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra
(siang hari)
Tabel 5 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra
(malam hari)
Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, data
yang digunakan menunjukkan wilayah Bogor
pada siang hari memiliki suhu permukaan
rata-rata sebesar 26.8 oC, dengan rata-rata
minimum sebesar 14.2 oC dan rata-rata
maksimum sebesar 32.4 oC. Pada malam
hari, wilayah Bogor memiliki suhu
permukaan rata-rata sebesar 19.4 oC, dengan
rata-rata minimum sebesar 8.1 oC dan rata-
rata maksimum sebesar 22.2 oC.
Tahun Min Maks Rerata StdDev
2000 13.9 33.1 27.0 2.58
2001 19.3 29.7 26.3 1.50
2002 13.5 30.5 26.2 2.12
2003 10.7 33.3 27.5 2.86
2004 10.0 33.7 27.3 3.00
2005 16.8 35.4 27.6 2.88
2006 17.1 30.4 26.7 1.92
2007 11.2 32.0 25.5 2.78
2008 18.3 28.4 26.1 1.25
2009 12.4 35.1 27.9 3.35
2010 13.8 34.4 26.9 3.40
2011 13.2 32.3 26.9 3.37
Rerata 14.2 32.4 26.8 -
Tahun Min Maks Rerata StdDev
2000 10.3 21.8 19.9 1.73
2001 10.3 21.8 19.4 1.96
2002 9.8 22.1 19.6 1.72
2003 3.0 21.0 19.3 1.98
2004 10.6 21.5 19.1 1.54
2005 10.0 22.1 19.3 2.05
2006 8.7 21.7 18.5 2.34
2007 -2.6 23.2 19.8 3.00
2008 10.9 21.6 19.3 1.67
2009 8.9 23.3 20.1 2.28
2010 7.6 22.9 18.4 2.46
2011 9.5 23.2 20.0 2.20
Rerata 8.1 22.2 19.4 -
17
Gambar 16 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (siang hari)
Gambar 17 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (malam hari)
Pada siang hari suhu udara maupun suhu
permukaan jelas lebih tinggi dibandingkan
pada malam hari. Namun yang perlu
diperhatikan, suhu permukaan sangat sensitif
pada perubahan kondisi permukaan
dibandingkan suhu udara. Geometri dan
bahan properti permukaan serta kondisi
atmosfer merupakan hal yang dominan dalam
menentukan kondisi suhu permukaan.
Pada Gambar 16 dan Gambar 17
menunjukkan distribusi spasial suhu
permukaan rata-rata 12 data pada tahun 2000
sampai tahun 2011 di bulan Juli. Gambaran
spasial suhu permukaan dibedakan menjadi
dua bagian yaitu siang hari dan malam hari
18
sesuai pengambilan data citra. Pada saat siang
hari, suhu permukaan membentuk pola urban
heat island dimana suhu permukaan
berkurang dari pusat kota yang berada Kota
Bogor. Suhu permukaan tampak
memperlihatkan pola isoterm yang memusat.
Fenomena UHI yang terjadi di wilayah
Bogor terjadi akibat terdapatnya lahan
terbangun yang terpusat di Kota Bogor.
Aktivitas manusia dan pusat industri serta
wilayah komersial yang berkembang di Kota
Bogor juga mengakibatkan meningkatnya
pola UHI yang memusat di Kota Bogor
terutama pada siang hari. Meningkatnya suhu
udara pada suatu perkotaan memiliki kaitan
erat terhadap kegiatan industri dan aktivitas
kendaraan yang mengeluarkan emisi polutan
ke udara. Pada kajian yang dilakukan oleh
Adiningsih (1997), didapatkan bahwa
pengemisi gas rumah kaca terbesar
disumbangkan oleh sektor transportasi
perkotaan, khususnya di Jakarta dan
sekitarnya. Menurut Turyanti dan
Santikayasa (2006), unsur suhu udara
menunjukkan korelasi positif terhadap
konsentrasi polutan O3 di udara ambien.
Selain itu pola isoterm juga terdapat di
Kota Cibinong yang berada di sebelah utara
Kota Bogor dan juga di sepanjang Jalan Raya
Darmaga hingga Jalan Raya Ciampea yang
berada di sebelah barat Kota Bogor. Kedua
pola isoterm ini berada di Kabupaten Bogor.
Kota Cibinong merupakan kota di Kabupaten
Bogor yang memiliki pusat industri sehingga
dapat memicu pertumbuhan fenomena UHI.
Jalan Raya Darmaga hingga Jalan Raya
Ciampea merupakan wilayah yang memiliki
kepadatan kendaraan yang cukup tinggi.
Aktivitas lalu lintas di sepanjang jalan ini
cukup padat di siang hari, ditambah trayek
angkutan umum yang sangat banyak.
Sehingga di sepanjang jalan ini terlihat
pembentukan pola isoterm.
Pada saat malam hari, suhu permukaan
tidak membentuk pola urban heat island
yang berpusat di Kota Bogor. Suhu
permukaan cenderung membentuk gradien
suhu yang meningkat menuju ke utara yaitu
Kota Depok hingga Kota Jakarta dan
sekitarnya. Pola isoterm yang terjadi pada
malam hari mengikuti pola kontur ketinggian.
Fenomena UHI yang berpusat di Kota Bogor
menghilang pada malam harinya. Fenomena
UHI seperti ini dapat terjadi di wilayah
lintang rendah dengan keadaan topografi
berbukit. Pada malam hari suhu merata di
setiap wilayah akibat adanya pendinginan
dari udara dingin yang turun dari gunung
pada malam harinya (angin lembah).
Kemudian pada siang harinya fenomena UHI
cenderung tumbuh seiring meningkatnya
aktivitas manusia yang memusat di kota
(Alcoforado dan Andrade 2006).
4.5 Intensitas Urban Heat Island Untuk mengestimasi intensitas urban
heat island di wilayah Bogor, UHI dihitung
dari perbedaan antara suhu permukaan yang
berada di Kota Bogor dengan suhu
permukaan wilayah suburban. Suhu
permukaan wilayah urban diambil dari satu
suhu permukaan tertinggi dari suhu
permukaan rata-rata sebanyak 24 data (siang
dan malam) selama 12 tahun. Pengambilan
satu titik suhu permukaan diambil dari
wilayah urban yang berada di wilayah Kota
Bogor.
Gambar 18 Pengambilan titik acuan suhu
permukaan wilayah Bogor
Titik suhu permukaan wilayah suburban
tersebar di wilayah pinggir Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor. Titik suhu permukaan
wilayah suburban sebanyak 32 titik berjarak
7 km dan 14 km dari satu titik pusat atau titik
suhu permukaan wilayah urban. Titik-