218
STUDI ANALISIS TEORI NASIKH-MANSUKH RICHARD BELL DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION TO THE QURAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Oleh: Moch. Khoirul Anam NIM : 084211008 FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012

FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM …library.walisongo.ac.id/.../jtptiain--mochkhoiru-6684-1-skripsi.pdf · menyelesaikan penulisan skripsi. ... (dosen UIN Sunan Gunung Jati

Embed Size (px)

Citation preview

STUDI ANALISIS TEORI NASIKH-MANSUKH RICHARD BELL

DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION TO THE QURAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Dalam Ilmu Ushuluddin

Jurusan Tafsir Hadits

Oleh:

Moch. Khoirul Anam

NIM : 084211008

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

MOTTO

$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ôÏΒ >π tƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö� sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès? ¨βr& ©!$# 4’n? tã Èe≅ä. & óx«

í�ƒÏ‰s% ∩⊇⊃∉∪

Artinya:

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang

sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

(QS: [2] al-Baqarah: 106)1

1 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan

Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007, hlm 29

DEKLARASI

Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi ataupun tulisan yang

pernah diterbitkan oleh orang lain, termasuk juga pemikiran-pemikiran orang lain,

kecuali informasi yang penulis peroleh dari referensi yang menjadi bahan rujukan

bagi penelitian ini.

Semarang, 22 Mei 2012

Deklator,

Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008

KATA PENGANTAR

Bismillahir Rahamannir Rahim

Segala bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq

dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Studi Analisis Teori Nasikh-Mansukh Richard Bell

dalam Buku Bell’s Introduction to the Quran, disusun untuk memenuhi salah

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S. 1) Fakultas Ushuluddin

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis dapat mendapatkan bimbingan-

bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini

dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kepada Prof. Dr. Muhibbin, MA, selaku pengemban Rektor IAIN Walisongo

Semarang.

2. Bapak Dr. Nasihun Amin M. Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN

Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Imam Taufiq, M. Ag dan Bapak Drs. Iing Misbahuddin, L c. MA

selaku Dosen pembimbing I dan Dosen Pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Lulut Widyaningrum M. Ag selaku Pimpinan Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, yang telah memberikan ijin dan

layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo,

yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi.

6. Kepada kedua orang tua kami (Abah Sudarmo) dan (Umi Rafi’atun), serta

kakak dan adik-adik, yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan

kepada penulis demi kesuksesan studi ini penulis juga mengucapkan

trimakasih yang tak terhingga.

7. Tidak lupa penulis ucapkan banyak trimakasih kepada Dr. Phil. Syahiron

Syamsudin, MA. ( dosen UIN SUKA Yogyakarta) Dr. Almakin M. A. (dosen

UIN SUKA Yogyakarta) sdan tidak lupa penulis ucapkan banyak trimakasih

kepada Dadan Rusmana M. Ag (dosen UIN Sunan Gunung Jati Bandung) di

mana mereka yang telah banyak wawasan, pengarahan dan memberikan

masukkan serta dorongan terhadap penulis, sehingga skripsi ini menjadi

selasai dengan baik.

8. Trimakasih kepada KH. Abdul Basyir Hamzah, Umi Khafidlotul ‘Ulya beserta

seluruh keluarga besar santri Pon-Pes Al-Anwar Suburan- Mranggen Demak,

yang selama telah memberiakan Wadah dalam menimba ilmu serta senantiasa

memberikan inspirasi dan motifasi baik spiritual maupun material.

9. Dan taklupa seluruh teman-teman Civitas Akademika Fakultas Ushuluddin ,

terlebih kepada teman-teman Tafsir-Hadist periode 2008, IAIN Walisongo

Semarang, dan taklupa penulis ucapkan banyak trimaksih kepada saudara

Muslih Qasidul Haqq, yang telah banyak memberikan kontribusi baik secara

langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan skripsi

ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh sekali untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu dengan lapang dada dan

penuh keikhlasan penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak guna

kesempurnaan skripsi ini.

Semarang, 22 Mei 2012

Penulis

Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008

ABSTRAK

Skripsi ini membicarakan tentang kata nasikh dalam al-Qur’an, kata ini diulang sebanyak empat kali, yaitu dalam QS: 2: 106, 7: 154, 22: 52 dan 45: 29. Masing-masing dapat diartikan menghapus, membatalkan, mengganti dan memindahkan. Dalam perkembangannya ayat-ayat di atas dipergunakan sebagian ulama’ menjelaskan arti nasikh-mansukh dalam al-Qur’an.

Untuk masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pandangan Richard Bell terhadap Nasikh-Mansukh? Bagaimana pandangan Cendikiawan terhadap persoalan nasikh-mansuk? Bagaimana kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan Ilmu tafsir dan Ulum al-Qur’an.

Secara eksplisit orientalis ini mengakui nasikh al-Qur’an dalam arti pembatalan, penghapusan, dan penggantian ayat terdahulu dengan ayat yang datang kemudian. Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW. Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian pendek al-Quran. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan Muhammad sebagai revisor al-Quran, walaupun dalam koridor inisiatif ilahi.

Richard Bell, dipengaruhi dan termotivasi dengan kepentingan politis serta mengikuti jejak pendahulunya, sehingga kajiannya terlihat prejudistik, dari pada karya yang objektif. Ia juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang merupakan hasil `dari modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian Muhammad. Richard Bell juga mengatakan bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen, sehingga dengan metodologi historis dan filologis yang digunakan Richard Bell, dalam hal ini menurutnya sudah dapat mengupas al-Qur’an, dari sisi penafsirannya.

Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang menurut Richard Bell mengalami nasikh-mansukh, dia berusaha memaksakan (takalluf) al-Qur’an agar dapat berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya. Akibatnya penafsirannya terhadap teori (revisi) nasikh-mansukhnya tersebut menjadi ahistoris.

Hanya saja kemudian Richard Bell memosisikan nasikh dengan menggunakan arti revisi yang berimplikasi pada makna (perbaikan), koreksi, serta tambahan, suatu ayat terhadap ayat berikutnya. Bagi Bell, arti nasikh sama dengan derevasi yang mempunyai dua titik kesamaan yaitu: berulang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan proses tentang perbaikan kandungan ayat yang dilakukan Muhammad. Dalam khazanah kaidah-kaidah kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an yang sudah dirumuskan oleh mufassir, apa yang dilakukan Richard Bell di dalam konsepnya terhadap teori nasikh-mansukh ternyata kurang memperhatikan disiplin kedua ilmu tersebut secara komprehensif, salah satunya mengenai ilmu munasabah (korelasi ayat atau antar surat).

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB DAN LATIN

Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, bersumber

dari pedoman Arab-Latin yang diangkat dari keputusan menteri Agama dan

Menteri pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun

1987 dan Nomor 0543/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Konsonan

Fonem konsonan dalam bahsa Arab yang dalam system tulisan Arab

dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan

dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi

dengan huruf dan tanda sekaligus.

Di bawah ini daftar transliterasi huruf Arab dan Translitrasinya dengan huruf

latin.

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

alif اTidak

dilambangkan Tidak di lambangkan

Ba B Be ب

Ta T Te ت

sa S Es (dengan titik di atas) ث

jim J Je ج

Ha H Ha (dengan titik di bawah) ح

kha Kh Ka dan ha خ

Dal D De د

Zal Z Zet (dengan titik di atas) د

Ra R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy Es dan ye ش

Sad S es (dengan titik di bawah) ص

Dad D de (dengan titik di bawah) ض

Ta T Te (dengan titik di bawah) ط

Za Z Zet (dengan titik di bawah) ظ

ain ‘ Koma terbalik (di atas)‘ ع

Gain G Ge غ

Fa F Ef ف

Qaf Q Ki ق

Kaf K Ka ك

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wau W We و

Ha H Ha ه

, Hamzah ‘ Apostrof

Ya Y Ye ي

2. Vokal

Vocal tunggal Arab, seperti vocal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari

vocal tunggal atau monoftrong dan vocal rangkap atau diftrong.

a. Vokal Tunggal

Vocal tunggal dalam bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda

atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

---------------- Fathah A A

---------------- Kasrah i I

--------------- dhammah u U

b. Vocal Rangkap

Vokal rangkap bahasa arab yang lambangnya berupa gabungan

antara harakat dan huruf, dan transliterasinya berupa gabungan huruf.

Yaitu:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan ya ai a dan i ي--------

و------- Fathah dan wau au a dan u

- Kataba كتب - yazhabu يدهب

- Fa’ ala فعل - su’ ila سئل

- Zukira دكر - kaifa كيف

- haula

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................... ................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv

HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ v

HALAMAN KATA PENGANTAR .............................................................. vi

HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... viii

TRANSLITERASI ......................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Pokok Masalah ...................................................................... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8

D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 13

E. Metodologi Penulisan ........................................................... 14

F. Sistematika Pembahasan ...................................................... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI NASIKH-

MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

A. Deskripsi teori Nasikh-Mansukh .......................................... 17

1. Devinisi teori Nasikh-Mansukh ..................................... 17

2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan teori Nasikh-

Mansukh .......................................................................... 21

3. Ruang lingkup teori Nasikh-Mansukh ............................ 29

4. Macam-macam teori Nasikh-Mansukh ........................... 31

5. Hikmah teori Nasikh- Mansukh ...................................... 41

B. Bukti-bukti adanya teori Nasikh-Mansukh ........................... 43

1. Beberapa Aspek tentang teori Masikh-Mansukh ............ 43

2. Pengulangan ayat teori Nasikh- Mansukh ...................... 45

3. Sifat dan Implikasi Nasikh-Mansukh .............................. 47

4. Karekteristik teori Nasikh-Mansukh ............................... 49

C. Pandangan Ulama terhadap teori Nasikh-Mansukh .............. 51

1. Pandangan Ulama Klasik ................................................ 53

2. Pandangan Ulama Modern .............................................. 60

3. Pandangan Ulama Kontemporer ..................................... 63

BAB III : TEORI NASIKH MANSUKH DALAM BUKU BELL’S

INTRODUCTION TO THE QUR’AN

A. Biografi dan latar belakang Richard Bell ............................ 71

B. Karya-karya Richard Bell ..................................................... 73

C. Pendekatan Richard Bell ....................................................... 74

1. Pendekatan Filologisme .................................................. 75

2. Pendekatan Historisme .................................................... 76

3. Historisme – Fenomenologis ......................................... 80

4. Pendekatan Objektif Hermeneutik ................................. 81

D. Pandangan Richard Bell Terhadap al-Qur’an ....................... 83

E. Pendapat Richard Bell tentang teori Nasikh-Mansukh

dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an ..................... 102

BAB IV : ANALISA

A. Konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh .... 129

F. Posisi Richard Bell dalam pandangan cendikiawan ............. ..138

B. Kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan teori

Nasikh-Mansukh dan Ulum at-Tafsir ................................... 181

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 189

B. Saran – saran ......................................................................... 193

DAFTAR KEPUSTAKAN

DAFTAR RIWAYAT

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel. 1. Konstruksi Metodologi Tafsir Richard Bell ................................. 136

Tabel. 2. Analisis konstruksi teori revisi (Nasikh- Mansukh) Richard

Bell, dalam buku (Bell’s Introduction to the Qur’an) ................... 137

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam merupakan objek studi sarjana barat, bahkan Islam sudah

menjadi karir sarjana barat yang melahirkan orientalis dan Islamolog barat

dalam jumlah yang besar. Sarjana barat menaruh perhatian yang besar dalam

studi Islam karena mereka mamandang Islam bukan sekedar agama tetapi

juga merupakan sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan

kebudayaan yang patut diperhitungkan.2

Sementara kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis, relijius,

ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan hitrogenitas kebudayaan dan

peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi

kultural dengan ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terus

bergulir, tentu saja hal ini mewarnai cara pandang dan cara pikir kaum

muslimin, sebagai sebuah konsekuensi yang logis yang tak terhindarkan.3

Eropa menaruh perhatian akademik terhadap al-Qur’an sejak

kunjungan Peter the Venerable yang mulia, Biarawan Cluny, ke Toledo pada

catur wulan ke dua Abad XII. dan berhasil membuat naskah Cluniac Corpus

(naskah salinan dari Gereja Clunny) merupakan salah satu naskah yang

diterjemahkan tersebut adalah al-Qur’an.4 Tradisi ini terus berlangsung hingga

abad modern oleh sarjana-sarjana terkemuka yang berkosentrasi terhadap studi

al-Qur’an.5 Ia sangat memperhatikan seluruh permasalahan Islam, lalu

membentuk tim dan menugasi mereka untuk menghasilkan serangkaian karya

yang akan menjadi dasar akademik perkenalan intlektual dengan Islam. Robert

Retenensis dari Ketton berhasil Menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa

latin pada bulan juli 1143, tertutup dalam penafsiran tunggal.

2Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 24. 3A. Rofiq, (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta, Teras, cet I, 2004, hlm. 27. 4Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 84. 5Ibid., hlm. 34.

Tradisi akedemis Islamologi Barat dalam Studi al-Qur’an ini terus

berlangsung pada abad pertengahan, terutama masa renaissance dan

aufklarung, hingga abad modern atau bahkan hingga era postmodernisme.

Sebagai fakta historisnya adalah sejumlah teks mengenai berbagai dimensi al-

Qur’an yang lahir dari para Islamolog terkemuka. Teks-teks itulah yang

menunjukkan dan membuktikan antusias, intensitas, dinamisme, paradigma,

dan orientasi wacana Islamologi Barat dalam studi al-Qur’an dari masa

kemasa.

Kajian sarjana muslim terhadap pemikiran Barat tentang al-Qur’an

pada umumnya berkisar pada konsep subtansialnya, sedangkan penelitian

mengenai metodologi yang dipergunakan masih sangat kurang dilakukan.6

Membaca korpus orientalis seputar al-Qur’an memang tidak mudah.

Di samping penguasaan dibidang bahasa (Eropa maupun Semitik), terutama

sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh dan

mendalam atas khazanah atas intlektual Islam itu sendiri, bukan asal

mengetahui sepotong-sepotong atau setengah-setengah. Jika modal kita pas-

pasan, amat bersar kemungkinan terpukau oleh pendapat yang sekilas

menyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara metodologis maupun

epistimologis.7

Edward W. Said, berpendapat bahwa studi ketimuran merupakan

disiplin keilmuan yang secara meterial dan intlektual berkaitan dengan ambisi

politik dan ekonomi Eropa. Orientalisme telah menghasilkan gaya pemikiran

yang dilandaskan pada distingsi teologis dan epistimologis antara Timur dan

Barat. Dalam waktu yang panjang, orientalisme Barat telah mengembangkan

cara-cara pembahasan tentang Timur dengan memapankan suprioritas budaya

Barat atas budaya Asing.8

6Moh. Natsir Mahmud, “Al-Qur’an di mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal Al-

Hikmah, No. 12, Januari- Maret 1994, hlm. 16. 7 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani, cet I,

2008, hlm. 233. 8Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 253.

Kontak langsung pengenalan Barat terhadap Islam terutama dimasa

perang salib (Perang salib I: 1096 – 1099 M).9 Antara tahun 650 – 1100 M.

Bahan-bahan tentang Islam di barat belum tersedia.10 Akibat perang salib

masyarakat Barat khususnya kelompok intlektual mulai menaruh perhatian

terhadap Islam. Akan tetapi akibat itu pula menimbulkan kesalahpahaman

bangsa Barat terhadap Islam dan dalam perkembangan selanjutnya

meningkatkan usaha misionaris kesalahpahaman tersebut sehingga

menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam.

Dalam wacana Islamologi Barat sendiri, studi kritis al-Qur’an

merupakan “menu utama”, sekaligus merupakan kajian paling sensitif

dibandingkan dengan kajian lainnya. Para Islamolog menaruh perhatian

terhadap kritis al-Qur’an dalam berbagai aspek, dari teks al-Qur’an sendiri

hingga terjemahan al-Qur’an. Di dunia ini ada lebih dari 600 terjemah al-

Qur’an dalam berbagai bahasa.

Di Prancis, misalnya, sebagai bekas negara Katolik yang berpenduduk

60 juta dan mayoritasnya tidak lagi menganut agama tradisional menurut

perhitungan Darwis Khudori, ada sekitar 40-an terjemah al-Qur’an,

puluhannya berbahasa Prancis (Bandingkan dengan Indonesia yang

penduduknya 200 juta dan mayoritasnya adalah muslim, berapa banyaknya

terjemahan al-Qur’an yang dapat di baca?).11

Keterkaitan umat Islam dalam kajian al-Qur’an sejak masa awal

hingga pada masa kini jelas tidak banyak mengundang pertanyaan yang

bernada sinis, bahkan dipandang sebagai suatu keharusan, sebab al-Qur’an

merupakan kitab utama mereka dan menjadi pegangan hidup keberagamaan

mereka. Sebaliknya, pertanyaan atau bahkan kecurigaan sering dialamatkan

9 Dadan Rusmana, loc. cit., 10 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kaca Mata Barat, Yogyakarta, Fakultas

Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, t.th., Jilid III, hlm. 44 11 Darwis Khudori, “Catatan atas le Coran Jacquis Berque”, dalam Jurnal Ulumul

Qur’an, Vol. 5, No. 2, 1994, hlm. 74 - 75

oleh para islamolog Barat ketika umat Islam mengahadapi fenomena bahwa

para sarjana Barat yang notabene -nya non muslim.

Salah satu pangkal kecurigaan tersebut muncul karena sering terjadi

perbedaan visi, prespektif, metodologi dan pendekatan dalam kajian-kajian al-

Qur’an dari kedua eksponen (Muslim dan Islamolog Barat) yang berbeda latar

belakang ini. Misalnya, jika kaum muslim melakukan kajian untuk

mendapatkan petunjuk yang terkandung didalamnya, para sarjana barat

memperlakukan hanya sebagai naskah (scripture).12

Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketatapan

hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi telah menjadi mansukh apabila ada

ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti printah untuk

bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum muslimin

lemah dianggap telah dinasikh oleh perintah atau izin kaum muslimin pada

periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan

hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan

terakhir.13

Ketidakseimbangan antara Timur dan Barat semacam ini jelas

merupakan akibat dari pola sejarah yang selalu berubah. Selama kejayaan

sejak abad ke VIII hingga XVI, Islam memang menjadi “raksasa” yang

mendominasi kawasan-kawasan di dunia, baik di Timur maupun di Barat.

Bahkan pada masa-masa itu, Islam menjadi kekuatan yang sangat menakutkan

bagi Barat.14

Sehingga pandangan orang-orang Barat, termasuk para sarjana Barat,

terhadap Islam, Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an, dan lain-lain, sejak abad

pertengahan hingga kini bersifat variatif.15 Perbedaan prespektif tafsir hingga

12Ibid., hlm. 76. 13Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung, Mizan, cet II, 1992, hlm. 144. 14Edward W. Said, Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat, dan Mendudukan Timur

sebagai Subjek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 315. 15 Dadan Rusmana., op. cit. hlm. 32.

abad ke 16 M. tidak menyeret untuk ditinjau sumber Bibel yang menjadi

dasar dan tempat suatu kebenaran.

Namun, Ibn kastir membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang

mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih

tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapan yang termaktub

dalam Taurat, menyatakan: Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan

adanya nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena dia Tuhan

hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang di ingikan-Nya.16

Para ilmuan dan pemikir Barat telah memasukkan dan menerapkan

metode ini di dalam kajian-kajiannya terhadap al-Qur’an sejak abad ke 19 M.

diantara mereka adalah. Abraham Geiger Pembahasan mengenai revisi al-

Qur’an di bawah ini lebih banyak didasarkan pada pendapat Richard Bell

dalam buku Introduction to the Quran beberapa keterangan Richard Bell ini

kemudian di tahqiq (diklarifikasi) dan disempurnakan serta diberi komentari

oleh Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Qur’an,

namun pada dasarnya buku tersebut masih utuh karya Richard Bell.

Bentuk revisi tersebut dimungkinkan berbentuk suatu pengulangan

wahyu dalam bentuk ayat yang direvisi. Doktrin nasikh, misalnya menurut

Bell, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an. Dalam buku

Bell’s introduction to the Qur’an karya Richard Bell, menurut pandangan

Islam, karena al-Qur’an merupakan kalamullah yang disampaikan kepada

Nabi Muhammad oleh Malaikat, maka tidak mungkin ada revisi (perbaikan)

atas kemauan Nabi sendiri hal ini di jelaskan dalam sejumlah ayat misalnya,

(Q.S: Yunus: 15) 17

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan Pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah al Qur’an yang lain dari in atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)jika mendurhakai tuhan-ku".(Q.S:Yunus:15)

16 Ibid., hlm. 32 17W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at the

University, 1991, hlm. 86

Elaborasi doktrin nasikh-mansukh ini bahkan pada abad ke-8 hingga

abad ke- 11 telah mencapai suatu porsi yang mengerikan dan dramatis dalam

sejarah pemikiran Islam. Ibnu Syihab Al-Zuhri ( W. 742) ia telah menyebut 42

ayat yang telah di Nasikh, Al-Nahhas (W. 949). Mengidentifikasikan bahwa

dalam al-Qur’an terjadi 138 ayat yang yang di nasikh, Ibnu Salamah (1020 W)

mengemukakan 238 ayat, Ibnu Atta’iq (1308 W) menyebutkan terdapat 231

ayat yang di nasikh. Pada era As-Suyuti ayat mansukhat terjadi reduksi

menjadi 20 ayat, lalu Syekh Waliyullah ayat yang di nasikh tinggal 5 ayat,

lalu dimasa Sayid Ahmad Khan (1889W) kemudian secara tegas

memproklamirkan bahwa tidak ada doktrin nasikh-mansukh sebagaimana di

pahami oleh kalangan fuqoha. 18

Penjelasan di atas memberi pengetahuan bahwa betapa besar perhatian

sarjana Barat, dalam studi al-Qur’an yang meskipun banyak memperlihatkan

kekeliruan-kekeliruan di dalamnya, Namun sangat besar andilnya dalam

studi Islam pada umunya.

Tulisan ini hendak melihat pandangan Richard Bell tentang al-Qur’an

pada term teori nasikh-mansukh sebab tema tersebut banyak mewarnai

tulisan-tulisan sarjan Barat tentang Islam khusunya al-Qur’an, tema tersebut

akan menghasilkan suatu konklusi yang mungkin positif atau bahkan negatif

menurut Islam. Richard Bell memandang bahwa wahyu al-Qur’an memiliki

kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad

SAW, sebagai sumber kedua.

Menurut Richard Bell, unit-unit wahyu orisinil terdapat dalam bagian-

bagian pendek al-Qur’an. Dia juga menghubungkan dengan beberapa ayat

yang bisa disebut “Satanic Verses” (ayat-ayat setan), di samping itu Richard

Bell juga menambahkan di dalam penemuaannya bahwa al-Qur’an terdapat

ayat rajam, ayat ini diperuntukkan untuk orang dewasa yang melakukan

perzinaan. Hal ini disebabkan menurutnya terdapat revisi yang menunjukkan

18Taufik Adnan Amal, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001,

hlm. 81.

adanya keterlibatan Nabi Muhammad sebagai perefolmulasian atau

peredaksian al-Qur’an, Walaupun sebenarnya dalam koridor inisiatif ilahi.19

Sekalipun peredaksian, termasuk perubahan atau revisi al-Qur’an

yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di bawah sinaran Tuhan, hal itu tetap

menunjukkan adanya sisi manusiawi dari al-Qur’an.20 Membahas penelitian

mengenai pandangan Richard Bell sebagai sarjana Barat terhadap al-Qur’an

ternyata masih kurang dilakukan oleh sarjana muslim, khususnya mengenai

teori nasikh-mansukh dalam karya Richard Bell, yaitu “Bell’s Introduction to

the Qur’an”.

Penelitian ini dilakukan karena timbulnya hambatan mental penulis

dalam membaca karya-karya Richard Bell terlebih dalam teori nasikh-

mansukh, karena hal ini merupakan pukulan terberat khususnya bagi penulis

sendiri dan umumnya bagi umat itu Islam sendiri, dan penulis akan mencoba

menerangkan ayat-ayat yang dianggap nasikh-mansukh yang dalam penelitian

ini di pusatkan kepada buku Bell’s Introduction to the Qur’an.

Oleh karena itu tafsir harus selalu terbuka untuk dikritisi dan tidak

perlu disakralkan mengingat ia merupakan human construction yang relatif,

intersubjektif, dan tentatif. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk

melakukan kritisisme guna mencari sintesa kreatif dari prinsip-prinsip nasikh-

mansukh yang ditawarkan oleh Richard Bell tersebut. Hasil dari sintesa

diharapakan dapat menjadi sumbangan keilmuan dalam studi tafsir dan ulum

al-Qur’an di era kontemporer.

Bagi penulis, pengembangan teori nasikh-mansukh yang Richard Bell

kostruksikan itu harus dikritisi serta diawali dengan perubahan dan

pengembangan epistemologi maupun metodologi penafsiran nasikh-mansukh

dalam bingkai bayany, burhany, dan irfany, karena dengan hal itu mampu

mengantarkan pengajinya memahami al-Qur’an secara komprehensif,

dialektis, kritis, reformatif, dan transformatif sehingga produk penafsiran itu

19Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 293. 20 Ibid., hlm. 294

senantiasa mampu menjawab tantangan dan problem yang dihadapi umat

manusia.

Penelitian secara kritis ini menjadi sangat penting untuk dilakukan

karena akan memberikan sumbangan yang cukup bagi khazanah keilmuan

Islam, terutama dalam bidang pengembangan teori ilmu nasikh-mansukh yang

Richard Bell tawarkan itu.

Dengan melihat permasalahan di atas, maka banyak muncul masalah

tentang teori nasikh-manskuh itu sendiri. Di sini penulis mencoba untuk

memberikan kritikan melalui argument para cendikiawan (Ulama), terhadap

ayat-ayat yang dianggap mengalami reivisi serta adanya pengulangan ayat

menurut Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, tulisan

ini juga untuk melihat konstribusinya dalam pengembangan kajian tafsir serta

ulum al-Qur’an.

B. Pokok Masalah

Mengacu kepada latar belakang diatas, maka skripsi ini akan diarahkan

untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh dalam

karya Bell’s Introduction to the Qur’an ?

2. Bagaimana pandangan cendikiawan terhadap teori Nasikh-Mansukh

Richard Bell ?

3. Bagaimana kontribusi Richard Bell terhadap pengembangan kajian Tafsir

dan Ulum al-Qur’an?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Penelitan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penafsiran

Richard Bell, tentang teori Nasikh-Mansukh baik dari segi historis,

metodologis, maupun konsep subtasial lainnya.

b. Penelitian ini untuk mengetahui adanya pandangan cendikiawan

muslim terhadap teori nasikh-mansuk Richard Bell, pada metode-

metode yang digunakan Richard Bell sehingga umat Islam tidak

merasa ada gangguan psikologis terhadap karya-karyanya yang tidak

sejalan dengan keyakinan umat Islam.

c. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat adanya kontribusi Richard

Bell terhadap pengembangan kajian Tafsir dan Ulum al-Qur’an,

sehingga dengan adanya kontribusi ini akan memberikan dampak

positif kepada kaum muslimin, terutama dalam ranah kajian keislaman

modernitas.

2. Kegunaan penelitian

a. Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu sumbangan

sederhana bagi pengembangan studi al-Qur’an. Dan untuk untuk

kepentingan setudi lanjutan, diharapkan juga berguna sebagai bahan

acuan, referensi dan lainnya bagi para penulis lain yang ingin

memperdalam studi tokoh dan pemikiran.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam ranah studi keislaman pada

umumnya dan studi al-Qur’an pada khhususnya.

D. Tinjauan Pustaka

Tulisan dan pemikiran para orientalis (Barat) tentang nasikh-mansukh

bukanlah merupakan wacana yang baru atau kontemporer, tetapi

sepengetahuan penulis belum ada sebuah buku atau karya tulis yang secara

khusus membahas tentang “Studi Analisis teori nasikh mansukh Richard

Bell”, kebanyakan teori nasikh-mansukh yang telah dilakukan itu masih

bersifat deskriptif dan apresiatif, ternyata teori tersebut banyak dibahas secara

acak dan juga mengikuti tema yang berkaitan dengannya.

Penulis menemukan dalam buku, Syaikh Muhammad Ghazali dimata

Yusuf Qardawi, karya Yusuf Qardawi, beliau menjelaskan tentang teori nasikh

mansukh serta mengatakan dari pendapat ulama besar dan sejarawan yang ahli

dalam bidang fikih yaitu Al-Khudhari, bahwa ia menolak naskh sama sekali

dan menyatakan tidak ada naskh dalam al-Qur’an, yang ada adalah takhsis-

‘am, atau taqyid-mutlak, atau tafsil mujmal, kemudian pendapat ini didukung

oleh Rasyid Ridha yang menjelaskan ayat (2;106), beliau menilai bahwa ayat-

ayat al-Qur’an itu terdiri dari takwiniyah dan taklifiyah. Adapun yang

dimaksud nasikh disini adalah ayat-ayat takwiniyah. Sedangkan ayat-ayat

taklifiyah tidak ada yang di nasikh. Makna takwiniyah jelas, yaitu peristiwa-

peristiwa luar biasa yang ada para Nabi dan berbeda-beda pula sesuai dengan

perbedaan zaman.21

Penulis juga menemukan dalam buku, Tekstualitas al-Qur’an Kritik

terhadap Ulumul Qur’an, karya Nasr Hamid Abu Zaid, bahwa beliau

berpendapat jika ulama tidak memasukan “penangguhan” ini kedalam masalah

nasikh dan mansukh makamemastikan fungsi nasikh sebagai bentuk

kemudahan, kelonggaran, dan memberikan tanggapan terhadap tasyri’,

menjadikan seluruh yang dinasikh masuk kedalam masalah “penangguhan”

sehingga pengertian mengganti dalam ayat-ayat yang telah kami bicarakan

sebelumnya adalah pengganti hukum-hukum, bukan mengubah teks, dengan

cara membatalkan yang lama dengan yang baru baik secara tekstual maupun

hukumnya. Memahami pengertian nasikh sebagai penghapusan teks secara

total bertentangan dengan semangat mempermudah, dan memberikan tahapan

dalam tasyri’.22

Dalam buku, Membumikan al-Qur’an, fungsi dan peran wahyu dalam

kehidupan masyarakat, karya Prof. Dr. Quraish Shihab, M. A. Menilai dan

memberikan tawaran kepada kelompok penolak dan pendukung nasikh dalam

hal ini agaknya dibutuhkan usaha untuk merekonsialisasi antara kedua

kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian

istilah nasikh yang dikemukakan oleh ulama’ muta’akhir, sebagai usaha

mereka meninjau istilah yang dilakukan oleh ulama’ mutaqaddim.23

Sementara itu di dalam keterangan buku Dekonstruksi Sya’riah, karya,

Abdullah an- Na’im, beliau telah menjelaskan bahwa perlunya

21Yusuf Qardawi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali dimata Yusuf Qardawi, Terj. Drs.

Masykur Hakim, Bandung, Mizan, cet III, 1997, hlm. 98. 22 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj.

Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta, LKiS, cet V, edisi revisi, 2005, hlm. 150 23Quraish Shsihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung, Mizan, cet II, 1992, hlm. 147

mempertimbangkan kembali prinsip naskh terakit terutama adanya keharusan

untuk dapat memperlakukan teks-teks al-Qur’an secara relevan sesuai konteks

masanya. Dalam hal ini an-Na’im membedakan secara tegas antara isi pesan

dari ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Mekkah dengan

ayat-ayat periode Madinah.

Menurutnya ayat Makkah bersifat universal, sedangkan ayat-ayat

Madaniyyah bersifat sektarian dan deskriminatif. Sehingga ayat Mekkah

terkesan memiliki pesan yang primer dan fundamental. Sementara ayat-ayat

Madinah merupakan teks skunder. Dengan tawaran pengertian dan pemikiran

naskhnya, an’Na’im menolak adanya penghapusan terhadap teks-teks al-

Qur’an.24

Sedangkan menurut kitab Mabahis fi U’lum al- Qur’an, karya Syaikh

Manna’ al- Qattan: dalam karya tersebut, beliau mengatakan bahwa

sesungguhnya nasikh itu hanya ada pada ayat-ayat yang menjelaskan perintah

dan larangan saja, begitu juga halnya jika ayat tersebut menunjukkan tuntutan

dan suatu pemberitaan yang mana semua itu masih menunjukkan perintah dan

larangan, yang semua itu tidak ada kaitannya terhadap ayat-ayat yang

berhungan dengan keyakinan.25

Penulis juga menemukan dalam buku Bell’s Introduction to the

Qur’an, dalam karya W. Mongomery Watt, beliau menilai bahwa mengenai

teori nasikh-mansukh, jika teori-teori fuqaha yang belakangan dan teori-teori

lainnya dibedakan dengan apa yang dikatakan oleh al-Qur’an sendiri, akan

terlihat bahwa berbagai proses telah terjadi yang mungkin dapat dipahami

dalam istilah “revisi”. Dapat diperkirakan bahwa Nabi melakukan

“revisi”(nasikh) selaras apa yang dipahaminya sebagai petunjuk Ilahi.

Mungkin bisa berbentuk pengulangan wahyu dalam bentuk yang telah

direvisi.26

24 Sulamul Hadi Nurmawan, Nasikh Mansukh menurut Pemikiran Abdullah Ahmad an-

Na’im, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadits, UIN SUKA, Yogyakarta, 2003, hlm. 74. 25Manna’ al- Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 233. 26W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya

Richard Bell, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta, Rajawali Pers, cet II, 1995, hlm. 142.

Disisi lain penulis juga menemukan pembahasan mengenai nasikh-

mansukh dalam buku Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an karya Taufik Adnan

Kamal, beliau mengatakan: “bahwa dalam penetapan al-Qur’an sebagai

sumber pertama hukum Islam juga memberikan peran penting dalam upaya

penyusunan atau aransemen kronologis kitab suci tersebut, hal ini tercermin

jelas dalam berbagai bahasan tradisional tentang nasikh- mansukh para sarjana

muslim mengakui adanya perbedaan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang

menetapkan peraturan bagi komunitas muslim dan mereka menjelaskan bahwa

ayat yang paling akhir diturunkan untuk satu masalah tertentu telah

menghapus seluruh ayat yang turun sebelumnya masalah itu ada

berkontradiksi dengan ayat lainnya”.27

Penulis juga menemukan dalam buku Metodologi fikih Islam

Kontemporer, dalam karya Muhammad Sahrur, bahwa beliau mengemukakan

bahwa tidak ada yang menjustifikasi untuk menetapkan ayat-ayat yang

(mansukhat) yang karena umat menjadi tersesat, saling membunuh dan

terpecah menjadi berbagai aliran dan golongan, karena Nabi melalui

kemampuannya dengan mudah tidak memasukkan (dalam al-Qur’an).28

Sementara dalam buku Pengantar studi al-Qur’an, karya W.

Montgomery Watt. Terj. Taufik Adnan Amal, beliau mengatakan bahwa

bentuk revisi paling sederhana adalah bentuk “pengumpulan” atau

mengumpulkan unit-unit kecil yang pada mulanya turun sebagai wahyu. Ada

pijakan untuk berpendapat bahwa proses ini dimulai oleh Nabi sendiri, yakni

proses tersebut berlangsung saat diterimanya wahyu-wahyu.29

Sementara dalam bentuk skripsi penulis menemukan peryataan imam

as-Syafi’i mengenai Naskh-Mansukh dalam al-Qur’an, bahwa itu adalah

nasikh bukanlah bentuk pembatalan, tetapi lebih merupakan bentuk

penghentian atau terminasi suatu ketentuaan oleh ketentuan yang lain. Naskh

27Taufik Adnan Amal, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001,

hlm. 81 28Muhammad Shahrur, Metodologi Islam Kontemporer, Terj. Shahiron Syamsuddin,

Yogyakarta: Elsaq, cet V, 2008, hlm. 131

adalah suatu bentuk penjelasan (bayyan) yang tidak menyebabkan penolakan

penyeluruhan terhadap ketentuan asal. Naskh adalah suatu penjelasan, dalam

pengertian bahwa ia menceritakan kepada kita tentang terminasi suatu

ketentuan, cara dan waktu terminasinya, apakah seluruh ayat atau sebagian

saja yang terminasi, dan tentu saja ketentuan baru yang menggantinya.30

Dalam kesempatan yang berbeda penulis juga menemukan persoalan

nasikh-mansukh, menurut pandangan Dr. Quraish Shihab, bahwa beliau juga

mengakui nasikh-mansukh yang terjadi dalam al-Qur’an yang berorientasi

seputar hukum syara’ dan suatu kondisi ke kondisi lainnya. Sehingga dengan

peryataan ini nasikh dalam al-Qur’an bukan berarti manghapus atau

menghilangkan hukum di dalamnya, namun nasikh dinilai bermakna

perpindahannya hukum dari suatu kaum dengan kondisi tertentu kepada kaum

lain dalam kondisi tertentu pula yang disesuaikan dengan konteks situasi dan

hukum Islam.31

Dikesempatan yang lain penulis juga mendapatkan tema yang

menjelaskan tentang persoalan nasikh-mansukh. Menurut Ibrahim al-Abyadi,

beliau mengatakan bahwa semua masalah yang berhubungan dengan nasikh-

mansukh merupakan suatu tartib hukum yang dikehendaki oleh perkembangan

hukum samawi yang diatur dengan turunnya al-Qur’an secara sepotong-demi

sepotong sesuai dengan keadaan kaum muslimin dan perkembangan

kehidupan mereka, sebagai ada kaitannya dengan masalah as-bab an- nuzul ,

di mana ayat turun sepotong-potong.32

Dari telaah pustaka di atas yang penulis lakukan, terlihat belum ada

pemikir yang mencoba membahas secara khusus mengenai Studi analisis

Teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the

Qur’an, dengan kajian tokoh. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sangat

penting dilakukan guna untuk melihat secara secara komprehensif tentang

30 Zahrudin, Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam as-Syafi’i , Skripsi tidak

diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 1998, hlm. 58 31Abdul Mukid, Nasikh-Mansukh menurut Quraish Shihab, skripsi tidak diterbitkan,

Fakultas Ushuludin, IAIN Walisongo Semarang, 2001, hlm. 51 32 Ibrahim al-Abyadi, Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H, Jakarta: Renika Cipta,

cet I, 1992, hlm. 137

model Studi analisis Teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s

Introduction to the Qur’an dalam perspektif tokoh tersebut.

E. Metode Penulisan

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ialah deskriptif-

analitis. Dari situ, langkah awal yang ditempuh adalah mengumpulkan data-

data yang dibutuhkan, baru kemudian dibutuhkan klasifikasi, deskripsi

kemudian analisis. Alat penelitian ini digunakan jenis penelitian, sumber data,

metode pengumpulan data, dan metode analisis data, sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini jenis menggunakan penelitian kualitatif, yaitu suatu

penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian pustaka

(library rescarch) ini fokus dalam menggunakan data, dan meneliti buku-

buku kepustakaan dan karya-karya dalam bentuk lain.

2. Sumber Data

Sasaran atau objek utama penelitian ini adalah penafsiran

terhadap teks-teks yang terkait dengan nasikh- mansukh menurut Richard

Bell dan data-data yang sesuai dengan tema dari berbagai sumber yang

berkaitan dengan pokok pembahasan yang penulis angkat, baik itu bersifat

primer seperti karya Richard Bell Bell’s Introduction to the Qur’an. Dan

karya-karya tulisan lainnya di berbagai buku media. Sedangkan data

sekundernya di ambil dari data terulis yang berupa buku-buku, jurnal

maupun artikel yang berkaitan dengan teori nasikh mansukh dalam al-

Qur’an.

3. Teknik Pengumpulan data

Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun

dan menganalisis dokumen berupa buku-buku, artikel dan makalah yang

Richard Bell tulis. Namun, penulisan ini lebih menekankan terhadap

karya Richard Bell yaitu “Bell’s Introduction to the Qur’an”.

4. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan di analisis dengan beberapa

metode, yaitu:

a. Metode Diskiptif-Analisis. Metode ini digunakan dalam rangka

memberikan gambaran data yang ada serta memberikan interpretasi

terhadapnya, serta melakukan analisis interpretatif. Sedangkan metode

analisis yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan analisis secara

konsepsional atas makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang

digunakan dan peryataan-peryataan yang di buat.

b. Metode Hermeneutik. Metode ini digunakan dalam rangka untuk

mencari pemahaman yang berkisar diseputar teks dan pengarangnya,

dengan mengarah pada keterkaitan teks dan latar belakang pengarang

tafsir, serta kepentingan pengarang dalam mengambil gagasannya

pada soal teks dalam masalah ini, maka buku Bell’s Introduction to the

Qur’an akan dibahas sedemikian rupa dengan menganalisa kostruksi

Richard Bell serta menjelaskan baik buruknya dalam mengantarkan

analisis buku tersebut, khususnya di telaah dengan pemahaman

tersebut.

F. Sistematika Pembahasan

Secara keseluruhan, kajian dalam penelitian ini terdiri dari lima bab,

yang masing-masing bab memelilki sub bab tersendiri. Bab pertama

merupakan pendahuluan yang bersifat latar belakang masalah, alasan

pemilihan judul, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan

istilah, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, Pada kedua ini berisi tentang tinjauan umum nasikh-

mansukh Al-Qur’an yang meliputi, bab ini memiliki tiga sub, sub yang

pertama deskripsi teori nasikh-mansukh meliputi definisi, sejarah nasikh-

mansukh, ruang lingkup nasikh mansukh, dan hikmah nasikh-mansukh dalam

Al-Qur’an, pada sub yang kedua, tentang pandangan Ulama terhadap teori

nasikh-mansukh, meliputi pandangan Ulama klasik, ulama modern dan ulama

kontemporer, pada sub bab yang terakhir ini meliput bukti-bukti adanya teori

nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, beberapa aspek teori nasikh-mansukh

pengulangan ayat nasikh-mansukh, karekteristik teori nasikh mansukh,

mukjizat teori nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an. Pengulasan pada beberapa

sub bab tersebut dianggap penting karena mempunyai peranan senteral dari

pembahasan tentang nasikh-mansukh al-Qur’an.

Bab ketiga penulis akan mengulas biografi Richard Bell serta

mengulas sekilas tentang latar belakang tokoh tersebut. Juga akan diulas

tentang seputar karya-karya beliau, mengenai latar belakang ditulisnya karya

tersebut, metodologi dan pendekatan yang dipakai oleh Richard Bell, kritik

terhadap metodologi, pandangan Richard Bell terhadap al-Qur’an, pendapat

Richard Bell tentang teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to

the Qur’an, dengan demikan nantinya penulis diharapkan dapat mengetahui

alasan-alasan tokoh tersebut ketika memberikan sistematis tertentu mengenai

objek kajian ini, yaitu teori nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to

the Qur’an.

Bab keempat penulis berupanya menganalis pandangan-pandangan

Richard Bell yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya (bab tiga).

Dalam bab ini akan ditemukan konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-.

Pada sub berikutnya akan di temukan posisi Ricard Bell dalam pandangan

cendikiawan (Ulama). Pada sub yang terakhir juga akan dipaparkan kontribusi

Richard Bell terhadap pengembangan kajian tafsir dan ulum al-Qur’an, hal ini

yang merupakan bentuk aplikasi dari metode yang digunakan oleh tokoh

tersebut. Dari padanya penulis dalam bab ini di arahkan dalam bentuk

penafsiran Richard Bell mengenai objek yang dikaji.

Bab terakhir (kelima) adalah penutup yang berisi kesimpulan-

kesimpulan tentang pokok soal dari skripsi ini. Walaupun ini adalah

kesimpulan secara umum tentang pandangan Richard Bell terhadap teori

nasikh-mansukh dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an yang ada di

dalamnya.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI NASIKH- MANSUKH

A. Diskripsi teori Nasikh-Mansukh

1. Definisi Nasikh-Mansukh

Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata

naskh, kata tersebut adalah berbentuk masdar, dari kata kerja masa lampau

(fi’il madli) nasakha, dari sisi bahasa33 kata nasikh sendiri memiliki

banyak makna, bisa berarti:

a. Menghilangkan (al-Izalah), sebagaimana firman Allah swt.

!$ tΒ uρ $ uΖù=y™ö‘r& ÏΒ y7 Î=ö6 s% ÏΒ 5Αθ ß™§‘ Ÿωuρ @cÉ< tΡ Hω Î) #sŒ Î) # ©_ yϑs? ’ s+ø9 r&

ß≈sÜ ø‹¤±9 $# þ’ Îû ϵÏG�ÏΖøΒ é& ã‡|¡Ψu‹sù ª!$# $tΒ ’Å+ù=ムß≈ sÜø‹ ¤±9 $# ¢ΟèO ãΝÅ6øtä† ª! $#

ϵÏG≈ tƒ#u 3 ª! $#uρ íΟŠÎ=tæ ÒΟŠÅ3ym ∩∈⊄∪

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. [22] al-Hajj:52)

b. Menggantikan ( at-Tabdil) sebagaimana dijalaskan oleh firman Allah

swt.

