Upload
lely2014
View
65
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
resume mengenai fraud detection and prevention
Citation preview
FRAUD DETECTION AND PREVENTION
DISUSUN OLEH :
NOVI KARMILASARI 041414253012
REFIVIA AUDIE CALCARINA 041414253013
MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya dunia bisnis maka tingkat persaingan juga semakin
meningkat. Menurut Klitgard (2005 :2-3) ,seiring dengan tingginya persaingan akan banyak tindakan
fraud yang terjadi. Fraud merupakan kecurangan dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
secara sengaja, untuk keuntungan pribadi/kelompok secara tidak fair, yang langsung maupun tidak
langsung merugikan pihak lain, Berkaitan dengan itu Association of Certified Fraud Examinations
(ACFE:2000), salah satu asosiasi di USA yang mendarmabaktikan kegiatannya dalam pencegahan dan
pemberantasan fraud, mengkategorikan fraud dalam tiga kelompok sebagai berikut: (1) Fraud
Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud); fraud laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai
fraud yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang
merugikan investor dan kreditor. Salah saji atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang
disengaja dengan maksud menipu para pemakai laporan keuangan. (2) Penyalahgunaan aset (Asset
Misappropriation) yaitu fraud ini digolongkan ke dalam fraud kas dan fraud atas persediaan dan aset
lainnya serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). Dalam
banyak kasus tetapi tidak semua jumlah fraud terlibat material terhadap laporan keuangan. Akan
tetapi , pencurian aktiva perusahaan sering kali mengkuatirkan manajemen tanpa memperhatikan
materialitas jumlah yang terkait karena pencurian bernilai kecil akan menggunung seiring dengan
berjalannya waktu. (3) Korupsi (Corruption). Korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan
(conflict of interest), suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic
extortion).
Saat ini pihak internal dan eksternal perusahaan sudah memiliki tingkat kesadaran yang
tinggi akan pentingnya laporan keuangan dari sebuah perusahaan, hal ini terjadi karena mereka
menyadari bahwa laporan keuangan adalah salah satu informasi yang paling dapat
menggambarkan keseluruhan dari keadaan perusahaan selama ini. Laporan keuangan adalah
suatu pertanggungjawaban dari manajemen dalam hal pengelolaan sumber daya yang telah
dipercayakan dari para pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan tersebut, seperti yang
tertulis dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 (IAI, 2009) yang
menyatakan, bahwa tujuan umum laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi
keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan
pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan
pertanggung-jawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada
mereka.
Dalam menjamin apakah laporan keuangan yang akan diberikan kepada para pemakai
terbebas dari salah saji dan kecurangan penyajian, maka pengelola perusahaan berkewajiban
untuk menunjuk auditor independen untuk melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan
tersebut dan memberikan pernyataannya kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria
yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Seksi 110 (IAI, 2011) dikatakan
bahwa, tujuan dari pelaksanaan audit pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat
tentang kewajaran dan kematerialitasan atas posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan
arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (PABU). Auditor
bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan
yang memadai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan. Seorang auditor yang
telah ditunjuk oleh perusahaan harus memiliki tanggungjawab dan menjalankan fungsi audit
seperti tertulis dalam SA Seksi 110 yang menuliskan bahwa seorang auditor independen
bertanggungjawab atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam memperoleh keyakinan yang
memadai apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan dan kecurangan penyajian (IAI, 2011).
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2010) fungsi internal audit
merupakan alat yang paling berhasil mendeteksi ada atau tidaknya Fraud kemudian disusul
management review, pendidikan kebijakan internal, perlindungan terhadap wistleblower
(pengungkap), rotasi personil regular dan urutan terakhir adalah external audit.
Peran internal auditor adalah satu fungsi penilaian yang independen yang ada dalam suatu
organisasi dengan tujuan menguji dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan organisasi yang dilaksanakan.
Tujuannya adalah untuk membantu para anggota organisasi agar mereka melaksanakan
tanggungjawabnya secara efektif. Untuk hal tersebut, internal auditor akan melakukan analisa-
analisa dan penilaian-penilaian serta memberikan rekomendasi, dan saran-saran. Auditor internal
diharapkan sebagai penggerak terjadinya good corporate governance dan juru kunci terakhir dalam
mendeteksi tindak fraud. Auditor memiliki andil yang besar dalam menciptakan tatanan ekonomi
yang sehat dan akuntabel sekarang saat ini (Eman :2008). Untuk meningkatkan kualitas peran
internal auditor dalam mengungkapkan fraud, internal auditor memerlukan kemampuan profesional
yaitu kemampuan individu dalam melaksanakan tugas, yaitu berarti kualifikasi personalia yang
sesuai dengan bidang audit serta penguasaan atas bidang opeasional terkait dengan kegiatan
perusahaan.
Profesionalisme akan meningkat dengan sendirinya seiring dengan perkembangan sikap
mental dari internal auditor itu sendiri dalam melakukan pekerjaannya. Jadi semakin lama seseorang
bekerja maka ia akan semakin profesional. Dengan adanya profesionalisme internal auditor yang
handal dapat mengambil langkah untuk mendeteksi setiap tindakan fraud yang mungkin terjadi
dimasa yang akan datang dan mengungkapnya. Saran dan sikap korektif dari internal auditor akan
sangat membantu untuk mendeteksi kejadian fraud terulang lagi dalam perusahaan dan menjadi
bahan tindakan bagi karyawan yang melakukan fraud (Bachtiar : 2006)
Tanda-tanda kecurangan yang mungkin ditemukan oleh auditor indepeden ketika
melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan perusahaan klien tidak saja untuk memenuhi
tanggung jawab auditor dalam menjalankan fungsi audit tetapi juga memungkinkan auditor
independen untuk lebih teliti dalam melakukan pemeriksaan, sehingga kemungkinan terjadinya
kecurangan (irregulation) ataupun kesalahan penyajian (error) dapat ditemukan, dan ini untuk
memenuhi fungsi dari penggunaan laporan keuangan dalam mengambil keputusan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan. Cressey (1950) menemukan bahwa opportunity dan rationalisation
merupakan faktor utama terjadinya fraud. Duggar & Duggar (2004) juga menemukan bahwa
karakteristik manajemen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya fraud. Menurut
Suaratna (2009) Red flags berkaitan dengan sinyal kecurangan yang dilakukan perusahaan
klien dan oleh sebab itu auditor mempunyai tanggung jawab untuk mendeteksi adanya
kecurangan dalam perusahaan klien dengan cara auditor harus menilai secara spesifik risiko dari
salah saji material untuk memperoleh suatu reasonable assurance.
Dalam beberapa kasus fraud yang melibatkan perusahaan—seperti: Lehman Brothers,
Enron, Worldcom, Kmart, Tyco, Merrill Lynch, Qwest, Xerox, ASEA Brown Boveri, Swiss Air, Global
Crossing, Adelphia, Merck, maupun kasus-kasus di Indonesia seperti Bank Bali dan Bank Century—
menunjukkan bahwa badan penyusun regulasi audit perlu secara konstan mengembangkan praktik-
praktik audit sebagai tindak lanjut atas maraknya kasus fraud. Dalam kasus Enron diketahui
terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat
keuntungan padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan
perusahaan agar saham tetap diminati investor. hal ini merupakan salah satu contoh kasus
pelanggaran etika profesi auditor yang terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang memiliki
perangkat undang-undang bisnis dan pasar modal yang lebih lengkap. Hal ini terjadi akibat
kepentingan satu pihak dan mengesampingkan pihak lain. Semua ini merupakan hasil dari sebuah
ketidakjujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis yang tidak etis yang berakibat hutang dan
sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan
tuntutan hukum.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan kecurangan dapat melampaui kerugian keuangan
langsung. Kerusakan tersebut termasuk merugikan hubungan eksternal bisnis, semangat kerja
karyawan, reputasi perusahaan, dan branding (PriceWaterhouseCooper, 2005). Bahkan beberapa
efek dari tindakan kecurangan, seperti reputasi perusahaan yang buruk, dapat memiliki dampak
jangka panajng karena kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan kecurangan dapat berdampak
signifikan bagi perusahaan.
Dalam hal ini akuntan-akuntan dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih dalam
bidang akuntansi yang didukung oleh pengetahuan luas dibidang ekonomi, keuangan, perbankan,
perpajakan, bisnis, teknologi informasi, dan tentunya pengetahuan dibidang hukum. Selain itu,
dalam menangani kasus fraud yang terjadi pada sektor publik ataupun swasta diperlukan fraud
auditor yang handal dan memiliki independensi yang tinggi. Seorang auditor dapat disebut
sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam hal auditing, maka akuntan forensik menjadi
spesialis yang lebih khusus lagi dalam bidang fraud.
Akuntan forensik memiliki peran yang efektif dalam menyelidiki tindak kejahatan.
Akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada
masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan (Tuanakotta, 2010:4).
