51
 DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HE AT ISLAND  WILAYAH BOGOR ADHITYA NOVIANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

G13ano

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ada3

Citation preview

  • DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND

    WILAYAH BOGOR

    ADHITYA NOVIANTO

    DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2013

  • ii

    ABSTRACT

    ADHITYA NOVIANTO. Spatial and Temporal Distribution of the Urban Heat Island in Bogor

    Region. Supervised by SONNI SETIAWAN and SOBRI EFFENDY.

    The activities which is centered in the urban or industrial areas form a typical

    microclimate characteristic that is the urban heat island. In general, UHI refers to increase of the

    air temperature, but it can also refer to the relative heat surface or sub-surface material that have a

    higher temperature than the temperature surround it. In this study analysis is conducted by using

    remote sensing data that has advantages in the provision of spatial data with a wide coverage area.

    The determination of spatial and temporal distributions of UHI Bogor region use Terra MODIS

    L1B raster image data with channel 31 and channel 32 through extraction surface temperature

    components. The raster image uses two raster image data (day and night) in a month of July in the

    year 2000 until 2011. The results of this study indicate that Bogor area at the day time have an

    average surface temperature of 26.8 C, while at the night time an average surface temperature of

    19.4 oC. During the day time, the surface temperature forms the urban heat island pattern which

    centered in the city of Bogor. While at the night time, the surface temperature tends to form an

    increasing surface temperature gradient towards to the city of Depok until to the city of Jakarta. At

    the day time, the city of Bogor gives the intensity of UHI greater than at night time. During the

    daytime the intensity of UHI which are concentrated in the city of Bogor has an average value of

    2.1 C at the distance of 7 km and 3.6 C at the distance of 14 km. While at the night time the

    intensity of UHI has an average value of 0.3 C at the distance of 7 km and 1.2 C at the distance

    of 14 km.

    Keywords: Bogor, MODIS, spatial, temporal, urban heat island

  • iii

    ABSTRAK

    ADHITYA NOVIANTO. Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah Bogor.

    Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN and SOBRI EFFENDY.

    Aktivitas yang terpusat di suatu perkotaan atau wilayah industri membentuk karakteristik

    iklim mikro yang khas yaitu pulau panas perkotaan (urban heat island). Secara umum, UHI

    mengacu pada pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada panas relatif permukaan

    atau material sub permukaan yang memiliki suhu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu

    sekitar. Dalam studi ini analisis dilakukan dengan menggunakan data pengindraan jauh yang

    memiliki kelebihan dalam penyediaan data spasial dengan cakupan wilayah yang luas. Penentuan

    distribusi spasial dan temporal UHI wilayah Bogor dilakukan dengan menggunakan data citra

    Terra MODIS L1B pada kanal 31 dan kanal 32 melalui ekstraksi komponen suhu permukaan. Data

    citra yang digunakan yaitu dua data citra satelit (siang dan malam) di bulan Juli pada tahun 2000

    hingga 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah Bogor pada siang hari memiliki

    suhu permukaan rata-rata sebesar 26.8 oC, sedangkan pada malam hari suhu permukaan rata-rata

    sebesar 19.4 oC. Pada saat siang hari, suhu permukaan membentuk pola urban heat island yang

    memusat di Kota Bogor. Pada saat malam hari, suhu permukaan cenderung membentuk gradien

    suhu permukaan yang meningkat menuju Kota Depok hingga Kota Jakarta. Pada siang hari Kota

    Bogor memberikan intensitas UHI yang lebih besar dibandingkan pada malam harinya. Pada siang

    hari intensitas UHI yang memusat di Kota Bogor memiliki nilai rata-rata sebesar 2.1 oC pada jarak

    7 km dan 3.6 oC pada jarak 14 km. Pada malam hari nilai intensitas UHI rata-rata sebesar 0.3

    oC

    pada jarak 7 km dan 1.2 oC pada jarak 14 km.

    Kata kunci: Bogor, MODIS, spasial, temporal, urban heat island

  • iv

    Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

    Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

    menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

    penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

    masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

    Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam

    bentuk apa pun tanpa izin IPB

  • v

    DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND

    WILAYAH BOGOR

    ADHITYA NOVIANTO

    Skripsi

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Sains

    pada

    Departemen Geofisika dan Meteorologi

    DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2013

  • vi

    Judul Skripsi : Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah

    Bogor

    Nama : Adhitya Novianto

    NIM : G24080066

    Menyetujui,

    Pembimbing I

    Sonni Setiawan, M.Si

    NIP. 19760116 200604 1 006

    Pembimbing II

    Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si

    NIP. 19641124 199003 1 001

    Mengetahui,

    Ketua Departeman Geofisika dan Meteorologi

    Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S

    NIP. 19600305 198703 2 002

    Tanggal Lulus :

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah dan puji syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas segala

    Rahmat, Hidayah, dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat

    menyelesaikan karya ilmiah dengan judul: Distribusi Spasial Dan Temporal Urban Heat

    Island Wilayah Bogor. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan di

    program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas

    Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian, Bogor.

    Dalam penyusunan skripsi dan pelaksanaan penelitian tidak terlepas dari bantuan

    berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

    kepada :

    1 Bapak Sonni Setiawan, M.Si. dan Bapak Dr. Sobri Effendy, M.Si. dari Departemen Geofisika dan Meteorologi selaku pembimbing yang memberikan saran dan

    bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

    2 Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi beserta seluruh dosen dan karyawan atas bantuan selama mengikuti pendidikan.

    3 Bapak Sutardi, Ibu Sri Murni dan Fery Hermawan selaku keluarga atas doa restu yang senantiasa diberikan.

    4 Rizki Fitria dan keluarga yang selalu memberikan doa dan dukungan moral. 5 Faiz, Iput, Nadita, Ferdy, Fida, Fauzan, Pungki, Firman, Taufik, Emod, Yuda, dan

    teman-teman yang telah berkontribusi selama penelitian berlangsung.

    Penulis menyadari dalam tulisan skripsi ini belum sempurna, sehingga

    diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga

    berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi ilmu

    pengetahuan serta kepada seluruh pihak yang memerlukannya.

    Bogor, Januari 2013

    Adhitya Novianto

  • viii

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan pada tanggal 6 November 1990 di

    Jakarta, dari bapak bernama Sutardi dan ibu bernama Sri Murni.

    Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.

    Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD

    Negeri Rawamangun 07 Pagi Jakarta Timur pada tahun 2002,

    pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 99 Jakarta pada tahun

    2005 dan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 36 Jakarta pada

    tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Institut

    Pertanian Bogor, program studi mayor Meteorologi Terapan,

    Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

    Alam dan program studi minor Ilmu Komputer.

    Selama perkuliahan, penulis ikut berperan aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

    Beberapa organisasi yang pernah diikuti yaitu, anggota Himpunan Profesi Himagreto,

    DPM-FMIPA periode 2010, MPM-KM periode 2010, dan pernah aktif di Unit Kegiatan

    Mahasiswa Panahan IPB. Penulis pernah melakukan kegiatan magang di BMKG Pusat

    yang berada di Kemayoran, Jakarta. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas

    Mahasiswa-Gagasan Tertulis dan Program Kreativitas Mahasiswa-Artikel Ilmiah.

    Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si), penulis membuat tugas akhir

    dengan judul Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island Wilayah Bogor

    dibawah bimbingan Bapak Sonni Setiawan, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si.

  • ix

    DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. x

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... xi

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. xii

    I PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1

    1.2 Tujuan ................................................................................................................................. 1

    II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 1

    2.1 Pengindraan Jauh ................................................................................................................ 1

    2.1.1 Konsep Dasar Pengindraan Jauh ............................................................................. 1

    2.1.1.1 Gelombang Elektromagnetik .......................................................................... 2

    2.1.1.2 Hukum-hukum tentang Radiasi ...................................................................... 2

    2.1.1.3 Sistem Pengindraan Jauh ................................................................................ 3

    2.1.2 Citra MODIS ........................................................................................................... 4

    2.1.2.1 Koreksi Citra .................................................................................................. 4

    2.1.2.2 Koreksi Bow-tie Citra MODIS ....................................................................... 5

    2.2 Suhu Permukaan ................................................................................................................. 5

    2.3 Urban Heat Island .............................................................................................................. 6

    2.3.1 Jenis Urban Heat Island ......................................................................................... 6

    2.3.2 Karakteristik Spasial dan Temporal Urban Heat Island ......................................... 6

    2.3.3 Sebab dan Dampak Urban Heat Island................................................................... 7

    III METODOLOGI ......................................................................................................................... 8

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................................. 8

    3.2 Data dan Peralatan .............................................................................................................. 9

    3.3 Metode Penelitian ............................................................................................................... 9

    3.3.1 Pemilihan Data Citra Satelit .................................................................................... 9

    3.3.2 Proses Pengolahan Data Citra Satelit ...................................................................... 9

    3.3.3 Suhu Permukaan ..................................................................................................... 9

    3.3.4 Urban Heat Island ................................................................................................ 10

    3.3.5 Digital Elevation Model dan Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor ........................... 11

    3.4 Asumsi Dasar Penelitian ................................................................................................... 11

    IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 11

    4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ........................................................................................ 11

    4.2 Pengolahan Data Citra MODIS......................................................................................... 13

    4.3 Suhu Permukaan ............................................................................................................... 13

    4.4 Struktur Urban Heat Island .............................................................................................. 16

    4.5 Intensitas Urban Heat Island ............................................................................................ 17

    V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 20

    5.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 20

    5.2 Saran ................................................................................................................................. 20

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 20

  • x

    DAFTAR TABEL

    1 Tutupan lahan wilayah Bogor .................................................................................................. 12

    2 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu permukaan antara

    kanal 31 dengan kanal 32 pada (a) siang hari dan (b) malam hari .......................................... 14

    3 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan hasil ekstraksi citra

    dengan suhu udara observasi .................................................................................................... 15

    4 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (siang hari) ............................. 16

    5 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra (malam hari) .......................... 16

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    1 Komponen utama sistem pengindraan jauh................................................................................ 2

    2 Spektrum elekromagnetik .......................................................................................................... 2

    3 Intensitas emisi benda hitam (blackbody) pada berbagai suhu (Michaelsen 2010) .................... 3

    4 Morfologi efek bow-tie (Maier et al. 2004) ............................................................................... 5

    5 Profil suhu udara dalam urban canopy layer (UCL) dan suhu permukaandalam kondisi

    heat island optimum pada (a) siang hari dan (b) malam hari (Voogt 2002) .............................. 6

    6 Model pola spasial suhu udara kota pada malam hari (Voogt 2002) ......................................... 7

    7 Perkembangan umum suhu udara harian perkotaan dan pedesaan (garis tebal) dan

    intensitas heat island (garis tipis) (Voogt 2002) ........................................................................ 7

    8 Wilayah kajian (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) ................................................................. 8

