Upload
tugba1234
View
246
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
8/20/2019 Fungsi Erek
1/71
Referat
PSIKONEUROIMUNOLOGI
STRESS DAN DISFUNGSI EREKSI
Disusun oleh:
Dokter Muda Psikiatri Periode 16 Maret – 11 April 2015
Nurrasyidah G99132005
Rizal Tahta Maulana G99132008
M. Idzham Reeza G99132009
Aditya Bawono G99132010
Carko Budiyanto G0007049
Pembimbing:
Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA/PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
8/20/2019 Fungsi Erek
2/71
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan referat kepaniteraan
kliniki ilmu kedokteran jiwa/psikiatri dengan judul “ Psikoneuroimunologi Stress
Dan Disfungsi Ereksi”.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan referat ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr.,Sp.KJ(K)
2.
Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr.,Sp.KJ(K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr.,Sp.KJ(K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr.Sp.KJ(K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr.,Sp.KJ(K)
6. Yusvick M. Hadin, dr.,Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr.Sp.KJ
8.
I.G.B. Indro Nugroho, dr.Sp.KJ
9.
Gst. Ayu Maharatih, dr.,Sp.KJ
10. Makmuroch, Dra. MS
11. Debree Septiawan, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
12. Istar Yuliadi, dr.,M.Si. FIAS
13. Rohmaningtyas HS, dr.,Sp.KJ.,M.Kes
14.
RH Budhi M, dr.,Sp.KJ(K)
15.
Maria Rini I, dr.,Sp.KJ
16. Adriesti H, dr.,Sp.KJ(K)
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr.,Sp.KJ.,M.Kes.
18. Setyowati Raharjo, dr.,Sp.KJ
8/20/2019 Fungsi Erek
3/71
3
Penulis menyadari dalam referat ini masih banyak kekurangan dan
kekeliruan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan untuk perbaikan referat ini.
Semoga apa yang telah penulis susun dapat bermanfaat bagi banyak
pihak dan dapat menjadi bahan informasi yang berguna.
Surakarta, 10 April 2015
Penulis
8/20/2019 Fungsi Erek
4/71
4
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 6
BAB II STRESS ...................................................................................................... 9
A. Definisi Stress ............................................................................................. 9
B. Gejala Dan Tanda Stress ........................................................................... 11
C. Sumber Stress ............................................................................................ 12
D. Jenis-Jenis Stressor ................................................................................... 15
E. Derajat Stress ............................................................................................. 16
F. Macam-Macam Stress ................................................................................ 17
G. Model Stress Kesehatan ............................................................................ 18
H. Faktor Pengaruh Respon Terhadap Stressor ............................................. 19
I. Daya Tahan Stress ...................................................................................... 21
J. Sifat Dan Reaksi Terhadap Stress .............................................................. 21
K. Fight Or Flight Response Pada Stress ....................................................... 24
L. Respon Fisiologis Stress ............................................................................ 25
M. Faktor Yang Mempengaruhi Perbedaan Respon Stress ............................ 25
N. Dampak-Dampak Stress ............................................................................ 26
BAB III PSIKONEUROIMUNOLOGI ................................................................ 31
A. Definisi ...................................................................................................... 31
B. Sejarah ....................................................................................................... 32
C. Sistem Limbik, Hipotalamus Dan Pengaturan Emosi ............................... 33
D. Konsep Stress Dalam Psikoneuroimunologi ............................................. 36
E. Kelenjar Adrenal Dan Sekresi Kortisol...................................................... 38
F. Pengaruh Hpa Axis Pada Reaksi Inflamasi Yang Diperantarai Imun........ 40
BAB IV DISFUNGSI EREKSI ............................................................................ 51
A. Definisi Ereksi ........................................................................................... 51
B. Mekanisme Ereksi ..................................................................................... 51 C. Disfungsi Ereksi (De) ................................................................................ 54
8/20/2019 Fungsi Erek
5/71
5
D. Penyebab Disfungsi Ereksi (De) ............................................................... 55
E. Klasifikasi Disfungsi Ereksi ....................................................................... 56
F. Psikoneuroimunologi Disfungsi Ereksi ..................................................... 57
G. Manajemen Disfungsi Ereksi .................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69
8/20/2019 Fungsi Erek
6/71
6
BAB I
PENDAHULUAN
Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai
ketahanan tubuh yang baik. Stress terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan
dasar manusia yang akan dapat bermanifes pada perubahan fungsi fisiologis,
kognitif, emosi dan perilaku. Paradigma yang banyak dianut pada saat ini adalah
memfokuskan pada hubungan antara perilaku, sistem saraf pusat (SSP), fungsi
endokrin dan imunitas. Responsivitas sistem imun terhadap stress menjadi
konsep dasar psikoneuro-imunologi. Mekanisme hubungan tersebut diperantarai
oleh mediator kimiawi seperti glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai
polipeptida melalui aksis limbik hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat
menurunkan respon imun seperti aktifitas sel natural killer (NK), interleukin (IL-
2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN).
Stress merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam
percakapan sehari-hari. Stress adalah salah satu dampak perubahan sosial dan
akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi
teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin
berat.
Para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku dengan sistem
kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik adalah
hubungan antara stress dengan sistem kekebalan tubuh. Akhir-akhir ini
berkembang penelitian tentang hubungan antara perilaku, kerja saraf, fungsi
endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong munculnya
konsep baru yaitu psikoneuroimunologi.
Stress merupakan suatu keadaan yang sudah tidak asing lagi bagi
kalangan masyarakat di seluruh dunia. Setiap orang kemungkinan pernah
mengalami stress dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Pada saat seseorang
mengalami stress, dapat ditemui gejala-gejala seperti sulit tidur, timbul rasa kuatir
yang berlebih, sulit berkonsentrasi, dan masih banyak gejala yang lainnya
(Kisker, 1997).
8/20/2019 Fungsi Erek
7/71
7
Definisi stress sampai saat ini masih sangat sulit untuk dijabarkan oleh
para ilmuwan, karena itu merupakan sensasi subjektif yang berhubungan dengan
gejalagejala yang bervariasi, dimana masing-masing ahli memiliki pendapat yang
berbeda. Dalam tingkatan yang rendah stress mungkin berguna bagi tubuh, tetapi
jika stress tersebut menjadi berat dan berkepanjangan akan mempengaruhi fungsi
fisik dan mental, hal ini akan menjadi masalah besar yang perlu penanganan lebih
lanjut (Kisker, 1997). Jika keadaan stress pada seseorang dibiarkan begitu saja,
tanpa ada upaya penanganan atau upaya pengobatan maka sudah dipastikan akan
banyak masyarakat di dunia ini yang akan mengalami gangguan kejiwaan
(Tristiadi, 2007).
Prevalensi stress semakin meningkat baik dalam kalangan masyarakat
yang tinggal di perkotaan, maupun yang tidunggal di pedesaan. Bahkan di zaman
global ini stress cenderung lebih banyak menyerang masyarakat dengan tingkat
perekonomian tinggi daripada masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah,
meskipun demikian terdapat perbedaan daripada tingkatan-tingkatan stress yang
dialami oleh masingmasing golongan masyarakat tersebut (Kisker,1997). Di
Amerika, stress menjadi masalah besar karena 43% orang dewasa mengalami
gangguan kesehatan akibat dari stress, 75-90% kunjungan ke pusat kesehatan
berkaitan dengan stress, dan 60-80% kecelakaan industri berkaitan dengan
masalah stress (Jaffe-Gill, 2007).
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi
modernisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mempengaruhi
nilai-nilai moral etika dan gaya hidup. Hal tersebut merupakan stressor
psikososial sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam
kehidupan dan dia harus berusaha untuk beradaptasi dan menanggulanginya.
(Hawari, 2008; Maramis, 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa stress memberi kontribusi 50 sampai 70
persen terhadap timbulnya sebagian besar penyakit seperti penyakit
kardiovaskuler, hipertensi, kanker, penyakit kulit, infeksi, penyakit metabolic, dan
yang berat akan memperlihatkan tanda-tanda mudah lelah, sakit kepala, hilang
8/20/2019 Fungsi Erek
8/71
8
nafsu, mudah lupa, bingung, gugup, kehilangan gairah seksual, kelainan
pencernaan, dan tekanan darah tinggi (Hawari, 2008).
Stress adalah sesuatu yang alami, natural. Akan tetapi, stress dapat
mempengaruhi tubuh, pikiran, dan perilaku. Ia menimbulkan perasaan gelisah,
was-was, tidak nyaman, sulit tidur, tertekan hingga gangguan fisik (Hawari,
2008). Stress merupakan kondisi yang serius karena jika tidak mendapat
penanganan yang tepat dapat menyebabkan gangguan fungsi fisik maupun sosial.
Sampai saat ini penanganan yang memuaskan dalam menangani stress belum
dapat dirumuskan karena faktor etiologi dan perjalanan penyakitnya yang
beragam sehingga perlu kesepahaman dalam mengerti faktor-faktor yang berperan
di dalam gangguan stress.
8/20/2019 Fungsi Erek
9/71
9
BAB II
STRESS
A. DEFINISI STRESS
Istilah stress pertama kali digunakan oleh Hans Selye tahun 1936
dalam laporan penelitiannya, didefinisikan sebagai ―respon tidak spesifik dari
tubuh terhadap tuntutan perubahan‖ (dalam Yuliadi, 2014). Dwight Carlson
mengatakan bahwa stress adalah suatu ―perasaan ragu terhadap
kemampuannya untuk mengatasi sesuatu, suatu anggapan bahwa persediaan
yang ada tidak dapat memenuhi permintaan yang didapat.‖ Maramis
mengatakan bahwa stress adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian
diri dank arena itu sesuatu yang menganggu keseimbangan kita (Maramis,
2009). Menurut The American Institute of Stress, stress adalah ―perasaan tidak
mempunyai kendali atau hanya sedikit kendali‖ (dalam Yuliadi, 2014).
Pengertian lain mengatakan bahwa stress menunjukkan suatu tekanan
atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar ia beradaptasi atau
menyesuaikan diri, bila kita tidak dapat mengatasinya dengan baik, akan
muncul gangguan badan ataupun gangguan jiwa (Nevid, 2005; Maramis,
2009). Stress adalah salah satu konsep dasar psikiatri (Sadock & Sadock,
2009).