Akuntansi forensik dahulu digunakan untuk pembagian warisan atau mengungkap kasus
pembunuhan. Hal ini yang menjadi dasar pemakaian istilah akuntansi dan bukan audit. Secara tegas
yang membedakan antara keduanya, misalnya dalam tindak pidana korupsi menghitung
besarnya kerugian keuangan negara masuk ke wilayah akuntansi. Sedangkan mencari tahu
siapa pelaku tindak pidana korupsi masuk ke wilayah audit, khususnya audit investi gasi. Audit
investigatif merupakan audit dengan menggunakan unsur-unsur layaknya penyidik yang harus
memahami akuntansi (untuk mereview laporan keuangan), audit (untuk membuktikan adanya
penyimpangan) dan hukum (teknik-teknik ligitasi) selain itu dibutuhkan kemampuan personal
auditor dalam mengumpulkan bukti -bukti (Kabid Investigasi BPKP DIY).
Praktik akuntansi forensik di Indonesia pertama kali dilakukan untuk menyelesaikan
kasus Bank Bali oleh Price Waterhouse Cooper (PWC). Akuntansi forensik dimulai sesudah
ditemukan indikasi awal adanya fraud, untuk kemudian dilakukan audit forensik atau audit
investigasi yang bertujuan untuk mengungkap kasus-kasus korupsi, tindak pidana keuangan,
dan kejahatan kerah putih (white collar crime) lainnya. Untuk setiap investigasi dilakukan
dengan harapan bahwa kasus akan berakhir dengan suatu ligitasi, sehingga untuk memulai suatu
investigasi auditor harus melakukan pemeriksaan untuk mendapatkan bukti yang memadai.
Akuntansi forensik adalah bidang baru yang menawarkan kesempatan karir yang baik,
sehingga beberapa mahasiswa dapat mengambil keuntungan dari kesempatan ini. Ada permintaan
besar terhadap akuntan forensik di berbagai sektor baik di sektor swasta maupun pemerintahan.
Kejadian penipuan usaha yang kian meningkat, telah memberikan prospek yang tinggi pada
studi akuntansi forensik. Untuk dapat mengungkap motif dan cara pelaku fraud dalam melakukan
aksinya di perlukan seseorang yang profesional. Dengan demikian akuntansi forensik sangat
berperan dalam pencegah dan pendeteksi terjadinya fraud di setiap kegiatan financial serta
melakukan tindakan represif (Ramaswamy, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, untuk mengetahui persepsi auditor internal dan eksternal
mengenai pendeteksian dan pencegahan tindakan kecurangan (fraud), dirumuskan permasalahan
berikut:
1. Bagaimana cara auditor melakukan audit forensik/akuntansi forensik dalam mendeteksi
kecurangan pada laporan keuangan yang memungkinkan auditor untuk lebih teliti dalam
melakukan pemeriksaan, sehingga kemungkinan terjadinya kecurangan ataupun kesalahan
penyajian (error) dapat ditemukan?
BAB 2
TINJAUAN TEORI
FORENSIC AUDITING
Definisi Audit Forensik
Audit Forensik terdiri dari 2 kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan yang
digunakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah
segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum/pengadilan. Menurut Association of Certified
Fraud Examiners (ACFE) forensic accounting/auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan
kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu Forensic Accounting is The Application of
Accounting, Auditing, and Investigative Skills to Provide Quantitative Financial Information about
matters before the Courts.
Fraud auditing atau audit kecurangan adalah upaya untuk mendeteksi dan mencegah
kecurangan dalam transaksi-tansaksi komersial. Untuk dapat melakukan audit kecurangan terhadap
pembukuan dan transaksi komersial, dibutuhkan gabungan dari dua keterampilan, yaitu
keterampilan sebagai auditor yang terlatih dan keterampilan kriminal investigator. Kecurangan
(fraud) perlu dibedakan dengan kesalahan (errors). Kesalahan dapat dideskripsikan sebagai
“unintentional mistakes” atau kesalahan yang tidak disengaja. Kesalahan dapat terjadi pada setiap
tahapan dalam pengelolaan terjadinya transaksi, dokumentasi, pencatatan jurnal, pengikhtisaran
proses, dan hasil laporan keuangan. Apabila suatu kesalahan disengaja, maka kesalahan tersebut
merupakan kecurangan (fraudulent).
Dalam Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) dibahas mengenai pencegahan,
deteksi, penyelidikan, dan pelaporan kecurangan, yakni:
a. Pencegahan Kecurangan, merupakan tanggung jawab manajemen. Auditor internal
bertanggung jawab untuk menguji dan menilai kecukupan dan efektivitas dari tindakan yang
diambil oleh manajemen untuk memenuhi kewajiban tersebut.
b. Deteksi/Penemuan Kecurangan, auditor internal harus mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang kecurangan dan dapat mengidentifikasi indikator kemungkinan terjadinya kecurangan.
Auditor internal tidak diharapkan mempunyai pengetahuan yang sama seperti seseorang yang
tanggung jawab utamanya adalah mendeteksi dan menyelidiki kecurangan.
Dengan demikian, audit forensik dapat didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan
membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria untuk menghasilkan informasi atau bukti
kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan. Karena sifat dasar dari audit forensik yang
berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik
adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan
keterangan saksi ahli (litigation support) di pengadilan. Auditor forensik seringkali harus memberikan
bukti ahli pada sidang akhirnya.
Penyebab Dilakukan Audit Forensik
Auditor terutama tertarik pada pencegahan, deteksi, dan pengungkapan kesalahan-
kesalahan karena alasan berikut:
a. Eksistensi kesalahan dapat menunjukkan bagi auditor bahwa catatan akuntansi dari kliennya
tidak dapat dipercaya dan dengan demikian tidak memadai sebagai suatu dasar untuk
penyusunan laporan keuangan.
b. Apabila auditor ingin mempercayai pengendalian internal, maka ia harus memastikan dan
menilai pengendalian tersebut serta melakukan pengujian ketaatan atas operasi. Apabila
pengujian ketaatan menunjukkan sejumlah besar kesalahan, maka auditor tidak dapat
mempercayai pengendalian internal.
c. Apabila kesalahan cukup material, kesalahan tersebut dapat mempengaruhi kebenaran (truth)
dan kewajaran (fairness) laporan tersebut.
J. S. R. Venables dan K. W. Impley (1988) mengemukakan kecurangan terjadi karena:
1. Penyebab utama
a. penyembunyian (concealment), pelaku perlu menilai kemungkinan dari deteksi dan
hukuman sebagai akibatnya (kesempatan tidak terdeteksi).
b. kesempatan / peluang (opportunity), pelaku perlu berada pada tempat dan waktu yang
tepat agar mendapat keuntungan atas kelemahan khusus dalam sistem dan juga
menghindari deteksi.
c. motivasi (motivation), pelaku membutuhkan motivasi untuk melakukan aktivitas demikian,
suatu kebutuhan pribadi seperti ketamakan atau kerakusan dan motivator yang lain.
d. daya tarik (attraction), sasaran dari kecurangan yang dipertimbangkan perlu menarik bagi
pelaku.
e. keberhasilan (success), pelaku perlu menilai peluang keberhasilan yang dapat diukur baik
menghindari penuntutan atau deteksi.
2. Penyebab sekunder
a. “a perk” kurang pengendalian, mengambil keuntunmgan aktiva organisasi
dipertimbangkan sebagai suatu tunjangan karyawan.
b. hubungan antara pemberi kerja dan pekerja yang jelek, sehingga pelaku mengemukakan
alasan bahwa kecurangan hanya menjadi kewajiban.
c. pembalasan dendam (revenge), ketidaksukaan yang hebat terhadap organisasi dapat
mengakibatkan pelaku berusaha merugikan organisasi tersebut.
d. tantangan (challenge), karyawan yang bosan dengan lingkungan kerja mereka dapat
mencuri dengan berusaha untuk “memukul sistem”, sehingga mendapatkan suatu arti
pencapaian (a sense of achievement) atau pembebasan frustasi (relief of frustation).
Tujuan Audit Forensik
Tujuan audit kecurangan adalah untuk mencegah terjadinya kecurangan dan mendeteksi
kecurangan. Pencegahan kecurangan merupakan tanggung jawab manajemen. Pemeriksa internal
bertanggung jawab untuk menguji dan menilai kecukupan dan efektivitas dari tindakan yang diambil
oleh manajemen untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Audit forensik sering dilakukan dalam rangka untuk:
1. Menghitung kerusakan yang disebabkan sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahan yang
disengaja.
2. Untuk menilai biaya hidup dan perawatan.
3. Untuk mengantisipasi litigasi atau sebagai bagian dari proses persidangan.
4. Untuk mencegah tindakan ilegal oleh karyawan atau menentukan apakah seorang pekerja harus
dihentikan.
13 Prinsip Fraud Auditing
Terdapat 13 Prinsip yang harus diketahui dalam Fraud Auditing, diantaranya:
1. Fraud auditing berbeda dengan financial audit. Fraud auditing lebih mengarah kepada pola pikir
daripada metodologi.
