22
elaksanaan Putusan PTUN dan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Supremasi Hukum administrator 1 2 3 4 5 ( 14 Votes ) User Rating: / 14 Poor Best Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN. Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode

FANDOM HAN.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FANDOM HAN.docx

elaksanaan Putusan PTUN dan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Supremasi Hukum

administrator

1 2 3 4 5

( 14 Votes ) User Rating:  / 14

Poor Best 

Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.

Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan

Page 2: FANDOM HAN.docx

pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.

Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.

Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada

Page 3: FANDOM HAN.docx

negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas.

Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).

Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.

Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan

Page 4: FANDOM HAN.docx

sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom).

Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat.

Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q. putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Oleh: Frans Hendra WinartaSumber: Komisi Hukum Nasional

Tuesday, November 27, 2012     Text SizeLogin

Halaman Utama Tentang Kami

o Sejarah o Sambutan Ketua o Struktur Organisasi o Visi dan Misi o Profil

Search...

Page 5: FANDOM HAN.docx

Hakim Pejabat Struktural Pegawai

o Wilayah Hukum o Dapur Redaksi

Perkara o Prosedur Beracara o Publikasi Putusan o Biaya Perkara o Data Perkara

PerkaraTahun Lalu 2008 2009 2010

Perkara 2011 Perkara 2012

o Statistik Perkara o Direktori Putusan

Tahun 2011 Tahun 2012

Agenda Sidang o Jadwal Sidang

Transparansi o Transparansi APBN

DIPA Realisasi DIPA

o Transparansi PNBP o Transp. Biaya Perkara

Laporan Keuangan Perkara SOP Pngembalian Sisa Panjar

Fasilitas o Berita Terkini o Pengumuman o Peraturan-Peraturan o Artikel o Pengaduan Masyarakat o Galery Foto o Download o Kontak Kami

Pelaksanaan Putusan PTUN dan Otonomi Daerah Sebagai Wujud Supremasi Hukum

Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan

Page 6: FANDOM HAN.docx

PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.

Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan keputusan administratif.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.

Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.

Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.

Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan

Page 7: FANDOM HAN.docx

kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas.

Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute depersonelle).

Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.

Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tersebut. Namun, dalam hal apabila pejabat TUN adalah gubernur dan bupati karena sesuai dengan UU Otonomi Daerah secara hirarki ia tidak mempunyai atasan sebagai pejabat yang berwenang untuk menghukum, maka dalam hal ini tentunya hakim dapat memilih pengenaan uang paksa (dwangsom).

Langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk merevisi Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 merupakan salah satu kemajuan dari perkembangan kepastian hukum. Namun ketentuan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut masih belum efektif dilaksanakan. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 9 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petujnjuk teknis. Diharapkan dengan adanya revisi tersebut pelaksanaan otonomi daerah dapat terkontrol dengan

Page 8: FANDOM HAN.docx

seimbang dan adil sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakat.

Pada hakekatnya supremasi hukum hanya dapat tercapai kalau putusan pengadilan c.q. putusan PTUN dapat dieksekusi sehingga menimbulkan efek jera kepada para pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Oleh: Frans Hendra WinartaSumber: Komisi Hukum Nasional

Atas© Powered by PTUN-Mataram

Hambatan Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang Mengakibatkan Hilangnya Wibawa PTUN

1

Assalamualaikum wr. wb…

bermanfaat bagi yang menaruh minat pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Hambatan Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang Mengakibatkan Hilangnya Wibawa PTUN

Sebelum dikeluarkannya Undang – Undang No. 5 tahun 1986, peradilan administrasi Indonesia masih bersifat semu. Yang dimaksud dengan pengadilan tata usaha negara pada masa itu adalah yang disebut peradilan administratif dalam ketetapan Majelis permusyaratan rakyat sementara nomor II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut peradilan kepegawaian dalam pasal 21 UU No 18 tahun 1961 tentang ketentuan pokok-pokok kepegawaian (LN tahun 1961 No 263-TLN No 1312.)