Stress adalah respons tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap
tuntutan beban atasnya. Misalnya, bagaimana respons tubuh sesorang
manakala yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia
sanggup mengatasinya, artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh,
dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stress. Tetapi sebaliknya,
ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga
yang tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik ia disebut
mengalami distress (Hawari, 2008).
Stress dibedakan menjadi dua, yakni stress yang merugikan dan
merusak (disebut distress) serta stress yang positif dan menguntungkan
(disebut eustress). Setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap
8/20/2019 Fungsi Erek
10/71
10
jenis stress, dalam kenyataannya stress menyebabkan sebagian individu
menjadi putus asa, tetapi bagi individu lain justru menjadi dorongan baginya
untuk lebih baik (dalam Yuliadi, 2014).
Konsep Dasar Stress
Sesuatu yang sangat penting dalam model konsep adalah organisme itu
sendiri. Tergantung pada proses internal seperti bekerjanya perhatian,
persepsi, dan memori, pada makna dari rangsangan baginya, organisme
berbeda yang mendapat rangsangan serupa dapat memberikan resnpons
berbeda. Hal ini dapat digambarkan dengan singkatan S-O-R-C (stimulus
organism response consequences). Model S-O-R-C adalah dasar bangunan
dari teori pembelajaran sosial kognitif dan perilaku (Froggatt, 2006).
Selye, seorang endrokrinologis yang telah memperkenalkan suatu riset
ilmiah, meurumuskan tiga tingkat respons individu terhadap stress yang
disebut “general adaptation syndrome” , yang meliputi: (1) tingkat alarm yang
mengaktifkan respon individu terhadap lawan atau membentuk defense
mechanism; (2) tingkat resistensi, kemampuan organisme untuk beradaptasi
sangat merosot tajam. Menurut Selye, istilah stress dapat digunakan baik
untuk pengertian secara positif (eustress) maupun negatif (distress) (dalam
Yuliadi, 2014).
Penjelasan dari sistem dari sistemregulasi fungsional, seperti sistem
saraf, hormone, kekebalan, yang menghubungkan pikiran dan tubuh adalah
tema yang penting dalam kedokteran psikosomatis. Sama dengan hal itu,
penting juga untuk menjelaskan bagaiman dan apa bentuk ketidakseimbangan
atau distorsi faktor ―psikis perilaku‖, seperti kebiasaan hidup harian yang
tidak adekuat dan cara coping stress yang tidak sesuai, telah mempengaruhi
kemungkinan untuk atau berlanjutnya suatu penyakit. Hal ini selanjutnya
meliputi pendekatan sosial budaya yang bersifat epidemiologis, tidak hanya
memfokuskan secara tunggal pada aspek psikologis atau perilaku (dalam
Yuliadi, 2014).
Setiap individu/pasien memiliki kekhususan atau (keunikan) sendiri
yang berakar pada jenis kelamin, konstitusi, pengalaman hidup, umur, fase
8/20/2019 Fungsi Erek
11/71
11
kehidupan, sumber-sumber kekuatan dan dukungan lain, agama, kepercayaan,
budaya, dan sebagainya, yang mempengaruhi keadaannya, baik dalam kondisi
sakit maupun sehat. Berbagai aspek tersebut perlu dipertimbangkan dalam
menangani masalah kesehatan (Wibisono, 2007).
B. GEJALA DAN TANDA STRESS
Stress dapat dialami oleh semua orang, bila stress bersifat eustress,
artinya dapat memotivasi agar seseorang bersemangat mengatasi problemnya,
justru diperlukan oleh seseorang sebagai pendorong dan pembangkit
semangat, tetapi bila bersifat distress, yaitu membuat seseorang menjadi
terganggu dan tidak dapat melakukan fungsi sosial dan pekerjaan seperti
biasanya, dapat mempengaruhi fungsi kehidupan yang lain (Accelerated Cure
Project, 2007).
Stress mempengaruhi manusia baik secara fisik, kognitif, emosi, dan
perilaku sehingga gejala dan tanda stress dapat dibagi berdasarkan fisik,
kognitif, emosi, dan perilaku.gejala dan tanda ini berbeda-beda untuk setiap
orang karena faktor biologis dan pembawaan yang berbeda dari setiapindividu (Jaffe-Gill et al ., 2007).
1. Gejala dan tanda fisik dapat berupa nyeri kepala atau nyeri punggung,
ketegangan atau kekakuan otot, mual, pusing, sulit tidur, mencret atau
diare, gangguan tidur, nyeri dada, jantung berdebar cepat, penambahan
atau pengurangan berat badan, gangguan kulit, hilangnya dorongan
seksual, dan sering meriang.
2. Gejala dan tanda kognitif dapat berupa gangguan daya ingat, kesulitan
konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit mengambil keputusan, hanya
berpikiran yang buruk, pikiran kecemasan, kekhawatiran yang menetap,
kehilangan objektivitas, dan antisipasi ketakutan.
3.
Gejala dan tanda emosional dapat berupa tergantung mood, marah,
gampang emosi, gampang terpancing, tidak sabar, tidak dapat tenang,
merasa di ujung tanduk, merasa terancam, merasa sendiri dan tersingkir,
sedih.
8/20/2019 Fungsi Erek
12/71
12
4. Tanda perilaku dapat berupa tidur berlebihan atau kurang, menghindari
orang lain, menolak bertanggungjawab, penggunaan zat untuk santai,
gugup, menggertakan gigi, aktivitas berlebihan, bersikap berlebihan
terhadap suatu masalah, bertengkar dengan orang lain.
(Jaffe-Gill et al ., 2007).
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata dampak stress ini tidak
hanya mengenai gangguan fungsional hingga organ tubuh, tetapi juga
berdampak pada bidang kejiwaan, misalnya kecemasan dan atau depresi.
Kecemasan (anxiety/ansietas) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang
ditandai oleh perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan
berkelanjutan, dimana pasien tidak mengalami gangguan dalam menilai
realitas (RTA masih baik) dan kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat
terganggu, tetapi masih dalam batas-batas normal. Depresi adalah gangguan
alam perasaan (mood ) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang
mendalam dan berkelanjutan sehingga gairah hidup hilang, tetapi tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap utuh, dan perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari,
2008).
C. SUMBER STRESS
Stressor atau sumber stress, dapat dalam berbagai bentuk, meliputi
fisik, psikologis, dan sosial-budaya, masa lalu, sekarang dan masa yang akan
datang, positif dan negatif, serta akut dan kronis ( Accelerated Cure Project ,
2007).
Gejala emosional atau perilaku dapat terjadi sebagai respons peristiwa
kehidupan yang menimbulkan stress (Saddock & Sadock, 2009). Faktor
penyebab stress disebut stressor, sebagian contohnya (Hawari, 2008) yaitu:
1. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress yang
dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian,
kematian salah satu pasangan dan ketidaksetiaan.
8/20/2019 Fungsi Erek
13/71
13
2. Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalna tidak mempunyai anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik
dengan mertua, ipar, dan besan.
3.
Hubungan interpersonal (antar pribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang
mengalami konflik, konflik dengan kekasih, antara atasan dan bawahan.
4. Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah masalah
perkawinan, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok,
mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, dan kehilangan pekerjaan
(PHK).
5. Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan
seseorang, misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran.
Hidup dalam lingkungan yang rawan.
6.
Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang,
kebangkrutan usaha, dan soal warisan.
7.
Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber
stress.
8.
Perkembangan
Yang dimaksud adalah perkembangan, baik fisik maupun mental
seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, dan usia
lanjut.
9. Penyakit fisik atau cidera
Sumber stress yang dapat menimbulkan depresi, misalnya penyakit
kecelakaan, operasi, dan aborsi.
8/20/2019 Fungsi Erek
14/71
14
10. Faktor keluarga
Faktor stress yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan oleh
kondisi keluarga yang tidak baik (sikap orang tua), misalnya orang tua
bercerai, jarang di rumah, ketegangan dengan anak, dan orang tua otoriter.
11.
Trauma
Seseorang yang mengalami bencana alam, kecelakaan transportasi,
kebakaran, kerusuhan, peperangan, kekerasan, penculikan, perampokan,
perkosaan, dan kehamilan diluar nikah.
Apabila dikelompokkan, segala sumber stress pada manusia bersumber
dari 4 hal, yaitu (Maramis, 2009):
1. Frustrasi
Frustrasi muncul bila ada aral melintang antara individu dan
maksud/tujuannya, misalnya seseorang mau melanjutkan sekolah, tetapi
orang tuanya tak memiliki biaya. Frusatasi dapat berasal dari dalam dan
luar diri seseorang.
2.
KonflikKonflik terjadi bila individu tidak dapat memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu berarti frustrasi terhadap
yang lain. Terdapat tiga macam konflik, yaitu:
a.
Konflik pendekatan-penolakan: individu dihadapkan pada suatu
keadaan yang mengharuskan dia mengambil keputusan, tetapi ia tidak
dapat menentukan karena di satu sisi dia menginginkan hal tersebut,
tetapi di sisi lain ada risiko yang tidak dia sukai jika dia menuruti apa
yang dia inginkan tersebut. Misalnya, seseorang ingin menikah dengan
seorang perempuan yang cantik dan luwes, tetapi memiliki orang tua
yang galak dan judes.
b.
Konflik pendekatan ganda: individu dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama dia inginkan.senangi, tetapi dia tidak dapat memilih
keduanya sekaligus dan harus melepaskan salah satunya. Misalnya,
seorang yang jatuh cinta pada dua hati.
8/20/2019 Fungsi Erek
15/71
15
c. Konflik penolakan ganda: individu dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama tidak dia senangi/inginkan, padahal dia harus memilih
salah satu. Misalnya, apakah dia memilih pekerjaan yang tidak
menarik atau menganggur.
3.
Tekanan
Tekanan juga dapat menjadi sumber stress. Tekanan dapat berasal
dari dalam dan luar individu. Tekanan dari dalam datang dari cita-cita atau
norma-norma yang kita gantungkan terlalu tinggi dan individu
mengejarnya tanpa ampun, sehingga dia terus-menerus berada di bawah
tekanan.
Tekanan dari luar misalnya anak yang menuntut orang tuanya
untuk selalu memenuhi keinginannya, seorang istri yang mengeluh pada
suaminya bahwa uang belanjanya tidak cukup.