2. Fraud auditor memiliki pendekatan yang berbeda dari financial auditor. Fraud auditor lebih
fokus pada pengecualian, keanehan, ketidakberesan akuntansi, dan pola tingkah laku, bukan
pada kesalahan dan kelalaian.
3. Fraud auditing biasanya dipelajari melalui pengalaman, bukan dari buku maupun kertas kerja
yang lalu.
4. Dari perspektif fraud auditing, fraud adalah kesengajaan dalam menyajikan fakta keuangan
yang salah bukan sesuatu yang material.
5. Fraud dilakukan dengan alasan ekonomi, egosentris, idiologi, dan psikologi.
6. Fraud cenderung mencakup “theory structure around motive, opportunity, and benefit”.
7. Fraud pada lingkungan akuntansi berbasis komputer, dapat dilakukan pada tiap tahapan proses
(input, throughput, output).
8. Skema kecurangan yang dilakukan oleh level pekerja biasanya berhubungan dengan
pengeluaran.
9. Skema kecurangan yang dilakukan oleh level manajer biasanya berhubungan dengan profit
smoothing (meningkatkan pendapatan).
10. Tipe accounting fraud sering disebabkan oleh ketiadaan kontrol dibandingkan dengan
kekurangan kontrol.
11. Kejadian fraud tidak berkembang secara eksponensial, tetapi dampaknya berkembang secara
eksponensial.
12. Accounting fraud sering ditemukan secara tidak sengaja dibandingkan dengan yang melalui
tujuan dan didesain finansial audit
13. Pencegahan fraud lebih mengarah pada kecukupan kontrol dan penciptaan lingkungan kerja
yang memberikan nilai pada kejujuran personil dan perlakuan yang adil.
Karakteristik Audit Forensik
Audit forensik dapat bersifat proaktif dan reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan
untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan resiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sedangkan
Reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut
akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang
lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.
Teknik-Teknik Audit Forensik
Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik banyak yang bersifat mendeteksi fraud
secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu siapa pelaku fraud. Oleh karena itu,
teknik audit forensik mirip dengan teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak
kriminal. Teknik-teknik yang digunakan dalam melakukan audit forensik diantaranya:
1. Metode kekayaan bersih.
2. Penelusuran jejak uang/aset.
3. Deteksi pencucian uang.
4. Analisa tanda tangan.
5. Analisa kamera tersembunyi (surveillance).
6. Wawancara mendalam.
7. Digital forensic, dan sebagainya.
Praktek-Praktek Audit Forensik
Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK, BPKP, dan KPK
(yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat CFE (Certified Fraud Examiners).
Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal untuk audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh
karena itu, ilmu audit forensik dalam penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan
investigasi fraud, deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan.
Sementara itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji tuntas dalam
perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.
Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti memberi hasil yang
luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya
kita masih ingat kasus BLBI yang diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI
sebesar Rp 84,8 Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp 144,5 Trilyun. Temuan tersebut
berimbas pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu juga ada audit
investigatif dan forensik terhadap Bail out Bank Century yang dilakukan BPK meskipun memberikan
hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang sedemikian kental dalam kasus tersebut.
Praktek yang dilakukan dalam audit forensik, yaitu:
1. Penilaian Risiko Fraud
Penilaian risiko terjadinya fraud atau kecurangan adalah penggunaan ilmu audit forensic yang
paling luas. Dalam praktiknya, hal ini juga digunakan dalam perusahaan-perusahaan swasta
untuk menyusun sistem pengendalian intern yang memadai. Dengan dinilainya risiko terjadinya
fraud, maka perusahaan untuk selanjutnya bisa menyusun sistem yang bisa menutup celah-
celah yang memungkinkan terjadinya fraud tersebut.
2. Deteksi dan investigasi fraud.
Audit forensik digunakan mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan mendeteksi
pelakunya. Dengan demikian, pelaku bisa ditindak secara hukum yang berlaku. Jenis-jenis fraud
yang biasanya ditangani adalah korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, illegal logging,
dan sebagainya.
3. Deteksi kerugian keuangan.
Audit forensik juga bisa digunakan untuk mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan
negara yang disebabkan tindakan fraud. Jenis-jenis fraud yang biasanya ditangani adalah
korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, illegal logging, dan sebagainya.
4. Kesaksian Ahli (Litigation Support).
Seorang auditor forensik bisa menjadi saksi ahli di pengadilan. Auditor forensik yang berperan
sebagai saksi ahli bertugas memaparkan temuan-temuannya terkait kasus yang dihadapi.
Tentunya hal ini dilakukan setelah auditor menganalisa kasus dan data-data pendukung untuk
bisa memberikan penjelasan di muka pengadilan.
5. Uji Tuntas (Due Diligence).
Uji tuntas atau due dillegence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna penilaian
kinerja perusahaan atau seseorang, ataupun kinerja dai suatu kegiatan guna memenuhi standar
baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap
hukum atau peraturan.
Gambaran Proses Audit Forensik
Gambaran dalam melakukan audit forensik, yaitu:
1. Identifikasi Masalah
Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang hendak diungkap.
Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup
sehingga audit bisa dilakukan secara tepat sasaran.
2. Pembicaraan dengan Klien
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait lingkup, kriteria,
metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun
kesepahaman antara auditor dan klien terhadap penugasan audit.
3. Pemeriksaan Pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan menganalisanya. Hasil
pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where,
when, why, how, and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W +
1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini auditor akan
menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau tidak.
4. Pengembangan Pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi, tujuan audit,
prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam tim. Setelah diadministrasikan,
maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan
bersama tim audit serta klien.
5. Pemeriksaan Lanjutan
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta melakukan analisa atasnya.
Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik
auditnya guna mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut.
6. Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan
ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:
a. Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
b. Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu,
jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
c. Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup
sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
FRAUD DETECTION AND PREVENTION
Mengenali dan Memahami Apa itu Fraud
Fraud atau penyimpangan dilakukan dengan unsur kesengajaan dalam melakukannya.
ACFE’s mendefinisikan fraud sebagai tindakan mengambil keuntungan secara sengaja dengan cara
menyalahgunakan suatu pekerjaan/jabatan atau mencuri asset/sumberdaya dalam organisasi
(Singleton, 2010).
Terdapat banyak definisi mengenai fraud dan beberapa kemungkinan tuduhan kriminal,
termasuk: fraud, theft, embezzlement, and larcency. Definisi hukum biasanya merujuk pada suatu
keadaan dimana:
1. Seseorang yang memberikan pernyataan palsu.
2. Korban yang bergantung pada pernyataan, dan
3. Keuntungan pidana.
Perlu dicatat bahwa orang yang berada di internal maupun eksternal organisasi dapat
melakukan fraud. Hal ini dapat dilakukan untuk kepentingan individu, untuk bagian dalam organisasi,
maupun keseluruhan organisasi.
Definisi hukum umum lainnya dari fraud adalah mendapatkan uang atau harta dengan cara
token palsu, simbol, atau perangkat. Dengan kata lain, seseorang yang tidak berwenang
mengotorisasi secara palsu beberapa dokumen yang menyebabkan transfer uang tidak tepat. Fraud
dapat sangat merugikan perusahaan, dan pengendalian internal yang efektif adalah garis
pertahanan perusahaan yang pertama terhadap fraud tersebut. Sistem pemantauan yang
komprehensif, terlaksana sepenuhnya, dan secara teratur dari sebuah pengendalian internal sangat
penting untuk pencegahan dan pendeteksian kerugian yang timbul dari fraud.
Mengapa dapat Terjadi Fraud
Tindakan fraud dilakukan disebabkan karena tiga hal yaitu 1)Tekanan (Pressure), 2)
Kesempatan (opportunity) dan 3) Pembenaran atas tindakan (rationalization), ketiga hal tersebut
dikenal dengan The Fraud Triangle (Albercht and Albercht,2003; Singleton and Singleton, 2010).
Elemen yang pertama adalah pressures, para ahli membagi tekanan kedalam 4 (empat) jenis
tekanan, yaitu: tekanan keuangan (financial pressures), sifat buruk (vices), tekanan kerja (work-
related pressures) dan tekanan lainnya (other pressures). Sedangkan elemen yang kedua yaitu
opportunity, kesempatan dalam melakukan tindakan fraud disebabkan hal-hal berikut ini yaitu: Lack
of or circumvention of controls that prevent and/or detect fraudulent behavior, Inability to judge
quality performance, failure to discipline fraud perpetrators, lack of access to information,
ignorance,apathy and incapacity, lack of an audit trail. Elemen yang ketiga adalah pembenaran atas
tindakan (Rationalization). Beberapa pembenaran berikut ini sering digunakan oleh para pelaku
tindakan fraud (fraudsters) yaitu: the organization owes it to me, I am only borrowing the money-I
will pay it back, nobody will get hurt, I deserve more, it’s for a good purpose, we’ll fix the books as
soon as we get over this financial difficulty, something has to be sacrificed-my integrity or my
reputation (Albercht and Albercht, 2003).
