4
Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden Oleh: M Hadi Shubhan BELAKANGAN ini muncul fenomena cukup merisaukan dalam praktik ketatanegaraan. Beberapa undang-undang lahir tanpa pengesahan (tidak ditandatangani) Presiden. Paling sedikit ada empat undang-undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara tanpa pengesahan dari Presiden. Keempat undang-undang (UU) itu adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 18/2003 tentang Advokat, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, dan UU No 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Praktik ketatanegaraan ini baru muncul di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sepanjang sejarah ketatanegaraan RI tidak pernah terjadi lahirnya sebuah UU tanpa ditandatangani Presiden. Apakah praktik ketatanegaraan seperti ini dapat dibenarkan secara hukum? Atau dibenarkan secara hukum, tetapi tidak etik dalam fatsun (tata krama) politik. Marilah dikaji dengan pikiran jernih, demi kebaikan bersama, baik antara penguasa, bangsa, maupun antarlembaga tinggi negara. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kekuasaan membentuk UU ada di tangan Presiden. Dalam Pasal 5 UUD 1945 dikatakan, Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Dalam masa itu, proses pembentukan UU dimulai dengan dibuatnya draf rancangan undang-undang (RUU) oleh pemerintah, lalu draf RUU itu diajukan ke DPR untuk dibahas dan mendapatkan persetujuan. Setelah dibahas dan diubah, ditambah, dan dikurangi, DPR menyetujui RUU itu. Presiden mengesahkan (menandatangani) RUU itu, lalu diundangkan dalam lembaran negara menjadi undang-undang lengkap dengan nomor undang-undangnya.

Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden

Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden

Oleh: M Hadi Shubhan

BELAKANGAN ini muncul fenomena cukup merisaukan dalam praktik ketatanegaraan. Beberapa undang-undang lahir tanpa pengesahan (tidak ditandatangani) Presiden. Paling sedikit ada empat undang-undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara tanpa pengesahan dari Presiden.

Keempat undang-undang (UU) itu adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 18/2003 tentang Advokat, UU No 32/2002 tentang Penyiaran, dan UU No 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Praktik ketatanegaraan ini baru muncul di zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sepanjang sejarah ketatanegaraan RI tidak pernah terjadi lahirnya sebuah UU tanpa ditandatangani Presiden. Apakah praktik ketatanegaraan seperti ini dapat dibenarkan secara hukum? Atau dibenarkan secara hukum, tetapi tidak etik dalam fatsun (tata krama) politik. Marilah dikaji dengan pikiran jernih, demi kebaikan bersama, baik antara penguasa, bangsa, maupun antarlembaga tinggi negara.

Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kekuasaan membentuk UU ada di tangan Presiden. Dalam Pasal 5 UUD 1945 dikatakan, Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.

Dalam masa itu, proses pembentukan UU dimulai dengan dibuatnya draf rancangan undang-undang (RUU) oleh pemerintah, lalu draf RUU itu diajukan ke DPR untuk dibahas dan mendapatkan persetujuan. Setelah dibahas dan diubah, ditambah, dan dikurangi, DPR menyetujui RUU itu. Presiden mengesahkan (menandatangani) RUU itu, lalu diundangkan dalam lembaran negara menjadi undang-undang lengkap dengan nomor undang-undangnya.

Kendati saat itu DPR juga dapat berinisiatif untuk mengajukan RUU, hak inisiatif Dewan selama ini tidak pernah diimplementasikan dalam praktik ketatanegaraan. Hal ini bisa dimafhumi karena kekuasaan eksekutif saat itu amat kuat, bahkan tidak adanya kontrol terhadapnya. DPR yang seharusnya punya political control atas kekuasaan eksekutif, nyaris tidak berdaya. Hal itu juga berlaku bagi Mahkamah Agung dan jajaran strukturalnya yang seharusnya mempunyai yuridis control, hampir tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan, masyarakat sipil serta komunitas pers yang semestinya mempunyai social control juga tidak berdaya.

SETELAH reformasi, segala bentuk tatanan bernegara dan bermasyarakat berubah, termasuk UUD 1945. Salah satu hal terpenting dari perubahan UUD itu adalah berubahnya kekuasaan pembentuk UU. Pada UUD sebelum perubahan dikatakan, Presiden memegang kekuasaan membentuk UU

Page 2: Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden

dengan persetujuan DPR. Sedangkan dalam UUD hasil amandemen dikatakan, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Berbeda dengan proses lahirnya UU dalam UUD 1945 sebelum diubah, kini proses lahirnya UU dimulai dengan diajukannya draf RUU oleh DPR, kendati Presiden juga berhak mengajukan RUU. Draf RUU yang diajukan DPR disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara.

Presiden lalu mendelegasikan tugas untuk mengkaji dan mempelajari RUU itu pada menteri terkait. Menteri terkait yang nantinya akan menggodok bersama DPR. Setelah dicapai kesepakatan bersama antara pemerintah melalui menteri yang ditugasi Presiden dengan DPR, maka RUU itu dikatakan telah mendapat persetujuan DPR dan pemerintah.