Pada masa ini peradilan bersifat tidak bebas karena pengadilan tidak lepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan pembuat undang-undang. Maka karena itu, semua peraturan pelaksanaan mengenai peradilan administrasi juga bercorak peradilan yang tidak bebas. Keadaan tersebut jelas merupakan penyimpangan dari negara hukum berdasarkan pancasila, dan bertentangan diantaranya dengan pasal 1 ayat 2, pasal 5 ayat 1, pasal 7, pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945. pada waktu itu semua kekuasaan baik di bidang legislatif, eksekutif maupun judikatif tersentralisasikan di tangan Presiden.[1]

Sebagai pelaksanaan dalam pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman.[2] kekuasan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:

1. Peradilan Umum

Page 9: FANDOM HAN.docx

2. Peradilan Agama

3. Peradilan militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

Meski telah diatur oleh Undang – Undang Dasar, Peradilan Tata Usaha Negara masih bersifat ’mengambang’ karena tidak ada peraturan di bawahnya yang mengatur lebih lanjut. Indonesia pada waktu itu juga menganut sistem oportunitas, yaitu peradilan administrasi diadakan bila dianggap perlu dan berdasarkan undang – undang. Karena itu peradilan administrasi pun dijalankan oleh pejabat – pejabat yang berwenang apabila ada masalah – masalah terkait, contohnya Dirjen Bea Cukai diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk menyelesaikan sengketa bea cukai di luar pengadilan. [3]

Dengan berlakunya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut UU peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui badan yakni:

a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrative.

b. Peradilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN.

c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 KUHPer.

Walau begitu, Meski peradilan tata usaha negara telah diatur dalam UUD dan UU, bukan berarti masalah – masalah dalam sengketa administrasi negara dapat terselesaikan dengan mudah. Banyaknya kasus putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah membuktikan adanya suatu kesalahan dalam sistem peradilan administrasi, dan telah menimbulkan permasalahan baru. Kondisi ini sangatlah memprihatinkan, karena ternyata pada kenyataannya, keberadaan PTUN belum dapat memberi keadilan sepenuhnya bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Keadaan ini tentu saja merupakan halangan untuk mendorong terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa. Dengan banyaknya kasus putusan PeraTUN tidak dapat dilaksanakan akan membuat masyarakat berpandangan bahwa Peratun merupakan peradilan yang useless, dan pemerintah telah salah dalam membuat hukum mengenai peratun. Ini tentu akan mengakibatkan pemerintah menjadi kehilangan wibawanya di masyarakat.

Sebetulnya apa sajakah kendala yang dihadapi oleh peradilan TUN dalam melaksanakan putusan? Sebelum membahas itu, alangkah lebih baik apabila kita membahas terlebih dahulu apakah itu putusan peradilan TUN. Putusan Peradilan TUN merupakan penetapan yang berisi pengabulan ataupun penolakan atas dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa yang dapat bersifat positif dan negatif. Putusan ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah Majelis Hakim.[4]

Mengenai eksekusi putusan Peradilan TUN itu diatur dalam pasal 115 dan 116 UU No. 5 th 1986, yang sudah mengalami perubahan dengan dikeluarkannya UU No. 9 tahun 2004 dan UU

Page 10: FANDOM HAN.docx

No. 51 th 2009. pasal 115 menyebutkan bahwa “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dieksekusi”. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya[5].

Dalam kenyataannya, meskipun putusan pengadilan TUN telah memiliki kekuatan hukum tetap, bukan berarti keputusannya akan dapat dilaksanakan semudah itu. Tidak semua orang yang dikenai putusan akan mau melaksanakan putusan ini sehingga kadang – kadang diperlukan upaya paksa, dalam hal ini aparat keamanan. Akan tetapi dalam pelaksanaan putusan PTUN, keberadaan aparat keamanan tidak dimungkinkan. Yang memungkinkah adalah campur tangan presiden sebagai kepala pemerintahan dalam rangka memaksa Beberapa kendalanya adalah;

1. tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk melaksanakan putusan.

Peradilan Umum memiliki lembaga paksa, yakni eksekusi riil oleh Kepaniteraan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan untuk perkara perdata (Pasal 195 s/d Pasal 208 HIR dan Pasal 1033 Rv), dan ada jaksa sebagai eksekutor putusan Pidana (Pasal 270 KUHAP). Di peradilan Militer adalah Oditur Militer yang berkewajiban untuk mengeksekusi putusan Hakim Militer.

