Fikosianin Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.0121 D4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Fikosianin 2014

Citation preview

FIKOSIANIN : PEWARNA ALAMI DARI BLUE GREEN MICROALGA SPIRULINA

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Thervina Yenni Tri Kusuma12.70.0121Kelompok D4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014Acara IV2

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan mengenai OD, Konsentrasi Fikosianin, Yoeld, dan Warna dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran OD, Konsentrasi Fikosianin (KF), Yield, dan Warna FikosianinKel.Berat biomassa (basah atau kering) (g)Jumlah akuades yang ditambahkan (ml)Total filtrate yang diperoleh (ml)OD 615OD 652KF (mg/ml)Yield (mg/g)Warna

Sebelum ovenSesudah oven

D18100500,08980,04420,0130,081Biru tuaBiru muda

D28100500,08980,04390,0130,081Biru tuaBiru muda

D38100500,08940,04380,0130,081Biru tuaBiru muda

D48100500,08920,04390,0130,081Biru tuaBiru muda

D58100500,08950,04390,0130,081Biru tuaBiru muda

D68100500,08960,04390,0130,081Biru tuaBiru muda

Keterangan :KF = Konsentrasi fikosianinOD 615 = Nilai absorbansi dengan panjang gelombang 615 nm OD 652= Nilai absorbansi dengan panjang gelombang 652 nm

Dari tabel 1, dapat diketahui bahwa berat biomassa Spirulina yang digunakan untuk pembuatan fikosianin adalah 8 gram, dimana jumlah akuades yang ditambahkan dalam proses pembuatan fikosianin tersebut adalah 100 ml dengan total filtrat yang diperoleh sebesar 50 ml. Berdasarkan percobaan ini, nilai absorbansi dari fikosianin diukur dengan menggunakan panjang gelombang sebesar 615 nm dan 652 nm. Nilai absorbansi tertinggi pada panjang gelombang 615 nm adalah pada kelompok D1 dan D2, yaitu 0,0898. Sedangkan nilai absorbansi terendah pada panjang gelombang 615 nm dihasilkan oleh kelompok D4, yaitu 0,0892. Di sisi lain, nilai absorbansi dengan panjang gelombang 652 nm mengalami penurunan dibandingkan dengan nilai absorbansi dengan panjang gelombang 615 nm. Pada panjang gelombang 652 nm, dihasilkan nilai absorbansi terbesar oleh kelompok D1, yaitu 0,0442, sedangkan nilai absorbansi terendah dihasilkan oleh kelompok D3, yaitu 0,0438. Konsentrasi fikosianin yang dihasilkan adalah 0,013 mg/ml untuk semua kelompok, dan yield yang dihasilkan adalah sebesar 0,81 mg/g untuk semua kelompok. Secara keseluruhan, warna fikosianin yang dihasilkan sebelum dioven adalah berwarna biru tua, sedangkan setelah dioven berwarna biru muda.

2

12. PEMBAHASAN

Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kali ini, akan dibahas mengenai pigmen fikosianin sebagai pewarna alami dari blue-green microalga spirulina. Pigmen atau bahan pewarna dibutuhkan oleh industri pangan untuk memberikan warna pada produk makanan agar lebih menarik. Produsen makanan memberikan pewarna pada produknya dengan tujuan untuk menggugah selera konsumennya, karena penampakan produk termasuk warnanya mempengaruhi penerimaan konsumen (Candra, 2011).

Secara umum, pigmen digolongkan menjadi 2 jenis yaitu pigmen buatan / sintetis dan pigmen alami / biopigmen (Mohammad, 2007). Industri pangan berkembang dengan pesat di Indonesia begitu pula dengan tuntutan penggunaan pigmen pun juga meningkat pesat. Pada umumnya, pigmen sintetis lebih banyak digunakan karena mudah didapat, mudah digunakan serta memiliki stabilitas yang tinggi. Namun penggunaan pigmen sintetis yan berlebihan dan kurang terkontrol dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan, karena pigmen sintetis seperti tartrazin, alluora red dan rodhamin B bersifat karsinogenik serta dapat menyebabkan alergi hingga penyakit kanker (Tim IPPOM MUI, 2005). Untuk mengatasi masalah tersebut, maka penggunaan pewarna alami dianjurkan untuk digunakan. Selain itu, saat ini masyarakat juga semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan keamanan pangan, maka penggunaan bahan baku atau produk yang bersifat alami seperti biopigmen terus meningkat.