#sŒ Î)uρ !$ oΨø9 £‰t/ Zπ tƒ#u šχ%x6 ¨Β 7π tƒ#u � ª!$#uρ ÞΟn=ôãr& $ yϑÎ/ ãΑÍi”t∴ム(# þθ ä9$ s% !$ yϑ‾ΡÎ)

|MΡr& ¤�tIø'ãΒ 4 ö≅ t/ óΟèδ ç�sYø.r& Ÿω tβθ ßϑn=ôètƒ ∩⊇⊃⊇∪

Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa

33Musthafa Zaid, an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Dirasat Tasyri’iyyah Tariyyati

Naqdiyyah, Jilid I, Dar al-Wafa, al-Mansyurah, cet III, 1987, hlm. 55. Ahmad Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut, Dar al-Turats al-Arabiy, cet III, t.th., hlm. 187.

yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. [16] al-Nahl: 101)34.

c. Bisa juga berarti at-Tahwil ( peralihan) dalam hal ini menurut asy-

Sijistani, di mana beliau termasuk dari golongan ulama yang ahli

dalam bidang bahasa, sebagaimana yang berlaku peristilahan ilmu

Fara’id (Pembagian harta pusaka), yaitu تنا سخ المواريس yakni

pengaliahan bagian harta waris dari A kepada B.35

d. Bisa bermakna al-naql“ Pemindahan” dari satu tempat ketempat yang

lain, misalnya: kalimat ( نسخت الكتاب( yang berarti “memindahkan” atau

“mengutip” persis menurut kata dan penulisannya.36

Sebagaimana menurut Ahamd Von Denffer, ia mengatakan bahwa

kata naskh berarti (an active participle) yang mempunyai arti

(abrogating), sedangkan mansukh berarti (passive), yang mempunyai arti

(the abrogated). hal ini merupakan suatu teknis aturan dalam bentuk

bahasa, yang pasti ada pada wahyu al-Qur’an, dengan adanya

penghapusan berarti di sini melibatkan pihak orang lain. Yang pada

asalnya sesutu yang dihapus berarti berhungan dengan istilah mansukh,

sedangakan sesuatu yang menghapus berhubungan dengan nasikh.37

Dari bebrapa definisi tentang naskh diatas, Nampak bahwa naskh

memiliki makna yang berbeda-beda, ia bisa berarti membatalkan,

menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus

disebut mansukh dan yang dihapus disebut nasikh, namun dari sekian

34 Musthafa Zaid, op. cit., hlm. 56-57. 35 Abdul Adim az-Zarqaniy, Manahil al- Irfan; fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut,

Lebanon, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 175. asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir, Juz I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158.

36 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-‘Ilm, lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 260. az-Zarkasyi, al-Burhan fi-Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Fikr, cet II, 1988, hlm. 34, Manna’ al- Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th., hlm. 232. Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Dar al-Kitab, cet II, 1983, Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 171. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Ilmiyyah, hlm. 336-337, az-Zarqaniy, loc. cit.,

37Muhammad Von Denffer, Ulum al-Qur’an, An-Introduction to Sciences of the Qur’an, hlm. 104.

banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa, pengertian nasikh yang

mendekati kebenaran adalah naskh dalam pengertian al-Izalah, yakni: ( رفع

berarti mengangkat sesuatu dan menetapkan) (الشيئ واثبات غيره مكانه

selainnya pada tempatnya).38

Sebagaimana dalam pengertian etimologi, naskh dalam

termenologipun memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagai mana

pendapat yang mengatakan bahwa naskh adalah mengangkat atau

menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) yang lain.39

Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa definisi

naskh menurut istilah adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’

yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat. Sejalan

dengan bahasa Arab yang mengartikan kata “naskh” sama dengan

“meniadakan” dan “mencabut”, beberapa ketentuan hukum syari’at yang

oleh asy-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu di

pertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta

berdasarkan pada kenyataan yang dapat dimengerti, untuk kepentingan

suatu hikmah dan hanya diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat

dalam.40Ada juga yang berpendapat bahwa nasikh adalah mengangkat

hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian dengan

menghilangkan ‘amal pada hukum-hukumnya atau menetapkannya.41

Dari beberapa devinisi diatas yang paling mendekati kebenaran

dengan pengertian nasikh adalah definisi yang pertama dan terakhir, yakni

mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang

kemudian,42 Maksudnya hukum atau undang-undang yang terdahulu

38 Mushthafa Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Juz I, Beirut, Dar al-Fikr, 1991, hlm.

67. asy- Syaukaniy, Fath al-Qadir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158-159.

39 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 232, az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 176.

40Subhi Shalih, op. cit., 261. Ahmad Von Denffer, op. cit., hlm. 105. 41Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Dar al-Kitab, cet II, 1983,

hlm. 183. 42 Muhammad Abd ‘azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz II,

Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr, cet I, hlm. 176.

dibatalkan atau dihapus oleh undang-undang baru, sehingga undang-

undang yang lama tidak berlaku lagi.43

Dalam termenologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan

namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus)

disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah

hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena adanya

tuntutan kemaslahatan.44

Adapun syarat-syarat Nasikh sebagai berikut:

a. Hukum yang yang dibatalkan itu adalah hukum syara’

b. Pembatalan itu datangnya dari khitab (tuntutan syara’) yang hukum

mansukh.45

c. Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya

hukum.

d. Sebagaimana yang ditunjukkan khitab itu sendiri, seperti firman Allah

SWT:

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…..(QS: [2] al-Baqarah: 187)

Berakhirnya puasa dengan datangnya malam tidak dinamakan

nasikh, karena ayat itu sendiri telah menentukan bahwa puasa tersebut

berakhir ketika malam tiba.

e. Khitab yang men-nasikh-kan itu datangnya kemudian dari khitab yang

di-naskh-kan.

f. Hukum yang dinasikh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh

akal sehat tentang baiknya atau buruknya. Misalnya kejujuran (baik),

aniaya (buruk) dan lain-lain.

g. Keadaan kedua nas tersebut saling bertentangan dan tidak dapat

dikompromikan satu sama lain.46

43 Abd Mun’im Namr, op.cit., hlm. 184. Sebagaimana hadis Nabi Saw. فنقول ..... وقد تضمن ھدا الحديث ا�مر المنسوخ وا�مر الناسح معا) كنت نھيتكم عن زيارة القبور ا� فزروھا(

.....مير الزيارة القبور منسوخةتح 44 asy- Syaukaniy, loc. cit., hlm. 158. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 179. 45az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180. Ibn al-Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub

al-Ilmiyyah, 1985, hlm. 23-24.

Adapun Rukun nasakh ada empat, yaitu

a. an-Nasikh (اداة النسخ), yaitu peryataan yang menunjukan pembatalan

(penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.

b. Nasikh (الناسخ), yaitu: Allah SWT, karena Dia-lah yang membuat

hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-

Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu hakikatnya adalah Allah SWT.

c. Mansukh (المنسوخ), yaitu: yaitu hukum yang di batalkan, dihapuskan,

atau dipindahkan.

d. Mansukh ‘anhu, (المنسوخ عنه),yaitu: orang yang dibebani hukum.47

2. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan teori nasikh-mansukh

a. Sejarah pertumbuhan teori nasikh-mansukh

Asal mula timbulnya teori nasikh ialah bermula adanya ayat-

ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak

dapat dikompromikan.48

Pengertian harfiah dari kata nasikh di atas pada satu sisi tanpak

mengisyaratkan ruang lingkup obyek (kajian) nasikh mansukh yang

cukup luas disatu pihak. Dan sejarah nasikh mansukh dipihak lain.

Memiliki ruang lingkup yang cukup luas, ketika nasikh mansukh

dipahami dalam konteks internal ajaran Islam, akan tetapi merambah

dalam pendekatan eksternal antar agama; dan tepatnya syar’iat Nabi

atau Rasul yang satu dengan syari’at nabi dan rasul Allah yang lain.49

Sedangkan hal ini memiliki sejarah yang panjang, artinya

karena persoalan nasikh mansukh tidak terbatas pada sejarah

penurunan al-Qur’an, akan tetapi jauh melampaui pada masa-masa itu

46 Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet

IX, 2005, hlm. 293-294. Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2012, hlm. 175.

47 Abu Zahrat, op. cit., hlm. 252. 48 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180. 49 Ibid., hlm. 190-193.

yakni dalam hubungan dalam penurunan kitab Taurat (perjanjian

Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) di pihak yang lain.50

Nasikh mansukh alam konteks eksternal agama yang lazim

dikenal dengan sebutan al-bada’ memang diperselisihkan dikalangan

antar pemeluk agama itu sendiri tentang kemungkinannya. Bagi

kalangan Islam nasikh-mansukh eksternal agama sangat dimungkinkan

keberadaannya baik secara nalar (al-Dalil al-‘Aqliy) maupun

berdasarkan pendengaran / periwayatan (al-dalil al-naqliy). Sedang

kelompok Nasrani, secara mutlak kemungkinan al-Bada’ antar agama

itu, baik menurut logika akal maupun menurut periwayatan (teks kitab

suci) yang mereka yakini. Konsep bada’ harus ditentang berdasarkan

teks (kitab) suci meskipun kemungkinannya secara nalar sangat bisa

dibenarkan

Penolakan Yahudi dan Nasrani terhadap kemungkinan bada’

dan penerimaan kaum muslimin terhadap naskh antar agama, pada

dasarnya timbul karena adanya perbedaan paham ketiga agama ini

terhadap konsep kenabian dan sekaligus kitab sucinya.51

Berbeda dengan Dr. Wahbah Zuhail, beliau mengatakan bahwa

orang-orang Yahudi membuat naskh dalam pengertian bada’ satu arti.

Adapun perbedaan antara naskh dan bada’, yaitu: Nasikh itu merubah

ibadah yang tadinya halal menjadi haram, atau sebaliknya. Sedangkan

bada’ menghilangkan sesuatu dengan penuh tuntutan.52

Berlainan dengan kaum muslimin sebagai pengikut

Muhammad Saw. Yang sudah pasti mengikuti kenabian Musa dan Isa

berikut kitab suci masing-masing kitab suci yang telah disampaikannya

yakni kitab Taurat dan Injil, orang-orang Yahudi menolak kenabian Isa

dan kenabian Muahammad sekaligus berikut kitab sucinya al-Qur’an,

50 M. Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”,

dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 29. 51 Ibid., hlm 30. 52 Wahbah Zuhail, Tafsir Munir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr al-Muassar, cet I,

1991, hlm. 261-268.

meskipun pada saat yang bersamaan, mereka mengimani kenabian

Musa dan terutama pengakuannya kepada Isa yang tidak sebatas Nabi

tetapi lebih mereka menaikan kedudukannya sebagai “ Tuhan”,

sebutan Tuhan Yesus dan Tuhan anak yang meraka sematkan kapada

Isa, sebagaimana petunjuk kuat terhadap penuhanan Isa bin Maryam

oleh pemeluk Nasrani.

Bila orang-orang Yahudi menerima keberadaan bada’ maka

dengan sendirinya ,mengakui Nabi Isa dengan Injilnya, dan pada

gilirannya mereka auto metically dan menerima kehadiran Nabi

Muhammad Saw dan al-Qur’annya. Konsekwensinya mereka harus

melepas kitab tauratnya. Demikian pula dengan orang-orang Nasrani

dahulu. Jika sekiranya mereka menerima bada’ atau tepatnya naskh

eksternal agama, maka dengan sendirinya akan menanggalkan kitab

Injil dan mengimani kenabian Nabi Muhammad Saw.53

Ada jelas bahwa kondisi dan situasi mendesak yang

menyebabkan lahirnya Ilmu Nasikh-Mansukh adalah juga yang

menyebabkan munculnya ilmu asbab an-Nuzul, karena ahli-ahli hadits

tidak sepakat bahwa rasulullah saw memberikan isyarat tentang kedua

ilmu tersebut, atau memerintahkan untuk menyusun keduanya baik

secara eksplisit maupun implisit. Hal ini adalah suatu yang

menguatkan pendapat kita.54 yang telah diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud

dalam sebuah hadits masyhur yang dijadikan sandaran oleh orang-

orang yang berpendapat adanya naskh kami pandang lebih dekat ke

khurafat.

Persoalan nasikh dalam al-Qur’an bermula dari suatu

pemahaman, sebagaimana firman Allah swt.

53 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 30. 54 Muhammad Shahrur, Metodelogi Fikh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin,

Yogyakarta: Elsaq, cet I, 2005, hlm .138.

Ÿξ sùr& tβρã� −/y‰tF tƒ tβ#u ö�à)ø9 $# 4 öθ s9 uρ tβ% x. ô ÏΒ Ï‰ΖÏã Î�ö� xî «!$# (#ρ߉y uθ s9 ϵŠÏù

$ Z'≈ n=ÏF÷z$# # Z��ÏW Ÿ2 ∩∇⊄∪

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya. (QS. [4] an-Nisa: 82).

Ayat al-Qur’an tersebut diatas merupakan prinsip yang diyakini

kebenarannya oleh setiap muslim. Namun, demikian, para ulama’

berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang

pintas lalu menunjukkan adanya kontradiksi. Dari sinilah kemudian

timbul pembahasan tentang nasikh-mansukh.55

Dari ayat diatas hal ini menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an

tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan antara ayat

satu dengan ayat yang lainnya sementera di tempat lainnya al-Qur’an

mengatakan. Sebagaimana firman Allah swt.

$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ô ÏΒ >π tƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö�sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$ yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès?

¨βr& ©!$# 4’n? tã Èe≅ ä. & ó x« í�ƒ ωs% ∩⊇⊃∉∪

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS; [2] al-Baqarah : 106)

Abu Muslim Al-Asfahani menolak anggapan bahwa ayat yang

sepintas kontradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-Mansukh lantas

ia, mengajukan proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh.

Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada

yang mansukh.

55M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992, hlm. 143.

“Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi tuhannya yang maha bijaksana lagi maha terpuji (QS. [41] al-Fushilat: 42)56.

Sementara syarat dalam al-Qur’an itu bersifat kekal karena itu

ia berlaku sepanjang masa. Persoalan nasikh mansukh tidaklah mudah

untuk menentukan.

Sedangkan menurut DR. Muhammad Shahrur telah

mengatakan ketika membahas nasikh-mansukh bahwa ia adalah ilmu

yang muncul setelah masa Nabi, adapun latar belakang kehadiran ilmu

tersebut adalah:

1) Perubahan konsep jihad menjadi konsep perang dan permusuhan

konsep dakwah dengan cara hikmah dan nasihat menjadi dakwah

melaluin perang.

2) Menghilangkan konsep beramal atas dasar perhitungan ukhrawi

dan menggantikan dengan kreteria-kreteria yang tidak jelas dan

lonm,ggar seperti syafa’at, kewalian, perantaraan dan karamah

yang kuncinya terletak di pemuka agama.

3) Terpatrinya konsep Jabariyyah dan meniadakan secara total peran

manusia.

4) Mengabaikan akal pikiran (logika) dan terpatrinya konsep

penyerahan kepada orang lain dalam membuat keputusan-

keputusan.57

b. Beberapa istilah yang menyerupai nasikh

Ada beberapa bentuk pemberlakuan hukum baru sebagai

pengganti hukum lama yang sering menjadikan pembicaraan

dikalangan ulama ushul.

56 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet

XVII, 1988, hlm. 241. 57 Muhammad Shahrur, loc. cit.,

Dikalangan ulama’ terdahulu (al-Muataqqimin) arti naskh lebih

umum dari apa yang telah dipakai oleh ulma ushul. Pemberlakuan

muqayyad terhadap mutlaq atau muqayyad, mereka anggap juga

sebagai nasikh .men-takhshish kan lafadz umum mereka anggap juga

naskh, baik dengan dalil yang terpisah maupun dalil yang

bersambungan. Mereka juga memasukan bayan terhadap lafazd

mujmal atau muhkam sebagai naskh. Pencabutan hukum syara’i yang

datang belakanganpun mereka artikan dengan naskh. Dalam pengertian

ahli ushul, yang terakhir ialah yang mereka sebut dengan naskh.

Yaitu:58

1) Taqyid dan muqayyad

Memang pengamalan dalil yang datang belakangan sebagai

pengganti pengamalan dalil yang terdahulu, juga terlihat pada

taqyid, lafadz mutlak pada lahirnya seperti ditinggalkan. Dengan

demikian, maka kemutlakan lafadz itu tidak digunakan lagi karena

yang digunakan adalah apa yang dimaksud oleh lafad muqayyad,

sehingga kedudukan muqayyad terhadap mutlaq ibarat kedudukan

nasikh terhadap mansukh.

2) Bada’

Dari segimunculnya kitab kedua (yang datang belakangan)

yang membawa hukum baru setelah ada hukum lama yang

ditetapkan dengan khitab pertama (terdahulu), ada anggapan yang

menyamakannya dengan bada’ yaitu munculnya sesuatu setelah

sebelumnya tidak diketahui.59

Dalam kata bada’ tergantung anti negatif yaitu kejahilan

(ketidaktahuan) pembuat hukum tentang apa yang akan terjadi

kemudian sehingga ia merasa perlu untuk mencabutnya kembali,

karena bada’ itu tidak bisa dinisbatkan kepada Allah sebagai

58 Amir Syafruddin, Ushul Fiqih, Jilid I, Jakarta, Kencana Media Group, cet IV, 2009,

hlm. 254. 59 Ibid., hlm 255, az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut,

Lebanon, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 180-181.

pembuat hukum, karena Allah maha tahu apa yang akan terjadi,

dengan demikian naskh bukanlah bada’.60

Menurut Ibnu Hazm menyatakan bahwa bada’ itu seperti

seseorang menyuruh melakukan suatu perbuatan, sedangkan ia

tidak tahu keadaan yang akan terjadi yang mungkin akan

menyebabkan ia harus mengubah suruhannya. Sedangkan naskh

berarti menyuruh seseorang melakukan sesuatu perbuatan, dan ia

sendiri mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, juga

mengetahui pada sewaktu waktu ia akan mencabut suruhannya

untuk menggantinya dengan suruhan lain. Dari keterangan di atas,

maka jelaslah bahwa seseuai dengan sifat Allah swt., naskh itu

berbeda dengan Bada’, meskipun dari luar kelihatan sama.

3) Istisna’

Dalam naskh juga terdapat bentuk pengecualian, yaitu

pengecualian bagi masa kedua dari pemberlakuan perintah untuk

selamanya. Namun antara naskh dengan istisna terdapat perbedaan.

Istisna (pengecualian) adalah sebagiannya (dari lafadz umum,

kemudian dikecualikan dengan sebagiannya. Jumlah pengecualian

itu (al-Mutsanna) adalah sebagian dari lafadz umum, sehingga

tidak ada keharusan untuk memberkukan secara umum, kecuali ap

yang tertinggal setelah dikecualikan.

Dalam naskh keadaannya tidaklah demikian, sesuatu yang

dilarang melakukannya pada hari ini memang. Sudah dimaksud

meninggalkannya dari hari kemarin. Kita tidak diberikan beban

hukum terhadap apa yang waktu ini telah di-nasakh. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa nasakh itu semacam

pengecualian. Setiap nasakh ada pengecualian tetapi tidak setiap

pengecualian adalah nasakh.61

60 Ibid., hlm. 256. 61 Ibid., hlm. 257.

4) Takhshis

Pada dasarnya naskh berlaku terhadap seluruh satuan

pengertian (afrad) yang terkandung dalam mansukh, namun ada

pula nasakh yang hanya mengenai sebagian afrad, sehingga lafadz

tersebut masih berlaku terhadap sebagian afrad lain yang tidak di-

nasakh. Dengan demikian timbul kemiripannya dengan takhsis

yang hanya mengeluarkan sebagian afrad lafad umum. Meskipun

demikian antara nasakh dengan takhsis terdapat perbedaan; di

antara perbedaan terpokok adalah:62

a) Naskh adalah mengeluarkan hukum setelah hukum itu berlaku,

sedangkan yang dikeluarkan pada takhsis dan tidak

diberlakukan lagi dari lafadz umum adalah hukum yang belum

pernah berlaku sama sekali.

b) Takhshis itu menjelaskan bahwa apa yang keluar keumuman

lafadz, tidak dimaksudkan untuk memberi petunjuk lafad itu,

sementara nasakh menjelaskan bahwa pada aspek yang keluar

dari keumuman suatu lafad tidak bermaksud menciptakan

beban hukum, meskipun dari segi lafadnya memang

menunjukan demikian.

c) Naskh tidak akan terjadi kecuali dengan khitab pembuat

hukum, baik dalam bentuk nash al-Qur’an maupun hadist Nabi,

sedangkan takhshis dapat terjadi dengan qiyas dan dalil aqli

lainnya.

d) Takhshis itu tidak dapat menentukan ayat yang mengandung

perintah, juga tidak berlaku pada ayat yang mengandung

larangan, sedangkan nasikh bertujuan untuk menentukan ayat-

ayat yang bersifat perintah dan larangan, dengan demikian

62 Sedangkan az-Zarqaniy membagi perbedaan antara naskh dan takhshis ini menjadi

tujuh, untuk selanjutnya disebut az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 184.

maka dapat menasakh sebagian hukum-hukum yang sudah

ditentukan oleh Rasulullah saw.63

3. Ruang lingkup teori nasikh-mansukh

Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 106, maksudnya adalah ayat

al-Qur’an yang allah telah dinaskh (diganti, ditukar, dan dihapuskan)

atau yang ditinggalkan, itu olehnya akan didatangkan lagi ayat yang

lebih baik atau yang seumpama serupa atau yang sebandingnya.

Jelasnya ayat yang adatang kemudian itu lebih baik dari pada yang

datang lebih dahulu atau yang di ditinggalkannya dan sekurang-

sekurangnya yang datang kemudian itu sebanding serupa dengan yang

datang lebih dahulu. Dengan ini jelaslah adanya ayat didalam al-

Qur’an yang nasikh dan yang mansukh, yang mengganti atau

menghapuskan dan yang diganti atau dighapuskan.

Pada dasarnya, kami lebih cenderung pada pendapat fuqaha

yang menyatakan adanya nasakh dalam al-Qur’an. Menurut analisa

Jumhur fuqaha, di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dinasakh

hukumnya. Hanya saja perlu diketahui bahwa para ulama’ telah

bersepakat tentang mutawatirnya al-Qur’an hanyalah nas-nas yang

mutawatir pula, sehingga hadist-hadist ahad ini tidak dapat manaskh

pula. Karena faktor utama yang dijadikan dasar nasakh adalah adanya

pertentangan (ta’arudh), sedangkan ta’arudh itu hanya bisa terjadi

pada dua nash yang sama tingakat sanadnya.64

Ayat 106 dari surat al-Baqarah itu, menurut Syahrur, yang

dimaksud dengan naskh pada ayat tersebut adalah naskh anatara

syari’at samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat. Firman

Allah swt.

63 Perbedaan naskh dan takhshis, oleh Abdul Adzim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi

Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut, Lebanon, Dar al-Fikr, t.th., hlm. 185. 64 Muhammad Abu Zahrat, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 303.

Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 237.

#sŒ Î)uρ !$oΨø9 £‰t/ Zπtƒ#u šχ% x6 ¨Β 7πtƒ#u � ª!$#uρ ÞΟn=ôãr& $ yϑÎ/ ãΑÍi”t∴ム(# þθä9$ s%

!$ yϑ‾ΡÎ) |MΡr& ¤�tIø'ãΒ 4 ö≅t/ óΟèδ ç�sYø.r& Ÿω tβθ ßϑn=ôètƒ ∩⊇⊃⊇∪

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. [16] an-Nahl: 101)

Bahwa kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di artikan oleh

Syahrur sebagai risalah samawi bukan sejumlah ayat dalam al-Qur’an

sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan orang.

Bukanlah ditunjukan kepada ayat-ayat al-Qur’an atau hukum-

hukum tersebut yang tersebut didalamnya, tetapi ditunjukkan atas ayat

atau hukum-hukum yang telah didatangkan atau diturunkan oleh Allah

atas orang-orang yang telah datang terlebih dahulu pada masa sebelum

al-Qur’an diturunkan, ialah kaum ahli kitab (Yahudi-Nasrani) jadi ayat

tersebut itu berarti:

Bahwa barang apa yang datang dari Nabi yang terdahulu, yang

telah Allah hapuskan atau diganti atau dia tinggalkan lantaran dari

lamanya masa yang telah lewat, itu pastilah ia turunkan lagi yang lebih

baik dan lebih sempurna,atau sekurang-kurang yang semisal. Bahwa

dalam arti ruang lingkup terhadap nasikh-mansukh ini harus sesuai:

1) Hukum yang nasikh-maupun yang mansukh adalah hukum syara’

2) Dalil pengangkat hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang

kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.

3) Hukum yang mansukh tidak terikat dibatasi dengan waktu tertentu,

jika tidak demikian maka itu bukanlah termasuk urusan naskh,

karena ia berakhir dengan sendirinya dengan berakhirnya masa

berlakunya.65

65 Ibn al-Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985, hlm. 23-24,

az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 180.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa naskh itu

dianggap benar jika:

1) Pembatalan itu dilakukan melalui tuntutan syara’ yang

mengandung hukum dari syar’i (Allah dan Rasulnya) sesuatu yang

membatalkan ini disebut nasikh. Dengan demikian, habisnya masa

berlaku suatu hukum pada seseorang, sepertinya wafatnya

seseorang atau hilangnya kecakapan bertindak hukum seseorang

atau hilangnya ‘illat (motivasi) hukum, tidak dinamakan naskh.

2) Sesuatu yang dibatalkan itu adalah hukum syara’. Pembatalan

hukum yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat yang

sumbernya bukan syara’ atau pembatalan istiadat jahiliah melalui

khitab (tuntutan) syara’ tidak dinamakan nasakh.

3) Hukum yang membatalkan hukum terdahulu, datangnya kemudian.

Artinya hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya

dari hukum yang membatalkan.oleh sebab itu, hukum yang

berkaitan dengan syarat dan yang bersifat istisna’ (pengecualian)

tidak dinamakan nasakh.66

4. Macam-macam teori Nasikh-Mansukh tilawah (bacaan) dan hukumnya

Menurut az-Zarkasyi dan az-Zarqaniy67, di dalam al-Qur’an

terdapat tiga macam naskh. Yaitu:

a. Naskh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus.

Dengan adanya naskh ini bacaan dan tulisan ayatpun tidak ada

lagi, termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan terganti dengan

hukum baru.68

Secara umum memuat nasikh hukum dengan sendirinya,

berserta nasikh hukum beserta bacaannya dan pendapat ini yang banya

dipilih oleh Jumhur Ulama’.69

66 Ibn Arabi, op. cit., hlm. 4 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. op. cit., hlm. 251 67 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 214-215. 68 Abdul Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim, Beirut, Lebanon, Dar al-Kitab,

cet II, 1983, hlm. 118. 69 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Ilmiyyah, t.th., hlm.

336-337.

Sebagaimana model ini diikuti oleh imam al-Tabari,

Zamakhsari, dan Tabarsi, beliau tidak terpaku pada satu model saja

seperti di atas, namun beliau semua lebih memilih dalam perkara

naskh ini, ada yang memilih dua atau tiga model naskh sekaligus, yaitu

naskh al-hukm duna al-tilawah dan naskh hukm wa al-tilawa,

sebagaimana yang dipilih oleh Tabari, sedangkan menurut Imam

Zamakshari dan Tabarsi, memilihat ketiga model naskh sekaligus,

yaitu: naskh hukm wa al-tilawa dan naskh al- tilawa duna al-hukm.70

Misalnya ayat tentang penghapusan keharaman kawin saudara

satu susuan karena sama-sama menetek pada seorang ibu dengan

sepuluh kali susuan dengan lima kali susunan saja. Hukum telah naskh

ini telah disepakati oleh ulama berdasarkan ijma’, khususnya yang

menyetujui naskh. Sedangakan dalil yang menunjukkan terjadinya

nasikh macam ini yakni.71

كا فيما انزل عشر رضا عات معلوما : عن عائشة رضي اهللا عنها قالت

ات فتوفي رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وهن ت يحرمن بخمس معلوم

مما يقرا من القران“Dari ‘Aisyah r.a berkata: termasuk ayat al-Qur’an yang dinuzulkan ( ayat yang menerangkan) sepuluh kali susunan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini), lalu dinaskh lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat Rasulullah, ayat-ayat itu yang termasuk yang dibaca dari al-Qur’an.”

Sebagaimana pendapat tersebut dikutip oleh Adul Mun’im an-

Namr ia menyatakan bahwa ayat yang menjadikan objek perubahannya

serta adanya naskh pada al-Qur’an, menurutnya penilaian secara

global bahwa segala perkara dalam al-Qur’an itu mengalami persoalan

naskh (perubahan). Namun hanya saja pada masalah perintah

70Syamsuri, dan Kusmana, Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan

Wacana Kajian, Jakarta, Pustaka al-Husna Baru, cet I, 2004, hlm. 41. 71 Abdul Mun’im an-Namr, loc. cit.,

kewajiban dan hal itu membutuhkan suatu penjelas, sehingga secara

umum al-Qur’an memuat dua unsur pokok, yaitu:72

1) Memuat beberapa kaidah dan beberapa keutamaan yang sangat

orgen.

2) Memuat ketentuan-ketentuan terhadap persoalan hukum. Seperti:

a) Dalam al-Qur’an menjelaskan kebutuhan primer yang

berhubungan dengan kaidah-kaidah tertentu seperti iman

kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, rasul-rasulnya, dan hari

akhir. Dan mengandung potensi keutamaan yang berhubungan

dengan budi pekerti, seperti: jujur, tolong-menolong, kasih

sayang dll.

b) Disamping itu al-Qur’an menjelaskan beberapa persoalan

terkait nasikh-mansukh, karena kedua tersebut selalu ada dari

waktu ke waktu.

Lebih lanjut Ia juga menjelasakan tentang persoalan Naskh al-

hukmi wa al-Tilawah, ini relatif sedikit ayat yang membahas pada

persoalan tersebut hanya terdapat dua ayat saja, yang mana pada waktu

itu mereka menukil hadis ghorib, ketika itu mereka meriwayatkan dari

riwayat Aisyah RA. Hal ini telah dijelaskan dalam kitab bukhari dan

muslim.

ثم , كا ن في ما انزل من القران عشر رضعات معلومات يحرمن

وتوفي رسول اهللا عليه وسلم وهن فيما يقرا , نسخت بخمس معلومات

))من القران“Ketika ayat al-Qur’an diturunkan berkenaan dengan 10 kali (susuan) yang diharamkan, kemudian menggati menjadi 5 kali (susuan), pendapat rasulullah memang seperti apa yang dibaca oleh rasuluallah. Apa bila ada dua ayat yang masih (kontradiksi) kemudian

Rosul telah wafat, sementara sahabat membacakan kedua ayat tersebut,

72 Abdul Mun’im an-Namr, op. cit., hlm. 119. M. Quraish Shihab, Membumikan al-

Qur’an; Pesan dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1997, hlm. 40.

lalu bagaimana solusinya? Dan bagaimana cara me-naskh bacaan dan

hukumnya secara bersamaan, apakah naskh hanya berfaedah secara

hukumnya saja? Dalam hal ini disetujui oleh Imam Syafi’i, sementara

dari Imam Ibn Hambal tidak menyetujui adanya hal tersebut. Adapun

naskh pada persoalan ayat saja, itu berfungsi untuk membatasi hukum

dan mengganti ayat al-Qur’an. 73

Menurut kitab al-Intishar, karya Qodhi Abu Bakr, beliau

menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak nasikh itu tidak

membenarkan naskh, hal itu karena sudah ditetapkan oleh hadis ahad.

b. Menaskh hukumnya dan menetapkan bacaannya.

Maksudnya, tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca,

sedangkan isi hukumnya sudah dihapuskan, dalam pengertian tidak

boleh diamalkan. Sementara menurut Zamakhsyari dalam bagian ini

terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 63 ayat.74

Misalanya, ketentuan mendapatkan nafkah dan tempat tinggal

selama ‘iddah satu tahun, terdapat pada ayat 240 dari surat al-Baqarah

tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’idah selama satu

tahun dan dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal

selama ‘iddah selama satu tahun. Sementara menurut al-Qadhi Abu al-

Amali, bahwa dalam al-qur’an itu tidak terdapat naskh mansukh

kecuali di pada dua tempat: salah satunya terdapat dalam. QS: [33] al-

Ahzab: 50 dan 52.

Menurut al-Qadhi abu al-Ma’ali: tidak ada nasikh dalam al-

Qur’an yang lebih dahulu dari pada mansukh, kecuali didua tempat

salah satunya: (QS. al-Ahzab: 50) menasikh QS.al-Ahzab;52).

Dan disebagian yang lain pada QS.al-Baqarah:142, ayat ini

didahulukan bacaannya tetapi ayat ini di mansukh dengan (QS.al-

73 Abdul Mun’im an-Namr, Ibid., hlm 219. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 211. 74 az-Zarkasyi, op. cit., hlm. 45. Ibn al-Jauzi, op. cit., hlm 13. Abi Abdul Jarir al-Thabari,

Tafsir al-Thabari, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar-al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1992, hlm. 526. asy-Syaukaniy, Fat al-Qadir, Jilid I, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994, hlm. 158.

Baqarah:144). Faidah didahulukan naskh di sini adalah untuk

menguatkan hukum ayat yang dinaskh sebelum mengetahuinya ayat

yang men-nasikh-nya.75

c. Naskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya.

Maksudnya, tulisan ayatanya sudah dihapus, sedangkan

hukumya masih tetap berlaku. Menurut perhitungan para peneliti ayat-

ayat yang telah dihapus hukumnya kurang lebih terdapat 144 ayat.76

Dalil yang menetapkan adanya naskh ini adalah hadits ‘Umar

bin khatab dan Ubai Bin Ka’ab yang berkata:

القران الشيخ والشيخة ادازنيا فارجموهما البتة كا ن فيما انزل من

نكاال من اهللا

“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang menjelaskan “ Orang tua dan orang tua perempuan itu jikalau keduanya berzina, maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah.77

Dari ayat itu Umar bin Khatab r.a berkata: “jika manusia

bertanya: Beliau lalu menambahi keterangan didalam al-Qur’an (kitab

Allah) sesungguhnya saya telah menulis dengan tangan saya sendiri.

(HR: Bukhari yang bersanad Muallaq.78

Faedah ditetapkannya bacaan dan di-nasakh hukmnya ada dua:

pertama, mengingat al-Qur’an kalam Allah agar mendapat pahala bagi

yang membacanya. Kedua, untuk meringankan beban hukum bagi para

muallaf.79

75 az-Zarkasiy, loc. cit., 76Ibrahim al-Abyadi, Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H., Jakarta, Rineka Cipta,

cet I, 1992, hlm 109-113. 77 az-Zarkasiy, op. cit., hlm. 41. 78 az-Zarkasiy, op.cit., hlm. 42. 79Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II,

2011, hlm. 174. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Singapura, Haramain, cet II, 2004, hlm 222-225.

Adapun bentuk nasakh di sini menurut Muhammad Abu Zahrat

membagi naskh menjadi 4 macam yaitu: sharih, dhimmi, juz’i dan

kulli, yaitu:80

1) Nasakh Sharih

Yaitu suatu naskh yang terang, tegas dinyatakan dalam

nash yang kedua, bahwa ia me-naskh-kan nash yang pertama atau

suatu nash dimana syar’i menyebutkan dengan jelas dalam pen-

tasyri’an yang menyusul terhadap pembatalan penetapan

hukumnya yang terdahulu. Misalnya sabda Nabi:81

كنت نهيتكم عن زيارة القبوراالفزروها فانهاتدكركم االخر“Aku pernah melarang kamu berziarah kubur, Ingatlah, ziarah ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur mengigatkan kamu akan kehidupan akhirat. (HR. Ibn Majah)

Dalam hadist tersebut dinyatakan asbab al-Wurud-nya

bahwa suatu ketika Nabi Saw. melarang umat Islam berkunjung ke

kekuburan. Agaknya hal ini disebabkan oleh orang-orang yahudi

dan Nasrani, tetapi setelah kaum muslim menghayati arti tauhid

dan larangan syirik kekhawatiran tersebut menjadi sirna, dan ketika

itu Nabi Saw. memperbolehkan bahkan menganjurkan ziarah

kubur.82 Ziarahilah kubur, karena hal tersebut dapat mengigatkan

kalian kepada akhirat.

Dalam hadist lain di Rasulullah Saw bersabda:

انما نهيتكم عن ادخار لحوم االضاحي الجل الدافة االفادخروا

80 Ibid., hlm. 172. 81 Totok Jumantoto dan Syamsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikh, t.k., Amzah, cet I,

2005, hlm. 253. Nasaruddin Baidan, loc. cit., Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hlm. 223. 82 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet II, 1992. hlm. 353. Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 234. Bahwa hadist tersebut HR. Hakim, sebagaimana dari sahabat Nabi. melalui peryataan Anas bin Malik dalam beberapa kisah sahabat ketika itu beliau berada di dekat sumur ma’unah,

“Aku melarang kamu menyimpan daging kurban hanyalah karena penumpukan. Ingatlah, simpanlah daging itu.

Nasikh sharih ini banyak terdapat dalam hukum positif,

karena mayoritas undang-undang dibuat untuk menggantikan lebih

dahulu.

2) Nasakh Dhimmi

Yaitu: nasikh yang untuk mengisyaratkan hukum yang

berlawanan dengan hukum yang terdahulu darinya atau suatu

nasakh dimana syar’i tidak menyebutkan secara terang terangan

dalam pensyariatannya yang terdahulu, akan tetapi ia

mensyariatkan hukum baru yang bertentangan dengan hukumnya

yang terdahulu, padahal tidak mungkin untuk mensintesakan antara

kedua hukum itu, kecuali dengan membatalkan salah satu dari

keduanya, sehingga nash yang munyusul dengan me-naskh-kan

terhadap yang terdahulu secara kandungannya (dhimmi).83

Nasakh dhimmi banyak terdapat dalam penetapan hukum

Ilahi. Contohnya firman Allah SWT.

|= ÏGä. öΝä3ø‹ n=tæ #sŒ Î) u�|Ø ym ãΝä.y‰tn r& ßNöθ yϑø9 $# βÎ) x8t� s? # ��ö� yz

èπ§‹ Ï¹uθ ø9 $# Ç÷ƒ y‰Ï9≡ uθ ù=Ï9 tÎ/t� ø%F{ $#uρ Å∃ρã� ÷èyϑø9 $$ Î/ ( $ ˆ)ym ’ n? tã tÉ)−F ßϑø9 $#

∩⊇∇⊃∪

Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. [2] al-Baqarah:180)

Ayat di atas menunjukan bahwa apabila seseorang yang

memiliki harta yang banyak dan datang tanda-tanda maut, maka

83 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta,

Pustaka Firdaus, cet IX, hlm. 295. Totok Jumantoto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqh, t.k., Amzah, cet I, 2005, hlm. 253-255.

wajib berwasiat secara ma’ruf. Kemudian datang firman Allah

tentang pembagian warisan: (QS. an-Nisa: 11)

ÞΟä3ŠÏ¹θ ムª!$# þ’Îû öΝà2ω≈ s9 ÷ρr& ( Ì� x.©%#Ï9 ã≅ ÷VÏΒ Åeáym È÷ u‹ sVΡW{ $# 4

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. (QS. [4] an-Nisa:11)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menentukan bagian

harta peninggalan setiap pemilik harta kekayaan diantara para

pewarisnya sesuai dengan sesuatu yang dituntut oleh hikmahnya,

dan pembagian tersebut tidak kembali sebagai hak orang yang

mewariskan sendiri. Hukum ini bertentangan dengan hukum yang

pertama dalam padangan jumhur Ulama.

3) Nasakh kulli

Yaitu, pembuat dulu membatalkan hukum yang

disyariatkan sebelumnya dengan suatu pembatalan secara kulli

(keseluruhan) dalam kaitannya dalam setiap individu para

mukallaf.

Seperti membatalkan ‘iddah wanita yang ditinggalkan oleh

suaminya selama satu tahun dengan iddah-nya empat bulan

sepuluh hari, sebagimana firman Allah SWT:

tÏ% ©!$#uρ šχöθ ©ùuθ tGムöΝà6ΨÏΒ tβρâ‘x‹tƒ uρ % [`≡ uρø— r& Zπ§‹ Ï¹uρ

ΟÎγ Å_≡ uρø— X{ $�è≈ tGΒ ’n<Î) ÉΑöθ y⇔ø9 $# u�ö� xî 8l#t� ÷zÎ) 4

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. [2] al-Baqarah; 240)

Kemudian Allah Berfirman:

tÏ% ©!$#uρ tβöθ ©ùuθ tF ムöΝä3ΖÏΒ tβρâ‘x‹ tƒ uρ %[`≡ uρø— r& z óÁ−/u�tItƒ £Îγ Å¡ à'Ρr' Î/

sπ yèt/ö‘r& 9� åκô−r& # Z�ô³tãuρ (

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. [2] al-Baqarah; 234)

4) Nasakh Juz’i

Yaitu, pembuatan hukum secara umum uyang meliputi

setiap perseorangan dari mukhallaf, kemudian ia membatalkan

hukum ini dengan kaitannya dengan sebagian individu atau

pembuat hukum mensyariatkan hukum secara mutlaq, lantas

membatalkan untuk sebagian kondisi, nash yang membatalkan

pemberlakuan hukum yang pertama sekali, akan tetapi ia

membatalkannya dalam kaitannya dalam sebagian individu atau

sebagian kondisi. Contoh firman Allah SWT:

tÏ% ©!$#uρ tβθãΒ ö� tƒ ÏM≈ oΨ|Áós ßϑø9 $# §ΝèO óΟ s9 (#θ è?ù' tƒ Ïπyèt/ö‘r' Î/ u !#y‰pκà−

óΟèδρ߉Î=ô_ $$ sù t ÏΖ≈ uΚrO Zοt$ ù#y_ Ÿωuρ (#θè=t7 ø)s? öΝçλ m; ¸οy‰≈ pκy− # Y‰t/r& 4 y7 Í×‾≈ s9 'ρé& uρ ãΝèδ tβθà)Å¡≈ x'ø9 $# ∩⊆∪

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS: [24] an-Nur: 4)

Firman ini menunjukan orang yang menuduh zina wanita

baik-baik, dan tidak dapat menunjukan buktinya maka orang

tersebut didera dengan hukuman delapan puluh kali deraan, baik

penuduhnya itu suaminya sendiri atau orang lain.

Dan firmanAllah SWT:

tÏ% ©!$#uρ tβθ ãΒ ö� tƒ öΝßγ y_≡ uρø—r& óΟ s9 uρ ä3tƒ öΝçλ °; â !#y‰pκà− Hω Î) öΝßγ Ý¡ à'Ρr&

äοy‰≈ yγ t±sù óΟ Ïδ ωtn r& ßìt/ö‘r& ¤N≡ y‰≈ uηx© «!$$ Î/ � …çµ ‾ΡÎ) z Ïϑs9

šÏ%ω≈ ¢Á9 $# ∩∉∪

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.(QS. [24] An-Nur: 6)

Ayat ini menunjukan jika penuduh berzina itu adalah

suaminya sendiri,maka ia tidak dihukum dera, akan tetapi ia dan

istrinya saling bersumpah li’an. Jadi nash yang kedua me-nasakh-

kan hukum tuduhan zina dalam kaitannya dengan para suami.

Nasakh ini merupakan nasakh juz’i, sebab jika pada

pertama kalinya pembuat hukum mensyariatkan hukum nash yang

umum atas dasar keumumannya atau nash yang tidak mutlak sesuai

dengan kemutlakannya, kemudian sesudah ittu dengan masa

tenggang ia mensyariatkan hukum bagi sebagian satuan satunya,

atau dibatasi dengan suatu batasan. 84

Dari sini timbul pertanyaan yang sangat besar dalam benak

kita, apa urgensi dari nasikh-mansukh ini? Bukanlah jika bacaan

dan hukumnya tetap berlaku akan dapat menambah lahirnya pahala

berganda dari pada melakukan hukumnya. Dalam hal ini zarkasyi

memberi jawaban, yakni agar tampak kadar ketaatan umat dalam

persiapan mengusahakan diri memenuhi panggilan dengan jalan

zhann tanpa menuntuk jalur pasti, sebagai terjadi pada Ibrahim

84 Ibid., hlm 256. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, cet II, 2011, hal, 173. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 266.

ketika bergagas memenuhi perintah Allah untuk menyembelih

puteranya yang disampaikan lewat mimpi.85

5. Hikmah teori Nasikh- Mansukh

Allah sebagai pembuat syari’at akan memperlihatkan hikmah dari

mengadakan naskh. Menurut Manna’ al-Qattan, sedikitnya ada lima

katagori hikmah yang terkadung dalam naskh. Yaitu:86

a. Hikmah secara umum

Bahwa adanya naskh ini untuk menunjukkan bahwa syari’at

Islam merupakan syariat paling sempurna yang menaskh syari’at-

syariat yang datang sebelumnya, karena syari’at Islam berlaku untuk

setiap situasi dan kondisi, maka adanya naskh ini berfungsi menjaga

kemaslahatan umat.87

b. Hikmah naskh tanpa pengganti

Terkadang ada naskh terhadap suatu hukum tetapi tidak

ditentukan dengan hukum lain sebagai penggantinya, selain bahwa

ketentuan hukumnya sudah berubah. Misalnya naskh terhadap hukum

wajib memberikan sedekah sebelum menghadap Rasulluah dari ayat

12 surat al-Maidah, yang oleh ayat 13 hukum itu dihapuskan

(mansukh) tetapi tidak disebutkan hukum penggantinya, selain bahwa

kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi.

Hikmah ini untuk menjaga kemaslahatan manusia sebab

dengan penghapusan kewajiban bersedekah itu lebih baik dan lebih

menyenangkan mereka. Maksudnya seseorang akan bebas bertanya

dan menghadap beliau tanpa harus mempersiapkan dana untuk

bersedekah terlebih dahulu.

c. Hikmah naskh dengan pengganti yang seimbang

85 az-Zarkasiy, loc.cit., 86 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 240-

241. 87Ahmad Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut, Dar al-Turats al-

Arabiy, cet III, t.th., hlm 187. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 194-196.

