20
12 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Ruang Publik Pada bab I telah dibahas sedikit mengenai ruang publik, yang saat ini akan kita tinjau kembali secara teoritis. Ruang publik (McCarthy, 2009 : 17) adalah ruang dimana opini publik dapat dibentuk melalui diskusi tanpa kekangan dari masalah-masalah kepentingan umum, dibebani fungsi kritik dan kontrol dalam pengejewantahan teknologi ke dataran praktis. Pemikiran tentang ruang publik datang pula dari Douglas Kellner, yang mengatakan : “The principles of the public sphere involved an open discussion of all issues of general concern in which discursive argumentation was employed to ascertain general interests and the public good. The public sphere thus presupposed freedoms of speech and assembly, a free press, and the right to freely participate in political debate and decision-making” 1 . Melalui tokoh pemikiran yang cukup sentral dalam ruang publik saat ini adalah Jurgen Habermas dengan pemikiran teori kritis. Menurut Habermas ruang publik adalah : “Maka itu, ruang publik politis ‘tidak lain daripada hakikat kondisi- kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung” (Habermas,dalam Hardiman, 2009 : 134). Jadi, keberadaan ruang publik adalah suatu ruang di mana opini dan aspirasi dalam bentuk ide, kritik, argumentasi, pendapat, kemudian diolah dalam suatu proses diskusif. Hasil dari berjalannya suatu ruang publik sendiri adalah untuk 1 Douglas Kellner, dalam makalah “Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention” : hal.5

Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

12 

 

                                                           

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Ruang Publik

Pada bab I telah dibahas sedikit mengenai ruang publik, yang saat ini akan

kita tinjau kembali secara teoritis. Ruang publik (McCarthy, 2009 : 17) adalah

ruang dimana opini publik dapat dibentuk melalui diskusi tanpa kekangan dari

masalah-masalah kepentingan umum, dibebani fungsi kritik dan kontrol dalam

pengejewantahan teknologi ke dataran praktis. Pemikiran tentang ruang publik

datang pula dari Douglas Kellner, yang mengatakan :

“The principles of the public sphere involved an open discussion of all

issues of general concern in which discursive argumentation was employed

to ascertain general interests and the public good. The public sphere thus

presupposed freedoms of speech and assembly, a free press, and the right to

freely participate in political debate and decision-making”1.

Melalui tokoh pemikiran yang cukup sentral dalam ruang publik saat ini

adalah Jurgen Habermas dengan pemikiran teori kritis. Menurut Habermas ruang

publik adalah :

“Maka itu, ruang publik politis ‘tidak lain daripada hakikat kondisi-

kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan

aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara

dapat berlangsung” (Habermas,dalam Hardiman, 2009 :

134).

Jadi, keberadaan ruang publik adalah suatu ruang di mana opini dan aspirasi

dalam bentuk ide, kritik, argumentasi, pendapat, kemudian diolah dalam suatu

proses diskusif. Hasil dari berjalannya suatu ruang publik sendiri adalah untuk  

1 Douglas Kellner, dalam makalah “Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention” : hal.5 

Page 2: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

13 

 

                                                           

tujuan adalah untuk kebaikan bersama dari anggota ruang publik itu sendiri.

Habermas lebih lanjut mengemukankan :

“ruang publik adalah jaringan manusia privat dalam pelbagai organisasi

masyarakat dapat selalu berperan sebagai pengeras suara (sounding board)

untuk menyuarakan kepentingan publik dalam pelbagai keputusan publik,

baik yang menyangkut politik maupun ekonomi”2.

Ruang publik sendiri tidak hanya menjadi arena diskusif yang membahas

berbagai hal terkait kepentingan dan kebaikan bersama dari anggotanya, tetapi

juga menjadi suatu corong dan sarana opini dan aspirasi yang kemudian dapat

ditindaklanjuti, khususnya untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan publik.

Penyuaraan aspirasi dan opini tersebut tidak hanya terbatas dalam bidang politik,

misalnya mengkritisi pemerintah, tetapi juga bahkan juga bahkan jauh ke dalam

semua aspek kehidupan masyarakat.

Memahami keberadaan ruang publik tidak hanya penting dari hasil ruang

publik itu sendiri. Proses internal dari berjalannya suatu ruang publik sendiri tidak

hanya penting bagi eksistensi suatu ruang publik dalam masyarakat, tetapi juga

penting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk dapat melihat lebih

dalam melihat lebih dalam lagi bagaimana suatu ruang publik secara teoritis

berjalan, habermas memiliki beberapa teori, di antara yang terpenting adalah teori

tindakan komunikatif yang lebih melihat inti dari hubungan interaksi, khususnya

komunikasi intersubjektif, dan teori diskurus yang lebih melihat bagaimana proses

interaksi dalam rangka mencapai suatu pemahaman bersama dan konsensus dapat

dicapai melalui proses diskursus.

