10
Farmakokinetik 1. Cara Penggunaan Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit. Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30 menit setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05μg/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan analgesia post operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam. Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS. Diperkirakan <0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak konsentrasi plasma. Penyebab lambatnya penetrasi morfin ke CNS antara lain: a. Kelarutan lemak yang rendah. b. Tingginya derajat ionisasi pada pH fisiologis. c. Ikatan protein. d. Konjugasi cepat dengan asam glukoronat.

Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bububu

Citation preview

Page 1: Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

1. Cara Penggunaan

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -

30 menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin

tidak diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV

selama masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat

dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30

menit.

Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya

obat menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30 menit

setelah pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma.

Analgesia cukup mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling

tidak 0,05μg/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan analgesia post

operatif yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam.

Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS. Diperkirakan

<0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak konsentrasi

plasma. Penyebab lambatnya penetrasi morfin ke CNS antara lain:

a. Kelarutan lemak yang rendah.

b. Tingginya derajat ionisasi pada pH fisiologis.

c. Ikatan protein.

d. Konjugasi cepat dengan asam glukoronat.

Induksi dengan karbon dioksida akan meningkatkan aliran darah otak dan

meningkatkan pengiriman morfin ke otak Berbeda dengan CNS, morfin akan

terakumulasi dengan cepat pada ginjal, hati dan otot skeletal. Morfin, tidak

mengalami first pass metabolism paru secara berarti seperti pada fentanyl

2. Metabolisme Morfin

Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik.

Morfin dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra

hepatik lebih banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan

menjadi morfin 3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1).

Sekitar 5% morfin akan mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian

Page 2: Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

kecil diproses menjadi kodein. Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin, sekitar

7-10% diekskresikan melalui empedu.

Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian.

Sejumlah kecil morfin (1-2%) ditemukan dalam urine tanpa perubahan. Morfin 3

glukoronat merupakan metabolit yang inaktif. Efek analgesia dan depresi napas

ditimbulkan oleh morfin 6 glukoronat melalui aktivasi reseptor μ. Gangguan ventilasi

karbon dioksida dipengaruhi oleh morfin dan morfin 6 glukoronat.

Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal

ini menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien

cirrhosis hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini

dimungkinkan karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada

pasien dengan gangguan hati.

Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan

terganggu dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak

terduga pada dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh

monoamin oksidase inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan

bila kedua obat diberikan bersamaan.

3. Waktu Paruh Morfin

Setelah pemberian intravena, morfin 3 glukoronat akan lebih lambat

dieliminasi. Sedangkan penurunan konsentrasi plasma morfin lebih disebabkan oleh

metabolisme. Hanya sebagian kecil morfin yang akan diekskresikan melalui urin

tanpa dimetabolisme.

Konsentrasi plasma morfin lebih tinggi pada orang tua dibandingkan dewasa

muda. Pada bayi berumur kurang dari 4 hari, klirens morfin akan menurun dan waktu

paruhnya menjadi lebih panjang dibandingkan pada bayi yang lebih tua. Hal ini

menunjukkan bahwa depresi napas lebih sensitif pada neonatus dibandingkan pada

anak-anak. Pada pasien dengan gagal ginjal, konsentrasi plasma dan CSF morfin dan

metabolitnya akan lebih tinggi sehingga memerlukan perhatian khusus. Konsentrasi

morfin pada kolostrum ibu-ibu yang mendapat morfin hanya sedikit dan tidak

signifikan pada pemberian air susu ibu ke bayi.

Morfin menunjukkan potensi analgesik yang lebih tinggi dan durasi lebih lama

pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Konsumsi morfin post operasi pada laki-laki

lebih tinggi daripada perempuan. Sebaliknya, morfin menurunkan renspon ventilasi

Page 3: Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

terhadap karbon dioksida pada perempuan sedangkan efek yang sama tidak ada pada

laki-laki. Morfin tidak mengganggu ambang batas apneu dan menurunkan kepekaan

akan hipoksia pada perempuan sedangkan pada laki-laki sebaliknya.