Naskh, di samping menghapuskan ketentuan juga menentukan

hukum baru sebagai penggantinya. Penggantiannya itu sering

seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya

naskh tentang ketentuan menghadap kiblat ke Bait al-Muqaddas

sebagai terdapat dalam (QS. [2] al-Baqarah:144).

d. Hikmah Naskh dengan pengganti yang lebih berat

Hikmah semacam ini dapat dilihat dalam (QS. [4] al-Nisa’: 15)

yang menjelaskan tentang hukuman kurungan terhadap istri-istri yang

menyeleweng selingkuh), ketentuan tersebut dinaskh dengan hukuman

yang lebih berat, yakni hukuman jilid (cambuk) hingga 100 kali

cambuk (QS. [24] al-Nur: 4) Hikmah ini dibuat dalam upanya

menambah kebaikan dan pahala.

e. Hikmah Naskh dengan pengganti yang lebih ringan

Hikmah ini dapat dilihat mengenai rasio kekuatan tentara islam

dengan antara musuh dengan berbanding 1:100 dalam ayat 65 surat al-

Anfal dinaskh dengan ayat 66 surat yang sama yaitu rasio itu hanya 1:2

saja. Hikmah ini bertujuan untuk memberi dispensasi kepada umat

agar bisa merasakan kemurahan Allah SWT.88

Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan

menyatkan bahwa hukum-hukum tidak di undangkan kecuali untuk

kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat

perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang

diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang

mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka

merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia naskh (dibatalkan) dan

diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan

demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari

manfaatnya untuk hamba-hamba Allah swt. Lebih jauh dikatakannya

bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien.

88 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 240-241. Supiana dan M. Karman, Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet II, 2002, hlm. 160.

Para Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum

yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.89

Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat syaikh Maraghi

sebagaimana penjelasan di atas, bahwa hukum bersifat kondisional

yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat tertentu

sehingga hukum tesebut menjadi lebih baik lagi dari hukum yang lalu

dan setidaknya hukum tersebut memiliki kualitas yang sepadan dengan

hukum-hukum yang telah lalu, sebagaimana pada penjelasan yang

sudah lewat.

B. Bukti-bukti adanya Teori Nasikh-Mansukh

1. Beberapa Aspek tentang Teori Nasikh-Mansukh

Perlu diketahui bahwa dalam persoalan ini tidaklah mudah

menentukan ayat nasikh-mansukh itu, pengetahuan tentang nasikh-

mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi kalangan bagi para

ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir, dan ahli ushul, agar pengetahuan

tentang hukum tidak menjadi kacau oleh sebab itu terjadi (perkataan

sahabat atau tabi’iin) yang mendorong agar mengetahui ayat itu.

Dalam membicarakan tentang nasikh-mansukh, beberapa ulama’

menerapkan bebrapa ketentuan, menurut Zarqaniy apabila ada dua ayat

yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan, maka harus

diketahui urutan ayat-ayat tersebut seluruhnya, logikanya jika antara ayat

nasikhah dengan ayat mansukhah itu terjadi tanaqut (pertentangan), maka

orang tersebut menyakini adanya pertentangan sesama (internal) ayat al-

Qur’an padahal, kemungkinan terjadi pertentangan sesama ayat al-Qur’an

itu sama sekali ditolak oleh al-Qur’an sebagai mana terdapat dalam surat.

(QS. [4] an-Nisa 82) .

Padahal kenyataan bahwa di dalam al-Qur’an sama selaki tidak

ditemukan ayat-ayat yang pertentangan antara yang satu dengan yang

lain. Jika demikian halnya, tepatkah ada naskh mansukh dalam al-

89 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992, hlm. 145.

Qur’an?90 Oleh karena itu, dalam memahami nasikh harus berdasarkan

nash yang jelas (sharih) dan bersumber dari Rasulullah saw.

Hal ini berdasarkan sahabat, ketika menemukan dua ayat yang

kelihatan bertentangan mereka suka menggunakan kalimat ayat ini

dinuzulkan setelah ayat itu نزلت ھده ا)ية بعد تلك ا)ية( ), atau ayat ini

dinuzulkan sebelum ayat itu ( قبل تلك ا)ية ا)ية نزلت ھده ) atau ayat ini

diturunkan pada tahun sekian( عام كدا نزلت ھده ا)ية ) misalnya kiblat yang

mulanya di Baitul Maqdis di Palistina, sebagaimana terdapat dalam Al-

Qur’an al-Baqarah ayat 143, setelah ada dalil yang menghapuskannya

QS.ayat 144, maka kiblat tersebut tidak berlaku lagi dan diganti dengan

masjidil Haram.91

Naskh hanya terjadi pada printah dan larangan baik yang

diungkapkan dengan jelas (sharih) maupun yang diungkapkan lewat

kalimat berita, yang menggunakan arti printah atau larangan. Nasikh tidak

terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan aqidah, adab, dan akhlaq,

serta pokok-pokok ibadah dan mu’alamah, nasikh juga tidak terjadi pada

berita yang jelas tidak bermakna thalab (tuntutan, perintah, atau larangan)

seperti: (al-Wa’d) janji dan (al-Wa’id) ancaman.

Sementara itu Suyuthy memperkuat bahwa karena nasikh ini erat

hubungannya dengan hukum, maka yang terdapat di dalamnya hanya hal-

hal yang berhubungan dengan printah dan larangan, adapun kalimat berita

yang mengandung tuntutan (thalab), termasuk janji dan ancaman, nasikh

tidak berlaku, begitu juga kaitannya dengan aqidah dan akhlak. Sebab

printah terhadap keduanya sudah jelas, berlaku untuk selamanya dan tidak

ada perbedaan secara individu maupun secara kolektif.92

2. Pengulangan terhadap Teori Nasikh-Mansukh

90 Muhammad Amin Suma, “Nasikh-Mansukh dalam tinjauan Historis, Fungsional, dan

Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 37. 91 Muhammad Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Dar al-Manar, cet I, 1991,

hlm. 296. Supiana dan Karman, Ulum al-Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Pustaka Islamika, Bandung, cet I, 2002, hlm. 151.

92Jalal al-Din asy-Suyuthiy, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 33. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th., hlm. 233

Dalam al-Qur’an kata naskh dan derevisinya terdapat empat

konteks.93 Konteks pertama QS, al-Hajj:52 dari periode Mekkah Tengah,

disusul QS,al-Jitsiyyah ayat 29 dan QS, al-‘Araf ayat 154 dari periode

Mekkah akhir, kemudian QS. al-Baqarah ayat 106 dari periode Madinah.

Dalam QS. al-Hajj ayat 52 naskh diungkap dengan kata yansakh; berarti

menghilangkan, sedangkan dalam QS. al-Jatsiyyah ayat 29 diungkap

dengan kata nastansikh; berarti kami menyuruh menyalin atau mereka

secara tertulis apa-apa yang dilakukan oleh manusia di dunia. Sementara

dalam QS. al-‘Araf ayat 54 diungkap dengan kata nuskhah, yang berarti

salinan (rekaman) tertulis, berisi petunjuk dan rahmat. Salinan tertulis ini

tidak lain adalah wahyu yang diberikan kepada Nabi Musa. Jadi ayat-ayat

yang diturunkan di Mekkah, kata naskh bisa mengambil dua pengertian,

yaitu menghapuskan dan merekam secara tertulis.

Perlu di ingat bahwa surat-surat al-Qur’an itu dapat dibagi pada

ayat yang masuk dalam katagori nasikh dan ada yang tidak masuk dalam

katagori tersebut,94 sehingga para mufassir memberikan penjelasan bahwa

beberapa surat yang mengandung nasikh-mansukh dalam al-Qur’an itu

hanya terdapat 25 surat. Yaitu: Surat al-Baqarah, Surat al-Taubah, Surat

Ali-Imran, Surat Ibrahim,Surat an-Nisa, Surat an-Nahl,Surat al-Maidah,

Surat Maryam, Surat al-Anfal, Surat al-Ambiya, Surat al-Hajj, Surat al-

Nur, Surat al-Furqon,Surat al-Syu’ara, Surat al-Akhzab, Surat al-saba,

Surat al-Mu’minu, Surat al-Asyura, Surat al-Dzariyat, Surat al-Thur, Surat

al-Waqi’ah, Surat al-Mujaddalah, Surat al-Muzamil, Surat al-Takwir,

Surat al-‘Asr.

Dan ada diantara ulama’ yang mengatakan bahwa dalam al-Qur’an

terdapat mansukh tetapi tidak terdapat Nasikh, hal ini terdapat 40 surat.

Yaitu:

93M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, hlm. 143. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Kontekstual al-Qur’an, Bandung, Mizan, cet II, 1990, hlm 29. Supiana dan Karman, Ulumul al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 158

94Muhammad bin Abdillah Badr Al-Din az-Zarkasiy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz II, t.k., 1988, hlm. 40.

Surat al-An’am, Surat al-‘Araf, Surat Yunus, Surat Hud, Surat al-

Ra’d, Surat al-Hijr, Surat Subhan, al-Kahfi, Taha, al-Mu’minun, Surat al-

Naml, Surat al-Qasas, al-‘Ankabut, Surat al-Rum, Surat Lukman, Surat

Sajdah, Surat Al-Malaikat, Surat Al-Shafaat, Surat Shad, Surat al-Zumar,

Surat Fushilat, Surat al-Zuhruf, Surat al-Dhukhan, Surat al-Jatsyiah, Surat

al-Ahqaf, Surat Muhammad, Surat Qaff, Surat al-Najm, Surat al-Qomar,

Surat al-Mumtahanah, Surat Nun, Surat al-Ma’arij, Surat al-Mudatsir,

Surat al-Qiyamah, Surat al-Insan, Surat ‘Abasa, Surat al-Thariq, Surat al-

Ghasyiah, Surat al-Tin, dan Surat al-Kafirun.

Dan sebagian diantara mereka yang mengatakan bahwa beberapa

surat dalam al-Qur’an yang mengalami nasikh saja tetapi tidak mengalami

mansukh itu hanya terdapat di enam surat, yaitu:

Terdapat di Surat al-Fath, Surat al-Hasr, Surat al-Munafiqun, al-

Taghabun, Surat al-Thalaq, dan Surat al-‘Alaq.

Dan beberapa surat dalam al-Qur’an yang tidak terdapat nasikh-

mansukh ini terdapat di empat puluh tiga surat, yaitu:

Surat al-Fatihah, Surat Yusuf, Surat Yassin, Surat al-Hujuraat,

Surat al-Rahman, Surat al-Hadid, al-Shaf, Surat al-Jumuah, Surat al-

Tahrim, Surat al-Mulk, Surat al-Haqqh, Surat Nuh, Surat al-Jin, Surat al-

Mursalat, Surat al-Naba’ Surat al-Nazi’aat, Surat al-Infithaar, Surat al-

Muthafifin, Surat al-Insyiqaq, Surat al-Buruj, Surat al-Fajr, Surat al-Balad,

Surat al-Syams, Surat al-Lail, Surat al-Dhuha, Surat al-Insyirah, Surat al-

Qalam, Surat al-Qadr, Surat al-Infikak, al-Zalzalah, Surat al-‘Adiyat,

Surat al-Qariah, Surat al-Takastur, Surat al-Humazah, Surat al-Fiil, Surat

Qurayis, Surat al-Din, Surat al-Kaustar, Surat al-Nasr, Surat al-Lahab, al-

Ikhlas, Surat al-Falq, dan Surat al-Nas.95

3. Sifat dan Implikasi Nasikh-Mansukh

Naskh merupakan pokok masalah yang memilki kompleksitas yang

luas dan tinggi dalam teologi dan fiqih (yurispridensi) Islam. Paling tidak

ada dua jenis naskh yang diterima oleh mayoritas oleh ahli hukum

95 Ibn Jauziah, op. cit., hlm. 39-40. az- Zarkasiy, op. cit., hlm. 40-41.

Muslim, nask hukmi wa al-Tiwalah (penghapusan hukum maupun

teksnya) dan naskh al-hukm duna al-Tilawah, (penghapusan hukum tetapi

tidak teksnya).96

Secara fungsional, seperti ditegaskan oleh Muhammad Mahmud

Hijazi, keberadaan nasikh mansukh dalam pembentukan dan

pembangunan hukum sangatlah signifikan, bahkan benar-benar esensial

(daruri). Terutama ditengah-tengah umat (bangsa) yang pembangunan

hukumnya tengah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat

cepat. Dalam dunia medis dan kedokteran misalnya, apa yang tampak

sesuai untuk dijadikan obat pada hari ini, belum tentu cocok sebagai obat

untuk hal yang sama esok harinya.97

Jenis naskh yang pertama berhubungan dengan sejumlah ayat yang

pada suatu saat dikatakan oleh Nabi sebagai bacaan al-Qur’an, namun

kemudian Nabi sendiri mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut tidak lagi

dianggap bagian dari al-Qur’an. Di sini kita tidak menaruh perhatian pada

fenomena seperti itu karena jelas hal itu bukan merupakan isi hukum.

Ayat-ayat yang diperbincangkan oleh umat Islam itu, tidak ada

gunanya untuk tujuan ini. Kita lebih memusatkan pada jenis nasikh yang

kedua, dimana suatu teks masih menjadi bagian dari al-Qur’an tetapi

dianggap tidak berfungsi secara hukum.

Prinsip nasikh yang diterima oleh sebagian besar ahli hukum Islam

terlepas dari adanya pandangan antara beberapa persoalan, apakah suatu

ayat tertentu telah atau belum dihapus oleh ayat-ayat yang lain dan apakah

sunah dapat menghapus hukum al-Qur’an, atau sebaliknya, namun mereka

menyepakati naskh itu sendiri.98

Sebagaimana contoh: bahwa pelegalan al-Qur’an terhadap praktek

perbudaan dimasa awal-awal Islam yang kemudian dihapuskan sama

96Abdullah An-Na’im, Dokonstruksi Syariah, Terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin

Arrani, Yogyakarta, LKiS, cet I, 1994, hlm. 111. 97 Muhammad Amin Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan

Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 27. 98 Abdullah An-Na’im, op. cit., hlm. 112.

sekali mengisyaratkan pengakuan al-Qur’an terhadap teori naskh-

mansukh. demikian juga halnya dengan pengalihan arah kiblat dari masjid

al-Aqsa ke Masjid al-Haram, pembolehan nikah Mut’ah yang kemudian

diharamkan, pelarangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan, dan lain-

lain yang teramat banyak jumlahnya.99

Sehingga tidak keliru jika dikatakan juga bahwa Rasul sering

mentoleransi perbedaan-perbedaan tersebut, bahkan beliau mentoleransi

perbedaan pemahaman para sahabat menyangkut ucapan-ucapan beliau.100

Namun perlu diingat kembali, bahwa mengingat prinsip naskh

(dalam pengertian yanlg sesuai dengan diskusi sekarang ini), telah lebih

dahulu muncul pada akhir abad pertama Islam, namun status dan

peranannya selama periode paling awal tidak jelas. Tampak misalnya, ia

mengandung pengertian yang terbatas bagi banyak sahabat Nabi saw, yang

mencari ayat al-Qur’an berikutnya untuk menciptakan suatu pengecualian,

pengkhususan makna, atau memperjelas ayat-ayat yang lebih awal

katimbang menghapus keseluruhan.

Secara signifikan terungkap bahwa teori naskh seperti

dikembangkan dan diterapkan oleh para ahli hukum tidak mempunyai

referensi dari Nabi, karena tidak ditemukan apapun dari Nabi tentang

adanya ayat-ayat yang dihapus dalam al-Qur’an dalam pengertian

penghapusan hukum suatu ayat yang masih dalam bagian dari teks al-

Qur’an. Inilah mungkin mengapa kita menemukan perbedaan pandangan

yang begitu luas dikalangan para sahabat mengenai ayat–ayat yang

dihapus dan ayat-ayat yang masih mengikat dan yang masih berfungsi.101

Harus diingat kembali bahwa pembaruan internal yang dilakukan

dalam kerangka syari’ah tidak memadai lagi ketika berhadapan dengan

isu-isu hukum publik, selama ijtihad dalam kerangka syari’ah tidak dapat

diuji validitasnya (meskipun dalam masalah-masalah yang telah diatur

99 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 31. 100 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 364. 101 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 112.

oleh teks al-Qur’an dan sunah jelas dan terperinci, maka tidak ada satupun

prinsip dan aturan yang berkaitan dengan status perempuan non-Muslim

yang dapat disetujui atau harus diubah melalui ijtihad modern untuk

menggunakan istilah yang historis.102

Sehingga dalam hal ini Muhammad Syaltut menyimpulkan bahwa:

a. Dalam masalah akidah, penetapan nasikh-mansukh haruslah

menggunakan argumentasi yang bersifat qath’iy’.

b. Hal-hal yang tidak bersifat qath’iy, dan terjadi perbedaan pendapat di

dalamnya, tidak dapat dianggap sebagai masalah aqidah, dan tidak

pula pendapat oleh kelompok tertentu dalam masalah tersebut

merupakan pendapat yang (pasti) benar, sedangkan selainnya salah.

dan

c. Kitab-kitab yang membahas mengenai teologi, itu tidak hanya berisi

tentang masalah kewajiban saja yang harus diikuti, bahkan ia memiliki

kualitas yang tinggi, disamping itu memiliki potensi pada beberapa

teori ilmiah di mana argumentasinya saling bertentangan sehingga

teori tersebut bisa dipastikan, merupakan hasil dari konsensus ijtihad

para Ulama’.103

4. Karekteristik Teori Nasikh- Mansukh

a. Adanya pertentangan (Ta’rudl) antara hukum dengan hukum yang

lain.

Jika terjadi pertentangan antara dua zhahir nash al-Qur’an,

maka kedua nash tersebut harus di pertemukan dengan berbagai cara

untuk mempertemukan kedua nash adalah sebagai berikut:

1) Jika salah satu dari kedua nash tersebut menunjukkan pengertian

khusus (khash), jika yang lain berbentuk umum (‘Aam), maka nash

yang khash tersebut mentakhsis yang ‘am.104

102 Ibid., hlm. 114. 103 Quraish Shihab, op. cit., hlm. 367. 104 Ibn Jauzi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.,

hlm. 23. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 211.

2) Bila salah satu dari keduanya ketentuan ketentuan dasar syari’at,

sementara nash yang lainnya menyalahinya, maka nash-nash yang

menyalahinya harus dita’wilkan sehingga nash tersebut dapat

dipertemukan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ta’wil.

3) Apa bila tidak ada jalan yang dapat ditempuh untuk

mempertemukan kedua nash yang zhahirnya bertentangan tersebut,

maka mujtahid mengambil nash yang lebih kuat sanadnya. Jika

salah satu dari keduanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, yang satunya

berupa hadits ahad maka hadist tersebut masuk dalam katagori

hadis yang lemah sanadnya.

Jika jalan tersebut tidak dapat ditempuh, maka nash yang

menjelaskan pada hukum yang mengharamkan suatu perbuatan, lebih

didahulukan dari pada nash yang memperbolehkannya. Namun,

menurut pendapat yang lain nash di atas dibiarkan saja jika timbul

saatnya nash tersebut diketahui, maka nash yang datangnya lebih

akhir (belakangan) menaskh nash yang datang lebih dahulu. Disinilah

obyek nasikh (yang mengganti) dan mansukh (yang diganti)105

b. Ayat mansukh turun lebih dahulu dari pada nasikh.

Sebagaiman terdapat dalam (QS. [2] al-Baqarah:240), dan ayat

(QS. [2] al-Baqarah: 234), bertentangan dengan (QS: [4] al-Nisa: 43)

pada ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa keberadaan nasikh

mansukh dalam artian perubahan dan penggantian hukum suatu

masalah dalam lingkungan hukum Islam (fiqih) hingga sekarang masih

dan ingsyaallah akan terus berlanjut, termasuk di Indonesia.

Penghalalan, kemudian pengharaman dan penghalalan kembali produk

Ajinomoto di Indonesia lebih kurang dua tahun yang lalu, merupakan

salah satu contoh pemberlakuan nasikh mansukh dalam lingkungan

hukum shar’i yang ditopang dengan kaidah “al-Hukmu yadurru ma’a

‘illatihi wujudan wa’adaman” yang telah disebutkan di atas.

105 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et,al), Jakarta,

Pustaka Firdaus, cet IX, 2005, hlm. 282-283

Demikian pula dengan kemungkinan pencabutan pembatalan

keharaman hukum vasektomi yang semula diduga kuat (zann) akan

menjadi penghalang permanen bagi pelakunya dari kemungkinan

memberikan pembuahan (kehamilan) kepada istri tetapi dengan cara

rekonsialisasi, vasektomi kemudian sekarang ini telah bisa diatasi.106

C. Pandangan Ulama terhadap Teori Nasikh-Mansukh

Abdul Wahab al-Khallaf berpendapat bahwa memeng terdapat nasikh

sebelum Rasulullah wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasikh

itu.107 Suyuti lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh.108

Muhammad bin ‘abdullah az-Zarkasiy dan az-Zarqaniy kedua beliau

cenderung menolak nasikh.109 Sedangkan jumhur ulama menyetujui adanya

naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai me-nasikh al-Qur’an dengan

sesama al-Qur’an, hal ada tiga, sebagaimana keterangan di masa atas, 110apalagi dengan persoalan me-nasikh al-Qur’an dengan al-Hadits.

Kebanyakan ulama atau yang umum dikenal dengan sebutan Jumhur,

berpendirian bahwa me-nasikh sebagian ayat al-Qur’an dengan sebagian yang

lain hukumnya boleh bahkan diantara mereka ada yang tidak keberatan untuk

menasakh al-Qur’an dengan al-Hadits.111

Di samping alasan-alasan di atas, mereka berpendapat bahwa dalam al-

Qur’an, secara implisit, memang mengandung konsep nasikh. Oleh karena itu,

jika seorang ingin menafsirkan al-Qur’an, maka ia harus terlebih dahulu

mengetahui tentang nasikh dan mansukh112

106 Muhammad Amin Suma, “Nasikh-Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan

Shar’i”, dalam Jurnal al-Insan, Kajian Islam, No. 1, Vol. 1, Januari 2005, hlm. 31-32. 107 Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm 222. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu

Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 176. 108 asy-Suyuti, op. cit., hlm. 21-22. 109 az-Zarkasiy, Badr Al-Din Muhammad bin Abdillah, al-Burhan fi Ulum al- Qur’an,

jilid II, Dar al-Fikr, 1988, hlm. 44. az- Zarqaniy, op. cit., hlm. 239. 110 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 236-237. 111 Muhammad Amin Suma, op. cit., hlm. 32. 112 asy-Suyuthi, op. cit., hlm 27. az-Zarkasiy, op. cit., hlm 29. az-Zarqaniy, op. cit., hlm.

174-175.

Diskursus nasikh sudah ada bersama dengan munculnya keinginan

umat Islam mempelajari al-Qur’an secara mendalam sejak periode sahabat

hingga sekarang. Bersamaan dengan munculnya diskursus nasikh ini, terdapat

perbedaan tentang terminologi nasikh. Para ulama mutaqaddimin (abad I

hingga abad III H) memperluas arti nasikh sehingga mencakup:

1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum

yang ditetapkan kemudian.

2. Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang

datang kemudian.

3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar

4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Sehingga perbedaan pendapat dikalangan ulama sulit untuk

dihindarkan, baik dari peristilahan hingga hakikat naskh sendiri dalam al-

Qur’an. Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan

hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh

apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti

misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah

disaat kaum muslimin lemah, dianggap telah di-nasikh oleh perintah atau izin

berperang pada periode Madinah, sebagaimana yang beranggapan bahwa

ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa

pra-Islam merupakan dari pengertian nasikh.113

Secara garis besar, ada dua kelompok pendapat yang membicarakan

naskh ini; pertama kelompok yang setuju (pro) kedua kelompok- kelompok

yang tidak setuju (kontra), yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahaniy.

113 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 144. Abdul Azim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Al-Halabiy, Mesir, 1980, hlm. 254. az-Zarkasiy, Badr al-Din Muhammad bin Abdillah, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Dar al-Fikr, 1988, hlm 49. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 242.

i. Pandangan Ulama’ Klasik.

Abu Qasim yang dikenal dengan Abu Salamah telah menyatakan

bahwa dalam al-Qur’an hanya sekitar 43 surat terdapat di dalamnya nasikh

mansukh; 6 surat nasikh saja; dan 40 surat mansukh saja.

Sedangkan Zarkasiy mengatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat

43 surat yang di dalamnya tidak mengalami nasikh dan mansukh, 6 surat

yang nasikh saja, 40 surat yang mansukh saja, 31 surat yang nasikh dan

mansukh.114

Imam bin Abdillah Muhammad bin barakat al-Sa’di. Beliau

menyaksikan perkataan al-Nakhas. Perlu diketahui kembali bahwa al-

Qur’an diturunkan dari langit secara utuh (satu kesatuan) dalam al-kitab,

yaitu di dalam lauh al-Mahkfudz, sebagaimana firman Allah Swt:

’Îû 5=≈tGÏ. 5βθãΖõ3Β ∩∠∇∪ āω ÿ… çµ�¡yϑtƒ āω Î) tβρã� £γ sÜßϑø9 $# ∩∠∪

Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. {56} al-Waqiah: 78-79) Sehingga dari sini para ulama berselisih pendapat dikatakan

mansukh yaitu apa yang telah di angkat bacaannya ketika diturunkannya

al-Qur’an. Sebagaimana mengangkat pekerjaannya. Kemudian dari sini

timbul pertanyaan sederhana apa hikmah dari ditetapkan hukumnya?

Sesungguhnya hal itu untuk membuktikan kadar ketaqwaan

terhadap umat terhadap tindakan pengendalian diri pada prasangka yang

tidak dapat menghantarkan untuk mencari jalan keluarnya. Maka mereka

bergagas untuk mencari sesuatu, sebagaimana Nabiyullah Ibrahim

Khalilullah AS, bersegera untuk menyembelih anaknya diwaktu tidur.

karena tidur itu lebih dekat dalam proses penerimaan wahyu.115

Adanya menurut para pendukung ini didasarkan kepada (QS. [16]

al-Nahl: 101), dan QS. [2] al-Baqarah: 106).

114 az-Zarkasiy, op. cit., hlm. 40. 115 az-Zarkasiy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Beirut, Dar al-Fikr, cet II, 1988,

hlm. 44.

#sŒ Î)uρ !$ oΨø9 £‰t/ Zπ tƒ#u šχ%x6 ¨Β 7π tƒ#u � ª!$#uρ ÞΟn=ôãr& $ yϑÎ/ ãΑÍi”t∴ム(# þθ ä9$ s% !$ yϑ‾ΡÎ)

|MΡr& ¤�tIø'ãΒ 4 ö≅ t/ óΟèδ ç�sYø.r& Ÿω tβθ ßϑn=ôètƒ ∩⊇⊃⊇∪

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(QS. [16] an-Nahl: 101)

Berdasarkan ayat di atas bahwasanya Allah swt, telah

menurunkan ayat di tempat yang lain sebagai pengganti ayat yang

telah turun di masa lalu, sehingga pendapat ini menjadi tendensi

khusus bagi para pendukung nasikh.

$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ô ÏΒ >πtƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö� sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$ yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès? ¨βr&

©!$# 4’n? tã Èe≅ä. & ó x« í�ƒ ωs% ∩⊇⊃∉∪

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS: [2] al-Baqarah: 106)

Ayat tersebut berbicara, bahwa Allah swt, berfirman secara

konkrit dan jelas dalam ayat tersebut, di mana peryataan Allah

benar-benar mengganti ayat satu dengan ayat yang lain dengan

yang lebih baik lagi atau dengan yang semisal.

Menurut penulis ayat ini berarti dapat dikonotasikan

dengan persoalan tentang hukum, bahwa ketentuan hukum dari

hukum satu kehukum yang lain merupakan suatu perbaikan yang

terus di lakukan sepanjang peradaban manusia, sejak Nabi Adam

hingga Nabi Muhammad saw., dengan melihat situasi dan kondisi

masyarakat setempat, sehingga terciptalah masyarakat yang

Baldatun Thayibatun wa rabun gofur dengan berprinsip kepada

norma-norma kemanusian, dengan demikian ayat tersebut banyak

dikalangan ulama yang mengambil ayat ini sebagai pijakan atau

landasan berfikir ke teori nasikh.

Dan berdasarkan pernyataan Ali Bin Abi Thalib kepada seorang

Hakim:

هلكت واهلكت , تعرف الناسخ من المنسوخ قال الا“Apakah kamu mengerti tentang nasikh-mansukh? Tidak, jawabnya. (kalau begitu) kamu binasa dan membinasakan orang lain, ujar Ali).

Dijelaskan oleh mereka syari’at yang dibawa setiap rasul itu

menaskh syari’at yang datang sebelumnya.ayat 48 dari surat al-Maidah

sebagaimana yang telah dikemukakan mereka menunjukan

diperbolehkannya nasikh ayat sebagai dimaksud. Hal ini merupakan

penolakan ayat yang berlaku bagi mereka. Kendati mereka sepakat adanya

naskh dalam al-Qur’an, namun dalam penerapannya terjadi perbedaan

pendapat.

Imam Malik, Madzhab Abu Hanifah, dan jumhur Mutakallimin

dari Asy ‘ariyyah dan Mu’tazilah mereka sepakat bahwa nasikh tidak

terjadi antar ayat dalam al-Qur’an semata, tetapi sunah pun dapat menaskh

al-Qur’an, alasan mereka bahwa al-Qur’an sebagaimana al-Sunnah,

merupakan wahyu Allah swt.

$ tΒ uρ ß, ÏÜΖtƒ Çtã #“uθ oλ ù; $# ∩⊂∪ ÷βÎ) uθ èδ āω Î) Ö óruρ 4 yrθム∩⊆∪

“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. [53] al-Najm 3-4).

Karena sunah yang dapat menasikh al-Qur’an hanyalah sunnah

yang Mutawatir, sedangkan hadis ahad tidak menaskhnya, karena

termasuk dalil zhanni dan al-Qur’an termasuk dalil Qat’i.116 Sedangkan

116 Muhammad ‘Abd al-‘Azhim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II,

Beirut, Dar al-Fikr, 1980, hlm. 241.

Imam Syafi’i117 (w 204 H) Ahmad bin Hambal dan Madzhab al-Zhahiri

menolak bahwa al-sunnah dapat menaskh al-Qur’an, sebab kedudukan

Rasullullah hanya sebagai dasar dalam menjelaskan al-Qur’an.

Sebagaimana firman Allah swt.

ÏM≈uΖÉi�t7 ø9 $$ Î/ Ì� ç/–“9$#uρ 3 !$uΖø9 t“Ρr& uρ y7 ø‹s9 Î) t�ò2Ïe%!$# t Îit7 çF Ï9 Ĩ$ ¨Ζ=Ï9 $ tΒ tΑÌh“ çΡ öΝÍκö� s9Î)

öΝßγ ‾=yès9 uρ šχρã� ©3x'tGtƒ ∩⊆⊆∪

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS. [16] al-Nahl: 44).

Pada masa sebelum Abu Muslim al-Isfahaniy dan kawan-kawan

(254-322 H.)118 mayoritas ulama tanpa ragu menetapkan ayat-ayat yang

termasuk nasikh dan ayat-ayat yang termasuk mansukh. Ia kemudian

diikuti oleh para ulama mutaakhirin.119

Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Muslim al-Isfahaniy, juga

di dukung oleh az-Zarqaniy kedua beliau ini (menolak adanya naskh) dan

namun, bagi yang sependapat dengannya mengatakan bahwa QS. al-

Baqarah: 106. Yang oleh para pendukung naskh kata ayat sebagian ayat al-

Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum, diartikan oleh

mereka mukjizat Nabi Muhammad,120 Sebagaimana firman Allah swt.

117 Prihal me-nasikh al-Qur’an dengan sunah, beliau menolak dan tidak membenarkan

sama sekali, Maksudnya beliau ialah mengagungkan kitabullah dan Sunnah Rasulnya serta menjaga saling keterkaitan dan kecocokannya. Jika kedua-duanya tidak cocok maka sunnah di-nasikh oleh al-Qur’an. Subhi Shalih, Mabahis fi Ulumil al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1985, hlm. 340. al-Risalah, karya Imam asy-Syafi’i.

118 Nama lengkapnya adalah muhammad bin Bahr, dikenal dengan Abu muslim al-ashfahani penganut Madzhab Mu’tazilah, termasuk Ulma’ahli Tafsir kenamaan. Wafat pada tahun 322 H. Subhi Shalih, loc. cit.,

119 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 177.

120 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 147-148.

ö≅ t/ (# þθ ä9$s% ß]≈ tó ôÊ r& ¥Ο≈ n=ôm r& È≅t/ çµ1u�tIøù$# ö≅t/ uθèδ Ö�Ïã$ x© $ uΖÏ?ù' uŠù=sù 7π tƒ$ t↔Î/

!$ yϑŸ2 Ÿ≅Å™ö‘ é& tβθ ä9ρF{ $# ∩∈∪

“Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Qur’an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (QS. [21] al-Anbiya: 5)

Selanjutnya mereka mengatakan bahwa seandainya Allah

membolehkan adanya nasikh, maka hal ini mencerminkan adanya dua

kebatilan, yakni ketidaktahuan-Nya dan sesuatu yang sia-sia.121 Hal ini

jelas bertentangan dengan.

āω ϵ‹Ï?ù' tƒ ã≅ÏÜ≈t7 ø9 $# . ÏΒ È ÷t/ ϵ ÷ƒ y‰tƒ Ÿωuρ ô ÏΒ ÏµÏ'ù=yz ( ×≅ƒÍ”∴s? ô ÏiΒ AΟŠÅ3ym

7‰ŠÏΗxq ∩⊆⊄∪

“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. [41] Fushilat: 42)

Atas dasar ayat ini, Abu Muslim, mengatakan bahwa ayat-ayat

yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ada yang batal. Oleh karena itu jika

nasikh diartikan membatalkan, maka yang demikian itu bertentangan

dengan ayat tersebut. Atas dasar itu ia lebih suka menyebut kata naskh

dengan istilah takhshis122. Karena untuk mencabut bagian-bagiannya saja,

harus ditempuh dengan majaz. Kata “keumuman” adalah subjek pokok

bagi setiap bagian, tidak membatasi bagian-bagian lainnya kecuali disertai

pengkhususan.

Pengkhususan bila terjadi pada berita-berita hadist dan lain-lain,

sedangkan nasikh tidak terjadi pada sebaliknya. Diantara dalil-dalil yang

121 az-Zarqaniy, op. cit., hlm 199. Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan

Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 155. 122 Definisi takhshis adalah membatasi dengan keumuman sesuatu hanya pada baian-

bagiannya, dan membatasi seperti itu tidak benar-benar mencabut beberapa bagian dari ketetapan hukum. az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 184-185.

melandasi “pengkhususan” ialah fikiran dan perasaan, di samping

kitabullah dan Sunnah Rasul.

Adapun pendapat bahwa al-Qur’an itu tidak nasikh, sebagaimana

dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Ashfahani yang berargumentasi:

a. Sekiranya al-Qur’an ada yang di-mansukh-kan berarti ada sebagian

yang dibatalkan.

b. Al-Qur’an adalah syari’ah yang kekal dan pribadi sampai hari

kemudian, hal ini menghendaki hukumnya untuk berlaku untuk

sepanjang masa dan tidak ada yang dinasakhkan. Kebanyakan hukum

al-Qur’an bersifat kulli bukan juz’i, dan penjelasan dalam al-Qur’an

bersifat ijmal bukan tafshil, ini dikehendaki agar tidak ada hukum yang

dimansukhkan.

c. Tentang ayat-ayat yang dikatakan telah dihapuskan bacaannya

misalnya tentang rajam, sangat diragukan kebenarannya, ini nampak

dengan kata-kata Umar sendiri. “kalau tidak karena khawatir bahwa

orang-orang yang berkata” :Umar telah menambahkan kitab Allah”.

Tentu aku akan menulisnya, karena kita telah membacanya.123

d. Dalam menjawab pertanyaan yang berbunyi:

$ tΒ ô‡|¡ΨtΡ ô ÏΒ >πtƒ#u ÷ρr& $ yγ Å¡ΨçΡ ÏNù' tΡ 9�ö� sƒ¿2 !$ pκ÷]ÏiΒ ÷ρr& !$ yγ Î=÷W ÏΒ 3 öΝs9 r& öΝn=÷ès? ¨βr&

©!$# 4’n? tã Èe≅ä. & ó x« í�ƒ ωs% ∩⊇⊃∉∪

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. [2] al-Baqarah: 106)

Abu Muslim menafisirkan bahwa kata lafal yang disitu dengan

kata mu’jizat, kalau Abu Muslim al-Ashfahani dan rekan-rekannya

dianggap telah mencampur pengertian naskh dengan Rasulullah saw,

menurut Zarqaniy dalam Manahil Irfan fi Ulum al-Qur’an, beliau berkata:

123 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 78.

pada ayat tersebut beliau menunjukan bahwa larangan menasikh al-Qur’an

dengan sunah, karena sunah tidak lebih baik dari pada al-Qur’an, dan tidak

menerima selain al-Qur’an-dengan al-Qur’an. atau ayat pada kitab

sebelum al-Qur’an, yang di-mansukh-kan oleh al-Qur’an.124 Oleh karena

itu, munculah kaidah yang mnyebutkan:

النسخ لحكم شرعي في القران او السنة بعد وفاةالرسول ص م واما في حيا

ومسايرته المصالح نسخ بعد االحكام, ته فقد اقتضت سنة الدرج بالتشريع

.التي وردت فيهما ببعض نصو صهما نسخا كليا اونسخا جزئيا“Tidak ada nasakh (penghapusan) terhadap hukum syara’ dalam al-Qur’an ataupun sunah setelahnya Rasul Saw. adapun ketika ketika masa hidup beliau .Adapun pada masa hidupnya, sunah keter tahapan dalam pembentukan hukum dan kesejalanannya dengan kemaslahatan menghendaki penghapusan sebagian hukum yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan sebagian nash keduanya dengan penghapusan secara keseluruhan atau penghapusan sebagian.125

Pengertian takhshish (pengkhususan), dan dianggap juga bersikap

“tidak sopan” terhadap Allah karena lebih suka menggunakan kata

takhshish yang dibuatnya sendiri dari pada menggunakan kata nasikh yang

diyatakan oleh al-Qur’an, maka orang-orang yang bertahan pada istilah

naskh bersikap sangat berlebih-lebihan dalam masalah itu.126 Karena pada

dasarnya persoalan takhshis tidak boleh menasikh.127

ii. Pandangan Ulama Modern

Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh ulama yang datang

kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan

hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau

menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang berlaku adalah

yang ditetapkan yang terakhir.

124 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 240. 125Totok Jumantoto dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqh, t.k., Amzah, cet I,

2005, hlm. 250. Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 236.

126Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm 342. Manna’ al-Qattan, loc. cit.,

127 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 242

Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat al-

Qur’an yang mencakup pada butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan

oleh ulama mutaqaddimin tersebut, Namun istilah yang diberikan untuk

hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshis (penghkususan).128

Lalu kemudian menjadi perselisihan adalah butir a, dalam arti

adalah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang

menyatakan adanya nasikh dalam pengertian tersebut mengemukakan

alasan-alasan berdasarkan aql dan naql (al-Qur’an).129

Perkembangan nasikh-mansukh semakin menyempit sebagaimana

yang diungkapkan oleh ulama-ulama modern seperti Muhammad Abduh

(w 1325 H), Muhammad Rasyid Ridha, dan Taufiq Siddiqi (w 1298 H).

semua mendukung pendapat Abu Muslim al-Isfahaniy, Abduh misalnya

berpendapat bahwa kata-kata dalam al-Qur’an QS.al-Baqarah ayat 106

ditafsirkan secara metafor (majaz), yakni mukjizat, hal ini dapat dipahami

dalam kaitannya dengan ayat berikutnya, al-Baqarah ayat; 107 dan 108,

sebagai ayat jawaban permintaan orang-orang bani Israil dan kroni-kroni

Fir’aun yang menghendaki mukjizat khusus.130

Namun berbeda dengan Syaikh Manna’ al-Qattan beliau termasuk

menerima pernyataan nasikh- mansukh dalam al-Qur’an, dengan

melontarkan beberapa kreteria secara tegas: “bahwa cara mengetahui

nasikh mansukh itu ada beberapa cara”. Yaitu: harus mengetahui dalil

secara jelas sharih, harus ada (Ijma’) kesepakatan umat terhadap persoalan

mana dalil yang nasikh dan mana dalil yang mansukh, dan mengetahui

sejarah orang-orang mutaqaddimin dan orang-orang mutaakhirin. Beliau

juga menambahkan bahwa dalam masalah nasikh-mansukh itu tidak ada

kaitannya dengan persoalan ijtihad, tidak mengandung peryataan dari ahli

128 M. Quraish Shihab, loc. cit., 129az-Zarqaniy, loc.cit., 130 Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Jilid I, Mesir: Dar al-Manar, t.th., hlm. Supiana

dan Karman, Ulumul al-Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 156.

tafsir dan tidak ada dalil yang dianggap samar bertentangan dengan dalil

yang sudah jelas.131

Lalu munculah mufasir dari Indonesia, Hasbiy al-Shiddiqi, beliau

juga mengguatkan pendapat Isfahaniy ia mengatakan bahwa ayat yang

kelihatan bertentangan satu dengan yang lainnya, sesungguhnya ayat itu

bisa dikompromikan, misalnya melalui pentakwilan salah satu ayat yang

dipandang kontradiktif itu. Ia menyuguhkan contoh ayat, yakni pada surah

al-Baqarah ayat 180 tentang mawaris.

Ayat ini menurut pendukung nasikh dan mansukh dianggap batal,

padahal menurut al-Isfahaniy tidaklah bertentangan dengan ayat mawaris,

karena tidak ada pertentangan antara memberi pusaka dengan wasiat

tentang sebagian pemberian dari Allah swt. Namun sekiranya tetap

dipandang mansukh, maka ayat waris dianggap sebagai pen-takhshis-an. 132

Menurut Hasbiy, ia menyatakan dengan ringkas kami terangan

takwil-takwil yang dapat dipergunakan untuk menghilangkan pendakwaan

naskh dalam ayat-ayat ini, sebagaimana ia mengikuti pendapat ar-Razi

nyata kepadanya mufassir besar menolak adanya nasikh dalam al-Qur’an,

di mana ia juga condong dengan pendapatnya Abu Muslim.

Menginggat bahwa dasar menetapkan naskh ialah bertentangan,

maka apabila hilang pertentangan ini, dengan sendirinya maka

pendakwaan naskh itu menjadi gugur, dengan berpegang bahwa tidak ada

nasikh maka menurut Hasbiy merasa puaslah karena tegasnya bahwa

seluruh al-Qur’an ayat-ayatnya berlaku Muhkamat.133

Berbeda halnya menurut Ibn Jauzi, ketika menanggapi.

Sebagaimana firman Allah swt.

131Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 234 132az-Zarqaniy, op. cit., hlm 242-243. T. M. Hasbiy al-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar

Tafsir dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, cet VII, 1980, hlm. 126. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 157.

133 Ibid., 132.

|= ÏGä. öΝä3ø‹ n=tæ #sŒ Î) u�|Øym ãΝä.y‰tn r& ßNöθ yϑø9 $# βÎ) x8t� s? # ��ö� yz èπ§‹ Ï¹uθ ø9 $#

Ç÷ƒ y‰Ï9≡ uθ ù=Ï9 tÎ/t� ø%F{$#uρ Å∃ρã� ÷èyϑø9 $$ Î/ ( $ ˆ)ym ’n? tã tÉ)−F ßϑø9 $# ∩⊇∇⊃∪

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. [2] al-Baqarah:180)

Menurutnya ayat ini menjadi perselisihan dikalangan mufassir,

apakah wasiat itu wajib atau tidak? Hal ini memiliki dua pendapat.134

Sesungguhnya wasiat itu sunah bukan wajib menurut golongan

Sa’bi dan Nakha’i karena ia mengambil dalil ”sesuatu yang sudah

diketahui kebaikannya maka tidak ada kewajiban baginya dan dikuatkan

oleh kata (al-al-Mutaqqin) bahwa kewajban tidak bisa ditentukan

berdasarkan nilai ketakwaan seseorang.

Pendapat yang kedua, bahwa wasiat itu wajib lalu di salin (di-

nasikh), menurut kebanyakan mufassir, mereka berdalih pada kata (kutiba)

kata ini menggandung arti kewajiban, sebagaimana firman Allah, (kutiba

‘alaikum al-siyam).

Kemudian pendapat yang kedua inilah yang digunakan oleh

kebanyakan ulama, meskipun terjadi perbedaan pendapat dikalangan

ulama tentang wajibnya berwasiat serta nasikh, namun nantinya tetap

mangalami mansukh dalam hal ini terdapat tiga pendapat;

a. Pendapat pertama semua ayat yang berkaitan dengan wasiat maka

hukumnya wajib disalin (mansukh).

b. Sesunggunhnya persoalan nasikh terhadap ayat wasiat itu hanya urusan

kedua orang tua.

c. Nasikh yang berkaitan pada ayat wasiat itu hanya pada orang yang

berhak mendapat warisan tidak di-nasikh oleh kerabat dan orang yang

tidak berhak mendapat warisan. Menurutnya ayat diatas tidak tejadi

134 Al-Hafidh Jamaluddin Abi al-Farj Abd al-Rahman Bin Al-Jauzi al-Farsyi al-

Baghdadhi, Nawasikh al-Qur’an, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub, al-Ilmiyyah, t.th., hlm. 58.

pertentangan, tidak ada pen-takhsihsi-han dan tetap mengalami nasikh-

mansukh.135

Ayat wasiat menurut Hasbiy, mewajibkan untuk kerabat,

sedangkan waris mengecualikan kerabat yang menerima waris di dalam

umumnya ayat. Lebih lanjut ia mengatakan ibu bapak tidak selamanya

mengambil waris ibu bapak bisa mengambil waris bisa juga tidak,

mungkin disebabkan oleh perbedaan agama, perbudakan dan

pembunuhan.136

iii. Pandangan Ulama Kontemporer

Abdullah An-Na’im beliau merupakan ulama yang bereksperimen

melalui Absolutisme (Fundamentalisme) dan sekularisme umat islam,

dalam menjawab tantangan discourse kontemporer: keadilan, demokrasi,

kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap

lingkungannya. Tampak jelas jawaban yang diberikan oleh umat Islam itu

belum memadai, untuk tidak mengatakan mengecewakan.