Pigmen alami (biopigmen) merupakan jenis pigmen yang tidak memiliki sifat karsinogenik, tidak memiliki efek samping negatif jika dikonsumsi, serta dapat diuraikan. Pewarna alami yang banyak digunakan di masyarakat umumnya berasal dari pigmen daun, buah, batang, atau umbi-umbian. Namun demikian, pewarna alami dari bahan-bahan tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu stabilitasnya terhadap panas, pH, dan cahaya kurang, ketersediaannya terbatas, serta lebih mahal sehingga kurang cocok untuk produksi massal. Oleh karenanya, perlu dicari sumber pewarna alami lain yang ketersediaannya melimpah. Salah satunya yaitu dari mikroalga, produksi biopigmen mikroalga memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah tidak bergantung pada iklim dan cuaca, waktu tumbuh cepat sehingga dapat dipanen dalam waktu yang tidak terlalu lama, dapat diproduksi terus menerus, tidak menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan, produksinya dapat dikendalikan sesuai kebutuhan dan keinginan, serta memiliki fungsi kesehatan sebagai antikanker, anti hyperkolesterol, dan mampu meningkatkan daya tahan tubuh (Arylza, 2005; Borowitzka & Borowitzka, 1988). Salah satu spesies mikroalga yang mampu menghasilkan bahan pewarna (pigmen) adalah spirulina. Spirulina mampu menghasilkan pigmen fikosianin berwarna biru. Spolaore et al. (2006) melaporkan bahwa pigmen ini berpotensi digunakan sebagai pewarna alami.

TBT merupakan salah satu senyawa organotin yang digunakan sebagai active biocide dan stabilizer plastik. Senyawa ini termasuk senyawa kimia berbahaya yang terkandung di dalam air di daerah pantai dan muara dalam jumlah besar. Senyawa ini sering dijumpai dalam keadaan terakumulasi pada biota aquatik, termasuk phytoplankton (mikroalga) yang merupakan produsen utama dan berperan sebagai pendaur ulang nutrien dalam ekosistem laut. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan biomagnifikasi pada ekosistem laut. Mikroalga sangat sensitif terhadap senyawa kimia beracun, walaupun dalam dosis rendah. Beberapa contoh mikroalga tersebut antara lain adalah Tetraselmis tetrathele, Nannochloropsis oculata, dan Dunaliella sp., dimana ketiganya ditekankan pada kandungan klorofil a dan b-nya. Pada penelitian yang dilakukan, dijelaskan bahwa kandungan klorofil a dan b pada Tetraselmis tetrathele lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sampel yang dilakukan. Sedangkan pada Nannochloropsis oculata dan Dunaliella sp., kandungan klorofil a dan b lebih tinggi pada konsentrasi TBT yang paling rendah. Semakin tinggi konsentrasi TBT, maka kandungan klorofilnya semakin rendah. Nannochloropsis oculata memiliki sensitivitas paling tinggi terhadap TBT. Hal tersebut sesuai dengan teori dari (Richmond, 1988).

Spirulina atau yang memiliki nama lain Arthrospira sendiri adalah organisme yang termasuk kelompok alga hijau biru (blue-green algae). Spirulina termasuk organisme multiseluer. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Richmond 1988). Spirulina mempunyai ukuran 100 kali lebih besar dari sel darah merah manusia. Spirulina berwarna hijau tua di dalam koloni yang besar. Warna hijau tua ini berasal dari klorofil dalam jumlah tinggi. Secara alami, Spirulina mampu tumbuh di perairan danau yang bersifat alkali dan suhu hangat atau kolam dangkal di wilayah tropis. Spirulina mempunyai membran sel yang tipis dan lembut sehingga mudah dicerna (Tietze 2004). Karakteristik ini juga menyebabkan Spirulina tidak membutuhkan proses pengolahan khusus (Richmond 1988).

Spirulina termasuk ke dalam kelompok blue-green algae / cyanophyta yang telah ada di bumi sejak 3500 juta tahun lalu. Mikroorganisme memiliki ukuran 3,5-10 mikron dan memiliki filamen berbentuk spiral dengan diameter 20-100 mikron. Spirulina mengandung 60% protein dengan asam amino esensial, sepuluh vitamin, dan memiliki khasiat sebagai obat (therapeutic). Selain itu pula, Spirulina memiliki pigmen fikosianin yang merupakan antioksidan dan antiinflamatori, polisakarida yang memiliki efek antitumor dan antiviral, -asam linoleat (GLA) dari Spirulina dapat berfungsi sebagai penurun kolesterol (Desmorieux 2006).

Spirulina memiliki membran tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein dan berfungsi menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi. Cahaya yang diserap oleh fikosianin akan ditransfer kepada allofikosianin kemudian diteruskan menuju pusat reaksi yaitu klorofil a di membran tilakoid. Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis mikroalga Pigmen spirulina terletak pada membran tilakoid yang tersebar di dalam kromoplasma (Diharmi, 2001).