 2 Habermas, Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, 1997, dalam ringkasan Disestasi Alexander Seran, Etika Diskursus Jurgen Habermas : Sumbangannya Bagi Pemahaman Undang‐Undang Dasar 1945 dan Hubungannya Dengan Pancasila, Universitas Indonesia : hal. 40 

Page 3: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

14 

 

2.1.1. Teori Komunikasi

2.1.1.1. Tindakan Komunikatif

Teori ini bertitik tolak dari pandangan tentang bagaimana proses interaksi

antarmanusia. Habermas memiliki keyakinan bahwa tindakan antarmanusia atau

interaksi sosial tidak begitu saja terjadi dan muncul, melainkan karena pada

dasarnya hubungan antarmanusia adalah bersifat rasional. Sifat rasional ini

mendorong manusia untuk mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman

satu sama lain (Hardiman, 2009 : 34). Pemahaman yang rasional antarmanusia

inilah yang kemudian mendorong berbagai tindakan manusia di dalam kehidupan

sehari.

Proses untuk mencapai kesepahaman itu sendiri dapat tercapai melalui

proses komunikasi. Dengan menonjolkan interaksi yang komunikatif, manusia

dapat mencapai sutu kesepahaman dengan yang manusia lainnya.

“tindakan komunikatif adalah interpretasi yang diperantarai secara

linguistik yang di dalamnya semua partisipan ingin mencapai suatu tujuan-

tujuan ilokusioner, dengan tindakan komunikasi sebagai perantaranya” (Habermas, 2009 : 362)

Melalui tindakan komunikatif antarmanusia tidak hanya kesepahaman yang akan

muncul, tetapi juga menjadi suatu suatu sarana tindakan untuk mencapai tujuan

yang bersifat individu maupun bersama. Dalam tindakan melakukan tindakan

komunikatif terjadi suatu pertemuan rasional dalam rangka kesepahaman bersama

antar manusia, yang dapat bermanfaat secara individu maupun bersama bagi

partisipan tindakan komunikatif itu sendiri.

Pada tindakan komunikatif dalam interaksi manusia di dalam sistem

masyarakat, hubungan antarmanusia tidak mencapai suatu kesepahaman begitu

saja. Kesepahaman itu dapat terjadi hanya dengan memposisikan diri dan

bertindak dalam sistem masyarakat. Manusia dapat memposisikan diri dalam

masyarakat dan mencapai suatu kesepahaman dengan manusia lain, menurut

Page 4: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

15 

 

habermas memerlukan arahan tertentu, yaitu rasio komunikatif. Arahan ini

melihat bahwa manusia yang melakukan tindakan komunikatif menyadari bahwa

dia berada dalam suatu sistem yang memproduksi simbol-simbol dalam berbagai

bentuk dalam tatanan masyarakat. Keadaan dari sistem itu pada akhirnya dapat

mempengaruhi komunikasi antarmanusia, dan simbol tersebut hanya dapat

dipahami dengan cara penafsiran yang juga melalui hubungan komunikatif antar

indidu.

“Rasio komunikatif tidak merujuk pada subjek yang menjaga dirinya dalam

berhubungan dengan objek melalui representasi tindakan, ataupun pada

sistem penjagaan-diri yang memisahkannya dari lingkungan, melainkan

pada suatu suatu tatanan dunia yang terstruktur secara simbolis yang

terbentuk dalam kegiatan menafsir para anggotanya dan hanya bisa

direproduksi melalui komunikasi. Dengan demikian rasio komunikatif tidak

sekedar melawan subjek dan sistem yang telah dibuat sebelumnya; namun,

dia juga ambil bagian dalam proses strukturisasi hal-hal yang

dipertahankan” (Habermas, 2009 : 489)

Konsekuensi dari keadaan suatu sistem itu sendiri menuntut manusia

melakukan penafsiran bersama atas simbol-simbol yang mereka gunakan dalam

tindakan komunikatif. Rasio komunikatif mencoba menuntun hubungan antar

manusia untuk mencapai suatu kespahaman bersama. Untuk dapat mencapai suatu

kesepahaman dari keadaan tersebut diperlukan suatu tindakan “pengambilalihan

perspektif” yang artinya turut mencoba mengandaikan suatu perspektif dari pihak

partner atau orang lain yang terlibat dalam tindakan komunikatif.

Tindakan komunikatif yang menggunakan pengambilalihan perspektif

tidak hanya memungkinkan terjadinya kesepahaman tetapi juga menjadi

pengantara untuk rasionalitas yang dimiliki dalam masing-masing manusia

partisipan tindakan komunikatif, yang kemudian kemudian dijadikan rasionalitas

bersama.

‘Konsep rasionalitas yang mengandung pengertian yang didasarkan pada

pengalaman inti yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus, di

mana berbagai partisipan yang terlibat melampaui pandangan subjektif

Page 5: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

16 

 

mereka dan meyakinkan diri mereka akan kesatuan dua objektif mereka dan

intersubjektivitas dunia-kehidupan mereka karena mereka telah memiliki

mutualis keyakinan yang berlandaskan kerasionalan” (Habermas, 2009 :

13).