    9 Diagram alir metodologi penelitian.......................................................................................... 10

    10 Peta ketinggian di wilayah Bogor ............................................................................................ 12

    11 (a) Data belum terkoreksi dan (b) data terkoreksi, citra MODIS akuisisi 12 Juli 2002

    (siang hari) ............................................................................................................................... 13

    12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi suhu kecerahan (K) kanal 31 dengan kanal 32 pada

    citra MODIS tahun 2011 akuisisi 31 Juli 2011 (a) siang hari dan (b) malam hari .................. 14

    13 Peta lokasi stasiun meteorologi ................................................................................................ 14

    14 Analisis regresi suhu permukaan hasil ekstraksi citra akuisisi (a) 23 Juli 2003 dan

    (b) 26 Juli 2003 dengan suhu udara observasi. ........................................................................ 15

    15 Sebaran jumlah sel citra tahun 2009 (siang hari) ..................................................................... 16

    16 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (siang hari) .......................... 17

    17 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (malam hari) ........................ 17

    18 Pengambilan data sampel titik suhu permukaan wilayah Bogor .............................................. 18

    19 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __

    kolom biru) dan 14 km (UHI+14 __

    kolom

    merah) pada saat siang hari ...................................................................................................... 19

    20 Besar intensitas UHI berjarak 7 km (UHI+7 __

    kolom biru) dan 14 km (UHI+14 __

    kolom

    merah) pada saat malam hari.................................................................................................... 19

  • xii

    DAFTAR LAMPIRAN

    1 Spesifikasi dan dimensi satelit MODIS ................................................................................... 23

    2 Spesifikasi resolusi spektral MODIS ....................................................................................... 23

    3 Karakteristik dan kegunaan umum sensor MODIS .................................................................. 24

    4 Peta tutupan lahan wilayah Bogor ............................................................................................ 25

    5 Persentase tutupan lahan wilayah Bogor .................................................................................. 25

    6 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang

    hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2000-2003 ............................................................... 26

    7 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang

    hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2004-2007 ............................................................... 27

    8 Hubungan hasil ekstraksi suhu kecerahan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada siang

    hari (kiri) dan malam hari (kanan) tahun 2008-2011 ............................................................... 28

    9 Perbandingan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS dengan suhu udara hasil

    observasi (siang hari) ............................................................................................................... 29

    10 Perbandingan suhu permukaan hasil ekstraksi citra MODIS dengan suhu udara hasil

    observasi (malam hari) ............................................................................................................. 30

    11 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2000-2005 (siang hari) .................. 31

    12 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (siang hari) .................. 32

    13 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2000-2005 (malam hari) ................. 33

    14 Distribusi spasial suhu permukaan wilayah Bogor tahun 2006-2011 (malam hari) ................. 34

    15 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2000-2005 ........................................................... 35

    16 Besar intensitas UHI pada siang hari tahun 2006-2011 ........................................................... 36

    17 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2000-2005 ......................................................... 37

    18 Besar intensitas UHI pada malam hari tahun 2006-2011 ......................................................... 38

  • 1

    I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk yang diikuti

    dengan peningkatan luasan ruang terbangun

    dan jumlah kendaraan bermotor di suatu

    perkotaan membawa dampak secara tidak

    langsung terhadap perubahan komponen

    unsur iklim. Perubahan unsur iklim yang

    terjadi antara lain seperti suhu, arah dan

    kecepatan angin, dan kelembaban udara. Dari

    keempat unsur tersebut, perubahan yang

    paling dirasakan yaitu peningkatan suhu.

    Peningkatan aktivitas yang terpusat di

    suatu perkotaan atau wilayah industri

    membentuk karakteristik iklim mikro yang

    khas. Salah satu karakteristik iklim mikro

    yang tampak adalah dengan terbentuknya

    pulau panas (heat island). Pulau panas

    perkotaan atau biasa disebut urban heat

    island (UHI) adalah suatu fenomena

    peningkatan suhu rata-rata di daerah dengan

    bangunan yang lebih padat dari pada suhu

    udara terbuka sekitarnya (Atkinson 2003).

    Fenomena UHI pada suatu daerah

    ditandai dengan adanya suhu yang lebih

    tinggi bila dibandingkan dengan suhu

    sekitarnya. Secara umum, UHI mengacu pada

    pertambahan suhu udara, tetapi juga bisa

    mengacu pada panas relatif permukaan atau

    material sub permukaan. Suhu udara tertinggi

    biasanya terdapat di pusat kota (urban) atau

    kawasan industri dan akan menurun secara

    bertahap ke arah daerah pinggir kota

    (suburban/rural). Dari beberapa penelitian

    ditemukan bahwa heat island berkembang

    cepat di musim kemarau dan sering terjadi di

    pusat kota dan kawasan industri. Selain itu

    intensitas UHI akan jauh berkembang pada

    siang hari dan akan menyusut pada malam

    hari (Oke 1997; Voogt 2002).

    Pendugaan UHI yang efektif dapat

    dilakukan dengan kajian observasi suhu udara

    di perkotaan dan sekitarnya. Contoh kajian

    UHI seperti yang telah dilakukan oleh Masat (2009) dengan pendekatan analisis data

    stasiun cuaca. Suhu udara di kota Jakarta

    lebih besar 0.8 oC dibandingkan suhu udara

    yang berada di pinggiran kota. Namun, untuk

    mengetahui luasan distribusi suhu permukaan

    suatu daerah dengan cakupan yang luas dapat

    juga dilakukan dengan melakukan

    pemantauan dari data citra satelit. Seperti

    yang dilakukan Effendy et al. (2006) dalam

    penelitiannya menganalisis dampak UHI

    terhadap perubahan indeks kenyamanan

    (THI) menggunakan data Landsat.

    Dalam studi ini dilakukan analisis

    penentuan distribusi spasial dan temporal

    UHI wilayah Bogor dengan menggunakan

    data pengindraan jauh. Menurut Streutker

    (2003), teknik pengindraan jauh memiliki

    kelebihan dalam penyediaan data spasial

    dengan akurasi baik serta cakupan wilayah

    yang luas, sehingga pemanfaatan teknik

    pengindraan jauh ini sangat membantu

    apabila wilayah kajian tidak memiliki stasiun

    pengamat cuaca yang memadahi. Selain itu,

    teknik pengindraan jauh dapat menghemat

    biaya dan waktu, serta menyediakan data

    yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan.

    Dengan demikian, penentuan distribusi UHI

    secara spasial dan temporal yang diperoleh

    melalui ekstraksi komponen suhu permukaan

    dapat lebih mudah dilakukan.

    1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah :

    a Mengidentifikasi urban heat island wilayah Bogor dengan menggunakan data

    citra satelit

    b Membuat suatu analisis pola spasial dan temporal urban heat island wilayah Bogor

    c Mengestimasi intensitas urban heat island wilayah Bogor

    II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Pengindraan Jauh Pengindraan jauh (remote sensing)

    merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk

    mendapatkan informasi mengenai permukaan

    bumi seperti suatu objek, daerah, atau

    fenomena melalui analisis data dari citra yang

    diperoleh dari jarak jauh dengan

    menggunakan sensor (Lillesand dan Kiefer

    1994). Data yang diperoleh dari pengindraan

    jauh dapat berbentuk hasil dari variasi daya,

    gelombang bunyi atau elektromagnetik. Data

    tersebut dikelola dan akan digunakan untuk

    kepentingan tertentu.

    2.1.1 Konsep Dasar Pengindraan Jauh Konsep pengindraan jauh terdiri atas

    beberapa komponen dasar yang meliputi

    sumber energi, atmosfer, target/objek kajian,

    alur transmisi, dan satelit itu sendiri dengan

    sensor beserta sistemnya (DeMers dan

    Michael 2005). Komponen dalam sistem ini

    bekerja sama untuk mengukur dan mencatat

    informasi mengenai target tanpa menyentuh

    objek tersebut.

  • 2

    Gambar 1 Komponen utama sistem

    pengindraan jauh

    2.1.1.1 Gelombang Elektromagnetik Gelombang elektromagnetik atau energi

    elektromagnetik dalam pengindraan jauh

    merupakan energi yang dipancarkan maupun

    dipantulkan oleh objek yang direkam oleh

    sensor satelit. Gelombang elektromagnetik

    dapat berasal dari matahari (pasif) maupun

    satelit itu sendiri (aktif). Gelombang ini

    seperti gelombang atau gerakan partikel yang

    dapat merambat melalui dan tanpa melalui

    medium. Energi atau radiasi yang

    ditranmisikan ini dapat merambat di medium

    atmosfer bumi maupun di dalam ruang

    hampa. Gelombang elektromagnetik terdiri

    dari beberapa spektrum panjang gelombang,

    mulai dari gelombang pendek sampai

    gelombang panjang.

    Gambar 2 Spektrum elekromagnetik

    Gelombang elektromagnetik bergerak

    secara harmonis berbentuk sinusiodal pada

    suatu kecepatan cahaya, digambarkan dengan

    persamaan berikut:

    (1) dimana,

    c : kecepatan cahaya (3 x 108

    m/s)

    f : frekuensi gelombang (Hz)

    : panjang gelombang (m)

    Umumnya dalam pengindraan jauh,

    istilah spektrum menunjuk pada bagian

    tertentu dan sumber energinya seperti

    spektrum yang sering digunakan yaitu, sinar

    tampak dan inframerah reflektif, inframerah

    panas, dan gelombang mikro. Istilah saluran

    (band) atau kanal (channel) digunakan untuk

    porsi yang lebih kecil, misalnya pada

    spektrum sinar tampak memiliki kanal atau

    band biru, hijau, dan merah.

    2.1.1.2 Hukum-hukum tentang Radiasi Sifat radiasi elektromagnetik mudah

    diuraikan dengan menggunakan teori

    gelombang namun lebih mudah diuraikan

    dengan menggunakan partikel karena

    interaksinya dengan objek dapat mudah

    diterangkan. Hukum Planck memberikan

    dasar mengenai energi elektromagnetik yang

    dapat dibagi-bagi menjadi beberapa paket

    atau kuanta. Teori ini secara khusus

    digunakan untuk menjelaskan sebaran

    intensitas radiasi yang dipancarkan oleh

    benda hitam. Selain itu teori ini juga

    menjelaskan efek fotoelektrik yang

    menyimpulkan bahwa energi cahaya datang

    dalam bentuk kuanta yang disebut foton.

    Besarnya energi dalam satu kuanta

    tergantung pada frekuensi dan panjang

    gelombang radiasinya, sesuai dengan

    persamaan:

    (2) dimana,

    E : energi kuantum (J)

    h : tetapan Planck (6.626x10-34

    J/s)

    f : frekuensi (Hz)

    Apabila persamaan di atas digabungkan

    dengan persamaan gelombang maka menjadi:

    Berdasarkan persamaan di atas maka

    energi kuantum berbanding terbalik dengan

    panjang gelombang. Semakin panjang

    panjang gelombang maka semakin rendah

    tenaga kuantumnya dan sebaliknya.