Spirulina fusiformis merupakan salah satu spesies Spirulina yang banyak ditemukan di perairan tawar. Spirulina fusiformis adalah salah satu varian mikroalga Spirulina yang berasal dari Madurai. Tiga varian dari Spirulina fusiformis, yaitu: Varian tipe S, varian tipe C, dan varian tipe H (Richmond 1988). Secara taksonomi Spirulina fusiformis (Pamungkas, 2005), diklasifikasikan sebagai berikut:Kingdom : ProtistaFilum : CyanobacteriaDivisi : CyanophytaKelas : CyanophyceaeOrdo : NostocalesFamili : OscillatoriaceaeGenus : SpirulinaSpesies : Spirulina sp. Gambar 1. Spirulina sp. Sumber: Mussagy et al. 2006Spirulina merupakan mikroalga penghasil fikosianin yang relatif cepat bereproduksi dan mudah dalam sistem pemanenannya. Spirulina dapat hidup dalam lingkungan yang sangat basa (pH 8-11) dengan kandungan senyawa karbonat-bikarbonat yang tinggi, dalam hiduonya spirulina memerlukan cahaya dan CO2 untuk berfotosintesis. Oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis dapat meningkatkan kandungan O2 dalam medium pertumbuhannya. Unsur nitrogen dapat disupali karena mikroalga ini tidak dapat mengkonsumsinya dari udara dan jika kondisi pertumbuhan telah sesuai, biomasa kering spirulina yang didapat bisa mencapai 60-70 ton/hektar kolam (Tri-Panji et. al. 1996).

Menurut penelitian Boussiba dan Richmond (1980), diketahui bahwa biomasaa sel spirulina mudah larut dalam pelarut polar seperti pada air dan buffer bila dibandingkan dengan pelarut yang non-polar. Besa kecilnya fikosianin yang terkandung dalam biomasa sel tergantung dari banyak sedikitnya suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh spirulina. Spirulina merupakan alga mesofilik. Mikroorganisme mesofilik dapat tumbuh dengan optimal pada temperatur 35-40C. Kultur spirulina di laboratorium memiliki suhu optimum pertumbuhannya, yaitu 35-37C, sedangkan suhu minimum berkisar antara 18-20 C (Richmond 1988).

Spirulina memiliki bentuk yang cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium melalui filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan spirulina dilakukan dengan kain penyaring sederhana (Angka & Suhartono, 2000). Spirulina yang masih segar difiltrasi dengan filter berukuran 20m (Desmorieux & Decaen, 2006). Proses pengeringan pada produksi spirulina merupakan pertimbangan ekonomi yang sangat penting dan mencapai 30% dari biaya produksi. Spirulina platensis juga sering disebut dengan sebutan Arthospira platensis, selain menghasilkan protein dan pigmen, mikroalga ini juga memiliki aktivitas antioksidan yang mampu memerangkap radikal bebas karena memiliki komponen fenolik. Jumlah komponen fenolik dapat ditingkatkan dengan mengubah kondisi kultur (Colla et al., 2007).

Pigmen yang ada di spirulina dikelompokkan menjadi tiga kelas: (1) klorofil a terdiri dari 1,7% dari berat sel, (2) karotenoid dan xantofil yang berkisar antara 0,5% berat sel, (3) fikobiliprotein, yaitu fikosianin dan allofikosianin yang secara normal terdiri dari 20% protein seluler dan secara kuantitatif merupakan pigmen yang paling dominan pada spirulina. Keberadaan fikosianin ini sebagai komponen penyimpan nitrogen pada spirulina. Pada ketersedian nitrogen di media menurun atau secara keseluruhan media pertumbuhan akan kehilangan nitrogen, maka fikosianin akan mengalami penurunan dan jumlahnya akan menurun yang berkaitan dengan meningkatknya aktivitas protease yang bertindak dalam purifikasi c-fikosianin (Richmond, 1988).

Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis spirulina yang terletak pada tilakoid tunggal dan tersebar di dalam kromoplasma. Pada permukaan tilakoid terdapat struktur granula yang berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang memiliki fungsi untuk menyerap cahaya dan diduga melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi. Lipofilik pigmen seperti klorofil dan karoten terkandung sebesar 5% dari biomasa kering. Secara umum, pigmen yang terbentuk pada chlorophyceace serupa dengan yang ditemukan pada tanaman tingkat tinggi. Cyanobacteria tidak mengandung klorofil b. Degradasi komponen klorofil seperti phaeophorbide a dapat menyebabkan iritasi kulit pada manusia. Degradasi ini terjadi karena pemindahan magnesium dan pembelahan enzimatis phytol ester oleh chlorophyllase. Pemanasan selama 3 menit pada suhu 100oC dapat digunakan untuk menginaktivasi enzim chlorophyllase (Richmond 1988).

Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat memancarkan warna merah tua ( Carra & hEocha 1976). Fikosianin termasuk golongan biliprotein. Fikosianin sebagai biliprotein diketahui mampu menghambat pembentukan koloni kanker (Adams, 2005). Biliprotein atau biasa dikenal dengan fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga hijau-biru) dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis ( Carra & hEocha 1976). Kelompok pigmen ini diantaranya adalah R-phycoerythrin, C-phycoerythrin B-phycoerythrin, allophycocyanin, R-phycocyanin dan C-phycocyanin.

Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada alga hijau biru, dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga (Richmond 1988). Fikosianin adalah pigmen dominan pada Spirulina (Richmond 1988). Kandungan fikosianin dalam 500 mg tablets spirulina adalah sebanyak 333,0 mg (Tietze 2004). Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (C-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom ( Carra & hEocha, 1976).