Interaksi dalam tindakan komunikatif antarmanusia tidak hanya diwarnai oleh

suatu komunikasi yang tanpa paksaan. Habermas mengemukakan bahawa dalam

mecapai suatu kesepahaman, manusia juga dapat melakukan tindakan strategis

adalah suatu model tindakan yang berasal dari perluasan model tindakan

teleologis. Tindakan stratgeis menurut habermas adalah :

“..ketika perhitungan seorang agen tentang keberhasilannya masuk

antisipasi tentang keputusan-keputusan yang mungkin diambil setidaknya

oleh satu orang agen lain yang mempunya tujuan sama.....aktor

hendaknya memiliki dan mengkalkulasikan tujuan dari sudut

maksimalisasi keuntungan atau harapan akan keuntungan” (Habermas,

2009 : 108)

Dalam melakukan tindakan komunikatif, seorang manusia atau individu dengan

membawa rasionalitas dan juga harapan tertentu. Tindakan strategis adalah upaya

untuk mengantisipasi dan memenangkan suatu rasionalitas dan tujuan individu di

atas individu lain, sehingga kesepahaman yang terjadi bukan berdasarkan pada

rasionalitas tanpa paksaan, tetapi sudah mendapat suatu tekanan-tekanan dari

individu lain.

Untuk memahami tindakan komunikatif dengan konteks di atas, perlu

dipahami pula unsur dalam tindakan komunikatif itu sendiri, yaitu bahasa. Dalam

menggunakan bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas ada tiga

kategori pernyataan yang digunakan yang disebut dengan sikap performatif, yaitu

pernyataan yang bersifat empiris-objektif, subjektif, dan normatif. Ketiga

pernyataan tersebut diistilahkan dengan dimensi kesahihan atau dengan istilah

Page 6: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

17 

 

Habermas adalah “dunia” (welten) karena mengacu pada bidang-bidang

pemahaman yang berbeda-beda (Hardiman, 2009 : 36).

Tindakan komunikatif adalah suatu upaya interaksi antarmanusia atau

intersbujektif untuk mencapai suatu konsensus. Suatu konsensus dapat dikatakan

rasional, hanya jika para partisipan komunikasi dalam tindakan komunikatif dapat

menyatakan sikap dan pendapatnya terhadap klaim-klaim kesahihan secara bebas

dan tanpa paksaan. Pada bagian ini, kemampuan individu dalam menyatakan

pendapat dan sikap, sekaligus mendengarkan pendapat dan sikap klaim kesahihan

individu lain akan menjadi suatu penentu dalam keputusan tiap partisipan untuk

“menerima atau menolak” (ja-odernein-stellungsnehme) klaim-klaim kebenaran

itu dalam rangka mencapai kesepahaman atau konsensus. Hal ini berarti, klaim-

klaim kesahihan itu harus serentak benar, tepat dan jujur sehingga pendengar

dapat mengambil sikapnya” (Hardiman, 2009 : 37)

Pada proses tindakan komunikatif di atas adalah suatu proses komunikasi

yang sifatnya reflektif. Namun tidak selalu proses komunikasi bersifat reflektif.

Dalam konteks tindakan komunikatif, terdapat pula komunikasi yang berlangsung

secara naif, dimana simbol-simbol dan klaim kesahihan yang diterima begitu saja

secara naif khususnya dalam praksis kehidupan sehari-hari. Jadi tindakan

komunikatif dapat berbentuk reflektif maupun naif.

2.1.1.1.1. Lebenswelt Atau Dunia Kehidupan

Pada pemikiran tentang tindakan komunikatif telah dijelaskan bahwa

manusia selalu berusah untuk melakukan interaksi secara komunikatif untuk

mencapai suatu kesepahaman atau konsensus. Habermas sendiri sendiri

menyadari bahwa tiap individu-individu partisipan dari tindakan komunikatif

memliki suatu latar belakang yang membangun rasionalitasnya, baik secara

indvidual maupun komunal (kelompok). Latar belakang ini kemudian meminjam

dari Edmund Husserl sebagai lebenswelt atau dunia-kehidupan.

Subjek yang bertindak secara komunikatif selalu sampai kepada

pemahaman akan cakrawala suatu dunia-kehidupan. Dunia kehidupan

Page 7: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

18 

 

mereka terbentuk dari keyakinan-keyakinan mereka yang kurang lebih

tersebar, tidak selalu problematis dan berlatar belakang. Latar belakang

dunia sosial ini berfungsi sebagai sumber-sumber definisi yang diyakini

oleh partisipannya sebagai sesuatu yang tidak bersifat problematis (Habermas, 2009 : 89).

Proses komunikatif yang terjadi dalam lebenswelt adalah proses komunikatif yang

diterima partisipan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Proses dalam lebenswelt

ini kemudian apabila dikontekskan dengan tindakan komunikatif, akan lebih

menonjolkan komunikasi yang sifatnya naif.