    Semua benda di permukaan bumi

    merupakan sumber radiasi walaupun besar

    dan komposisi spektralnya berbeda dengan

    radiasi matahari. Oleh karena itu semua

    benda pada suhu di atas nol Kelvin

    memancarkan radiasi elektromagnetik secara

    terus menerus. Besarnya energi radiasi suatu

    objek di permukaan bumi merupakan fungsi

    suhu permukaan objek tersebut, seperti yang

    ditunjukkan oleh Hukum Stefan Boltzman

    yaitu:

    (4) dimana,

    W : fluks energi radiasi yang dipancarkan

    oleh permukaan objek setiap detik per

    satuan luas (W m-2

    )

    : tetapan Stefan Boltzman (5.56697 x 10

    -8 W m

    -2 K

    -4)

    T : suhu absolut objek (K)

  • 3

    Hukum ini berlaku untuk sumber energi

    sebagai benda hitam sempurna (blackbody)

    yaitu benda yang akan menyerap tenaga yang

    diterimanya dari segala sudut penerimaan dan

    memancarkannya kembali ke segala arah

    dengan seluruh panjang gelombang yang ada.

    Fakta di alam, hampir semua benda tidak

    memiliki sifat seperti benda hitam sempurna

    yang ada hanya mendekati sifat tersebut.

    Oleh karena itu setiap energi yang

    dipancarkan suatu objek di permukaan bumi

    tidak tergantung pada suhu absolutnya, tetapi

    tergantung pada daya pancarnya sehingga

    jumlah energi yang dipancarkan merupakan

    fungsi suhu dan akan meningkat dengan

    adanya peningkatan suhu. Hal ini

    menyebabkan jumlah energi yang

    dipancarkan suatu objek bervariasi dengan

    suhunya dan didasarkan pada panjang

    gelombangnya.

    Gambar 3 Intensitas emisi benda hitam

    (blackbody) pada berbagai suhu

    (Michaelsen 2010)

    Pada kurva di atas memperlihatkan

    distribusi radiasi untuk benda hitam

    sempurna pada berbagai suhu. Kurva tersebut

    menunjukkan adanya pergeseran puncak

    distribusi radiasi benda hitam ke arah panjang

    gelombang yang makin pendek apabila suhu

    naik yang menyebabkan intensitas radiasi

    yang dipancarkan juga naik. Panjang

    gelombang yang dominan atau panjang

    gelombang yang mencapai radiasi maksimum

    berkaitan dengan suhunya. Hubungan antara

    pancaran maksimum objek, panjang

    gelombang, dan suhu dinyatakan dengan

    hukum pergeseran Wien dengan persamaan:

    Berdasarkan persamaan di tersebut,

    dengan suhu mutlak matahari 6000 K maka

    akan didapatkan nilai panjang gelombang

    maksimum radiasi matahari yang mampu

    memberikan pancaran puncak maksimum

    terjadi pada panjang gelombang 0.55 m.

    Nilai tersebut merupakan nilai tengah

    panjang gelombang untuk cahaya tampak.

    Permukaan bumi dengan suhu permukaan

    sebesar 300 K memberikan nilai pancaran

    puncak maksimum pada panjang gelombang

    9.7 m. Oleh karena itu, pengindraan jauh

    termal banyak dilakukan pada kisaran

    panjang gelombang infra merah yaitu antara

    8 m sampai 14 m.

    2.1.1.3 Sistem Pengindraan Jauh Seluruh sistem pengindraan jauh mutlak

    memerlukan sumber energi. Sumber energi

    dapat berupa sumber energi alami, misalnya

    matahari, atau sumber energi buatan yang

    dapat memancarkan energi elektromagnetik

    berasal dari satelit itu sendiri. Energi

    berinteraksi dengan target atau objek yang

    ingin dikaji dan sekaligus berfungsi sebagai

    media untuk meneruskan informasi kepada

    sensor. Sensor adalah sebuah alat yang

    mengumpulkan dan mencatat radiasi

    elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan

    dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses

    menjadi format yang siap pakai, diantaranya

    berupa citra (imagery). Citra ini kemudian

    diinterpretasikan untuk mencari informasi

    mengenai target. Proses interpretasi biasanya

    melakukan pengolahan data citra dengan

    bantuan komputer dan perangkat lunak

    pengolah citra.

    Data pengindraan jauh dapat dianalisis

    untuk mendapatkan informasi tentang objek,

    daerah, atau fenomena yang diindra atau

    diteliti. Analisis data pengindraan jauh

    memerlukan data rujukan seperti peta

    tematik, data statistik, dan data lapangan.

    Hasil akhir yang diperoleh berupa informasi

    mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan,

    kondisi lokasi, dan kondisi sumberdaya

    daerah yang diindrakan. Hasil akhir suatu

    proses pengolahan indraja tergantung pada

    tujuan dan kebutuhan si pengguna. Oleh

    karena itu, pihak pengguna merupakan

    komponen penting dalam sistem indraja.

    Keseluruhan proses mulai dari pengambilan

    data, analisis data hingga penggunaan data

    disebut Sistem Pengindraan Jauh (DeMers

    dan Michael 2005).

  • 4

    2.1.2 Citra MODIS Citra MODIS (Moderate-Resolution

    Imaging Spectroradiometer) adalah muatan

    instrumen ilmiah berupa sensor yang

    diluncurkan ke orbit Bumi pada tahun 1999

    oleh NASA pada Satelit Terra (EOS AM),

    dan pada tahun 2002 pada Satelit Aqua (EOS

    PM). Satelit ini mampu meliputi areal dengan

    luasan 2330 km. MODIS dirancang untuk

    memberikan pengukuran dalam skala besar

    dinamika global seperti pergerakan awan di

    bumi, radiasi netto dan proses yang terjadi di

    lautan, di darat, dan di atmosfer yang lebih

    rendah.

    Instrumen memiliki 36 saluran (band)

    atau kanal (channel) dengan panjang resolusi

    spektral gelombang berkisar dari 0.4 m

    sampai 14.4 m dan pada resolusi spasial

    yang bervariasi yaitu 250 m (kanal 1-2), 500

    m (kanal 3-7) dan 1000 m (kanal 8-36)

    (Lampiran 3). MODIS memiliki resolusi

    temporal 1 sampai 2 hari untuk mengambil

    gambar citra permukaan bumi sepanjang satu

    putaran penuh keliling bumi. MODIS

    memiliki resolusi radiometrik sampai 12 bits

    sehingga dapat membedakan warna hingga

    4000 warna. Sensor ini dapat bekerja pada

    cahaya tampak, inframerah, dan gelombang

    mikro. Citra yang paling sering dimanfaatkan

    adalah data hasil citra visible light. Hasil citra

    dari sensor satelit ini dapat memberikan

    informasi mengenai dinamika global dan

    proses-proses yang terjadi di darat, laut dan

    atmosfer. Selain itu sensor satelit ini dapat

    menghitung radiasi gelombang panjang

    pemukaan dari benda-benda alam seperti

    tanah, pasir, vegetasi, dan lainnya,

    berdasarkan fungsi Planck dan hukum Stefan-

    Boltzmann (Wang et al. 2005).

    2.1.2.1 Koreksi Citra Tahapan paling penting dalam

    pengolahan awal citra satelit adalah

    melakukan koreksi, sehingga citra tersebut

    sesuai dengan peta yang diinginkan dan

    hilang dari berbagai kesalahan yang ada.

    Untuk dapat memberikan informasi yang

    benar, baik jenis informasi maupun skalanya,

    rekaman citra satelit harus diperbaiki.

    Citra digital yang belum diolah berisi

    distorsi geometrik sehingga tidak dapat

    digunakan sebagai peta. Kesalahan geometrik

    terjadi selama proses pengumpulan data.

    Citra yang mempunyai kesalahan geometrik

    berarti jarak, luas, arah, sudut, dan bentuk

    bervariasi di semua bagian citra. Sumber

    distorsi geometrik antara lain merupakan

    distorsi panoramik (sumber kesalahan

    geometri terbesar), orientasi, rotasi bumi,

    kesalahan instrumen, dan ketidakstabilan

    platform (wahana).

    Sistem koordinat pada hasil produk citra

    MODIS yang dikeluarkan oleh NASA

    sesungguhnya sudah datar (planimetri), hanya

    saja belum mempunyai koordinat peta yang

    benar. Dalam hal ini, koreksi geometrik

    sesungguhnya melibatkan proses georeferensi

    karena semua sistem proyeksi sangat terkait

    dengan koordinat peta. Georeferensi adalah

    suatu proses memberikan koordinat peta pada

    citra yang sesungguhnya sudah planimetris.

    Sistem proyeksi berpijak pada tiga kaidah

    yaitu mempertahankan jarak, sudut dan luas

    (equal distance, equal angle, equal area). Di

    Indonesia, sistem proyeksi yang digunakan

    adalah sistem proyeksi UTM (Universal

    Transverse Mercator) dengan datum DGN-95

    (Datum Geodesi Nasional) atau WGS84

    untuk tingkat internasionalnya.

    Koreksi radiometrik merupakan teknik

    perbaikan citra satelit untuk menghilangkan

    efek atmosferik yang mengakibatkan

    kenampakan bumi tidak selalu tajam. Koreksi

    radiometrik bertujuan untuk menghilangkan

    pengaruh haze, kekaburan citra, dan

    kekurangjelasan daya pisah unsur, sehingga

    mampu membuat citra terlihat lebih tajam

    dan jelas detailnya (Supriatna dan Sukartono

    2002). Selain itu koreksi radiometrik juga

    berfungsi untuk menghilangkan efek

    duplikasi data pada citra di baris-baris

    tertentu seperti koreksi bow-tie pada citra

    MODIS.

    Koreksi ini merupakan tahap awal

    pengolahan data sebelum analisis dilakukan.

    Perlu diketahui, untuk melakukan koreksi

    radiometrik sebaiknya dilakukan sebelum

    menggabungkan kanal-kanal citra. Hal ini

    dimaksudkan agar objek yang terekam mudah

    diinterpretasikan atau dianalisis untuk

    menghasilkan data atau informasi yang benar

    sesuai dengan keadaan lapangan.

    Cropping merupakan teknik dasar pada

    pengolahan data citra dengan memotong

    daerah kajian pada citra. Hal ini dilakukan

    supaya daerah yang diamati terpusat,

    sehingga daerah yang diamati memiliki

    batasan hanya sampai pada wilayah kajian

    yang diambil dari citra sebenarnya. Karena

    data citra yang dikaji (yang telah dilakukan

    proses cropping) akan lebih cepat dalam

    memproses data. Kegunaan lainnya adalah

    pengamatan citra yang memiliki batasan

    dapat memiliki ukuran size yang lebih kecil

    pada pengamatan visual maupun dari segi

    ukuran file dibandingkan dari citra

  • 5

    sebelumnya yang lebih besar. Karena

    pengamatan citra pada cakupan yang besar

    membutuhkan super-computer yang memiliki

    spesifikasi kebutuhan komputer yang besar

    dengan ukuran harddisk besar, resolusi layar

    besar, dan memori RAM yang besar pula.