Ketika melakukan wawancara dengan orang yang melakukan fraud, menunjukkan bahwa
kebanyakan orang pada awalnya tidak berencana untuk melakukan penipuan. Mereka hanya sering
mengambil keuntungan dari kesempatan, seringkali tindakan fraud pertama adalah kecelakaan,
dimana kemungkinan mereka melakukan kekeliruan dalam mengajukan surat pembayaran yang
sama sehingga terdapat dua kali proses. Namun, ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak
memperhatikan hal tersebut, tindakan fraud akan menjadi disengaja dan lebih sering. Umumnya,
fraud terjadi karena kombinasi dari kesempatan (opportunity), tekanan (pressure), dan rasionalisasi
(rationalization). Datangnya sebuah kesempatan, seseorang merasa bahwa tindakan yang tidak
sepenuhnya salah dan dorongan tekanan yang mereka miliki untuk melakukan penipuan.
1. Opportunity. Kesempatan merupakan suatu kemungkinan yang terjadi ketika terdapat
kelemahan dalam pengawasan kerangka internal atau ketika seseorang yang mendapat
kepercayaan melakukan pelanggaran. Misalnya:
organizational expediency – ‘it was a high profile rush project and we had to cut corners.
downsizing meant that there were fewer people and separation of duties no longer
existed; or
business re-engineering brought in new application systems that changed the control
framework, removing some of the key checks and balances.
2. Pressure. Tekanan biasanya mengenai, namun hal itu tidak selalu benar. Misalnya, target
perusahaan yang tidak realistis dapat mendorong seorang salesperson or production manager
untuk melakukan fraud. Keinginan untuk membalas dendam – untuk mendapatkan kembali
organisasi dari beberapa kesalahan yang dirasakan; atau poor self-esteem - the need to be seen
as the top salesman, at any cost; juga merupakan contoh dari tekanan non-financial yang dapat
menyebabkan fraud.
3. Rationalization. Dalam the criminal’s mind rationalization biasanya mencakup keyakinan bahwa
kegiatan tersebut bukan kriminal. The often feel that everyone else is doing it; or that no one
will get hurt; or it’s just a temporary loan, I’ll pay it back, and so on.
Pencegahan dan Pendeteksian Fraud
YANG BERTANGGUNG JAWAB MENCEGAH DAN MENDETEKSI FRAUD
Terdapat dua pandangan utama, yang satu menyatakan bahwa manajemen memiliki
tanggung jawab untuk pencegahan dan mendeteksi fraud. Management:
1. is responsible for the day to day business operations;
2. is responsible for developing and implementing controls;
3. has authority over the people, systems, and records; and
4. has the knowledge, and authority to make changes.
Oleh karena itu, pencegahan dan deteksi fraud adalah masalah mereka. Audit, disisi lain:
1. has expertise in the evaluation and design of controls;
2. reviews and evaluates operations and controls; and
3. has a requirement to exercise ‘Due Diligence’.
Kenyataannya adalah bahwa baik manajemen dan audit memiliki peran untuk melakukan
pencegahan dan deteksi fraud. Skenario terbaik adalah salah satu dimana manajemen, karyawan,
dan auditor internal dan eksternal bekerja sama untuk memerangi fraud. Selanjutnya, pengendalian
internal itu sendiri adalah not sufficient, corporate culture, the attitudes of senior management and
all employees, harus sedemikian rupa hingga perusahaan tahan akan fraud. Sayangnya banyak
auditor merasa bahwa budaya perusahaan berada diluar lingkup pengaruh mereka. Namun, audit
dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa manajemen senior menyadari risiko
dan materialitas fraud dan bahwa semua kasus fraud yang dibuat diketahui semua karyawan.
Fraud Awareness Trainingis a critical step in deterring fraud. It emphasizes the role
that all employees have in preventing and detecting fraud - not just auditors. Often it
is tied to a corporate ethics program, laying the foundation for all aspects of
employee behavior.
A Corporate Fraud Policysets out what employees are to do when fraud is suspected.
It defines a consistent course of action and sets the tone for how the company will
deal with fraud. In particular, it must clearly convey the message that no one has the
authority to commit illegal acts - even to the benefit of the company.
Red Flags: Sinyal Deteksi Fraud bagi Internal Auditors
Auditor dan manajemen harus mencari indikator aktivitas fraud yang mungkin berlanjut.
Mereka harus mencari apa yang disebut red flags. Red flags di sini adalah sinyal peringatan bagi
pengamat noninvolved bahwa terdapat sesuatu yang tidak beres. Sebuah peningkatan besar dalam
keuntungan yang dilaporkan dengan tidak banyak peningkatan penjualan unit mungkin terdengar
indah dan menjadi benar-benar masuk akal. Namun, ketika dihadapkan dengan jenis indikator red
flags, auditor atau pemeriksa fraud harus mengatakan, "Ini tampaknya tidak biasa-bagaimana bisa
begitu?" Red flags biasanya menjadi indikasi pertama dari fraud potensial. seseorang melihat
sesuatu yang tidak beres dan sering memulai penyelidikan tingkat rendah. Internal auditor seringkali
merupakan orang-orang pertama yang terlibat.
Pada saat auditor menemukan red flags ini seharusnya digali lebih dalam lagi untuk
memastikan apakah telah terjadi fraud. Namun, sayangnya, auditor internal sering gagal untuk
mendeteksi fraud karena alasan berikut:
1. Unwillingness to look for fraud.
Berdasarkan pelatihan dan pengalaman masa lalu, secara historis auditor internal tidak aktif
untuk menemukan fraud. Seringkali mereka cenderung untuk melihat penyelidikan fraud
sebagai jenis kegiatan detektif polisi, bukan tanggung jawab audit internal.
2. Too much trust is placed on auditees.
Kendala ini dialami khususnya bagi para auditor internal. Karena sehari-hari sering bertemu dan
untuk menjaga hubungan baik maka sering para auditor internal menjadi terlalu percaya
kepada para auditeenya.
3. Not enough emphasis is placed on potential fraud issues in audit findings
Kurangnya perencanaan audit yang matang, tidak adanya diskusi mendalam antar anggota tim
audit dengan komite audit menjadikan kualitas audit tidak bagus.
4. Fraud concerns receive inadequate support from management.
Keengganan top management untuk membantu auditor kemungkinan karena mereka sendiri
adalah pelaku fraud. Dalam Global Economic Crime Survey 2005 pelaku fraud 51% adalah
middle management ke atas.
5. Auditors sometimes just fail to focus on high-risk fraud areas
Secara garis besar terdapat tiga faktor resiko fraud yang berkaitan dengan fraud dalam
pelaporan keuangan. Pertama, karekteristik manajemen yang berkaitan dengan manajemen,
tekanan, sikap dan perilaku terhadap pengendalian intern. Kedua, karekteristik industri yang
berkaitan dengan kondisi ekonomi dan peraturan yang berlaku. Ketiga, karekteristik operasional
yang meliputi sifat dan kerumitan dari transaksi perusahaan.
Untuk membantu mendeteksi kecurangan, auditor harus memiliki pemahaman tentang
mengapa orang melakukan fraud. Suatu perusahaan dapat memiliki lingkungan red flags tetapi
belum tentu tunduk pada kegiatan fraud kecuali satu atau lebih karyawan memutuskan untuk
terlibat dalam fraud. Deteksi fraud jauh lebih sulit ketika ada kolusi antara beberapa orang. Setiap
kali beberapa orang dalam fraud yang sama bersama-sama, selalu ada kemungkinan bahwa
seseorang akan bubar. Fraud besar yang melibatkan partisipasi manajemen senior sulit untuk
dideteksi disbanding dengan yang terjadi di tingkat bawah dalam perusahaan sering lebih mudah
untuk dideteksi dengan tingkat yang tepat dari penyelidikan internal auditor.
Peran Akuntan Publik dalam Mendeteksi Fraud
Tanggung jawab auditor eksternal untuk mendeteksi kecurangan dalam laporan keuangan
telah menjadi isu perdebatan yang sedang berlangsung dan terus menerus selama bertahun-tahun.
Statement on Auditng Standards (SAS No.1) AICPA pertama dari bertahun-tahun yang lalu
menyatakan:
“The auditor has no responsibility to plan and perform the audit to obtain reasonable
assurance that misstatements, whether caused by errors or fraud, that are not
material to the financial statements are detected”.
Dengan kata lain, pada saat itu, auditor eksternal hanya bertanggung jawab untuk
menentukan jika laporan keuangan disajikan secara wajar, mereka tidak memiliki tanggung jawab
untuk mendeteksi kesalahan atau aktivitas fraud. Profesi akuntan publik berada di posisi ini selama
bertahun-tahun. Bahkan selama periode ketika banyak fraud keuangan yang terjadi pada 1987
Treadway Commission Report on Fraudulent Financial Reporting, standar audit AICPA masih tidak
memerlukan auditor eksternal termasuk untuk memikul tanggung jawab untuk mendeteksi fraud.