4. Krisis
Krisis adalah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stress
pada seorang individu ataupun suatu kelompok, misalnya: kematian,
kecelakaan, masuk sekolah yang pertama kali, bencana alam, dan
sebagainya.
Tak jarang, beberapa keadaan di atas secara bersamaan dialami oleh
seorang individu.
D. JENIS-JENIS STRESSOR
Tabel 1. Jenis Stressor Dalam Tahap Perkembangan
Tahap Perkembangan Jenis Stressor
Anak
Konflik mandiri dan ketergantungan
orang tua
Hubungan dengan teman sebaya
Kompetisi dengan teman
Remaja
Perubahan tubuh
Hubungan dengan teman
Seksualitas
Mandiri
Dewasa Muda
Menikah
Meninggalkan rumahMulai bekerja
8/20/2019 Fungsi Erek
16/71
16
Melanjutkan pendidikan
Membesarkan anak
Dewasa Tengah Menerima proses menuaStatus sosial
Dewasa Tua
Usia lanjut
Perubahan tempat tinggal
Penyesuaian diri masa pension
Proses kematian
(Alimul, 2008)
E. DERAJAT STRESS
Stress dapat mengenai semua orang dalam berbagai tingkatan usia.
Menurut Hawari, sress timbul secara lambat dan tidak disadari kapan
munculnya. Adapun derajat stress terbagi dalam 6 tingkatan yaitu:
1. Stress tingkat I
Tingkat ini merupakan tingkatan dasar atau yang paling ringan dari
suatu stress. Pada tingkatan ini biasanya disertai semangat hidup yang
besar, penglihatan tajam seperti biasanya, gugup yang berlebihan. Sikap
pasien yang mengalami stress pada tahap ini biasanya menyenangkan,
tetapi tidak disadari cadangan energinya menipis.
2. Stress tingkat II
Tingkatan ini merupakan tahap lanjut dari stress dasar. Pada tahap
ini mulai muncul keluhan karena cadangan energi tidak cukup lagi untuk
sepanjang hari. Keluhan yang dialami pasien antara lain letih pada waktu
pagi hari, lelah setelah makan siang dan menjelang sore, serta ada
gangguan otot dan pencernaan.
3.
Stress tingkat III
Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami gangguan
pada lambung dan usus seperti adanya keluhan gastritis, buang air besar
tidak teratur, gangguan lain seperti ketegangan otot makin terasa dan
perasaan tidak tenang. Munculnya gangguan tidur pada pasien seperti
terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur. Pasien merasa dirinya
ingin pingsan. Pada tahap ini sebaiknya pasien penderita berkonsultasi
dengan dokter.
8/20/2019 Fungsi Erek
17/71
17
4. Stress tingkat IV
Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan oleh
kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, semula tanggap
terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara
adekuat, konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang tak
terdefinisikan.
5. Stress tingkat V
Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tingkat IV. Gejala yang
muncul pun semakin berat. Stress tahap ini ditandai adanya kelekahan
fisik secara mendalam, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang ringan
dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, perasaan
ketakutan, dan kecemasan semakin meningkat.
6. Stress tingkat VI
Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU karena gejala yang
muncul sangat membahayakan. Penderita dapat merasakan jantung
berdebar sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan oleh stress
yang cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin, dan
berkeringat. Bahkan penderita dapat mengalami kondisi di mana merasa
tenaganya tak ada sama sekali dan tak jarang pingsan.
(Contrada dan Baum, 2010).
F. MACAM-MACAM STRESS
Ditinjau dari penyebab, maka stress dibagi menjadi 7 macam, antara lain:
1. Stress fisik
Stress yang disebabkan karena keadaan fisik seperti dikarenakan
temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising, sinar
matahari, atau karena tegangan arus listrik.
2.
Stress kimiawi
Stress ini disebabkan karena zat kimiawi seperti obat-obatan, zat
beracun asam, basa, faktor hormon, atau gas prinsipnya karena pengaruh
senyawa kimia.
8/20/2019 Fungsi Erek
18/71
18
3. Stress mikrobiologis
Stress ini disebabkan karena kuman, seperti adanya virus, bakteri,
atau parasit.
4. Stress fisiologis
Stress yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di
antaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dan lain-
lain.
5. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan
Stress yang disebabkan karena proses pertumbuhan dan
perkembangan seperti pada pubertas, perkawinan, dan proses lanjut usia.
6.
Stress psikis atau emosional
Stress yang disebabkan karena gangguan stimulus psikologis, atau
ketidakmampuan kondisi psikologis saat menyesuaikan diri seperti
hubungan interpersonal, sosial budaya, atau faktor keganasan.
(Alimul, 2008).
G.
MODEL STRESS KESEHATANModel stress kesehatan merupakan suatu model di mana stress dapat
mempengaruhi status kesehatan seseorang. Model ini terdiri dari beberapa
unsur di antaranya:
1.
Unsur langsung
Stress dapat menghasilkan atau mempengaruhi secara langsung
dari perubahan fisiologis dan psikologis, seperti adanya ketegangan
(stress) akan menyebabkan terjadinya proses pelepasan hormon secara
langsung yaitu hormon kotekolamin dan kortikosteroid yang kondisi
berdebar-debar, denyut nadi cepat dan lain-lain
2.
Unsur kepribadian
Stress dapat dipengaruhi karena adanya tipe kepribadian yang
memudahkan timbulnya kesakitan.
3. Unsur interaktif
Stress dapat menyebabkan ketidakkebalan tubuh sehingga tubuh
akan menjadi mudah terjadi gangguan pada tubuh baik biologis maupun
8/20/2019 Fungsi Erek
19/71
19
psikologis. Proses ini dikarenakan adanya interaksi antara faktor dari luar
dan faktor dari dalam untuk mempertahankan keseimbangan tubuh.
4. Unsur perilaku sehat
Stress dapat secara tidak langsung mempengaruhi kesakitan, akan
tetapi dapat merubah perilaku terlebih dahulu seperti adanya peningkatan
konsumsi alkohol, rokok, dan lain-lain.
5. Unsur perilaku sakit
Stress apat mempengaruhi secara langsung terhadap kesakitan
tanpa menyebabkan adanya perilaku sakit seperti mencari bantuan
pengobatan.
(Alimul, 2008).
H. FAKTOR PENGARUH RESPON TERHADAP STRESSOR
Menurut Alimul (2008), respon terhadap stressor yang diberikan setiap
individu akan berbeda berdasarkan faktor yang akan mempengaruhi dari
stressor tersebut, dan koping yang dimiliki individu, di antara stressor yang
dapat mempengaruhi respon tubuh antara lain :1. Sifat stressor
Sifat stressor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon
tubuh terhadap stressor. Sifat stressor ini dapat berupa tiba-tiba atau
berangsur-angsur, sifat ini pada setiap individu dapat berbeda tergantung
dari pemahaman tentang arti stressor.
2. Durasi stressor
Lamanya stressor yang dialami klien akan mempengaruhi respon
tubuh. Apabila stressor yang dialami lebih lama, maka respon yang
dialaminya juga akan lebih lama dan dapat mempengaruhi dari fungsi
tubuh yang lain.
3.
Jumlah stressor
Jumlah stressor yang dialami seseorang dapat menentukan respon
tubuh. Semakin banyak stressor yang dialami pada seseorang, dapat
menimbulkan dampak yang besar bagi fungsi tubuh juga sebaliknya
8/20/2019 Fungsi Erek
20/71
20
dengan jumlah stressor yang dialami banyak dan kemampuan adaptasi
baik, maka seseorang akan memiliki kemampuan dalam mengatasinya.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
stressor yang dimiliki. Semakin banyak stressor dan pengalaman yang
dialami dan mampu menghadapinya, maka semakin baik dalam mengatasi
sehingga kemampuan adaptifnya akan semakin baik pula.
5. Tipe kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi respon
terhadap stressor. Apabila seseorang yang memiliki tipe kepribadian A,
maka akan lebih rentan terkena stress dibandingkan dengan tipe
kepribadian B. Tipe kepribadian A memiliki ciri ambisius, agresif,
kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung, mudah
marah, memiliki kewaspadaan yang berlebihan, bicara cepat, bekerja tidak
kenal waktu, pandai berorganisasi dan memimpin atau memerintah, lebih
suka bekerja sendirian bila ada tantangan, kaku terhadap waktu, ramah,
tidak mudah dipengaruhi, bila berlibur pikirannya ke pekerjaan dan lain-
lain. Sedangkan tipe kepribadian B memiliki ciri tidak agresif, ambisinya
wajar-wajar, penyabar, senang, tidak mudah tersinggung, tidak mudah
marah, cara bicara tidak tergesa-gesa, perilaku tidak interaktif, lebih suka
kerjasama, mudah bergaul, dan lain-lain atau merupakan kebalikan dari
tipe kepribadian B.
6. Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan pada individu ini juga dapat mempengaruhi
respon tubuh dimana semakin matang dalam perkembangannya, maka
semakin baik pula kemampuan untuk mengatasinya. Dalam
perkembangannya kemampuan individu dalam mengatasi stressor dan
respon terhadapnya berbeda-beda dan stressor yang dihadapinya pun
berbeda yang dapat digambarkan dalam pembahasan diatas pada poin D.
8/20/2019 Fungsi Erek
21/71
21
I. DAYA TAHAN STRESS
Daya tahan stress atau nilai ambang stress ( stress or frustration
threshold/tolerance) pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada
keadaan somato-psiko-sosial orang tersebut. Ada orang yang sangat peka
terhadap stressor ternetu atau yang disebut dengan stressor spesifik. Stressor
spesifik ini kuncul karena adanya pengalaman dahulu yang menyakitkan dan
tidak dapat diatasi dengan baik. Salah satu contoh yang dapat diambil yaitu
seroang istri setiap kali berselisih dengan suaminya, istri tersebut lari dari
rumah dan pulang ke rumah ibunya. Ia tidak dapat mengatasi keadaan tersebut
karena pada waktu anak-anak, ia sering melihat ibunya dipukul oleh sang ayah
yang menimbulkan stress padanya hingga tidak dapat ditangani dengan baik
(Maramis dan Maramis, 2009).
