22
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA. Sumber : idrusabidin.blogspot.com 1. PENDAHULUAN. Pendidikan Islam adalah sebuah sistem pengajaran yang berupaya membekali peserta didik dengan nilai-nilai keislaman sehingga diharapkan mampu menjadi pribadi muslim yang kokoh secara prinsip (akidah) dan berkualitas dari segi intlektual. Hal ini berdasarkan pada kesadaran penuh manusia muslim sebagai khalifah di bumi Allah. Landasan utama tugas kekhalifaan adalah keimanan kepada Allah Swt. sebagai Sang Pemberi Amanah. Keimanan ini kemudian melahirkan sikap yang benar tentang bagaimana mengelola alam dengan amanah dan profesional. Karenanya, kapasitas intelektual sangat penting, mengingat Alam ini diciptakan oleh Allah Swt., di samping sebagai tanda kemahakuasaan-Nya, juga merupakan lapangan penelitian yang menjanjikan. Allah Swt. telah meletakkan ketetapan yang mendasar terhadap alam berupa sunnatullah. Sementara, di sisi lain Allah menetapkan hubungan manusia degan alam dalam wilayah taskhir. Sejauh mana manusia mampu memahami alam maka sejauh itu pula mereka mampu menundukkan dan memberdayakannya sebagai sarana ibadah kepada allah Swt. 1 1 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat : Ciputat Press ), Cet.2, th.2005, hal.18-19. 0

Filsafat pendidikan islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Filsafat pendidikan islam

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Idrus Abidin, Lc., MA.

Sumber : idrusabidin.blogspot.com

1. PENDAHULUAN.

Pendidikan Islam adalah sebuah sistem pengajaran yang berupaya membekali peserta

didik dengan nilai-nilai keislaman sehingga diharapkan mampu menjadi pribadi muslim yang kokoh

secara prinsip (akidah) dan berkualitas dari segi intlektual. Hal ini berdasarkan pada kesadaran

penuh manusia muslim sebagai khalifah di bumi Allah. Landasan utama tugas kekhalifaan adalah

keimanan kepada Allah Swt. sebagai Sang Pemberi Amanah. Keimanan ini kemudian melahirkan

sikap yang benar tentang bagaimana mengelola alam dengan amanah dan profesional.

Karenanya, kapasitas intelektual sangat penting, mengingat Alam ini diciptakan oleh Allah Swt., di

samping sebagai tanda kemahakuasaan-Nya, juga merupakan lapangan penelitian yang

menjanjikan. Allah Swt. telah meletakkan ketetapan yang mendasar terhadap alam berupa

sunnatullah. Sementara, di sisi lain Allah menetapkan hubungan manusia degan alam dalam

wilayah taskhir. Sejauh mana manusia mampu memahami alam maka sejauh itu pula mereka

mampu menundukkan dan memberdayakannya sebagai sarana ibadah kepada allah Swt.1

Mengingat bahwa dunia pendidikan saat ini berlandaskan pada nilai-nilai filosofis Barat

yang tentunya juga lahir dari pandangan hidup mereka yang material, maka sangat penting untuk

menegaskan kembali urgensi filsafat Islam dalam ranah pendidikan. Belum lagi jika kita menyadari

bahwa dunia modern saat ini sedang dilanda kebingungan mendasar dalam menghadapi krisis

ekonomi yang terus menghimpit. Padahal, filsafat pendidikan yang mereka rumuskan lahir dari

pandangan meterialis-ekonomis. Maka tidaklah mengherankan ketika konsep ekonomi syari’ah,

sekalipun dari sisi umur dan pengalaman masih terbatas, telah dilirik sebagai sebuah konsep

ekonomi yang komprehensif dan tahan krisis. Jika manusia modern sadar dengan krisis ekonomi

ini, maka tentu filsafat pendidikan Islam yang juga merupakan nilai filosofis ekonomi syari’ah akan

menjadi alternatif yang baik dan mencerahkan di masa mendatang.

Selain urgensi filsafat pendidikan Islam di atas, juga secara ringkas dapat dipaparkan

pula urgensitas lain berikut :

Posisi strategis filsafat pendidikan dalam proses belajar mengajar secara menyeluruh.

Terjadinya ambiguitas dalam memandang filsafat pendidikan dalam ranah pemikiran

Barat dan dunia modern.1 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat :

Ciputat Press ), Cet.2, th.2005, hal.18-19.

0

Page 2: Filsafat pendidikan islam

Perlunya merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang dapat membebaskan manusia

modern dari problematika yang sedang di alami saat ini.