    2.1.2.2 Koreksi Bow-tie Citra MODIS Data mentah pada citra MODIS pada

    baris-baris tertentu terdapat kerusakan citra

    berupa duplikasi baris di bagian tertentu. Hal

    ini terjadi karena pada perangkat satelit

    terdapat peningkatan Instantaneous Field Of

    View (IFOV) dari 1x1 km pada titik terendah

    (nadir) menjadi hampir mendekati 2x5 km

    pada sudut scan maksimum yaitu 55o.

    Pengaruh bow-tie terjadi ketika sensor

    pemandaian mencapai sudut 15o, besar sudut

    semakin meningkat akan menyebabkan

    semakin jelas efeknya (Wen 2008). Untuk

    memperbaiki kerusakan tersebut perlu

    dilakukan koreksi radiometrik untuk

    menghilangkan efek tersebut. Selanjutnya

    seluruh data pada citra asli akan

    ditransformasikan secara matematik ke citra

    akhir atau resampling. Dalam hal ini dibentuk

    piksel baru sebagai perbaikan pada piksel

    lama yang mengalami kerusakan yaitu

    dengan teknik tetangga terdekat (nearest neighbour). Teknik ini dilakukan dengan cara

    mengalihkan titik keabuan piksel yang telah

    terkoreksi dengan harga keabuan piksel

    tetangganya pada citra semula.

    Gambar 4 Morfologi efek bow-tie

    (Maier et al. 2004)

    Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4,

    bahwa data dipengaruhi oleh efek bow-tie

    menempati sebagian dari gambar. Oleh

    karena itu, efek bow-tie harus dihapus

    sebelum aplikasi data MODIS dikeluarkan.

    Scan pertama dan ketiga diwakili oleh kisi

    yang cerah, sedangkan scan kedua diwakili

    oleh kisi yang hitam (Wen 2008).

    2.2 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai

    suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu

    permukaan benda tergantung dari sifat fisik

    permukaan objek, diantaranya yaitu

    emisivitas, kapasitas panas jenis, dan

    konduktivitas termal. Misalkan permukaan

    pada daratan di siang hari yaitu memiliki

    emisivitas dan kapasitas panas jenis yang

    rendah, sedangkan konduktivitas termalnya

    tinggi, maka suhu permukaan objek tersebut

    akan meningkat.

    Suhu permukaan diperoleh dari suhu

    kecerahan yang diturunkan dari persamaan

    Planck seperti berikut:

    ( (

    ) )

    dimana,

    : radiasi yang dipancarkan benda hitam, dalam hal ini yaitu L T : suhu mutlak (K)

    Suhu permukaan dengan mudah dapat

    diidentifikasi dengan memakai asumsi

    emisivitas sama dengan satu dimana sifat

    tersebut dimiliki oleh benda hitam (Wang et

    al. 2005). Benda hitam adalah objek yang

    menyerap seluruh radiasi elektromagnetik,

    kemudian menurut teori fisika klasik, objek

    tersebut juga haruslah memancarkan energi

    yang diserapnya. Oleh karena itu energi suatu

    benda dapat diukur.

    Dalam remote sensing, suhu permukaan

    dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan

    rata-rata dari suatu permukaan yang

    digambarkan dalam cakupan suatu piksel

    dengan berbagai tipe permukaan yang

    berbeda. Besarnya suhu permukaan

    dipengaruhi oleh panjang gelombang yang

    ditangkap oleh sensor. Suhu permukaan dapat

    dideteksi dengan baik menggunakan kanal

    inframerah termal. Namun, kondisi keawanan

    juga tidak luput dari tangkapan sensor.

    Kondisi keawanan merupakan salah satu

    gangguan untuk menganalisis permukaan

    bumi. Suhu permukaan awan biasanya

    memiliki suhu yang lebih rendah

    dibandingkan suhu permukaan. Sehingga

    dalam keadaan ini dapat digunakan metode

    filter pada suhu yang rendah.

    Suhu permukaan merupakan salah satu

    kunci keseimbangan energi pada permukaan

    dan merupakan variabel klimatologis yang

    utama dalam mengendalikan fluks energi

    gelombang panjang yang melalui atmosfer.

    Suhu di dekat permukaan atau lapisan

    perbatas sangat dipengaruhi oleh fluks energi

    dan karakteristik fisis permukaan.

    Kesetimbangan energi alam antara input

  • 6

    radiasi matahari, emisivitas, panjang

    gelombang, dan transfer panas terasa

    menghasilkan siklus diurnal pemanasan dan

    pendinginan dari permukaan bumi dan

    lapisan batas atmosfer. Seperti dalam halnya

    untuk menganalisis urban heat island, suhu

    permukaan merupakan kontribusi terbesar

    dalam memberikan panas kota setelah

    aktivitas manusia.

    2.3 Urban Heat Island Urban heat island (UHI) adalah

    karakteristik panasnya daerah urban

    dibandingkan dengan daerah non-urban yang

    mengelilinginya. Secara umum, UHI

    mengacu pada peningkatan suhu udara, tetapi

    UHI dapat juga mengacu pada panas relatif

    sebuah permukaan atau material diatasnya.

    UHI secara tidak sengaja meningkatkan

    perubahan iklim lokal karena modifikasi

    atmosfer dan permukaan pada daerah urban.

    Namun, UHI tidak berpengaruh langsung

    terhadap pemanasan global karena

    pendudukan suatu kota hanya merupakan

    sebagian kecil dari seluruh permukaan bumi.

    UHI mempunyai implikasi penting bagi

    kesehatan dan kenyamanan manusia, polusi

    udara, neraca energi, dan perencanaan kota.

    UHI di kota beriklim panas sangat tidak

    menguntungkan karena menyebabkan

    kapasitas udara semakin banyak menyimpan

    udara panas dibandingkan udara dinginnya,

    selain itu juga meningkatkan ketidak-

    nyamanan manusia, dan meningkatkan

    konsentrasi polusi udara. Meningkatnya

    jumlah populasi di dunia, terutama pada

    negara berkembang, berarti akan

    meningkatkan intensitas UHI di negara

    tersebut yang akan mempengaruhi kehidupan

    manusia (Voogt 2002).

    2.3.1 Jenis Urban Heat Island Observasi mengenai UHI banyak

    didapatkan dari pengukuran suhu udara

    berasal dari stasiun cuaca/meteorologi

    maupun alat observasi manual yang

    ditempatkan di bawah atap bangunan-

    bangunan dan pohon-pohon, dikenal sebagai

    urban canopy layer (UCL). Observasi ini

    dapat dilakukan dengan menggunakan

    jaringan stasiun-stasiun yang tetap atau dari

    stasiun buatan yang bergerak, contohnya pada

    kendaraan yang ditempelkan termometer.

    Sekarang, teknologi pengindraan jauh

    dengan sensor inframerah termal dapat

    digunakan untuk mengamati UHI permukaan,

    dengan resolusi spasial yang tinggi. Sensor

    ini mendeteksi radiasi yang dipancarkan dan

    dipantulkan oleh permukaan. Keluaran yang

    dihasilkan berupa suhu permukaan dan bisa

    dilanjutkan menjadi suhu udara dengan

    komponen-komponen meteorologis tertentu

    yang diperlukan. Suhu permukaan yang

    dihasilkan ini mungkin cukup berbeda

    dengan suhu permukaan yang sebenarnya

    karena adanya perbedaan informasi yang

    diperoleh oleh citra pada sebuah piksel.

    Ukuran spasial juga mempengaruhi ketepatan

    nilai digital pada sebuah citra.

    Gambar 5 Profil suhu udara dalam urban canopy layer (UCL) dan suhu

    permukaan dalam kondisi heat

    island optimum pada (a) siang

    hari dan (b) malam hari (Voogt

    2002)

    Suhu permukaan sangat sensitif pada

    perubahan kondisi permukaan dibandingkan

    suhu udara. Hal tersebut diperlihatkan pada

    Gambar 5 yang memperlihatkan banyaknya

    perbedaan variabilitas spasial dan variasi

    temporal pada siang dan malam. Meskipun

    UHI yang didapatkan dari suhu udara dan

    suhu permukaan saling terkait, namun

    keduanya tidaklah sama, dan perbedaan

    keduanya harus diperhatikan diantaranya

    (Voogt 2002).

    2.3.2 Karakteristik Spasial dan Temporal Urban Heat Island

    Istilah UHI timbul karena pola isoterm

    yang membentuk seperti pulau. Besarnya

    pola yang timbul tergantung dari daerah yang

    terurbanisasi. Pola ini akan membentuk

    gradien suhu yang yang membentuk mulai

    dari daerah pinggiran sampai memuncak di

    pusat kota. Perbedaan suhu antara urban dan

    desa di sekelilingnya dapat mencapai 12 C

    pada kota-kota metropolitan. Di dalam

    wilayah terbangun, pola ini dipengaruhi

    secara lokal oleh adanya ruang terbuka hijau

    seperti taman kota, badan air, dan banyak

    sedikitnya ruang terbangun (Voogt 2002).

    (a)

    (b)

  • 7

    Pola spasial isoterm biasanya mengikuti

    daerah terurbanisasi. Pola topografi (pesisir

    atau lokasi lembah) juga dapat menambah

    kompleksitas kepada karakteristik spasial

    UHI. Besarnya heat island atau intensitas

    heat island diukur dari perbedaan antara suhu

    udara rural dan suhu tertinggi di daerah

    urban (Voogt 2002).

    Gambar 6 Model pola spasial suhu udara

    kota pada malam hari (Voogt

    2002)

    UHI pada malam hari akan meningkat

    sebagai akibat perbedaan rata-rata

    pendinginan antara wilayah urban dan rural.

    Perbedaan ini akan semakin tinggi saat

    keadaan cerah dan tidak berangin/lemah.

    Intensitas heat island secara umum

    meningkat mulai saat matahari tenggelam,

    walaupun puncaknya bergantung pada

    keadaan cuaca dan musim. Dalam beberapa

    kasus, nilai intensitas yang bernilai negatif

    yang disebut cool island, terjadi karena

    karakteristik dalam perkotaan yang lambat

    dalam meningkatkan suhu akibat adanya

    halangan radiasi yang masuk dibandingkan di

    daerah pinggiran yang memiliki lahan

    terbuka.

    Gambar 7 Perkembangan umum suhu udara

    harian perkotaan dan pedesaan

    (garis tebal) dan intensitas heat

    island (garis tipis) (Voogt 2002)

    Intensitas atau besarnya heat island

    maksimum biasanya terjadi pada saat malam

    hari dimana perbedaan suhu udara wilayah

    urban dan suburban mencapai maksimum.