Gambar 2. Struktur fikosianin (Sumber : O Carra & O Heocha, 1976).

Struktur fikosianin mengandung rantai tetraphyrroles terbuka yang mungkin mempunyai kemampuan menangkap radikal oksigen (Romay et al. 1998). Struktur kimia chromophores pada c-fikosianin, (tetraphyrroles terbuka) sangat mirip dengan bilirubin. Stocker et al. (1987) diacu dalam Romay et al. (1998) melaporkan bahwa bilirubin adalah antioksidan yang penting untuk fisiologis manusia karena mampu mengikat radikal peroksi dengan cara mendonorkan atom hidrogen yang terikat pada atom C ke 10 pada molekul tetraphyrroles.

Fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi sinar matahari paling efisien (Hall & Rao 1999). Fikosianin merupakan kompleks pigmen-protein yang saling berhubungan dan terlibat dalam pemanenan cahaya dan energi transduksi. Fikosianin dapat bertindak sebagai bahan penyimpan nitrogen karena konsentrasi fikosianin tinggi bila Spirulina platensis ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal (Boussiba & Richmond 1980).

Pigmen fikosianin dapat larut pada pelarut polar seperti air. El-Baky (2003), juga melaporkan bahwa pemanfaatan pigmen fikosianin sebagai bahan pewarna alami pada bahan makanan telah lama dilakukan. Perusahaan Dainippon Ink & Chemicals (Sakura), bahkan telah mengembangkan produk dengan bahan dasar pigmen fikobiliprotein dengan nama Lina Blue. Produk ini telah diaplikasikan pada permen karet, ice sherberts, popsicles, permen, minuman ringan, dairy product, dan wasabi. Sebagai pewarna alami, pigmen fikosianin juga berpotensi menjadi pewarna untuk produk kosmetika yang bernilai jual tinggi. Contoh produk yang telah mereka kembangkan adalah lispstick dan eyeliners (Spolaore et al. 2006).

Kondisi kultur dapat mempengaruhi fase pertumbuhan spirulina, mempengaruhi perubahan komposisi dan dapat meningkatkan atau menurunkan proporsi phycobiliproteins termasuk fikosianin. Jumlah komponen fenolik dapat ditingkatkan dengan mengubah kondisi kultur sehingga dapat meningkatkan antioksidan dan biomassa dari Spirulina platensis. Mikroalga merupakan mikroorganisme fotoautrotof obligat sehingga dalam hidupnya, mikroalga membutuhkan sinar matahari sebagai sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon untuk memproduksi karbohidrat dan ATP. Kultur media dalam air laut yang optimal juga mengandung nutrisi seperti C, N, O, H, P, dan Ca, S, Mg, dan K sebagai trace metal, serta agen pengkelat seperti Fe, Mn, Cu, Mo, dan Co (Walter, 2011).

Dalam mengekstrak pigmen fikosianin dari Spirulina sp., yang pertama-tama dilakukan adalah memasukkan biomassa spirulina ke dalam erlenmeyer. Kemudian melarutkannya dengan aquades (metode ekstraksi pelarut polar) dengan perbandingan 2:25. Hal ini dikarenakan fikosianin dapat larut dalam pelarut polar. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori Syah et al. (2005) yang menyatakan bahwa spirulina mampu menghasilkan pigmen fikosianin berwarna biru. Pigmen ini dapat larut pada pelarut polar seperti air. Hal ini juga diungkapkan dalam penelitian Walter (2011), yaitu bahwa dalam mengekstrak fikosianin dari Spirulina digunakan pelarut polar yang memiliki pH netral yaitu buffer fosfat pH 7.

Langkah selanjutnya yaitu dilakukan pengadukan menggunakan stirrer selama kurang lebih 1-2 jam. Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan untuk memaksimalkan ekstraksi polar. Setelah itu larutan disentrifugasi hingga diperoleh endapan dan supernatant (cairan berisi fikosianin). Hal ini sesuai dengan teori Silveira et al. (2007) yang menyebutkan bahwa langkah setelah ekstraksi polar adalah sentrifugasi untuk mengendapkan debris sel dan mengambil pigmen fikosianin yang larut dalam pelarut polar (air). Tujuan sentrifugasi secara umum adalah untuk memisahkan padatan dan cairan sehingga tidak mengganggu proses pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer. Hal ini didukung oleh Kimball (2005), yang menyatakan bahwa Prinsip utama sentrifugasi adalah memisahkan substansi berdasarkan berat jenis molekul dengan cara memberikan gaya sentrifugal sehingga substansi yang lebih berat akan berada di dasar, sedangkan substansi yang lebih ringan akan terletak di atas. Teknik sentrifugasi tersebut dilakukan di dalam sebuah mesin yang bernama mesin sentrifugasi dengan kecepatan yang bervariasi. Selanjutnya, disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh endapan dan supernatan (cairan berisi fikosianin). Sentrifugasi itu sendiri bertujuan untuk memisahkan fikosianin dari spirulina. Silveira et al. (2007) mengatakan bahwa proses sentrifugasi juga berfungsi untuk memisahkan padatan dan cairan fikosianin yang terekstrak tersebut sehingga pada proses pengukuran absorbansinya tidak terganggu dan mendapatkan hasil yang tepat.