Peradilan Agama, menurut ketentuan pasal 95, 98 dan 103 UU No. 7 Tahun 1989 juga sudah dapat melaksanakan secara paksa (Eksekusi) atas penetapan dan putusannya termasuk melaksanakan segala macam bentuk sita (beslag).[6]

Sementara itu dengan Peratun, lembaga paksa apa yang dapat diterapkan apabila seluruh tahapan eksekusi, yaitu peneguran melalui atasan secara hierakhi sampai tingkat presiden, Pejabat TUN tetap tidak melaksanakannya? Sampai saat ini tidak ada. inilah satu-satunya Peradilan dalam sistem peradilan di Indonesia (dari ke-empat lingkungan), yang tidak memiliki lembaga paksa. Untuk itu tidak heran banyak putusan yang tidak dilaksanakan.

2. Rendahnya tingkat kesadaran pejabat TUN dalam menaati putusan pengadilan TUN.

Pejabat TUN seringkali tidak menaati hukum, karena biasanya seseorang mematuhi hukum dikarenakan ia takut sanksi yang akan dikenakan apabila ia melanggar hukum atau karena ia merasa kepentingan – kepentingannya akan terjamin apabila ia menaati hukum, atau karena ia merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai – nilai yang berlaku dalam dirinya. Dalam hal ini, pihak yang kalah dalam sengketa tentunya akan merasa bahwa kepentingannya tidak terjamin bila ia menaati putusan pengadilan TUN, sehingga ia lebih memilih untuk tidak mematuhi putusan pengadilan tersebut. Tidak adanya sanksi juga membuat pejabat TUN tidak merasa takut apabila ia tidak menjalankan putusan pengadilan itu.

Adanya kepentingan / interest pribadi pejabat eksistensi keputusan TUN yang diterbitkannya dan lemahnya tingkat kesadaran hukum Badan atau Pejabat TUN adalah sangat besar pengaruhnya terhadap dipatuhi atau tidaknya putusan Hakim Peratun, karena secara normatif eksekusi putusan Hakim Peratun lebih menyandarkan pada kerelaan Pejabat yang bersangkutan untuk

Page 11: FANDOM HAN.docx

melaksanakannya (floating execution). Dengan hanya menyandarkan pada kerelaan, tentu banyak pejabat yang tidak rela bila harus memenuhi putusan, sehingga memilih untuk tidak mematuhi putusan.

3. tidak adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan putusan PTUN.

Seperti yang kita ketahui, ketentuan mengenai eksekusi putusan PTUN telah dimuat dalam pasal 116 UU No. 5 th 1986 jo UU No. 9 th 2004 jo UU No. 51 th 2009, yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat meminta atasan pejabat TUN yang bersangkutan atau bahkan presiden untuk ‘memaksa’ tergugat melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini tentu saja tidak dibolehkan terjadi sering – sering karena apabila presiden terlalu sering campur tangan dalam urusan pemaksaan pelaksanaan putusan PTUN maka dikhawatirkan presiden akan kehilangan wibawa sebagai kepala Pemerintahan.[7] Oleh karena itu diperlukan sebuah revisi terhadap uu atau peraturan pelaksana yang mengatur secara detail pelaksanaan putusan PTUN dan akibatnya bila tidak dipatuhi sehingga di kemudian hari putusan PTUN akan dengan mudah dapat dilaksanakan.

Kesimpulannya adalah, ada beberapa kendala yang dihadapi peradilan Tata Usaha Negara dalam perjalanannya untk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yaitu satu, tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi dalam melaksanakan putusan PTUN, rendahnya kesadaran pejabat TUN dalam mentaati putusan PTUN, dan tidak adanya ketentuan yang lebih rinci mengatur mengenai sanksi apabila putusan tidak dilaksanakan.

Saran saya, sebaiknya pemerintah memuat ketentuan yang mengatur mengenai lembaga sanksi atau lembaga eksekutorial khusus putusan peradilan TUN, sehingga putusan PTUN dapat dijalankan dan wibawa peradilan administrasi dapat muncul lagi di mata masyarakat.

enyelesaian Perkara Pilkada Oleh: Irvan Mawardi *)Tulisan ini menyajikan problema hukum yang terjadi berkaitan dengan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan ke PTUN. Dibaca: 9964 Tanggapan: 3

Share:

   

A. Latar Belakang

Keberadaan pasal 2 huruf g Undang Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) masih sering memicu munculnya berbagai macam penafsiran. Pasal ini merumuskan “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini adalah:  (g) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”.