    Wilayah urban akan cenderung memper-

    tahankan suhu dalam kota dibandingkan

    wilayah suburban. Lebih lanjut lagi, setelah

    matahari terbit suhu udara di daerah rural

    akan menyamai suhu udara di wilayah urban.

    Hal ini disebabkan wilayah urban memiliki

    tutupan bayangan oleh bangunan tinggi

    (urban canopy) dan melemahnya sinar

    matahari karena lapisan polusi yang terangkat

    yang mengakibatkan suhu udara meningkat

    lebih lambat pada pagi hari. Pada lintang

    rendah, efek ini dapat saja memproduksi

    urban cool island di mana daerah rural lebih

    panas daripada daerah urban (Voogt 2002).

    Selain itu kondisi lokal seperti topografi,

    daerah iklim, dan musim mempengaruhi

    karakteristik urban heat island wilayah lokal

    tersebut (Oke 1997).

    Penelitian tentang UHI di beberapa kota

    besar di Indonesia dengan data satelit

    menunjukkan adanya perubahan temperatur

    yang merupakan salah satu indikasi adanya

    perubahan iklim, hal ini ada hubungannya

    dengan perubahan lahan yang terjadi akibat

    urbanisasi. Di Bandung teramati perluasan

    UHI (daerah dengan suhu tinggi 30-35 0C

    yang terletak pada kawasan terbangun di

    pusat kota per tahun kira-kira 12606 ha atau

    4.47%, di Semarang 12174 ha atau 8.4%, di

    Surabaya 1512 ha atau 4.8%. Pertumbuhan

    kawasan terbangun di Bandung per tahun

    kurang lebih 1029 ha (0.36%), Semarang

    1200 ha (0.83%), dan Surabaya 531.28 ha

    (1.69%) (Tursilowati 2007).

    2.3.3 Sebab dan Dampak Urban Heat Island

    Voogt (2002) mengatakan bahwa

    formasi urban heat island dipengaruhi oleh

    karakteristik permukaan dan kondisi

    atmosferik. Tambahan panas langsung

    menuju atmosfer melalui aktivitas manusia,

    yang dikenal sebagai panas antropogenik

    dapat memainkan peran penting dalam

    pembentukan UHI. Penyebab-penyebab itu

    secara lebih rinci sebagai berikut.

    1 Geometri Permukaan (Surface Geometry) Geometri permukaan merupakan struktur

    pada permukaan yang terdiri dari struktur

    datar/halus dengan tambahan berbagai bentuk

    struktur kasar lainnya. Pada wilayah urban

    memiliki ruang terbangun yang merupakan

    struktur geometri permukaan kasar.

    Penambahan geometri permukaan yang kasar

  • 8

    dengan terperangkapnya radiasi matahari oleh

    pemantulan berganda memicu pemanasan

    sebagai akibat dari absorpsi sinar matahari

    yang lebih besar. Selain itu, bangunan yang

    letaknya berdekatan mengurangi sky view

    factor yang mengurangi kehilangan panas

    radiatif, terutama pada malam hari. Geometri

    permukaan juga dapat menimbulkan

    sheltering effect yang mengurangi kehilangan

    panas konvektif dari permukaan dan udara di

    dekat permukaan.

    2 Properti termal permukaan Material bangunan pada wilayah urban

    merupakan penyimpan panas yang baik.

    Material ini memiliki kapasitas panas yang

    lebih tinggi dan pemasukan termal

    permukaan yang lebih besar.

    3 Kondisi permukaan Bangunan urban yang tahan air seperti

    pengaspalan mengurangi evaporasi, sehingga

    energi lebih banyak diarahkan pada panas

    sensibel yang dapat memanaskan udara

    daripada panas laten (panas yang diambil

    untuk evaporasi air).

    4 Panas Antropogenik Panas antropogenik dilepaskan oleh

    penggunaan energi urban pada bangunan,

    kendaraan, dan dari manusia.

    5 Efek Rumah Kaca Urban Atmosfer urban yang tercemar dan lebih

    panas mengemisikan radiasi termal berlebih

    ke arah bawah menuju permukaan kota.

    Kelembaban kota yang meningkat juga dapat

    berkontribusi pada efek ini.

    6 Kondisi atmosfer UHI yang paling kuat dapat diamati

    ketika langit cerah dan angin tenang. Awan

    dan kelembaban atmosferik dapat

    mempengaruhi panas radiatif permukaan

    menuju atmosfer. Kelembaban atmosferik

    bertindak seperti awan yang melakukan

    pendinginan radiatif. Kelembaban atmosferik

    yang tinggi akan mengurangi intensitas heat

    island; kelembaban yang lebih rendah

    memudahkan pendinginan radiatif. Ketika

    kecepatan angin meningkat, percampuran

    turbulen juga meningkat sehingga dapat

    menekan besar UHI. Angin yang disebabkan

    oleh adveksi skala lokal memindahkan panas

    secara horizontal juga dapat mempengaruhi

    UHI. Adveksi panas dapat memacu

    peningkatan UHI dan adveksi dingin dapat

    menekan peningkatan UHI.

    UHI dapat menimbulkan dampak positif

    dan negatif bagi kota. Untuk kota beriklim

    hangat, atau kota iklim temperate pada

    musim panas, UHI meningkatkan

    penggunaan energi untuk pendingin udara

    (AC). Peningkatan permintaaan akan energi

    dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca.

    Emisi gas rumah kaca dapat

    mendegradasikan kualitas udara. Suhu urban

    yang makin tinggi dapat memicu

    terbentuknya kabut urban karena emisi

    polutan dan reaksi fotokimia atmosferik.

    Panasnya suhu kota juga dapat menyebabkan

    penyebaran penyakit vector-borne.

    Pada iklim yang lebih dingin, UHI dapat

    memberikan efek positif seperti berkurangnya

    tutupan salju sehingga penggunaan energi

    juga berkurang. UHI tidak secara langsung

    berpengaruh terhadap pemanasan global. UHI

    adalah modifikasi iklim lokal. Dampak UHI

    pada skala global terbatas pada catatan suhu

    jangka panjang yang dilakukan pada stasiun-

    stasiun cuaca. Namun urbanisasi yang terjadi

    kota dengan adanya stasiun cuaca menjadikan

    kemampuan untuk mendeteksi iklim global

    lebih sulit karena superposisi dengan efek

    iklim lokal.

    III METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Wilayah kajian melingkupi Kabupaten

    Bogor dan Kota Bogor (wilayah Bogor) yang

    berada pada koordinat 61230 - 65310 LS dan 1061838 - 1071926 BT.

    Gambar 8 Wilayah kajian (Kabupaten Bogor

    dan Kota Bogor)

  • 9

    Penelitian dilaksanakan pada bulan

    Februari sampai dengan bulan Oktober tahun

    2012, bertempat di Laboratorium

    Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer,

    Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

    3.2 Data dan Peralatan Alat yang digunakan pada penelitian ini

    yaitu berupa seperangkat komputer dengan

    perangkat lunak pengolah data satelit (ENVI

    dan ER Mapper), pengolah sistem informasi

    geografis (Arc GIS), pengolah data statistik

    (Minitab dan Ms Excel), serta dokumentasi

    (Ms Word).

    Data yang digunakan dalam penelitian

    ini berupa data citra MODIS yang mencakup

    seluruh wilayah Bogor (kota dan kabupaten),

    data Digital Elevation Model (DEM) untuk

    mengetahui ketinggian wilayah Bogor, data

    observasi meteorologi berupa data suhu

    udara, dan peta tata ruang wilayah Bogor

    yang mencakup data spasial penggunaan

    lahan.

    Pada penelitian ini, data citra MODIS

    yang digunakan sebanyak 24 akuisisi yaitu

    pada tahun 2000 hingga tahun 2011 pada

    waktu siang dan malam hari di setiap

    tahunnya.

    3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pemilihan Data Citra Satelit

    Pemilihan data sangat penting untuk

    memberi batasan sebelum mengolah data

    citra satelit untuk lebih lanjut. Batasan yang

    dipakai dalam pemilihan data antara lain

    temporal selection dan spatial selection.

    Temporal selection atau pemilihan data

    secara temporal yang digunakan yaitu dua

    data citra satelit (1 siang dan 1 malam) di

    bulan Juli pada tahun 2000 hingga tahun

    2011. Spatial selection atau pemilihan data

    secara spasial yang digunakan yaitu data citra

    satelit yang mencakup wilayah Bogor dengan

    syarat memiliki tingkat keawanan yang

    menunjukkan langit cerah tanpa awan atau

    hampir tidak ada awan.

    Data citra satelit dapat dipilih dan

    diunduh melalui alamat situs:

    http://ladsweb.nascom.nasa.gov. Data yang

    dipilih adalah data satelit Terra MODIS

    Level 1B. Kanal yang digunakan yaitu kanal

    31 dan kanal 32.

    3.3.2 Proses Pengolahan Data Citra Satelit

    Proses awal pengolahan data citra satelit

    dilakukan untuk mendapatkan data dengan

    informasi yang sesuai. Proses awal ini

    mencakup kesesuaian posisi koordinat hingga

    pembenaran informasi pada setiap piksel.

    Tahap-tahap yang dilakukan antara lain:

    1) Georeferensi MODIS dengan Koreksi Bow-tie

    Georeferensi adalah proses memasukan

    citra ke dalam sistem koordinat tertentu.

    Proses georeferensi disebut juga proses

    registrasi citra. Cara yang digunakan pada

    penelitian ini yaitu dengan mengekspor

    ground check point (GCP) atau titik ikat yang

    menggunakan perangkat lunak ENVI.

    Penentuan sistem koordinat dilakukan dengan

    memilih sistem proyeksi dan datum yang

    akan digunakan. Pada penelitian ini

    digunakan sistem proyeksi UTM dan datum

    WGS-84. Koreksi bow-tie dilakukan dengan

    menggunakan perangkat lunak ENVI yang

    berfungsi untuk menghilangkan efek

    duplikasi data pada citra di baris-baris

    tertentu.

    2) Pemotongan (Cropping) Wilayah Bogor

    Data citra satelit dalam satu subset

    memiliki ukuran spasial yang luas, sehingga

    memiliki ukuran file yang sangat besar.

    Pemotongan (cropping) data citra diperlukan

    agar data citra yang dianalisis lebih lanjut

    memiliki batasan spasial dengan ukuran file

    yang lebih kecil. Batasan spasial yang dipakai

    pada penelitian ini yaitu wilayah Bogor dan

    sekitar. Data citra satelit dipotong dengan

    data vektor wilayah bogor. Data vektor dapat

    dibuat dengan menggunakan perangkat lunak

    ER Mapper dengan menggunakan peta tata

    ruang wilayah bogor sebagai peta acuan.