Kebutuhan sistem pendidikan yang sedang berjalan di dunia Islam terhadap filsafat

pendidikan Islam yang jelas.2

Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang beriman dan amanah, sebagiamana

disebutkan di awal, maka dibutuhkan seperangkat nilai-nilai filosofis yang dapat menjadi acuan

pendidikan Islam. Sehingga proses belajar mengajar berhasil menyadarkan peserta didik tentang

dasar keberadaannya dalam alam raya ini (ibadah). Secara filosofis, keberhasilan pendidikan

diukur berdasarkan kemampuannya untuk merealisasikan dua tujuan mendasar berikut :

1. Menjaga eksistensi manusia secara penuh.

2. Meningkatkan kafasitas manusia secara berkala hingga level kekekalan dengan

mengatur pola hubungan manusia dengan semua unsur-unsur yang ada di alam raya.

Dalam rangka terwujudnya ke dua tujuan tersebut, secara otomatis membutuhkan terwujudnya

dua tujuan lain berikut :

1. Menentukan pilar-pilar utama bagi keberlangsungan eksistensi manusia dan

merumuskan karakteristik yang menjadi titik utama keunggulan manusia yang

berpengetahuan.

2. Pengembangan berbagai sarana yang mendukung terwujudnya tujuan tersebut di atas.3

Makalah sederhana ini berusaha menjabarkan, bagaimana Filsafat pendidikan Islam dapat

mewujudkan kedua tujuan mendasar di atas.

2. MENJAGA EKSISTENSI MANUSIA.

Dalam rangka menjaga eksistensi manusia, pendidikan Islam berusaha memperkokoh

hubungan manusia dengan alam secara kokoh. Hubungan manusia dengan alam menurut

pendidikan Islam adalah hubungan taskhir. Yang mana, alam telah dibekali oleh Allah Swt. dengan

beragam kebutuhan manusia. Dan dalam kerangka ini, Islam juga mengatur pola hubungan

manusia dengan sesamanya. Hubungan di level ini dibingkai dengan landasan keadilan dan nilai-

nilai ihsan. Selain itu, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan kehidupan dalam bentuk

ujian. Yang mana, kehidupan ini adalah satuan waktu yang digunakan manusia dalam

mewujudkan perkembangan dan kemajuan fisik dan psikisnya. Kesemuanya dipandang sebagai

ujian dari Allah Swt. dalam rangka mencapai prestasi ubudiyah yang tinggi.

2 Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah Mukarramah : Maktabah Hadi), cet. 1, Th.1988. hal. 21.

3 Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah, hal. 371.

1

Page 3: Filsafat pendidikan islam

2.A. Hubungan Manusia Dengan Alam (Taskhir).

Makna taskhir secara bahasa adalah bekerja dan mengabdi tanpa mengharapkan

imbalan. Sedang dari segi agama, ia berarti pemberian lisensi bagi manusia untuk memanfaatkan

alam secara gratis dalam rangka mendukung proses kehidupannya pada segala sektor tanpa

harus membayar harga tertentu. Hanya saja, alam tidak bisa mengabdikan dirinya secara gratis

manakala manusia tidak memahami hukum yang berlaku padanya. Tujuan dari taskhir adalah agar

manusia menyadari kekuasaan dan keilmuan Allah (rububiyatullah)yang meliputi segala sesuatu.4

Sedang wilayah taskhir berporos pada dua wilayah utama : al-afaaq (alam) dan al-anfus (jiwa).

Jika wilayah taskhir alam dielaborasi lebih jauh maka akan muncul area berikut : langit yang

tampak, darat yang teraba dan air yang mengisi lautan luas (QS Luqman : 20). Pada wilayah langit

ada panorama bintang, panorama angin dan panorama cuaca. Sedang pada wilayah laut terdapat

dunia ikan, dunia mutiara, dunia trumbu karang dll.

Demi terwujudnya taskhir, manusia perlu memaksimalkan segala potensinya serta

memaksimalkan segala sarana taskhir dan mengikuti prosedur yang berlaku padanya. Secara

global, hubunga itu berupa :

1. Memperbaiki cara memaksimalkan segala potensi manusia.

Potensi manusia berupa : (1). Kemampuan untuk belajar untuk menganalisa sistem yang

bekerja di alam, (2). Kemampuan akal dan kafasitas fisik untuk mengarahkan sistem menuju

pengembangan industri, (3). Kemampuan akal dan jiwa yang dapat menghubungkan antara

potensi taskhir dengan ibadah kepada Allah Swt.