Selanjutnya RUU yang telah mendapat persetujuan pemerintah dan DPR disampaikan kepada Presiden melalui Sekretariat Negara untuk mendapatkan pengesahan (baca: penandatanganan) Presiden. Tahap terakhir lahirnya UU adalah pengundangan dalam Lembaran Negara.

PERSOALAN yuridis yang lalu muncul adalah bagaimana jika sebelum diundangkan dalam Lembaran Negara, UU itu tidak mendapat pengesahan dari Presiden? Dalam Pasal 20 Ayat (5) UUD hasil amandemen dikatakan, dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU tersebut sah menjadi UU.

Secara hukum, presiden berhak untuk tidak menandatangani atau tidak mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan Pemerintah; dan RUU itu sah secara hukum sebagai UU. Namun, tidak adanya pengesahan Presiden menyisakan banyak masalah dan pertanyaan.

Pertama, mengapa Presiden sampai tidak setuju terhadap RUU itu dengan cara tidak mengesahkannya? Padahal, dalam proses RUU itu pemerintah telah dilibatkan sejak semula di mana DPR mengajukan RUU kepada Presiden, lalu Presiden menugaskan menteri terkait untuk menindaklanjuti. Di sini terjadi ambiguitas pemerintah. Di satu sisi, pemerintah melalui menteri terkait menyetujui RUU itu, sementara di sisi lain Pemerintah, dalam hal ini Presiden, menolak RUU itu.

Kedua, tiadanya pengesahan Presiden atas UU itu menunjukkan lemahnya kontrol Presiden terhadap para pembantunya (menteri). Gambaran yang tertangkap, menteri yang ditugasi menindaklanjuti RUU itu tidak melaporkan perkembangan tugasnya kepada Presiden. Akibatnya, mungkin ada substansi RUU yang prinsip tidak dikehendaki Presiden, tetapi sudah selesai dibahas dan disetujui DPR dan menteri itu; maka Presiden tidak mau mengesahkannya.

Page 3: Fenomena UU Tanpa Pengesahan Presiden

Sinyalemen fenomena ini secara eksplisit diakui Sekretaris Negara dalam dengar pendapat dengan DPR baru-baru ini. Bila indikasi ini yang terjadi, maka betapa manajemen ketatanegaraan kita mencapai titik nadir dan memprihatinkan. Mengapa? Itu berarti masing-masing pembantu Presiden berjalan sendiri-sendiri tanpa ada satu komando terarah, atau tidak mau menaati komando. Pada dimensi lain, hal ini menandakan tingkat leadership Presiden kurang mengakar pada jajaran tim kerjanya.

Ketiga, jika persoalan pertama dan kedua tidak terjadi, sebenarnya Presiden berupaya mencari selamat sendiri. Presiden selalu mengamati perkembangan dari tiap RUU. Bila dalam perkembangannya ada resistensi dari masyarakat atau sekelompok masyarakat terhadap suatu RUU, maka Presiden hampir dipastikan menghindari tanggung jawabnya dengan cara tidak mengesahkan RUU itu. Dengan demikian, jika kelak di kemudian hari "ada apa-apa", maka dengan ringan Presiden akan mengatakan dirinya dulu sudah tidak setuju atas RUU itu.

Indikasi ketiga itu kemungkinan besar terjadi. Hal itu terbukti dari keterangan Sekretaris Negara pada kesempatan lain yang menyatakan, jika nanti di kemudian hari terjadi sesuatu karena RUU itu, maka Presiden bertanggung jawab secara moral, sedangkan jika Presiden tidak menandatangani RUU itu, Presiden tidak disalahkan karena UUD membolehkan demikian, di mana sampai batas 30 hari tidak ditandatangani Presiden, UU itu sudah berlaku.

Betapa naif alasan bertanggung jawab secara moral untuk tidak menandatangani suatu RUU. Moral macam apa yang dijadikan tolok ukur?

Jika diteliti ke belakang, pada empat undang-undang yang tidak mendapat pengesahan, akan terlihat Presiden mencari aman. UU Penyiaran telah terjadi resistensi cukup keras yang dilakukan sebagian besar masyarakat penyiaran. UU Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau telah terjadi pro-kontra antarmasyarakat Riau sendiri. UU Advokat juga terjadi perdebatan panjang di mana sarjana Syariah dibolehkan menjadi advokat. Demikian pula UU Keuangan Negara di mana terjadi benturan kepentingan antar-intern lembaga pemerintah, seperti Bapenas dengan Departemen Keuangan.

Hal yang mungkin dilakukan Presiden adalah tetap mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan pemerintah, kendati Presiden tidak berkenan atas RUU itu. Jika di kemudian hari terjadi sesuatu yang tidak diprediksikan seperti semula, UU itu bisa diamandemen lagi.

M Hadi Shubhan, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana UNAIR

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/17/opini/435867.htm