Setiap orang memiliki cara sendiri untuk penyesuaian diri terhadap
stress karena penilaian terhadap stressor dan stress yang berbeda-beda (faktor
internal) dank arena tuntutan terhadap individu yang berbeda (factor
eksternal). Hal ini antara lain tergantung dari umur, sex, keprbadian,
intelegensi, emosi, status sosial, dan pekerjaan individu (Maramis dan
Maramis, 2009).
J. SIFAT DAN REAKSI TERHADAP STRESS
Ada dua macam sifat stress, yaitu stress yang bersifat negatif disebut
sebagai distress, misalnya oleh karena merasa kehilangan jabatan setelah
pensiun, maka ia merasa tidak berdaya, minder, dan mengakibatkan muncul
rasa segan untuk bertemu dengan teman-temannya. Stress yang bersifat positif
disebut eustress. Dalam hal ini dapat dicontohkan adanya upaya-upaya untuk
mengantisipasi kehidupan setelah nanti. Melakukan penyesuaian-penyesuaian
yang positif seperti mencari aktivitas pengganti atau mulai menyesuaikan gaya
hidup (Maramis dan Maramis, 2009).
Namun demikian, pengertian stress yang berkembang di masyarakat
hanya semata-mata stress yang negatif saja, sedangkan stress yang positif
tidak diperhitungkan. Oleh karenanya, orang menolak bila dikatakan stress
walaupun reaksi stressnya bersifat positif (Maramis dan Maramis, 2009).
8/20/2019 Fungsi Erek
22/71
22
Adapun reaksi-reaksi yang bersifat negatif adalah sebagai berikut:
1. Reaksi psikologis biasanya lebih dikaitkan pada aspek emosi seperti
mudah marah, sedih, ataupun mudah tersinggung.
2. Reaksi fisiologis biasanya muncul dalam keluhan-keluhan fisik, seperti
pusing, nyeri tengkuk, tekanan darah naik, nyeri lambung, gatal-gatal di
kulit, ataupun rambut rontok.
3. Reaksi proses berpikir (kognisi), biasanya tampak dalam gejala sulit
berkonsentrasi, mudah lupa, ataupun sulit mengambil keputusan.
4. Reaksi perilaku. Pada remaja tampak dari perilaku-perilaku yang
menyimpang seperti mabuk, ngepil, frekuensi merokok meningkat,
ataupun menghindar bertemu temannya. Sedangkan pada karyawan yang
akan purna karya tampak pada perilaku yang malas untuk bertemu dengan
teman sekantor karena merasa rendah diri.
Reaksi terhadap stress oleh Chevalier dkk., dikemukakan atas
beberapa aspek, yakni (Chevalier, 2011):
1.
Aspek BiologisTerdapat reaksi tubuh berupa fight-or-flight respone karena
respons fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau
menghindari situasi yang mengancam terseut. Fight-or-flight respone
menyebabkan individu dapat berespons dengan cepat terhadap situasi tak
nyaman yang akan memperbaiki keadaan yang akan yang mengancam.
Stress dapat mempengaruhi sistem simpatik tubuh, yakni
berhubungan dengan kelenjar pituitary anterior . Dapat dikatakan bahwa
indikator adanya stress pada seseorang ditandai dengan peningkatan-
peningkatan aktivitas kelenjar pituitary tersebut ditandai dengan
meningkatnya konsentrasi ACTH dalam plasma darah manusia.
Dalam penelitiannya, Chevalier dkk., juga mempelajari akibat yang
diperoleh bila stressor terus meerus muncul. Ia kemudian mengemukakan
istilah general adaption syndrome (GAS) yang tediri dari rangkaian taapan
reaksi fisiologis terhadap stressor:
8/20/2019 Fungsi Erek
23/71
23
a. Alarm reaction
Tahapan pertama ini mirip dengan fighft-or-flight respone.
Pada tahap ini araousal yang terjadi pada tubuh organisme berada di
bawah yang untuk selanjutnya meningkat di atas normal. Pada akhir
tahapan ini, tubuh melindungi organisme terhadap stressor. Tetapi,
tubuh tidak dapat mempertahankan intensitas araousal dari alarm
reaction dalam waktu yang sangat lama.
b.
Stage of resistance
Araousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk
melawan dan beradaptasi dengan stressor. Respons fisiologis menurun,
tetapi masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.
c. Stage of exhaustion
Respons fisiologis masih terus berlangsug. Hal ini dapat
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh
sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stressor yang terus akan
mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis, dapat juga
menyebabkan kematian.
2. Aspek Psikologis
Reaksi psikologis terhadap stress dapat meliputi (Sarafino, 1994):
a.
Kognisi
Stress dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas
kognitif. Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit
kognitif pada anak-anak. Kognisi juga dapat berpengaruh dalam stress.
b. Emosi
Emosi cenderung terkait dengan stress. Individu sering
meggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stress. Reaksi
emosional terhadap stress adalah rasa takut, fobia, keemasan, depresi,
perasaan sedih, dan rasa marah.
c. Perilaku sosial
Stress dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain.
Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana
8/20/2019 Fungsi Erek
24/71
24
alam membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi
lain, individu dapat mengembangkan sikap bermusuhan. Stress yang
diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku negatif cenderung
meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif. Stress juga
dapat mempengaruhi perilaku membantu pada individu.
K. FIGHT OR FLIGHT RESPONSE PADA STRESS
Walter Canon (1929) memperkenalkan frasa fight-or-flight response
untuk menjelaskan reaksi psikologis manusia dalam merespon suatu keadaan
yang berbahaya. Hans Selye (1956-1974) menjelaskan general adaptation
syndrome (GAS) yang terdiri dari tiga tingkatan, yakni alarm reaction,
resistance stage, exhaustion stage (Alloy dkk, 2005).
Alarm reaction, selama alarm, perlawanan tubuh melawan stressor
yang diarahkan melalui aktivasi sistem saraf simpatetik. Aktivasi sistem-
sistem tubuh untuk kekuatan maksimal dan mempersiapkan mereka untuk
respon fight or flight . Adrenalin (epinefrin) dilepaskan, denyut jantung dan
tekanan darah meningkat, nafas menjadi lebih cepat, darah diarahkan dariorgan dalam berpindah ke otot skelet, kelenjar keringat diaktifkan, dan
aktivitas gastrointestinal menurun. Sebagai respon jangka pendek untuk
keadaan emergensi, reaksi-reaksi fisik ini dapat disesuaikan (Alloy dkk,
2005).
Resistance stage, pada tahap ini, organisme beradaptasi terhadap
stressor. Seberapa lama tahap ini tergantung keparahan stressor dan kapasitas
organisme. Jika organisme mampu beradapatasi maka kekuatan melawan pada
tahap ini akan berlanjut untuk jangka waktu yang lama. Selama tingkatan ini,
seseorang memberikan gambaran keadaan normal. Akan tetapi, menurut ilmu
jiwa, fungsi internal tubuh tidak normal. Stress yang terus menerus akan
menyebabkan perubahan neurologis dan hormon. Hipotesis Seyle,
menyatakan bahwa ketakutan dalam melawan stress akan menyebabkan
perubahan terhadap sistem imun sehingga rentan terhadap infeksi (Alloy dkk,
2005).
8/20/2019 Fungsi Erek
25/71
25
Exhaustion stage, tahap akhir, kemampuan organisme untuk bertahan
habis, dan menghasilkan suatu kerusakan. Karakteristik tahap ini adalah
aktivasi parasimpatik dari sistem saraf otonom. Fungsi parasimpatik abnormal,
menyebabkan seseorang menjadi kelelahan, tahap ini sering menghasilkan
depresi dan kadang-kadang kematian (Alloy dkk, 2005).
L. RESPON FISIOLOGIS STRESS
Keadaan stress menimbulkan respon fisiologis, reaksi fisiologis stress
dimulai dengan persepsi stress yang menghasilkan aktivasi simpatetik pada
sistem saraf otonom, yang mengarahkan tubuh untuk bereaksi terhadap emosi,
dan keadaan darurat. Pengarahan ini terjadi dalam dua jalur, yang pertama
melalui aktivasi simpatetik terhadap autonomic nervus system (ANS) dari
sistem medula adrenal, mengaktifkan medula adrenal untuk menyekresi
epinefrin dan norepinefrin yang mempengaruhi sistem kardiovaskular,
pencernaan dan respirasi. Rute kedua yaitu hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) aksis, yang meliputi semua struktur ini. Tindakan ini mulai dengan
persepsi terhadap situasi yang mengnacam, aksi yang cepat pada hipotalamus.Hipotalamus merespon pelepasan corticotrophin releasing hormone (CRH),
yang akan merangsang hipofisis anterior untuk menyekresikan
adrenocorticotropic hormone (ACTH). Hormon ini merangsang korteks
adrenal untuk menyekresi glukokortikoid, termasuk kortisol. Sekresi kortisol
mengarahkan sumber energi tubuh, meningkatkan kadar gula darah yang
berguna untuk energi sel. Kortisol juga sebagai antiinflamasi yang
memberikan perlawanan alami selama respon fight or flight (Alloy dkk, 2005;
Carlson, 2005; Pinel, 2009).
M. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN RESPON STRESS
Salah satu teori stress adalah model psikologis dari Lazarus (Baron,
1994), yang menekankan pentingnya interpretasi dari stressor. Untuk sampai
pada proses stress, haruslah dimulai dari penilaian kognitif. Ada dua macam
penilaian kognitif, yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Yang
dimaksud penilaian primer adalah penilaian atau evaluasi terhadap situasi
8/20/2019 Fungsi Erek
26/71
26
apakah yang dirasakan sebagai sesuatu yang mengancam ataukah menantang.
Jika sesuatu dipersepsikan sebagai suatu tantangan, maka orang akan berusaha
mengatasi situasi tersebut. Jika situasi tertentu dipersepsikan sebagai suatu hal
yang mengancam, maka orang akan menghindar. Yang dimaksud dengan
penilaian sekunder adalah penilaian terhadap sumber daya yang dimiliki baik
yang berbentuk fisik, psikis, social, maupun materi. Proses penilaian primer
dan sekunder terjadi bersama-sama dalam membentuk makna setiap peristiwa
yang dihadapi sehingga akan menentukan perilaku pengatasan (Baron, 1994).