2. Sarana-sarana taskhir.

Terdapat tiga sarana taskhir, yaitu : (1). Mata, telinga dan akal, (2). Pengamatan yang

cermat terhadap unsur-unsur pembentukan alam, (3). Cara pengolalaan ilmu pengetahuan

yang diperoleh melalui observasi dengan mengarahkannya kepada tujuan utama wujud ini,

berupa kesyukuran kepada Allah Swt. terhadap nikmat-Nya dan tidak menggunakannya

untuk maksiat kepada-Nya.

2.B. Hubungan Manusia Dengan Sesama Manusia (Adil dan Ihsan).

Makna adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang pantas. Adil

merupakan sikap proporsional dalam berbagai hal. Ia merupakan antonim dari kezhaliman.

4 Al-Syaibani, Umar Muhammad al-Thoumy, Falsafah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang ), th.1979, hal.

2

Page 4: Filsafat pendidikan islam

Keadilan merupakan standar minimal pola kemasyarakatan dalam Islam.5 Keadilan terbagi dua,

yaitu keadilan yang bersifat mutlak dan keadilan dalam pandangan syara’. Keadilan pertama

berwujud pada hal-hal yang dipandang baik oleh akal dan tidak akan terhapus sifatnya sebagai

keadilan sepanjang masa serta tidak bisa dipandang sebagai kezhaliman. Sebagai contohnya

adalah bersikap baik terhadap orang yang berlaku baik kepada kita dan menjauhkan bahaya dari

orang yang pernah menyelamatkan kita dari bahaya. Sedang adil yang kedua adalah adil

berdasarkan syara’. Abdul Rahman al-Sa’di menjelaskan, semua yang diperintahkan oleh Allah

terhadap hamba-Nya melalui al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya berupa keadilan dalam

muamalah masuk kategori ini.6 keadilan Jenis ini bisa saja terhapus pada waktu-waktu tertentu

berdasarkan pada kondisi, terutama terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah

masalah. Misalnya, masalah qisas dalam Islam. Jika seseorang diperlakukan tidak senonoh,

bahkan hingga tindak pembunuhan, maka pengadilan berhak menetapkan hukum bunuh terhadap

pelaku. Dan itu adalah bentuk keadilan dalam Islam. Tetapi jika wali korban memaafkan tersangka

maka tentu dibolehkan dan itu merupakan bentuk ihsan darinya. Karena haknya direlakan

walaupun hukum asalnya adalah prinsip keadilan dengan menghukum tersangka sesuai dengan

tindakannya.7Wilayah keadilan mencakup wilayah pribadi (an-Nisa : 35), wilayah keluarga (an-

Nisaa : 3), wilayah kerabat (al-An’am : 152), wialayah ummat Islam ( al-Hujurat : 49), dan wilayah

kemasyarakatan secara umum (an-Nisaa : 52).

Sedang ihsan, dari segi kebahasaan adalah lawan dari kata isa’ah yang mengandung

makna menguasai bidang yang digeluti dan profesional dalam pekerjaan. Sedang dari segi istilah

syara’, ihsan adalah sikap profesional dalam ketaatan kepada Allah Swt., baik profesional tersebut

dari sisi kualitas, ataupun profesional dalam segi jumlah berupa melaksanakan tugas melebihi

kadar yang diwajibkan dengan memperbanyak amalan-amalan sunnah.

Dari sisi agama, ihsan diwujudkan dalam dua kategori :

Bersikap profesional terhadap manusia. Bagian ini terdiri dari dua tingkatan :

1. Wajib. Yaitu memberikan hak-hak mereka secara sempurna, seperti berbuat baik

terhadap kedua orang tua, silaturrahmi, dan adil dalam semua bentuk transaksi. Masuk

pula dalam kategori ini sikap berbuat baik terhadap hewan dan binatang, terutama ketika

dalam masalah penyembelihan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah :

Sungguh Allah mewajibkan ihsan terhadap segala sesuatu. Jika kalian membunuh maka 5 Ulyan, Syaukat Muhammad, al-Tsaqafah al-Islamiyah wa Tahaddiyat al-Ashr, ( Riyadh : Dar al-Rasyid), cet.1,

th.1981/1401, hal. 335.6 al-Sa’di, Abdul Rahman Nashir, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Kairo : Markaz Fajr li

al-Thiba’ah), cet.1, th.2000, hal.446.7 al-Alma’I, Zahid bin Iwadh, Dirasaat fi al-Tafsir al-Maudhu’I li al-Qur’an al-Karim, (Riyadh : Maktabah al-

Rusyd), cet.2, th.2001.

3

Page 5: Filsafat pendidikan islam

perbaikilah proses pembunuhan. Jika kalian menyembelih maka pebaikilah cara

penyembelihan. Hendaklah kalian mempertajam pisau dan membuat sembelihan kalian

merasa tenang. (HR Muslim).