Jawaban fundamentalistik diajukan sebagai upanya menegaskan

bahwa masalah yang muncul kemudian adalah naskh itu permanen, yang

demikian adalah teks-teks Mekkah yang lebih awal itu tidak dapat

dipraktikan di masa depan. Menurut Ustad Mahmod, hal ini tidak

mungkin, jika demikian halnya, maka tidak ada halnya pewahyuan teks-

teks tersebut.137

Dia juga berpendapat bahwa membiarkan naskh menjadi permanen

berarti membiarkan umat islam menolak bagian dari agama mereka yang

terbaik. Ia menjelaskan, bahwa naskh secara esensial merupakan proses

logis dan dibut uhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda

penerapan teks yang lain sampai saat yang memungkinkan penerapan teks

itu tiba.

135 az-Zarqaniy, loc. cit., Ibn al-Jauzi, op. cit., hlm. 59-60. 136 T. M. Hasbiy, hlm loc. cit., 137 Abdullah Ahmad An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta, LKiS, cet I, 1994,

hlm. 110

Muhammad Syahrur, menolak adanya konsep nasikh dalam al-

Qur’an, selain karena pemahaman tentang nasikh seperti itu merupakan

produk dari pemerintahan yang tirani, juga karena tidak ditemukan riwayat

yang mengatakan bahwa nabi Muhammad saw. telah memerintah para

sahabatnya untuk meletakkan suatu ayat dari al-Qur’an ditempat yang lain

atas nama nasikh dan mansukh, demikian juga tidak pernah sampai secara

Mutawatir beliau mengisyaratkan atau menyebutkan hal ini. 138

Namun meskipun demikian bahwa Syahrur tetap mengakui

keberadaan konsep naskh sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 106,

menurut Syahrur , nasikh dalam ayat tersebut diatas adalah naskh antar

syariat-syariat samawi, sebagaimana juga dapat dipahami dari surat an-

Nahl ayat 101; kata “ayat” dalam dua ayat tersebut di atas diartikan oleh

Syahrur sebagai risalah samawi dan bukan sejumlah ayat dalam al-Qur’an

sebagaimana yang di duga oleh sebagian orang-orang.

Setiap ayat menurut Syahrur memilki bidang area, dan setiap

hukum memiliki ruang untuk pengamalannya. Oleh karena itu tidak

mungkin ada pergantian ayat-ayat yang memuat syariat yang satu bagi

rasul yang satu, tetapi pasti terjadi pergantian syari’at di antara syari’at

yang berbeda-beda dan rasul yang datang berurutan.139

Nasr Hamid Abu Zaid, menurutnya Ulama’ kuno

mengklasifikasikan pola-pola nasikh dalam al-Qur’an sesuai dengan

berbagai konsep yang berbeda-beda mengenai nasikh. Apa bila kita

memperhatikan watak teks yang me-nasikh dan di-nasikh maka kita

berada dalam wilayah membandingkan antara al-Qur’an dan Hadits.

Apakah boleh teks al-Qur’an di-nasikh dengan teks-teks sunnah? Dalam

menjawab pertanyaan ini, ulama berselisih pendapat.

Menurutnya, ada yang berpendapat bahwa al-Qur’an hanya dapat

di-nasikh dengan al-Qur’an, seperti yang difirmankan oleh Allah swr, ayat

apa saja yang kami naskh atau kami buat terlupakan, akan kami datangkan

138 Muhammad Syahrur, op. cit., hlm. 275. 139 Ibid., hlm. 192.

yang lebih baik darinya ataub yang sebanding dengannya, ‘maka

mengatakan: ‘yang sebanding dengan al-Qur’an hanyalah al-Qur’an.’140

Ada yang berpendapat, bahkan al-Qur’an dapat di-nasikh dengan

sunah dengan sunnah juga berasal dari Allah swt. Allah berfirman Allah

berfirman: Dan, tidaklah ia (Nabi) mengatakan berdasarkan hawa nafsu.

Sebagai contohnya adalah ayat wasiat.....yang ketiga, apabila sunnah

berasal dari perintah Allah melalui wahyu maka ia dapat me-nasikh.

Apabila berasal dari ijtihad maka tidak dapat me-nasikh. Diceritakan dari

ibn Habib an-Naisaburi dalam tafsirnya.

Asy-Syafi’i mengatakan: “Sekiranya al-Qur’an di-nasikh dengan

sunnah saat itu ada al-Qur’an yang menguatkannya, dan sekiranya sunnah

di-naskh dengan al-Qur’an maka bersamaan dengan itu ada hadits yang

memperkuatkannya. Ini terjadi karena ada kesesuaian al-Qur’an dengan

Sunnah.”141

Menurut pendapat Asy-Syafi’i, al-Qur’an hanya dapat di-nasikh

oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, hadist mutawatir, apalagi hadist Ahad

tidak dapat me-nasikh-nya. Pendapat Asy-syafi’i karena berdasarkan pada

zhahir nash-nash al-Qur’an yaitu: QS. al-Baqarah: 106, an-Nahl: 101, ar-

Ra’ad: 39.142

Sebenarnya, kontradiksi antara pendapat-pendapat semacam ini

muncul karena tidak ada perbedaaan antara teks agama, dan batas-batas

yang memisahkan antara teks tersebut tidak dikenali. Sikap Asy-Syafi’i

paling dekat dengan konteks teks dilihat dari pendapat yang dipeganginya,

bahwa tataran teks yang berkaitan dengan nas hukum, sepadan. Kalaupun

Az-Zarkasyi menolak pendapat asy-Syafi’i, ketika mengatakan:

“Bukti dari firman-Nya adalah dipergunakannya hukum cambuk dalam hukuman zina terhadap janda yang dirajam sebab dalam hal ini yang mengugurkannya hanyalah sunnah, perbuatan Nabi Saw.”.

140 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj.

Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta, LKiS, cet IV edisi Revisi, 2005, hlm. 150. 141 Ibid., hlm. 150. 142 Abu Zahrat, Ushul Fikh, Terj. Saeful Ma’sum (et,al), Jakarta, Pustaka Firdaus, cet IX,

2005, hlm. 304.

Dalam perspektif pemahaman dalam fenomena nasikh, Nasr

Hamid Abu Zaid mengatakan, bahwa ulama kuno tidak lepas dari

kekeliruan, dan kekeliruan ini muncul karena tidak ada sikap kritis

terhadap riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ilmu naskh dan mansukh

pada satu sisi, dan pada sisi lain mereka mengedepankan pola penukilan

saja dari ulama kuno dan menkompromikan antar pendapat, ijtihad, dan

riwayat meskipun masalah ini berkaitan dengan pengetahuan tentang

asbabun Nuzul. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan ijtihad, tidak

sekedar berhenti dengan upaya mengkompromikan antara riwayat yang

ada.143

Sementara itu Sayyid Qutb menilai bahwa beliau mengakui adanya

naskh dalam al-Qur’an. Ini dapat dilihat ketika beliau menafsirkan

kandungan ayatb 106 surat al-Baqarah,144dalam ayat tersebut beliau

menilai sebagaimana Allah swt., menunjukan mukjizat rasul yang telah

lalu, maupun mukjizat para rasul setelahnya.145Beliau juga mengemukakan

hal nasikh yakni “peralihan” (ta’dil) sebagian perintah ataupun ketentuan

hukum seiring perkembangan masyarakat Muslim, secara khusus secara

konteks ayat tadi menyangkut tahwil al-Qiblah (peralihan Qiblah) ataupun

ketentuan hukum yang ada pada kitab yang terdahulu. Bahkan naskh

mencakup hukum takwini. Kenyataan demikian sering digunakan oleh

orang-orang Yahudi untuk menyangsikan kebenaran al-Qur’an.146

Bila dicermati, Qutb menggunakan dua term: ta’dil (pengalihan)

dan nasikh (penghapusan). Menurut Mahmud Arif, term pertama lebih

digunakan untuk menunjukan nasikh ketentuan hukum ayat al-Qur’an

dengan ketentuan hukum al-Qur’an yang lainnya, yakni: penghapusan

hukum tasyri’ yang tidak sesama dengan al-Qur’an, penghapusan syari’at

terdahulu dan penghapusan hukum takwini. Dengan ta’dil ia melihat naskh

143 Nasir Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 151. 144Abdul Mustaqim (ad.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai

Metodelogi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 115. 145Sayyid Qutb, Tafsir Fi Dhilalil al-Qur’an, Jilid I, Beirut, Dar Syuruq, cet XVII, 1992,

hlm. 99 146 Abdul Mustaqim (ed.), loc. cit.,

tidak sampai berakibat pada hapus dan disfungsinya ketentuan hukum

pertama oleh ketentuan hukum kedua. Ketentuan hukum pada ayat yang

pertama masih berlaku, meski tidak lagi sepenuhnya.147

M. Quraish shihab merupakan ulama’ kontemporer beliau

menyatakan bahwa persoalan nasikh-mansukh dalam hal ini beliau

cenderung memahami pengertian naskh dengan pergantian atau

pemindahan dari satu wadah kewadah yang lain, sebagaimana pengertian

etimologi kata nasikh. Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’an tetap

berlaku. Tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi

masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.

Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya,

tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan

kondisi mereka semula. Pemahaman seperti akan membantu dakwah

Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan

oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam

pada awal masa Islam.148

Muhammad Abu Zahrat dalam Ushul fikh-nya, menanggapi (QS.

[2] al-Baqarah: 108)

“Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu?

Demikian juga pada firman Allah dalam surat (QS. [16] al-Nahl:

101 yang berbunyi:

#sŒ Î)uρ !$ oΨø9 £‰t/ Zπ tƒ#u šχ%x6 ¨Β 7πtƒ#u �

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya (QS. [16] an-Nahl : 101)

Pengertian ayat di sini adalah mu’jizat. Seandainya yang dimaksud

ayat” dalam kedua firman di atas adalah ayat al-Qur’an, maka sebenarnya

kedua firman tersebut juga tidak menunjukan atas terjadinya naskh dalam

147 Ibid., hlm. 116. 148 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, 1992, hlm. 147.

al-Qur’an, tetapi sekedar menunjuk bahwa ayat al-Qur’an dapat di-nasakh-

kan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara pengertian telah terjadi

naskh, dengan pengertian dapat terjadi nasikh.149

Di samping itu ayat-ayat yang konon harus di-nasikh-kan, pada

hakikatnya dapat dikompromikan, baik dengan jalan ta’wil maupun

dengan jalan takhsihs, yang tentu hal ini lebih baik dari pada menasikhnya.

Setelah beliau mengadakan pengajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang

menurut jumhur telah di nasikhkan, ternyata sebenarnya ayat-ayat tersebut

masih dapat dikompromikan dengan mudah, baik dengan jalan takhsihs

maupun dengan ta’wil, bahkan terkadang untuk mengkompromikan ayat-

ayat tersebut tidak memerlukan takhsihs atau ta’wil, sebagaimana firman

Allah swt.

tÏ% ©!$#uρ tβöθ ©ùuθ tF ムöΝä3ΖÏΒ tβρâ‘x‹tƒ uρ % [`≡ uρø— r& z óÁ−/u�tItƒ £Îγ Å¡ à'Ρr' Î/ sπyèt/ö‘r&

9� åκô−r& # Z�ô³tãuρ (

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya. (QS. [2] al-Baqarah: 234)

Dengan firman Allah swt.

tÏ% ©!$#uρ šχ öθ ©ùuθ tGムöΝà6Ψ ÏΒ tβρâ‘x‹tƒ uρ % [`≡uρø— r& Zπ§‹ Ï¹uρ Ο Îγ Å_≡uρø— X{ $ �è≈tGΒ

’ n<Î) ÉΑöθ y⇔ø9 $# u�ö� xî 8l#t� ÷zÎ) 4

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. [2] al-Baqarah 240)

Pada hakikatnya, kedua nash di atas tidak terjadi pertentangan

sama sekali, hingga tidak perlu nasikh, sebagaimana yang telah kami

jelaskan pada halaman 43 lalu.

149 Abu Zahrat, op. cit., hlm. 302.

Menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pengabean, kata

manasikh yang menjadi landasan teori nasikh dan mansukh bisa

mengandung salah satu dari dua makna yang digunakan pada periode

Makkah. Jika makna “menghapuskan” digunakan, maka pengertian ayat

ini jika Tuhan menghapuskan atau menjadikan ayat terlupakan, maka dia

akan mendatangkan yang lebih baik atau yang setara dengannya.

Tetapi jika dihubungkan dengan konteks sebelum dan sesudahnya,

kata ayat berarti bukti kenabian. Dengan kata lain, orang-orang kafir dari

kalangan ahl-Kitab dan kaum musyrikin (105) minta bukti kenabian Nabi

Muhammad, sebagaimana yang diminta oleh kaum Nabi musa (108, 117-

118). Jadi kedua makna itu, secara kontekstual tidak berkaitan dengan

teori nasikh dan mansukh sebagaimana yang berlaku dalam fiqh. Jika

merujuk pada ayat sebelum dan sesudahnya, maka alternatif kedua

dipandang lebih tepat.150

Abu Jamin Rohman, menilai bahwa konsep nasikh dalam al-

Qur’an menurutnya al-Qur’an pengganti Injil, dan kitab nabi-nabi

terdahulu, seperti kitab Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Walau

demikian, ia akan menjelaskan tentang kandungan ayat QS: 2; 106.

Berdasarkan Qur’an, dan logis bahwa Allah telah menurunkan

wahyu-Nya setiap nabi-Nya di berbagai zaman: termasuk Nabi Daud,

Musa, Isa, Muhammad dan nabi-nabi lainnya. Risalah ini berusaha

memeriksa sejauhnya, bahwa pengertian kata-kata pada ayat di atas

bukanlah ditunjukkan kepada Qur’an, sebagaimana yang diduga oleh

sebagian orang, di mana al-Qur’an menyebutkan.151firman Allah swt.

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil tidak ada yang dapat merubah - rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui. (QS: [6] al-An’am :115)

150Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung,

Mizan, cet II, 1990, hlm. 29. dikutip oleh Supiana dan Karman, op. cit., hlm. 158. 151Abu Jamin Rohman, Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an, Jakarta, Bulan

Bintang, cet II, 1990, hlm. 243.

Penyelidikan menunjukan bahwa ayat-ayat mansukh itu betul-betul

ditunjukkan alamatnya bagi penghapusan Al-Kitab, yakni kitab-kitab yang

telah diturunkan oleh Allah swt., bagi umat-umat terdahulu di zamannya,

sebelum nabi Muhammad saw., dasar-dasar penyelidikan ini bisa dibaca

pada QS. [2] al-Baqarah ayat 105 dan 107.

BAB III

TEORI NASIKH MANSUKH DALAM BUKU BELL’S INTRODUCTION

TO THE QUR’AN

A. Biografi dan latar belakang Richard Bell

Richard Bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19

dan awal ke-20. dengan beberapa karyanya Ia adalah seorang pakar Lingusitik

ketimuran terutama dalam bahasa Arab “Arabic Language”, dan menjadi

dosen di Universitas di Edinburgh London, Inggris. Bell mengawali karirnya

sebagai sarjana al-Qur’an lewat publikasi bahan-bahan kuliahnya di

Universitas Edinburgh, The Origins of Islam in its Crhistian Environment

(1926). Diantara orientalis sezamannya, ia adalah pakar ketimuran yang

disegani karena kecermatannya dalam melanjutkan kajian-kajiannya dalam

menyangkut Islam.152

Seperti dituturkan sebelumnya bahwa cerita Islam. Muhammad dan al-

Qur’an pada abad petengahan cenderung didistorsikan. Semua tuduhan

terhadap Nabi Muhammad saw. ditunjukkan untuk memojokkan pada predikat

nabi palsu. Langkah pertama kearah pandangan yang lebih berlangsung mulai

abad ke -19 yang diperkasi oleh Thomas Carlyle ketika ia mentertawakan

mereka yang memandang Muhammad Saw sebagai penipu yang menjadi

pendiri salah satu agama besar di dunia. Namun kemudian terdapat sebagai

sarjana yang berusaha menyelamatkan kejujuaran Nabi.153

Menurut Watt,154 secara keseluruhan para orientalis masa ini

mempunyai pandangan lebih baik dan telah berpendapat bahwa Nabi benar-

benar seorang yang tulus dan bertindak sejujurnya. Diantaranya adalah:

152W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran, Edinburgh, Edinburgh

University Press, 1991, hlm. 179-180. selanjutnya disebut W. Montgomery Watt. 153http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-

Hadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012. 154 William Montgomery Watt, lahir pada tanggal 14 Maret 1909 di Ceres, File,

Skotlandia. Ia adalah pemikir studi-studi keislaman dari Britamia Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam dan dunia Barat. W. M. Watt, adalah seorang

1. Tor Andre menelaah pengalaman nabi dari sudut psikologi dan

menemukan bahwa pengalaman kenabian benar-benar sejati.155

2. Frans Buhl yang menekankan makna kesejarahan yang bermakna luas dari

gerakan keagamaan yang dinagurasi Muhammad.

3. Richard Bell, yang berbicara tentang karekter praktis dan faktual dari

kegiatan Muhammad sebagai pribadi dan bahkan seorang Nabi.156

Suasana diskursus orientalisme ini secrara intens mempengaruhi

Richard Bell. Namun selebihnya, Richard Bell yang hidup pada akhir ke -19

sampai tahun 1960-an masih kelihatan sekali dipengaruhi suasana

kolonialisme. Sebagaimana diungkapkan oleh Qomaruddin Hidayat, “ciri dan

posisi orientalime kelihatannya memang terlalu sulit untuk mengelak dari

anggapan bahwa studi dan disiplin ini lebih bersifat ideologis dan merupakan

anak kandung imperialisme dan kolonialisme.157

Maka menjadi wajar jika orientalisme kemudian mendapat sorotan

atau malah, dapat disebut serangan tajam dari sejumlah orang-orang Timur.

Hal itu, sudah tentu, membuktkan bahwa keilmuan orientalisme mempunyai

ekses bagi terjadinya ketegangan atau bahkan konflik antara Muslim dan

Kristen. Ini artinya, bahwa prolem hubungan Islam dengan Barat juga dapat

ditemukan akar-akarnya pada tradisi orientalisme.158

Pada akhir abad ke-19, pencapaian-pencapaian ini mulai mendapat

dukungannya secara material dengan keberhasilan Eropa dalam menduduki

seluruh wilayah Timur dekat (kecuali kawasan-kawasan Ustmani yang dikuasi

sesudah tahun 1918. Dan seperti kita ketahui, kekuatan-kekuatan kolonial

profesor studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Selebihnya baca biografi W. M. Watt. http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-Hadis. Pdf diunduh pada 18 Maret 2012.

155 W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 17-18. 156 http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-

Hadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012. 157 Muhammad Muslih, Religious Studies, Prolem Hubungan Islam dan Barat Kajian

atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta, Belukar, cet I, 2003, hlm. 75. 158 Ibid., hlm. 76.

utama dalam usaha pendudukan ini adalah Inggris dan Prancis meskipun

Rusia dan Jerman juga tidak dapat kita abaikan peranannya.159

B. Karya-karya Richard Bell

Dilihat dari karya-karyanya, ia merupakan seorang orientalis yang

konsisten dalam kajiannya, yang tema sentralnya berkisar pada kajian al-

Qur’an terutama dalam sastranya. Diantara karya-karyanya, baik berupa buku

maupun dalam bentuk jurnal adalah:

1. Karya- karyanya yang berupa buku dan telah diterbitkan, antara lain:

a. Richard Bell, (1953). Introduction to the Quran, Edinburgh at the

University.

b. Richard Bell, (1937-1939). The Quran Translation with a Critical

Rearrangement of the surah, 2 jilid. Edinburgh: T & T Clark.

c. Richard Bell, ( 1926), The Origins of Islam in I’ts Chrsitian

environment. London: Macmillan.

d. Richard Bell, (1925), The Origin of Islam in Its Christian

Environment, Edinburgh University.160

e. A Commentaray on the Qur’an, (1991), t.p

2. Karya-karyanya dalam bentuk Jurnal

a. ‘A dupcliate in the Koran; the Composition of Surah xxiii, Moslem

World, xviii (1928), 227-33.

b. ‘Who were the Hanifs?’ ibid, xx (1930), 120-4.

c. Richard Bell, “The Origin of Id Al-Adha”, ibid. xxiii (1933), Dalam

Moslem World, 117- 20

d. Richard Bell, “Surat al-Hasr (59)”. Dalam The Moslem World, xxxviii

(1948).

e. Richard Bell, 1948. (The Men of the A’raf (vii, 44)”, ibid. xxii dalam

The Moslem World, xxii (1932), 43-8

159 Edward W. Said, Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur

sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 150. 160 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 347-348. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001, hlm. 113 dan 121.

f. Richard Bell, 1937. “Muhammad’s Pilgrimage Proclamation”, Journal

of the Royal Asiatic Society,

g. Richard Bell, “Muhammad Vision”. Dalam The Muslim World no. 24,

1934.

h. ‘Muhammad’s Call’, ibid. xxiv. (1934), 13-19.

i. ‘Muhammad and previous Messengres’, ibid. xxiv. 330-40

j. ‘Muhammad’s and Divorce in the Qur’an’, ibid. xxxviii (1939), 55-62.

k. ‘Surah al-Hashr: a study of its composition’, ibid. xxxviii (1948), 29-

42.

l. ‘Muhammad’s pilgrimage Proclamation’, Journal of the Royal Asiatic

Society, 1937, 233-44.

m. ‘The Development of Muhammad’s Teaching and Prophetic

Consciousness’, School of Oriental Studies Bulletin, Cairo, Juni 1935,

1-9

n. ‘The Beginnings of Muhammad’s Relegious Activity’, Transactions of

the Glasgow University Oriental Society, vii (1934-4), 16-24.

o. ‘The Sacrifice of Ishmael,’ ibid. x. 29-31

p. ‘The Style of the Qor’an,’ ibid. xi (1942-4), 9-15.

q. ‘Muhammad’s Knowledge of the Old Testement’, Studia Semitica et

Orientalia, ii (W.B. Stevenson Festschrift), Glasgow, 1945, 1-20.;161

C. Pendekatan Richard Bell

Banyak metode yang digunakan oleh sarjana Barat dalam studi Islam

adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog

konstruktif dengan mereka. Sebab metode yang mereka gunakan akan

mewarnai alur fikir dan turut menentukan konseptualisasi dan konklusi yang

dihasilkan. Ada beberapa metodologi pendekatan yang digunakan oleh

Richard Bell dalam meneliti al-Qur’an, yaitu:

161 Richard Bell, Pengantar al-Qur’an, Terj. Lilian D. Tejasudhana, INIS, 1998, hlm. 159.

1. Pendekatan Filologisme

Filologi, kata Yunani yang secara harfiah berarti kesukaan atau

kata, yang digunakan dalam arti pengajian teks atau penelitian yang

berdasarkan teks, misalnya dalam bidang ilmu sastra dan ilmu sejarah.

Filologi merupakan metode penelitian yang berdasarkan pada analisis pada

teks, baik teks berupa karya sastra, dokumen arsip maupun teks kitab suci.

Anailisis tersebut bisa berupa bacaan, perbandingan antara berbagai teks

atau variasi dari teks yang sama, penerapan kritik teks, ataupun

penyelidikan mengenai asal- usul teks itu.

Sejak zaman Resnaisance, metode ini semakin berkembang dan

diperluas di Eropa sehingga dapat dianggap sebagai salah satu faktor dari

perkembangan dan kecemerlangan sejumlah besar ilmu pengetahuan di

Eropa sampai abad ke-19. Pengaruh lebih besar dalam ilmu sastra, ilmu

sejarah dan ilmu bahasa.

Filologi berkembang pesat pada renaissance Eropa dan menjadi

arus utama metode penelitian Barat klasik dalm mengkaji Islam.162

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang pertama yang digunakan

Barat dalam kajian ketimurannya. Pendekatan ini mulanya timbul sebagai

usaha kajian Barat melalui teks-teks ketimuran. Karenanya analisis

Linguistik Timur sangat intens dalam kajian pendekatan ini. Pendekatan

ini lebih banyak melahirkan metodologi kajian kebahasaan dan sastra.

Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M.

Ketika para sarjana Bibel menumukan berbagai makna yang kontradiksi,

pengulangan dan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel.163

Selain pendekatan ini dipergunakan oleh Richard Bell, juga digunakan

oleh John Wansbrough, Theodore Noldeke, Blachere, Gustav Weil dan

Scwally dalam kajian dan analisa tentang formasi sastra dan kronologi al-

Qur’an.

162 Moh. Natsir Mahmud, “Al-Qur’an di Mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal al-

Hikmah, No 2, Januari-Maret 1994, hlm. 6-12. 163 Ibid., hlm. 45.

2. Pendekatan Historisme164

Dalam sejarah perjalanan orientalisme, historisme merupakan ciri

yang paling menonjol, karena para orientalis dalam melakukan studinya

memperlakukan agamanya (dalam hal ini Islam) sebagai gejala sosial

budaya yang selalu berkesinambungan. Dengan dalih ilmiah mereka tidak

pernah melihat kebenaran agama.165

Dalam setudi al-Qur’an, historisme memandang bahwa Nabi

Muhammad menyatakan dirinya sebagai Nabi merupakan penyerupaan

penyerupaan terhadap ajaran tentang Nabi dalam kitab Taurat dan Injil

dan wahyu yang disampaikan muncul dan inspirasinya berdasarkan

kondisi lingkungan dan kitab suci sebelumnya. Richard Bell, misalnya

melihat pengaruh Kristen dalam al-Qur’an. Pengaruh itu pada mulanya

bersifat polemik kemudian mengikuti salah satu sekte Kristen di Syiria

yang menolak penyaliban Yesus Kristus.166

Pada umumnya sikap historisme mempengaruhi sarjana Barat di

bidang penelitian agama sejak pertengahan abad ke-19. Menurut Hasan

Hanafi, sejak itu orientalisme telah muncul membawa revolusi paradigma

riset ilmiah atau aliran politik yang memang khas abad ke -19 itu, terutama

positivesme, historisme, saintisme, rasialisme, dan nasionalisme.167

Pendekatan ini dalam studi al-Qur’an di gunankan oleh Richard bell, W.

Montgomery Watt, John Wansbrough, dan D. B. Macdonald, terutama

dalam menelusuri sumber-sumber al-Qur’an.

164 Historisme muncul pada abad ke-19. Tokoh utamanya adalah Leopold von Ranke

(1795-1886), seorang sejarawan terkemuka dari Jerman. Historisme muncul bebarengan dengan munculnya teori evolusi Carles darwin (1809-1882). Historisme mneggunakan era baru, semacam revolusi Copernicus dalam tradisi ilmiah Barat dan abad ke sembilanbelas sampai perempat pertama abad ke duapuluh. Meskipun sampai sekarang masih terdapat sejumlah sarjana Barat menerapkan prespektif historisme dalam tulisan mereka. Historisme berpandangan bahwa suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio cultural dan sosio religius tempat entitas itu muncul. Penjelasan mengenai entitas sudah cukup melalui penemuan asal usulnya dan hakikat mengenai suatu seluruhnya dipahami dalam perkembangannya

165 Muhammad Muslih, Religious Studies, Problem Hubungan Islam Barat Kajian Atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta, Blukar, cet I, 2003, hlm. 85.

166 Richard Bell, The Origin and ins Cristian Environment, London, Frank Cass & Co, LTD 1925, hlm. 73.

167 Muhammad Muslih, loc. cit.,

Munculnya historisme menurut Fuck-Frankfurt mendorong

kecenderungan dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalkan al-

Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen. Sarjana

Barat yang menggunakan metode pendekatan historisme dalam studi al-

Qur’an, diantaranya adalah Maximen Rodinson. Tor Andrae, A.Juffery,

Willian Muir, D.B. Macdonald, A.Guillaume, Richard Bell, A.T. Welch,

A.I. Katsh, W. Montgomery Watt, dan J. Wansbrough.168

Dengan demikain historisme menurut Fazlur Rahman169 dan Fuck-

Frankfurt mendorong kecenderungan dalam studi al-Qur’an di Barat yang

mengasalkan al-Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan

Kristen. al-Qur’an dilihat hanyalah sebagai karya sastra yang hebat dari

Muhammad bahwa ajara-ajaran al-Qur’an hanyalah imitasian ajaran Musa,

ajaran Ibrahim, dan ajaran Isa.170

Dalam studi Islamolgi awal, historisme dipergunakan untuk

mencari sebab atau asal usul kerasulan Muhammad SAW. beberapa

islamolog mencari asal-usul dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Seperti

William Muir,171 Macdonald,172 dan Richard Bell mereka merupakan

168Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet 1, 2006, hlm. 127. 169Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok-Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin,

Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 200. 170 Ibid., hlm. 127. 171 William Muir adalah orientalis Inggris yang juga seorang birokrat, administrator

Inggris. Dia lahir pada 27 April 1819. Muir pernah bekerja di Administrator Perkotaan Kongsi dagang Hindia Timur, dan menetap di India dalam waktu yang lama (1837-1876). Akhirnya ia menjadi sekretaris pemerintah India (1865). Kemudian menjadi wakil pemerintah wilayah Barat Daya (1868). William Muir dengan penuh semangat menyerang Islam dan mempertahankan matia-matian keyakinan Kristen. Tulisannya (Mizan al-Haqq) mendapat perhatian dari pemikir Islam Sunni as-sahraspuri dengan bukunya yang berjudul Idhar al-Haq, dan demi pemikir Syi’i, Muhammad Hadi Ibn Wildar al-Luknawi. Untuk kepentingan misionarisnya, karya ini diterjemahkan dalam bahasa Urdu. William Muir menjelaskan pengakuan kaum muslimin berdasarkan kesaksian al-Qur’an sendiri terhadap kebenaran kitab suci Taurat dan Injil. Tulisan-Tulisan Muir di atas denagan ditambah berbagai tukisan Willian Muir yang lain kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Life of Mahomet and History of Islam. William pernah menjadi anggota pengelola administrasi Universitas Edinburg di Sotlandia (1885-1903). Ia meninggal di Edinburgh pada 11 juli 1905. Abdurarhman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta, LKiS, Cet II, 2003, hlm. 254-255.

172 Macdonald adalah orientalis kelahiran Inggris yang menetap di Amerika Serikat. Macdonald lahir di Glossgow pada tahun 1863, dan meninggal pada 6 September 1943. Ia termasuk ilmuan yang kuatv ilmunya , dan sangat semangat dalam penyebaran ajaran Kristen, dengan banyak bergembleng calon-calon misionaris di Sekolah Kennedy untuk dikirim sebagai

orientalis yang memprogandakan bahwa sumber utama kenabian

Muhammad dan al-Qur’an adalah tradisi agama Kristen.

Sementara C.C. Torrey, Guillaume, dan Wansbrough memandang

bahwa sumber utama kenabian Muhammad dan al-Qur’an adalah tradisi

Talmudik (Yahudi). Sementara, disisi lain banyak orientalis yang

menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen telah memberikan kontribusi besar

bagi kenabian Muhammad dan al-Qur’an, seperti diwakili oleh W.

Montgomery Watt.173

Sedangkan para orientalis yang menggunakan pendekatan

historisisme sering menolak kenabian Muhammad sebagai pristiwa trans-

historis, melainkan menempatkan nabi Muhammad sebagai pencipta

wahyu, al-Qur’an yang diambil dari kitab sebelumnya atau pengalaman

keagamaan pribadinya. tulisan ini akan mengemukakan ada dua diantranya

J. Wansbrough yang mengasalkan al-Qur’an dan tradisi Yahudi dan

perjanjian lama dan Richard Bell yang mengasalkan al-Qur’an dari tradisi

kitab suci Kristen.174

Sebagaimana juga dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa karya-

karya yang berusaha mencari antesenden-antesenden Yudeo-Kristiani di

dalam Al-Qur’an. Richard Bell dan John Wansbrough merupakan dua

islamolog yang masing-masing mewakili Kristen dan Yahudi, berusaha

membuktikan bahwa al-Qur’an tidak lebih merupakan replikasi atau

mimesis dari Injil dan Taurat. Karya-karya yang mencoba untuk membuat

rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Qur’an. Dan karya tersebut hanya

menjelaskan aspek-aspek tertentu saja dari ajaran al-Qur’an.175

misinaris Kristen di berbagai penjuru dunia. Karya ilmiah Macdonald tidak begitu mendalam. Ia banyak mempelajari kajian-kajian tentang beragama dalam Islam, seperti Alif Lailah wa Lailah, karya ilmiah Macdonald yang paling penting ialah Perkembangan Ilmu Kalam, dan perundang-undangan dalam Islam, (New York, 1903, Biografi al-Ghazali”, dimuat dalam Journal America, Organization Society, juz 20, (1899), hlm. 32-71, serta beberapa tulisan lain dimuat di berbagai majalah. Abdurarhman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta, LKiS, cet II, 2003, hlm. 254-255.

173 Ibid., hlm. 128. 174 Nastir Mahmud, op. cit., hlm. 7. 175 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. XI.

Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami oleh Muhammad

merupakan peristiwa supernatural. Pengetahuan tentang agama Kristen

diaktualkan sebagai wahyu melalui trance-medium (keadaan taksadar diri)

dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun (kahin).176 Bell

mengartikan wahyu dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan inspirasi

(the flash of inspiration). Bagi Bell, sugesti terjadi secara natural. Menurut

Bell, wahyu yang dialami oleh Muhammad merupakan pristiwa

mengagumkan dan penuh misteri.177 Peristiwa misteri menurut Bell masih

natural, tetapi beberapa interpretasi muncul terhadap peryataan Bell itu.

Vahidudin berpendapat bahwa peristiwa misteri dalam pengalaman

wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supernatural. Demikian

pula Nizamat juga berpendapat bahwa kekuatan misterius merupkan

fenomena kewahyuan dan sebagai peristiwa yang luar biasa. Bell

memandang bahwa peristiwa misterius dan mengagumkan itu masih

terjadi dalam lingkup natural. Tetapi ada peryataan Bell bahwa dalam

proses terjadinya wahyu, Muhammad benar-benar melihat malaikat Jibril,

seperti dalam pemahamannya terhadap ayat QS: 81:23, Bell menyatakan:

“Reasserted in surah 81 that he had seen the messenger on the clear horizon, is I think and indication that something of the sort had already happened to him.” (ditegaskan kembali dalam surat 81 bahwa ia (Muhammad) melihat malaikat dicakrawala yang jernih. Saya pandang bahwa indikasi yang demikian benar-benar tejadi pada dirinya.

Penjelasan Bell tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun

dia semula berusaha mereduksi wahyu sebagai fenomena natural, tetapi

kontardiksi terjadi dalam pernyataannya bahwa Nabi melihat Jibril dalam

peristiwa wahyu.178

Para Islamolog biasanya mendiskripsikan dan menganalisis tema-

tema al-Qur’an sebagaimana yang “tertera” secara eksplisit dalam al-

Qur’an dan yang dipahami oleh umat Islam sendiri. Metode cross-

176 Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 181. 177 Ibid., hlm. 182. 178 Ibid., hlm. 182.

referntiality of the Qur’an, dalam arti bahwa seluruh ayat yang berkaitan

dengan topik-topik tertentu digabungkan dan dikomparasikan dengan

tujuan mendapatkan pengertian yang komprehensif, merupakan grand

method dalam hal ini. Metode tersebut, yang dalam literatur Arab

diistilahkan dengan al-Tafsir al-Maudhu’i tidaklah asing bagi sarjana-

sarjana Muslim.179

3. Pendekatan Historisme – Fenomenologis

Pendekatan ini menggabungkan dua pendekatan sebelumnya,

pendekatan ini dipergunakan oleh W. M. Watt, yang diklaim sebagai

islamolog yang objetif, terbuka dan memilki simpatik dengan Islam,

melalui pendekatan ini Richard Bell dan juga muridnya dimana kedua

melihat al-Qur’an mimiliki kegandaan sumber ganda. Watt, menilai bahwa

al-Qur’an merupakan firman Alllah, tatapi diciptakan melalui pengalaman

pribadi Nabi Muhammad, namun, ia juga berusaha menganologikan

fenomena kewahyuan nabi Muhammad dengan konsep Kristen.180

Bagaimanapun juga, fenomenologi empiris masa-masa awal berbeda

dengan fenomenologi agama klasik yang berkembang pada paruh pertama

abad ke-20 dan mungkin banyak dikenal melalui karya Belanda Garardus

van der Leew.181

Konsekwensi logis sebagai pengkaji yang hidup dalam tradisi ke

ilmuan, bagaimanapun sikap kelatahan intelektual adalah wajar. Richard

Bell sendiri dalam kajiannya banyak terpengaruh oleh karya-karya

sebelumnya, seperti Abraham Geiger, Theodore Noldeke, Gustav Weil,

Fredrich Schwally, Regis Blachere, dan Hartwig Hirschfeld mengenai

penanggalan kronologi al-Qur’an, dan lainnya.

Kecenderungan Bell untuk mengeksplour lebih jauh lagi, ia secara

optimal dan maksimal di dalam menggunakan metode yang ada di atas.

Sehingga Bell, dengan mudah menangkap pesan dan sekaligus

179 Ibid., hlm. 116-117. 180 Natsir Mahmud, op. cit., hlm. 26. Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 48. 181 Ahmad Norma Permata, (ed.), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

cet I, 2000, hlm. 303.

memberikan aplikasi penafsiran terhadap teori naskh-mansukh

berdasarkan keinginannnya sendiri, di samping itu ia juga bertendensi

kepada kitab karya ulama muslim, seperti Imam Suyuti, dalam kitab al-

Itqan, disamping itu Bell, hidup di era modern tentunya sangat mungkin

jika pendekatan yang banyak digunakan oleh sarjana-sarjana modern-

kontemporer penuh dengan nuansa epistimologi dan metodologis, kedua

unsur tersebut digunakan untuk memahami al-Qur’an, Injil, serta kitab-

kitab klasik, sejarah, dan peninggalan-peninggalan kuno, sehingga dapat

dipahami berdasarkan keinginannya sendiri.

4. Pendekatan Hermeneutik Obyektif

Setelah sejarah dalam fenomena ini, belum dikaji tentang

fenomena metode-metode Barat dalam kajian al-Qur’an dan takwilnya,

sebuah kajian yang akhirnya dikenal dengan “pembacaan kontemporer”.

Seorang peneliti dari Syria, Abdur Rahman al-Hajj telah memberikan

kontribusi ilmiah awal seputar sejarah fenomena yang berbahaya, pada

tahun 1999 M. Dalam artikel yang berjudul “Zhahirah al-Qira’at al-

Mu’ashirah wa Idiyulujiya al-Hadatsah” (Fenomena Pembacaan

kontemporer dan idiologi Modernisme).

Jika era klasik masih cenderung menekankan pada praktek

eksegetik yang cenderung liner-atomistic alam manafsirkan al-Qur’an,

serta menjadikan al-Qur’an sebagai subjek, maka tidak demikian halnya

pada era modern dan kontemporer cenderung bernuansa hermeneutik yang

lebih menekankan pada aspek epistimologis dan metodologis dalam

mengkaji al-Qur’an, untuk menghasilkan al-Qur’an yang produktif al-

qiraah al-muntijah, katimbang bacaan yang repitive (al-qiraah at-

tikrariyyah) atau pembacaan yang ideologis-tendensius (al-qiraah al-

mughridlah) sebagaimana diyatakan oleh Rogger Trigg bahwa paradigma

hermenutik adalah :

The paradigm for hermeneutics is interpretation of the traditional text, were the problem must always be how we can come to

understand in our own context something whidh was written in radically different sitution.182

Jika dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks maka objek

hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah

masalah yanng timbul diseputar apa yang dikenal sebagai “prolem

hermeneutis”. Problem semacam ini timbul dengan sendirnya ketika

seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami. Pada

kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan latar

belakang teks dengan pembacanya akibat perbedaan jarak, waktu dan

kebudayaan yang melingkupi keduanya.183

Dalam pengkajian dalam teks-teks sastra, umumnya para

pengkritik menerapkan dua bentuk kritik, yakni kritik ekstrinsik (naqd al-

khariji) dan kritik instrisik (naqd al-dakhili). Kritik ekstrinsik diarahkan

pada kritik pada sumber, kajian holistik holistik terhadap faktor-faktor

ekternal munculnya suatu karya, baik sosio grafis, religio kultural maupun

determisasi politis untuk memetakan karya sastra dalam konteksnya secara

porposional. Adapun kritik instrisik diajukan pada kritik redaksi, bentuk,

diksi, simbol-simbol, indeks, dan isi, teks sastra dengan analisis linguistik

yang ketat sehingga mampu menguak makna yang dikehendaki teks.184

Metode ini berdiri di atas aliran filsafat strukturalisme, terutama

strukturalisme linguistik, seperti dipaparkan di atas, yang meruyak pada

dekade tahun 1960-an dan tahun 1970-an di Cekoslavia, Amerika, Jerman,

Inggris, Rusia, dan Prancis. Metode ini jelas mengarahkan pengkajiannya

pada studi strukur teks, termasuk distudi bahasa dan sastra dan pendekatan

obyektif.

Bagi kaum strukturalisme-linguistik, kitab-kitab suci tak ubahnya

sebgai karya literatur yang hadir apa adanya dan satu-satunya jalan untuk

memahaminya adalah dengan melakukan analisis struktur dan sistem yang

182 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I,

2008, hlm. 86. 183 Ibid., hlm. 32. 184 Dadan Rusmana, loc. cit.,

tanda, berdiri otonom, menampilkan dirinya melalui jaringan sistem tanda

sehingga memungkinkan pembaca mengajak dialog dengannya. Salah satu

bentuk strukturalisasi linguistik dalam mendekati kitab suci muncul dalam

bentuk semiologi atau semiotika.185

Perbedaan tajam antara Vulgata dan Codek Sinaiticius semakin

tampak, ketika dikemukakannya Manual of Dicipline yang ditemukan

pasca-perang dunia ke-2 pada gua-gua batu dibelahan laut barat Mati yang

dinisbahkan kepada sekte Essai, Jemaat Nasrhani pada pertengahan abad

ke-1 M. Naskah tua tersebut berbahasa Ibrani dan kemudian dikenal

sebagai manuskrip Laut Mati’ (the dead Sea Scroll).

Penerapan metode ini dalam kajian al-Qur’an pernah diupayakan

oleh Richard Bell dalam merelokasi kronologi unit-unit oisinal wahyu.

Namun, berbeda dengan Richard Bell yang berangkat dari tradisi

kesarjanaan Kristen, sementara penerapan metode tersebut oleh

Wansbrough tampaknya lebih berada dalam tradisi kesarjanaan Yahudi

katimbang tradisi Kristen.186

D. Pandangan Richard Bell terhadap al-Qur’an

Kitab suci menempati kedudukan sumber hukum yang paling penting

dan paling asasi dalam agama Islam. Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus

berupa buku lengkap, melainkan ayat demi ayat dalam masa 23 tahun,

menurut perkembangan perikeadaan, baik di kota Mekkah maupun di Yastrib

(Madinah).187 Setiap ayat yang dihafalkan itu dihafalkan oleh para pengikut

Nabi besar Muhammad SAW. dan dituliskan pada pelepah-pelepah tamar

yang diraut dan disusun rapi, seperti halnya bambu-bambu yang disusun rapi

lontar di Bali dan pustaha di tanah Batak. Sebagaiannya dicetak pada

lembaran parekeman dan lembaran papirus.

Juru surat yang mencatat setiap ayat itu berjumlah 23 orang, sejak

masa di kota Mekkah sampai masa di kota Yastrib, yaitu: Abu Bakar Siddiq,

185 Ibid., hlm. 139. 186 Ibid., hlm. 147. 187 Joesoef Sou’yb,. Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 121.

Umar Bin Khatab, Utsaman Bin Affan, Ali Bin Abu Thalib, Zubair Bin

Awam, Ubay Bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan,

Muhammad bin Salamah, Arqam bin Abi Arqam, Iban bin Sa’id bin Ash,

Khalid bin Sa’id bin ‘Ash, Tsabit bin Qais, Hanzalah bin Rabi’ah, Khalaid bin

Walid, Abdullah bin Arqam, Abdullah bin Zaids bin Abi Rabbihi, ‘Alalak bin

Utbah, Mughairah bin Sa’abah, Sajjal, Syarahabil, Bin Hasanah, dan yang

paling banyak dan paling khusus ditugaskan mencatatnya ialah Zaid bin Sabit

dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.188

Himpunan itu mula-mula tersimpan di tangan Hafsaf bin Umar, janda

Nabi Muhammad SAW. putri khlaifah Umar bin Khattab, baru pada masa

pemerintahan khlaifah Utsman bin Affan (23-35H/ 644-655M), himpunan

catatan tresebut lantas disusun merupakan mushaf (buku) seperti yang tercatat

sekarang, oleh sebuah tem yang ditunjuk oleh khalifah Ustman di bawah

pimpinan Zaid bin Tsabit, dan penyusunan ayat pada setiap surah mengikuti

petunjuk yang pernah diberikan oleh Nabi Besar Muhammad SAW pada masa

hidupnya.189

Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kreteria yang ketat

untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima berdasarkan

hapalan, tanpa didukung oleh tulisan. Kehati-hatian diperlihatkan oleh

ucapannya sebagai mana tertuang di akhir hadist yang diriwatkan oleh

Bukhari “......Hingga kami temukan akhir surat at-Taubah (9) pada tangan

Abu Huzaimah al-Anshari,” ungkapan ini tidak menunjukan pada akhir surat

al-Taubah (9) itu tidak mutawatir, tatapi hanya menujukkan bahwa hanya Abu

Huzaimah al-Ansahari lah yang menulisanya. Zaid dan sahabat-sahabat

lainnya menghafalkan saja tidak memiliki tuisannya.