Perilaku pengatasan bersifat dinamis artinya perilaku pengatasan yang
digunakan tergantung situasi yang dihadapi dan sumber daya yang dimiliki.
Oleh karena itu, ada berbagai macam perilaku pengatasan stress, yang
dapatdikategorikan dalam dua hal, yait perilaku pengatasan yang bersifat
emosional yakni upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan emosi saat
belangsungnya stress sedangkan yang bersifat rasional adalah bagaimana
memperbaiki proses penilaian primer dan sekunder (Baron, 1994).
Secara garis besar ada dua tipe manusia dalam menghadapi situasi
sulit, yaitu orang optimis dan orang yang pesimis. Optimism dan pesimisme
ini dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang. Orang pesimis akan melihat
peristiwa dari sisi negatif sedangkan orang optimis akan menilai dari sisi
positif (Baron, 1994).
Yang membedakan orang berpikir positif atau negatif adalah
bagaimana gaya seseorang dalam menjelaskan (explanatoru style) suatu
peristiwa yang tidak mengenakkan. Orang-orang yang berpikir negatif akan
mengalami berbagai kesalahan proses berpikir, yaitu: kurangnya data akurat,
berpikir hitam putih, berpikir perfek, terlalu cepat mengambil kesimpulan, dan
berpikir ekstrem. Orang yang berpikir positif akan menggunakan cara-cara
model berpikir rasional, menggunakan data sebagai dasar mengambil
kesimpulan dan bersikap terbuka terhadap alternatif (Baron, 1994).
N. DAMPAK-DAMPAK STRESS
Menurut Powell (1983) stress dapat berdampak positif yang
mencakup pemuasan kebutuhan dasar, kemampuan menangani masalah, juga
8/20/2019 Fungsi Erek
27/71
27
inokulasi stress. Dampak negatif yang berupa gangguan fisik dan mental serta
dapat juga mempengaruhi perubahan tingkah laku individu. Stress yang terjadi
dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis, tingkah laku, kognitif,
fisiologis, maupun berdampak pada kemampuan organisasi.
Adapun beberapa contoh dampak stress tersebut adalah sebagai berkut:
1.
Dampak psikologis
a. Emosi, menangis. marah
b. Menarik diri
c. Bermusuhan, agresif
d. Cemas, curiga, merasa tidak berguna
e.
Menyalahkan lingkungan
2.
Dampak tingkah laku
a. Selalu terburu-buru
b. Pelupa
c. Alkoholik, perokok berat
d. Tidak bersemangat, malas
e.
Makan berlebih/kurang
3.
Dampak kognitif
a. Sulit memutuskan
b.
Kurang konsentrasi
c.
Kurang kreatif
d. Peka terhadap kritik
4. Dampak fisiologis
a.
Kadar gula meningkat
b. Keringat berlebihan
c. Tekanan darah meningkat
d.
Denyut jantung meningkat
e. Sakit kepala
f. Tidak nafsu makan
g. Rambut rontok
8/20/2019 Fungsi Erek
28/71
28
5. Dampak stress terhadap organisasi
a. Tingkat absensi meningkat
b. Produktifitas menurun
c. Ketidak puasan kerja
(Powell, 1983).
Stress psikologis dan dampaknya
Bukti klinis dan eksperimental menunjukan bahwa durasi dan
perjalanan dari stress merupakan faktor bercabang yang menentukan muasal
dari stress memicu perubahan imunitas dan kesehatan. Bukti klinis dan
eksperimental menunukan bahwa stress psikologis mempengaruhi proses
penyembukan luka dan berperan pada penyakit infeksi termasuk reaktivasi
virus herpes yang laten. Stress juga dapat menjadi kofaktor, baik
perkembangan dan progresifitas tumor. Menentukan bagaimana stress
mempengaruhi fungsi imun penting untuk pengembangan intervensi perilaku
maupun farmakologi yang potensial untuk menurunkan insiden dari stress
memicu disfungsi imunitas. Intervensi, meliputi nutrisi, olahraga, dan protokoluntuk mengurangi stress seperti relaksasi otot dan yoga dapat memberikan
pendekatan melawan kelemahan imunitas dan kesehatan yang dimediasi
stress.
Stress psikologis dapat didefinisikan sebagai pengalaman stress yang
mempengaruhi kemampuan individu untuk beradaptasi dengan sehat terhadap
peristiwa kehidupan. Sudah jelas bahwa stress psikologis memberikan dampak
terhadap sistem imun dan kesehatan. Bukti klinis dan eksperimental
menunjukan bahwa durasi dan perjalanan dari stress merupakan faktor
bercabang yang menentukan muasal dari stress memicu perubahan imunitas
dan kesehatan
8/20/2019 Fungsi Erek
29/71
29
Gambar 1. Dampak stress pada sistem imun
(dalam Yuliadi, 2014)
Dampak dari Stress Sesuai Tahapan Perkembangan
Bagaimana efek dari pemaparan stress yang kronis atau berulang
(pemaparan tunggal stress yang berat) pada tahapan yang berbeda dari
kehidupan, tergantung pada area otak yang berkembang atau berkurang pada
saat pemaparan. Stress pada periode prenatal mempengaruhi perkembangan
berbagai region otak yang terlibat dalam pengaturan aksis HPA, yaitu
hipokampus, korkteks frontal, dan amigdala (efek pemrograman). Stress
Psychological
Stress
Human:
- Academic
- Marital discord
- Primary caregiver of a demented spouse
- Other factor
Immune D sfunction
Adaptive
Antibody productiontovaccination
Infection episode
Innate
NK activity
Cell mediated
wound repaircirculationinflamatorycytokinesreactivation of
latentvirus
Increase clinical symptoms of an infection
Decrease resillency in recovery from infection
Prolonged recovery from surgical procedures
Behavioral/ cognitive deficits
Tumor promotion/progress on
Potential Complications
8/20/2019 Fungsi Erek
30/71
30
postnatal mempunyai efek yang bervariasi: pemaparan perpisahan maternal
selama masa kanak menyebabkan peningkatan sekresi glukokortikoid,
sedangkan pemaparan penyiksaan yang erat berkaitan dengan penurunan
kadar glukokortikoid. Sehingga, produksi glukokortikoid selama masa kanak
bervariasi sebagaimana fungsi dari lingkungan (efek diferensiasi) (Lupien
et.al., 2009).
Dari periode prenatal hingga selanjutnya, semua area otak yang
berkembang sensitif terhadap efek hormon stress; bagaimanapun beberapa
area mengalami periode pertumbuhan cepat selama periode tertentu. Dari lahir
sampai usia 2 tahun, hipokampus berkembang. Hal ini menyebabkan area otak
ini sangat rentan terhadap efek dari stress pada masa ini. Sebaliknya,
pemaparan stress dari lahir sampai masa kanak akhir dapat menyebabkan
perubahan volume amigdala, sebagaimana daerah otak berlanjut untuk
berkembang sampai usia 20 tahun akhir. Hipokampus berkembng sempurna
pada masa remaja, amigdala masih berkembang dan ada pertumbuhan yang
penting pada volume frontal. Konsekuensinya, pemaparan stress selama
periode ini mempunyai efek yang besar pada korteks frontal. Penelitian
menunjukkan bahwa remaja sangat rentan terhadap stress, kemungkinan
disebabkan oleh respon glukokortikoid yang tinggi terhadap stress yang
bertahan sampai usia dewasa (efek potensiasi/inkubasi). Pada usia dewasa dan
selama penuaan, region otak yang mengalami penurunan paling cepat sebagai
akibat proses penuaan sangat rentan terhadap efek hormone stress. Stress
selama periode ini dapat menyebabkan manifestasi dari efek inkubasi dari
kelainan otak masa awal (efek manifestasi) atau mempertahankan efek kronis
dari stress (efek mempertahankan) (Lupien et.al., 2009).
8/20/2019 Fungsi Erek
31/71
31
BAB III
PSIKONEUROIMUNOLOGI
A. DEFINISI
Pada awal perkembangannya, psikoneuroimunologi difahami sebagai
field of study. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga bidang kajian,
yaitu (1) Psikologi, (2) Neurologi, (3) Imunologi (Putra ST, 1999).
Notosoedirdjo M M, 1998, menyatakan bahwa psikoneuroimunologi
adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara sistem imunitas dan perilaku
melalui sistem saraf. Sedangkan imunitas berupa suatu jaringan alat tubuh
yang melindungi badan dari invasi bakteri, virus dan benda asing.
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang
menghubungkan proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak
dokter telah memperhatikan hubungan antara kehilangan yang penting, seperti
kematian orang yang dicintai dan penyakit yang menyusul. Hubungan itu
sering terasa sangat hebat bila orang yang mengalami kehilangan itu tidak
dapat mengungkapkan emosi-emosi yang kuat, misalnya kesedihan yang biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami tragedi itu. Hipotesis bahwa
stress yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang hebat mengganggu
sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan sejumlah
penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya
benda-benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau
menghilangkan benda-benda itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa
kelompok sel berbeda yang dinamakan limfosit-limfosit. Penelitian
belakangan telah memberikan suatu pemahaman awal mengenai bagaimana
stress dan faktor-faktor emosional menyebabkan perubahan-perubahan
hormon yang kadang-kadang dapat mengurangi efisiensi dari sistem
kekebalan dan dengan demikian meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh,
sistem saraf, sistem endokrin, dan sistem kekebalan yang berkomunikasi
8/20/2019 Fungsi Erek
32/71
32
antara yang satu dengan yang lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang
kompleks. Ada kemungkinan hal ini sedang diteliti terutama pada orang-orang
yang menderita salah satu dari dua kondisi psikologis yang berat, yakni
skizofrenia dan depresi.
B. SEJARAH
Stress merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam
percakapan sehari-hari. Stress adalah salah satu dampak perubahan sosial dan
akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi
teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin
berat.
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan
perilaku dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu
isu menarik adalah hubungan antara stress dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku,
kerja saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah
mendorong munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938)
mengemukakan ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu : a. Status emosi
menentukan fungsi sistem kekebalan, b. Stress dapat meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Dikatakan lebih lanjut
bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi berperan pada
modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan istilah
psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyakdigunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stress
terhadap berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.