Page 12: FANDOM HAN.docx

 

Artinya, pasal ini menjelaskan bahwa salah satu Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui mekanisme PTUN adalah Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dalam tafsir yang paling sederhana, bahwa selain tahapan penghitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Mengingat setiap tahapan pemilu memiliki dasar hukum yakni Surat Keputusan KPU, maka SK KPU tentang setiap tahapan itulah yang berpeluang menjadi obyek perkara dalam PTUN.

 

Namun ternyata Mahkamah Agung memberikan makna lain. Lewat Surat Edaran No 8 Tahun 2005, Mahkamah Agung memberikan tafsir bahwa semua SK KPU yang terbit pada semua tahapan pemilu tidak dapat diproses di PTUN, termasuk SK yang tidak terkait dengan hasil Pemilihan Umum. Pada butir 2 SEMA disebutkan bahwa dihubungkan dengan pasal 2 huruf g UU PTUN, maka keputusan atau penetapan (KPUD) tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga bukan merupakan kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili. Menurut SEMA ini, sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan tersebut mengenai hasil pemilihan umum, haruslah diartikan meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan pemilihan umum. Sebab, apabila harus dibedakan kewenangan lembaga-lembaga pengadilan yang berhak memutusnya, padahal dilakukan terhadap produk keputusan atau penetapan yang diterbitkan oleh badan yang sama, yaitu KPUD dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama pula, yaitu perihal pemilihan umum, maka perbedaan kewenangan tersebut akan dapat menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan. Bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain atau saling kontroversial. SEMA juga menunjuk putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18 Agustus 2004 sebagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

Namun sikap Mahkamah Agung tidak bertahan lama. Tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran terkait dengan Pasal 2 huruf g UU PTUN. Secara substansi, materi  SEMA No. 7 Tahun 2010 memiliki perbedaan yang fundamental dengan substansi SEMA No. 8 Tahun 2005. Bahkan materi  SEMA No. 7 Tahun 2010 cenderung berusaha “meluruskan” materi SEMA No. 8 Tahun 2005.

 

Namun SEMA membedakan dua jenis kelompok keputusan, yaitu keputusan-keputusan yang berkaitan dengan tahap persiapan penyelenggaraan Pilkada dan keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian SEMA No. 7 Tahun 2010 mengatur bahwa keputusan-keputusan yang belum atau tidak merupakan ‘hasil pemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusan pemerintahan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteria Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 maka tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

Page 13: FANDOM HAN.docx

Munculnya SEMA No. 07 Tahun 2010 memicu dinamika dalam berperkara di PTUN. Beberapa PTUN kemudian mengalami lonjakan jumlah perkara mengingat pelaksanaan Pemilukada di daerah berlangsung secara intens. Dalam tahapan pemilukada itulah muncul persoalan-persoalan hukum, termasuk persoalan hukum administratif terkait terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh KPUD. Dalam pengamatan penulis, tahapan yang paling dominan menjadi obyek gugatan di PTUN dalam perkara Pemilukada 2010 adalah Tahapan Verifikasi Bakal Calon menjadi Calon Tetap. Beberapa pihak atau pasangan tertentu yang merasa tidak diloloskan KPUD dalam verifikasi Bakal Calon berusaha menggugat Keputusan KPUD tentang Penetapan Calon melalui PTUN. Harapannya, PTUN membatalkan SK Penetapan tersebut dan KPUD dapat mengakomodir pasangan untuk ikut berkompetisi dalam Pilkada.

 

Seiring banyaknya perkara pemilukada yang masuk PTUN akhir-akhir ini, maka beberapa persoalan penyelesaian secara yuridis formil juga mulai muncul. Salah satunya adalah mekanisme penerapan tenggang waktu mengajukan gugatan ke PTUN dalam perkara Pemilukada. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menerangkan bahwa ‘Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara’. Dalam perkara No. 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat ada problem penerapan tenggang waktu pasal 55 UU PTUN dalam perkara Pilkada. Pada kasus ini, Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tidak melalui verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat  baru sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah pelantikan berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.