Sikap kehatian hatian Zaid dalam mengumpulkan al-Qur’an

sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar

188 Ibid., hlm. 121. 189 Ibid., hlm. 122.

berkata: “duduklah kalian di pintu masjid. Siapa saja yang datang kapada

kalian membawa catatan al-Qur’an dengan dua saksi catatlah.190

Naskah otentik dari masa khlaifah Ustman itu dewasa ini masih

dijumpai tiga buah, tersimpan di musium di Tashkent (Uni Soviet), Museum

di Istambul (Turki) dan Museum di Kairo (Mesir), dikenal dengan mushaf

Utsmani, bahkan mushaf yang tersimpan di Tashkent itu masih

memperlihatkan bekas-bekas genangan darah Ustman bin Affan sewaktu

terbunuh dinihari selagi membaca kitab suci Al-Qur’an, sehabis shalat

Subuh.191

Pasca era formatif, perkembangan tafsir berikutnya memasuki era

afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis. Era formatif ini terjadi pada abad

pertengahan ketika tradisi penafsiran Qur’an lebih di dominasi oleh

kepentingan-kepentingan politik madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu,

sehingga al-Qur’an sering kali diperlukan sekedar sebagai legitimasi bagi

kepentingan-kepentingan tersebut. Para mufassir pada era ini pada umumnya

sudah diselimuti “jaket ideologi” tertentu sebelum mereka menafsirkan al-

Qur’an. Akibatnya al-Qur’an cenderung “diperkosa” menjadi kepentingan

sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir atau penguasa)192

Richard Bell, sebagai refresentasi sarjana Kristen, misalnya,

mengatakan bahwa Muhammad banyak terpengaruh suasana polemis di

kalangan orang-orang Kristen Arab. Pada masa Mekkah dan awal Madinah,

Muhammad dan al-Qur’an kemudian terpengaruh oleh ajaran Kristen.193

Misalnya menurut Bell, QS. al-Ikhlas bukanlah merupakan hasil polemik

antara Nabi Muhammad dan orang Kristen, melainkan terhadap orang musyrik

190 Jalaluddin Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid I. Beirut, Dar al-Fikr, t.th., hlm.

60. Rahison Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka setia, cet I, 2009, hlm. 76 191 Ibid., hlm. 122. فمن جاء كما بشاھدين على شيء من كتا ب هللا فا كتباه , اقعدا على باب المسجد: في قول ابي بكر لعمر وزيد 191

وواضخ ان تفسير ابن حجر , لكن رجاله ثقات , من طريق ھشام ابن عروة عن ابيه) وھو حديث منقطع اخرجه من ابو داوود( Gا الشاھد الواحد على الحفظك, حظ فيه ا� كتفاء بشاھد واحد علي الكتابة .ي . Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-

Qur’an, Beirut, Dar al-‘Ilm - lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 76. 192 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Ygyakarta, LKiS, cet I, 2011,

hlm. 46 193 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, 128-129.

yang mempercayai banyak Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan mempunyai

tiga anak perempuan (allata, al-uzza, dan manat). Akan tetapi kisah tentang

penolakan penyaliban Yesus dalam al-Qur’an diklaim, diambil oleh Nabi

Muhammad saw dari arah satu sekte Kristen di Syiria.194 metode historis yang

sama dipergunakan Bell untuk menjelaskan fenomena kewahyuan yang

dialami Nabi Muhammad saw.

Telaahnya banyak menggunakan dan mencari landasan pada

unconciousness, dalam psikonalisis. Oleh karena itu, hitorisisme kritis

didominasi oleh konsep-konsep seperti: frustasi, stres, kompensasi, neorosis,

dan trance. Pendekatan ini digunakan untuk meneliti kejiwaan tokoh sejarah

yang dikenal dengan istilah psycho-history.195

Sedangkan menurut Abu Bakar Aceh, beliau mengatakan “Sejarah dari

pada mushaf imam itu telah lahir salinan-salinan al-Qur’an yang banyak

sekali dicetak di Timur dan di Barat, di mana isinya sesuai dengan yang asli

itu, dan terseber ke seluruh penjuru dunia, seperti yang didapati sekarang

ini.196

Meskipun menurut Richard Bell, seandainya Nabi Muhammad saw

tidak bisa menulis, dia bisa menyuruh juru tulis, dan ada hadis namun pada

hadist tersebut (Muqatti’)197 yang menyatakan bahwa juru tulis dipakai untuk

mencatat wahyu. Dalam surat 87: 6 disebutkan,

“Kami akan membacakan (Al Qur’an) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa.

Bahwa Nabi Muhammad lupa, ini bisa dianggap untuk mengisyaratkan

bahwa ia tidak mempercayai ingatannya sendiri lalu menuliskan serta

menghafalkan pesan-pesan yang diwahyukan sebelum menyatakan didepan

umum. Sindiran orang-orang Mekkah tentang kisah kuno yang dia suruh

tuliskan untuk itu sendiri menyiratkan bahwa di Mekkah dia setidaknya

dicurigai sudah menyuruh orang menuliskan (25:6), kalau dan ini mungkin

194 Ibid., hlm. 140. 195 Ibid., hlm. 129. 196 Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Qur’an, Solo, Ramadhani, cet VI, 1989, hlm. 39.

saja, dia telah menyuruh orang untuk menuliskan sebagian dari Quran, dia

tentunya akan merahasiakan ini.

Di Madinah dia diharapkan bahwa setidaknya amanat-amanat

hukumnya sudah dicatat. Laporan mengenai “pengumpulan” pertama dari al-

Qur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad oleh Zait bin Sabit menyiratkan

bahwa sebagian sudah ditulis di atas potongan papirius dan bahan lain.198

Hasil karya Zaid adalah ‘kumpulan kertas’ di atas lembaran –lembaran

(suhuf) dan ini akhirnya diteruskan menjadi milik hafsah. Seperti dipersoalkan

di atas, sangat tidak mungkin bahwa ada ‘kumpulan’ resmi seperti yang telah

digambarkan.tetapi hampir pasti bahwa hafsaf memilki semacam ‘lembaran’.

Jadi mungkin saja, bahwa banyak dari Quran telah dituliskan dalam satu dan

lain bentuk semasa hidup Nabi Muahmmad.199

Di dalam transliterasi al-Qur’a buku Bell’s Introduction to the Qur’an

oleh Richard Bell, kadang-kadang wawasan-wawasannya yang hebat yang

berkembang menjadi tema-tema yang agak eksentrik. Misalnya Bell

mengatakan bahwa sebagian besar dari diskontinuitas ayat-ayat al-Qur’an

adalah karena orang-orang yang menyalin ayat-ayat tersebut tidak dapat

membedakan depan dan belakang dari meteri-materi di mana ayat-ayat

tersebut mula-mula sekali dituliskan.200

Karenanya kalau ada yang menulis tidak dengan aksara itu, tidaklah

menjadi persoalan yang esensial, selama dapat dibaca dengan benar. Demikian

menurut ibn Khaldun.201 Selain karena selama ini asumsi yang mengatakan

rasm utsmani itu adalah tauqifi, seperti pandangan imam Ahmad Ibn Hambali

dan Zaki Mubarak, lebih banyak didasarkan pada penafsiran hermeneutik

lebih banyak sandaran nash.

Menurut Richard Bell, al-Qur’an bukanlah risalah teologi, bukan pula

kitab perundang-undangan atau kumpulan kutbah, tetapi rasanya al-Qur’an

198Manna’ al- Qatthan, op. cit., hlm. 148. 199 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 56. 200Fazlur Rahman, Pokok-Pokok Tema dalam al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin,

Bandung, Pustaka, cet II, 1996, hlm. xiv. 201 H. J. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm

273.

lebih merupakan ramuan (medley) ketiganya, dan ditambah berbagai

“mutiara” yang bertebaran di dalamnya. “Pewahyuannya” tentang selama

kurang dua puluh tahun, disaat Nabi Muhammad Saw bangkit dari posisi

seorang pembaru keagamaan yang tidak terkenal di kota asalnya,. Mekkah

menjadi penguasa aktual di kota Madinah dan sebagian besar jazirah Arab.

Karena wahyu turun sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang senantiasa

bergerak dan berubah selaras dengan kaum Muslimin selama masa-masa

tersebut, maka wajar kalau gaya kitab suci al-Qur’an berubah-ubah pula.

Lebih dari itu, Bell, juga mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada

sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-orang Muslim setelah kematian

Muhammad saw. Richard Bell juga menjelaskan bahwa sumber historis utama

dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama Kristen.202

Kekhawatiran Bell bahwa para sahabat tidak ada yang menghafal

keseluruhan al-Qur’an karena tersebarnya tulisan yang berimplikasi kepada

munculnya varian yang sangat banyak, tidak beralasan.203 Perubahan terjadi

besar-besaran dalam bentuk pengungkapan kelihatnnya sangat dibutuhkan.

Bell mengikuti jejak sarjana-sarjana Eropa pendahulunya dan mengemukakan

pendahulunya dalam mengemukakan bahwa al-Qur’an merupakan buah karya

Muhammad. Seperti Fredrich Schwally, yang berbeda dengan Noldeke ketika

merevisi “Geschicthe des Qorans, Schwally mengungkapkan pengaruh

Kristen lebih dominan di dalam Islam dibanding Yahudi.

Selain itu, Wilhem Ruddolph, seorang pakar perjanjian lama dan

meraih gelar doktor pada tahun 1920, menulis desertasinya yang berjudul Die

Abhangigkeit des Qorans von Judentum und Cristentum (ketergantungan al-

Qur’an terhadap Yahudi dan Kristen). Disertasi tersebut diterbitkan di

Stuttgart pada tahun 1922. Dalam disertasinya, Rudoplh menyimpulkan bahwa

sebenarnya Islam berasal dari Kristen (Islam is actually vom Christentum

202 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 309. 203 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III,

2007, hlm. 93.

ausgegangen), dalam pandangan Rudoplh, Kristen adalah ‘buaian Islam’ (die

Wiege des Islam).

Senada dengan Rudoplh , Tor Andrae menulis (Der Ursprung des

Islam und das Christentum (asal mula Islam dsan Kristen). Tor Andrae

berpendapat bahwa ajaran-ajaran Islam memiliki contoh-contoh yang jelas

dalam Literatur Syiriak (die Predigt des Qorans hat bestimmte Volbilder in der

syirischen Literatur). Andre menyatakan: “konsep kenabian sebagai sesuatu

yang hidup dan aktual, sesuatu yang milik sekarang dan yang akan datang ,

sukar sejauh yang aku lihat, muncul di dalam jiwa Muhammad jika ia tidak

mengetahui mengenai Nabi-Nabi dan kenabian yang telah diajarkan Yahudi

dan gereja Kiristen di Timur.204

Menegaskan pengaruh Kristen terhadap al-Qur’an, Richard Bell (m.

1953) menulis sebuah buku berjudul The Origin of Islam in its Environmet

(London: 1926). Di dalam buku tersebut, Richard Bell berpendapat bahwa

pengaruh tersebut datang dari tiga pusat: Syiria, Mesopotamia dan Ethiopia.

Bell meneliti ilmu pengetahuan Kristen yang ada di Arab Selatan (South Arab)

sebelum kedatangan Islam. Menurut Bell, puisi-puisi yang ada sebelum

munculnya Islam menyentuh aspek-aspek Kristen seperti gereja, tempat-

tempat Ibadah, gong dan bel, acara-acara seremonial Kristen dan lainnya. Bell

berpendapat bahwa kosa kata Aramik dan Ethiopia yang digunakan oleh

orang-orang Kristen, diketahui oleh Muhammad, yang selanjutnya

memasukkan ke dalam al-Qur’an.205

Kritik Adams tersebut di atas salah satunya diarahkan kepada Richard

Bell. Richard Bell mengemukakan bahwa Islam tidak lain hayalan imitasi dari

agama Kristen. yang digunakan dalam Islam, berbicara tentang karakter

praktis yang faktual dari kegiatan Muhammad pribadi dan bahkan sebagai

seorang Nabi. Dalam buku The Qur’an Origin of Islam in its Christian

Environment, Richard Bell Al-Qur’an menurutnya, tidaklah lain adalah

204 Ibid., hlm. 141. 205 Ibid., hlm. 143.

produk Muhammad yang disusun berdasarkan tradisi Bibel yang sudah

berkembang saat itu di Mekkah.206

Sehingga untuk memperkuat persepsi bahwa al-Qur’an tidak lain

hanyalah produk Muhammad, Richard Bell dalam artikelnya “ Muhammad’s

Vissions” mencoba menganalisis fenomena wahyu Muhammad Menurutnya,

kata “wahy” dan derivasinya yang terdapat dalam al-Qur’an, baik dalam

konteks komunikasi antar makhluk maupun komunikasi antara Tuhan dan

makhluk-Nya, mengandung konotasi “suggestion” (anjuran), “inspiration”

(inspirasi), atau prompting (dorongan atau bisikan), untuk melakukan sesuatu

yang dimaksud oleh pemberi “anjuran” atua inspirator. Ia menyatakan bahwa:

The Fundamental sense of the word as used in the Quran seems to the communication of ab idea by some quick, suggestion or prmpting, by as we might say, a flash of inspiration. Contoh hal ini, menurut Bell adalah “anjuran” Tuhan kepada lebah

untuk membuat sarang-sarangnya di gunung-gunung (An-Nahl. [16]: 68) dan

“inspirasi” Tuhan kepada kepada Nabi Nuh membuat perahu (Hud. [11] :36-

37). Dengan demikian, menurut Bell, Muhammad hanyalah penerima perintah

atau anjuran untuk membuat al-Qur’an berdasarkan ajaran-ajaran yang telah

mapan saat itu, termasuk doktrin-doktrin Kristen.

Selain itu, Richard Bell berpendapat bahwa wahyu yang dialami Nabi

Muhammad merupakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Serta

Ia juga menilai sebagai desakan atau perintah untuk berbicara. Demikian pula

Richard Bell tetap mendudukan peristiwa dialog Jibril dan Nabi. Muhammad

sebagai sesuatu yang natural, seperti pemahaman terhadap (QS. At- Takwir

(81): 23,

“Reasserted in surah 81 that be bad seen the messenger on the clear horizon, is I think and indication that something of the sort bad already happened to him”.207

206 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 180. 207 Ibid., hlm 180.

Pengetahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagai wahyu

melalui trance-medium (keadaan tak sadar diri) dalam suasana mempraktikan

kehidupan kahin ini melalui meditasi, sebagaimana tersirat QS.73 ayat 1-8.

Ayat ini dipahami Bell bahwa Muhammad bagun dan bermeditasi pada malam

hari untuk memudahkan mendapatkan wahyu. Ia kemudian seakan-akan

mendapatkan wahyu, padahal hanya dari bisikan dari luar, “It is his speaking

which he is explaining and defending.” (pembicaran sendiri yang ia nyatakan

dan pertahankan (sebagai wahyu).208

Ayat tersebut juga ditafsiri oleh Richard Bell sebagai kesibukan

Muhammad dalam menyusun al-Qur’an, memilih waktu malam hari sebagai

yang paling kuat kesannya dan paling pantas dalam pembicaraan”, yakni

waktu ketika gagasan-gagasan demikian jelas dan ketika kata-kata yang tepat

sebagian besar mudah ditemukan.

Wahyu, menurutnya, sebagai sugesti yang muncul sebagai kiasan

inspirasi (the flash of inspiration) natural, sekaligus mengagumkan dari penuh

mesteri. Menurutnya, wahyu yang dialami oleh Muahammad merupakan

peristiwa yang menagagumkan dan penuh mesteri, peristiwa natural bisa.

Menurut Bell, proses mendapatkan inspirasi yang tepat harus senantiasa

diawali dengan meditasi. Namun pikirannya dalam keadaan yang tidak

terkosentrasi atau dalam keadaan pasif, seringkali inspirasi tersebut tidak

muncul. Hal ini diisyaratkan oleh QS. Maryam [19]: 24; QS. [5] al- Maidah:

101; QS. [22] Al-Hajj: 52). Sering Nabi mengalami keraguan dalam

menangkap inspirasi, karena Nabi Muhammad sendiri menyadari bahwa setan

terkadang campur tangan dalam pewahyuan. Hal, ini diindikasikan (QS. [22]

Al-Hajj: 52), yang dikatakan merujuk pada insiden “ayat-ayat setaniah” yang

berkaitan dengan (QS. [53] An-Najm: 19-20).

Dalam menanggapi pandangan Bell tentang fenomena kewahyuan

yang berada dalam tatanan natural, Vahiduddin dan Nizamat Jung,

berpendapat bahwa peristiwa mesteri dalam pengalaman wahyu menurut Bell

sudah tergolong peristiwa supernatural dan sebagai peristiwa yang luar biasa.

208 Ibid., hlm 181.

Selebihnya menurut Watt, pendapat-pendapat Bell di atas bersal dari dugaan

suatu kesulitan yang tidak bisa diatasi Bell adalah bahwa ahwa bukanlah satu-

satunya kata kerja yang berarti “mewahyukan”, kata-kata nazzala dan anzala

dalam pengertian yang serupa.209

Mengulangi kembali seraya menambahkan kritikan kepada isu

kompilasi al-Qur’an pada zaman Abu Bakar, Richard Bell menunjukkan

memang teks yang dikumpulkan atas perintah Abu Bakar itu adalah teks

pribadi bukan teks revisi resmi. Argumentasinya sebagai berikut:210

Pertama, sampai wafatnya Muhammad, tidak ada rekaman wahyu

yang otoritatif dan tersusun. Padahal, Muhammad sendiri telah

mengumpulkan dan menyusun banyak lembaran-lemabaran dan susunan

tersebut diketahui oleh para sahabat (.....Muhammad himself had brought

together many revealed passages and given them a difinite order, and that this

order was known and adhered to by his Companions).

Kedua, berdasarkan pada jumlah hadis yang berbeda, tidak ada

kesepakatan mengenai siapa sebenarnya yang menggagas dan menghimpun al-

Qur’an Umar atau Abu Bakar.

Ketiga, motif menghimpun al-Qur’an disebabkan banyaknya para

Qurra, yang meninggal dalam perang Yamamah tidaklah tepat. Hanya sedikit

dari Qurra yang meninggal. Schwally menyebutkan hanya dua orang saja.

Kebanyakan yang meninggal adalah para muallaf. Selain itu, berdasarkan

riwayat hadits, banyak materi wahyu yang ditulis. Jadi jika para penghapal al-

Qur’an meninggal, maka ini tidak akan menimbulkan kekhawatiran bahwa

bagian dari al-Qur’an akan hilang.211

Keempat, seandainya koleksi itu adalah resmi, niscanya koleksi

tersebut akan disebarkan karena memiliki otoritas. Namun, bukti itu tidak ada.

Mushaf yang lain juga dianggap otoritatif di berbagia daerah. Perdebatan yang

mendorong versi al-Qur’an di bawah kekhalifaan Utsman tidak akan muncul

209 Ibid., hlm. 182-183. 210 Adnin Armas, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm.

89. 211 Ibid., hlm. 90.

jika mushaf resmi di dalam kekhalifahan Abu Bakar ada. Mushaf resmi

tersebut pasti menjadi rujukan. selain itu, pendapat Umar yang menyatakan

bahwa ayat al-rajam itu, ada di dalam al-Qur’an adalah tidak konsisten jika

‘Umar memiliki Mushaf resmi.

Kelima, dan ini alasan yang paling benar menurut Bell, seandainya

Zayd menghimpun mushaf yang resmi, maka Umar tidak akan menyerahkan

teks tersebut ke Habsah, anaknya. Ini menunjukkan bahwa mushaf yang ada

pada hafsah bukanlah mushaf resmi.

Jadi, Richard Bell menyimpulkan “himpunan” lengkap al-Qur’an yang

resmi pada kekhalifahan Abu Bakar tidak ada. Richard Bell yakin hadis

mengenai al-Qur’an dihimpun pada masa kekhalifahan Abu Bakar dielaborasi

hanya untuk menghindari supaya ‘himpunan’ al-Qur’an yang pertama kali

bukanlah yang muncul belakangan. Mengomentari mushaf pribadi yang

dihimpun Abu Bakar dan Umar, Regis Blachere menyatakan Abu Bakar dan

Umar menyebut Zayd menghimpun al-Qur’an karena perasaan inferior (orang

bawahan) di banding oleh para sahabat lain yang terlebih dahulu memiliki

mushaf.212

1. Jejak Pendahulu Richard Bell tentang Kronologi al-Qur’an.

Dalam proses kronologi yang dilakukan oleh pra pendahulunya ini

nantinya kan berimplikasi kepada hipotesa Bell, dalam memberikan

interpretasi terhadap formasi al-Qur’an itu sendiri, adapun nama-nama

para pendahulunya, antara lain:

a. Gustav Weil

Titik awal perhatian Barat terhadap kajhian al-Qur’an dapat

dikatakan bermula dengan karya Gustav Weil,213 Weil dipandang

sebagai sarjana Barat yang pertama melakukan kajian penanggalan al-

Qur’an dan pendiri madzhab penanggalan empat periode, lewat karya

monumentalnya, Historisch Kritische Einleuitung in der Koran, pada

212 Ibid., hlm. 90-91. Muhammad bin Lutfi as-Shibagh, Limahat Fi Ulumul Qur’an, Wa

At-Tijahati Al-Tafsir, Lebanon, al-Maktabah al-Islamiy, cet, III, 1990, hlm. 110-111. 213 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001.

hlm. 105, untuk selanjutnya lihat kronologi al-Qur’an Gustav Weil.

1844. Ia menerima teori sarjana muslim bahwa surat-surat al-Qur’an

merupakan unit-unit dari wahyu sehingga dapat disusun dalam suatu

tatanan kronologis dengan berpijak pada hadis-hadis. Akan tetapi, ia

berbeda dengan sarjana muslim ketika membagi surat-surat Makiyyah

dalam tiga periode: periode awal, periode tengah, periode akhir.

Sementara periode Madinah diterimanya.214

b. Theodore Noldeke dan Schwally

Asumsi yang di adopsi oleh Weil dari para sarjana muslim, tiga

kreteria aransmen kronologi dan sistem penanggalan empat

periodenya, sebenarnya, sisitem penanggalan empat periode Noldeke

di atas karena dipengaruhi sistem penanggalan yang dirumuskan oleh

Gustav Weil,215 kemudian diadopsi Noldeke (1860) dan Schwally

(1909) dalam karya mereka, Geschichte des Qorans216 (Ester Teil,

“bagian pertama”), dengan sejumlah perubahan pada susunan

kronologis surat-surat al-Qur’an, belakangan karya patungan Noldeke

dan Schwally ini mempengaruhi Regis Blechere dalam terjemahan al-

Qur’annya, Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des

Sourates (1945-1950). Yang pada halaman selanjutnya akan penulis

jelaskan.217 Perbincangan oleh sebagian orientalis di masa Ustman,

sebagaimana mareka mendakwakan, bahwa Ustman tidak menyimpan

naskah wahyu seluruhnya, sesungguhnya Ustman hanya bersandar

kepada keterangan sebagian tafsir serta disertai dengan peralihan

214 Untuk melihat klasifikasi surat-surat al-Qur’an versi Noldeke secara lengkap lihat,

Rohison Anwar, Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm. 67- 68. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001 hlm. 106.

215 Ibid., hlm 106. 216 Dr. Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang orientalis terkemuka di Jerman

yang khusus mendalami bahasa Siryani, Arab dan Persi, Semit dan Ibrani. Noldeke termasuk ilmuan yang berumur panjang, sekitar 94 tahun, dan dengan usia yang panjang itu, menjadikannya menempati posisi yang tertinggi diantara para orientalis di Jerman. Abdurahman Badawi, Enslikopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat, Yogyakarta, LKiS, cet I, hlm. 274.

217 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,

tempat (peralihan fakta) pada sebagian ayat.218 Mereka mengemukakan

pendapatnya tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut:219

Artinya: kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan

yang penuh keseluruhan watak Muhammad itu, bahkan mempunyai

karya-karya yang otentik, al-Qu’an yang disampaikan oleh nama Allah

swt. Sekalipun demikian tokoh yang luiar biasa yang menarik dan

menberikan itu dalam banyak hal ini tetap merupakan teka-teki.

Banyak sekali mendali Agama Yahudi dan agama Kristen, tapi

hanya melalui laporan lisan belaka. Sekalipun tetap merupakan soal

apakah betul Muhammad itu tak pandai baca dan bisa tulis, tetapi pasti

ia tidak pernah membaca Bibel ataupun kitab- kitab lainnya. Tokoh-

tokoh tempat dan mengumpulkan informasi mengenai agama-agama

tua yang monoteisme itu pastilah pihak yang kurang pelajar terlebih

khusus guru pembimbingnya dalam kitab Kristen.

Edisi kedua di revisi dan diperluas oleh Friedrich Schwally dan

lainnya muncul dalam tiga jilid pada 1909 dan 1939, serta dicetak

ulang melalui proses foto mekanik pada tahun 1961, sehubungan

dengan kronologi al-Qur’an, Noldeke mengasumsikan suatu gaya al-

Qur’an yang progesif dari bagian-bagian yang puitis yang agung pada

masa awal kepada wahyu-wahyu yang berwujud prosa panjang pada

masa belakangan, Ia mengakui tradisi Islam dalam pembagian al-

Qur’an kedalam surat-surat yang sebagian besar isinya diwahyukan di

Mekkah dan di Madinah tatapi lebih jauh ia membagi surat-surat

Makiyah ke dalam tiga periode.220

c. Regis Blachere

Regis Blechere (1900-1973)221 dalam terjemahan al-Qur’annya,

Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates

218 Akram Abdul Khalifah al-Adzalimi, Jam ‘u al-Qur’an, Dirasat Tahliliat li Marwiyat,

Berut, Lebanon, Dar-Kutub al-Ilmiyyah, 1971, hlm. 275. 219 Joesoef Sou’yb. Orientalis dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985, hlm. 126-127. 220 Taufik Adnan Amal, loc.cit., 221 Blechere di lahirkan pada 30 Juni 1900 di Paris. Blechere melakaukan perjalanan

bersama orang tuanya ke arah Maghribi pada tahun 1915. Ayahnya di tugaskan pada urusan

(1945-1950). Dalam terjemahan ini, ia menyusun surat-surat al-Qur’an

secara kronologis yang hanya berbeda dari susunan Noldeke-Schwally

dalam beberapa hal. Asumsi dasar penanggalan menjadi empat

pseriode beserta kreterianya diterima sepenuhnya oleh Blachere.222

Sehubungan dengan kronologi Blachere, dapat dikemukakan

bahwa ia terlalu terpengaruh oleh sistem penanggalan Noldeke-

Schwally, yang pada gilirannya membuat asumsinya terhadap bagian-

bagian individual al-Qur’an sebagai unit wahyu yang orisinal tidak

begitu mencuat dalam upanya penanggalannya.223

d. Hartwig Hirschfeld

Memasuki abad ke-20, Hartwig Hirschfeld mengintrodusir

sistem penanggalan kronologi al-Qur’an dalam New Research into the

Compostion and the Quran. Karya ini dianggap sebagai tren baru

kajian kronologi al-Qur’an dikarenakan aransemen al-Qur’an

Trobosan baru dalam upaya merekostruksi kronologi

pewahyuan al-Qur’an dilakukan oleh Hartwig Hirschfeld lewat

karyanya, New reserches into to the Composition and Exsegesis of the

Qur’an, yang terbit di london pada tahun 1902. Dalam hal ini

Hirschfeld mengajukan suatu aransemen kronologi al-Qur’an yang

didasarkan oleh karekter atau fungsi bagian-bagian individual al-

Qur’an sebagai unit-unit wahyu tradisional. Ia juga meninggalkan

asumsi tradisional islam tentang surat sebagai unit wahyu orisinal yang

telah mempengaruhi perkembangan kajian kronologi al-Qur’an di

Barat.224

Posisi Hirschfeld sangat menarik, sekalipun aransemen

kronologisnya memeliki sejumlah cacat yang jelas, dan karenanya tidak

perdagangan kemudian ditugaskan kebagian administrasi di Maroko. Blechere menempuh pendidikan menengah di Prancis di gedung Putih. Setelah menyelesaikan sarjana mudanya , ditugaskan menjadi pengawas di madrasah Maula Yusuf di Rabat. Abdurrahman Badawi, op. cit., hlm 32.

222 Taufik Adnan Amal, loc. cit., 223 Ibid., hlm. 107. 224 Ibid., hlm. 112.

begitu diterima. Ia telah melakukan upanya rintisan untuk penerapan sastra

terhadap al-Qur’an dan memperkenalkan kembali asumsi yang telah lama

tertimbun dibalik hiruk-pikuk kajian kronologi al-Qur’an: bahwa dalam

usaha memberi penanggalan terhadap kitab suci tersebut perhatian

semestianya diarahkan pada bagian-bagian induvidual (periocopes) al-

Qur’an sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat.225

Asumsi semacam ini, sebagaimana di utarakan dijustifikasi secara

sepenuhnya sumber-sumber tradisional yang menjadi tumpuan kajian-

kajian kronologi. Belakangan, asumsi Hirschfeld terutama tentang bagian-

bagian induvidual al-Qur’an sebagai unit-unit orisinal wahyu menjadi

prinsip pembimbing dalam upaya paling terelaborasi sejauh ini untuk

mengidentifikasi dan memberi penanggalan unit-unit wahyu orisinal yang

dilakukan oleh Richard Bell.226

Pendek kata al-Qur’an telah menjadi sasaran penelitian yang

sangat cermat selaras dengan metode kritik Untuk melihat bentuk

kronologis dari empat periode dari beberapa tokoh yang berbeda seperti

William Muir, Noldeke-Schwally, dan Hirschfeld, bisa melihat langsung

pada bukunya Taufik Adnan Amal, dengan judul buku Rekonstruksi

Sejarah al-Qur’an. Di terbitkan di Yogyakarta, oleh FKBA, dari halaman

101 – 113.

2. Kronologi Al-Qur’an Richard Bell

Usaha-usaha yang belakangan, terutama yang dialakukan oleh

Richard Bell, berupaya untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan

menyerahkan semua energinya untuk menyusun seluruh kronologi teks al-

Qur’an sampai sekecil-kecilnya. Akibatnya, karyanya itu sungguh sangat-

sangat ekstrensik, ia lebih mencerminkan karya dari sosok patalogis dari

seseorang misionaris Scot katimbang karya mengenai susunan kronologis

revelasi al-Qur’an.227 Para orientalis misionaris tersebut memang

225 Ibid., hlm. 117. 226 Ibid., hlm. 116. 227 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung, Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm.

67.

menghendaki agar umat Islam membuang tuntunan Rasuluallah saw,

sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan

ajaran Jesus.228

Meskipun banyak sarjana muslim yang menganggap usaha-usaha

Barat semacam itu sebagai ilmiah (prinsip penentuan turunnya ayat dalam

matriks biografis sirah, menurut pandangan mereka bukanlah serangan

idiologis terhadap kitab suci), kecil kemungkinan dapat dihasilkannya

suatu karya yang lebih dari sekedar generelalisasi kasar dan umum,

bahkan melalui metode-metode modern terbaik sekalipun.229

Kajian utama Bell tentang kronologi al-Qur’an, dari sarjana Barat

direpresentasikan dalam karya-karya Richard Bell. kajian utamanya

mengenai al-Qur’an terdapat dalam The Quran Translated with a Critical

Rearrangement of the Suras ( dua jilid, masing-masing terbit pada tahun

1937 dan 1939), meskipun dalam suatu bentuk yang tidak lengkap.

Beberapa kekurangannya diperbaiki oleh artikel-artikelnya dan sebagian

lagi oleh karyanya, Introduction to the Qur’an, yang terbit pada tahun

1953. Buku terakhir belakangan, direvisi oleh William Montgomery Watt,

dalam Bell’s Introduction to the Qur’an terbit pada tahun 1960.230

Meskipun dalam bentuk yang tidak begitu lengkap, ditemukan

dalam dua jilid terjemahan al-Qur’annya, The Qur’an Translated, with a

critical Rearranggement of the Suras. Ketidak lengkapan karya ini

disebabkan sejumlah besar catatan yang menjelaskan secara rinci alasan-

alasan yang mengarahkan Bell kepada kesimpulan-kesimpulannya tidak

pernah diterbitkan. Namun sebagian dari kekurangan ini dapat diperbaiki

oleh artikel-artikelnya, serta sebagian lagi oleh karyanya: Introduction to

the Qur’an (1953) dan A Commentary on the Qur’an (1991).231

228 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme, Jakarta, Gema Insani, cet I, 2008, hlm.

9. 230 Ibid., hlm. 67. 231Taufik Adan Amal, Sejarah Rekonstruksi Al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I, 2001,

hlm. 113. Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 317.

Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Bell menerima

asumsi Hirschfeld bahwa unit-unit wahyu orisinal adalah bagian-bagian

pendak al-Qur’an, selanjutnya ia berpendapat bahwa sebagian besar

pekerjaan “mengumpulkan” unit-unit wahyu ini ke dalam surat-surat

dilakukan sendiri oleh Muhammad di bawah inspirasin ilahi. Dalam

proses “pengumpulan” tersebut, Muhammad juga dibawah inspirasi Ilahi

–telah merivisi bagian-bagian al-Qur’an, termasuk memperluas, mengganti

ayat-ayat lama dengan yang baru., menyesuaikan rimanya dan lain-lain.

Perivisian juga melibatkan dokument-dokument wahyu yang telah

direkam secara tertulis.

Sebagaimana Zaid menetapkan kreteria yang ketat setiap ayat yang

dikumpulkannya, lihat penjelasan sebelumnya232. Asumsi Bell tentang

perevisian dan dokument tertulis wahyu ini yang merupakan bukti-bukti

kontroversial dalam gagasan tentang penanggalan al-Qur’an barangkali

diterjemahkan terlebih dahulu agar bisa diapresiasi atau dikritik secara

proporsional.233

Penanggalan Bell didasarkan pada suatu asumsi yang teliti

terhadap setiap surat yang mengakibatkan pemilahan-pemilahan surat-

surat al-Qur’an kedalam bagian-bagian komponen-komponennya.

Analisis, semacam ini meskipun pekerjaan penanggalan telah kompleks,

dengan sendirinya memaperoleh hasil-hasil tertentu, misalnya melalui

pengakuan dan adaya sumbangan-sumbangan alternatif suatu ayat atau

ungkapan.

Bell juga melakukan suatu ikhtiar untuk tidak membacakan ke

dalam bagian ungkapan al-Qur’an lebih dari yang dikemukakan bagian

tersebut secara aktual. Hal ini berarti ia mengesampingkan pandangan para

mufassir Muslim belakangan sejauh pandangan-pandangan tersebut

tampak dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan teologis yang

muncul kira-kira lama setalah Nabi wafat dan hanya berupaya memahi

232 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., cet III, hlm. 126.

233 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,

setiap bagian al-Qur’an menurut makna yang dipahami para pendengar

pertamanya.

Seperti lazimnya para sarjana muslim dan Barat lainnya, Bell

menerima kerangka kronologis yang lazim tentang kehidupan Nabi

sebagaimana terdapat dalam sirah Ibn Hisyam (w 833), yang diterima Bell

terutama sekali adalah kronologi periode Madinah, dan hijrah tahun (622)

sampai Nabi wafat SAW (623)

Berpijak pada berbagai asumsi di atas, Bell kemudian melakukan

rekonstruksi historis yang sangat terelaborasi terhadap wahyu-wahyu

Muhammad saw, yang terhimpun di dalam al-Qur’an. Ia memang tidak

mengajukan suatu sistem penanggalan yang kaku, tetapi secara

“provesional” menyimpulkan bahwa komposisi al-Qur’an terbagi menjadi

tiga periode utama:234

a. Periode awal yang darinya tersisa beberapa “ayat pertanda” dan

perintah untuk menyembah Tuhan;.

b. Periode al-Qur’an yang mencakup bagian akhir periode Mekkah dan

satu atau dua tahun pertama di Madinah, ketiga tugas Muhammad

adalah memproduksi suatu Qur’an, suatu kumpulan pelajaran untuk

peribadatan; dan

c. Periode kitab, bermula pada penghujung tahun kedua setelah kedua

tahun hijriyah, Muhammad mulai memproduksi suatu kitab suci

tertulis.

Menurut Bell, al-Qur’an yang ada dewasa ini tidak mesti dibagi

menjadi tiga periode tersebut, karena sejumlah “ayat pertanda” telah

dijalin ke dalam bagian peribadatan dari periode al-Qur’an, dan kumpulan

bahan dari periode kedua ini juga telah direvisi untuk membentuk bagian

kitab periode ketiga.235

Suatu survei terhadap capaian-capaian Penelitian terhadap

penanggalan provesional Richard Bell atas bagian-bagian induvidual al-

234 Ibid., hlm. 115 235 Ibid., hlm. 116. Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi

Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 319

Qur’an memperlihatkan, bahwa ia hanya memandang 19 surat-surat

Makiyyah yaitu:236

Surat 50; 53; 55; 69; 75; 79; 80; 82; 86; 88; 89; 91; 92; 93; 95; 96;

99; 104; dan 113.. tetapi secara keseluruhan surat ini disimpulkan

memiliki bahan dari berbagai masa selama periode Mekkah. Beberapa

surat pendek lainnya –surat 102; 105; 112; dan 114- diduga sebagai

surat-surat utuh dari periode Madinah. Surat 1; 94; 103; 106; 107; dan

108, menurutnya bisa Makiyah atau Madaniyah. Sementara untuk surat

100; 101; 109; dan 111, ia tidak mengemukakan opininya.237

Lebih jauh ia memandang 24 surat sebagian surat-surat

Madaniyah, tetapi menganggapnya memiliki sejumlah besar bahan dari

masa-masa yang berbeda selama periode Madinah. Surta-surat lainnya

sejumlah 57 surat dipandang Bell memiliki sejumlah besar bahan baik

dari masa sebelum maupun setelah hijrah: 33 surat di antaranya memilki

sebagian besar bahan dari peiode Makkah dengan revisi dan tambahan

dari periode Madinah.

Surat ke 6; 7; 12; 13; 15; 17; 18; 21; 25; 26; 34; 36; 37; 38; 41; 44;

51; 52; 54; 56; 68; 70; 71; 72; 73; 74; 76; 77; 78; 81; 84; dan 90-

sementara 24 surat yang tersisa memiliki sebagian besar bahan dari

periode Madinah dengan beberapa bagian dari periode Mekkah, atau

didasarkan pada bahan-bahan periode Mekkah- surat 10; 11; 14; 16; 19;

20; 23; 27; 28; 29; 30; 31; 32; 35; 39; 40; 42; 43; 45; 46; 47; 83; 85; dan

97.238

Dengan demikian, Bell membedakan anatara penanggalan unit

wahyu orisinal dan penanggalan revisinya yang belakangan pada masa

Nabi. Sistem penanggalan semacam ini jelas memberi peluang sangat

236 Taufik Adnan Amal, loc. cit., hlm. 116. 237 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Tafsir Kontekstual, Bandung, Mizan, 1989,

hlm. 87. 238 Taufik Adnan Amal, loc. cit.,

kecil untuk menyusun surat-surat al-Qur’an ataupun unit-unit wahyu

secara keseluruhan ke dalam tatanan kronologis.239

Barbagai capaian Bell dalam upaya memberi penanggalan unit-

unit wahyu al-Qur’an pada faktanya telah menunjukan karekter tentatif,

lantaran asumsinya mengenai perevisian al-Qur’an manjadi sangat

kompleks, juga sulit diterima oleh kaum Muslimin sekalipun revisi itu

dilakukan dibawah inspirasi Ilahi. Selain itu pijakan asumsinya yakni

elaborasi doktrin nasikh-mansukh masih diperdebatkan dan cenderung

ditolak sarjana Muslim modern.

Demikian pula sebagian besar kesimpulan penanggalannya

bersifat sangat umum dan meragukan, terlebih lagi untuk unit wahyu

Makiyah dalam karyanya banyak ditemukan kesimpulan penanggalan

seperti “Meccan, with later additions”, “early revised in Medina”,

“Meccan, With Medinan additions,” passibly “early Madinan, with later

additions”, atau “Meccan (?), “Medinan (?), “ “early (?), “date

uncertain,” dan lainnya, yang justru tidak memberikan kejelasan tentang

penanggalannya.240

E. Pandangan Richard Bell Tentang Teori Nasikh-Mansukh

1. Pengertian Nasikh-Mansukh Menurut Richard Bell

Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan

sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW.

Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian

pendek al-Qur’an. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan

Muhammad sebagai revisor al-Qur’an, walaupun dalam koridor inisiatif

illahi.241

Bentuk revisi tersebut dimungkinkan suatu bentuk pengulangan

wahyu dalam bentuk yang telah direvisi. Doktrin nasakh, misalnya

239 Ibid., hlm. 116. 240 Ibid., hlm. 117. 241 Dadan Rusmana, Al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 264.

menurut Bell, memberikan justifikasi terjadinya revisi dalam al-Qur’an.

Dalam diskursus Islamolog, bahwa definisi nasakh tidak berbeda dengan

definisi yang telah diberikan oleh para ulama Muslim. Thomas Patrick

Huges dalam Dictionary of Islam, menerjemahkan kata nasakh dengan to

demolish (menurunkan), render void (salinan atau terjemahan) dan, to

destroy (membinasakan).242

Sebagaimana dikataan oleh John Wansbroug,243 John Burton.244

Mengatakan bahwa secara etimologis nasikh berarti “replecement” atau

“exchange” (tabdil), “suppression” (ibthal), dan “abrogation”. Dengan

berdasarkan kepada (QS. al-Baqarah: 106, an-Nahl: 110, dan al-Hajj: 52.

Dalam arti terminologi para Islamologi di atas menyepakati bahwa nasakh

adalah proses pergantian, perubahan dan pengalihan ketentuan suatu ayat

terdahulu oleh ketentuan ayat yang akan datang kemudian.

Richard Bell berpendapat bahwa berpijak pada keseluruhan ayat

ini, tidak dapat dipungkiri bahwa suatu revisi al-Qur’an telah terjadi,

bukan hanya sebatas perubahan. Ia mengatakan:

“in the light of these verses, it cannot be denied that some revision of the Quran (at is was publicy proclaimede) took place. This was admittet by Muslim scholars in their doctrine of abrogation (al-nasikh wa al-mansukh),. The ide underlying the doctrineis that cartain commands to thes Muslims in the Quran only of temporary application, and thet when circumstances changed they were abrogated or refaced by othhers. Becouse the commande were word of god however, they continued to be recited as part of the Quran.

(Berdasar pada keseluruhan ayat ini, tidak dapat disangkal bahwa

revisi al-Qur’an telah terjadi. Hal ini telah diakui oleh para cendikiawan

muslim dalam doktrin Nasikh- Mansukh-nya. Gagasan yang mendasari

doktrin ini adalah penerapan perintah-perintah tertentu bagi orang-orang

muslim dalam al-Qur’an yang bersifat sementara, dan ketika suatu

242 Ibid., hlm. 264. 243 John Wansbrough, Quranic Srudies, Oxford, 1977, hlm. 34. 244 John Burton, The Collection of The Qur’an, London: Cembridge University Press,

1977, hlm. 46-57.

berubah, perintah-perintah tersebut diubah atau diganti oleh printah

lainnya. Namun, perintah-perintah itu merupakan kalam Allah, ia harus

dibaca sebagai bagian al-Qur’an.245

Menurut Bell, walaupun mengakui adanya doktrin nasikh adalah

al-Qur’an, karena umat Islam memandang al-Qur’an sebagai kalam logos

Allah, tidak mungkin adanya revisi (perbaikan) al-Qur’an atas kemauan

Muhammad sendiri. Hal ini dijelaskan dalam sejumlah ayat, misalnya:

Ketika tanda-tanda (atau ayat-ayat) kami dibacakan kepada mereka sebagai bukti-bukti, maka orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami berkata: “datangkanlah :”tidak patut bagiku untuk mengubahnya atas kemauanku sendiri; aku hanya mengikuti apa-apa yang telah diwahyukan kepadaku, seandainya aku mendurhakai Tuhan, maka aku takut adzab besar.” (QS.[10] Yunus:15)

2. Doktrinal Nasikh-Mansukh dalam buku Bell’s Introductio to the Qur’an

Perintah untuk melewatkan sebagian malam dengan sembahyang

yang dikemukakan pada permulaan, sebagaimana firman Allah swt. QS:

[73] al-Muzammil: 1-4).

$ pκš‰r' ‾≈ tƒ ã≅ ÏiΒ ¨“ßϑø9 $# ∩⊇∪ ÉΟè% Ÿ≅ø‹ ©9 $# āω Î) Wξ‹Î=s% ∩⊄∪ ÿ…çµ x'óÁ ÏoΡ Íρr& óÈà)Ρ$# çµ÷ΖÏΒ ¸ξ‹ Î=s%

∩⊂∪ ÷ρr& ÷Š Η ϵ ø‹n=tã È≅Ïo?u‘uρ tβ#u ö�à)ø9 $# ¸ξ‹Ï?ö� s? ∩⊆∪

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.

Ayat ini telah dihapus dan dibatalkan oleh ayat panjang di

penghujung surat tersebut (yakni QS. [73] al-Muzammil 20).

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran

245 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction, to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh at

the University Press, 1991, hlm. 86-100, pada sub bab ini, penulis banyak dibantu oleh terjemahan Taufik Adnan Amal dan Lilian D. Tejasudhana, dalam buku Pengantar studi al-Qur’an.

malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. [73] al-Muzammil: 20).

Hal ini tidak diragukan mengingat tanggung jawab kemasyarakatan

Nabi dan para pemimpin muslim di Madinah, sehingga tidaklah diinginkan

jika mereka harus “bergadang” disebagian besar waktu malam.

Selain itu untuk melengkapi tentang kemungkinan adanya revisi

ini, bagian al-Qur’an penting lainnya harus disetir, selain ayat-ayat di atas,

Richard Bell juga menyetir beberapa hadist yang menggambarkan

bagaimana Muhammad saw, mendengar seseorang membacakan al-Qur’an

di sebuah masjid dan menyadarinya bahwa bagian al-Qur’an yang

dibacakan itu berisi sesuatu ayat yang telah dilupakannya.