Kemudian, 10 ml supernatan ditambahkan dengan 90 ml aquades lalu diukur kadar fikosianinnya dengan menggunakan spektrofotometer. Supernatan tersebut diukur nilai absorbansinya dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Menurut Prabuthas et al (2011), kemurnian fikosianin dievaluasi berdasarkan rasio absorbansi. Jenis fikosianin-c merupakan yang utama dalam fikobilin-protein pada spirulina. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ekstraksi fikosianin seperti gangguan seluler, metode ekstraksi yang dilakukan, jenis pelarut yang digunakan dan waktu berlangsungnya proses ekstraksi. Achmadi et al. (2002) menambahkan bahwa pengukuran absorbansi digunakan untuk mengetahui seberapa kelarutan fikosianin pada larutan tersebut. Selanjutnya, nilai konsentrasi fikosianin dan yield-nya dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :Konsentrasi Fikosianin / KF (mg/ml) = Yield (mg/g) =

Setelah itu, supernatan sebanyak 8 ml ditambahkan dengan dekstrin dimana perbandingan antara supernatan dan dekstrin adalah 1:1,25. Menurut Reynold (1982), dekstrin sebagai polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-enzim tertentu atau hidrolisis oleh asam, berwarna putih sampai kuning. Dalam pembuatan dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Panjang rantai yang berkurang menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air, memiliki kekentalan lebih rendah dibandingkan pati. Dekstrin bersifat mudah larut dalam air, lebih cepat terdispersi, tidak kental serta lebih stabil daripada pati. Fungsi dekstrin pada umumnya yaitu sebagai pembawa bahan pangan yang aktif seperti bahan flavor dan pewarna yang memerlukan sifat mudah larut air dan bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk (Ribut dan Kumalaningsih, 2004). Arief, (1987), mengemukakan bahwa struktur molekul dekstrin berbentuk spiral, sehingga molekul- molekul flavor yang terperangkap di dalam struktur spiral helix. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat menekan kehilangan komponen volatile selama proses pengolahan.

Penambahan dekstrin ke dalam produk dapat mengurangi kerusakan pigmen akibat oksidasi. Fennema (1976) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah. Dekstrin memiliki sifat yang dapat larut dalam air, lebih stabil terhadap suhu panas sehingga dapat melindungi senyawa volatil dan senyawa yang peka terhadap panas atau oksidasi dalam hal ini adalah untuk melindungi fikosianin.

Dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, sehingga pemakaian dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini justru akan menguntungkan jika pemakaian dekstrin ditujukan sebagai bahan pengisi atau sebagai agen entrapment karena dapat meningkatkan berat produk serta memerangkap senyawa penting untuk mempertahankan stabilitasnya (Wiyono, 2007). Dekstrin dapat digunakan pada proses enkapsulasi, untuk melindungi senyawa volatile, melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, karena molekul dari dekstrin stabil terhadap panas dan oksidasi. Dekstrin dapat melindungi stabilitas flavor selama pengeringan dengan menggunakan spray dryer (Suparti, 2000).

Selanjutnya setelah tercampur secara merata, kemudian dituangkan ke dalam wadah yang dapat digunakan sebagai alas untuk proses pengeringan. Lalu, dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45oC hingga kering, dimana kurang lebih mencapai kadar air sekitar 7%. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Desmorieux & Dacaen (2006) yang mengatakan bahwa apabila suhu pengeringan fikosianin yang digunakan di atas 60oC, maka hal tersebut akan mengakibatkan degradasi fikosianin dan munculnya reaksi maillard. Maka dari itu, suhu yang digunakan pada pengeringan ini adalah 45oC. Proses pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi air bebas yang dapat digunakan oleh bakteri untuk merusak pigmen fikosianin. Setelah dikeringkan, proses selanjutnya adalah dilakukan penumbukan hingga berbentuk powder apabila membentuk adonan kering yang gempal.

Metode pengeringan fikosianin yang dilakukan dalam praktikum ini sudah sesuai dengan yang diungkapkan oleh Desmorieux & Decaen (2006), yang menyatakan bahwa pengeringan sebaiknya dilakukan dengan aliran udara dan pemanasan yang dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60C dan dengan kecepatan udara 1,9 hingga 3,8m/s karena pengeringan yang dilakukan dalam praktikum menggunakan suhu 45C. Suhu pengeringan di atas 60C akan menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi maillard. Kondisi pengeringan secara konfeksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan pada kondisi suhu dibawah 40C dan kecepatan udara dibawah dan 2,5m/s. Pengeringan menggunakan cahaya matahari langsung juga dapat dilakukan tetapi tidak direkomendasikan untuk produk bagi konsumsi manusia selain karena dapat menimbulkan aroma yang tidak diinginkan juga dapat meningkatkan jumlah kontaminasi bakteri. Pengeringan spray memberikan hasil yang cukup memuaskan dan secara umum tidak berakibat buruk terhadap kandungan gizi spirulina. Penyimpanan spirulina dilakukan dalam keadaan kering karena spirulina kering tidak mudah terfermentasi (Angka dan Suhartono 2000).