    3.3.3 Suhu Permukaan Suhu permukaan diturunkan dari nilai

    radiansi atau energi yang diterima bumi per

    satuan luas berdasarkan persamaan Planck

    (Lim 2001). Planck dalam persamaannya

    menggunakan brigthness temperature yang

    dapat dianggap sebagai suhu permukaan dari

    suatu objek. Hukum Planck digunakan untuk

    menurunkan suhu permukaan karena hukum

    tersebut dapat menghitung intensitas radiasi

    yang dipancarkan oleh suatu objek

    permukaan.

    Intensitas radiasi berkaitan dengan panas

    objek di bumi dan besarnya panas dapat

    ditunjukkan dengan suhu permukaan. Suhu

    permukaan dapat diekstraksi melalui kanal

    pada sensor satelit. Kanal yang digunakan

    pada citra MODIS yaitu kanal 31 dan kanal

    32 dengan masing-masing nilai tengah

  • 10

    panjang gelombang yaitu 11.03 m dan

    12.02m. Adapun persamaannya yaitu:

    (

    ( ) )

    dimana,

    Tb : suhu kecerahan (K)

    C1 : konstanta radiasi pertama

    (1.1911 x 108 W M

    -2 sr

    -1 (m

    -1)

    -4)

    C2 : konstanta radiasi kedua

    (1.439 x 10-4

    K m)

    L(i) : nilai radiansi kanal ke-i (Wm

    -2m

    -1sr

    -1)

    i : nilai tengah panjang gelombang kanal ke-i (m)

    Ekstraksi dari kedua kanal dapat

    mempresentasikan masing-masing gambaran

    suhu permukaan, walaupun memiliki selisih

    nilai. Suhu permukaan akhir didapat dari nilai

    rata-rata kedua suhu kecerahan pada kanal 31

    dan kanal 32.

    dimana,

    Ts : suhu permukaan (K)

    Tb31 : suhu kecerahan kanal 31 (K)

    Tb32 : suhu kecerahan kanal 32 (K)

    3.3.4 Urban Heat Island Besarnya intensitas urban heat island

    pada suatu daerah merupakan perbandingan

    besar antara suhu yang berada di wilayah

    urban dengan suhu yang berada di wilayah

    suburban. UHI dapat dilihat secara spasial

    melalui citra satelit dengan menggunakan

    pendekatan suhu permukaan. Dengan

    menggunakan pendekatan suhu permukaan

    dapat digunakan persamaan sebagai berikut:

    SUHI = Ts urban Ts suburban (9) dimana,

    SUHI : intensitas surface urban heat

    island

    Ts urban : suhu permukaan di wilayah

    urban

    Ts suburban : suhu permukaan di wilayah

    suburban

    Gambar 9 Diagram alir metodologi penelitian

  • 11

    Wilayah bogor secara umum dibagi

    menjadi dua bagian: wilayah urban berada di

    Kota Bogor dan wilayah suburban berada di

    Kabupaten Bogor. Nilai suhu permukaan

    (Ts) diambil dari hasil ekstraksi suhu

    permukaan pada citra satelit. Pada citra satelit

    memiliki informasi nilai suhu permukaan

    yang didapat dari karakteristik spasial pada

    setiap piksel. Hal ini dapat dijadikan acuan

    dalam mengidentifikasi intensitas UHI.

    3.3.5 Digital Elevation Model dan Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor

    Suhu udara pada suatu wilayah memiliki

    hubungan erat dengan kondisi topografi dan

    ketinggian wilayah tersebut. Oleh karena itu

    penelitian ini membutuhkan sebuah data

    topografi dan ketinggian wilayah Bogor. Data

    topografi dan ketinggian sebuah daerah dapat

    dimodelkan dengan menggunakan data DEM

    (Digital Elevation Model). Data DEM dapat

    diolah dengan menggunakan perangkat lunak

    ArcGIS. Data ini disesuaikan dengan peta

    tata ruang wilayah Bogor dan hasil

    pengolahan data citra satelit untuk

    menghasilkan analisis distribusi spasial dan

    temporal UHI di wilayah Bogor.

    Pada penelitian ini, proses klasifikasi

    penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi

    data landuse wilayah Jawa Barat pada tahun

    2002 yang telah dipotong. Klasifikasi lahan

    dilakukan dengan menggunakan klasifikasi

    tak terbimbing (Unsupervised Classification).

    Klasifikasi tak terbimbing dimulai dari

    mengklasifikasikan dari kelas-kelas atau

    wilayah-wilayah yang kita spesifikasikan atau

    dari jumlah nominal kelas yang dijadikan

    pembeda antara masing-masing penutupan

    lahan. Klasifikasi tak terbimbing secara

    sendiri akan mengategorikan semua piksel

    menjadi kelas-kelas dengan menampakan

    spektral atau karakteristik spektal yang sama.

    Di wilayah Bogor, penutupan lahan

    dibedakan menjadi sembilan bagian, yaitu air

    tawar, belukar/semak, gedung/pemukiman,

    hutan, kebun/perkebunan, rumput/tanah

    kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan,

    dan tegalan/ladang.

    3.4 Asumsi Dasar Penelitian Pada penelitian ini, untuk mendapatkan

    nilai suhu permukaan sebagai identifikasi

    urban heat island menggunakan beberapa

    asumsi sebagai berikut:

    1 Data citra satelit yang digunakan berupa data yang memiliki tingkat keawanan

    yang menunjukkan langit cerah tanpa

    awan atau hampir tidak ada awan.

    2 Atmosfer bersifat statis, sehingga faktor angin tidak berpengaruh.

    3 Suhu permukaan yang dihasilkan oleh data citra satelit memiliki perbandingan

    yang mirip dengan suhu udara data

    observasi meteorologi, sehingga suhu

    permukaan dapat digunakan untuk

    mengidentifikasi UHI.

    IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian Kabupaten Bogor adalah sebuah

    kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan

    Cibinong sebagai pusat pemerintahan dan

    industri. Kota Bogor adalah sebuah kota di

    Provinsi Jawa Barat yang wilayahnya berada

    di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor.

    Kabupaten Bogor dan Kota Bogor (wilayah

    Bogor) yang merupakan wilayah kajian

    berada pada koordinat 61230 - 65310 LS dan 1061838 - 1071926 BT.

    Kabupaten Bogor memiliki luas 2071.21

    km2 dan jumlah penduduknya 4 771 932 jiwa.

    Kota Bogor memiliki luas yang lebih kecil

    yaitu 118.50 km dengan jumlah

    penduduknya 950 334 jiwa(2010). Kabupaten

    Bogor memiliki kepadatan penduduk yang

    lebih renggang yaitu sebesar 2303.93

    jiwa/km2, sedangkan Kota Bogor memiliki

    kepadatan penduduk 8019.7 jiwa/km.

    Sebelah utara Kabupaten Bogor

    berbatasan dengan Kabupaten Tangerang

    (Banten), Kota Depok, dan Kabupaten

    Bekasi; sebelah timur berbatasan dengan

    Kabupaten Karawang; sebelah selatan

    berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan

    Kabupaten Sukabumi; sebelah barat

    berbatasan dengan Kabupaten Lebak

    (Banten).

    Bagian utara Kabupaten Bogor

    merupakan dataran rendah (lembah Sungai

    Ciliwung dan Sungai Cisadane, sedangkan

    bagian selatan berupa pegunungan, dengan

    puncaknya: Gunung Halimun (1764 m),

    Gunung Salak (2211 m), Gunung Gede

    (2958 m), dan Gunung Pangrango (3018 m)

    yang merupakan gunung tertinggi kedua di

    Jawa Barat.

  • 12

    Gambar 10 Peta ketinggian di wilayah Bogor

    Kota Bogor terletak pada ketinggian 190

    sampai 330 meter di atas permukaan laut.

    Wilayah ini memiliki udara yang relatif sejuk

    dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya

    adalah 26 C dan kelembaban udaranya

    kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di

    Bogor mencapai 21.8 C, paling sering terjadi

    pada Bulan Desember dan Januari. Kota

    Bogor memiliki curah hujan tahunan

    mencapai 1700 mm, namun pada wilayah

    sekitarnya bisa mencapai 3500 mm.

    Tingginya curah hujan disebabkan banyak

    terjadinya hujan konvektif di daratan pulau

    Jawa Barat dan efek orografis di wilayah

    Bogor (Kusumawati et al. 2008).

    Tabel 1 Tutupan lahan wilayah Bogor

    Klasifikasi penutupan lahan di Bogor

    dilakukan melalui interpretasi data landuse

    wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 yang

    telah dipotong. Klasifikasi lahan

    menggunakan klasifikasi tak terbimbing

    (unsupervised classification). Penutupan

    lahan (land cover) pada wilayah kajian

    diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu

    air tawar, belukar/semak, gedung/

    pemukiman, hutan, kebun/perkebunan,

    rumput/tanah kosong, sawah irigasi, sawah

    tadah hujan, dan tegalan/ladang.

    Wilayah Bogor yang memiliki luas total

    sebesar 2189.71 km2, memiliki berbagai

    tutupan lahan beragam dan tersebar yang

    telah diklasifikasikan seperti pada Tabel 1.

    Pada bagian selatan, barat, dan timur wilayah

    kajian terdapat tutupan lahan yang dominan

    lebih hijau, yaitu antara lain: perkebunan,

    hutan, semak/belukar, sawah tadah hujan,

    tegalan/ladang. Pada bagian utara dan tengah

    wilayah kajian terdapat tutupan lahan yang

    dominan antara lain: gedung, pemukiman

    penduduk, sawah irigasi, dan rumput/tanah

    kosong. Perkebunan memiliki tutupan lahan

    terbesar di wilayah Bogor yaitu sebesar 20%

    dari tutupan lahan seluruhnya, sedangkan

    gedung dan pemukiman hanya memiliki

    tutupan lahan sebesar 11%.

    Dengan terkonsentrasinya lahan

    terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota

    Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota

    (suburban/rural), mengindikasikan akan

    adanya fenomena urban heat island. Hal ini

    ditandai dengan adanya wilayah lahan

    terbangun yang terpusat di Kota Bogor dan

    Tutupan Lahan Luas (km2) Persentase (%)

    Kebun/Perkebunan 438.14 20.01

    Hutan 377.54 17.24

    Belukar/Semak 317.66 14.51

    Sawah Tadah Hujan 260.54 11.9

    Gedung/Pemukiman 246.02 11.24

    Tegalan/Ladang 242.49 11.07

    Sawah Irigasi 237.43 10.84

    Rumput/Tanah kosong 52.47 2.4

    Air Tawar 17.42 0.8

  • 13

    Kota Cibinong. Pada bagian selatan, barat,

    dan timur wilayah Bogor terdapat tutupan

    lahan yang dominan lebih hijau. Hal ini

    menyebabkan wilayah perkotaan akan

    cenderung lebih panas dibandingkan wilayah

    di pinggir kota sehingga membentuk seperti

    kubah di pusat kota.