“Dari abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya

berkata bahwa Abu Usamah telah mengatakan: ia menerima dari Hasyim

al-Dastawai dari ayahnya Aisyah. Bahwasanya pada suatu malam Nabi

mendengar seseorang membaca. Berkatalah ia, ‘Semoga Allah

memberikan rahmat baginya yang telah menggingatkanku akan suatu ayat

yang aku telah melupakannya sebagai bagian dari surat.”246 (HR. Bukhari

dan Muslim; jalur sanad dan redaksinya menurut Muslim. Hadist serupa

pula diriwayatkan bersumber dari Ibn Namir dari Ubaidah dan Abu

Mu’awiyah dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah).

246 Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Jilid III. Mesir: al-Hijazi, Juz 6,

t.th., hlm.75.

Menurut Bell, hal menarik lainnya yang mengindikasikan adanya

revisi al-Qur’an adalah perbedaan teks mushaf dan qira’ah-nya dari para

sahabat Muhammad saw. salah satunya adalah tambahan Ubay bin Ka’ab

terhadap Q.S. al-Baiyyinah [98] ayat 2 dengan kata-kata agama disisi

Tuhan adalah hanifiyyah sambah (hanifiyya yang moderat). Redaksi Ubay

pada QS. Ali Imran [3] ayat 1 yang biasanya dibaca dengan “Agama di sisi

Tuhan adalah Islam” dibaca oleh Ubay dengan “ Agama di sisi Tuhan

adalah hanifiya sambah.247

Jadi perintah itu melewatkan sebagian besar waktu malam dengan

bersembahyang yang dikemukakan pada permulaan surat 73 (persisnya

dalam QS.al-Muzammil [73]:1-4) dihapus atau dibatalkan oleh ayat

panjang dipenghujung surat tersebut (QS.al-Muzammil [73]:20). Hal ini

tidak dapat dirugikan mengigat tanggung jawab kemasyarakatan Nabi dan

para pemimpin Muslim Madinah, sehingga tidaklah diinginkan jika

mereka harus “bergadang” di sebagian besar waktu malam.

Betapapun kutipan-kutipan yang baru dikemukakan di atas ini jika

diterima begitu saja –memberi petunjuk tentang susuatu yang lebih luas

katimbang yang dibayangkan dalam doktrin penghapusan.

Maka yang di gembar-gemborkan tentang isu nasikh-mansukh,

soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaniq dan lain

sebagainya.248 Untuk melengkapi kajian kemungkinan adanya revisi, Bell

menghubungkannya dengan beberapa ayat yang bisa disebut “Satanic

Verses” (ayat-ayat setan) al-al-gharaniq.

Kisah gharanic al-Ula (satanic verses) ini merupakan kisah yang

sering disitir oleh para orientalis untuk menunjukkan sisi kemanusian Nabi

Muhammad. William Muir, misalnya menggunakan kisah ini untuk

membuktikan kepalsuan risalah Nabi Muhammad. Pandangan Wiliam

Muir ini dikritik pedas oleh Husein Haikal sebagai sebuah kisah yang

247 Subhi Shalih, op. cit., hlm. 16. 248 Syamsuddin Arif, “al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, dalam Muhammad Amin

Suma, “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005, hlm. 11-12.

tidak berdasar. Tor Andrae pun melontarkan kritik kepada para orientalis

yang menukil kisah ini sebagai sikap yang terburu-buru dan tidak selektif.

Menurut Andrae, sekilas saja kisah itu memiliki banyak kelemahan dan

kontradiksi.

Kebanyakan para orientalis menukil kisah ini Ibn Saad, sejarawan

Muslim pada abad ke-19 masehi dalam karyanya berjudul Thabaqat al-

Kubra. Ibn Saad menguatkan kisah tersebut dengan sebuah hadist yang

didengarnya pada abad ke-3 H, lebih kurang lebih dari setengah abad

sepeninggal Nabi Muhammad saw. Namun demikian berdasarkan

penelitian At-Turmudzi, hadist ini memiliki kelemahahan sanad, yaitu

karena terdapat nama Abdullah ibn Hattab. Menurut At-Turmudzi dalam

Usd Al-Ghabah, Abdullah Ibn Hattab ternyata tidak hidup sezaman

dengan Nabi. Dengan demikian, hadist ini Munqatti’ (putus sanad atau

sanadnyua tidak bersambung hingga Nabi Muhammad saw.

Kisah ini pun memiliki saluran lain yang diterima oleh at-Tabarani

(wafat 311 H/ 973 M), yang dinukilnya dari tafsir At-Thabari. Namun,

berdasarkan penelitian para Muhaddist, termasuk Ibn Hajr Asqalani, hadis

ini memilki kelemahahan pula. Penyebabnya adalah hadist ini

diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Kaab. Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani

dalam Tahgdzib Al-Tahdzib, berdasarkan urutan Bukhari mengenai

biografi Muhammad bin Kaab adalah adalah tabiin. Yang hidup sezaman

dengan Nabi Muhammad adalah ayahnya, yaitu Kaab. Dengan demikian,

hadist al-Gharaniq al-ula dari jalur Muhammad bin Kaab pun sifatnya

Munqatti’. 249

249 Hadist Munqatti’ menurut bahasa mengikuti wazan fa’il dari bentuk masdar al-

Inqitha’u dimana ia memilki arti (terputus), lawan dari kata al-Itisal (bersambung). Sedangkan menurut arti istilah ‘ulama mutaakhirin ahli hadits ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dikarenakan tidak menyebutkan seorang rawi, dengan kata lain bahwa hadist tersebut tidak menyebutkan orang yang menyampaikan, orang menghubungkan atau orang yang . maka hadist tersebut sepertinya masih berbentuk nama yang umum ditinjau dari segi keumumanny. Ada tiga deskripsi pada hadist tersebut, yaitu: dikatakan munqati’ karena membuang sanad yang pertama.atau membuang sanad yang terakhir, bisa juga membuang dua sanad sekaligus yang bersamaan dari segi kedudukan tempatnya. Menurut penjelasan Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab “Fi al-Nuhbah wa Syarkhiha. Abu Habsin Mahmud Tahan, Taisir al-Musthalah al-Hadits, Singapura, Jidah, Haramain, 1985, hlm. 77-78.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan yang demikian

Richard Bell yang mengukuhkan adanya revisi dalam al-Qur’an dengan

menyandarkan kepada riwayat al-Gharaniq al-ula dapat dipandang

memiliki kelemahan. Demikian pula pendapat-pendapat lainnya dari para

orientalis yang menyandarkan kepada kisah tersebut memiliki kelemahan

mendasar pada sumber kisah itu sendiri.

Kami tidak mengutus sebelumu (Muhammad seorang Rasul atau Nabi pun, melainkan ketika ia membentuk keinginannya, setan mamasukan (sesuatu) kedalam formulasinya; maka Tuhan menghapuskan apa-apa yang telah dimasukkan setan, kemudian Tuhan menyesuaikan tanda-tandanya (atau ayat-ayatnya) agar Dia menjadikan apa-apa yang telah dimasukkan setan itu adalah suatu ujian bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan kasar hatinya....dan agar orang-orang yang berilmu dapat mengetahui bahwa itu merupakan keberangasan dari Tuhanmu dan mengimaninya. (QS. [22] al-Hajj: 52f).

Kisah “Garanik al-Ula” merupakan bahan cemooh dikalangan

orientalis tempo dulu terhadap misi Nabi besar Muhammad SAW. dan

bahkan mereka jadikan ‘bukti’ untuk menyatakan kepalsuan risalah Nabi

besar Muhammad saw, terutama oleh Sir William Muir (1819-1950)

dalam karyanya Life of Mohamet, Histor of Islam, pertama kali yang

memeberitahukan adalah Prof Dr. Tor Andrae250, seorang orientalis

berkebangsaan Jerman, menulis sebagai berikut:

“Ibnu Sa’ad, seorang ahli sejarah dari abad ke -9 Masehi, menceritakan bahwa suatu Muahmmad mengizinkan sebagain mukmin berhijrah ke Habsy untuk menghindarkan tindakan kekerasan yang mengancamnya dan seganap pengikutnya, ia pun sangat berkeinginan untuk tidak menerima seuatu wahyu yang akan membangkitkan suatu kebencian kaumnya. Ia berhasrat untuk merebut hati mereka itu.251

Menurut Bell, satanic verses dimaksud untuk dipaksakan masuk

kedalam dua (atau tiga) ayat yang menyusuli QS. [53] al-Najm: 19-20,

walaupun belakangan dibuang, Muhammad diberitakan telah

251 Joeseof Sou’yb, op. cit., hlm. 152.

mengharapkan wahyu yang akan membimbing pada pedagang Mekkah

menerima agamanya, ketika turun kepada bagian berikut:

“Sudah kamu pertimbangkan al-Latta dan Al-‘Uzza, dan Manat, yang ketiga, yang paling kemudian”. (QS. [53] al-Najm: 19-20)252

Kisah yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Tor Andrea itu sama

dengan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Ridha dalam Muhammad,

Rasul Allah, serta sama juga dengan yang diungkapkan oleh Dr. Husain

Haikal dalam Hayatu Muhammad. Hanya saja, kalau Prof. Dr. Tor Andrea

mengakhiri kisah sampai situ, tapi Muhammad Ridha dan Dr. Muhammad

Husain Haikal memungut lanjutan kisah yang diberikan Ibn Sa’ad ahli

sejarah pada ke-9 M itu sebagai berikut:

“Muahmmad beroleh kenyataan tentang kekeliruannya, dan berkata: Saya telah menyipatkan kepada Allah kaliamat-kalimat yang tidak diwahyukan’, makan Allah menurunkan wahyu yang berbunyi: “dan sesungguhnya hampir mereka memalingkan dikau dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar engkau membuat yang lain secara bohong tehadap kami, dan kalau sudah begitu tetulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau kami tidak memperkuat hati mu, niscahaya hampir engkau condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, niscahaya kami akan merasakan kepada mu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan engkau akan tidak mendapat seseorang penolongpun terhadap kami’, dengan begitu Nabi balik kembali mencela dan menista dewi-dewi pujaan kaum Quraiys itu, dan suku Quraisy (di Mekkah) pun berbalik melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan siksaan terhadap Nabi dan para Sahabat’.

Demikian kisah lanjutan dalam pemberitaan Ibnu Sa’ad, seorang

ahli sejarah (wafat 231 H/ 845 M). Kisah “Garanik al-Ula” itu amat

mendeskriditkan Nabi besar Muhammad saw, yang fungsi risalahnya

adalah mengembangkan dan mempertahankan keyakinan tauhid, tetapi

berdasarkan kisdah itu Nabi besar Muhammad saw, berbalik menganut

keyakinan syirik. Sekalipun belakangan dinyatakan sadar akan

kekeliruannya, tatapi fungsi risalah Nabi Muhammad saw, dengan kisah

252 Dadan Rusmana, op. cit., hlm 270. Joeseof Sou’yb, loc. cit.,

itu telah cacat sekali, dan kaum orientalis telah melukiskannya sebagai

seorang yang oportunis253, seorang yang berpendirian rusak.254

Menurut Bell, ayat ini diinformasikan terdapat terusannya yang

belakangan dibuang yaitu: Mereka inilah yang menjadi perantara-perantara

orang yang syafa’atnya sangat diharapkan asalkan mereka tidak dilupakan,

”Disebut pula tidak ada informasi yang menyebutkan beberapa lama

Muhammad saw, baru menyadari bahwa bagian di atas tidak datang dari

Tuhan., karena ia menerima suatu wahyu yang mengoreksinya adalah dua

ayat yang kemudian.

“Apakah laki-laki untuk kamu dan perempuan untuk-Nya yang demikian itu tentunya pembagian yang tidak adil.” (QS. An-Najm (53): 21-23).

Lalu ayat lain menunjukkan orang-orang pangan Mekkah

mendesak muhammad membuat wahyu-wahyu yang lebih menyenangkan

diri mereka, kira-kira dengan membolehkan pengakuan tertentu kepada

berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan yang lebih rendah:

Mereka hampir saja memalingkanmu, dari apa-apa yang telah kami wahyukan kepadamu agar kamu mengada-adakan sesuatu yang lain terhadap kami. Kalau kami tidak meneguhkan kamu (muhammad), maka hampir saja condong sedikit kearah mereka. Jilka terjadi demikian . kami akan membuat kamu merasakan kehidupan ganda dan kematian ganda, dan kamu tidak akan menemukan seorang penolongpun terhadap kami. (QS. [17] al-Isra’:73-75)

Nabi pasti yakin bahwa ayat-ayat di atas merupakan wahyu-wahyu

yang benar, dan karenanya ia tidak dapat merenung-renung dengan

sengaja untuk menukar ayat-ayat tertentu sebagai wahyu.

Walau demikian, al-Qur’an berbicara berbagai cara di mana

perubahan-perubahan terjadi atas inisiatif Tuhan. Tuhan bisa

menyebabkan Muahammad melupakan beberapa ayat-ayat tetapi juga ia

253Oportunis adalah orang yang menjalankan politik oportunisme, sedangkan oportunisme

sediri adalah suatu paham politik yang tak berasas dan menunggu kesempatan atau keadaan yang menguntungkan; politik kotor; politik angin. Partanto, Pius A, & Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th., hlm. 544.

254 Joeseof Sou’yb, op. cit., hlm. 154.

berbuat demikian, maka dia akan mewahyukan ayat-ayat lain sebagai

penggantinya:

Kami akan sebabkan kamu membaca, dan kamu tidak akan lupa, kecuali apa-apa yang telah di kehendaki Tuhan.....(QS.87:6f).

Ayat berikut mungkin pula merujuk kepada hal ini, tetapi dapat

pula merujuk kepada hal-hal selain wahyu yang dilupakan:

...dan ingatlah kepada Tuhanmu ketika kamu lupa, dan katakanlah: “mungkin Tuhanku akan membimbingku kepada sesuatu yang lebih dekat kepada kebenaran (rashad) dari pada itu” (QS.18:24).

Juga terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan Tuhan yang

menghapuskan atau senbaliknya memindahkan dan mengubah bagian-

bagian wahyu tertentu:

Tuhan atau menghapuskan atau menetapkan apa-apa yang dikenhendaki-Nya; dan sisi-Nya “induk kitab”(QS.13:39). Dan ketika kami pertukarkan ayat satu dengan yang lannya dan Tuhan mengetahui apa-apa yang diturunkannya mereka berkata: “kamu muhammad hanyanlah seorang yang mengada-ada”, bukanlah demikian, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui (QS.16:101).

3. Aplikasi penafsiran Richard Bell terhadap ayat-ayat Nasikh-Mansukh.

Di dalam aplikasi penafsiran ayat-ayat Nasikh-mansukh yang

dilakukan oleh Richard Bell, ini terdapat tujuh bentuk aplikasi, yaitu:

a. Aplikasi penafsiran tentang Proses al-Jam’u.

Jika perhatian yang semestinya juga dicurahkan pada kata-kata

di dalam al-Qur’an QS. 75:17 yang diucapkan oleh Tuhan (atau

mungkin malaikat-malaikat) kepada Muhammad: “kamilah yang

berhak mengumpulkannya dan membacakannya, :maka proses”

pengumpulan bagian-bagian wahyu yang terpisah untuk membentuk

surat-surat juga dilakukan oleh Muhammad sembari megikuti inisiatif

Illahi; disini kata yang diterjemahkan, dengan mengumpulakn” , jam’

merupakan kata yang belakang digunakan untuk “mengumpulkan” al-

Qur’an setelah wafatnya Nabi.

Dalam pendekatan yang dilkukan oleh John Wansbrough lebih

jauh ungkap Rippin adalah skiptisisme, ketika menjawab pertanyaan

yang diajukan mengenai ketidakpercayaan atas sumber-sumber Islam.

Pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada

kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan al-Qur’an.255

Bentuk revisi yang paling sederhana adalah “pengumpulan”

atau mengumpulkan unit-unit kecil yang pada mulnya turun sebagai

wahyu. Ada pijakan untuk berpendapat bahwa proses ini dimulai oleh

Nabi sendiri, yakni proses tersebut berlangsung saat diterimanya

wahyu-wahyu. Hal ini tampaknya dikandung oleh QS.75:17 yang telah

disebutkan di atas, keseluruhan bagian al-Qur’an ini adalah sebagai

berikut:

Jangan kamu gerakan lidahmu di dalamnya untuk membacanya secara tergesa-gesa; atas kamilah pengumpuannya dan pembacaanya; jika kami bacakan, ikutilah bacaannya, kemudian atas kamilah penjelasannya (QS. [al-Qiyamah] 75 ;16-19).

Penjelasan yang yang paling memungkinkan terhadap kata

“mengumpulkan” (jam’) di sini adalah bahwa bagian-bagian wahyu

yang semula telah diterima Nabi secara terpisah, kini dibacakan ulang

baginya dengan dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya.

Ketika musuh-musuh Islam ditantang untuk membuat satu surat QS.

10:38 atau sepuluh surat QS. 11:13 seperti yang telah diwahyukan

kepada Nabi, maka implikasi dari tantangan ini adalah bahwa dalam

tangan Muhammad telah ada sepuluh unit wahyu yang dapat disebut

“surat-surat”.

b. Aplikasi Penafsiran tentang konsep Penanggalan

Penanggalan bagian al-Qur’an kedua QS.11:13 paling lambat

adalah ayat Madaniyyah awal, dan hal ini memungkinkan penambahan

surat-surat lainnya sebelum Nabi wafat.

255 Abdul Mustaqim (ed. ), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai

Metodelogi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 218.

Diantara macam pembuka surat (fawatih al-Suwar) yang tetap

aktual pembahasannya hingga sekarang ini adalah huruf Muqatha’ah.

Menurut Watt, huruf-huruf yang terdiri dari huruf-huruf alpabet

(hijaiyah) ini, selain mandiri juga mengandung banyak mengandung

banyak Misterius, karena sampai saat ini belum ada pendapat yang

dapat menjelaskan masalah itu secara memuaskan.256

Akan tetapi, dalam pandangan W. Montgomery Watt, dalam

kasus-kasus tertentu, pemecahan gossens tidak masuk akal atau

didasarkan pada penyusunan kembali kandungan dan pengubahan

bagian-bagian surat tertetu secara drastis. Lebih jauh lagi menurut

Watt, ia tidak berhasil menjelaskan menggapa beberapa surat memiliki

judul serupa, seperti yang terkandung dalam kelompok-kelompok surat

dengan huruf-huruf yang sama dengan permulaannya.

Demikian pula para sarjana Muslim selalu memandang bahwa

huruf-huruf misterius merupakan bagian teks yang diwahyukan dan

tidak ditambahkan oleh para “pengumpul” al-Qur’an yang belakangan,

maka sangat mungkin bahwa kelompok surat-surat ini telah ada

sebagai kelompok-kelompok surat pada masa Nabi.

Dr. Subhi Shalih, umpamanya mengkritik penafsiran-penafsiran

di atas. Untuk kelompok ahli tafsir, mengapa huruf-huruf (Qaf),

umpamanya, di tafsirkan dengan singkatan nama (al-Qadir), bukan al-

(Qahir), atau (al-Quddus), atau (al-Qawi). Lebih lanjut ia mengatakan,

maengapa kata ain mesti menunjukkan nama (al-Alim) bukan (al-

‘Aziz), begitu seterusnya.257

Menurut Dr. X, menurutnya semua itu sekedar permainan

Muhammad” ia tidak percaya kalau huruf (Qaf) adalah lambang yang

256 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, Edinburgh at The

University Press, 1991, hlm. 60-62. Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 171.

257 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Bairut, Dar al-‘Ilm lil Malayin, cet XVII, 1988, hlm. 102.

memiliki arti al-Qur’an, sesuai dengan jumlah total suratnya yaitu 114

surat, ia menilai bahwa hal itu adalah suatu kebetulan.258

Jika Bismi-illah juga merupakan dari bagian teks asli, maka hal

ini dapat digunakan sebagai alasan untuk berpendapat bahwa

permulaan surat tersebut (yakni huruf-huruf misterius setidak-tidaknya

berasal dari Nabi Muhammad.259

Lebih jauh, perbedaan-perbedaan besar dalam panjangnya surat

hampir tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan-perbedaan pokok

bahasan, rima atau bentuk jenis kreteria yang mungkin digunakan para

pengumpul al-Qur’an dan hal ini memberi kesan bahwa sebagian besar

al-Qur’an tersusun dalam surat-surat sebelum para pengumpul

memulai pekerjaannya. Dengan demikian secara menyeluruh, adalah

mungkin kalau sebagian besar pekerjaan “mengumpulkan” al-Qur’an

telah dilakukan oleh Nabi di bawah bimbingan proses pewahyuan yang

terus menerus.

Jadi apa yang dilakukan oleh Richard Bell, penulis melihat

bahwa Bell memaksakan apa yang ada dalam fawatih suwar untuk

supaya masuk dalam pemikirannya, sehingga kesimpulan dan

pandangannya cenderung di tolak oleh jumhur ulama’ mufassir,

adapun kajian kritik atas pemikiran Richard Bell mengenai fawatih

suwar, akan penulis bahas pada bab IV.

c. Aplikasi penafsiran tentang konsep Rima (Ayat dan Surat)

Selanjutnya perlu dicatat, tidak hanya bagian-bagian wahyu

yang dikumpulkan secara bersama-sama untuk kemudian terbentuk

surat-surat, tetapi ketika pengumpulan ini dilakukan beberapa

penyesuaian (adaptasi) juga teah dilakukan. Satu bukti untuk proses ini

pemunculan rima-rima yang tersembunyi. Akan terlihat bahwa

terkadang, ketika suatu bagian wahyu dengan suatu purwakanti di

tambahkan ke dalam surat yang memilki purwakanti yang berbeda,

258 Mustafa Mahmud, Dialog dengan Atheis, Terj. Maimun Syamsudin, Yogyakarta, Mitra Pustaka, cet I, 2002, hlm 198.

259 Subhi Shalih, loc. cit.,

ungkapan-ungkapan ditambahkan untuk memberi bagian tambahan

tersebut purwakanti surat di mana ia disisipkan. Sebagai suatu contoh

untuk hal ini, surat (QS. [23] al-Mu’minun:12-16) dapat dianalisis.

La-qad khalaqna-al-insana min sulala /min tin Tsumma ja’alnahu nutfa / fi qarari makin Tsumma khalaqna al-nutfa ‘alaqa Fa khalaqna al-‘alaqata mudgha / Fa-khalaqna al-mudghata ‘izaman / Fa-kasawna al-‘izama lahma / Tsumma ansha’nahu khlaqa akhara / Fa tabarraka-illahu ahsanu –l-khaliqin Tsumma inna-kum ba’da dzalika la-mayyitun Tsumma inna-kun yawma-l-qiyamati tub’athun

Terjemahan ayat-ayat ini mungkin sebagia berikut:260

12 telah kami ciptakan manusia dari suatu sari pati / dari lempung Kemudia kami jadikan ia suatu mani / dalam wadah yang kukuh Kemuddian kami jadikan mani itu suatu gumpallan darah, Kemudian kami jadikan gumplan darah itu sepotong daging Kemudian kami jadikan daging itu tulang-belulang, kemudian kami bungkus tulang-tulang itu dengan daging, kmudian kami ciptakan ia suatu makhluk yang baru / maha suci tuhan pencipta yang paling baik Kemudian setelah itu kamu benar-benar akan mati. Kemudian pada hari berbangkit kamu akan dibangkitkan.

Dalam contoh di atas, harus disimak bahwa ayat-ayat, seperti

terlihat, berima- i Pada contoh di atas, menurut Richard Bell ayat-

ayatnya, seperti terlihat, berirama dalam- i (l)- tepatnya in atau un-

yang merupakan purwakanti pada surat tersebut secara

keseluruhannya. Namun pada ayat ke 14 sampai panjang, dan lebih

lanjut dapat dipilah-pilah ke dalam enam ayat pendek, lima

diantaranya berima –a, sementara yang ke enam yang dianggap yang

tidak bermanfaat maknanya berima dalam in, rima -a yang sama juga

dapat ditemukan dalam ayat 12 dan 13 dengan menghilangkan frase

penutupnya (yakni ungkapan setelah garis miring). Dengan

260 W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 91.

menghilangkan fase berima penutup ini, ayat 12 sampai 14 merupakan

suatu bagian pendek yang terdiri dari tujuh ayat yang berima dalam –a,

dan melukiskan dalam penciptaan manusia sebagai tanda

kemahakuasaan kreasi Tuhan.

Harus dicatat bahwa kata sulala, diterjemahkan sebagai sari

pati” untuk menyelaraskannya dengan ungkapan berikut, dapat juga

berarti “bagian terpilih dari sesuatu” atau “apa yang ditarik ke luar

dengan hati-hati” dan juga “mani”; dalam satu-satunya tentang kata

tersebut di dalam al-Qur’an, dikatakan bahwa sementara manusia

pertama diciptakan pertama dari lempung, maka anak keturunannya

berasal dari sulala, “ sari pati air”. Jadi penghilangan ungkapan-

ungkapan rima tampaknya memberi suatu makna yang lebih baik dan

lebih jelas terhadap ayat-ayat di atas.

Selanjutnya dapat diduga bahwa ayat 15 dan ayat 16

ditambahkan sebagai bagian penyesuaian untuk bagian al-Qur’an

tersebut dalam surat ini. Bagian selanjutnya surat tersebut al-Qur’an al-

Mukminun [23] ayat 17-22, menunjukkan tanda-tanda telah

diberlakukan dalam cara yang sama, apabila ungkapan penutup dengan

rimanya dilepaskan, maka terdapat bekas-bekas suatu purwakanti

dalam bentuk fa’il (tara’iq, fawakih, dan lain-lain). Sejumlah bagian

al-Qur’an juga tampak telah diperlukan dalam cara yang sama.261

Diantara kasus-kasus yang menarik adalah satu atau dua kasus

di mana rima surat berubah dalam surat ke 3 misalnya, bagian pertama

(hingga sekitar ayat 20) berima dalm -a (l), dan demikian pula bagian

akhirnya dari ayat 190 hingga ayat 200. Namun sebagian besar bagian

pertengahan surat ini berima dalam –i(l). Dekat titik di mana

perubahan pertama terjadi, terdapat suatu bagian (ayat 33 sampai ayat

41) yang menuturkan kisah Maryam dan Zakariya di mana beberapa

ayatnya-yakni ayat-ayat 37,38,39,40,41 berirama dalam -a(l), mesti

261Hal yang serupa juga terjadi pada QS. 3:33ff.,45ff.;10:7-10;13:2ff.; 14:24ff.;14:24ff.;16:10ff., 48ff.,51ff.; 25:45ff., 53ff.; 61ff.; 27:59ff.; 31:15-20; 40:57ff., 69ff.; 41:9ff.; 43:9ff. W. Montgomery Watt, op. cit., hlm 196.

tampak memungkinkan bahwa ayat-ayat lain telah memiliki ungkapan-

ungkapan yang ditambahkan agar berirama dalam –i(l), misalnya

penhujung ayat 36 adalah (al-shaytan) jika al-rajim dihilangkan.

Jadi terlihat seakan-akan suatu bagian rima -i(l) telah di

sisipkan kedalam suatu surat yang yang semula berima dalam –a(l)

dan suatu upaya telah dilakukan untuk menyambung dua unit menjadi

satu secara cermat. Kesan ini semakin kuat bila di simak bahwa rima -

i(l) yang muncul dipenghujung ayat 18 dimuati suatu ungkapan dengan

konstruksi sulit yang lebih mengarah kepada ayat 21 katimbang ayat

19 dan ayat 20. Contoh-contoh lain mengenai hal senada yang

bertalian dengan suatu perubahan rima muncul dalam QS.13:2-4 dan

19:51-58.

Juga terdapat berbagai bagian al-Qur’an di mana ungkapan-

ungkapan rima yang terlebih dahulu berada di dalamnya. Dalam kasus-

kasus semacam ini, seseorang tidak dapat memastikan bahwa revisi

telah dilakukan atasnya, namun apabila ungkapan ditemukan di

penghujung sejumlah ayat yang berurutan seperti QS. 6:95-99, 102-

104, maka adalah masuk akal untuk berasumsi bahwa ungkapan telah

disisipkan agar bagian yang tidak berima pada mulanya menjadi

berima. Dalam dua kasus surat yaitu (QS. 6:84-87; 38:45-48), hal ini

tampak dilakukan dengan suatu daftar nama-nama, dan terdapat pula

suatu kasus yang dapat diperbandingkan dalam QS.19:51-57. 262

d. Aplikasi Penafsiran terhadap konsep Gramatikal

Cara lain penyesuaian bagian-bagian al-Qur’an dapat

diilustrasikan dengan QS.6:141-144, ayat-ayat ini tidak dapat

dikonstruksikan secara gramatikal seperti yang terlihat, tetapi setiap

ayatnya dapat dipilah ke dalam dua bagian. Bagian yang pertama

mengemukakan daftar karunia-karunia Tuhan dalam hasil bumi dan

hewan-hewan, tetapi dalam bagian yang kedua, telah dimasukkan ke

262 Ibid., hlm. 92

dalam daftar ini kalimat-kalimat yang membabat makanan pantangan

orang-orang pangan.

Demikian pula, dalam QS.7:57, 58, tanda kemurahan Tuhan

dalam menghidupkan kembali tanah mati serta bermacam-macam

respon tanah-tanah yang berbeda mungkin merupakan suatu semile

tentang berbagai respon manusia terhadap pesan illahi telah diubah

dengan menyisipkan ke dalam kalimat-kalimat bukti penguat

kebangkitan kembali manusia, sisipan-sisipan ini ditandai dengan

suatu perubahan kata ganti yang muncul tiba-tiba dari “Dia” kepada

“Kami”, yang mengaku kepada Tuhan. 263

Komentar-komentar (glosses) merupakan sautu karekteristik

yang lazim dari manuskrip-manuskrip Yunani, Latin dan lainnya.

Komenter-komentar tersebut merupakan penjelasan pendek suatu

ketidakjelasan, kemungkinannya pertama kali ditulis di tepi manuskrip

oleh pembaca tertentu dan kemudian secara keliru di gaungkan

kedalam teks oleh penyalin belakangan. Walaupun sangat meragukan

jika al-Qur’an berisi sejenis komentar dalam pengerjaannya yang ketat,

tetapi terlihat sesuatu yang mendekati ragam komentar ini dalam

QS.2:85. Yang dimulai dari ayat sebelumnya, bagian al-Qur’an ini

berbunyi:264

Ingatlah ketika kami buat suatu perjanjian dengan kamu tentang ketentuan-ketentuan berikut; kamu tidaka akan menumpahkan darahmu sendiri, anatar satu dengan lainnya; dan kamu tidak akan mengusir dirimu dari tempat-tempat kediamanmu. Kemudian kamu berikrar, sedangkan kamu sendiri mnejadi saksi-saksinya.(QS. 2: 84)

Namun terdapat juga tambahan-tambahan lain yang mustahil

dapat dilakukan tanpa otoritas. Ungkapan yang keliru ditempatkan

dalam QS.[2] al-Baqarah: 85),

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari

263 Ibid., hlm. 93. 264 Ibid., hlm. 94.

kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.

Klausa tentangan penebusan tawanan-tawanan tampaknya

merupakan klausa campuran. Dalam translation-nya menganggap

bahwa klausa tersebut merupak bagian dari ketentuan perjanjian dari

ayat sebelumnya (yakni QS.2:84), yang memang sangat

memungkinkan tetapi tidak dapat dipastikan. Jika klausa ini

dilepaskan, klausa berikutnya yang dengan pelepasan tersebut dapat

diterjemahkan “meskipun diharamkan bagi kamu” menjadi amat jelas

tanpa penambahan ungkapan “pengusiran mereka”, ikhrajuhum.

Dengan demikian, terdapat suatu dugaan kuat bahwa ungkapan

“pengusiran mereka” merupakan suatu komentar atau tambahan yang

dibuat setelah klausa tentang penebusan tawanan dicampurkan contoh-

contoh penambahan atau pergantian yang bersifat menjelaskan ini

dapat ditemukan dalam QS.6:12,20; 7:92; 21:47; 27:7; 41:17; 76:16.

265

Kasus paling mencolok terhadap dipenghujung surat 101 (ayat

9 hingga ayat 11):....”ibunya akan menjadi hawaya, dan tahukah kamu

apakah itu? Api yang sangat panas.”Hawaya” agaknya bermakna

“tidak memiliki anak” lantaran meninggal atau tertimpa nasib jelek

yang menimpa sang anak; tetapi tambahan dalam surat ini memberikan

kesan bahwa Hawaya merupaka nama neraka.

265 W. Mongtgomery Watt, loc. cit.,

e. Penafsiran terhadap konsep Penambahan dan Sisipan

Bagian al-Qur’an lain yang agak mirip adalah QS.90:12-16.

Tambahan dan sisipan bentuk lain dapat dijelaskan dari surat-surat

yang lebih pendek. Dalam surat 91 terlihat bahwa bagian utamanya,

ketika pertama kali diwahyukan, berakhir pada ayat 10; tatapi bagian

ini kemudian diikuti oleh suatu ringkasan kisah kaum Tsamud yang

mungkin telah ditambahkan untuk memberi ilustrasi moral, atau hanya

ditempatkan begitu saja lantaran persamaan rima. Ayat 6 dam ayat 7

dari surat 88 dan ayat 34 dalam surat 78 dapat dipandang sebagai

sisipan lantaran adanya keterputusan antara ayat 32 dan ayat 35.266

Dalam surat 87, perubahan yang tiba-tiba dramatis pada ayat 16

menandakan adanya suatu penambahan yang barangkali berlangsung

pada wahyu awal, tapi mungkin juga lebih belakangan. Dalam surah

(QS. 74:31) secara jelas data dipandang sebagai sisipan dengan adanya

gaya dan panjang ayat yang berbeda dari ayat-ayat disekitarnya.

Menurut Watt, Bell, juga menambahkan tambahan-tambahan

ayat lain seperti dalam QS. 2:85, meskipun tambahan ini dianggap oleh

Watt sesuatu yang mustahil, Hal ini berkaitan dengan pergeseren

doktrin predistinasi yang berlangsung pada masa-masa Madinah.

Syarat-syarat yang diperkenalkan dengan kata illa, “kecuali” sering

digunakan secara khusus.

Seperti dalam QS. 87:7 dan 95:6, di mana illa memasukkan

suatu ayat yang lebih panjang dan memiliki karekteristik susunan kata

(fraseologi) periode Madinah, ke dalam suatu bagian al-Qur’an dari

masa awal yang memiliki ayat-ayat berbentuk pendek. Penambahan-

penambahan semacam ini, yang seakan-akan membuat tambahan-

tambahan tersebut benar-benar merupakan suatu modifikasi yang

berbeda dari pernyataan di mana ditempatkan, pasti telah dimasukan

secara langsung. Setidak-tidaknya dalam beberapa kasus penambahan

266 Ibid., hlm 95.

ini kita dapat melihat beberapa pijakan untuk membuat pengecualian.

267

Tambahan-tambahan yang lebih panjang terkadang bisa

dibedakan secara mudah. Jadi dalam surat 73, sesuatu ayat yang

panjang muncul di penghujung yang dengan memasukkan suatu

rujukan kepada kaum muslimin yang turut serta berperang secara jelas

dapat dipandang sebagai ayat madaniyyah, dan hal ini, diakui oleh

setiap orang. Tetapi keseluruhan ayat lain dalam surat tersebut

khususnya dibagian awal berbentuk ayat-ayat pendek mengena

merupakan karekteristik bagian-bagian awal. Alasan untuk perubahan

ini adalah bagian al-Qur’an di permulaan surat telah

merekomendasikan semabahyang malam yang terlalu berlebihan,

maka anjuaran moderisnya menjadi penting ketika di Madinah.268

Tambahan-tambahan dipertengahan surat juga merupakan hal

yang biasa dalam al-Qur’an umpama bagian-bagian surat 19 memiliki

purwakanti dalam –iyya, tetapi purwakanti demikian disela ayat 34

sampai ayat 40 yang umumnya memiliki purwakanti dalam -i(l). Ayat

ini mengisahkan Maryam dan Isa, serta mengkritik kesalahpahaman

umum doktrin Kristen dengan menolak gagasan tentang Tuhan yang

memiliki anak. QS. 2:130-134 melarang pengembalian bunga yang

berlipat ganda yakni riba, dan menjadikan ganjaran surga bagi mereka

yang bertindak dermawan, bagian ini secara jelas diakhiri dengan

ungkapan –rima ayat 134, tetapi dua ayat berikutnya memberi

gamabaran lebih lanjut tentang orang-orang yang berbuat baik dengan

bertobat dan memohon ampunan, serta berisi suatu janji ganjaran surga

yang sebagian besar merupakan pengulangan.

Surat 22 ayat 5 sampai ayat 8 menekankan tentang kebangkitan

kembali sebagai sejalan dengan kemahakuasan Tuhan yang seharusnya

dimanifestasikan, dan menutup perbincangan dengan mengejek orang-

267 Ibid., hlm. 95. 268 Ibid., hlm. 96.

orang yang “tidak memiliki pengetahuan” petunjuk, atau kitab yang

bercahaya,” dan mendesak yang sebaliknya. Ayat 9 dan ayat 10 yang

menyusuli dua ayat sebelumnya, jelas ganjil karena tidak hanya

membahas adzab ukhrawi, tetapi juga “kehinaan dan kehidupan yang

sekarang ini”.

Perubahan nada dan sikap ini jelas memperlihatkan bahwa ayat

tersebut tidak berasal dari bagian orisinalnya, dalam surat QS. 37:73-

132 terdapat pengisahan berbagi tokoh Injil, yang dalam tiga kasus

terakhir dengan refrain: “demikianlah kami benar-benar memberi

ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik; sesungguhnya dia

termasuk diantara hamba-hamba kami yang beriman.” Namun dalam

kisah Ibrahim, refrain ini (ayat 110f) diikuti dengan suatu peryataan

mengenai anak keturunan Ibrahim dan Ishaq ayat 112f.

f. Aplikasi penafsiran terhadap konsep sambungan Alternatif

Karekteristik gaya al-Qur’an yang penting adalah sambungan-

sambungan alternatif yang saling menyusul dalam teks. Alternatif

kedua ditandai dengan suatu keterputusan dalam makna dan

keterputusan dalam kostruksi gramatikal, karena penghubungnya

bukanlah hal-hal yang baru saja didahuluinya, tatapi dalam hal-hal

yang berada dalam jarak tertentu dibelakangnya; juga bisa terdapat

pengulangan suatu kata atau ungkapan. Jadi QS. 23:63, yang berbicara

secara terus menerus menjalankan perbuatan buruk, diikuti oleh tiga

bagian yang diawali oleh hatta’ idza, “hingga ketika”, secara berturut-

turut mulai dari ayat 64, 79, dan 99.

Adalah mungkin dengan suatu pengetahuan, menghubungkan

ayat 77 dengan ayat 76, tetapi ayat 99 tidak mungkin dihubungkan

dengan ayat 98, kata-kata hatta idza, betapapun mengisyaratkan suatu

perujukan kepada sesuatu yang melanjutkannya. Ayat 99f. Dalam

kenyataannya merupakan sambungan yang cocok dari ayat 63,

sebagaimana tampak jelas jika kita membacanya secara bersama-sama:

ayat-ayat diawali dengan dua patah kata hatta idza merupaka alternatif

dan barangkali merupakan kelanjutan yang kemudian dari ayat 63.269

Demikian pula, surat QS. 5:42 diawalai dengan ungkapan

samma ‘una lil kadzib, yang sama sekali tidak berhubungan ayat

sebelumnya, namun ungkapan yang sama muncul dalam ayat 41; dan

jika bagian ayat 41; mulai dari ungkapan ini sampai akhir ayat tersebut

dihilangkan, maka ayat 42 sesuai dengan awal bagian ayat 41. Dengan

demikian, disini terdapat sumbangan alternatif-alternatif.270

Contoh lain dapat dilihat di penghujung surat 39, di mana

terdapat suatu ayat (75) yang terisolasi. Ayat ini menyusuli suatu

suasana pengadilan Akhirat dan secara jelas merupakan bagiannya;

tetapi suasana tersebut telah berakhir, putusan telah ditetapkan, orang-

orang kafir telah digiring ke neraka Jahanam, orang-orang takwa telah

masuk surga; lalu kita temukan diri kita kembali kepada suasana

pengadilan dimana putusan akan dikemukakan dengan sebenar-

sebenarnya, ungkapan ini yang muncul dalam ayat 69, menunjukkan

posisi asli ayat 75; ayat ini menyusuli ungkapan pertama ayat 69 dan

mengakhiri suasana pengadilan; pada suatu tahab yang belakangan,

ayat 75 itu digantikan dengan deskripsi yang lebih panjang lagi dalam

ayat 69 sampai ayat 74.

Adakalanya perubahan rima disertai dengan penggantian

semacam itu. Jadi QS. 80:34-37 memiliki purwakanti dalam ih,

sementara ayat 38 sampai ayat 42-yang berkaitan sama baiknya

dengan ayat 33-memiliki purwakanti dalam a–yang berulang terus

pada keseluruhan bagian sisa surat tersebut, lebih sering lagi,

kemunculan kata rima atau ungkapan rima yang sama merupakan

suatu tanda bahwa pengganti semacam itu telah dibuat, karena versi

yang baru berujung dalam rima yang sama dengan rima yang

digantikannya.

269 Ibid., hlm. 97

Jadi dalam surah 2 ayat 102 dan ayat 103, keduanya berujung

kata law kanu ya’lamuna “jika mereka mengetahui”, yang

menimbulkan suatu dugaan bahwa ayat terakhir (103) dimaksudkan

menggantikan ayat sebelumnya 102. Dalam surat 3, akhiran yang sama

menunjukkan bahwa ayat 144 merupakan suatu pengganti untuk ayat

145. Fenomena yang sama juga dapat ditemukan dalam QS. 9:117,

118; 34:52,53; 45:28,29: 72:24,27-28. Dalam kasus kasus semacam

ini, sambungan-sambungan alternatif sering berada dalam susunan

penanggalan yang terbalik, sambungan dari masa yang belakangan

muncul duluan, tatapi yang demikian bukanlah suatu aturan tetap.

Bukti lebih lanjut mengenai perubahan dan perbaikan dapat

dilacak dengan mendekati al-Qur’an dari sudut pokok-bahasan dan

minyimak bagian-bagian yang membahsa situasi-situasi yang

menimbulkan kesulitan dan prolem khusus bagi Nabi dan umat. Dalam

bagian-bagian al-Qur’an semacam ini, sering terdapat berbagai hal

yang membingungkan. Kasus yang sederhana adalah hal yang

bertalian dengan puasa. Ketika hijarah ke Madinah, Nabi

mengharapkan dukungan dari orang-orang Yahudi dan

memperlihatkan dirinya hendak belajar dari mereka. Hadis

mengatakan bahwa Nabi memperkenalkan kepada kaum Muslim

puasa ‘Asyura orang-orang Yahudi dilakukan pada hari penebusan

dosa yang diawali dengan beberapa hari kebaktian khusus.

Belakangan, puasa dibulan Ramadhan diwajibkan. Nah dalam

QS.2:183-185, kedua puasa ini terletak bersampingan; ayat 184

menetapkan puasa dalam jumlah hari tertentu, sedangkan ayat 185

menetapakan puasa di bulan Ramadhan. Kedua ayat ini tentunya

dibaca berturut-turut dan “sejumlah hari tertentu” dalam ayat pertama

dipandang lebih dikhususkan (ditakhshsiskan) dengan menyebut bulan

Ramadhan pada bulan selanjutnya.

Tetapi sejumlah hari tertentu, secara wajar bukankah padanan

dari satu bulan, dan pengulangan ungkapan dalam kedua ayat tersebut

menunjukkan bahwa ayat yang satu dimaksudkan untuk menggantikan

ayat yang lain, dalam kenyataannya, merupakan sambungan-

sambungan alternatif ayat 183.271

Hukum perkawinan dalam surat 4 merupakan kasus jelas lain

tentang sambungan-sambungan alternatif, ayat 23 menetapkan

diharamkannya derajat-derajat hubungan perkawinan, dan

memproduksi daftar hukum Mozaik dari beberapa penyesuaian

terhadap adat- istiadat orang-orang Arab. Bahwa reproduksi ini

dilakukan dengan sengaja, diperlihatkan oleh ayat 26 yang

mengatakan: “Tuhan hendak......membimbing kamu dalam adat istiadat

orang-orang sebelum kamu.” Namun kemudian pada suatu masa yang

belakang terjadi pengendoran sehingga ayat 25 sampai ayat 30 serta

mungkin ayat 27 digantikan dengan ayat 26 ditambahkan sebagai

akhiran surat. Akhiran-akhiran yang sama pada ayat-ayat 26, 27 dan 28

menunjukkan bahwa pengantian-penggantian telah dilakukan.

Perubahan qibla arah yang dituju dalam sembahyang adalah

contoh lainnya. Bagian-bagian al-Qur’an yang membahas masalah ini

sangat membingungkan QS.2:142-152, khusus ayat 141 tidak dapat

dipahami sebagaimana adanya. Namun ketika dianalisis, ayat-ayat ini

memiliki kandungan: (a) wahyu pribadi kepada Nabi yang berisi

pemecahan terhadap permasalahan yang dihadapinya ayat 144,149; (b)

suatu maklumat kepada masyarakat, menggunakan bagian (a) yang

diikuti oleh suatu seruan untuk ketaatan yang didasarkan pada rasa

syukur QS. 144, 150-152; dan (c) bentuk akhir peraturan tersebut ayat

144.