2. Sunnah. Yaitu hal-hal yang dilakukan melebihi kadar yang dituntut berupa bantuan

tenaga, harta, ataupun ilmu. Level ihsan tertinggi adalah jika seseorang mampu berbuat

baik terhadap orang yang bersikap buruk terhadapnya.

Ihsan dalam beribadah kepada Allah Swt.

Ihsan seperti inilah yang disebutkan oleh Rasulullah berupa penyembahan terhadap Allah

seolah-olah melihatnya (raja’). Kalau tidak, cukuplah menyembah Allah dengan kesadaran

penuh bahwa Ia melihatnya (khauf). Jika kita memaklumi bahwa terma Islam mewakili

gambaran lahiriah seorang muslim dan terma iman menunjukkan gamabaran batiniahnya,

maka ihsan merupakan sikap profesional dalam masalah lahiriah dan batiniah sekaligus.8

Secara ringkas Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa adil adalah sikap proporsional,

sedang ihsan adalah mengusai bidang yang digeluti dan melakukan amalan-amalan sunnah,

membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih besar dan membalas kejahatan dengan

kejahatan yang seminimal mungkin.9

Wilayah ihsan beredar seputar : wilayah pribadi (al-Israa : 7), keluarga (al-Israa : 23), kerabat,

ummat Islam dan seluruh masyarakat manusia (al-Baqarah : 83). Sedang ihsan, sebagaimana

halnya keadilan, dibutuhkan pada segala kondisi (al-baqarah : 178), seperti, ketika susah ((hud :

115), peperangan dan jihad (al-Ankabut : 69), diskusi pemikiran dan hubungan

wawasan/kebudayaan (al-Israa : 53), ketika ikatan keluarga berakhir dengan perceraian (al-

Baqarah : 229), pertengkaran dan permusuhan (Fusshilat : 34), debat pemikiran dengan non

muslim (al-Ankabut : 46), menjawab salam (an-Nisaa : 34), berinteraksi dengan kaum marjinal (al-

Israa : 34), hubungan politik (al-Kahfi : 76-77) hubungan ekonomi ( al-Qasas : 77). Ihsan seperti

inilah yang menjadi ukuran keberhasilan manusia dalam sektor kehidupan (hubungan sebagai

ujian) pada level manusia, SDA dan segala bentuk nikmat lainnya.

Sementara itu, hubungan antara kedilan dan ihsan dalam wilayah pendidikan terwujud pada

eksistensi manusia dan perkembangannya yang menyeluruh. Keadilan berperan dalam menjaga

eksistensi manusia, sedang ihsan berperan pada tingkat perkembangan manusia dari dunia

hingga sorga kelak. Dengan keadilan maka urusan berujung pada teratasinya segala permaslahan

dan hilangnya potensi fitnah di tengah masyarakat. Sementara, di sisi lain, ihsan mengokohkan

8 al-Utaibi, Sahl bin Rifa’ Suhail al-Riqi, A’mal al-Qulub ; Haqiqatuha wa Ahkamuha Inda Ahlussunna wal Jama’ah wa Inda Mukhalifiihim, (Riyadh : Jami’ah Imam Muhammad Ibn Su’ud ) cet.1, th.2005, hal.53-60.

9 az-Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah, wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, ( Bairut : Dar al-Fikr), cet.1, th.1991, vol. 13-14, hal.212

4

Page 6: Filsafat pendidikan islam

hubungan dan menumbuhkan peluang kerjasama antara berbagai level masyarakat yang nantinya

berkontribusi dalam mengembangkan tingkat kemanusiaan mereka secara total.

2.C. Hubungan Manusia dengan Kehidupan (Ujian).

Ujian berperan untuk menguji makna ibadah (kecintaan yang sempurna yang melahirkan

ketaatans cara menyeluruh) pada ke-3 wilayah ibadah : agama, masyarakat dan alam. Kehidupan

ini merupakan satuan waktu yang ditetapkan sebagai jadwal ujian (al-Mulk : 2). Sedang bumi ini

adalah merupakan ruang tempat ujian berlangsung. Sedang materi dan alat ujiannnya adalah

segala yang ada di alam ini berupa sumber daya, hasil dan perhiasan yang ada (al-Kahfi : 7).

Wilayah ujiannya adalah dua hal : 1. Materi dan segala bentuk hak milik, serta 2. Jiwa manusia.