“....para anggota masyarakat komunikasi memisahkan dunia subjektif dan

dunia sosial yang dimiliki bersama secara intersubjektif dengan dunia

subjektif individu dan kelompok (lain). Konsep dunia ini dan klaim

validitas yang terkait dengannya kemudian menjadi panggung formal yang

di atasnya orang-orang berakting (bertindak) secara komunikatif dalam

menggunakan konteks-konteks situasi problematis, yang menemukan

kesepakatannya, di dunia kedupan mereka, yang diyakini sebagai sesuatu

yang tidak problematis” (Habermas, 2009 : 89-90).

Keadaan komunikasi yang demikian membentuk rasionalitas pada partisipan

komunikasi bahwa kebanyakan klaim-klaim kesahihan yang dapat

dikomunikasikan secara reflektif, namun pada akhirnya dikomunikasikan dan

dipahami secara naif. Habermas melihat bahwa keadaan ini sangat berlaku pada

masyarakat tradisional di mana banyak klaim-klaim kesahihan yang diterima

secara naif bahkan sudah terinsititusi di dalam masyarakat.

Dalam hal ini bukan berarti kemampuan reflektif partisipan, yang berada

dalam lebenswelt, menjadi terabaikan. Komunikasi yang naif terjadi hanya pada

kelompok masyarakat yang memiliki sosiokultural yang sama. Masyarakat sendiri

tidak terisolir atau terpisah dari masyarakat lain di luarnya, dalam konteks

interaksi, sehingga memungkinkan adanya pertemuan-pertemuan antara

masyarakat yang berbeda sosiokultural. Pada titik inilah kemudian lebenswelt

yang satu kemudian bertemu dengan lebenswelt yang lain, yang memungkinkan

terjadinya tindakan komunikatif, dalam rangka mencapai pemahaman bersama.

Page 8: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

19 

 

                                                           

2.1.1.2. Etika diskursus

2.1.1.2.1. Diskursus

Pada hamparan teoritis sebelumnya dijelaskan bahwa bahwa tindakan

komunikatif antarmanusia bersifat rasional, dan rasionalitas tersebut terbangun

dari lebenswelt yang melingkupi komunikasi sehari-hari partisipan komunikasi.

Untuk melihat lebih dalam lagi bagaimana konsensus atau kesepahaman tercapai,

Habermas mengemukakan satu teori lagi yang tidak terlepas dari lebenswelt dan

tindakan komunikatif, yaitu diskursus.

Diskursus adalah suatu bentuk tindakan komunikatif yang lebih mengarah

pada komunikasi yang reflektif. Lebih dari itu, diskursus menawarkan suatu

konsensus diperlukannya komunikasi yang tinggi tingkatannya atas sesuatu yang

diproblematisasikan. Keadaan komunikasi ini lebih mendorong para partisipannya

untuk mengeluarkan klaim-klaim kesahihan dan kemudian mengujinya untuk

mendapatkan kesepahaman atau konsensus bersama3. Diskursus dalam tindakan

komunikatif tidak hanya sekedar suatu komunikasi reflektif, di mana klaim-kalim

kesahihan di ungkapkan dan kemudian tergantung pada kemampuan reflektif

partisipan untuk setuju atau tidak hingga mencapai kesepahaman atau konsensus.

Dalam diskursus dituntut tingkat reflektif lebih tinggi, dengan melakukan

pengujian-pengujian klaim kesahihan.

Untuk menjalankan diskursus, dimana komunikasi refektif tingkat tinggi

diperlukan, maka secara otomatis akan memberikan beberapa dampak pada proses

komunikasi dalam diskursus itu sendiri. Pada diskursus, lebenswelt yang menjadi

latar belakang partisipan diskursus, akan berubah menjadi latar depan, karena

partisipan menggunakan rasionalitas yang mereka miliki. Lebih lanjut lagi,

 3 F. Budi Hardiman : Etika Politik Habermas, hal.6. (makalah disampaikan dalam Seri Kuliah Filsafat “etika Politik” di Komunitas Salihara, Sabtu 20 November 2010, untuk sesi “Jurgen Habermas tentang Etika Politik).  