Meskipun terus mendapati tekanan selama bertahun-tahun untuk perubahan, standar audit
AICPA mengenai tanggung jawab auditor eksternal untuk fraud tidak berubah sampai 1997, ketika
tanggung jawab untuk fraud disajikan kembali dalam SAS No 82: "Auditor memiliki tanggung jawab
untuk merencanakan dan melaksanakan audit agar memperoleh keyakinan memadai tentang
apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik disebabkan oleh kekeliruan atau
kecurangan." Revisi ini lebih ketat standar yang dirilis, setelah banyak diskusi profesional, pada
puncak gelembung dot-com, ketika investasi publik khawatir tentang investasi merangsek maju dan
tidak banyak dengan fraud.
Pada awal abad kedua puluh satu, dengan kegagalan Enron, WorldCom, dan sejumlah yang
lain, kekhawatiran tentang kecurangan pelaporan keuangan berubah. Mengingat Sox dan PCAOB
baru, itu mungkin sekarang sudah terlambat, tetapi pada bulan Desember 2002 AICPA dirilis SAS No
99 tentang tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud pelaporan keuangan. Dengan standar
ini, auditor eksternal sekarang bertanggung jawab untuk memberikan keyakinan memadai bahwa
laporan keuangan yang telah diaudit bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan.
Tim engaggement auditor eksternal sekarang diperkirakan akan menanyakan manajemen
dan pihak lain dalam perusahaan mengenai persepsi mereka tentang risiko fraud dan apakah mereka
mengetahui adanya investigasi fraud yang sedang berlangsung atau isu yang terbuka. Eksternal
auditor harus membuat point pembicaraan kepada seluruh jajaran karyawan, manajer dan orang
lain, memberi mereka kesempatan untuk meniup peluit dan mendorong seseorang untuk melangkah
maju. Kekhawatiran bahwa rekan kerja dapat mengubah mereka dalam selama audit berikutnya
mungkin membantu mencegah seseorang dari melakukan fraud. Selama audit, tim engagement
audit eksternal harus menguji area, lokasi, dan rekening yang dinyatakan tidak mungkin diuji. Tim
harus merancang tes yang akan tak terduga dan tak terduga oleh klien. Ini merupakan perubahan
besar dalam standar audit eksternal.
Standar IIA dalam Mendeteksi dan Menginvestigasi Fraud
Auditor internal sering berada dalam posisi yang lebih baik untuk mendeteksi kecurangan
dibandingkan auditor eksternal. Auditor eksternal membatasi sebagian besar kunjungan ke klien
mereka sekitar triwulanan dan tahunan tanggal laporan keuangan, auditor internal yang berada
dalam internal perusahaan dan di lokasi perusahaan setiap harinya dapat melakukan tugasnya.
Hanya melalui observasi, internal auditor mungkin dalam posisi yang lebih baik untuk melihat red
flags dibandingkan auditor eksternal yang bisa mudah kehilangan kesempatan, meskipun terdapat
standar AICPA fraud baru. Misalnya, pengiriman supervisor yang muncul di pesta liburan tahunan
dalam setelan Italia mahal dan jam tangan olahraga emas merek ternama mungkin meningkatkan
blip kecil di layar radar peserta pihak lain, auditor internal. Ada banyak alasan yang sangat valid
untuk membenarkan pakaian mahal, tapi acara seperti kekayaan bisa menjadi sesuatu untuk internal
auditor untuk mengingat maju dengan audit internal dijadwalkan pada daerah itu.
Auditor internal terlibat dalam banyak isu fraud yang potensial di course dari ulasan jadwal.
Mereka juga biasanya terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih rinci, ulasan tingkat transaksi dari
rekan-rekan audit eksternal mereka dan melihat dokumen dipertanyakan atau transaksi yang lebih
sering. Jika manajemen merasa mungkin ada potensi kecurangan dalam perusahaan, langkah
pertama adalah hampir selalu menghubungi intern audit, yang juga akan memiliki hubungan dan
komunikasi dengan perusahaan departemen hukum. Departemen hukum dapat membicarakan
segala keprihatinan potensial di sana dan memberikan audit internal pendapat cepat apakah
beberapa kekhawatiran membutuhkan perhatian lebih. Jika ada tanda-tanda yang kuat dari fraud
aktif, hukum perusahaan akan hampir selalu siap untuk terjun dan membantu.
Standar IIA menekankan bahwa audit internal memiliki peran untuk berlakon mengenai
deteksi dan pencegahan fraud, tetapi tanggung jawab utama deteksi fraud jatuh pada manajemen.
Meskipun ini terdengar sederhana dalam teori, masalah terletak dalam mengkomunikasikan pesan
tersebut untuk manajemen. IIA Standar Internasional untuk Praktik Profesional Audit Internal
mencakup kecermatan profesional dan lingkup pekerjaan, penutup fraud dalam hanya yang sangat
umum akal. Internal auditor harus peduli tentang hal-hal seperti kemungkinan perbuatan salah dan
juga harus mencari bukti apapun yang tidak benar atau kegiatan ilegal dalam audit. Namun, standar
IIA yang memberikan panduan spesifik pada fraud tampaknya mengikuti standar audit eksternal tua
hanya dibahas. Menyadari bahwa mungkin sulit untuk mendeteksi fraud, revisi 2004 IIA standar
1210.A2 negara, dengan huruf miring kami mencatat: "Auditor internal harus memiliki cukup
pengetahuan untuk mengidentifikasi indikator fraud tetapi tidak diharapkan memiliki keahlian dari
seseorang yang tanggung jawab utamanya adalah mendeteksi dan menyelidiki fraud." Ini adalah
pengakuan bahwa auditor internal mungkin tidak memiliki keahlian untuk isu fraud.
Auditor internal bertanggung jawab untuk membantu dalam pencegahan fraud dengan cara
memeriksa dan mengevaluasi kecukupan dan efektivitas sistem pengendalian internal, sepadan
dengan tingkat potensi eksposur / risiko di berbagai segmen operasi perusahaan. Dalam
melaksanakan tanggung jawab ini, seorang internal auditor harus, misalnya, menentukan apakah:
1. Lingkungan organisasi menumbuhkan kendali kesadaran, dan perusahaan yang realistis.
2. Tujuan dan sasaran ditetapkan.
3. Kebijakan tertulis (misalnya kode etik) eksis dan mendeskripsikan aktivitas yang dilarang dan
tindakan yang diperlukan setiap kali pelanggaran ditemukan.
4. Kebijakan otorisasi yang sesuai untuk transaksi dibangun dan dipelihara. monitor activities and
safeguard assets, particularly in high-risk areas.
5. Kebijakan, praktek, prosedur, laporan, dan mekanisme lain yang dikembangkan untuk
memantau kegiatan dan menjaga aset, terutama di daerah berisiko tinggi.
6. Saluran komunikasi memberikan manajemen dengan informasi yang memadai dan dapat
diandalkan.
7. Saluran komunikasi memberikan manajemen dengan informasi yang memadai dan dapat
diandalkan.
Ketika internal auditor mencurigai aktivitas fraud potensial, sesuai otoritas perusahaan,
seperti departemen hukum, harus diberitahu. Internal auditor dapat merekomendasikan
penyelidikan apa pun yang dianggap perlu dalam keadaan tersebut. Setelah itu, auditor harus
menindaklanjuti untuk melihat bahwa aktivitas tanggung jawab internal audit ini telah terpenuhi.
Investigasi Fraud bagi Internal Auditor
Selain membantu membangun dan meninjau kontrol untuk mencegah dan mendeteksi
kecurangan, auditor internal kadang-kadang menjadi sangat terlibat dalam penyelidikan fraud.
Sementara otoritas hukum yang sesuai harus digunakan di sini selama bertahun penyelidikan fraud,
audit internal sering dapat memainkan peran kunci dalam, hal-hal yang kurang utama lainnya.
auditor Internal harus umumnya tidak memainkan peran Sherlock Holmes di sini tapi dapat
membantu untuk mengumpulkan informasi untuk menemukan lebih kecil atau memberikan bahan
pendukung untuk hal-hal yang lebih besar. Audit internal sering terlibat dalam hal-hal fraud
potensial terkait karena beberapa Informasi mengganggu ditemui selama audit atau tip anonim
melalui panggilan atau catatan e-mail.