Pada hasil pengamatan yang diperoleh dalam praktikum, diperoleh bahwa dengan pengukuran optical density (OD615 dan OD652), konsentrasi fikosianin, yield fikosianin dan warna. Pada kelompok D1 nilai OD615 sebesar 0,0898, nilai OD652 sebesar 0,0442. Pada kelompok D2 nilai OD615 sebesar 0,0898, nilai OD652 sebesar 0,0439 sehingga. Pada kelompok D3 nilai OD615 sebesar 0,0894, nilai OD652 sebesar 0,0438. Pada kelompok D4 nilai OD615 sebesar 0,0892, nilai OD652 sebesar 0,0439. Pada kelompok D5 nilai OD615 sebesar 0,0895, nilai OD652 sebesar 0,0439dan pada kelompok D6 nilai OD615 sebesar 0,0896, nilai OD652 sebesar 0,0439. Nilai absorbansi tertinggi pada panjang gelombang 615 nm adalah pada kelompok D1 dan D2, yaitu 0,0898. Sedangkan nilai absorbansi terendah pada panjang gelombang 615 nm dihasilkan oleh kelompok D4, yaitu 0,0892. Di sisi lain, nilai absorbansi dengan panjang gelombang 652 nm mengalami penurunan dibandingkan dengan nilai absorbansi dengan panjang gelombang 615 nm. Pada panjang gelombang 652 nm, dihasilkan nilai absorbansi terbesar oleh kelompok D1, yaitu 0,0442, sedangkan nilai absorbansi terendah dihasilkan oleh kelompok D3, yaitu 0,0438. Konsentrasi fikosianin yang dihasilkan adalah 0,013 mg/ml untuk semua kelompok, dan yield yang dihasilkan adalah sebesar 0,81 mg/g untuk semua kelompok.

Secara umum, rata-rata nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm adalah 0,0896, sedangkan rata-rata nilai absorbansi pada panjang gelombang 652 nm adalah 0,0439. Menurut Fox (1991), nilai OD atau absorbansi dipengaruhi oleh konsentrasi dan kejernihan larutan. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat bahwa terdapat korelasi antara turbidity dan OD yang didapat, dimana semakin keruh suatu larutan maka nilai OD yang didapatkan akan semakin tinggi pula. Selain itu, berdasarkan percobaan dihasilkan konsentrasi fikosianin sebesar 0,013 mg/ml untuk semua kelompok, dan yield yang dihasilkan adalah sebesar 0,081 mg/g. Yield yang dihasilkan dari percobaan ini berbanding lurus dengan konsentrasi fikosianin yang dihasilkan, dimana semakin tinggi konsentrasi fikosianin yang dihasilkan maka yield yang dihasilkan juga akan semakin tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Secara keseluruhan, warna fikosianin yang dihasilkan sebelum dioven adalah biru tua, sedangkan setelah dioven berubah warna menjadi biru muda.

Pada jurnal A Large-Scale Preparation Method of High Purity C-Phycocyanin mengatakan bahwa spirulina dikeringkan menjadi bubuk yang diinkubasi dengan 1 mg/ml lisozim dapat pecah dan homogen dengan menggunakan tekanan tinggi. Ekstrak kasar diendapkan dengan menggunakan amonium sulfat, dan dimurnikan oleh hidrofobik kromatografi (Song, 2013).

Pada jurnal Phycocyanin extraction from Spirulina platensis and extract stability under various pH and temperature mengatakan bahwa spirulina dapat digunakan untuk pewarna makanan, nutraceutical, dan immuno diagnostik. Struktur sel spirulina dikelompokkan dalam bakteri prokariotik, dan karotenoid 0,4%, klorofil 1,0% dan phycocyanin 14% merupakan pigmen utama yang ada didalam spirulina. Proses sonication sangat efektif dalam ekstrak spirulina dengan pengaruh suhu (Duangsee et al, 2009).

Pada jurnal Impact of Culturing Media on Biomass Production and Pigments Content of Spirulina platensis mengatakan bahwa spirulina merupakan salah satu mikroalga yang penting dan memiliki pigmen yang sangat memiliki banyak manfaat. Kandungan pigmen spirulina dengan inkubasi 40 hari, memiliki waktu 30 hari dalam menghasilkan produksi biomassa yang maksimum (Marrez et al, 2013).