Adapun bentuk-bentuk ujian terbagi ke dalam dua bagian : 1, kebaikan dan ke-2, keburukan

(al-A’raf : 168).10 Pertama : Ujian dengan keburukan meliputi, ketakutan, kelaparan, kurangnya

harta, kurangnya tingkat kesehatan, kurangnya hasil panen, terjadinya peperangan, kekalahan di

medan perang dan penghancuran massal. Kedua : Ujian berupa kebaikan berupa, jabatan, anak,

kendaraan (al-Mukminun : 28-30), harta (al-Maidah : 94), pengikut, kemenangan, kekuatan dan

kekuasaan (an-Naml : 40), kesehatan dan ketampanan/kecantikan.

Ujian yang menimpa manusia secara pribadi dan berkelompok selalu berada pada dua sisi

(kebaikan dan keburukan) jika diukur berdasarkan waktu terjadinya ujian. Pada ke dua sisi itu,

mereka harus menunjukkan ubudiyahnya kepada Allah Swt. Dalam kerangka inilah Allah

mengoreksi kesalahpahaman manusia memandang ujian. Ketika diberi kebaikan seolah itu adalah

kemuliaan dan ketika diuji dengan keburukan seolah itu adalah penghinaan (al-fajr : 15-16).

Padahal ujian dengan kebaikan dan keburukan pada prinsipnya adalah ujian ketaatan. Yakni,

apakah manusia mampu taat pada kedua kondisi tersebut. Ujian merupakan pelatihan untuk

medapatkan pengalaman merasakan sesuatu secara psikologis. Tujuannya agar peserta

memahami kebaikan dan merasakan keindahannya serta merasakan keburukan dan berupaya

menghindar darinya. Dengan adanya ujian ini, manusia berupaya mengikuti prosedur syari’at-Nya

sehingga mampu keluar sebagai manusia yang sukses. Walhasil, manusia makin meningkat

pemahaman dan pengalamannya.

Semantara itu, teradapat beberapa karakter ujian, di antaranya :

A. Demi sukses dari cobaan berupa kebaikan dan keburukan, manusia memilih salah

satu dari tiga hal, (1). Memilih yang buruk, (2). Memilih yang baik, (3). Memilih yang

baik demi menghindari yang buruk. Dalam hal ini, Islam berupaya mengarahkan

seseorang kepada sikap ketiga dengan tindakan berupa : menghilangkan kekafiran 10 Ghunaim, Hani Sa’ad, Seni Menikmati Ujian, ( Solo : Aqwam ), cet.2, th.2008, hal.23.

5

Page 7: Filsafat pendidikan islam

dengan segala manifestasinya dengan iman dan prakteknya di lapangan,

menghilangkan sakit dengan obat dan memerangi kezhaliman dengan keadilan.

B. Setiap ujian, kebaikan ataupun keburukan, pasti ada masa berakhirnya. Sehingga

bagi yang menderita agar ia bersabar hingga waktu menyampaikannya kepada masa

sehat dan diharapkan jangan berkeluh-kesah. Sedang yang mendapatkan kebaikan

agar jangan berbangga karena akan ada masa akhir yang melindas kebahagiaanya.

C. Bahwasanya tenggang waktu dalam menghilangkan keburukan bukanlah ketundukan

kepada keburukan itu sendiri. Karenanya Allah memuji mereka yang bersabar dalam

menghadapi masalah dan berupaya mencari obatnya.

D. Batasan ujian selalu disesuaiakan dengan kadar kemampuan manusia yang diuji.

E. Terkadang manusia tidak pandai untuk memilih sarana yang tepat untuk menghindari

keburukan. Sehingga terkadang manusia memilih keburukan demi mengobati

keburukan. Terkadang mereka memilih menyerah kepada keburukan atau memilih

kebaikan yang tidak berpengaruh terhadap keburukan itu sedikit pun.11

3. MENGEMBANGKAN POTENSI MANUSIA SECARA SIMULTAN (DUNIA AKHIRAT).

Selain menjaga eksistensi manusia, pendidikan Islam juga berupaya mengembangkan

potensi mereka dengan mengokohkan hubungannya dengan Sang Pencipta dalam bentuk

ubudiyah. Manifestasi ubudiyah ini dapat dilihat dari tiga fenomena ibadah : (1). Fenomena

keagamaan, (2) : Fenomena alam, dan ke-(3) : Fenomena sosial kemasyarakatan.

3.A.Hubungan Manusia Dengan Sang Pencipta (Ubudiyah).