8/20/2019 Fungsi Erek
33/71
33
Gambar 1. Hubungan Psikoneuroimunologi
Secara historis, konsep psikoneuroimunologi muncul sekitar tahun
1975, oleh R. Ader dan C. Holder (Putra ST, 1999). Psikoneuroimunologimuncul setelah munculnya konsep pemikiran imunopatobiologik dan
imunopatologik. Fakta imunopatobiologik menunjukkan bahwa kerentanan
individu dan metastasis pada individu yang mengalami stress disebabkan oleh
penurunan ketahanan imunologik. Sedangkan kelainan mukosal yang
memunculkan pemikiran respon imun yang melukai merupakan fakta
imunopatologik. Karena kedua pendekatan model berpikir tersebut dalam
mengungkap patogenesis dianggap kurang holistik, maka muncullah ilmu baru
yang sekarang dikenal dengan psikoneuroimunologi, yang dikembangkan atas
dasar keterkaitan antara tiga konsep, yaitu behavior, neuroendokrin dan
konsep imunologik (Putra ST, 1999).
C. SISTEM LIMBIK, HIPOTALAMUS DAN PENGATURAN EMOSI
Kata ―limbik‖ berarti pembatasan. Istilah limbik digunakan untuk
menjelaskan struktur tepi di sekeliling region basal dari serebrum. Sistem
limbik ini berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik dan sensoris
bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan
(Lieben P, 1999; Soleh, 2005).
Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus. Selain perannya
mengatur perilaku, area ini mengatur banyak kondisi internal dari tubuh,
seperti suhu tubuh, osmolaritas cairan tubuh dan dorongan untuk makan dan
minum serta pengaturan berat badan (Guyton, 1996; Soleh, 2005). Fungsi
internal ini secara bersama-sama disebut fungsi vegetatif otak dan
Psikologi
ImunologiNeurologi
8/20/2019 Fungsi Erek
34/71
34
pengaturannya berkaitan erat dengan perilaku. Sistem limbik menghasilkan
banyak sekali pengaturan emosi untuk menyiapkan area otak lain ke dalam
suatu aksi dan bahkan menghasilkan pengaturan motivasi untuk proses belajar
itu sendiri (Guyton & Hall, 1997; Soleh, 2005).
Sekitar tahun 1950-an, McLeland P, ahli neurologi mengemukakan
bahwa pusat emosi terletak pada sistem limbik dengan hipokampus. Namun,
pada penelitian Joseph Le Doux membuktikan bahwa hipokampus kurang
terlibat langsung dalam emosi. Sedangkan prefrontal-amigdala, merupakan
bagian penting bagi letak emosi (Goleman D, 1997; Soleh, 2005). Ahli
nuerologi berpendapat bahwa hipokampus yang sudah lama dianggap sebagai
kunci struktur sistem limbik, ternyata lebih berkaitan dalam perekaman dan
pemaknaan pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Sumbangan utama
hipokampus adalah dalam hal penyediaan ingatan terperinci akan korteks,
pemahaman emosional, hipokampuslah yang mengenali perbedaan makna,
misalnya, ular di kebun binatang dan ular di halaman rumah (Goleman D,
1995; Soleh, 2005). Dengan kata lain, hipokampus sebagai spesialis ingatan,
dan penyimpanan, sedangkan amigdala spesialis masalah emosional.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pemuda yang amigdalanya
dibuang untuk mengendalikan penyakit epilepsinya, pemuda tersebut menjadi
sama sekali tidak berminat kepada manusia, menarik diri dari hubungan antar
manusia. Meskipun ia mampu mengimbangi percakapan, ia tidak mampu
mengenali sahabatnya, kerabat, bahkan ibunya, tetap pasif meskipun
menghadapi kecemasan. Tanpa amigdala, ia telah kehilangan semua
pemahaman tentang perasaan. Amigdalalah yang berfungsi sebagai semacam
gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna emosional itu sendiri
hidup tanpa amigdala merupakan kehidupan tanpa makna pribadi sama sekali
(Goleman D, 1995; Soleh, 2005). Pengaruh emosi melalui amigdala dapat
digambarkan sebagai berikut :
8/20/2019 Fungsi Erek
35/71
35
Gambar 2. Sistem Limbik, Hipotalamus Dan Pengaturan Emosi
Korteks prefrontal bertindak sebagai manajer emosi yang efisien,
menimbang-nimbang reaksi sebelum bertindak adalah dengan menghambat
sinyal untuk pengaktifan apa yang telah dikirim amigdala dan pusat limbik
lainnya. Penelitian suasana hati beberapa pasien yang mengalami cedera pada
bagian lobus prefrontal ditemukan bahwa salah satu tugas lobus prefrontal kiri
adalah bertindak sebagai thermostat saraf, mengatur emosi yang tidak
menyenangkan menjadi positif menyenangkan, cinta kasih dan rasa bahagia.
Lobus prefrontal kanan merupakan tempat perasaan negatif seperti rasa takut
dan amarah, cemas, agresif. Kelompok pasien penderita stroke yang cederanya
pada korteks prefrontal kiri mudah cemas, takut yang hebat, sedangkan
penderita yang cedera bagian kanan pasien tersebut menjadi kelewat ceria,
santai, berkelakar kelewat batas (Gionatti G, 1972; Soleh, 2005)
8/20/2019 Fungsi Erek
36/71
36
D. KONSEP STRESS DALAM PSIKONEUROIMUNOLOGI
Konsep stress menurut Hans Selye, yaitu stress merupakan sindrom
yang spesifik, yang berisi semua perubahan sistem biologis yang nonspesifik
atau merupakan kondisi spesifik yang didasari oleh perubahan biologis yang
nonspesifik (Cox, 1995), merupakan konsep stress yang sesuai untuk
paradigma psikoneuroimunologi. Hal ini mengingat imunoregulasi merupakan
perubahan biologis namun penggambaran sindrom spesifik yang didasari oleh
perubahan perubahan biologis dari sistem imun tersebut belum teraktualisasi
dengan jelas. Menurut Weiten (2004), konsep psikologi yang merupakan
penyempurnaan konsep perilaku, yang diketengahkan oleh Watson, adalah
ilmu yang mempelajari perilaku dan semua perubahan yang mendasari
(perubahan kognisi dan fisiologis). Selanjutnya juga memperhatikan konsep
Cox (1995), bahwa proses pembelajaran akan menghasilkan persepsi maka
manusia sebagai individu yang berakal dan beremosi mempunyai keunikan
yang sangat variatif. Atas dasar hal ini maka perpaduan antara tiga konsep,
yaitu konsep psikologis, konsep stress psikologis dan konsep stress biologis
ini merupakan penyempurnaan konsep stress yang sesuai untuk perkembangan
paradigma psikoneuroimunologi.
Konsep stress tersebut menyatakan bahwa stress terdiri dari stress
perception dan stress response. Stress perception ini hasil proses pembelajaran
untuk menyeleksi, mengorganisasi, mengintepretasi dan mengartikan stressor
secara benar. Stress perception, selain melibatkan akal, pengalaman juga
emosi. Dengan demikian maka ketepatan persepsi ini akan membuat stress
response menjadi tepat pula. Stress perception merupakan pencerminan
kinerja otak yang mempengaruhi imunoregulasi yang menghasilkan imunitas
yang merupakan model stress response. Berdasarkan konsep stress ini maka
setiap stressor yang diterima oleh individu akan dipelajari dengan seksama
sehingga menghasilkan persepsi yang benar yang akhirnya akan direspon
dengan benar pula.
8/20/2019 Fungsi Erek
37/71
37
Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah suatu mekanisme untuk mengatasi
perubahan yang diterima atau beban yang diterima. Apabila mekanisme
koping ini berhasil maka orang tersebut dapat beradaptasi terhadap perubahan
tersebut atau akan merasakan beban berat menjadi ringan. Mekanisme koping
ini dapat dipelajari, sejak awalnya timbul stressor dan orang menyadari
dampak dari stressor tersebut (Carlson, 1994; Soleh, 2005). Kemampuan dari
mekanisme koping setiap orang tergantung dari temperamen individu dan
persepsi serta kognisi terhadap stressor yang diterima (Carlson, 1994; Soleh,
2005). Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar di sini adalah kemampuan menyesuaikan diri pada pengaruh faktor
internal dan eksternal (Notosoedirdjo M, 1998; Soleh, 2005). Mekanisme
belajar ada 2 macam, yaitu (1) bentuk belajar yang implisit, dan (2) bentuk
belajar yang eksplisit. Belajar yang implisit umumnya bersifat reflektif dan
tidak memerlukan kesadaran. Keadaan ini ditemukan dalam perilaku
habituasi, kebiasaan, sensitisasi, dan conditioning (Bear, 1996; NotosoedirdjoM, 1998; Soleh, 2005).
Lipowski membagi koping dalam dua bentuk yaitu coping style dan
coping strategy. Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu
meliputi mekanisme psikologis, mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar
coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya,
misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang sangat tidak
realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja
terhadap suatu keadaan. Sedangkan coping strategy merupakan coping yang
digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau
stressor yang dihadapinya. Apabila individu mempunyai mekanisme coping
yang efektif dalam mengahadapi stressor, maka stressor tidak akan
menimbulkan stress yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stressor justru
menjadi stimulant yang mendatangkan wellness (kesejahteraan) dan prestasi
(Soleh, 2005).
8/20/2019 Fungsi Erek
38/71
38
E. KELENJAR ADRENAL DAN SEKRESI KORTISOL
Secara embriologik, kelenjar adrenal terdiri dari dua bagian yang
berbeda, yaitu (1) bagian luar, korteks yang berasal dari mesoderm dan (2)
bagian dalam (medulla) yang berasal dari neuroectoderm (Gani, 1995).
Korteks adrenal terdiri dari tiga zona, yaitu (1) Glomerulosa, (2) Fasciculata,
(3) Retikularis. Antara kelenjar adrenal dan hipotalamus terdapat jalur efferen,
yang memungkinkan stress dapat merangsang sekresi ACTH (Gani, 1995;
Soleh,2005).
Perkembangan dari zona fasikulata dan retikularis dipengaruhi oleh
ACTH. Kelebihan ACTH akan menyebabkan hiperplasi dan hipertrofi.