Page 9: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

20 

 

pertemuan antar lebenswelt dari para partisipan akan menyebabkan hanya

sepenggal lebenswelt yang akan mereka bawa dalam diskursus. Pada proses

diskursus seolah meninggalkan lebenswelt mereka untuk menyelesaikan masalah

yang mereka ambil lebenswelt mereka secara rasional. Dengan kata lain mereka

mencoba untuk meninggalkan kepentingan partikular, untuk mencoba untuk

mengarahkan diri pada kepentingan bersama

Pada proses komunikasi reflektif, pendapat dan pernyataan menjadi unsur

yang diperlukan untuk mencapai suatu kesepahaman. Dalam diskursus, terdapat

penambah unsur, yaitu kritik. Unsur pernyataan dan pendapat kemudian diperluan

menjadi konsep argumentasi. Konsep ini menyangkut apakah klaim-klaim

kesahihan dapat diuniversalkan atau terkait pada konteks tertentu. Klaim-klaim

kesahihan dalam diskurus mengarah pada dua hal, yang pertama klaim-klaim

kesahihan yang kontroversial dapat diuniversalkan. Yang kedua, klaim-klaim

kesahihan yang bersifat evaluatif dan ekspresional (kritik) tetap terikat pada

konteks tertentu. Keterikatan dengan konters tersebut membuat kritik bukan

sebagai suatu ciri, tetapi sudah melekat di dalam diskursus itu sendiri (Hardiman,

2009 : 45). Jadi habermas tidak hanya mengemukakan konsep argumentasi yang

dapat memberikan pengujian kepada klaim-klaim kesahihan yang dapat

diuniversalkan. Argumentasi di dalam diskursus juga memberikan pengujian

kepada klaim-klaim kesahinan yang sifatnya kontekstual, sesuai dengan

problematikan yang hendak diselesaikan di dalam diskursus.

2.1.1.2.2. Diskursus Praktis

Dalam menjalankan proses diskursus itu sendiri, habermas mengatakan

perlu adanya suatu media bagi diskurus itu sendiri untuk dapat melakukan

pengujian-pengujian terhadap klaim kebenaran.

“Media tempat kita dapat menguji secara hipotesis apakah suatu tindakan

dapat justifikasi dengan netral, terlepas dari apakah media itu diakui secara

Page 10: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

21 

 

aktual atau tidak, adalah diskursus praktis, inilah bentuk argumentasi di

mana klaim ketepatan norma ditematisasikan” (Habermas, 2009, 24)

Media yang dimaksud dapat memberikan justifikasi dengan netral adalah suatu

media yang dapat menjamin bahwa setiap setiap partisipan dalam tindakan

komunikatifnya, benar-benar mencoba untuk mengemukankan dan menguji

klaim-klaim kesahihan dalam kerangka mencapai konsensus yang dapat

menjawab problematisasi bersama. Media ini kemudian memiliki prosedur-

prosedur di dalamnya saat melakukan tindakan komunikatif. Dengan demikian

diskursus praktis kemudian diarahkan pada diskursus di mana para anggota

mempersoalkan klaim ketepatan dari norma yang mengatur tindakan mereka.

Pada diskursus yang diuji bukanlah ketepatan atau kebenaran dari klaim-

klaim kesahihan yang ada. Diskursus praktis adalah pengujian pada ketepatan

klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma atau pengaturan

tindakan intersubjektif. Dalam diskursus praktis sangat diutamakan bagaimana

membahas dan menyelesaikan berbagai problematisasi yang terkait dengan

tindakan, aturan, pengambilan sikap, dan semua hal yang terkait interaksi, baik

secara individu maupun bersama bagi para partisipan.

2.1.1.2.2.1 Prosedur komunikasi

Diskursus praktis adalah suatu bentuk komunikasi dengan tingkat reflektif

yang tinggi dalam mencapai konsensus bersama. Dalam diskursus praktis juga

klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma tindakan diujikan.

Pengujian itu sendiri tidak berjalan dengan begitu saja, dimana para peserta

melakukan pengujian atas dasar sekehendak hati. Dalam tindakan komunikatif

yang mencapai bentuk diskursus, diperlukan suatu pemahaman timbal balik untuk

mencapai konsensus. Untuk proses tersebut diperlukan suatu prosedur dimana

melalui prosedur tersebut kesepahaman atau konsesus bersama dapat dicapai.

Untuk mencapai suatu konsensus yang legitim tentang norma-norma

tindakan bersama diperlukan prasyarat-prasayarat tertentu, yaitu idealisasi yang

Page 11: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

22 

 

                                                           

kemudian diikuti oleh prosedur komunikasi yang digunakan di dalam suatu

diskursus praktis. Idealisasi adalah suatu proses mengandaikan suatu keadaan

komunikasi yang ideal di dalam diskursus praktis. Idealisasi tidak hanya sampai

pada pengandaian keadaan yang ideal, tetapi sampai pada pengandaian itu sendiri

menjadi suatu aturan-aturan di mana keadaan ideal diatur dalam suatu aturan-

aturan komunikasi ideal (Hardiman, 2009 : 48). Pengandaian yang di maksud

tentunya bukanlah suatu pengandaian yang dilakukan secara otonom oleh

subjektif dan kemudian berlaku. Pengandaian tersebut dilakukan secara

intersubjektif yang kemudian di praksiskan dalam suatu prosedur komunikasi

(diskursus) secara intersubjektif pula.