Ketika dihadapkan dengan informasi seperti fraud potensial, langkah pertama yang harus
dilakukan audit internal adalah berkonsultasi dengan penasihat-penasihat perusahaan. Karena sifat
tuduhan serta luasnya informasi awal, masalah ini dapat diserahkan kepada otoritas hukum, seperti
kantor jaksa distrik federal atau jaksa. Dalam beberapa kasus, nasihat hukum akan menunjukkan
bahwa otoritas lainnya terlibat dalam hal sekaligus. Dalam kecil, hal-hal yang tampaknya kurang
besar, yang kadang-kadang internal audit akan diminta untuk mengambil tanggung jawab untuk
penyelidikan. Berkali-kali jenis penyelidikan melibatkan ulasan rinci dokumen. Bukti dikumpulkan
dari orang-review dokumen menjadi dasar untuk tindakan lebih lanjut untuk diambil.
Investigasi terkait fraud membutuhkan auditor internal untuk beroperasi secara agak
berbeda. Dalam setiap review fraud terkait, auditor harus memiliki tiga tujuan utama:
1. Buktikan kerugian. Ulasan fraud terkait biasanya mulai dengan temuan bahwa seseorang
mencuri sesuatu. Tinjauan investigasi audit internal yang dipimpin harus merakit sebanyak
materi yang relevan yang diperlukan untuk menentukan ukuran keseluruhan dan lingkup
kerugian.
2. Menetapkan tanggung jawab dan niat. Ini adalah langkah tentang "Siapa yang melakukannya?”
Sebanyak mungkin, auditor internal harus berusaha untuk mengidentifikasi semua pihak yang
bertanggung jawab untuk kerugian dan jika ada keadaan khusus atau berbeda terkait dengan
tindakan fraud.
3. Buktikan metode investigasi audit yang digunakan. Tim investigasi perlu untuk dapat
membuktikan bahwa kesimpulan fraud terkait didasarkan pada rinci, langkah-demi-langkah
proses investigasi, bukan hanya perburuan terkoordinasi. Review tersebut harus
didokumentasikan dengan menggunakan proses review audit internal terbaik. Yang paling
penting di sini, semua dokumen yang digunakan harus diamankan.
Teknologi Informasi Proses Pencegahan Fraud
Teknologi informasi (IT) atau teknologi yang berhubungan dengan fraud mencakup berbagai
masalah dan kekhawatiran. Dalam lingkungan bisnis saat ini, sistem informasi yang hampir selalu
menjadi komponen kunci dari setiap fraud keuangan atau akuntansi terkait modern. Karena sistem
TI dan proses dukungan begitu banyak bidang dan lintas begitu banyak baris dalam perusahaan, kita
bisa memikirkan fraud yang berkaitan dengan IT dalam beberapa dimensi mulai dari kecil untuk
kegiatan fraud yang signifikan:
1. Internet Acces Issues. Usaha sering membuat kedua pedoman dan kadang-kadang kontrol
untuk membatasi penggunaan internet, tetapi Web adalah begitu meluas bahwa itu adalah sulit
untuk memisahkan pribadi dari penggunaan bisnis. Sekali lagi, aturan tersebut sering diabaikan
oleh karyawan dan terkadang dilewati oleh penggunaan perangkat lunak yang akan
memungkinkan mereka untuk berkeliling hambatan firewall dalam sistem. Bisa ada
kemungkinan kuat penyalahgunaan sini, tetapi juga perusahaan dapat memantau karyawan
Penggunaan internet melalui alat pemantauan perangkat lunak. Banyak mungkin mengedipkan
mata pada hal-hal seperti itu, tetapi asosiasi perusahaan tidak harus menghabiskan sejumlah
besar waktu hari kerja browsing melalui internet atau menyelesaikan belanja rumah transaksi.
2. Improper personal use of IT resources. Suatu perusahaan harus menetapkan aturan
menyatakan bahwa tidak boleh ada file pribadi atau program pada pekerjaan yang disediakan
sistem. Karyawan sering mengabaikan aturan tersebut, dan dapat menggunakan pengolah kata
atau sumber daya spreadsheet untuk melakukan beberapa pekerjaan pribadi baik di kantor dan
di rumah. Suatu perusahaan harus menekankan kepada karyawan bahwa mereka tidak boleh
melakukan bisnis pribadi saat di tempat kerja. Mungkin bahkan lebih besar dari risiko fraud di
sini adalah kemungkinan memperkenalkan virus atau berbahaya lainnya perangkat lunak untuk
sistem perusahaan.
3. Illegal use of software. Karyawan kadang mencoba untuk mencuri / download salinan dari
perangkat lunak perusahaan atau menginstal perangkat lunak mereka sendiri pada komputer
perusahaan sumber daya. Dengan demikian, mereka melanggar aturan perusahaan dan sering
menempatkan majikan mereka melanggar perjanjian lisensi perangkat lunak. Selain itu, mereka
mungkin berpotensi memperkenalkan virus ke dalam sistem perusahaan. Sementara
perusahaan harus memiliki sistem firewall dipasang untuk melindungi diri dari yang tidak benar
seperti software, selalu ada risiko perangkat lunak ganas seperti tergelincir
4. Computer security and confidentialit fraud matters. Karyawan dapat melanggar perlindungan
kata sandi dan mendapatkan akses yang tidak benar ke sistem komputer dan file. Bahkan jika
mereka hanya mencoba untuk melihat apakah ia bekerja, mereka melakukan tindakan fraud
dengan melanggar aturan keamanan komputer
5. Information theft through USB devices. Hari ini, perangkat penyimpanan tentang ukuran kunci
pengapian mobil dapat dipasang ke dalam sistem komputer dan digunakan untuk men-
download beberapa gigabytes6 informasi. Suatu perusahaan dapat menghadapi signifikan risiko
pencurian atau kehilangan data seperti data pelanggan melalui sederhana ini perangkat
manajemen penyimpanan.
6. Information theft or other data abuse computer fraud. Ini adalah satu hal untuk benar
mengakses sistem komputer dengan melanggar kontrol kata sandi dan lain untuk benar
melihat, memodifikasi, atau menyalin data atau file. Ini bisa menjadi signifikan menyebabkan
kejahatan komputer.
7. Embezzlement or unauthorized electronic fund transfers. Mencuri uang atau sumber daya
lainnya melalui transaksi yang tidak benar atau tidak sah adalah yang paling penyebab signifikan
sistem TI dan masalah jaringan fraud. Apakah memulai transaksi untuk mengirim rekening cek
dibayarkan ke alamat rumah atau memfasilitasi transfer bank besar, ini bisa menjadi daerah
utama untuk fraud komputer atau kejahatan.
Sebuah sistem komputer daerah deteksi fraud terkait forensik computer pemeriksaan rinci
komputer dan perangkat periferal mereka, menggunakan computer investigasi dan analisis teknik
untuk menemukan atau menentukan bukti hukum yang potensial dalam situasi fraud. Idenya di sini
adalah bahwa pada dasarnya apa pun yang ditulis di file komputer dapat dipulihkan, bahkan jika itu
telah terhapus melalui operasi perintah sistem. Bukti dapat ditemukan mencakup berbagai mata
pelajaran: pencurian rahasia dagang, pencurian atau perusakan kekayaan intelektual, fraud, dan
kasus perdata lainnya melibatkan pemecatan salah, pelanggaran kontrak, dan masalah diskriminasi.
Hubungan antara Deteksi Fraud dan Internal Auditor
Fraud selalu bersama kita, tidak peduli seberapa baik kita membangun standar yang kuat
untuk kejujuran, melalui kode etik dan sejenisnya, dan membangun kontrol semakin kuat untuk
mencegah fraud. Terbakar parah oleh skandal akuntansi yang menyebabkan SOx, yang AICPA dan
auditor eksternal telah diambil pada tugas utama untuk lebih mendeteksi fraud kegiatan audit
laporan keuangan mereka. Waktu akan memberitahu seberapa efektif SAS No 99 aturan, tetapi
panggilan standar untuk dimensi baru berpikir ketika merencanakan dan pelaksanaan audit laporan
keuangan.
Auditor internal harus memberikan pertimbangan yang lebih besar untuk fraud dalam
pekerjaan audit mereka. Ketika dipanggil untuk melakukannya oleh manajemen, auditor internal
sering telah terlibat dalam beberapa tingkat fraud kerja investigasi, tapi hari ini deteksi fraud dan
pencegahan pertimbangan harus menjadi komponen yang lebih penting dari setiap audit internal.
Serupa dengan bimbingan dalam SAS No 99, auditor internal mungkin perlu memasukkan baru
perikatan audit internal dengan bertanya pada diri sendiri beberapa pertanyaan tentang bagaimana
atau dimana auditee baru mungkin melakukan tindak fraud. Auditor internal harus selalu
mempertimbangkan potensi fraud dalam tugas pekerjaan mereka berlangsung.
Auditor Internal harus memiliki tingkat CBOK umum pemahaman tentang red flags yang
menunjukkan kemungkinan fraud serta umum tinjauan audit internal prosedur yang mencakup
penyelidikan untuk fraud dalam kursus semua audit internal. Internal auditor, bagaimanapun, tidak
harus memulai audit internal baru yang khas dengan harapan bahwa auditee entah bagaimana fraud
atau tidak jujur. Sebaliknya, internal auditor harus memahami fraud yang dapat eksis di berbagai
tingkatan, dan di mana ada kecurigaan dalam proses review, auditor internal harus memiliki
pengetahuan untuk melaporkan hal tersebut kepada otoritas yang tepat dan membantu dalam
setiap investigasi fraud sebagai diminta.