 

B. Permasalahan

Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN Makassar, gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Apa itu? Gugatan perkara Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun tahapan pilkada tetapi sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada. Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir pilkada atau bahkan selesainya semua tahapan pilkada akan memicu gejolak sosial di tengah masyarakat. Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara tahapan pilkada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan munculnya gugatan PTUN setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan PTUN cukup lama, yakni 90 hari.

 

Pada umumnya jangka waktu 90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni pendaftaran dan penetapan calon pasangan, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Seperti dalam kasus Pilkada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat KPUD Gowa No. 01/SK/KPUGW/PKWK/X/2009 tanggal 21 Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan pilkada, yakni tahapan pendaftaran dan penetapan calon berakhir 21 April 2010 dan penetapan pasangan pemenang pada 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya, tenggang 90 hari menjadi persoalan ketika pihak pertama

Page 14: FANDOM HAN.docx

atau pihak ketiga baru merasakan kepentingannya dirugikan pada awal Juli atau tepatnya memasuki tahapan pasangan pemenang.

 

C. Pembahasan

Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan, termasuk gugatan dalam PTUN menjadi penting untuk menghadirkan kepastian hukum terhadap proses beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijn atau klaagtermijn. Ini merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan tata usaha negara (Marbun, 2003: 189).

 

Secara konseptual, tenggang waktu menggugat selama 90 hari dalam hukum acara PTUN  menurut pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 termasuk sangat singkat. Disebut singkat apabila dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUH Perdata. Tenggang waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Demikian pula menurut putusan Mahkamah Agung No.26/K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Dalam hukum adat lewat waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tangal 19 Desember 1973 (Marbun: 171).

 

Berdasarkan pasal 55, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi yang dituju dengan sebuah KTUN (pihak II), makan tenggang waktunya 90 hari sejak saat KTUN itu diterima. Sedangkan bagi pihak ke III yang berkepentingan, maka tenggang waktunya sejak 90 KTUN itu diumumkan. Yang menjadi masalah, dalam praktek pemerintahan, belum ada suatu ketentuan yang pasti tentang tata cara pengumuman suatu KTUN. Hal ini berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya KTUN, namun tidak mengetahui secara langsung. Berdasarkan kondisi demikian, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 2 Tahun 1991 yang pada pokoknya mengatur bahwa bagi pihak ketiga yang tidak dituju KTUN, penghitungan 90 hari adalah sejak bersangkutan mengetahui keputusan dan merasa kepentingannya dirugikan KTUN tersebut.

 

Poin SEMA No. 2 Tahun 1991 secara substansi memperpanjang masa tenggang waktu menggugat di PTUN. Hal ini mengingat frasa “merasa kepentingannya dirugikan” tidak hanya dibatasi oleh 90 hari, tetapi juga kapan saja tiba-tiba bisa muncul kondisi merasa kepentingannya dirugikan. Dengan SEMA tersebut sangat dimungkinkan untuk menggugat suatu KTUN yang sudah diterbitkan puluhan tahun silam. Dalam konteks perkara PTUN yang terkait dengan Pilkada, maka substansi SEMA No. 12 Tahun 1991 inilah yang berpotensi memicu lahirnya ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada. Berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ketiga dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari sejak kepentingannya dirugikan meskipun pada faktanya tahapan pilkada sudah akan berakhir atau bahkan sudah selesai.

 

Page 15: FANDOM HAN.docx

Dalam kasus Pilkada Gowa di atas, partai-partai pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kesalahan yang dilakukan KPUD Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan tersebut berupa lolosnya bakal calon yang diduga tidak memenuhi syarat secara formal. Kesalahan KPUD menjadi titik awal bahwa ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan pilkada sudah selesai. 

 

Modus tentang kepentingan pihak ketiga yang merasa dirugikan yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang waktu 90 hari nampaknya akan semakin banyak ditemui dalam kasus pemilukada. Harus dingat bahwa pemilukada adalah peristiwa politik. Faktor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup potensial. Kondisi ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD mengelola penerbitan KTUN yang terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah ada pihak berusaha menggugat KTUN yang merugikan.

 

Sesungguhnya, proses gugatan adalah sesuatu yang normatif dan biasa-biasa saja. Adalah hak setiap orang untuk melayangkan gugatan. Yang menjadi persoalan, dalam peristiwa politik seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam pasal 55 merupakan rentang waktu yang cukup lama. Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN serta mengganggu proses pemilihan. Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum diatur proses hukum yang  berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.