Dalam argumennya terkait prosedur komunikasi, Habermas mengikuti

saran dari Robert Alexy dan merumuskan prosedur komunikasi sebagai berikut :

“(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta

dalam diskursus. (...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap

pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam

diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-

keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3) Tak seorang pembicarapun

boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam

(...1) dan (...2)” (Habermas, dalam Hardiman, 2009 : 48)”

Apabila coba untuk dirumuskan lebih pada lagi, dapat dikatakan bahwa diskursus

praktis haruslah bersifat inklusif, egaliter, dan bebas dominasi atau paksaan. Hal

ini sangat penting untuk menjaga kenetralan dalam menguji klaim-klaim

kesahihan dan mencapai konsensus yang diterima secara intersubjektif.

Berdasarkan pada rumusan prosedur komunikasi Habermas di atas, Budi

hardiman membuat suatu asumsi tentang prosedur komunikasi yang tersembunyi4

(Hardiman, 2009 : 48-49). Yang pertama keikutsertaan didalam sebuah diskursus

hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara

konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua,

 4 Asumsi ini telah dipaparkan pada bab I, Latar Belakang Masalah 

Page 12: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

23 

 

kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud,

jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak

memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom

yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar dan tidak menganggap ini hanya

sebagai saran belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum

yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan

tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat tanpa

“paksaan”, tak memaksa dari argumen yang lebih baik

2.1.2.3. Prinsip Universalitas dan Prinsis Etika Diskursus

Dalam suatu diskursus, tentunya akan selalu ada harapan dari tiap

partisipan bahwa kepentingannya akan terwujud. Adalah sangat wajar ketika

setiap subjek memiliki kepentingan dan membawanya ke dalam suatu diskursus.

Partisipan mungkin saja melakukan diskursus dalam rangka pemenuhan

kepentingan pribadi. Lalu bagaimana apabila hal ini terjadi dalam proses

diskursus?

Menurut Habermas hal seperti itu sangat wajar terjadi. Diskursus tidak

menutup diri pada kepentingan pribadi, karena kepentingan bukanlah sesuatu

yang sifatnya statis, melainkan dinamis. Kepentingan terbentuk melalui proses

intersubjektif dan ketika dicoba untuk dikomunikasi, khususnya melalui

diskursus, kepentingan subjektif yang satu akan berbenturan dengan kepentingan

subjektif yang lain. Benturan ini akan menimbulkan konfrontasi ini terjadi dalam

cakupan pengujian-pengujian klaim-klaim kesahihan, dan justru keadaan inilah

yang akan membentuk suatu konsensus terkait kepentingan bersama secara

intersubjektif (Hardiman, 2009 : Hal.50-51). Adanya suatu benturan kepentingan

dalam suatu pengujian klaim-klaim kebenaran akan memaksakan setiap subjektif

partisipan untuk mengambil suatu jalan tengah di mana kepentingan mereka dapat

Page 13: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

24 

 

tercapai, namun tanpa mengabaikan kepentingan subjektif partisipan lainnya.

Dapat dikatakan keadaan ini lebih tampak pada keadaan win-win solution.

Proses menguji dan merumuskan suatu norma yang berasal dari klaim-

klaim kesahihan dalam diskursus praktis sendiri, belum tentu semua orang dapat

termasuk dalam cakupan norma itu dapat hadir dan mengikuti diskursus. Untuk

keadaan yang demikian, Habermas merumuskan suatu prinsip etika diskursus.

“bahwa setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan dari

semua orang yang bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini

dapat ikutserta di dalam sebuah diskursus praktis” (Habermas, dalam

Hardiman, 2009 : 51)

Dari rumusan tersebut berarti bahwa norma-norma yang sahih dituntut harus

sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang diuniversalkan. Norma dari hasil

diskursus harus bisa diterima bhkan oleh subjektif-subjektif yang tidak ikut hadir

dalam diskursus, namun berada dalam cakupan norma tersebut. Untuk itu, para

partisipan di dalam diskursus dituntut untuk mengandaikan suatu bentuk klaim-

klaim kesahihan yang digunakan untuk membuat konsensus, yang bisa diterima

semua orang yang terkait dengan konsensus itu sendiri. Dalam prinsip ini

tersembuyi suatu prinsip yang disebut prinsip universalitas atau prinsip “U”.

Prinsip universalitas tidak lain adalah aturan argumentasi sendiri, yang ada

dalam proses berjalannya diskursus praktis.

“Setiap Norma yang sahih harus memenuhi memenuhi prasayarat bahwa

efek-efek samping yang barangkali terjadi karena kepatuhan umum untuk

pemenuhan kepentingan setiap individu dapat diterima tanpa paksaan oleh

semua orang yang bersangkutan dengan norma itu” (Habermas, dalam

Hardiman, 2009 : 52)

Jadi, untuk menjamin bahwa norma-norma dari hasil konsensus diskursus praktis

haruslah melewati atau memenuhi prasyarat diskursus praktis sendiri. Prasyarat

Page 14: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

25 

 

itu antara lain sudah di jelaskan, yaitu adanya idealisasi dan prosedur komunikasi.