BAB 3
PEMBAHASAN
Menurut Jusuf (2001) auditor internal auditor yang bekerja pada suatu perusahaan
dan berstatus sebagai karyawan didalam perusahaan tersebut, dan tugas utama dari auditor
internal ini adalah membantu manajer perusahaan dalam memberikan informasi kepada manajer
guna membantu manajer dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan efektifitas dari
perusahaan. Pada eksternal auditor atau disebut juga akuntan publik memilikitanggung jawab dalam
melakukan fungsi audit atas laporan keuangan perusahaan, pengauditan ini dilakukan pada
perusahaan terbuka yaitu perusahaan yang menjual sahamnya kepada masyarakat melalui
pasar modal, perusahaan besar, maupun perusahaan kecil. Definisi dari auditor internal adalah
seseorang yang bekerja di dalam suatu organisasi yang mereka audit. audit internal dalam suatu
organisasi disebut juga sebagai layanan untuk organisasi. Tujuan audit internal adalah untuk
membantu manajemen organisasi dalam pelaksanaan yang efektif dari tanggung jawabnya. Auditor
independen memiliki definisi yang berbeda dimana auditor independen adalah praktisi mandiri
atau disebut juga anggota dari perusahaan akuntan publik yang memberikan jasa professional
mereka kepada klien. Pada umumnya praktisi dari auditor independen harus memiliki lisensi dari
CPA dan memiliki pengalaman audit (Boynton dan Johnson, 2006).
Menurut Sawyer dkk. (2003) adapun perbedaan antara auditor internal dengan auditor
eksternal, dimana seorang auditor internal merupakan karyawan dari sebuah perusahaan yang
secara langsung berkaitan dengan pencegahan kecurangan dalam segala bentuknya di dalam suatu
perusahaan, dan berfungsi untuk menelaahkejadiankejadian yang terjadi dalam perusahaan tersebut
secara independen, tetapi juga siap sedia menanggapikebutuhan dan keinginan dari semua tingkat
manajemen. Sedangkan definisi dari auditor eksternal adalah orang yang independen dan tidak
terikat pada suatu perusahaan secara tetap, independen terhadap manajemen dan dewan
direksi baik dalam kenyataan maupun secara mental, dan menelaah catatan yang mendukung
laporan keuangan secara periodik.
Tujuan audit atas laporan keuangan pada umumnya adalah untuk menyatakan
pendapat tentang kewajaran mengenai semua hal maerial, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan
ekuitas, dan arus kas yang telahsesuai dengan Prinsip Akuntansi Belaku Umum di Indonesia (SPAP
Seksi 110, 2011). Menurut Jusuf (2006), para auditor ini bertanggung jawab atas pengauditan
dari laporan keuangan tersebut, dimana harapan dari para pemakai laporan keuangan yang
telah diaudit kepada auditor diantaranya adalah auditor dapat melakukan tugas audit secara
independen dan objektif, dapat mencari dan mendeteksi salah asji material yang terjadi, baik yang
sengaja maupun tidak disengaja, kemudian auditor juga dapat melakukan pencegahan atas
diterbitkannya laporan keuangan yang menyesatkan.
Kecurangan dalam laporan keuangan meliputi tindakan seperti manipulasi, pemalsuan, atau
perubahan catatan akuntansi maupun dokumen pendukung yang menjadi sumber data laporan
keuangan. Kemudian yang kedua manajemen melakukan kesengajaan penghilangan peristiwa,
transaksi, atau informasi yang signifikan dalam laporan keuangan. Yang ketiga terjadi
kesalahan penerapan prinsip akuntansi secara sengaja yang berkaitan dengan jumlah,
klasifikasi, cara penyajian, maupun pengungkapan dalam laporan keuangan. Singleton dkk.
(2006) mendefinisikan kecurangan (fraud) sebagai tindakan dari seseorang yang menginginkan
keuntungan lebih dengan cara memberikan laporan palsu kepada pihak-pihak lain, tindakan
penipuan ini dapat berupa tindakan yang tidak jujur, tipuan, dan kelicikan yang dilakukan dalam
menyajikan laporan keuangan yang belum diaudit.
Analisis atas perbuatan-perbuatan fraud dapat didasarkan pada berbagai pilihan
pendekatan. Berdasarkan pendekatan yang dipilih, selanjutnya dapat dirumuskan strategi untuk
pencegahan dan pemberantasan fraud yang tepat. Strategi preventif harus dibuat dan
dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal yang menjadi penyebab timbulnya fraud. Setiap
penyebab fraud yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat
meminimalkan penyebab fraud.
Di samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan
fraud. Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila
suatu perbuatan fraud terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam
waktu yang singkat dan akurat. Deteksi dini mengenai suatu tindakan fraud dapat
mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan tepat sehingga akan menghindarkan kerugian
lebih besar yang mungkin timbul.
Tanggung jawab auditor dalam mendeteksi kekeliruan dan kecurangan tercantum dalam
SPAP (2001) Seksi 316, bahwa auditor bertanggung jawab dalam merencanakan dan
melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan
bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan ataupun kecurangan. Dalam
SAS No. 99 dikatakan juga bahwa seorang auditor diharapkan dapat terus meningkatkan
kemampuan dalam melakukan pemeiksaan mengenai kecurangan (fraud). Berdasarkan definisi dari
SOX dan SAS no. 99 mengatakan bahwa saat ini kemampuan dari auditor dapat dipercaya,
dengan syarat, auditor tersebut harus mengungkapkan hasil pemeriksaannya secara terbuka dan
jelas, menunjukkan bahwa auditor telah mempertimbangkan kecurangan yang terjadi, dan harus
menunjukkan prosedur pemeriksaan yang telah dilakukan secara spesifik.
SAS No. 16 membuat beberapa syarat bagi auditor untuk dapat melaksanakan audit
secara berkualitas, yaitu auditor harus memiliki rencana pemeriksaan untuk mencari
materialitas, kesalahan (error atau irregularities) dan mencari sedapat mungkin dengan
menggunakan kemampuan dan kejelian mereka. Mengenai tanggung jawab auditor pada
pemeriksaan perbuatan ilegal tidak diperjelas, karena auditor bukanlah pengacara yang dilatih untuk
menemukan perbuatan ilegal, auditor tidak diharapkan untuk mencari perbuatan ilegal, tetapi
diharapkan untuk lebih peka terhadap semua kemungkinan yang dapat menarik perhatian mereka
dari kemungkinan terjadinya tindakan ilegal. Jika auditor menemukan suatu kesalahan,
ketidakberesan, atau perbuatan ilegal, mereka perlu untuk melaporkan hal tersebut kepada
manajemen, dan tergantung dari apakah hal tersebut penting untuk dibicarakan dalam rapat
dewan ataupun komite audit. Para auditor juga perlu memperkirakan dampak yang akan terjadi
pada laporan keuangan, dan jika hal tersebut cukup material, maka akan diperlukan penyesuaian
atau catatan tambahan pada pelaporan ataupun untuk kepentingan kualifikasi laporan audit.
SAS No.16 juga mengakui, bahwa meskipun terdapat persetujuan tamggungjawab untuk
mencari kesalahan dan ketidak beresan yang material, auditor masih tidak dapat terhindar dari
peluang untuk tidak menemukan hal tersebut. Kemampuan auditor untuk melakukan audit juga
terbatas, hal ini biasanya dikarenakan sampel yang digunakan hanyalah beberapa persen dari
total seratus persen sampel account. Jika sampel account yang dipilih secara acak ini tidak
memperlihatkan tanda kecurangan transaksi, maka kemampuan auditor menjadi tidak berguna,
seperti halnya mecurigai satu sampel di antara seratus sampel. Tentu saja kontrol pemilihan sampel
audit adalah dari auditor tersebut. Tetapi untuk melakukan eliminasi yang pasti haruslah diambil dari
seluruh transaksi pada tahun terbesut, dimana hal ini akan menghasilkan biaya astonomi audit dan
tetap saja belum pasti dapat menemukan transaksi yang lupa tercatat.
Analisis mengenai red flags tidak akan terlepas dari pemahaman tentang fraud. Seperti
yang dinyatakan oleh Montgomery dkk. (2002) dalam Suartana(2009) bahwa ada fenomena
segitiga kecurangan (the fraud triangle). Konsep fraud triangle pertama kali diperkenalkan dalam
SAS No.99 yaitu standar audit di Amerika Serikat yang terdiri dari: tekanan, kesempatan, dan
rasionalisasi. Fraud triangle adalah model yang menjelaskan alasan orang melakukan fraud
termasuk korupsi yang pertama kali diperkenalkan oleh Donald R. Cressy dalam disertasinya.