    4.2 Pengolahan Data Citra MODIS Informasi suhu permukaan untuk

    menentukan urban heat island dalam

    penelitian ini menggunakan data citra Terra

    MODIS L1B. Data citra ini dapat

    memberikan ukuran spasial dalam cakupan

    wilayah yang besar dan waktu temporal yang

    konsisten pada setiap waktunya. Data citra

    MODIS cocok digunakan dalam penelitian

    ini yaitu untuk menentukan UHI di wilayah

    Bogor.

    Pada citra yang digunakan perlu

    dilakukan adanya pemotongan wilayah kajian

    (cropping). Hal ini dilakukan supaya daerah

    yang diamati memiliki batasan hanya sampai

    pada wilayah kajian dari citra yang diambil

    dari citra sebenarnya. Karena data citra yang

    dikaji atau yang telah dilakukan proses

    cropping akan lebih cepat dalam proses

    pengolahan data.

    Data mentah citra MODIS yang didapat

    merupakan data sudah terkoreksi secara

    geometrik dan radiometrik. Namun data citra

    ini belum memiliki sistem koordinat yang

    sesuai dan masih terdapat bow-tie effect. Data

    citra yang masih memiliki efek bow-tie dapat

    dihilangkan dan dinormalkan dengan

    menggunakan perangkat lunak ENVI. Pada

    dasarnya perangkat lunak ini melakukan

    koreksi radiometrik, khusus untuk efek bow-

    tie, yaitu dengan membenarkan informasi

    nilai radians efek duplikasi baris-baris akibat

    dari perbesaran sudut Instantaneous Field Of

    View (IFOV).

    Sistem proyeksi ditentukan secara

    otomatis dengan cara georeferensi. Proses

    georeferensi pada citra dilakukan dengan

    memberikan koordinat peta pada citra. Data

    citra tersebut sesungguhnya sudah datar

    (planimetri), hanya saja belum mempunyai

    koordinat peta yang benar. Dalam hal ini,

    koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan

    proses georeferensi karena semua sistem

    proyeksi sangat terkait dengan koordinat

    peta. Sistem proyeksi peta yang digunakan

    yaitu sistem proyeksi Universal Transverse

    Mercator (UTM) dengan datum WGS-84.

    Keluaran titik ikat atau Ground Check Point

    (GCP) secara otomatis dihasilkan dengan

    adanya proses georeferensi citra. Dengan cara

    inilah data citra sudah terkoreksi geometrik

    secara benar dengan sistem proyeksi yang

    sesuai.

    Gambar 11 (a) Data belum terkoreksi dan (b)

    data terkoreksi, citra MODIS

    akuisisi 12 Juli 2002 (siang hari)

    Data citra MODIS memiliki cakupan

    spasial dan temporal yang baik, sehingga

    hasil pengolahan data yang didapatkan

    memenuhi kriteria dalam cakupan luasan

    kajian dengan rentang periode data yang

    diperlukan. Hasil analisis data citra akan

    lebih baik apabila data memiliki cakupan

    sudut pengamatan dengan kondisi langit yang

    cerah (Wan et al. 2004).

    4.3 Suhu Permukaan Suhu permukaan yang diekstraksi dari

    data citra MODIS merupakan nilai suhu

    permukaan pada wilayah kajian, yaitu

    wilayah Bogor. Wilayah Bogor yang

    dimaksud antara lain Kota Bogor sebagai

    pusat kota dan Kabupaten Bogor sebagai

    wilayah suburban.

    Dalam satu hari, satelit Terra mengambil

    gambar suatu tempat yang sama sebanyak

    dua kali. Nilai suhu permukaan pada citra

    MODIS yang diekstraksi merupakan

    gambaran suhu permukaan di wilayah Bogor

    yang terekam antara pukul 08.00 - 10.00

    (siang hari) dan antara pukul 20.00 - 22.00

    (malam hari) waktu setempat. Pada penelitian

    ini, data citra MODIS diambil sebanyak 24

    akuisisi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun

    2011 pada waktu siang dan malam hari di

    setiap tahunnya.

    Dari data citra MODIS yang telah

    dipilih, kanal 31 dan kanal 32 dapat

    digunakan untuk mengestraksi suhu

    permukaan. Suhu permukaan diturunkan

    berdasarkan persamaan Planck (Lim 2001).

    Suhu permukaan hasil ektraksi kanal 31 dan

    kanal 32 memiliki pola sebaran yang relatif

    sama.

    (a) (b)

  • 14

    Hal ini ditunjukkan seperti pada Gambar

    12. Pada grafik tersebut dapat terlihat pada

    kanal 31 dan kanal 32 memiliki nilai

    koefisien determinasi sebesar 1. Kedua kanal

    mempunyai hubungan yang linier dengan

    masing-masing komponen yang saling

    berhubungan.

    Gambar 12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi

    suhu kecerahan (K) kanal 31

    dengan kanal 32 pada citra

    MODIS tahun 2011 akuisisi 31

    Juli 2011 (a) siang hari dan (b)

    malam hari

    Pada Tabel 2 menunjukkan kedua kanal

    memiliki pola sebaran yang saling

    berhubungan erat. Data pada masing-masing

    citra memiliki nilai koefisien determinasi

    yang besar. Kedua kanal ini memiliki selisih

    nilai pada masing-masing hasil ekstraksi suhu

    permukaan. Suhu kecerahan pada kanal 32

    lebih besar dibandingkan pada kanal 31.

    Selisih antara kedua kanal berbeda sekitar 3

    K. Oleh karena itu, suhu permukaan akhir

    bisa didapatkan dari nilai rata-rata kedua

    suhu kecerahan hasil ekstraksi pada kanal 31

    dan kanal 32.

    Tabel 2 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu

    permukaan antara kanal 31 dengan

    kanal 32 pada (a) siang hari dan

    (b) malam hari

    Suhu permukaan dalam citra

    digambarkan dalam cakupan suatu piksel

    dengan berbagai tipe permukaan yang

    berbeda. Suhu permukaan pada hasil

    ekstraksi pada citra MODIS memiliki nilai

    yang berbeda dibandingkan dengan data suhu

    udara hasil pengukuran di enam stasiun yang

    tersebar.

    Gambar 13 Peta lokasi stasiun meteorologi

    Stasiun observasi meteorologi yang

    terdapat di Bogor antara lain: Stasiun

    Meteorologi Atang Senjaya yang berada di

    wilayah Kota Bogor; Stasiun Meteorologi

    Darmaga, Stasiun Meteorologi Cibinong, dan

    Stasiun Meteorologi Citeko yang berada di

    wilayah Kabupaten Bogor; Stasiun

    Meteorologi Halim Perdanakusuma dan

    Stasiun Meteorologi Curug Budianto yang

    berada di luar wilayah Bogor.

    Masing-masing stasiun meteorologi

    dapat mewakili data pengukuran suhu udara

    hingga radius 5 km sesuai dengan

    (a) Siang (b) Malam

    Akuisisi R-Sq S Akuisisi R-Sq S

    12 Juli 2000 100% 0.0014 18 Juli 2000 100% 0.0003

    12 Juli 2001 100% 0.0008 6 Juli 2001 100% 0.0005

    20 Juli 2002 100% 0.0027 11 Juli 2002 100% 0.0005

    23 Juli 2003 100% 0.0016 26 Juli 2003 100% 0.0002

    23 Juli 2004 100% 0.0030 23 Juli 2004 100% 0.0005

    3 Juli 2005 100% 0.0017 5 Juli 2005 100% 0.0006

    26 Juli 2006 100% 0.0010 11 Juli 2006 100% 0.0010

    11 Juli 2007 100% 0.0020 4 Juli 2007 100% 0.0014

    8 Juli 2008 100% 0.0004 8 Juli 2008 100% 0.0003

    12 Juli 2009 100% 0.0031 7 Juli 2009 100% 0.0009

    24 Juli 2010 100% 0.0017 24 Juli 2010 100% 0.0013

    31 Juli 2011 100% 0.0015 31 juli 2011 100% 0.0008

    (b)

    (a)

  • 15

    karakteristik topografi tempat didirikannya

    stasiun tersebut. Data pengukuran suhu udara

    ini dapat dikorelasikan dengan melakukan

    analisis regrasi pada hasil ekstraksi suhu

    permukaan pada citra MODIS.

    Tabel 3 Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan

    hasil ekstraksi citra dengan suhu

    udara observasi

    Gambar 14 Analisis regresi suhu permukaan

    hasil ekstraksi citra akuisisi (a)

    23 Juli 2003 dan (b) 26 Juli 2003

    dengan suhu udara observasi

    Analisis korelasi atau hubungan

    dilakukan dengan cara analisis regresi antara

    suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS

    sebagai peubah respon dengan suhu udara

    hasil observasi dari enam stasiun sebagai

    peubah prediktor. Analisis regresi memiliki

    nilai koefisien determinasi (R2) dan standar

    deviasi atau simpangan baku (S) yang

    menunjukkan kesalingterkaitan antar kedua

    peubah. Makin tinggi nilai koefisien

    determinasi (R2) maka kedua peubah saling

    memiliki keterkaitan. Sebaliknya standar

    deviasi, merupakan gambaran besarnya

    penyimpangan, makin kecil nilai S

    (mendekati nol), kedua peubah saling

    memiliki keterkaitan (Drapper dan Smith

    1992).

    Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa

    setiap analisis regresi yang dilakukan

    memiliki memiliki nilai koefisien determinasi

    (R2) dan standar deviasi (S) masing-masing

    yang menunjukkan korelasi atau

    kesalingterkaitan antar kedua peubah.

    Analisis regresi yang dilakukan pada citra

    akuisisi 23 Juli 2003 dan 26 Juli 2003

    (Gambar 14) memiliki koefisien determinasi

    masing-masing sebesar 40.9% dan 76.8%

    dengan nilai simpangan baku masing-masing

    sebesar 1.71 dan 1.30. Hal ini menunjukkan

    suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS

    tersebut memiliki keterkaitan yang cukup

    sesuai terhadap suhu udara hasil observasi

    dari enam stasiun yang tersebar di wilayah

    sekitar Bogor.

    Suhu permukaan dan suhu udara

    merupakan unsur meteorologi yang berbeda.

    Namun kedua suhu ini saling terkait satu

    sama lain. Suhu permukaan mempunyai

    pengaruh utama terhadap suhu udara lapisan

    perbatas (boundary layer). Suhu permukaan

    berpengaruh terhadap fluks bahang terasa

    (sensible heat) terutama pada siang hari, hal

    ini yang menyebabkan suhu permukaan suatu

    benda lebih tinggi dari suhu udara

    (Mannstein 1987). Namun pada beberapa

    keadaan, suhu permukaan dapat lebih dingin

    dibandingkan suhu udara, terutama pada

    malam hari. Hal ini dikarenakan oleh adanya

    sifat konduktivitas oleh beberapa bahan

    penyusun dasar permukaan. Seperti contoh,

    dasar permukaan yang terbuat dari bahan

    logam atau keramik akan lebih dingin

    dibandingkan dasar permukaan yang masih

    berupa tanah.