Dengan pemenuhan prasayarat dalam diskursus maka norma yang hasilkan

dipatuhi oleh semua pihak yang terkait.

Prinsi “U” sendiri adalah suatu saringan akan kepentingan, antara

kepentingan yang dapat di universalkan dan kepentingan yang partikular. Yang di

maksud dengan kepentingan yang dapat diuniversalkan adalah persoalan yang

terkait dengan moral dan kepentingan yang partikular adalah persoalan yang

terkait dengan peroalan etis. Menurut habermas, kepentingan yang etis harus

mengalah pada kepentingan moral. Hal ini dikarenakan kepentingan etis adalah

kepentingan yang memihak dan berdasarkan sejarah kehidupan individu sehingga

tidak bersifat universal dan sulit diterima secara intersubjektif dalam rangka

diskursus praktis. Sedangkan moral bersifat tidak memihak, netral, dan universal,

sehingga bisa diterima secara intersubjektif dalam proses diskursus (Hardiman,

2009 : 52).

2.2 Ruang publik Dalam Ranah Demokrasi

Pada pemaparan sudah di jelaskan secara teoritis mengenai ruang publik.

Lalu bagaimana hubungan antara ruang publik dan demokrasi? Ruang publik

adalah suatu sarana, yang di mana terhadap jaringan-jaringan dan hubungan

intersubjektif yang berusaha mencapai suatu kesepahaman atau konsensus secara

diskursif. Demokrasi sendiri adalah suatu sistem yang mengutamaka kesertaan

tiap orang yang ada di dalamnya terkait berbagai hal khususnya dalam

mengeluarkan pendapat, yang disebut “logika persaman”(Dahl, 2001 : 12).

Kata demokrasi sendiri adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang

berarti demos dan kratos yang berarti, demos adalah rakyat dan kratos adalah

adalah pemerintahan (Dahl, 2001 : hal.14). Dapat diartikan bahwa demokrasi

adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Pemerintah dibentuk untuk

memenuhi kepentingan dan kebutuhan dari rakyat itu sendiri, sehingga orientasi

Page 15: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

26 

 

dari kekuasaan, bukanlah penguasa, namun masyarakat sendirilah yang menjadi

orientasi kekuasaan.

Konsekuensi dari demokrasi sendiri adalah terdapat permasalahan,

bagaimana menjalankan suatu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat

sendiri. Permasalahan yang muncul dalam pertanyaan tersebut diatasi dengan cara

pembuatan keputusan bersama secara koletif. David Beetham dan Kevin Boyle

(dalam Dwiyatmi, 2010 : 242) berpendapat bahwa demokrasi adalah salah satu

cara dalam membuat keputusan kolektif. Keputusan kolektif adalah keputusan

yang menyangkut kepentingan bersama.

Melihat dari pengertian dari demokrasi di atas, menunjukan bahwa demokrasi

dan ruang publik, pada prinsipnya mengutamakan konsensus. Lalu bagaimana

proses mencapai konsensus, dalam mencapai keputusan bersama pada sistem

demokrasi? Dahl mengemukakan bahwa ada lima (5) standar dalam demokrasi.

1. Partisipasi efektif : sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh suatu asosiasi,

seluruh anggota harus mempunya kesempatan yang sama dan efektif untuk

membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagaimana

seharusnya kebijakan itu dibuat.

2. Persamaan suara : ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang

kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan

efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama.

3. Pemahaman yang cerah : dalam batas yang rasional setiap anggota harus

mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-

kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin.

4. Pengawasan agenda : setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif

untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda.

Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh ketiga kriteria sebelumnya tidak

pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasi tersebut selalu terbuka untuk dapat

diubah oleh para anggotanya, jika mereka menginginkannya begitu.

Page 16: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

27 

 

5. Pencakupan orang dewasa : semua, atau paling tidak sebagian besar, orang

dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan

penuh yang ditunjukan oleh empat kriteria sebelumnya (Dahl, 2001 : 52-53).

Pada gambaran di atas diberikan suatu standar pada pelaksanaan demokrasi

pada suatu asosiasi atau organisasi. Memang standar tersebut lebih dicocokan

pada demokrasi pada tingkatan hubungan antara rakyat dan negara, tetapi tidak

menutup kemungkinan standar tersebut diberlakukan pada asosiasi atau organisasi

masyarakat yang tingkatnya lebih kecil, yang berada dalam lingkup negara

demokratis sendiri. Dahl (Dahl, 2001 : 119) menjelaskan bahwa warga negara

memiliki otonomi asosiasional. Artinya dalam usaha untuk mencapai hak-hak

yang beranekaragam warga negara berhak untuk membentuk perkumpulan atau

organisasi, termasuk partai politik atau kelompok kepentingan yang bebas.