Farmakodinamik

a. Susunan saraf pusat

Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena

morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai

afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor dan . Efek morfin pada SSP berupa

analgesia dan narkosis. Morfin dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien

yang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya pada orang normal pada dosis

yang sama menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir, atau takut disertai mual dan

muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar

berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, badan

terasa panas, muka gatal, mulut terasa kering. Dosis terapi (15-20mg) morfin akan

menyebabkan orang tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan

miosis.

Efek-efek dari morfin :

Analgesia

Efek analgesia yang ditimbulkan dari opioid akibat kerja opioid pada reseptor µ.

Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama

pada tingkat spinal.

Eksitasi

Morfin dan opioid sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan

konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin adalah

idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatoty level) SSP. Pada wanita

mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului

depresi tetapi depresi dan delirium jarang timbul. Pada beberapa spesies efek

eksitasi morfin jauh lebih jelas misalnya pada kucing dapat menimbulkan mania,

midriasis, hipersalivasi dan hipertermia, konvulsi tonik, dan klonik yang dapat

menimbulkan kematian.

Miosis

Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ dan

menyebabkan miosis. Miosis disebabkan oleh perangsangan pada segmen otonom

Page 4: Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

inti saraf okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin. Pada

intoksikasi morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas. Morfin dalam

dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler,

baik pada orang normal maupun pasien glaukoma.

Depresi napas

Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan efek langsung terhadap

pusat napas di batang otak. Pada dosis kecil sudah langsung menimbulkan depresi

napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.

Mual dan muntah

Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic

chemoreceptor trigger zone (CTZ) di medulla oblongata, bukan di stimulasi pusat

emetic sendiri. Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi

vestibuler, sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas

vestibuler.

b. Saluran cerna

Lambung

Morfin menghambat sekresi HCI, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin

menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan

motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya

pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan

juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak

mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot

polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin

Usus Halus

Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan

makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsif,

meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas

terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya

absorps air menyebabkan isi usus menjadi lebih pada: Tonus valvula ileosekalis

juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap melawan efek morfin ini.

Usus besar

Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan

tonus dan meyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon

Page 5: Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi

morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun

tidak lengkap efek morfin pada kolon dapat diantagonis oleh stropin. Efek

konstipasi kodein lebih lemah daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus men-

derita periode konstipasi dan diare secara bergantian.

Duktus Koledokus

Dosis terapi morfin, kodein: nidromorfinon dan metilhidromorfinon menimbulkan

peninggian tekanan dalam duktus koledokus; zan efek ini dapat menetap selama 2

jam atau ebih. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium

sampai gejala kolik berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin cada

pasien kolik empedu disebabkan oleh efek sentral morfin, namun pada beberapa

pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan radiografis terlihat

konstriksi sfingter Oddi. Atropin menghilangkan sebagian spasme ini. Pemberian

nalorfin, amilniltrit secara inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan

meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.

c. Sistem Kardiovaskular

Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi

maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada

pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah

turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.

Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk

bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik

dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan

efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan

histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi.

Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak

dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak

konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah.

Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan

hipovolemia karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat

fenotiazin menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus

digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien cor-pulmonale, sebab dapat

menyebabkan kematian.

Page 6: Farmakokinetin Dan Farmakodinamik

d. Otot polos

Morfin menimbulkan peninggian tonus, serta kontraksi ureter dan kandung

kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropin subkutan.

Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh efek analgetik morfin.

Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter

juga berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi,

tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya

partus. Pada uterus aterm morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar

dan netralisasi efek oksitosin. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan

menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin

mengurangi nyeri dismenore.

e. Kulit

Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit,

sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan

dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya

penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang

berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan

histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf.

f. Metabolisme

Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodila-

tasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme

dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenelin

yang menyebabkan gliko-genolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,

disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan ekskresi.

Referensi :

1. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In : Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia : Lipincott William & Wilkins; 2006, 87-126