 

Jangka waktu pengajuan gugatan di PTUN menurut pasal 55 adalah 90 hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu dibatasi hanya 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus dilaporkan paling lambat 7 hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan jangka waktu gugatan sengketa pemilukada dimaksudkan agar proses pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan baik di PTUN, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima

 

Dengan demikian diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan tenggang waktu yang proporsional dalam perkara pilkada. Dalam pandangan penulis, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan  asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan  yang umum maka yang khusus yang berlaku. Dalam konteks ini, ketentuan tenggang waktu pasal 55 dalam UU PTUN harus dimaknai secara hukum berlaku pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum. Namun ketika ketentuan hukum acara PTUN berhadapan dengan kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada --yang mana tahapan Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat-- ketentuan tenggang

Page 16: FANDOM HAN.docx

waktu UU PTUN harus ditentukan secara khusus dalam sengketa pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU PTUN harus mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, maka tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 hari sejak keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.

 

Pilihan eksepsional dalam pasal 55 UU PTUN merupakan salah satu upaya untuk tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan tetap menjaga agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada, penerapan pasal 55 UU PTUN amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan Pemilukada Gowa di PTUN Makassar, penggugat menggugat Keputusan KPU tentang penetapan calon Bupati Gowa karena ada calon yang semestinya tidak lolos tetap lolos. Rationya adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda (schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan sudah “terlanjur” dilaksanakan KPU/KPUD sudah tidak efektif lagi.

 

Selain itu, muncul obyek gugatan baru berupa penetapan hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang PTUN karena merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No. 07 Tahun 2010, dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara: pencontrengan atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih berdasarkan hasil penghitungan suara.

 

Logika rasionalitas seperti itu akan tetap menjadi dilema dan problem yang tak berkesudahan apabila pasal 55 UU PTUN masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat tanpa memberikan pilihak spesialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada. Dengan adanya peluang menggugat, maka secara hukum pada para pencari keadilan tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila pasal 55 UU PTUN tidak memberikan pilihan eksepsional, ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan pilkada.

 

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, lahirnya SEMA no 7 tahun 2010 tentang pemilukada menimbulkan dinamika dan beberapa persoalan baru dalam penerapan hukum acara, khususnya yang terkait dengan Pemilukada. Salah satu persoalan yang muncul adalah penerapan pasal 55 UU PTUN tentang tenggang waktu dalam kasus pemilukad.

 

Page 17: FANDOM HAN.docx

Kedua, pasal 55 dalam UU PTUN berpotensi memberikan ketidakpastian hukum bagi tahapan pilkada, terutama tahapan pilkada yang tidak terkait dengan hasil pemilihan. Hal tersebut dapat terjadi karena rentang waktu 90 hari yang diatur dalam pasal 55 terhitung cukup lama apabila dihubungkan dengan tahapan pemilukada yang harus berlangsung cepat dan memerlukan kepastian hukum.

 

Ketiga, terlepas secara rasionalitas eksekusi atau penerapan hukum yang tidak mudah dilakukan akibat adanya tenggang waktu menggugat yang cukup lama dalam pemilukada (90 hari), namun apabila ketentuan 90 hari masih berlaku, maka hak menggugat bagi pencari keadilan juga masih berlaku.

 

Keempat, tenggang waktu yang diatur dalam pasal 55 UU PTUN harus diterapkan asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Artinya, tenggang waktu dalam pasal 55 harus memberikan ruang khusus bagi kasus sengketa pemilukada.

 

Adapun rekomendasi yang diajukan penulis adalah:

Tenggang waktu bagi perkara hukum administrasi tetap menjadi penting. Namun dalam perkara pemilukada, penerapan tenggang waktu harus diberlakukan secara singkat, yakni cukup dalam rentang 7 hari sejak KTUN diterbitkan dan diumumkan.

Oleh karena itu, diperlukan judicial review terhadap pasal 55 UU PTUN dengan mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan pasal 55, bahwa dalam hal sengketa Pemilu atau Pemilukada, tenggang waktu mengajukan gugatan adalah 7 (tujuh) hari sejak keputusan KPU/KPUD