Menilik gambaran demokrasi di atas dan membandingkannya dengan

ruang publik dapat diambil kesimpulan bahwa keduanya memusatkan suatu

pengambilan keputusan yang bedasarkan pada kolektifitas yang komunikatif.

Lebih dari itu, demokrasi membuka kesempatan terciptanya ruang publik yang

kuat melalui otonomi asosiasional, dan kebebasan berpendapat untuk membuka,

menanggapi, menyetujui dan menolak, suatu masalah problematik kehidupan

bersama secara diskursif.

Kesempatan bagi terciptanya ruang publik dalam ranah demokrasi

umumnya diwujudkan dalam suatu bentuk pengambilan keputusan bersama yang

disebut dengan musyawarah. Musyawarah ini tidak hanya di aplikasi pada

tingkatan negara (pemerintahan), tetapi juga berlaku sampai organisasi/asosiasi

yang ada di dalam masyarakat. Dalam musyawarah dituntut adanya pemenuhan

standar-standar demokrasi, dan keadaan inilah yang dapat memberikan peluang

bagi ruang publik, karena dibutuhkan suatu kesepahaman atau konsensus bersama

yang di peroleh secara diskursif.

Page 17: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

28 

 

                                                           

2.3 Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik Sudah dijelaskan bahwa sistem demokrasi ternyata mendukung terciptanya

ruang publik yang diskursif. Sistem demokrasi tidak hanya memberikan

kesempatan yang besar dan kebebasan bagi warga negara untuk bersuara dan

berpendapat, namun sampai memberikan kesempatan pada warga negara untuk

berasosiasi dan berorganisasi dalam rangka kepentingan politik ataupun

kepentingan bebas. Pada tingkatan inilah kemudian, ruang publik yang diskursif

memiliki peluang untuk muncul.

Berangkat dari otonomi asosional yang dimiliki warga negara,

memungkinkan masyarakat mengorganisir diri dalam berbagai bentuk organisasi

dan asosiasi. Salah satu bentuknya adalah masyarakat dayak yang

mengorganisasikan diri dalam lembaga-lembaga adat Dayak5. lembaga Adat

adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara

wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam

suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta

kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk

mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang

berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku6

Lembaga adat Dayak merupakan suatu usaha masyarakat Dayak untuk

mengembangkan diri dalam berbagai hal, mulai dari pendidikan, ekonomi,

kebudayaan, bahkan menjadi suatu corong bagi aspirasi dan opini masyarakat adat

Dayak.

Di sini dapat dilihat bahwa lembaga adat Dayak bukanlah suatu lembaga

tertutup akan opini dan aspirasi yang berbentuk pendapat, argumen, bahkan kritik.

apabila kita mencoba untuk melakukan penyesuaian dengan teori komunikasi

pada bab ini, maka kita dapat melihat ini adalah sautu kesempatan untuk

melakukan tematisasi problematika. Opini dan aspirasi yang berkaitan dengan

 5 Untuk sejarah dan bagaimana terbentuknya lembaga-lembaga Adat Dayak dapat diliat pada BAB I Latar Belakang Masalah.

6 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN, Bab I, pasal 1, ayat 15.

Page 18: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

29 

 

masalah bersama dalam kehidupan masyarakat adat Dayak, di mana apabila dirasa

penting dapat diangkat dalam musyawarah adat yang pesertanya adalah

masyarakat adat, yang dikonvokatori oleh lembaga adat.

Pada musyawarah sendiri peranan dari lembaga adat sebagai media ruang

publik sangatlah penting. Lembaga adat dalam mengadakan suatu musyawarah

adat harus memperhatikan tidak hanya terbatas seberapa banyak yang datang,

problematika apa yang diangkat. Lembaga adat perlu pula memperhatikan

bagaimana menjamin standar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Lebih dari

itu, dalam konteks ruang publik, lembaga adat bahkan harus dapat melihat

bagaimana suatu diskursus praktis dapat terjamin dengan adanya suatu prosedur

komunikasi. Dengan pemenuhan syarat dan standar tersebut maka kemungkinan

untuk dapat menciptakan suatu konsensus atau kesepahaman yang diakui (legitim)

dan dipatuhi secara bersama pula, akan lebih besar.

Page 19: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

2.4 Kerangka Pikir

Gambar 1

Lebenswelt (Dunia‐Kehidupan) 

Lembaga‐Lembaga Adat Dayak Masyarakat Adat Dayak 

Problematika (Aspirasi, opini, issu, 

info, dll)

 Tematisasi Probelmatika

Musyawarah(ruang publik Dikursif) 

‐ Diskursus praktis • Prosedur komunikasi 

‐ Prinsip Universalitas ‐ Standar demokra

Konsensus (Penolakan FPI di 

Kalimantan Tengah) 

Ket : Garis putus : Lembaga Adat Dayak yang menjadi Pelaksana sekaligus peserta dari ruang publik

30 

 

Page 20: Fungsi Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik (Studi ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/3835/3/T1_352006002_BAB II.pdfpenting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk

31