Pada jurnal In vitro and in vivo investigations of the wound healing effect of crude Spirulina extract and C-phycocyanin mengungkapkan bahwa spirulina dapat di ekstrak dengan menggunakan in vitro dan in vivo yaitu dengan model penyembuhan luka. Spirulina telah digunakan sebagai sumber obat-obatan yang sangat potensial, tetapi belum diketahui komponennya. Model in vitro digunakan untuk menyelidiki efek spirulina mentah dan ekstrak pada proses yang terlibat dalam regenerasi dan migrasi (Gur et al, 2013).

Pada jurnal Effect of Carbon Content, Salinity and pH on Spirulina platensis for Phycocyanin, Allophycocyanin and Phycoerythrin Accumulation mengungkapkan bahwa spirulina merupakan sumber biopigmen yang digunakan sebagai pewarna alami dalam makanan, kosmetik, produk farmasi dan beberapa aplikasi nutraceuticals, dan sering digunakan dalam penelitian bioteknologi (Sharma et al, 2014).

21

203. KESIMPULAN

Spirulina mampu menghasilkan pigmen fikosianin berwarna biru. Pigmen yang terdapat di dalam spirulina dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu klorofil a, karotenoid dan xantofil, serta fikobiliprotein yaitu fikosianin dan allofikosianin yang secara normal terdiri dari 20% protein seluler dan secara kuantitatif merupakan pigmen yang paling dominan pada spirulina. Fikosianin dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami dalam bahan pangan maupun non-pangan. Pigmen fikosianin dapat larut pada pelarut polar seperti air. Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan untuk memaksimalkan ekstraksi polar. Tujuan sentrifugasi secara umum adalah untuk memisahkan padatan dan cairan sehingga tidak mengganggu proses pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer. Hasil ekstraksi fikosianin dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Tujuan penambahan dekstrin adalah untuk melindungi pigmen selama pemanasan, bahan pengisi atau sebagai agen entrapment karena dapat meningkatkan berat produk serta memerangkap senyawa penting untuk mempertahankan stabilitasnya. Pengeringan fikosianin dilakukan pada suhu 45oC untuk mencegah terjadi nya degradasi fikosianin oleh panas yang terlalu tinggi dan timbulnya reaksi maillard. Besarnya nilai OD berbanding lurus dengan perolehan KF dan yield fikosianin. Untuk memperoleh hasil warna yang maksimal (hijau tua), maka metode pencampuran supernatant dan dekstrin perlu diperhatikan.

Semarang, 20 Oktober 2014 Asisten dosen Agita Mustikahandini

Thervina Yenni Tri Kusuma 12.70.0121

4. DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS, Jayadi, Tri-Panji. (2002). Produksi pigmen oleh Spirulina platensis yang ditumbuhkan pada media limbah lateks pekat. Hayati. 9(3):80-84.

Adams, M. (2005). Superfood for Optimum Health: Chlorella and Spirulina. New York: Truth Publishing International, Ltd.

Angka SI dan Suhartono MT. (2000). Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPL-IPB.

Arief, M. (1987). Ilmu Meracik Obat Berdasar Teori Dan Praktek. Universitas Gajahmada Press. Yogyakarta.

Arylza, IS. (2003). Isolasi pigmen bru fikosianin dari mikroalga Spirulina plantesis. Journal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38:79-92.

Borowitzaka MA dan Borowitzka LJ. (1988). Dunaliella dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds). Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge.

Boussiba S and Richmond A. (1980). c-Phycocianin as a storage protein in the blue-green alga Spirulina plantesis. Archives of Microbiology 125, 143-147.

Chandra, Budi Atrika. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Colla, Luciane M., Eliana Badiale F., Jorge A. V. Antioxidant Properties of Spirulina platensis Cultivated Under Different Temperatures and Nitrogen Regimes. Z. Naturforsch 59c: 55-59.

Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70.

Diharmi A. 2001. Pengaruh Pencahayaan Terhadap Kandungan Pigmen Bioaktif Mikrolaga Spirulina platensis Strain Lokal (INK). [Tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Duangsee, Rachen, Natapas Phoopat, and Suwayd Ningsanond. (2009). Phycocyanin extraction from Spirulina platensis and extract stability under various pH and temperature. As. J. Food Ag-Ind. 2009 , 2(04), 819-826. ISSN 1906-3040

El-Baky HHA. 2003. Over production of phycocyanin pigment in blue green alga Spirulina sp. And its Inhibitory effect on growth of Ehrlich Aschites Carcinoma Cells Journal Medical Science 3(4):314-324.

Fennema, O.R. (1976). Principles of Foods Science. Marcel Dekker. Inc. New York.

Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.

Gur, Canan Sevimli., Deniz Kiraz Erdogan, Ilyas Onbaslar, Pergin Atilla, Nur Cakar, and Ismet Deliloglu Gurhan. (2014). In vitro and in vivo investigations of the wound healing effect of crude Spirulina extract and C-phycocyanin. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 7(8), pp. 425-433, 25 February, 2013 Available online at http://www.academicjournals.org/JMPR DOI:10.5897/JMPR12.705 ISSN 1996-0875

Hall DO, Rao KK. (1999). Photosynthesis Six edition. Cambridge: ,Cambridge University Press.