Ibadah sebagai landasan semua bentuk kehidupan manusia, jika dilihat dari segi

kebahasaan bermakna ketaatan secara menyeluruh sebagai wujud dari kecintaan yang

sempurna.12 Sedang secara terminologis, ibadah dipandang sebagai sebuah nama yang

mencakup semua hal yang dicintai dan diridha’i oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan,

yang bersifat eksternal (lahiriah) maupun yang bersifat internal (batiniyah).13

Fenomena ibadah ini kemudian dapat dilihat pada tiga aspek : aspek keagamaan, aspek

kemasyarakatan dan aspek alam. Berdasarkan pada makna ibadah yang memiliki sisi perasaan

berupa kecintaan yang berujung pada ketundukan tanpa reserve, maka seseorang tidak akan

mencintai sesuatu dengan mendalam kecuali jika ia melihat yang dicintainya memiliki sifat yang

baik dan sempurna serta memiliki kafasitas yang maha luas. Setelah itu, untuk menjaga keutuhan

11 Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah,. hal.173.12 Qardhawi, Yusuf, al-Ibadah Fii al-Islam, ( Bairut : Muassasah al-Risalah), cet. 18, 1986/1406, hal.27.13 Ibnu Taimiyah, Abdul Halim, al-Ubudiyah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1991. hal.5

6

Page 8: Filsafat pendidikan islam

cintanya setiap saat, ia harus bisa merasakan kebahagiaan dan memetik buah dari kecintaannya

tersebut.

Dalam aspek keagamaan, ibadah diwujudkan dalam bentuk penegakan syiar-syiar agama

berdasarkan pada kecintaan dan ketaatan yang menjadi unsur utama ibadah. Untuk mewujudkan

tujuan ini, pendidikan Islam diharapkan membekali peserta didik dengan rincian praktek ibadah

setelah sebelumnya diawali dengan pembekalan teoritis. Sedang dari segi kemasyarakatan,

pendidikan Islam mengatur hubungan peserta didik dengan tokoh-tokoh dan organisasi

masyarakat secara menyeluruh. Baik dari segi sejarah masa lalu, masa sekarang maupun

harapan-harapannya pada masa mendatang. Dalam kerangka ini, pendidikan Islam diharapkan

mampu membekali peserta dengan seperangkat kecakapan hidup bermasyarakat dan

kemampuan untuk mempelajari sejarah untuk dapat memetik rumusan tentang konsep

jatuhbangunnya sebuah masyarakat. Dari sanalah ia mampu merumuskan aturan-aturan

kemasyarakatan yang telah ditetapkan oleh Allah (sunnatulah dalam kehidupan masyarakat) dan

melihat hasil akhir dari pola kehidupannya. Dan dari sana pula seorang pembelajar mampu melihat

keterlibatan Allah secara langsung dengan berusaha memahami efek dari jauh-dekatnya sebuah

tatanan masyarakat dari konsep Allah Swt.

Adapun dari sisi alam, maka fokus-utamanya berkisar pada bagaimana manusia mampu

berinteraksi dengan alam. Pada wilayah ini, pendidikan Islam bekerja dalam rangka membekali

peserta dengan pengetahuan tentang proses dan unsur utama terbentuknya alam. Pendidik

sebaiknya mengarahkan peserta untuk memasuki laboratorium alam ini dengan harapan, mereka

dapat menemukan formulasi ilmu yang aksiomatik, terukur dan ilmiah. Penemuan ini kemudian

dipatenkan dan dijadikan sebagai sarana untuk meneguhkan peran ibadah yang menjadi tugasnya

di alam ini. Di samping itu, kesadaranya tentang kemahakuasaan Allah dalam berbagai fenomena

alam yang mampu mengasah kecintaan dan ketundukannya secara mendalam kepada-Nya.

Berangkat dari pemahaman inilah sehingga terlahir istilah ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam dll.

Semua produk ilmu itu menghasilkan out put berupa ulama yang beriman dan amanah.

Ketiga aspek di atas menyatu secara ajeg dalam ruang lingkup ibadah. Karena jika salah

satu dari ketiga aspek tersebut terpisah maka terjadi kelemahan dan bisa meghilangkan daya

pengaruhnya dalam membentuk peradaban. 14 Pemisahan antara masing-masing aspek di atas

bisa berefek pada keruntuhan dan kehancuran sebuah masyarakat karena beberapa faktor :

1. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja maka wilayah kemasyarakatan dan

ilmu alam akan bekerja sendiri sesuai dengan hawa nafsu pengaksesnya. Jika demikian,

maka terjadi carut marut antar masing-masing aspek.14 Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah, hal.87-92..

7

Page 9: Filsafat pendidikan islam

2. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja maka akan lahir agamawan dan

ilmuwan yang tidak searah. Agamawan akan malas, kurang produktif dan cenderung tidak

berdaya. Sedang ilmuawan kehilangan arah tujuan.

3. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja maka wilayah kemasyarakatan dan

sains akan jauh dari kucuran nilai-nilai ibadah sehingga mereka tidak bisa mematuhi norma-

norma yang berlaku dalam agama, terutama dalam merumuskan konsep-konsep

kemasyarakatan dan sains.

4. Jika ibadah hanya berada pada wilayah keagamaan saja, maka peran agama dalam rangka

menegakkan keadilan dalam masyarakat akan lemah. Demikian pula kelemahnnya dalam

rangka meminimalisir keburukan di tengah masyarakat. Inilah penyebab kenapa kaum berduit

selalu memisahkan diri dari agama.

5. Jika sains jauh dari nuansa ibadah maka agama hanya akan menjadi fenomena sejarah pada

waktu dan tempat tertentu. Jika ini terjadi, agama akan jauh dari bukti-bukti ilmiah yang

merupakan sumbangan ayat al-afaq dan ayat al-anfus yang pada prinsipnya akan

memberikan nuansa baru dan menegaskan peranannya dalam bidang pemikiran, nilai-nilai

dan lapangan praktis.

3.B. Hubungan Manusia Dengan Akhirat (Tanggung-jawab dan Hasil)

Di samping kokohnya hubungan manusia dengan Tuhan di atas, pendidikan Islam juga

mengembangkan potensi manusia melalui pengokohan hubungan dengan negeri akhirat.

Hubungan pada wilayah ini ditetapkan sebagai hubungan tanggung jawab dan penerimaan out put

ubudiyah (pahala dan dosa). Yakni pendidikan Islam memacu segala potensi manusia untuk maju

sebagai bukti adanya lompatan-lompatan yang diperolah selama berada di ruang ujian (dunia).

Lalu kemudian menjadi kekal dalam surga bagi yang berkembang secara baik dalam lingkup

ubudiyah. Dan dalam kerangka kekelan ini pula, terjadi pembersihan dan penyiksaan massal di

dalam neraka bagi mereka yang tidak berkembang secara benar dalam wilayah ubudiyah ini.

Untuk ke dua tujuan di atas, filsafat pendidikan Islam menentukan sarana-sarana

pengetahuan yang dibutuhkan. Sarana pendidikan tersebut berkisar pada wilayah wahyu (al-

Qur’an dan Sunnah), akal dan indera dalam rangka mencapai pengetahuan yang benar tentang

bagaimana mengelola pola hubungan manusia dengan segala wujud yang telah disebutkan

sebelumnya.15 Setelah pengetahuan yang benar tentang pola hubungan tersebut diperoleh,

diupayakanlah memperaktekkannya di lapangan dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki.

15 Al-Zunaidi, Abdul Rahman Zaid, Mashadir al-Ma’rifah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1992. Lihat pula : Uqaili, Ibrahim, Takamul Manahij al-Ma’rifah inda Ibnu Taimiyah, ( U.S.A : al-Ma’ha al-Alami li al-Fikr al-Islami ), cet.1, th.1994.

8

Page 10: Filsafat pendidikan islam

Tentunya dengan tetap memberikan evaluasi (penilaian) dan pengembangan lanjutan jika memang

hal itu dibutuhkan.

Tujuan dan sarana yang disebutkan di sini terformulasikan secara baik dengan

mempertimbangkan pengaruh dari empat faktor, (1). Faktor keyakinan (akidah). Yaitu penetapan

hubungan antara Tuhan dengan manusia sebagai mahluk. (2). Faktor sosial. Yaitu menundukkan

pola hubungan dan nila-nila etika ke dalam bingkai kemanusiaan yang merupakan identitas bagi

peserta didik. Yang mana, hal ini mencakup semua anggota masyarakat. (3). Faktor wilayah. Yaitu

tata cara hidup di dalam wilayah tugas manusia sebagai khalifah. Hal ini mencakup semua penjuru

bumi ini. (4). Faktor waktu. Yaitu dengan memperhatikan waktu yang akan dilalui oleh manusia.

Faktor waktu ini diawali dari semenjak di dunia ini hingga ke akhirat kelak yang tidak

berpenghujung (rihlah al-khulud).