Sedangkan kekurangan ACTH akan menyebabkan atropi. Zona fasikulata
merespon terhadap medula adrenal yang mengandung kromafin yang
bentuknya tidak teratur. Sel ini berfungsi untuk sintesis dan sekresi
katekolamin. Granula pada sel ini berfungsi untuk menyimpan katekolamin,
dimana pada manusia 85% merupakan epinefrin (Gani, 1995; Soleh, 2005).
Hormon yang disekresi oleh korteks adrenal adalah kortisol, aldosteron
dan androgen. Sekresi kortisol dan androgen diatur oleh ACTH, sedangkan
sekresi aldosteron juga dipengaruhi oleh angiotensin dan konsentrasi ion K.
Selain oleh ACTH, sekresi kortisol juga dipengaruhi oleh rangsangan otak
sebagai respon terhadap stress, khususnya sekresi kortisol dipengaruhi oleh 3
respon, yaitu : stress, ACTH, diurnal rythme (Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Peranan ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi antara
hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA). ACTH yang bekerja pada zona
fasiculata dan reticularis, merupakan faktor utama dalam pengaturan sekresi
kortisol, androgen dan aldosteron. Sedangkan ACTH sendiri diatur oleh CRH
dan neurotransmiter (Guyton, 1996; McCance & Shelby, 1994; Soleh, 2005).
Hormon korteks adrenal terikat dengan reseptor dalam sitoplasma
(reseptor intra seluler). Interaksi kortisol dengan reseptornya akan
menginduksi proses transkripsi dengan jalan berinteraksi dengan bagian DNA
yang disebut glucocorticoid response elements (RGEs). Berbagai protein yang
dihasilkan akan mempengaruhi respon kortisol terhadap berbagai jaringan.
8/20/2019 Fungsi Erek
39/71
39
Respon tersebut dapat bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung dari jaringan
mana hormon tersebut bekerja. Walaupun reseptor kortisol sama di semua
jaringan, namun terdapat variasi sintesis protein akibat ekspresi gen spesifik
pada berbagai jaringan (Turner & Bagnara, 1988; Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem kardiovaskuler, kortisol meningkatkan curah jantung dari
tonus pembuluh darah perifer, kemungkinan dengan jalan meningkatkan efek
vasokonstriktor lain seperti katekolamin. Kortisol juga mengatur ekspresi
reseptor adrenergik (Gani, 1995; Soleh, 2005). Pada keadaan kekurangan
kortisol yang berat dapat terjadi vasodilatasi yang abnormal, walaupun tidak
terjadi kehilangan cairan, namun pengisian pembuluh darah akan berkurang,
tekanan darah akan menurun dan terjadi shok, terutama rentan terhadap stress.
Jadi kortisol berfungsi mempertahankan integritas dan sifat responsive
pembuluh darah dan volume cairan tubuh. Kelebihan kortisol dapat
menyebabkan hipertensi melalui stimulasi rennin pada sistem rennin
angiotensin (Guyton, 1996; Soleh, 2005).
Pada sistem imun, pemberian kortisol meningkatkan pelepasan leokosit
(PMN) intravaskuler dari sumsum tulang, meningkatkan waktu paruh PMN
dalam sirkulasi, mengurangi pergerakan PMN keluar dari pembuluh darah.
Kortisol mengurangi konsentrasi limfosit, monosit dan eosinofil dalam
sirkulasi, terutama dengan jalan meningkatkan pergerakan mereka keluar dari
sirkulasi. Pemberian kortisol dalam jangka waktu lama memudahkan
seseorang untuk mendapat infeksi oleh karena penekanan sistem imunologik
(Calabres & Nieman, 1996; Soleh, 2005). Secara ringkas Granner (1988) yang
dikutip oleh Soleh (2005), mengemukakan efek kortisol terhadap sistem imun
adalah sebagai berikut :
1. Menekan sintesis imunoglobulin.
2.
Menurunkan populasi sel PMN, limfosit dan makrofag dalam darah tepi.
3. Menimbulkan atropi jaringan limfosit dalam timus, limpa dan kelenjar
limfe.
Selain mempengaruhi hipotalamus melalui mekanisme umpan balik
negatif untuk sekresi ACTH, juga mempengaruhi tingkah laku dan emosi.
8/20/2019 Fungsi Erek
40/71
40
Kelebihan kortisol pada awalnya memberikan euphoria, namun dengan
pemberian jangka panjang dapat memberikan gangguan psikologik, seperti
emosi labil, mudah tersinggung, dan depresi. Pada beberapa penderita dapat
terjadi gangguan kognisi seperti gangguan memori dan konsentrasi (Guyton,
1996; Soleh M, 2005).
F. PENGARUH HPA AXIS PADA REAKSI INFLAMASI YANG
DIPERANTARAI IMUN
Adrenocortical Hormon
Efek antiinflamasi dan imunosupresif yang dimiliki oleh glukokortikoid
membuatnya menjadi agen terapi yang sangat berharga pada beberapa
penyakit. Regio carboxyterminal mengikat glukokortikoid, dan midregio
mengikat sekuens spesifik pada DNA yang berperan dalam regulasi regio gen
responsif glukokortikoid (elemen glukokortikoid responsif). Glukokortikoid
mempengaruhi lalu lintas peredaran leukosit dan menghambat banyak fungsi
leukosit dan sel kekebalan tubuh aksesori. Glukokortikoid menekan aktivasi
sel-sel imun, menghambat produksi sitokin dan mediator peradangan lainnya,dan menyebabkan resistensi terhadap sitokin. Glukokortikoid secara istimewa
mempengaruhi subgrup tertentu limfosit T, mereka menekan fungsi dari
limfosit T tipe 1 helper dan merangsang apoptosis eosinofil dan kelompok
tertentu sel T. Mereka juga menghambat ekspresi molekul adhesi dan reseptor
yang sesuai dan mempotensiasi reaksi fase akut. Semua efek ini tergantung
pada perubahan dari tingkat transkripsi gen responsif glucocorticoid atau
perubahan dalam stabilitas beberapa protein inflamasi messenger RNA
(mRNA). Misalnya, glukokortikoid menekan produksi interleukin-6 dan
interleukin-1 dengan mengurangi tingkat transkripsi gen untuk interleukin dan
stabilitas mRNA. Penekanan gen fosfolipase A2, siklooksigenase 2, dan nitric
oxide synthase 2 oleh glukokortikoid menurunkan produksi prostanoids,
platelet-activating factor , dan nitric oxide - tiga molekul kunci dalam respon
inflamasi. Reseptor glukokortikoid teraktifasi juga menghambat aktivitas
proinflamasi banyak faktor pertumbuhan dan sitokin dengan menghambat
faktor transkripsi yang diperlukan untuk ekspresi atau aksi selular dari
8/20/2019 Fungsi Erek
41/71
41
substansi tersebut. Dalam cara yang timbal balik, konsentrasi intraseluler
tinggi dari faktor-faktor ini mencegah reseptor glukokortikoid aktif dari
mempengaruhi genom. (Guyton, 2002)
Beberapa fungsi imun sirkadian menyebabkan penyakit terkait
perubahan diurnal yang sesuai dengan variasi diurnal dalam konsentrasi
glukokortikoid plasma. Sebagai contoh, reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
yang sangat responsif terhadap glukokortikoid, yang paling menonjol di
malam hari, ketika sekresi glukokortikoid rendah, dan berakhir di pagi hari,
ketika sekresi tinggi. (Chrousos, 1995)
Androgen adrenal memodulasi fungsi kekebalan tubuh. Sebuah
reseptor dari superfamili steroid -tiroid-reseptor spesifik untuk androgen
adrenal telah terdeteksi dalam limfosit T, tetapi mungkin ini memungkinkan
androgen untuk meningkatkan imunitas seluler. Sekresi adrenal androgen,
yang mengikuti pola sirkadian dari sekresi kortikotropin, memiliki pola
perkembangan yang berbeda, dengan tingkat tertinggi dalam rahim , selama
masa pubertas dan dewasa muda. (Chrousos, 1995)
Hormon hipofisis
Hormon-hormon hipofisis dari sumbu HPA, kortikotropin dan β-
endorphin, memiliki kemampuan immunopotensi dan proinflamasi; β -
endorphin yang diproduksi di situs inflamasi adalah analgesik lokal kuat.
Kontribusi relatif dari yang beredar dan lokal menghasilkan kortikotropin dan
β -endorphin untuk inflamasi, serta sumber-sumber lokal dari neuropeptida,
belum diketahui. (Soleh, 2005)
Hormon hipotalamus
Regulator hipotalamus utama dari sumbu HPA, CRH dan mungkin
AVP, memiliki efek proinflamasi baik secara in vitro dan in vivo. Situs
peradangan mengandung banyak immunoreactif CRH, sebagian besar dalam
sel imun aksesori dan eksudat inflamasi. CRH, serta produk-produknya yang
teroksidasi dan produk proteolitik, telah ditemukan dalam cairan sinovial
pasien dengan rheumatoid arthritis dan dalam kelenjar tiroid pada pasien
8/20/2019 Fungsi Erek
42/71
42
dengan tiroiditis Hashimoto. CRH dan mRNA nya, atau keduanya juga hadir
dalam sirkulasi sel darah putih dan dalam sel-sel timus dan limpa.
Menetralkan antibodi terhadap CRH mengurangi peradangan seefektif
immunoneutralisasi TNF-α, sebuah sitokin proinflamasi yang jelas.