    Menurut Effendy (2009), penggunaan

    data pengindraan jauh dapat menutupi

    kekurangan kerapatan stasiun cuaca. Hal ini

    dinilai dapat memiliki prospek yang baik

    untuk dikembangkan di masa-masa

    mendatang tanpa mengurangi pentingnya

    pengukuran secara insitu pada stasiun-stasiun

    cuaca sebagai bahan referensi atau rujukan.

    (a) Siang (b) Malam

    Akuisisi R-Sq S Akuisisi R-Sq S

    12 Juli 2001 57.0% 1.40 6 Juli 2001 94.7% 0.65

    20 Juli 2002 56.5% 1.81 11 Juli 2002 79.3% 1.55

    23 Juli 2003 40.9% 1.71 26 Juli 2003 76.8% 1.30

    23 Juli 2004 3.0% 3.93 23 Juli 2004 5.1% 3.89

    3 Juli 2005 42.5% 2.41 5 Juli 2005 62.1% 1.89

    26 Juli 2006 67.0% 2.47 11 Juli 2006 44.1% 2.56

    11 Juli 2007 44.6% 2.67 4 Juli 2007 66.4% 1.53

    (b)

    (a)

  • 16

    Stasiun cuaca dapat digunakan untuk

    melakukan kalibrasi atau validasi model-

    model pendugaan berdasarkan ekstraksi data

    pengindraan jauh sebagai analisis lebih

    lanjut.

    Meskipun ada beberapa korelasi pada

    citra yang kurang begitu baik, seperti pada

    tahun 2004, namun data citra masih bisa

    digunakan untuk menganalisis urban heat

    island walaupun hanya menggunakan hasil

    ekstraksi data suhu permukaan. Hal ini juga

    dipengaruhi oleh keberadaan stasiun

    meteorologi yang kurang mencukupi di

    wilayah Bogor. Sehingga keberadaan stasiun

    meteorologi dalam ukuran spasial kurang

    mencukupi untuk melakukan validasi dan

    kalibrasi sehingga menghasilkan model yang

    baik. Namun dalam hal ini, fenomena UHI

    diidentifikasi menggunakan data spasial,

    meskipun dengan menggunakan pendekatan

    suhu permukaan dari data citra. Namun

    penggunaan data citra akan lebih baik lagi

    apabila didukung dengan data konvensional

    seperti data dari stasiun meteorologi.

    4.4 Struktur Urban Heat Island Struktur UHI dapat dideskripsikan

    melalui pola spasial dan pola temporal dari

    hasil pengolahan data citra. Karakteristik

    spasial dapat dilihat dari pola isoterm yang

    terlihat pada peta spasial, sedangkan

    karakteristik temporal dapat diinterpretasikan

    melalui data statistika baik secara diurnal

    hingga mencapai tahunan.

    Gambar 15 Sebaran jumlah sel citra tahun

    2009 (siang hari)

    Hasil nilai suhu permukaan akhir pada

    histogram seperti pada Gambar 15

    merupakan nilai suhu permukaan secara

    keseluruhan pada wilayah Bogor pada setiap

    data citra. Hasil statistika suhu permukaan

    mengikuti histogram pola sebaran normal.

    Suhu permukaan dengan nilai terbanyak

    mendekati nilai tengah (mean) dari suhu

    permukaan tersebut. Banyaknya jumlah pada

    masing-masing rentang suhu permukaan

    dihitung dari jumlah sel dalam piksel pada

    masing-masing data citra.

    Tabel 4 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra

    (siang hari)

    Tabel 5 Nilai distribusi temporal suhu permukaan hasil ekstraksi citra

    (malam hari)

    Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, data

    yang digunakan menunjukkan wilayah Bogor

    pada siang hari memiliki suhu permukaan

    rata-rata sebesar 26.8 oC, dengan rata-rata

    minimum sebesar 14.2 oC dan rata-rata

    maksimum sebesar 32.4 oC. Pada malam

    hari, wilayah Bogor memiliki suhu

    permukaan rata-rata sebesar 19.4 oC, dengan

    rata-rata minimum sebesar 8.1 oC dan rata-

    rata maksimum sebesar 22.2 oC.

    Tahun Min Maks Rerata StdDev

    2000 13.9 33.1 27.0 2.58

    2001 19.3 29.7 26.3 1.50

    2002 13.5 30.5 26.2 2.12

    2003 10.7 33.3 27.5 2.86

    2004 10.0 33.7 27.3 3.00

    2005 16.8 35.4 27.6 2.88

    2006 17.1 30.4 26.7 1.92

    2007 11.2 32.0 25.5 2.78

    2008 18.3 28.4 26.1 1.25

    2009 12.4 35.1 27.9 3.35

    2010 13.8 34.4 26.9 3.40

    2011 13.2 32.3 26.9 3.37

    Rerata 14.2 32.4 26.8 -

    Tahun Min Maks Rerata StdDev

    2000 10.3 21.8 19.9 1.73

    2001 10.3 21.8 19.4 1.96

    2002 9.8 22.1 19.6 1.72

    2003 3.0 21.0 19.3 1.98

    2004 10.6 21.5 19.1 1.54

    2005 10.0 22.1 19.3 2.05

    2006 8.7 21.7 18.5 2.34

    2007 -2.6 23.2 19.8 3.00

    2008 10.9 21.6 19.3 1.67

    2009 8.9 23.3 20.1 2.28

    2010 7.6 22.9 18.4 2.46

    2011 9.5 23.2 20.0 2.20

    Rerata 8.1 22.2 19.4 -

  • 17

    Gambar 16 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (siang hari)

    Gambar 17 Peta distribusi spasial suhu permukaan rata-rata wilayah Bogor (malam hari)

    Pada siang hari suhu udara maupun suhu

    permukaan jelas lebih tinggi dibandingkan

    pada malam hari. Namun yang perlu

    diperhatikan, suhu permukaan sangat sensitif

    pada perubahan kondisi permukaan

    dibandingkan suhu udara. Geometri dan

    bahan properti permukaan serta kondisi

    atmosfer merupakan hal yang dominan dalam

    menentukan kondisi suhu permukaan.

    Pada Gambar 16 dan Gambar 17

    menunjukkan distribusi spasial suhu

    permukaan rata-rata 12 data pada tahun 2000

    sampai tahun 2011 di bulan Juli. Gambaran

    spasial suhu permukaan dibedakan menjadi

    dua bagian yaitu siang hari dan malam hari

  • 18

    sesuai pengambilan data citra. Pada saat siang

    hari, suhu permukaan membentuk pola urban

    heat island dimana suhu permukaan

    berkurang dari pusat kota yang berada Kota

    Bogor. Suhu permukaan tampak

    memperlihatkan pola isoterm yang memusat.

    Fenomena UHI yang terjadi di wilayah

    Bogor terjadi akibat terdapatnya lahan

    terbangun yang terpusat di Kota Bogor.

    Aktivitas manusia dan pusat industri serta

    wilayah komersial yang berkembang di Kota

    Bogor juga mengakibatkan meningkatnya

    pola UHI yang memusat di Kota Bogor

    terutama pada siang hari. Meningkatnya suhu

    udara pada suatu perkotaan memiliki kaitan

    erat terhadap kegiatan industri dan aktivitas

    kendaraan yang mengeluarkan emisi polutan

    ke udara. Pada kajian yang dilakukan oleh

    Adiningsih (1997), didapatkan bahwa

    pengemisi gas rumah kaca terbesar

    disumbangkan oleh sektor transportasi

    perkotaan, khususnya di Jakarta dan

    sekitarnya. Menurut Turyanti dan

    Santikayasa (2006), unsur suhu udara

    menunjukkan korelasi positif terhadap

    konsentrasi polutan O3 di udara ambien.

    Selain itu pola isoterm juga terdapat di

    Kota Cibinong yang berada di sebelah utara

    Kota Bogor dan juga di sepanjang Jalan Raya

    Darmaga hingga Jalan Raya Ciampea yang

    berada di sebelah barat Kota Bogor. Kedua

    pola isoterm ini berada di Kabupaten Bogor.

    Kota Cibinong merupakan kota di Kabupaten

    Bogor yang memiliki pusat industri sehingga

    dapat memicu pertumbuhan fenomena UHI.

    Jalan Raya Darmaga hingga Jalan Raya

    Ciampea merupakan wilayah yang memiliki

    kepadatan kendaraan yang cukup tinggi.

    Aktivitas lalu lintas di sepanjang jalan ini

    cukup padat di siang hari, ditambah trayek

    angkutan umum yang sangat banyak.

    Sehingga di sepanjang jalan ini terlihat

    pembentukan pola isoterm.

    Pada saat malam hari, suhu permukaan

    tidak membentuk pola urban heat island

    yang berpusat di Kota Bogor. Suhu

    permukaan cenderung membentuk gradien

    suhu yang meningkat menuju ke utara yaitu

    Kota Depok hingga Kota Jakarta dan

    sekitarnya. Pola isoterm yang terjadi pada

    malam hari mengikuti pola kontur ketinggian.

    Fenomena UHI yang berpusat di Kota Bogor

    menghilang pada malam harinya. Fenomena

    UHI seperti ini dapat terjadi di wilayah

    lintang rendah dengan keadaan topografi

    berbukit. Pada malam hari suhu merata di

    setiap wilayah akibat adanya pendinginan

    dari udara dingin yang turun dari gunung

    pada malam harinya (angin lembah).

    Kemudian pada siang harinya fenomena UHI

    cenderung tumbuh seiring meningkatnya

    aktivitas manusia yang memusat di kota

    (Alcoforado dan Andrade 2006).

    4.5 Intensitas Urban Heat Island Untuk mengestimasi intensitas urban

    heat island di wilayah Bogor, UHI dihitung

    dari perbedaan antara suhu permukaan yang

    berada di Kota Bogor dengan suhu

    permukaan wilayah suburban. Suhu

    permukaan wilayah urban diambil dari satu

    suhu permukaan tertinggi dari suhu

    permukaan rata-rata sebanyak 24 data (siang

    dan malam) selama 12 tahun. Pengambilan

    satu titik suhu permukaan diambil dari

    wilayah urban yang berada di wilayah Kota

    Bogor.

    Gambar 18 Pengambilan titik acuan suhu

    permukaan wilayah Bogor

    Titik suhu permukaan wilayah suburban

    tersebar di wilayah pinggir Kota Bogor dan

    Kabupaten Bogor. Titik suhu permukaan

    wilayah suburban sebanyak 32 titik berjarak

    7 km dan 14 km dari satu titik pusat atau titik

    suhu permukaan wilayah urban. Titik-