Al-Qur’an sebagai sumber utama pendidikan Islam membahas tema-tema di atas

dengan menyeluruh dan komprehensif. Secara global, al-Qur’an membahas empat tema utama :

Allah, alam, manusia dan hari akhir. Allah merupakan pencipta manusia dan alam. Ia menugaskan

manusia sebagai khalifah di bumi ini dan akan meminta pertanggungjawaban terhadap amanah

tersebut. Alam merupakan bukti kekuasaan Allah Swt. dan ditundukkan bagi manusia jika mereka

memahami aturan-aturan yang berlaku padanya (sunnatulah). Manusia adalah hamba yang

menjadi wakil Allah di bumi. Alam ini ditundukkan baginya dengan bekal hidayah dan kemampuan

untuk memilih dan berkehendak. Hari akhir adalah tempat penerimaan hasil penugasan, baik

berupa pahala maupun dosa yang berujung pada penyiksaan. Jika kemudian surah-surah yang

tergabung dalam lingkup Makkiyah terpokus pada tema : Allah, alam dan hari akhir, maka surah

Madaniyah membahas secara tuntas dan fokus pada tema kemanusian. Secara ringkas, al-Qur’an

berupaya merancang bangunan pemikiran dan norma-norma yang memperkokoh hubungan

manusia yang produktif dengan Allah, manusia dan alam. Hubungan dengan Allah adalah

ubudiyah, sedang dengan sesama manusia adalah adil dan ihsan dan dengan alam berupa

taskhir. Hubungan inilah yang membedakan Islam dengan segala bentuk pemikiran dan nilai etika

laiinya. Sejauh mana manusia mampu berkomitmen dengan prinsip ini maka sejauh itu pula ia

akan mendapatkan kesuksesan (keselamatan), seniorotas dan pionir dalam lautan kehidupan,

ditambah dengan pahala yang berlipat ganda di akhirat kelak.16

KESIMPULAN.

Berdasarkan paparan di atas, kesimpulan yang bisa ditarik adalah :

16 Lahham, Hanan, Min Hadyi Surah al-Baqarah, ( Riyadh : Dar al-Hudaa), cet, 1, th1989 M/1409 M, hal.9.

9

Page 11: Filsafat pendidikan islam

Pendidikan Islam menjamin eksistensi manusia secara utuh. Baik dari sisi keduniaan

dengan memperkokoh hubungannya dengan alam sebagai tempat berlangsungnya

kehidupan, maupun dari sisi akhirat dengan menegaskan hubungannya dengan Allah Swt.

dan kehidupan akhirat sebagai tempat penerimaan prestasi ubudiyah. Bahkan dengan

hubungannya dengan Allah dan akhirat, pendidikan Islam berupaya mengembangkan

potensi manusia secara maksimal sehingga menjadi khalifah yang amanah dan

profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Al-kailani, Majid Irsan, Falsafah al-tarbiyah al-Islamiyah, (Makkah Mukarramah : Maktabah

Hadi), cet. 1, th.1988.

Ulyan, Syaukat Muhammad, al-Tsaqafah al-Islamiyah wa Tahaddiyat al-Ashr, (Riyadh : Dar al-

Rasyid), cet.1, th.1981/1401.

al-Sa’di, Abdul Rahman Nashir, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, (Kairo :

Markaz Fajr li al-Thiba’ah), cet.1, th.2000.

al-Alma’i, Zahid bin Iwadh, Dirasaat fi al-Tafsir al-Maudhu’I li al-Qur’an al-Karim, (Riyadh :

Maktabah al-Rusyd), cet.2, th.2001.

al-Utaibi, Sahl bin Rifa’ Suhail al-Riqi, A’mal al-Qulub ; Haqiqatuha wa Ahkamuha Inda

Ahlussunna wal Jama’ah wa Inda Mukhalifiihim, (Riyadh : Jami’ah Imam

Muhammad Ibn Su’ud ) cet.1, th.2005.

al-Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah, wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Bairut : Dar

al-Fikr), cet.1, th.1991, vol. 13-14.

Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan

Islam, (Ciputat : Ciputat Press ), Cet.2, th.2005.

Al-Zunaidi, Abdul Rahman Zaid, Mashadir al-Ma’rifah fi al-Fikri al-Dini wa al-Falsafi, ( KSA : Maktabah

al-Muayyid ), cet.1, th.1992.

Uqaili, Ibrahim, Takamul Manahij al-Ma’rifah Inda Ibnu Taimiyah, ( U.S.A : al-Ma’ha al-Alami li

al-Fikr al-Islami ), cet.1, th.1994.

Ghunaim, Hani Sa’ad, Seni Menikmati Ujian, ( Solo : Aqwam ), cet.2, th.2008, hal.23.

Lahham, Hanan, Min Hadyi Surah al-Baqarah, (Riyadh : Dar al-Hudaa), cet.1, th.1989 M/1409 M.

Ibnu Taimiyah, Abdul Halim, al-Ubudiyah, ( KSA : Maktabah al-Muayyid ), cet.1, th.1991.

Qardhawi, Yusuf, al-Ibadah Fii al-Islam, (Bairut : Muassasah al-Risalah), cet. 18, 1986/1406.

10