Penelitian Cressy diarahkan untuk mengetahui penyebab dari orang-orang memutuskan untuk
melakukan pelanggaran ”trust violator”. Hasil penelitiannya adalah, orang melakukan fraud
didorong oleh tiga hal yang disebutnya sebagai fraud triangle yaitu pressure, perceived
oppertunity dan rationalitation.
Cressy dalam disertasinya membahas bahwa seseorang melakukan penggelapan karena
didorong oleh kebutuhan akan uang yang mendesak dan tidak mungkin diceritakan kepada
orang lain. Himpitan yang mendesak dan perasaan bahwa tidak ada orang yang dapat
membantu dalam temuan Cressy dikenal dengan perceived nonshareble need. Situasi yang
memunculkan perceived non-shareble need dalam penelitian Cressy dikelompokan menjadi enam
yaitu violation of ascribed obligation, problem resultig from personal failure, business reversals,
pysical isolation, status gaining dan employer-emloyee relation. Ini berarti perceived non-shareble
need tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan hidup yang mendesak akan tetapi lebih
pada kebutuhan untuk memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sudah
ada.
General information dan technical skills adalah dua dimensi utama yang dipandang oleh
pelaku fraud sebagai peluang. Untuk melakukan fraud seseorang tidak cukup hanya dengan
dorongan tekanan kebutuhan. Informasi yang dimiliki membentuk keyakinan bahwa karena
kedudukan dan kepercayaan institusi yang melekat pada dirinya maka fraud yang dilakukannya
tidak akan diketahui. Untuk melakukan fraud atau korupsi komponen berikutnya dari opportunity
adalah kemampuan atau keahlian untuk melakukannya. Tanpa kemampuan yang memadai
menyembunyikan fraud atau korupsi tentu tidak mungkin untuk dilakukan apalagi untuk kasus-
kasus korupsi yang bersifat sistemik.
Sisi segitiga fraud yang ketiga adalah rationalitation. Orang sebelum memutuskan
tindakan fraud sebagai solusi dari permasalahan yang menghimpitnya tentu terlebih dahulu
akan mencari alasan pembenar atas tindakannya. Alasan pembenar merupakan motivator yang
penting dalam pengambilan keputusan utuk melakukan tindakan ilegal. Alasan-alasan seperti
saya akan melakukan korupsi karena orang lain juga melakukan, saya pantas melakukan
korupsi karena ini adalah hak saya karena proyek ini ada atas perjuangan saya adalah bebrapa
alasan yang cukup sering dilontarkan oleh koruptor.
Akuntansi forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan
menyediakan alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud triangle
tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi akuntan forensiknya dapat
menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku korupsi bahwa ada peluang untuk
melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan mampu mengungkapkannya.
Keyakinan bahwa tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk
transactive corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive corruption, exortive
corruption maupun defensive corruption menjadi terbatasi karena ada profesi kompeten yang
akan menginvestigasi. Dalam kontek ini akuntansi forensik berperan sebagai strategi preventif
untuk mencegah tindak pidana korupsi karena ada kekawatiran dari pelaku bahwa korupsi
yang dilakukan dengan mudah akan terungkap oleh para akuntan forensik.
Akuntansi forensik juga dapat mengambil peranan dalam upaya pengungkapan tindak
pidana korupsi atau strategi detektif. Secara sistemik prosedur-prosedur investigasi dalam audit
forensik memang berbeda dari auditing pada umumnya. Audit forensik yang sejak awal
memang dirancang guna mengumpulkan dan menyediakan bukti untuk kepentingan persidangan di
pengadilan akan menghasilkan temuan audit yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan audit
umum yang disediakan oleh jasa profesi akuntan. Dalam kontek strategi detektif audit forensik
menrapkan prosedur-prosedur investigasi unik yang memadukan kemampuan investigasi bukti
keuangan dengan muatan transaksinya dengan investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk
mengobservasi niat atau modus operasSi dari pelakunya.
Dikatakan Vicky, Hoffman, Morgan, dan Patton (1996, dalam Hegazy, 2010) bahwa
penggunaan red flag pada pendeteksisan kecurangan ketika sesuatu hal dicurigai dan ditetapkan
sebagai salah satu tanda (red flag) maka tanda ini dapat membantu auditor untuk lebih
memfokuskan kinerja mereka dalam melakukan penaksiran risiko kecurangan.
Juga dikatakan dan diusulkan oleh Hegazy (2010) bahwa penggunaan standar pemeriksaan
sangatlah diperlukan oleh seorang auditor ketika melakukan penaksiran (assessment), mereka
tidak menetapkan pedoman mereka pada tandatanda fakta yang khusus. Dengan melihat dimana
terdapat faktor yang lebih penting dan harus dipertimbangkan, maka auditor dapat menaksir risiko
audit yang terjadi di dalam penugasan audit mereka dengan lebih konsisten dan efektif.
Berdasarkan penelitian Vicky, Hoffman, Morgan, dan Patton (1996, dalam Hegazy, 2010)
ditemukan penyebab tanda-tanda (red flag) kecurangan yang ditemukan adalah seperti manajer
yang berbohong kepada auditor mengenai pelaporan keuangan perusahaan, pengalaman tingkat
ketidakjujuran manajer kepada auditor, perselisihan yang sering terjadi antara auditor dengan
manajer, dan juga dari keinginan klien untuk mendapat persetujuan opinion shopping dan keinginan
manajer untuk mencapai target ataupun memperoleh keuntungan dari proyek yang ada.
BAB 4
KESIMPULAN
Red flag adalah signal yang harus dideteksi oleh auditor dalam mengaudit laporan keuangan.
Dalam mendeteksi red flag auditor harus memiliki keahlian dalam mendeteksi dan menaksir risiko
yang ada. Penggunaan red flag pada pendeteksian kecurangan ketika sesuatu hal dicurigai dan
ditetapkan sebagai salah satu tanda maka tanda ini dapat membantu auditor untuk lebih
memfokuskan kinerja mereka dalam melakukan penaksiran risiko kecurangan. Auditor independen
adalah orang yang memiliki independensi dan tidak terikat pada suatu perusahaan secara tetap,
independen terhadap manajemen dan dewan direksi baik dalam kenyataan maupun secara
mental, dan menelaah catatan yang mendukung laporan keuangan secara periodik. Kecurangan
pelaporan keuangan dibagi dalam dua macam yaitu penyelewengan aset dan kecurangan
dalam laporan keuangan, dimana penyelewengan aset ini digolongkan dalam beberapa macam
yaitu kejahatan korupsi dimana terdapat empat macam yaitu konflik kepentingan, signal
kecurangan yang termasuk dalam konflik kepentingan adalah jumlah transaksiyang besar dengan
pemasok tertentu, ada hubungan dengan pihak ketiga yang tidak diketahui. Kemudian pada
kejahatan penyelewengan aset, merupakan kejahatan yang paling sering terjadi, diantaranya
pencurian kas, pemalsuan nota, dan penggajian. Pentingnya red flag bagi auditor independen
dalam mendeteksi kecurangan pada pelaporan keuangan adalah signal tersebut membantu
auditor lebih memfokuskan kinerja dalam melakukan penaksiran risiko kecurangan, kemudian
penggunaan standar pemeriksaan ketika melakukan penaksiran, mereka tidak menetapkan
pedoman mereka pada tanda-tanda fakta yang khusus. Dengan melihat dimana terdapat faktor yang
lebih penting dan harus dipertimbangkan, maka para auditor dapat menaksir risiko audit yang terjadi
di dalam penugasan audit mereka dengan lebih konsisten dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzan, IA. 2015. Pengaruh Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi terhadap Pengungkapan Fraud
(Studi Kasus pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa
Barat). http://hdl.handle.net/123456789/318
Rahman, Fatahul. 2011. Peran Manajemen dan Tanggung Jawab Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan Laporan Keuangan. http://www.karyailmiah.polnes.ac.id. JURNAL EKSIS Vol.7
No.2, Agustus 2011: 1816–2000
Sofia, Irma Paramita. 2014. Persepsi Auditor Internal dan Eksternal Mengenai Efektivitas Metode
Pendeteksian dan Pencegahan Tindakan Kecurangan Keuangan. 3rd Economics & Business
Research Festival. ISBN:978-979-3775-55-5, 13 November 2014
Tedjasukma, Fanny Novian. 2012. Pentingnya Red Flag Bagi Auditor Independen untuk Mendeteksi
Kecurangan dalam Laporan Keuangan. BERKALA ILMIAH MAHASISWA AKUNTANSI – VOL. 1,
NO. 3, MEI 2012
Wiratmaja, I Dewa Nyoman. 2010. Akuntansi Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, 2010 - ojs.unud.ac.id
Zainal, Rizki. 2009. Pengaruh Aktivitas Pengendalian Intern, Asimetri Informasi dan Kesesuaian
Kompetensi terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Fraud). Jurnal Akuntansi, 2013
- ejournal.unp.ac.id