Konsentrasi CRH di situs inflamasi sama tingginya seperti pada sistem portal
hypophysial, tetapi dalam sampel plasma diperoleh bersamaan hormon ini
tidak terdeteksi. Katabolisme yang cepat, uptake, atau mengikat dapat
mencegah masuknya peptida ke dalam sirkulasi sistemik. (Soleh, 2005)
Pengaruh Reaksi Inflamasi yang Dimediasi Imun terhadap HPA axis
Beberapa mediator yang beredar memiliki peran utama dalam
mengaktifkan sumbu HPA selama stres inflamasi. Awalnya ditunjuk "
corticotropin-releasing factor jaringan," dimana mediator ini benar-benar
berbeda dari imun CRH, yang biasanya tidak menyebar ke dalam sirkulasi
umum. Sebaliknya, mereka adalah campuran dari sitokin dan partisipan utama
lainnya dalam reaksi imun dan inflamasi. Tiga sitokin - TNF-α, interleukin-1,
dan interleukin-6 tampak untuk hampir seluruh aktivitas HPA-axis-stimulatingdalam plasma. TNF-α biasanya muncul pertama, kemudian diikuti oleh sekresi
Interleukin-1 dan Interleukin-6. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-1α,
IL-1ß dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi sistem
kekebalan dan respon peradangan. IL-1α dan IL-1ß masing-masing memiliki
berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2 deret yang sama yaitu 2q14,
dan merupakan sitokin pleiotropik hasil sekresi monosit dan makrofag berupa
prohormon, sebagai respon saat sel mengalami cedera, oleh karena itu
menginduksi apoptosis. Beberapa pakar menganggap bahwa defisiensi genetik
IL-1α berperan dalam reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1ß merupakan
sitokina yang diiris oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti
proliferasi, diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokin ini di
dalam sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas yang
memberikan rasa sakit. (Elenkov & Chrousos, 1999)
8/20/2019 Fungsi Erek
43/71
43
Interleukin-6 (Interleukin 6, Interferon beta-2, IFNB2, B cell
differentiation factor, B cell stimulatory factor 2, BSF2, Hepatocyte
stimulatory factor, HSF, Hybridoma growth factor, HGF, IL-6) adalah sitokin
yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma darah, terutama pada fase
infeksi akut atau kronis. IL-6 menurunkan sintesis IL-1 dan TNF-α. IL-6
melemahkan sintesis dari sitokinproinflamasi ketika memiliki sedikit efek
pada sintesis dari sitokin anti-inflamasiseperti IL-10 dan Transforming
Growth Factor-β (TGF-β). IL-6 menginduksi sintesis dari glukokortikoid dan
meningkatkan sintesis IL-1ra dan mengeluarkan reseptorTNF larut pada
sukarelawan manusia. Pada saat yang sama, IL-6 menghambat produksi dari
sitokin proinflamasi seperti GM-CSF, IFN-γ, dan MIP-2. Hasil dari
efekimunologi ini menempatkan IL-6 diantara kelompok sitokin anti-
inflamasi. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Ketiga sitokin merangsang sekresi mereka sendiri dari sel-sel yang
memproduksi mereka. Tumor necrosis factor dan interleukin-1 juga
merangsang sekresi interleukin-6, sedangkan interleukin-6 menghambat
sekresi faktor nekrosis tumor dan interleukin-1. Interleukin-6 bertindak
sinergis dengan glukokortikoid dalam merangsang produksi reaktan fase akut.
Konsentrasi interleukin-6 sistemik juga meningkat selama stres tidak
berhubungan dengan inflamasi, mungkin dirangsang oleh aksi katekolamin
melalui reseptor β2-adrenergik. (Elenkov & Chrousos, 1999)
Inflamasi juga dapat mengaktifkan HPA axis secara tidak langsung. Hal
ini dapat terjadi melalui rangsangan sistem stres noradrenergik pusat oleh
sitokin dan mediator lain yang bertindak pertama pada stres-sistem neuron di
luar sawar darah-otak (area postrema) atau pada neuron di dalam penghalang,
melalui kaskade endotel-glial-saraf disebutkan di atas. Selain itu, situs
inflamasi mengandung neuron aferen nosiseptif, viseral, dan somatosensori,
yang merangsang noradrenergik dan sistem stres CRH melalui rute saraf
ascending medulla spinalis atau rute saraf serebral. (Elenkov & Chrousos,
1999)
8/20/2019 Fungsi Erek
44/71
44
Gambar 3. Stress mengaktivasi HPA axis
Selain efek jangka pendeknya pada hipotalamus, sitokin inflamasi
ternyata bisa merangsang kortikotropin pituitary dan sekresi kortisol adrenal
langsung pada konsentrasi tinggi atau jika diberikan waktu yang cukup untuk
interaksi dengan jaringan-jaringan. Biasanya, kelenjar hipofisis dan adrenal
anterior memproduksi interleukin-1 dan interleukin-6, yang dapat
mempengaruhi produksi hormon lokal. Namun, sitokin mungkin tidak selalu
merangsang kelenjar hipofisis atau korteks adrenal. Interleukin-6, TNF α, dan
interferon γ menghambat efek stimulasi CRH di sel kultur hipofisis anterior,
sedangkan tumor necrosis factor α adalah inhibitor poten sekresi
kortikotropin yang diindukdi kortisol oleh sel kultur adrenokortikal. Mediator
inflamasi lain , termasuk interferon α dan faktor interferon γ, interleukin-2,
epidermal growth factor, transforming growth factor β, and platelet-activating
factor, juga dapat berpartisipasi dalam regulasi HPA axis. (Elenkov &
Chrousos, 1999)
8/20/2019 Fungsi Erek
45/71
45
Gambar 4. Mediator inflamasi yang mempengaruhi HPA Axis
Interferon dan interleukin-2 dapat melakukannya secara tidak langsung,
yaitu dengan menyebabkan sekresi sitokin inflamasi. Prostanoids dan platelet-
activating factor, bagaimanapun, adalah amplifier autacoid hipotalamus CRH
dan sekresi AVP. Reseptor untuk substansi ini tampak pada nukleus
paraventrikular, dan CRH dan AVP neuron merespon mereka. (Elenkov &
Chrousos, 1999)
Sitokin tertentu atau kombinasi sitokin dapat menyebabkan resistensi
terhadap glucocorticoid. Interleukin-2 dan interleukin-4 bersama menginduksi
resistensi glukokortikoid dalam sel T dengan secara nyata menurunkan
afinitas reseptor glukokortikoid untuk ligandnya. Selain itu, konversi kortisol
menjadi kurang aktif atau metabolit tidak aktif mengubah sensitivitas sel-sel
sistem imun terhadap glukokortikoid. (Elenkov & Chrousos, 1999)
A. SISTEM KEKEBALAN TUBUH
Tubuh kita memiliki sistem imun. Sistem imun tersusun dari sel-sel dan
jaringan yang membentuk imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi
atau penyakit. Organisme penyebab penyakit (patogen) dapat masuk ke dalam
8/20/2019 Fungsi Erek
46/71
46
tubuh dan memasuki jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Patogen juga dapat
menghancurkan sistem imun dalam tubuh kita dan menggandakan diri di
dalam tubuh. Patogen juga dapat menghancurkan jaringan-jaringan dalam
tubuh kita dengan melepaskan racun. Jika kekebalan tubuh kita dapat
dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami suatu penyakit. Respon
imun tubuh alamiah terhadap serangan patogen baru akan muncul dalam
waktu 24 jam (Diah Aryulina, 2004).
Sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfonodus;
kelompok limfosit ditemukan dalam paru dan mukosa saluran cerna; linfosit
dalam darah dan limfe; dan limfosit dan sel plasma yang tersebar luas dalam
jaringan ikat di seluruh tubuh. Fungsi bersama kelompok heterogen sel-sel dan
organ ini adalah untuk melindungi organisme terhadap efek invasi yang
berpotensi merusak dari makromolekul eksogen, apakah mereka memasuki
tubuh dalam bentuk itu atau sebagai unsur dari virus, bakteri, atau protozoa.
Hal ini tercapai melalui mekanisme pertahanan seluler dan humoral yang
bersama-sama merupakan respon imun (Jan Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari
serangan mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga
melakukan fungsi transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel
yang bersirkulasi dan struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di
seluruh tubuh (Patricia Gonce Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
1.
Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.2.
Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan
komponen tubuh yang telah tua.
3. Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi
sistem imun dapat disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik),
8/20/2019 Fungsi Erek
47/71
47
radiasi, dan mikroorganisme, termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV)
yang berkaitan dengan mekanisme pertahanan tubuh (Chris Brooker, 2005).
Efek Stress terhadap Kekebalan Tubuh
Telah terbukti bahwa stress dapat mengganggu kondisi tubuh, bisa
membuat kesehatan terganggu. Stress memang tidak langsung membuat
kondisi tubuh berubah akan tetapi adanya variabel biologis dan psikologis
membuat kondisi tubuh berubah dan akhirnya kesehatan terganggu. Pada
tingkat lanjut membuat penyakit berkembang dalam tubuh. (Alloy L.B., J.H
Riskind, M.J Monos, 2005)
Secara sederhana stress dapat mengganggu kondisi tubuh karena stress
mempunyai efek domino dalam sistem hormone yang ada dalam tubuh. Dalam
hormone ada sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin
menampilkan respon tubuh terhadap stress. Hormon-hormon stress ini
diproduksi oleh kelenjar adrenal membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi
stressor atau ancaman. Apabila stressor melewati batas bisa mengganggu
kondisi tubuh dan menyebabkan stress. Selama stress tubuh secara terus-
menerus memompa hormon-hormon yang dapat menekan kemampuan sistem
kekebalan tubuh yang fungsinya melindungi tubuh manusia dari berbagai
infeksi dan penyakit. (Alloy L.B., J.H Riskind, M.J Monos, 2005)
Bila kekebalan tubuh (imun) menurun, berbagai penyakit dan infeksi
akan mudah masuk ke dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan (immune
system) merupakan pertahanan tubuh melawan penyakit. Berjuta sel darah
putih yang disebut leukosit adalah pasukan sistem kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis.
Menurut Kiecolt-Glaser, 1992; Maier, Watkins, dan Fleshner, 1994
sumber-sumber psikologi dari stress menurunkan kemampuan tubuh manusia
untuk menyesuaikan diri dan secara cepat juga mempengaruhi kesehatan.
Stress meningkatkan resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, mulai dari
gangguan pencernaan sampai penyakit jantung.
8/20/2019 Fungsi Erek
48/71
48
Patofisiologi
Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan
tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya
ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman
emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif
dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap
situasi yang menyebabkan stres. (CDK). Respon mamalia terhadap stresor
meliputi berbagai mekanisme adaptasi fisiologis untuk menjaga homeostasis.
Respon fisiologis terhadap stresor utamanya dimediasi oleh sistem
neuroendokrin yang terdiri dari sisten saraf simpatis (SSS) dan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Peningkatan katekolamin jaringan dan
plasma merupakan akibat dari peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis
yang diinduksi oleh stresor. Aktivasi sistem saraf simpatis menyebabkan
pelepasan norepinefrin oleh saraf simpatis terminal dan sekresi hormon
epinefrin dari sel kromafin medulaadrenal. Melalui interaksi dengan reseptor α
dan β adrenergic,