Proses pengenalan agama Ibrahim diuraikan secara global

kepada kita dalam QS.2:130-141. Proses ini mengambil bentuk dalam

jawaban-jawaban terhadap penegasan orang-orang Yahudi dan Kristen

ayat 135, mereka berkata,”jadilah kamu orang Yahudi dan Kristen dan

kamu akan memperoleh petunjuk”. Penegasan ini kemudian diikuti

271 Ibid., hlm, 98.

oleh tiga jawaban yang diawali oleh “katakanlah”. Ayat 139-141

mengklaim bahwa Nabi dan umatnya mempunyai hak untuk

menyembah Tuhan sesuai dengan cara mereka sendiri sebagaimana

Ibrahim dan keturunannya, Ibrahim dan keturunannya merupakan

suatu masyarakat keagamaan independen yang telah lama berlalu.

g. Aplikasi penafsiran terhadap konsep ayat-ayat politheis

Bagian al-Qur’an ini terputus dan diganti dengan ayat-ayat

136,138, di mana dikatakan bahwa Nabi dan umatnya berdiri dalam

satu garis dengan Ibrahim dan keturunannya. Musa, Isa serta seluruh

Nabi lainnya. Bagian ini kembali dimodifikasi dengan penyisipan ayat

137 ke dalam ayat 138. Akhirnya jawaban dalam surat 135

dimasukkan, menyatakan kepercayaan Ibrahim, yang menetapkan

seorang hanif dan bukan serang politeis. Ayat 130 hingga ayat 134

merupakan lebih lanjut. 272

Yang merupak bagian Nabi Ibrahim juga menimbulkan

kesulitan. Upacara tersebut diakui dan para pengikut Muhammad

dianjurkan ikut ambil bagian di dalamnya tetapi sebagai para hanif –

pengikut para Nabi Ibrahim bukan sebagai para politeis QS. 22:31

binatang-binatang kurban harus dikirim ke Mekkah QS. 22:33,34.

Namun ketika kaum Muslimin diserang oleh kafilah Mekkah dan

khususnya setelah pertempuran Badar yang menimbulkan pertempuran

darah, menjadi sangat berbahaya bagi mereka untuk berkunjung ke

Mekkah. Karena itu ditetapkan bahwa binatang yang persembahkan

sebagai kurban bisa disembelih kenegeri sendiri dan dagingnya

diberikan oleh fakir miskin. Hal ini dapat disimpulkan dari QS. 22:29-

37.

Peperangan di bulan-bulan haram yang melahirkan kesulitan.

Sikap Nabi Muhammad dapat dijelaskan dengan menganalisis surat 9

pada bulan-bulan ini, mulanya diakui sebagai periode gencatan senjata,

dengan disampaikannya wahyu yang terdiri dari QS.9:36a, 2,5: tetapi

272 Ibid., hlm, 99.

karena pengunduran hitungan hari dalam satu bulan guna

menyelasaikan tahun qamariyyah Arab dengan musim-musim

didekritkan dari Mekkah, maka kesalahfahaman dari bulan-bulan mana

saja terhitung sebagian bulan haram muncul dengan segera.

Karena itu dikeluarkan maklumat ilahi yang seluruhnya

terdapat dalam QS.9: 36,37, yang menghapuskan pengunduran

hitungan bulan dan menetapkan perang dengan orang-orang politeis

harus dilakukan secara terus-menerus, ayat-ayat dibuang yang

membahas bulan-bulan haram, sekarang terlihat dalam ayat 2 dan ayat

5 yang dikaitakan dengan persoalan terhadap persetujuan-persetujuan

yang dibuat oleh orang-orang politeis barang kali perjanjian al-

Hudaibiya. Namun, mana yang telah diinformasikan bagian awal surat

tersebut, hal ini juga merupakan suatu maklumat untuk menunaikan

haji dan kemungkinannya diubah dan ditambahkan untuk tujuan

tersebut setelah penaklukan kota Makkah.273

Kekalahan kaum Muslimin di Uhud merupakan suatu pukulan

telak terhadap rasa percaya diri umat. Bagian al-Qur’an yang

membahas pertempuan tersebut sangat kacau balau QS. 3:102-179.

Analisis terhadap bagian al-Qur’an ini memperlihatkan bahwa ada

suatu amanat yang dimaksud untuk disampaikan sebelum perang, yang

terdiri dari ayat-ayat QS. 102, 103, 112,115, 123, 139, 145, 151, 158,

160. Ayat-ayat ini mungkin dari ayat 139 dan seterusnya disampaikan

ulang dengan perubahan-perubahan kecil, pada suatu saat setelah

pertempuran selesai.

Reaksi atas kekalahan kaum Muslimin tampak dalalm celaan

terhadap diri Nabi karena tanpa otoritas telah menjanjikan bantuan dari

Malaikat (ayat-ayat 121,124,125 dan bagian ayat 26 sampai ayat 29.

Ayat-ayat dan bagian inilah yang kemudian direvisi sebagai suatu

penjelasan dan celaan terhadap para pengikut pengikut Nabi.

273 Ibid., hlm. 100.

Bahwa Nabi condong penuh amarah kepada para pengikutnya,

hal ini ditunjukan pada ayat yang terpisah 159. Bagian dari penuturan

kasar diletakan dalam ayat 152 samapai ayat 154, suatu bagian yang

telah direvisi dan belakangan ditambah suatu pengertian yang lebih

lembut. Dalam kenyataannnya. Kita dapat melihat yang dikarenakan

kekalahan itu berangsur-angsur itu lebih lembut dan lebih bermurah

hati terhadap kaum Mukminin. Akhirnya ketika kehancuran telah

teratasi, bagian dari amanat asli digunakan lagi dalam suatu

sambungan yang ditambahkan setelah ayat 110, mungkin dalam

persiapan untuk menyerang suku Yahudi al-Nadir (110-114).274

Barangkali lantaran karekter tentatif yang mendominasi sistem

penanggalan Bell inilah sehingga rancangannya itu tidak begitu

diterima di kalangan sarjana yang menggeluti al-Qur’an. Pengaruh

sistem penanggalan Bell hanya terbatas dikalangan murid-muridnya

seperti W. Montgomery Watt dan A.T. Welch. Tetapi mesti diakui

bahwa Bell memang berhasil menetapkan beberapa unit wahyu

terutama dari periode Madinah secara gerak akurat.

Lebih jauh, ia juga patut dihargai lantaran upayanya bersama

Hirschfeld untuk memperkenalkan kembali asumsi tradisional Islam

yang selama berabad-abad telah ditinggalkan, yakni bahwa dalam

upaya memberi penanggalan pada al-Qur’an perhatian semestinya

diarahkan pada bagian-bagian induvidual (pericopes) kitab suci

tersebut sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat.275

274 Ibid., hlm. 100 275 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I,

2001, hlm. 117.

BAB IV

ANALISA

A. Konstruksi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh

Secara umum teori konstruksi (Genre) Richard Bell ini, berpijak pada

satu kesimpulannya mengenai hakikat bahasa. bahasa dalam al-Qur’an

bukanlah semata-semata kumpulan dari kosa kata, melainkan kumpulan dari

sistem relasi (anna al-lughat laysat majmu’ atan min al-lafdhi bal majmu’

atun minal ‘alaqat). Teori umum mengenai bahasa ini merupakan “pintu

masuk” dalam analisisnya mengenai bahasa al-Qur’an.276

Ia Juga beranggapan bahwa al-Qur’an memiliki bentuk revisi yang

paling sederhana yang dilakukan oleh Nabi adalah mengumpulkan unit-unit

kecil wahyu, yang semula diterima secara terpisah, ke dalam surat-surat.

Dalam proses ini beberapa adaptasi dilakukan, yang dapat dibuktikan dalam

pemunculan rima-rima tersembunyi. Jadi ketika, suatu unit wahyu dari

purwakanti tertentu ditambahkan ke dalam suatu surat yang memiliki

purwakanti yang berbeda, ungkapan-ungkapan ditambahkan untuk

menyesuaikan unit tersebut dengan purwakanti surat di mana ia disisipkan.

Contohnya adalah: QS. 41: 9-12.277

Menurut Bell, puisi-puisi yang ada sebelumnya Islam menyentuh

aspek-espek Kristen seperti Gereja, tempat-tempat Ibadah, Gong dan Bel,

acara-acara seremonial Kristen dan lainnya. Bell juga berpendapat bahwa kosa

kata Aramaik dan Ethiopia yang digunakan oleh orang-orang Kristen, di

ketahui oleh Muhammad saw, yang selanjutnya memasukkannya ke dalam al-

Qur’an.278

Pendekatan Richard Bell merupakan suatu analisis redaksi dan formasi

sastra al-Qur’an, yang mengarah pada pendekatan historis, dalam

276 Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta, Elsaq, cet I,

2005, hlm. 260. 277 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta, FKBA, cet I,

2001, hlm. 114. 278 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet I,

2005, hlm. 142-143.

perkembangannya bukan merupakan hal yang baru. Penulis menilai bahwa

Gustav Weil, Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, William Muir, Hubert

Grimme, Hartwig Hirshfield dan para pendahulunya, secara initens banyak

menggunakan pendekatan ini, terutama dalam menentukan sistem

penanggalan al-Qur’an, dalam beberapa hal, seperti diakui oleh para ilmuwan,

pendekatan filologis memiliki keakuratan, termasuk dalam keotentikan

manuskrip, sebagaimana para orientalis, seperti John Wansbrough mampu

membuktikan ketidakotentikan Bibel dengan menggunakan pisau analisis dan

pendekatan yang sama.

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Richard C. Martin, Ia

menambahkan bahwa pendekatan dalam bidang al-Qur’an banyak didominasi

dengan mengggunakan pendekatan filologisme dan sejarah, ini memunculkan

kerancauan berkepanjangan antara sejarah teks tersebut dengan sejarah

penyelamatan, yang secara implisit terkandung di dalamnya. Ini perlu

dipecahkan, dengan memandang teks al-Qur’an dan tafsirnya sebagai

ungkapan pandangan-pandangan dunia Islam. Lewat benturan strukturalisme

inilah yang dicoba. 279

Seiring dengan munculnya Renaissans, (zaman Kebangunan)280

munculah alasan-alasan baru dalam studi Islam. Pertama, adanya ingin tahu

budaya-budaya asing, khususnya filologi klasik yang menjadi paradigma

untuk memahami budaya lain. Kedua, kepentingan dan politik orang Eropa

yang meningkatkan volume perjalanan ke Dunia Timur. Ketiga, lahirnya studi

al-kitab dan semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab

sebagai alat yang bermanfaat.281

Terkait dengan masalah orientalisme, kajian ini memiliki identitas

kumulatif dan identitas bersama, suatu identitas yang sangat kuat, disebabkan

279 Richard C. Martin,”Analisis Struktural dan al-Qur’an, pendekatan baru dalam kajian

teks Islam”, Dalam Jurnal Ulumul Qur’an; jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 4, Tahun 1992, hlm. 345.

280 Renaissance itu dipelopori oleh Albertus Magnus (1206-1208) dan Thomas Aquinas (1225-1274. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet II, 1990, hlm. 74.

281 Abdul Basith Junaidi, (et, al), Islam dalam Berbagai Bacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 252.

karena kajian ini memiliki relasi yang kuat dengan keilmuan tradisional (ilmu-

ilmu klasik, kitab Injil, filologi), lembaga masyarakat pemerintah, perusahaan-

perusahaan dengan, masyarakat-masyarakat geografis, universitas-

universitas), dan karya-karya tulis tertentu (bukan perjalanan, eksplorasi,

fantasi, deskripsi eksotik). Relasi pengetahuan inilah yang membuat

orientalisme selalu melahirkan sejenis konsensus ketimuran bahwa hal-hal

tertentu, jenis-jenis peryataan tertentu, dan jenis karya tertentu tentang Timur

selalu dianggap sesuatu yang benar dan dianggap final.282

Namun berbeda dengan manuskrip yang lainnya, untuk mengetahui

dan memahami al-Qur’an tidak bisa bila hanya mengandalkan pendekatan

bahasa dan sastranya. Demikian dalam membuktikan keotentikan al-Qur’an.

Pendekatan yang integral, termasuk pendekatan historis dan sosiologis, akan

mampu menghasilkan pemahaman yang integral pula.

Oleh karena itu, bahwa dari sisi historis, al-Qur’an merupakan kitab

suci yang keotentikannya mampu terjaga hingga kini. Secara sosiologis,

1. Situasi penduduk Arab sangat besar perannya dalam menjaga

keotentikannya.

2. Pengaruh al-Qur’an yang besar dalam mengubah jalannya peradaban

merupakan pertanda bahwa al-Qur’an bukan bersumber dari kekuatan dari

kekuatan manusia murni. Ajaran-ajaran yang universal, komprehensif dan

kenyal (adaptif), bahkan mengandung ajaran-ajaran yang bersifat

predektif, meruppkan indikator pula yang menguatkan kemustahilan

bahwa Muhammad SAW. yang berlatar budaya Quraisy (jahiliyah)

mampu membuat al-Qur’an.

3. Beberapa riwayat menegaskan bahwa penulisan al-Qur’an telah

berlangsung sejak zaman Nabi dan pembukuan al-Qur’an telah terjadi

sejak khalifah pertama (Abu Bakar al-Siddiq). Sebagain besar dari faktor-

faktor ini, merupakan indikator yang kredibiltasnya dapat dipertanggung

282 Edward W. Said, Orientalisme;Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur

sebagai Subjek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 311.

jawabkan, dan secara utuh sejarah membuktikan bahwa al-Qur’an

bukanlah produk manusia.

Dalam beberapa hal al-Qur’an memang seakan-seakan mengisyaratkan

bahwa di dalamanya ada ayat-ayat yang dirubah, dihapus atau diganti. Namun,

dalam perkembangan terakhir, para ulama’ mutaakhirin menyebutkan bahwa

semua ayat yang terdapat dalam ayat al-Qur’an tidak hanya memiliki redaksi

denotasi saja melainkan dalam waktu-waktu tertentu sebagaian ayat al-Qur’an

mempunyai redaksi konotasi, kapan ayat tersebut berlaku denotasi dan kapan

ayat tersebut berlaku konotasi. Dengan mempertimbangkan setting sejarah,

soiso-kultural, problem masyarakat tertentu, dengan demikian hukum dapat

berubah-ubah.

Meskipun pada ayat (2: 196) tersebut diartikan dengan makna denotasi,

bukan menegaskan terjadinya nasikh dengan secara intens, hanya saja

mengisyaratkan kekuasaan Allah untuk merubah atau menggantinya dengan

yang sesuai atau lebih baik “na’ti bi khairin minha au misliha”. sebagaimana

penulis sudah jelaskan pembahasannya di atas.

Dari ayat tersebut diisyaratkan bahwa bahwa nasikh yang dimaksud

jika diartikan ayat yang denotatif bukanlah didasarkan pada ketidak tahuan

Allah saw, melainkan lebih merupakan kebijakan Allah saw, dalam

meringankan dan mendasari ketentuan hukum manusia dengan ketentuan yang

sebanding atau lebih baik, sesuai dengan (taklif) pembebanan dan keterbatasan

manusia, juga bersifat kondisional sesuai dengan situasi dan kondisi

masyarakat setempat.

Dalam kasus di atas, Richard Bell menilai bahwa sumber al-Qur’an itu

memiliki kegandaan sumber yaitu Tuhan dan Muhammad SAW, dan dia

mengadopsi pandangan-pandanang yang mengikuti aliran pendukung naskh

al-Qur’an. Hal ini sekali lagi dikarenakan pandangan Richard Bell yang secara

koheren yang menekuni persoalan al-Qur’an hingga memicu terjadi adanya

persoalan kajian nasikh juga, yang pada akhirnya adalah untuk membuat ragu

umat Islam dan memporak-porandakan Islam, dan hal itu menjadi tujuan

utamanya, meskipun dalam sekian bukunya terlebih dalam buku Bell’s

Introduction to the Qur’an (Pengantar al-Qur’an), ia menjelaskan bahwa

tujuan akhirnya itu adalah untuk menklasifikasi serta memetakan dan juga

memilih redaksi Tuhan dan tambahannya (redaksi Nabi).

Pandangan ini secara latah ingin membuktikan bahwa al-Qur’an yang

terbukukan sekarang memiliki keterlibatan (andil) manusia (Muhammad Saw).

Pada dasarnya Richard Bell sepakat bahwa nasikh adalah proses penggantian

atau penghapusan ayat dengan ayat lain yang lebih bertendensi pada peralihan

ketentuan hukum. Namun, dikarenakan dugaan dan pandangan tentatifnya itu,

bagi dia arti nasikh difokuskan hingga pada arti derevisinya yaitu, perubahan,

tambahan, salinan, koreksian atau revisi.

Menurut Bell arti proses revisi (Tuhan) al-Qur’an dan naskh al-Qur’an,

hal ini ada kaitannya asbab an-nuzul, dan hal ini tidak bisa dipisahkan pada

persoalan yang pada akhirnya sulitnya bagi kaum muslim dalam menentukan

mana yang dahulu dan mana yang terakhir ayat yang diturunkan, dengan

mempertimbangkan sebab-sebab nuzul-nya, menurut Bell hal tersebut

memiliki proses yang sama yaitu berulang penurunan ayat al-Qur’an sebagai

pengganti terdahulu dan proses perbaikan teks serta konteks al-Qur’an.

Padahal pendapat ulama klasik-hingga ulama kontemporer memahami

arti nasikh yang berbeda-beda, ada yang menyakini dan ada yang tidak

menyakini, pada umumnya mereka juga mengakui adanya naskh, sebagaimana

pembahasan yang telah lalu. Lain halnya menurut Bell yang memahami

tentang makna naskh ini cenderung menyimpang, karena makna naskh

sebenarnya bukan ditendensikan untuk menghapus secara total ayat-ayat al-

Qur’an, namun persoalan naskh lebih diarahkan untuk mengantisipasi

perkembangan situasi dan kondisi dengan ketentuan sementara yang sesuai

dengan zaman dan pelakunya. Hal tersebut sesuai dengan peryataan

kebanyakan ulama kontemporer. Sedangkan makna naskh yang dikonstruk

oleh Bell tidak lain adalah sebuh proses perbaikan (revisi) dan penambahan

ayat-ayat oleh Muhmmad saw, sebagaimana penjelasan pada bab III.

Penentuan tentang unit-unit wahyu di atas menurut penulis adalah

hanya suatu gaya (genre) yang didasarkan pada anggapan bahwa sejumlah

besar surat yang ada di dalam al-Qur’an mengandung bahan-bahan dari

berbagai periode pewahyuan.

Posisinya hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian

minimal yakni pengumpulan unit-unit induvidual wahyu ke dalam surat dan

lebih parahnya ia melihat asumsi perevisianya yang lebih jauh melihat dalam

proses pengumpulan tersebut dalam wahyu-wahyu al-Qur’an yang secara

konstan menurutnya tengah mengalami revisi menurut periodenisasi, pendek

kata yakni telah mengalami perluasan, yang pada akhirnya memicu ketidak

orisinalitas al-Qur’an, melalui penggantian unit-unit wahyu lama dengan

bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa penyesuaian rima atau

sekedar sisipan, dan lainnya.

Masalah yang pertama yang diajukannya, mengenai penyusunan al-

Qur’an yang dipersepsikan dilakukan oleh Nabi saw, secara keilmuan

bukanlah hal yang baru. Para ulama sepakat bahwa susunan ayat adalah tauqifi

(bersumber dari petunjuk Rasul). Sedangkan susunan surat telah menimbulkan

polemik dikalangan ulama, polemik ini berkembang luas dikalangan ulama

muslim, yang dalam aplikasinya menghasilkan beberapa pendapat yaitu:

Pertama, adalah sebagian ulama yang berkeyakinan bahwa

pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada adalah tauqifi (sesuai

dengan petunjuk Rasul. Kedua adalah bagian ulama yang berkeyakinan bahwa

pentadwinan al-Qur’an dan formasi surat yang ada sekarang adalah ijtihadi

(berdasarkan ijtihad para Sahabat), Ketiga adalah pendapat moderat;

mengatakan bahwa sebagian susunan ayat ditetapkan oleh Rasulullah dan

sebagian lagi merupakan ijtihad para sahabat.283 Persepsi kedua inilah yang

diadopsi Bell yang kemudian dikonfirmasikannya melalui proses lafaz jam’u.

Sedangkan Malik bin Nabi menegaskan bahwa orang-orang zaman

sekarang hampir tidak memungkinkan untuk merasakan keluhuran disebabkan

kekurang fasihan penguasahan bahasa Arab dan tingkat pengetahuan tentang

283Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 141-

142.

renovasi sastra Arab yang kurang disertai penurunan rasa kebahasaan yang

lentur.284

Lebih lanjut Malik, mengatakan bahwa ak-Qur’an turun sebagai i’jaz

yang menekankan pada aspek sastra sehingga mampu melemahkan

kegenialitasan sastrawi pada zaman turunnya. Ia bahkan mampu menata sastra

Arab dari sastra periode kebahasaan (dialek) jahiliyah pra Islam ke bahasa

yang teratur secara ilmiyah, untuk membawa pikiran peradapan baru al-

Qur’an lahir dalam bentuk sastra baru yang tidak melepaskan rima sya’ir,

namun dikombinasikan dengan bentuk baru yaitu kalimat.285

Dengan itu menurut al-Jurjani, beliau berkeyakinan bahwa tidak ada

seorangpun yang bisa memahami dan menjelaskan keunggulan serta

kesempurnaan bahasa dan susastra al-Qur’an serta proporsional tanpa

memperhatikan dan mempertimbangkan “konstruksinya” (al-nazhm). Untuk

itulah al-Nazhm merupakan aspek yang menjadi ciri pembeda genre teks al-

Qur’an dibandingkan dengan genre teks lainnya seperti puisi, prosa, dan

lainnya.286Melalui syair Arab artinya mengetahui maksud dari ayat-ayat yang

sukar pengertiannya itu dicari padanan pemakaian dan maknanya dalam

sya’ir-sya’ir Arab. Sebagian besar ulama tetap menjadikan sya’ir sebagai salah

satu cara dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.287

Sedangkan kritik Arkoun mengenai tradisi Barat adalah bahwa

orientalis atau Islamolog Barat hanya mendekati Islam melalui karyanya tulis

para tokoh yang dianggap besar mewakili dan mereka sangat positivis

mengingkari hal-hal yang berada di luar jangkauan manusia. Dari sini Arkoun

menentang saintifisme yang meniadakan aspek-aspek yang irrasional.

Kitab suci al-Qur’an sekitar 15 abad yang lalu mencanangkan

tantangan (al-tahadda) kepada orang-orang yang mengingkarinya untuk dapat

menandinginya, tetapi tak seorang pun mampu menjawab tantangan tersebut.

284Malik bin Nabi, Fenomena al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed, Bandung, al-Ma’arif,

1983, hlm. 225. 285 Ibid., 286 Nur Khalis Setiawan, loc. cit., 287 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II,

2011, hlm. 271

Mereka bahkan tak sanggup menirunya karena memang al-Qur’an, di samping

memang bukan kreasi manusia juga tak mungkin diungguli.288

Dengan demikian masing-masing generasi mempunyai kemungkinan

sendiri untuk membangun konstruksi dan pemahamannya tentang Islam atau

teks al-Qur’an. lalu bagaimana bila semua itu digunakan untuk membaca al-

Qur’an dan pemikiran-pemikiran lainnya. Untuk memudahkan pembaca

dalam memahami konstruk metodologi yang ditawarkan oleh Richard Bell

adalah:

Tabel I

Peta Konstruksi Metodologi Tafsir Richard Bell

Asumsi Dasar Bell memandang bahwa al-Qur’an memiliki

kegandaan sumber wahyu, yaitu Allah sebagai

sumber utama dan Muhammad sebagai sumber

kedua.

Pendekatan Ideal approach dan Empirical approach, Psyco

approach.

Metode dan Corak Kritis historis dan kritis filologis, di mana dalam

kajiannya itu didominasi oleh konsep-konsep seperti:

frustasi, setres, kompensasi, neorosis dan trance.

Kerangka Analisis Memeriksa ketetapan makna (langauge accuracy),

pengujian terhadap konsistensi historis dan filosofis

terhadap penafsiran yang telah ada (literatur klasik),

dan prinsip etis sebagai verifikasi.

Sedangkan untuk melihat dari seluruh hasil dari formasi ayat-ayat al-

Qur’an yang mengalami revisi yang dieksplorasi oleh Richard Bell, dapat

dilihat dalam tabel di bawah ini:

288 Supiana dan M, Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka

Islamika, cet I, 2002, hlm. 223

Tabel II

Analisis konstruksi teori revisi (Nasikh- Mansukh) Richard Bell, dalam buku

(Bell’s Introduction to the Qur’an)

No Aplikasi Penafsiran Hipotesisis Doktrinal Nasikh-

Mansukh Surat & Ayat

1 • Asumsi dasar revisi

• Satanic Verses/

al-Gharanic

• Ayat Rajam

QS:Yunus, (10); 15, QS. al-Haqqah , (69): 44-47, QS. al-Isra’(17); 73-75, QS. al-‘Ala (87):6f, QS, al-Baqarah,(2):106, QS, al-Kahfi, (18): 24, QS, ar-Ra’d, (13): 39, QS. an-Nahl, (16): 101, QS. al-Isra’(17): 41, QS. al-Isra’ (17): 81. QS, al-Hajj (22): 52, QS, al-Najm (53): 19-20, QS, al-Najm (53): 21-22 QS, an-Nur (24); 21, dan al-Ahzab (33),

Atas kemauan Nabi saw., sendiri. Nabi membuat wahyu-wahyu Muhammad melupakan beberapa ayat. Wahyu yang dilupakan Tuhan menghapus atau sebaliknya Kemungkinan adanya revisi. Muhammad mengharapkan wahyu. Rasul mengoreksi ayat Mustahil ayat rajam termasuk bagian al-Qur’an

2 Bukti-bukti Nasikh-Mansukh

Surat & Ayat Hipotesis

• Proses Jam’u

• Kemunculan

Rima

• Keganjilan

Gaya al-Qu

QS, al-Qiyamah: (75); 17-19 QS, al-Mukminun (23);12-16, 17-22. QS, Ali Imran (3): 130-134 QS, al-An’am (6): 95-99 dan 102-104, (6); 84-87; dan QS, Shad (38): 45-48, QS, Maryam (19): 51-57. QS, al-An’am (6): 141-144 QS, al-‘Araf (7): 57-58 QS, al-Hajj (22): 5-8 QS, ash-Shaffat (37): 73-132. QS, al-Baqarah (2); 85. QS, al-Baqarah (2), 84, QS, al-An’am (6); 12 dan 20, al-‘Araf (7): 92, al-Anbiya (21): 47 dan 104; an-Naml (27): 7; al-Fushillat (41): 17; al-Insan (76): 16. QS, al-Haqqah (69): 3; al-Mudatsir (74): 14; al-Mursalat (82): 17; al-Muthaffifin (83): 8 dan 9; ath-Thariq (86): 2; al-Balad (90): 12; (97): 2; al-Qariah (101): 3 dan 10; dan al-Humazah (104) QS, al-Qari’ah (101): 10. QS, al-Qari’ah (101); 9-11

Adanya perubhan, minimal tata letak. Nabi meletakan rima-rima. Pengulangan janji surga. Bagian tidak berirama menjadi berirama, dan tampak dilakukan dengan daftar nama. Ayat ini dapat diilustrasikan Perubahan kata ganti yang muncul tiba-tiba. Pengejekan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan. Adanya kasus dalam Ibrahim refrain,(1-10) Munculnya glosses (komentar-komentar) Tambahan pada masa belakangan. Ibunya akan menjadi Hawiyah.

Perubahan tiba-tiba dramatis

• Sambungan-

sambungan alternatif

QS, al-Balad (90): 12-16, QS,asy-Syams:(91):10,al-Ghasyiah (88); 6-7, an-Naba’ (78): 32 dan 35. Al-

‘Ala (87): 16 QS, al-Mudatsir(74): 31 QS, al-Baqarah: 85, 84 Qs, al-An’am (6):12 dan 20; al-A’raf (7): 92; al-Anbiya(21): 47 dan 104; an-Naml (27):7; Fushshillat (41): 17;al-Insan (76):16. QS, al-Haqqah (69):3; al-Mudatsir (74): 27; (77): 14; al-Mursalat (82):17; al-Mutaffifin (83): 8, dan 9; ath-Thariq (86): 2; al-Balad (90):12 ;(97): 2; al-Qariah (101): 3 dan 10; dan al-Humazah (104):5, QS, al-Qariah (101): 10, QS, al-Mukminun (23): 63,64,79 dan 99, QS, al-Maidah (5):42,41(ungkapan muncul), QS, Az-Zumar(39):75 QS, al-Baqarah: 101ff, 135, 144, 183, dan 196, Ali Imran (3):48,102, 143, 152,170,dan 181, QS, An-Nisa(4):23ff,dan 131ff, QS,al-Maidah(5):41ff,48ff,72ff,dan 90, QS,al-An’am(6):87ff, QS,al-‘Araf(7):40ff, dan 165, QS,al-Anfal (8):72f;at-Taubah (9) 81ff., 86ff., 111ff., 117ff. Q.S.Yunus(10):104ff;Q.S. Hud (11):40ff;Q.S. Ibrahim (13)19ff; Q.S. Al-Hijr (15) 87ff.;Q.S. An-Nahl(16)16ff.;Q.S.Al-Isra’ (17) 45ff; Q.S. An-Naml(27):38ff.,Q.S. Saba(34):51ff;Q.S. Fathir(35):29ff;Q.S.Yasin (36):79ff;Q.S.Az-Zumar (39):47ff., dan 69; Q.S. Al-Mu’minun (40) 30ff;Q.S.Al-Jatsiyah (45) 27ff; Q.S.Qaf (50) 22ff;Q.S.Al-Qamar(54):43ff;Q.S. Al-Hadid(57):13ff;Q.S Al-Hasyr(59) 5ff;Q.S. Al-Munafiqun(72);25ff.;Q.S‘Abasa (80) 33ff., QS, Abasa(80):34-37 QS,al-Baqarah(2):102-103 QS, Ali Imran(3):144 dan 155, QS,At-Taubah(9):117-118;

Sebagai sisipan gaya yang panjang. Pengulangan suatu kata atau ungkapan. ungkapan muncul pada ayat 41, sampai akhir dihilangkan, maka ayat 42 sama seperti awal ayat 41. Ayat 75 tampaknya terisolasi, dimana sudah ada pada ayat 69-74. Kasus lain yang menonjol. Memiliki purwakanti, ih, sementara ayat 33-42, purwakanti a, Mengganti ayat sebelumnya (102) Ayat 144 mennganti ayat 155. Susunan penanggalan yang terbalik, yang belakangmuncul duluan, tetapi bukanlah aturan yang tetap. Muncul dalam jalinan versi-versi alternatif. Pengulangan ayat yang dimaksudkan untuk mengganti ayat yang lain. Penggantian penggantian telah dilakukan. Khusus ayat 41, tidak bisa dipahami sebagaimana adanya. a).wahyu berisi tentang solusi Nabi. b).menggunakan bagian a diikuti seruan agar mau bersyukur.c).bentuk akhir peraturan pada ayat (144). mengambil jawaban dan penegasan orang-orang Yahudi. bagian terputus ayat136-138, lalu bagian ini dimodifikasi dengan penyisipan 137 ke dalam 138, ayat 130-134 tambahan lebih

• alternatif

dalam tema Wacana

Saba(34):52-53; al-Jatsiyah(45):28-29; dan Nuh(72):24 dan 27-28. QS, Ali Imran(3):126-129 dan, Yasin(36):1-6. QS, al-Baqarah(2):183-185 QS.An-Nisa(4):23,24,25,27 dan 28 QS, al-Baqarah(2):142-152 QS, al-Baqarah(2):130-141, QS, al-Hajj(22):31 QS, al-Hajj(22):33-34 QS,at-Taubah (9):36a,2 dan 5 QS, at-Taubah(9):36-37 QS, Ali Imran(3):102-179

102,103,112,115,117, 123,139,143,145,151,158 dan 160

QS,Ali Imran(3):121,124,125 dan bagian-bagian dari 126-129 QS. ali-Imran(3):152-154 dan 159,

lanjut. Binatang Qurban Harus dikirim ke mekkah. Bisadisembelih dinegeri sendiri, karena keadaan di Makah tidak aman. Kesimpulannya dari 29-37. Pengunduran hitungan dalam satu bulan, dengan didekritkan dari Makkah. Menetapkan perang dengan orang-orang politeis secara terus menerus. Ayat-ayat yang dibuang, yang bahas bulan haram dapat dilihat ayat 2 dan 5. Adanya suatu amanat yang untuk disampaikan sebelum perang, terdiri ayat Nabi tanpa otoritas telah menjanjikan bantuan malaikat. Nabi cenderung penuh amarah kepada pengikutnya, dan penuturan kasar Nabi. Ayat 110, satu sumbangan untuk menyerang suku Yahudi al-Nadzir (110-114).

B. Posisi Richard Bell dalam pandangan cendikiawan.

Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis tafsir al-

Qur’an padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang

kaidah dan bahasa Arab, termasuk pengetahuan tentang pola pembentukan

kata konjugasi (tasrif)-nya. Karena itu, mereka cenderung melakukan

penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memberikan arti etimologis

suatu lafadz al-Qur’an dengan arti lain yang tidak sesuai, baik dari arti yang

hakikinya maupun dalam arti kiasannya.289

Di sini penulis tidak menemukan buku-buku tafsir ataupun buku karya

ilmiah yang secara khsusus membahas tentang permasalahan teori revisi

Richard Bell, melainkan penulis hanya menemukan pandangan cendikiawan

ulama yang membahas teori tersebut. Kendati demikian penilaian Richard Bell

terhadap teori nasikh mansukh di pandang oleh sekoleganya ataupun

sesudahnya cenderung melenceng jauh.

Berikut ini penulis akan merilist pandangan-pandangan cendikiawan

muslim yang tergabung dalam kelompok Oksidentalis, di mana mereka hidup

setelah Richard Bell, dan komenter-komentarnya penulis fokuskan terhadap

pandangan Richard Bell mengenai al-Qur’an, terlebih dalam discourse teori

nasikh dan mansukhnya. Adapun para Oksidentalis tersebut penulis hanya

mambatasi cendikiawan’ berasal dari Timur Tengah dan Indonesia yang

konsen terhadap kajian Barat, untuk itu karena mengingat keterbatasan bahan

dan literatur buku-buku atau kitab yang penulis temukan masih relatif sedikit.

1. Pandangan cendikiawan Timur Tengah

a. Prof. Dr. Hasan Hanafi

Dalam karya Hanafi yang berjudul “Muqaddimah fi ‘ilm al-

Istghrab”, karya ini melawan dari pemikiran orientalisme, dalam buku

tersebut Hanafi menjelaskan tugas Oksidentatalisme adalah

menghapus Eurosentrisme, yakni mematahkan mitos kebudayaan

kosmipolit yang menyatukan seluruh bangsa Barat dan diklaim sebagai

kebudayaan yang harus diadopsi seluruh bangsa di dunia jika mereka

ingin meninggalkan fase imitasi dan menuju kemoderenan.290

Hubungan yang sempurna sebenarnya terjalin dari tiga

komponen. Tuhan sebagai pengirim wahyu, sasaran pengirim wahyu,

dan seorang delegasi yang tugasnya hanyalah penyampai wahyu dan

289Muhammad Husain Az-Dzahabi, Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran,

Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta, Rajawali, cet I, 1986, hlm. 47. 290 Abdul Basith Junaidi, Islam dalam Berbagai Bacaan Kontemporer, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 310.

pembawa misi. Yang menjadi sasaran penyampaian wahyu adalah

manusia. Sedangkan manusia hidup di alam ini mencari sistem.291

Dengan demikian, menurut al-Qur’an, yang diturunkan Allah

sudah tidak orisinil lagi. Karenanya, baik Taurat, maupun Injil, telah

mengalami perubahan dari tangan-tangan para penganutnya. hal

demikian dijelaskan melalui firman Allah: 292 (QS. [5] al-Maidah: 13-

14)

“(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Ayat tersebut secara gamblang menyatakan, baik agama

Yahudi maupun Nasrani, keduanya sudah tidak orisinil lagi, karena

keduanya telah mengalami perubahan di tangan pemeluknya. Padahal,

baik kepada penganut agama Yahudi maupun Nasrani, masing-masing

telah di ambil janjinya oleh Allah. Janji tersebut dinamai mitsaq. Kata

tersebut berasal dari watsiqa yang secara literal berarti mengikat dan

menetapkan.

Menurut Djaka Soetapa, Th. D, beliau setuju dengan sikap

menuju Oksidentalis, yaitu bahwa para tulisan muslim tentang agama

Kristen bersikap apologetis. Dalam suasana yang apologetis itu maka

kutipan-kutipan dari sumber Kristen sering tidak mencerminkan hal-

hal yang betul-betul menjadi pendapat atau pandangan Kristen. Orang

hanya tertarik dengan ma qala (apa yang dikatakan) dan melupakan

291 Hasan Hanafi, Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj.

Asep Usman Ismail (et, al), Jakarta, Paramadina, cet I, 2003, hlm. 27. 292 M. Ghalib M, Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta, Paramadina, cet I, 1998,

hlm. 74-74.

man qala (siapa yang mengatakan) demi membenarkan pendapat

sendiri.293

b. Prof. Dr. Fazlur Rahman

1) Kritik Metodologis dan Epistimologi Tafsir Richard Bell

Fazlur Rahman menilai bahwa dalam studi Richard Bell

tidak ada pengetahuan mengenai al-Qur’an. Hampir semua karya

ini hanya membahas pada aspek-aspek tertentu di dalam al-Qur’an

dan Rahman melanjutkan dan tidak ada satupun karya Richard Bell

yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Karya-karya tersebut

menunjukkan adanya sebuah pandangan eksternal yang telah

mengendalikan. Tidak satu pun di antara karya-karya tersebut yang

telah menyajikan al-Qur’an membuat terma-terma sendiri, sebagai

sebuah kesatuan.294

Mengenai prinsip direfensiasi yang di maksud dalam

konteks metodologi tafsir, menurut Fazlur Rahman, beliau

menawarkan suatu prinsip yang sangat penting untuk membedakan

anatara nilai ideal moral dan legal moral, sedangkan dalam konteks

metodologi tafsir Muahammad Syahrur, yang dimaksud prinsip

diferensiasi adalah prinsip membedakan antara kitab anatara kitab

ar-Risalah dan Kitab an-Nubuwah.295

Dengan demikian, upaya membedakan secara tegas antara

ideal moral dengan legal formal harus menjadi perhatian yang

serius bagi seorang mufassir agar tidak terjebak pada pemahaman

tekstual al-Qur’an yang terkadang justru mengabaikan nilai-nilai

moral. Hal itu bisa dilkuakan dengan cara mencermati konteks

internal ayat al-Qur’an maupaun konteks eksternalnya, yaitu

293 Djaka Soetapa, Th. D, “Ibn Hazm atau As-Syahrastani”, Kumpulan Makalah

Seminar, Jakarta, 1990, hlm. 20. 294 Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 117. 295Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LKiS, cet I, 2011,

hlm. 135.

kondisi sosio-historis masyarakat Arab pada waktu suatu ayat itu

diturunkan.296

Sementara itu, Muahammad Syahrur memandang salah satu

prolem yang terbesar dalam penafsiran al-Qur’an adalah prolem

aplikasi metodologi penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, menurutnya

direfensiasi tegas mana yang merupakan Kitab ar-Risalah dan

mana yang merupakan Kitab an-Nubuwah sehingga aplikasi

metode pembacaan kontemporer memperoleh akurasi secara

ilmiah.297

2) Kritik pergantian ayat dalam al-Qur’an

Kritik terhadap dotrin Nasikh-Mansukh Richard Bell,

Rahman kembali mengkritik bahwa kita kembali kepada masalah

“penggatian” ayat-ayat tertentu kepada ayat-ayat lainnya di dalam

al-Qur’an. Inilah arti yang sediakala dari perkataan nasikh,

menurutnya perkataan ini bukanlah doktrin hukum mengenai

pembatalan hukum mengenai pembatalan hukum seperti yang

dibelakang hari tumbuh di dalam tubuh Islam dan merupakan

usaha untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan makna yang

nyata diantara ayat-ayat tertentu.298

Kita telah mengetahui bahwa ayat-ayat tertentu digantikan

oleh ayat-ayat lainnya melalui printah Allah swt atau melalui

wahyu-Nya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa ketika orang-orang

Mekkah mendesak muhammad untuk mengubah doktrin al-Qur’an

sehingga meraka dapat terima, beliau menjawab bahwa hanya

Allah swt., saja yang dapat membuat perubahan itu, seang ia sama

sekali tidak berdaya: (QS. Yunus [10]: 15-16).

Ketika ayat-ayat yang jelas dibacakan kepada mereka maka diantara mereka yang tidak ingin bertemun dengan kami

296 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II,

2011, hlm. 5. 297 Abdul Mustaqim, op. cit., hlm. 141 298 Fazlur Rahma, Pokok-Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka,

cet II, hlm 1996, hlm. 131

(dihari kebangkitan nanti) berkata: bahwalah al-Qur’an yang lain atau ubahlah yang ini’. Katakanlah bahwa aku tidak berhak mengubahnya, aku hanhya mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku; jika aku mengingkari Tuhan-ku aku takut akan hukuman dihari yang besar nanti. Jika Allah menghendaki niscaya aku tidak akan menyampaikan kepada kalian dan diapun tidak akan mengabarkannya kepada kalian-tidaklah kalian pikirkan bahwa (sebagian besar) hidupku telah kulewatkan bersama kalian?” (QS. [10] Yunus: 15-16).

Di dalam al-Qur’an banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika

Nabi pada waktu-waktu tertentu mengiginkan perkembangan ke

arah tertentu, teryata wahyu Allah menunjukan arah yang lain: “

Jangan gerakan lidahmu (sebelum menerima wahyu) dengan

ceroboh karena mengharapkan wahyu seperti apa yang telah

engkau iginkan. Sesungguhnya kamilah yang menghimpunkannya

dan membacakannya-jadi jika kami membacakannya hendaklah

engkau turuti. Dan setelah itu Kamilah yang berhak

menjelaskannya”.299 (QS. [75] al-Qiyamah: 16-19).

Rahman mengiginkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai

barometer dalam penelitian fenomenologi agama Islam. Ketika ada

peneliti Barat (nonmuslim) yang akan melakukan kajian agama

Islam, mereka harus tetap mengapresiasi, bersimpati, dan

menghargai eksistensi al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan

pokok umat Islam yang tidak dapat diganggu gugat eksistesinya.

Amin Abdullah menegaskan kembali sikap Rahman

tersebut. Ia, dengan mungutip Lakotos dan Fazlur Rahaman,

menyatakan bahwa hard core atau Islam normatif tidak boleh

diganggu gugat, sedang protective belt atau “Islam historis” bisa

diuji, dipertannyakan, dan direkonstruksi.300

299 Ibid., hlm. 132 300 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 216

Kaitannya dengan di atas, al-Qur’an mempunyai jalinan

yang erat dengan agama sebelumnya yang mempunyai latar

belakang historis. Fazlur Rahman mengungkapkan untuk mendapat

latar belakang historis harus dicari dalam tradisi Arab sendiri

bukan pada tradisi Yahudi atau Kristen. Dari hal ini tampak bahwa

al-Qur’an tetap transenden, tapi disesuaikan dengan masyarakat

waktu itu dan mempunyai segi universal.

Persoalan apakah ada keterpengaruhan ajaran Islam dengan

agama sebelumnya dan apakah Islam berdiri sendiri walaupun ia

berasal dari Yahudi dan Kristen telah banyak dikaji oleh banyak

orientalis. Mereka ini bersemangat untuk membuktikan secara

geneologis Islam berasal dari agama sebelumnya. Menurut Fazlur

Rahman yang terpenting bukanlah orisinalitas Islam, melainkan

persepsi Muhammad mengenai dirinya sendiri dan misinya yang

berhubungan erat dengan Nabi-Nabi sebelumnya dan agama-

agama mereka serta kaum mereka.301

Para sejarawan yang menulis jenis tafsir ini lupa bahwa

penekanan kisah-kisah al-Qur’an tidak terletak pada jalan

ceritanya, tetapi tetapi pada aspek pesan moral yang dikandungnya.

Dengan demikian adalah suatu penyimpangan ketika kisah-kisah

al-Qur’an ditafsirkan dengan perincian yang tidak subtansial.

Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika

tafsir itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda-legenda Yahudi-

Nasrani yang masuk dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat

yang dimasukan ke dalam tafsir masuk dalam katagori Maudhu’

(palsu). Eksistensi Israiliyat dalam tafsir historis tidak saja

merupakan penyimpangan, lebih lagi ia, menurut Syaltut, telah

menjauhkan umat Islam dari mutiara-mutiara al-Qur’an.302

301 Ibid., hlm. 222 302 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm.

196

Setelah memaparkan penjelasan dari Fazlur Rahman terkait

dengan kritik epistimologi dan metodologi terhadap Richrad Bell,

penulis menilai bahwa ketergantungan pemikiran Bell ini tidak bisa

dilepaskan oleh tokoh-tokoh sebelumnya seperti Sir William Muir,

Tor Andrea, Noldek, Regis Blechere, Friedrich Schwally dan

Hartwing Hirschfeld, sehingga dengan bercermin kepada alur

transmisi keilmuan Bell, bisa dipastikan bahwa Bell menjadi

korban pendahulunya, kendati demikian metodologi Bell banyak

mengarah kepada Historis-filologis, yang hanya bersifat afirmatif

dengan mengedepankan nalar ideologis. sehingga al-Qur’an sering

kali diperlukan hanya sebagai justifiasi bagi kepentingan ideologi

tersebut.

akibatnya, muncul sikap otoritarianisme, fanatisme, dan

sektarianisme madzhab sehingga memunculkan sikap truth claim

dan saling mengkafirkan satu dengan yang lain.