Kimball, J.W. (2005). Biologi. Terjemahan oleh: Siti Soetarmi Tjitrosomo & Nawangsari Sugiri. Jakarta: Erlangga.

Marrez, Diaa A., Mohamed M. Naguib, Yousef Y. Sultan, Zakaria Y. Daw, and Aziz M. Higazy. (2013). Impact of Culturing Media on Biomass Production and Pigments Content of Spirulina platensis. International Journal of Advanced Research (2013), Volume 1, Issue 10, 951-961. ISSN 2320-5407

Mohammad, Johan. (2007). Produksi dan Karakteristik Biopigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis serta Aplikasinya Sebagai Pewarna Minuman. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.

Mussagy A, Annadotter H, Cronberg G. (2006). An experimental study of toxin production in Arthrospira fusiformis (Cyanophyceae) isolated from African waters. Toxicon 48:10271034.

Carra P, hEocha C. (1976). Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. 1976. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. London: Academic press inc. Hal 328-371.

Pamungkas Estiamboro. 2005. Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Kujang dengan Spirulina sp. pada Reaktor Curah (Batch). [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Prabuthas P, et al. (2011). Standardization of rapid and economical method for neutraceuticals extraction from algae. India

Reynolds, James E.F. (1982). Martindale The Extra Pharmacopolia, Edition Twenty Eigth. The Pharmacentical Press. London.

Ribut, S. dan S. Kumalaningsih, (2004). Pembuatan bubuk sari buah sirsak dari bahan baku pasta dengan metode foam-mat drying. Kajian Suhu Pengeringan, Konsentrasi Dekstrin dan Lama Penyimpanan Bahan Baku Pasta. http://www.pustaka-deptan.go.id.

Richmond A. (1988). Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor. Micro-algal biotechnology. Cambridge: Cambridge University Press.

Romay C, Armesto J, Remirez D, Gonzlez R, Ledn N, Garca I. (1998). Antioxidant and anti-inflammatory properties of c-phycocyanin from blue-green algae. Inflammation Research 47:36-41.

Sharma, Gaurav., Manoj Kumar, Mohammad Irfan Ali, and Nakuleshwar Dut Jasuja. (2014). Effect of Carbon Content, Salinity and pH on Spirulina platensis for Phycocyanin, Allophycocyanin and Phycoerythrin Accumulation. J Microb Biochem Technol. ISSN: 1948-5948 JMBT, an open access journal. Volume 6(4): 202-206 (2014) 202\

Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.; Bioresour. Technol. 2007, 98, 1629.

Song, Wenjun., Cuijuan Zhao, and Suying Wang. (2013). A Large-Scale Preparation Method of High Purity C-Phycocyanin. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics, Vol. 3, No. 4, July 2013

Spolaroe P, Joanis CC, Duran E, Isambert A. 2006. Comercial Application of Microalgae Review. J Biosci and Bioeng. 101 (2): 87-96.

Suparti, W. 2000. Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: pengaruh Suhu, Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaaya. Malang.

Syah et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Tietze HW. 2004. Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing.

Tim IPPOM MUI. (2005). Dilema Pewarna Makanan. www.republika-online.com. Diakses tanggal 11 Oktober 2014.

Tri Panji S, Achmadi, Tjahjadarmawan E. 1996. Produksi asam gammalinolenat dari ganggang mikro Spirulina platensis menggunakan limbah lateks pekat. Menara Perkebunan 64 (1): 34-44.

Walter, Alfredo, Julio Cesar de C., Vanete T. S., Ana B. B., Vanessa G., and Carlos R. S. (2011). Study of Phycocyanin Production from Spirulina platensis Under Different Light Spectra. Vol. 54, pp 675-682.

Wiyono, R. (2007). Studi Pembuatan Serbuk Effervescent Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Kajian Suhu Pengering, Konsentrasi Dekstrin, Konsentrasi Asam Sitrat dan Na-Bikarbonat.

5. LAMPIRAN

5.1. Foto

Fikosianin kelompok D1-D6 sebelum dioven

Fikosianin kelompok D1-D6 sesudah dioven

Fikosianin serbuk

5.2. Perhitungan

Rumus perhitungan :

Konsentrasi Fikosianin / KF (mg/ml) =

Yield (mg/g) =

Kelompok D1:KF = = = 0,013 mg/mlYield = = = 0,081 mg/g

Kelompok D2:KF = = = 0,013 mg/mlYield = = = 0,081 mg/g

Kelompok D3:KF = = = 0,013 mg/mlYield = = = 0,081 mg/gKelompok D4:KF = = = 0,013 mg/mlYield = = = 0,081 mg/g

Kelompok D5:KF = = = 0,013 mg/mlYield = = = 0,081 mg/g

Kelompok D6:KF = = = 0,013 mg/mlYield = = = 0,081 mg/g

5.3. Laporan Sementara5.4. Diagram Alir