Dan penulis menambahkan bahwa metodologi yang di

tawarkan oleh Richard Bell dalam teori nasikh-mansukhnya dapat

dihentikan dengan menggunakan nalar kritis, karena penulis merasa

tidak puas melihat produk-produk yang dihasilkan oleh Bell

berdasarkan penafsirannya yang konvensional yang dinilai sangat

ideologis, otoriter, hegemonik, dan sektarian sehingga menyimpang

dari tujuan utama diturunkannya al-Qur’an. Jika al-Qur’an dipahami

secara komprehensif, holistik, dan kontekstual maka ia akan menjadi

solusi alternatif dalam menjawab prolem modernitas.

c. Prof. Dr. Subhi Shalih

Kritik terhadap teori penanggalan Richard Bell. seperti dalam

karya “Mabahis fi Ulum al-Qur’an”, Dr. Subhi mengkritisi beberapa

pandangan orientalis diantaranya.

1) Kritik terhadap kronologis al-Qur’an Richard Bell

Menurutnya Bell juga pengikut Weil dalam penyusunan

kronologi al-Qur’an, ia mengawali karirnya sebagai sarjana al-

Qur’an lewat publikasi dari bahan-bahan kuliah yang diberikannya

di Edinburgh University, The Origin of Islam in Its Christian

Environment, (1926) kajian utamanya mengenai penanggalan al-

Qur’an, meski dalam bentuk yang tidak lengkap, dapat dietmukan

dalam karya terjemahannya, The Quran Translation with a Critical

Rearrangement Of The surashs, 2 jilid.(1937), meskipun dalam

bentuk yang tidak lengkap. Beberapa kekurangannya diperbaiki

oleh artikel-artikenya dan sebagain lagi oleh karyanya, Intoduction

to the Qur’an, yang terbit pada tahun 1953, buku terakhir ini,

belakangan, direvisi oleh William Montgomery Watt dalam buku

Bell’s Introduction To The Koran (1960)303

Sementara itu Fazlur Rahman, Ia sapakat dengan Rudi

Peret dalam menolak pendapat Richard Bell tentang dapat

direkonstruksinya rangkaian kronologi al-Qur’an, meskipun salah

satu karyanya Bell yakni Introduction to the Qur’an yang telah

disempurnakan oleh muridnya, W. Montgomery Watt, dipandang

Rahman sebagai “amat bermanfaat.”304

Selain itu juga nama-nama lain yang berusaha menyusun

al-Qur’an secara kronologis diantaranya: A Rodwell menyusun

buku The Koran, Translation With de Suerash Arranged in

Cronological Order yang diterbitkan di London tahun 1861, dan

Blachere yang menyusun buku Le Coran, Traduction Selon un

Essei de Reclassement des Sourates yang diterbitka di Paris tahun

1949-1951.305

Buku Blachere ini mendapat penilaian dari Dr. Subhi Salih,

karya Blachere ini sangat cermat. hal ini didasarkan pada penilaian

303 Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar ‘Ilm lil-Malayin, cet

XVII, 1988, hlm. 177. Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002, hlm 114. Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 317

304 Taufik Adnan Amal, Islam Tantangan Modernitas, Studi atas Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, cet III, 1992, hlm, 138

305 Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002, hlm 114

ilmiahnya buku tersebut sangat menonjol, namun dalam buku

tersebut dari segi bobot isinya berkurang, sebab sisitematika surat-

surat al-Qur’an yang disusun secara kronologis itu tidak

berdasarkan pedoman yang memiliki kredibelitas. Sebagaimana

Blachere sendiri mengakui karyanya bahwa metode yang selama

ini ia gunakan hanya sekedar untuk mencari-cari atau mencoba-

coba metode tanpa menggunakan pedoman yang pasti.

Bahkan, ia juga mengatakan bahwa cara yang ditempuhnya

didasarkan pada pendapatnya jika al-Qur’an merupakan titik tolak

yang dapat dijadikan pedoman dalam pembagian terhadap

khazanah perkembangan Islam, sistematika surat-surat al-Qur’an,

dan pertumbuhan ajaran-ajaran Nabi Muhammad saw.306

Oleh sebab itu, Syaikh Zarqani mengatakan bahwa susunan

dan urutan al-Qur’an sepenuhnya berdasarkan dari petunjuk Nabi

Muhammad yang dibimbing langsung oleh Malaikat Jibril.

Diriwayatkan oleh sebuah hadist, Malaikat Jibril berkata kepada

Muhammad “letakanlah ayat ini dalam surah ini, dan urutan yang

kesekian.” (HR. Ahmad).

Dalam kesempatan laian Syaikh Zarqani mengatakan

bahwa tidak seorang pun dari Sahabat atau khalifah, seperti Abu

Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,

yang ikut campur dalam penyusunan urutan al-Qur’an. Semuanya

mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Penyusunan al-Qur’an yang

digagas oleh Abu bakar, hanyalah sebatas mengumpulkan tulisan-

tulisan al-Qur’an yang tercatat di pelepah kurma, kulit binatang,

dan diberbagai benda lainnya.

Untuk dijadikan dalam satu Mushaf. Demikian juga

penyusunan al-Qur’an dimasa Utsman. Tidak melampaui apa yang

telah tercatat dan tertata dalam Mushaf. Kedua ushaha tersebut

306Subhi Shalih loc. cit., Karman, M. & Supiana. loc. cit., Agung Abdul Khalifah al-Dilami, Jam’u al-Qur’an, Dirasat Tahliliyat li Marwiyat, Beirut: Lebanon, Dar-al-Kitab al-Ilmiyah, 1971, hlm. 373

tetap mengikuti urutan dan susunan al-Qur’an yang telah

digariskan oleh Rasulullah saw.307

Al-Qur’an menurut Fazlur Rahman hanya dapat dipahami

secara kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan

kebutuhan. Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan

ilustrasi tentang mukjizat dan komunitas yang berkembang akibat

perbedaan waktu.308

Menurut penulis Richard Bell bukanlah orang yang baru

dalam mengkaji kronologi al-Qur’an ia teropsesi dan termotifasi

dengan para pemikir sebelumnya. Untuk itu teori nasikh- mansukh

yang Bell kontruksikan masih perlu dikaji kembali karena menurut

penulis konstruksi Bell, masih jauh dengan apa yang cendikiawan

ulama’ rumuskan.

Untuk itu dalam memahami teori nasikh mansukh penulis

katakan: hal ini tidak bisa terlepas dari keterpengaruhan ulum al-

Qur’an diantaranya. Ilmu sejarah al-Qur’an, munasabah, ilmu

asbab an-nuzul, di dalam ilmu asbab an-nuzul tentu ada kaidah

ibrah, al-‘Ibrah bi umum al-lafdz la bi khusish al-sabab, al-ibrah bi

khusuhi as-sabab la bi ‘umum al-lafdzi, kaidah Nazil, ta’addudun

nazil wa sabab al-wahid, sabab al-wahid wa ta’addudun nazil,

namun yang sekarang di era kontemporer muncul kaidah al-‘ibrah

bi maqasyidus Syari’ah. Serta kurangnya pemahaman tentang ulum

at-Tafsir maupun ulum al-Qur’an secara komprehensif.

2) Kritik terhadap ayat-ayat Misterius (Fawatihus Suwar) dalam al-

Qur’an.

Menurut Subhi Shalih, bahwa Noldeke berpendapat tentang

bagaimana hukum fawatihus Suwar dalam al-Qur’an, ia menilai

bahwa itu termasuk tambahan yang dimasukkan ke dalam al-

Qur’an, yakni sebagai simbol (inisial) dari huruf belakang atau

307 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010, hlm. 54-55

308 Abdul Mustaqim (ed. ), op. cit., hlm 225

belakang dari nama-nama Sahabat yang mempunyai naskah surat-

surat tertentu.309

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abbas pada kata (kaf-

ha-ya-ain-shad), kaf, inisal Karim, ha inisial, had, ya’ inisial

hakim, ain inisial ‘alim, shad inisial shadiq, 310

Noldeke, adalah orang pertama kali mengemukakan dugaan

bahwa huruf-huruf ini merupakan petunjukan nama

pengumpulnya, misalnya, sin sebagai kependekan dari nama Sa’id

bin Waqqas, min dari nama Mughirah, nun dari nama Utsman bin

Affan, dan ha dari nama Abu Hurairah.311 Namun, pendapat

Noldeke ini sangat keliru, sebab, selain ia tidak beralasan juga

karena bersifat spikulatif.312

Menurut Husein At-Thabathaba’i, menganggap bahwa

huruf-huruf muqata’ah itu hanya terjadi di permulaan surat saja,

demikian itu tidak mungkin terjadi kecuali hanya ada di dalam

kitab-kitab Samawi, dengan bertujuan untuk menjelaskan ayat-

ayat tersebut.313

Karena itu tidak mungkin jika kita bandingkan dengan

penyusunan sebuah karya tulis atau artikel dengan menambah atau

memperbanyak huruf-huruf tertentu sesuai dengan yang tertera

dalam pembukuannya, selain Allah swt., Tuhan yang maha

mengetahui segala sesuatu yang memiliki kemampuan menghitung

dengan kecepatan tak terhingga serta lebih cermat dari komputer.

Tuhan maha menegetahui segala sesuatu, sehingga tidak mungkin

ada kekeliruan pada-Nya. Sedang huruf-huruf terputus pada

pembukaan surat-surat tertentu sebagaimana dibicarakan di atas

309 Subhi Shalih, op. cit., hlm 241. Karman dan Supiana, op. cit., hlm. 179-180 310 Subhi Shalih, op. cit., hlm. 239 311 Rohison Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2009, hlm

101. Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika, cet I, 2002, hlm. 180 312 Karman dan Supiana, loc. cit., 313 Al-‘Alamah Husein at-Thabathaba’i, al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Jilid XVIII, Iran-

Muassasah Isma’iliyan, cet V, 2000, hlm. 6-7

merupakan bagian kecil ilmu Tuhan yang disisipkan oleh al-Qur’an

untuk kita ungkap pada suatu ayat.314

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?...(QS. [41] Fushshilat: 53)

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa rahasia yang saya

ungkapkan dari rangkaian huruf-huruf tersebut sebagai satu-

satunya rahasia yang terkandung dibaliknya. Tapi ia sebatas

pengantar awal, di mana tidak ada yang tahu sejauh mana batas

yang kita selami. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa temuan ini

sebagai argumen bantahan terhadap tuduhan bahwa al-Qur’an

adalah karangan Muhammad saw., sendiri. Selain rangkaian dalam

huruf al-Qur’an kita juga masih berhadapan dengan mesteri

rangkaian kata yang tidak disusun sembarangan tanpa maksud

tertentu.315

Setelah menguraikan pendapat di atas, mengenai yat-ayat

yang di anggap misterius oleh Richard Bell, penulis katakan itu

tidak benar bahwa ayat-ayat fawatih as-suwar, kendati demikian

itu sebenarnya hanya dalam wilayah pengetahuan Allah swt.,

bebarapa ulama’ tafsir klasik hingga modern sepakat hal tersebut

yang dapat mengetahui adalah Allah swt., Meskipun ada sebagian

ulama’ yang megatakan serta mendefinisikan masing-masing arti

dari fawatih suwar. Penulis yakin inilah yang menjadi lahan empuk

bagi Richard Bell, ketika mufassir saling berbeda pendapat,

terhadap masalah itu. Untuk itu penulis menilai bahwa Bell kurang

tepat jika dikatakan fawatih suwar masih bersifat misterius.

314 Mustafa Mahmud, Dialog dengan Atheis, Terj. A. Maimun Syamsudin, Yogyakarta:

Mitra Pustaka, cet I, 2002, hlm. 202 315 Ibid., hlm. 203

d. Dr. Edward W. Said

Dalam buku Edward W. Said, yang berjudul Orientalisme,

beliau menilai bahwa orientalisme selama ini telah gagal baik secara

historis maupun secara politis, sekaligus beliau mengajak bahwa,

bagaimanapun, pemikiran dan pengalaman modern telah mengajarkan

kepada kita agar bersikap peka apa yang tampak dalam suatu

“representasi” dalam pengajian “the outhers”, dalam pemikiran

rasial, dalam penerimaan secara taklid buta atas otoritas dan gagasan

otoriter, dalam peranan sosial- politik kaum intlektual, dan dalam

kesadaran kritis yang skeptis. Barangkali, jika kita mengigat bahwa

kajian mengenai pengalaman manusia biasanya memiliki konsekuensi

etis dan politis, baik dalam artinya yang buruk maupun paling baik,

maka kita tidak akan mengabaikan begitu saja kewajiban kita sebagai

cendikiawan.316

Edward menganggap kegagalan orientalisme sebagai kegagalan

intlektual dan juga kegagalan kemanusian. Karena keputusan untuk

mengambil oposisi-oposisi yang kukuh terhadap sesuatu kawasan

dunia yang dianggapnya asing bagi dunia sendiri, orientalisme telah

gagal dalam mengidentifikasi dirinya dengan pengalaman manusia

yang sebenarnya.

Beliau juga telah menggugat akar-akar persepsi Barat yang

keliru terhadap dunia Timur (Oriental), dalam hal ini dunia Islam.

Singkatnya bagi Said, citra Barat tentang Islam adalah hasil konstruksi

untuk tidak menyebutnya imajinasi liar-Barat sendiri, yang jauh

menyimpang dari realitas sebenarnya.317 Jika kalau saja kita sedikit

memetik manfaat dan bangkitnya kesadaran politis dan historis

bangsa-bangsa didunia pada abad ke 20. Kita sebenarnya sudah bisa

316Edward W. Said, Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur

sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2010, hlm. 512 317 Ayzumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet I, 1999,

hlm. 66

melawan hegemoni orientalisme yang telah mendunia itu, berikut

dengan semua bentuk pengungkapan hegemoni yang dimunculkan.318

Dengan demikian Richard Bell dinilai sebagai orang yang

menyimpang dari ajaran-ajaran Kristen, karena Bell berlebihan dengan

penilaiannya terhadap agama Islam, sehingga tidak heran kalau Bell

pada awal-awal, pemikirannya banyak tidak mendapat respon dari

koleganya, dengan demikian pada awalnya banyak karya-karya Bell

yang tidak diterbitkan dan jarang sekali muncul di media.

e. Prof. Dr. Musthafa Azami

kritik orientalis Richrad Bell terhadap kompilasi al-Qur’an,

melalui karyanya, The History of the Qur’anic Text, Tampaknya

terdapat pintu gerbang yang digunakan sebagai alat penyerangan

terhadap teks al-Qur’an, salah satu adalah menghujat tentang penulisan

dan kompilasinya. Dengan semangat pihak orientalis mempertanyakan

mengapa, jika al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad

saw., umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada

peperangan Yamamah, memberitahu Abu Bakar akan kemungkinan

lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka.319

Lebih jauh lagi mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak

disimpan dibawah pemeliharaan Nabi Muhammad saw., sendiri? Jika

demikian halnya mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat

mamanfaatkan dalam menyiapkan Suhauf itu? Meskipun berita itu

diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum

muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan orientalis apa

yang didektekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.

Azami menilai, bahwa kemungkinan karena kedangkalan ilmu,

berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan kaum

Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian

318 Edward W. Said, loc. cit., 319 Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Terj. Sohirin

Solihin, (et,al), Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005, hlm. 338

mereka. Katakanlah terdapat satu naskah al-Qur’an milik Muhammad

saw., mengapa beliau menyerahkan kepada sahabat untuk disimak dan

dimanfaatkan? Besar kemungkinan, diluar perhatian, tiap nasikh-

mansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-

ayat tidak akan tercermin dalam naskah dikemudian hari, tentu beliau

akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang

merugikan umatnya; kerugian yang dirasa lebih besar dari

manfaatnya.320

Dalam kitab limahati fi ulumul Qur’an karya Dr. Lutfi as-

Sibagh, ia mengambil pendapat as-Suyuti dalam al-Itqan-Nya, dia

mengatakan memang dalam peryataan as-Suyuti terhadap mushaf yang

sudah disepakati oleh Habsah. Dengan demikian as-Suyuti menilai

bahwa ini ada kaitannya dengan khabar, dimana Isnadnya Munqatti’

(terputus), Di mana imam as-Suyuti mengambail dari hadis yang

diriwayatkan oleh Abi as-Syaibah dalam kitab “al-Masahif ”, yang

berbunyi: “anna awala man samma al-muhafa mushafan huwa Abu

Bakr. “sesunggunhnya orang yang pertama kali memberikan nama

mushaf adalah Abu Bakar.321

Menurut Syah Wali Allah, wahyu-wahyu yang disampaikan

skepada nabi dihujamkan kedalam hatinya, lalu melaui lisan, Nabi

menyampaikannya kepada para sahabat sabil memerintahkan mereka

untuk menulis serrta menghafalkannya, kebetulan masyarakat yang

bersentuhan dengan al-Qur’an menggunakan aksara yang ditulis dari

kanan ke kiri, karenanya kalau ada yang menulis tidak dengan aksara

itu, tidaklah menjadi persoalan yang esensial, selama dapat dibaca

dengan benar.322

320 Ibid., hlm. 338 321 M. Bin Lutfi as-Sibagh, Limahat fi Ulum al- Qur’an, wa at-Tijahat al-Tafsir,

Lebanon: Maktabah Islamiy, cet III, 1990, hlm. 110 322 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta: Grafiti, cet I, 1995, hlm

272-273

Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak

memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakar?

Sebelumnya telah saya kemukakan guna untuk mendapat legitimasi

sebuah dokumen, seorang murid pasti bertindak sebagai saksi mata dan

menerima secara langsung dari guru pribadinya. jika unsur kesaksian

tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah

meninggal dunia, misalnya akan menyebabkan kehilangan nilai teks

itu.

Demikianlah yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit. Dalam

mendikte ayat-ayat al-Qur’an kepada para Sahabat, Nabi Muhammad

saw., melembagakan sistem jalur riwayat yang lebih terpercaya

didasarkan pada hubungan antara murid dengan guru; sebaliknya

karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka

tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang

dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan,

baik oleh Zaid maupun yang lain.323

Sejarah mencatat bahwa Zaid ketika itu menumukan kesulitan

karena ketika beliau dan sekian banyak Shahabat menghapal ayat

(QS.9:128). Tetapi naskah yang ditulis dihadapn Nabi saw. tidak

ditemukan. Syukurlah pada akhirnya naskah naskah tersebut

ditemukan juga ditangan seorang Sahabat yang bernama Abi

Huzaimah al-Anshari. Demikianlah terlihat betapa Zaid

menggabungkan antara hafalan sekina banyak sahabat dan sekian

naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara

keotentikan al-Qur’an.

Sedangkan menurut Qurais Shihab menilai bahwa dengan

demikian dapat dibuktikan dari tata-tata kerja dan data-data sejarah

bahwa al-Qur’an yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak

berbeda sedikitpun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh

323 Ibid., hlm. 338

Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.324 Sekali lagi bahwa

kenapa Umar khawatir akan kehilangan al-Qur’an karena syahidnya

para huffadz? Beliau menegaskan karena hal ini menyangkut hukum

kesaksian.325

Sebagaimana dikatakan oleh Mustofa as-Siba’i, bahwa diantara

tujuan kegaiatan orientalis, imperialis dan kolonialis ialah untuk

melepaskan nilai-nilai akhlaq yang dimiliki pemuda dan pemudi Islam

di negeri-negeri Islam. Mereka menjauhkan tata krama dan adab serta

akhlak Islam dari pemuda- pemudi Islam dengan tuduhan bahwa tata

krama itu sudah ketinggalan zaman, kolot, mundur, dan lain

sebagainya. Itelio Godio, berusaha melakukan semua itu ketika itu ia

bekerja sebagai tenaga pengajar di lembaga Arab Thanjah pada tahun

1949.326

Suatu lajnah yang ditugaskan mengumpulkan dan menulis al-

Qur’an dengan diketuai oleh Zaid bin Zaid r.a. yang tidak perlu kita

bentangkan lagi di sini, akan tetapi wajarlah jika banyak orientalis

seperti Richard Bell untuk mengancam al-Qur’an di masanya, karena

al-Qur’an sangat menakjubkan. Penulisan secara ilmiah pertama kali

dilakukan oleh umat Islam dengan usaha yang teratur dan mendapat

restu dari umat Islam sendiri.

f. Prof. Dr. Yusuf Qardawi

Berbeda dengan Yusuf Qardawi (1926) dikenal sebagai tokoh

ikhwanul Muslimin sampai sekarang, yang bertentangan dengan ide

Islam Liberal pada umumnya. Yaitu masalah kesesatan orang-orang

Kristen dan Yahudi, karena berlebih- lebihan. Di situ Qardawi

mengatakan, “Takutlah akan berlebih-lebihan dalam agama. (kaum)

sebelumnya telah binasa karena berlebih-lebihan.”

324 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam

kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV 1997, hlm. 25. 325 H. B. Jassin, op. cit., hlm. 339. 326 Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir Upaya Orientalis dalam Memalsukan

Islam, Bandung, Dipenogoro, Alih bahasa As’ad Yasin B. A, cet I, 199,1 hlm. 115.

Kaum yang dimaksud adalah kaum agama lain, khususnya Ahli

Kitab Yahudi dan Kristen dan terutama sekali Kristen. Pendapat

Qardhawi itu jelas bertentangan 180 derajat dengan konsepsi teologi-

pluralis yang dikembangkan oleh Islam liberal, yang menganggap

bahwa Nasrani dan Yahudi bukan kaum kafir. Padahal dengan tegas

Qardhawi menyatakan bahwa kaum Kristen dan Yahudi adalah kaum

kafir.

Menurut Qardhawi, kekafiran Yahudi dan Nasrani adalah

sesuatu yang amat jelas. Masalah kekafiran dua agama itu, menurut

Qardhawi, telah ditegaskan oleh puluhan ayat al-Qur’an dan Hadits.

Bukan semata-mata oleh satu, dua ayat al-Qur’an. Masalah itu adalah

bagian dari “al-Ma’lum min dinil al-Islam bidh-dharuurah” (sesuatu

agama Islam yang elementer, kalangan awam mengetahuinya).

Qardhawi sama sekali tidak respek dengan kaum “Islam liberal”.

Bahkan, ia mengecam kelompok itu sebagai kelompok oarang-orang

yang berusaha menyerang dasar-dasar akidah dan tsaqafah Islam.

Bahkan ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh

ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulumul al-Qur’an) dan seluruh warisan ilmu

pengetahuan al-Qur’an ketong sampah, untuk kemudian memulai

membaca al-Qur’an dari nol dengan bacaan kontemporer, tanpa terikat

oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan

sebelumnya. Juga tidak dengan akidah dan aturan yang telah

ditetapkan oleh ulama’ umat Islam semenjak berabad-abad silam.

Visi yang kontradiktif antara pemikiran orientalis dengan

pendangan Islam lebih disebabkan dari dimensi metodologis yang

diterapkan secara keliru oleh mereka. Misalnya, pendekatan Historis

dalam kajian al-Qur’an lebih merupakan pendekatan yang tidak akurat.

Karena aspek asbab al-Nuzul (proses turun) al-Qur’an bukanlah

peristiwa yang empiris. Meskipun tidak dibantah ia adalah bersifat

pencermatan empirik namun beda dalam tataran transhistoris meta-

empirik.

Pendekatan historis dalam kajian keislaman menimbulkan nilai

yang berbeda tergantung dalam bidang apa yang dikaji. Metode ini

memiliki kelemahan di mana menempatkan sisi luar dari fenomena

keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang

esensial dan subtansial. Kekurangan tersebut sering juga tersebut

didukung oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan

sumber yang salah.327

Dengan demikian, kritik sejarah yang dilakukan dalam al-

Qur’an menampilkan sosok al-Qur’an sebagai sesuatu yang historis

dan non historis. Al- Qur’an dikatakan historis karena ia menerangkan

jalinan kesinambungan wahyu tuhan sebelumnya dengan adanya

penyesuaian wahyu dan tempak serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini

Muhammad Abduh menjustifikasi pandangan ini ketika

mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai

dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah

wahyu Nabi Muhammad saw.

Oleh karena untuk itu, tidak heran kalau dalam al-Qur’an ada

kesamaan dalam kitab-kitab sebelumnya kemudian baru menjiplaknya.

Sedangkan kajian al-Qur’an dalam bingkai non-historis mendapat hasil

esensi wahyu yang berada di luar sejarah dan bersumber dari Tuhan.

Tuhan dalam hal ini berdasarkan kehendaknya dapat memilih seorang

rasul yang dipercayai untuk menyampaikan tugas suci-Nya.328

Sebagaimana Qordawi, menjelaskan bahwa bisa jadi diantara

sebab nasakh adalah merupakan ketentuan manhaj ilahi yang bijaksana

yang membagun kehidupan umat secara evolutif (berangsur-angsur)

dalam pemberian syariat. Yang membawa umat dari satu fase satu ke

327 Abdul Mustaqim (ad.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai

Metodologi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 2002, hlm. 218. 328 Ibid., hlm 219.

fase yang lain, hingga akhirnya syariat lengkap dalam bentuknya yang

terakhir.329

Dalam konteks ini, dapat dipahami firman Allah swt., ayat-ayat

tentang ‘shaum’ puasa.(QS.al-Baqarah:183-184). Al-Bukhari dan yang

lainnya meriwayatkan dari Salmah bin Akwa dan dari Ibnu Umar,

seperti yang lain meriwayatkan dari Mu’adz: bahwa firman Allah swt.,

dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka

tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang

miskin” adalah hukum fase yang pertama. Saat itu puasa hanya

dijadikan pilihan, kemudian akhirnya diwajibkan oleh ayat yang

berikutnya: (QS. al-Baqarah:185).

Menurut Qardawiy pada masa kini, masih ada orang-orang

yang meluaskan dakwaan nasikh dengan dalil yang lemah atau tanpa

dalil.330 Sebagaimana peryataan Zarqaniy dalam Kitab Manahil Irfan fi

Ulum al-Qur’an, beliau mengatakan: “diantara dalil-dalil yang tidak

menerima naskh dan tidak pula mengurangi (dalil), adalah masalah

shaum yang terjadi pada ayat tersebut. Karena masalah itu masuk

dalam wilayah pokok-pokok ibadah dan muamalat, dan itu merupakan

bukti yang benar, karena kedua hal tersebut langsung berhungan

dengan ibadah Mahdhah (yaitu ibadah yang secara langsung kepada

Allah swt).331

2. Pandangan cendikiawan Indonesia

a. Prof. Dr. Quraish Shihab

Salah satu buktinya Richard Bell adalah bahwa munculnya

rima-rima yang tersembunyi tampaknya, terkadang bahwa setiap

bacaan dengan asonansi ditambahkan pada surah berasonansi lain,

frase-frase ditambahkan untuk memberikan asonansi yang belakangan,

contoh yang telah dikemukakan adalah QS. al-Mu’minun (23): 12-16.

329 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,

Jakarta, Gema Insani, cet II, 2000, hlm. 468. 330 Ibid., hlm. 468. 331 az-Zarqaniy, op. cit., hlm. 213.

Orientalis ini juga berpendapat bahwa ada bagian-bagian al-

Qur’an yang ditulis pada masa awal karier Nabi Muhammad saw,

tetapi ada lagi sesudah itu ditulis di samping atau di belakang “kertas”

yang dimaksud adalah segala jenis bahan yang digunakan untuk

menuliskan ayat-ayat al-Qur’an. Contoh lain yang telah

dikemukakannya adalah QS. al-Ghasyiyah. Di sana digambarkan

mengenai hari kiamat dan nasib orang-orang durhaka, kemudian

dilanjutkan gambaran orang-orang yang taat ayat 10-21,332

Ayat 17-20 menurutnya tidak punya kaitan pikiran, baik

dengan apa yang disebutkan sebelumnya maupun sesudahnya, dan hal

ini ditandai dengan rimanya. Bell kemudian mengemukakan

hipotesanya bahwa ayat 17-20 ditempatkan disana karena ayat-ayat itu

ditemukan tertulis di bagian belakang ayat-ayat 13-16. Selanjutnya ia

berpendapat, dalam kasus khusus ini bahwa ayat 13-16 yang ditandai

dengan rima dari ayat-ayat sebelumnya, adalah tambahan dan ayat-ayat

itu, dan kebetulan ditulis pada sisi belakang potongan kertas yang

sudah berisi ayat 17-20.333

Melihat masalah ini. Dr. M. Quraish Shihab, dalam karya

Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur’an, beliau

membantah peryataan-peryataan, pada surat dan ayat-ayat yang di

rumuskan oleh Richard Bell di atas. Menurutnya pendapat ini tidak

benar, karena seperti dikemukakan di atas, riwayat-riwayat

membuktikan bahwa bukan sahabat Nabi saw, bahkan bukan pula Nabi

Muhammad saw. atau malaikat Jibril as. Yang menyusun sistematika

penurunan ayat dan surah, tatapi yang menyusunnya adalah Allah swt.,

sendiri.

Khusus untuk kasus QS. al-Ghasiyyah, bagaimana mungkin

penempatannya dilakakan oleh para penulis al-Qur’an, sedangkan

surah itu turun di Mekkah, jauh sebelum pengumpulan al-Qur’an pada

332 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta, Lentera Hati, cet X, 2008, hlm. xix

333 Ibid., hlm. xix.

masa Abu Bakar dan ‘Utsman ra. Bagaimana mungkin mereka yang

telah menyusunnya, padahal surah ini amat sering diabaca oleh Nabi

Muahmmad saw. bukankah beliau membacanya tiap malam pada

shalat witir, sebagaimana telah banyak diriwayatkan oleh sekian

banyak ulama dan melalui sekian banyak sahabat Nabi saw, dan tentu

ini diikuti oleh sahabat-sahabat beliau, bahkan hingga kini oleh

umatnya. Nabi juga membacanya pada saat shalat Idul Fitri yang tentu

terdengar sesuai dengan susunan itu oleh ribuan kalau enggan berkata

puluhan ribu – umat Islam.

Menurut penulis, Memang mengakuui bahwa dalam al-Qur’an

itu benar, ada rima yang berbeda dalam rangkaian ayat-ayat yang

ditemukan dalam satu tempat. Ini bukan saja dalam rangka

membuktikan bahwa al-Qur’an bukan syair sebagai mana dituduhkan

sementara kaum musyrikin, tetapi juga untuk tidak menimbulkan

kejenuhan mendengar atau membaca ayat-ayat yang rimanya terus

menerus sama, dan yang lebih penting dari itu, pergantian rima itu

dapat menyentak, sehingga melahirkan perhatian bagi pembacanya

atau pendengarnya, menyangkut pesan yang dikandung ayat yang

berbeda rimanya itu.

Kendati demikian, tidak dapat disangkal bahwa ada ayat-ayat

al-Qur’an yang menimbulkan pertanyaan tentang penempatannya.

Seperti surah al-Ghasyiyyah yang dijadikan salah satu contoh oleh

orientalis Richard Bell. lebih lanjut M. Quraish Shihab memberikan

analogi, bahwa kita juga dapat menunjuk surah al-Baqarah yang

berbicara tentang haramnya babi sambil mengandengkannya dengan

uraian tentang ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan

pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum,

wasiat sebelum mati, kewajiban memelihara hubungan suami istri, dan

seterusnya yang-menurut para kritikus-tidak saling berkait.334

334 Ibid., hlm. xx.

Untuk menanggapi pertanyaan dan kritikan itu, lahirlah salah

satu bahasan khusus dalam studi al-Qur’an yang dianamai ilmu al-

Munasabah, yang pada initinya adalah menjawab pertanyaan

“Menggapa ayat atau surah itu ditempatkan setelah ayat atau surah

ini?”

Menurut Imam az-Zarkasyi, ilmu didasarkan pada keyakinan

bahwa al-Qur’an ibarat bangunan yang bagian-bagiannya saling

menguatkan. Ia laksana kesatuan kalimat yang tidak bisa dilepaskan

antara satu dengan yang lain.335 Imam az-Zarkasyi menambahkan

bahwa ilmu ini sangat urgen, sebab, berfungsi untuk menguji

kesahihan struktur kalimat, dan ilmu ini menjadikan setiap bagian

kalimat berkaitan dan saling menyempurnakan dengan yang lain.

“kajian pertama yang harus dilakukan adalah menjelaskan posisi setiap

ayat, apakah berhubungan bahkan menyempurnakan ayat yang

sebelumnya atau ayat tersebut independen. Dan bagaimana hubungan

ayat yang independen dengan ayat sebelumnya” terangnya.336

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, memberikan contoh mengenai

al- munasabah dalam tafsirnya al-Misbah, bahwa adanya hubungan

antara surat pada ayat (QS. (2): 106) , yang berbicara tentang ayat

nasikh, hal ini adanya keterkaitan dengan ayat setelahnya 107,

menurutnya, redaksi semacam ini, menagandung kecaman yang lebih

pedas dari pada yang redaksinya ditunjukan langsung kepada yang

dimaksud. 337

Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa penutup pada ayat 106

dan keseluruhan ayat 107, dapat juga sebagai argumentasi tentang

kebijaksanaan Allah untuk melakukan naskh dan penundaan di atas.

b. Prof. Dr. Nashruddin Baidan

335 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,

hlm. 331. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II, 2011, hlm. 183-188.

336 Ibid., hlm. 332. 337 M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 290.

1) Kritik Nashruddin Baidan terhadap ayat-ayat yang mengandung

Syair.

Sebagian ulama menolaknya karena cara seperti itu

menurut mereka berarti menjadikan syair sebagai asal dari al-

Qur’an padahal al-Qur’an itu sendiri tidak menyukai syair-syair

seperti penyair yang mengubah syair tersebut sebagaimana

ditegaskan Allah dalam ayat 224-226 dari surat al-Syu’ara’ sebagai

berikut:338

â !#t� yè’±9 $#uρ ãΝßγ ãè Î7®Ktƒ tβ…ãρ$ tó ø9 $# ∩⊄⊄⊆∪ óΟ s9 r& t� s? öΝßγ ‾Ρr& ’Îû Èe≅à2 7Š#uρ

tβθ ßϑ‹ Îγtƒ ∩⊄⊄∈∪ öΝåκΞr& uρ šχθä9θ à)tƒ $ tΒ Ÿω šχθè=yè ø'tƒ ∩⊄⊄∉∪

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? (QS. [42] asy- Syu’ara’: 224-226)

Dalam surat Yasin ayat 69 ditegaskan pula bahwa Allah tak

pernah mengajarkan syair kepada Nabi Muhammad saw dan tak

pantas syair itu baginya.

$ tΒ uρ çµ≈ oΨôϑ‾=tæ t� ÷èÏe±9 $# $tΒ uρ Èöt7.⊥ tƒ ÿ…ã& s! 4 ÷βÎ) uθ èδ āω Î) Ö� ø.ÏŒ ×β#u ö� è%uρ

×Î7 •Β ∩∉∪

Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (QS. [36] Yasin: 69)

Hal itu mereka lakukan karena al-Qur’an diturunkan dalam

bahasa arab sebagaimana tidak bisa disangkal oleh siapapun.

Berdasarkan kenyataan itu jelas bagi kita bahwa mereka

sebenarnya tidak menjadikan syair dalam memahami ayat-ayat suci

338 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet II,

2011, hlm. 270.

sebagaimana dituduhkan oleh kelompok pertama tadi, melainkan

sebagai alat bantu dalam upanya mamahami ayat-ayat itu. Jadi

mereka tidak pernah menganggap syair-syair arab sebagai asal atau

rujukan dari al-Qur’an.

Jika demikian halnya, maka tidak ada salahnya bila kita

menggunakan syair arab dalam memahami al-Qur’an selama tidak

menganggap syair tersebut asal dari al-Qur’an melainkan hanya

sekedar memudahkan pemahaman. Sebagaimana contoh kata

“andada” yang terdapat pada enam tempat dalam al-Qur’an yaitu

ayat 22 dan 165 dari surat al-Baqarah; ayat 30 dari Ibrahim; 33 dari

Saba’; ayat 8 dari al-Zumar; dan ayat 9 dari al-Fushilat.339

2) Kritik terhadap Model bacaan al-Qur’an (Qiraat al-Qur’an)

Menurut Nashruddin Baidan, beliau cenderung kepada

pendapat Ibn Al-Jaziri yang mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan tujuh huruf dalam hadist Nabi adalah tujuh dalam

membaca al-Qur’an, meskipun terdapat bacaan yang sangat

bervariasi, lebih dari tiga puluh bacaan, namun semua perbedaan

ittu tegasnya kembali kepada tujuh. Pendapat ini juga didukung

oleh Zarqani.340

Dengan dibukukannya pada tahab kedua pada masa Utsman

bin Affan, maka perbedaan Qira’at yang pada mulanya amat

menonjol dan pada variasi bacaan yang sangat beragam, menjadi

berkurang dan terkendali secara baik. Hal itu dimungkinkan,

karena mushaf tersebut tidak diberi tanda-tanda baca seperti titik,

koma, harkat, dan sebagainya.

Dalam rangka itu, Puin kemudian mengklaim bahwa ia

telah menemukan mushaf lama di Yaman yang konon mengandung

qiraah yang lebih awal dari qiraah tujuh yang terkandung dalam

339 Ibid., hlm. 271. Kamil Musa dan Ali Dukhruj, Kaifa Nafham al-Qur’an, Dirasat fi al-

Madzahib al-Tafsir wa Itijahatiha, Beirut, Lebanon, 1992, hlm. 157-158. 340 Nashruddin Baidan, Ibid., hlm. 100. Adapun dari ketujuh macam model bacaan,

bisa dilihat selengkapnya dalam buku tersebut.

mushaf Utsmani, walaupun mushaf itu tidak lengkap dan sangat

berbeda dengan Mushaf Utsmani. Manuskrip Sana’a itu

mengandung qiraah tujuh atau qiraah sepuluh karena qiraah yang

ada dalam manuskrip itu mengandung qiraah yang lebih banyak

dari qiraah tujuh, sepuluh, atau empat belas.

Menurut Armas, bahwa pendapat puin tidak memiliki

landasan yang kukuh. Banyaknya qiraah yang terdapat dalam

manuskrip itu tidak semestinya benar, karena qiraah tersebut sudah

keluar dari qiraah empat belas yang memuatkan bacaan mad. Jadi

qiraah yang banyak itu hanyalah qiraah yang syadh (ganjil,

menyimpang) ataupun maudhu’ (palsu). Jadi qiraah yang ada

dalam manuskrip itu adalah lemah (dhaif).341

Dari itu ayat-ayat al-Qur’an dapat dibaca dalam berbagai

qira’at sesuai dengan dengan qira’at dan sesuai dengan apa yang

diajarkan Rasul Allah; tetapi tidak sebebas seperti ketika belum

diulang dalam pembukuannya. Jadi pembukuan di masa Utsman,

tidak mengakibatkan hilangnya bacaan-bacaan yang lain; bahkan

sebaliknya, memberikan pengakuan secara resmi terhadap

kebenaran qira’at tersebut, dan diakui secara sah oleh para ulama

selama qira’at itu tidak keluar atau bertentangan dengan apa yang

termaktub dalam mushaf Utsmani.342

Dengan peryataan di atas bahwa Bell dalam memahami

qiraa’at dalam al-Qur’an masih bersifat dangkal terhadap ilmu

tersebut, kendati demikian bahwa Richard Bell belum bisa

membedakan mana riwayat yang sahih dan mana riwayat yang

dhaif. Di sini letak kelemahan Richard Bell, dia tidak mengenal

mana riwayat yang benar dan mana riwayat lemah. Seharus dalam

memahami ilmu tersebut harus banyak memakan literatur dan

341 Adnin Armas, Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta, Gema

Insani, cet II, 2004, hlm. 65. 342 Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 116-117.

perangkat-perangkat lainnya. Agar dapat tercapainya pemahaman

yang objektif.

c. H. B. Jassin

Perdebatan-perdebatan tentang apakah al-Qur’an cenderung

pada gaya puitisi atau prosa, dalam literatur Islam telah hadir jauh

sebelum H. B Jassin mempuitisasikan ayat-ayat al-Qur’an. Secara

mayoritas ulama jumhur (ulama kebanyakan) menyatakan bahwa

tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an, telah

mengandung nilai puisi yang sangat agung, karena itu, Taha Husain

dalam upanya mengkompromikan dua pandangan yang kontradiktif

satu sisi menganggap al-Qur’an puisi, prosa dan al-Qur’an.343

Semua ini mendiskripsikan di mana al-Qur’an kumpulan puisi

ataupun prosa. Struktur bahasa al-Qur’an dengan perubahan rima yang

tiba-tiba; pengulangan kata rima yang sama dengan penggandengan

ayat; pencampuran pokok bahasa asing ke dalam satu bagian al-Qur’an

yang homogen; keterputusan dalam konstruksi gramatikal; perubahan

yang tiba-tiba dalam panjang ayat; peralihan mendadak dalam suasana

dramatis dari kata ganti tunggal dan jamak; dan segala bentuk

keunikan lain yang belum terungkap merupakan karekteristik

tersendiri dari ciri khas al-Qur’an.344

d. Dr. Moh. Nastir Mahmud

Kritik terhadap metodologi historisisme Richard Bell.

Pendekatan historisisme dalam studi al-Qur’an tidak akan

menghasilkan konklusi yang positif dalam pandangan Islam.

Dalam sejarah Barat sungguh terdapat banyak aib dan cela

namun sangat disayangkan, jarang ditemukan oksidentalis yang

membantah opini orientalis.345

343 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm.

271. 344 Ibid., hlm. 272. 345 Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, cet I,

2006, hlm. xxvi.

Karena itu historisisme melakukan eksplanasi terhadap objek

penyelidikannya. Eksplanasi dilakukan oleh pihak outsider (pihak

luar). Akibat negatif dari posisi sebagai outsider menurut Hall: “The

danger of the position of “being ‘outsider’ is that the date of being

studied can easily reduced to fit metodological categories”.(bahaya

posisi sebagai pihak ‘outsider’ data yang diteliti dengan mudah

direduksi untuk mencocokan dengan kategori-kategori metodologi).

Outsiders dapat dianggap benar atau memadai jika pengikut

agama tersebut mengiyakan pernyataan tersebut, selanjutnya, Rahman

memerinci syarat-syarat bagi outsiders ketika ingin meneliti agama

orang lain. Mereka harus tidak mempunyai sikap bermusuhan,

prasangka. Mereka harus berfikir terbuka (open minded), bersikap

simpati, jujur dan penuh ketulusan. Sikap itulah yang akan mampu

menyisihkan, bahkan menghapuskan prolem perbedaan insiders dan

outsiders.346

Demikian pembuktian-pembuktian yang paling mencolok

untuk menegaskan kepalsuan kisah “Garanik al-Ula” itu. Tangkisan

tokoh-tokoh Islam itu ternyata berpengaruh kepada tokoh-tokoh

orientalis pada masa belakangan.347 Ringkasan kisah Al-Gharaniq yang

kontroversial tersebut adalah sebagai berikut: “Rasulullah membaca

surah (QS. [53] an-Najm: 19-20) di Makkah, ketika sampai pada ayat

yang berbunyi:

ãΛä ÷ƒ ut� sùr& |M≈‾=9 $# 3“ ¨“ ãèø9 $#uρ ∩⊇∪ nο4θ uΖtΒ uρ sπsW Ï9$ ¨W9$# #“ t� ÷zW{ $# ∩⊄⊃∪

“Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (QS. [53] an-Najm: 19-20)

Setan memasukkan dalam Nabi kata-kata berikut:

346 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam berbagai Pembacaan Kontemporer,

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 313. 347 H. M. Joesoef Sou’yb, op. cit., hlm. 161-162. Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab

Tuduhan, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006, hlm. 76.

.وان شفاعتهن لترجى, تلك الغرانيق العلى “Mereka semua adalah Tuhan yang agunbg syafa’atnya selalu duharapkan.”

Setelah mendengar kalimatya tersebut, orang-orang

musyrik berkata, “Hanya pada hari ini, Tuhan-Tuhan kita

disebutkan dengan baik.” Ketika Nabi Muhammad saw bersujud

diakhir surah, orang-orang muslim dan orang-orang kafir bersujud

secara bersamaan. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut:

{QS.[22]:Al-Hajj 52}. Dan (al-Hajj [22]: 42-44) (al-Hajj [22]: 49-

52)348

Rana Kabbani, dalam buku Menggugat kesalah Pahaman

Barat, beliau menilai secara intlektual, Richard Bell tidak mungkin

memahami dalam keadaan apa pun dalam tradisi yang sudah jelas

bermusuhan, bahkan menjadi paranoid. Lagi pula ada

kemungkinan tuduhan ini yang pertama kali disebut oleh pengikut

Zorester yang menyusup ke dalam Islam dengan tujuan

menghancurkan kekuatan dan pengaruhnya, dan terutama doktrin

terpenting tentang monoteisme.

Sebagian besar komentator terkemuka menyangkal bahwa

Nabi pernah menyatakan bahwa dewa-dewa itu kembali menjadi

keramat, dan bagaimana juga tidak bukti bahwa “Ayat-ayat Setan”

pernah muncul di dalam al- Qur’an. Namun hal ini tidak akan

menghalangi orientalis untuk menusuk-nusuk legenda tersebut

sebagai bukti, bahwa Nabi Muhammad saw., adalah orang yang

haus dengan kekuasaan dan manipulator yang tak berprinsip dan

yang sedia membuka doktrin yang paling fundamental untuk

memperoleh dukungan dari berbagai kepentingan yang bercokol di

Mekkah. Pandangan inilah yang disebar luaskan oleh Salman

Rusdie yang diperdebatkan itu.

348 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,

hlm. 383.

e. Dr. Taufik Adnan Amal

Taufik Adnan Amal mengkritk secara komprehensif tentang

unit-unit wahyu yang diasumsikan dan dielaborasikan oleh Richard

Bell. Asumsi radikal Bell ini, selain memiliki kelemahan yang telah

disinggung di atas, barang kali tidak logis. Jika al-Qur’an secara terus

menerus mengalami revisi seperti yang dimaksud Bell, maka orang-

orang yang berupaya menghafal al-Qur’an pada masa Nabi tentunya

akan mengalami kesulitan serius dengan adanya berbagai perubahan

yang konstan dalam kandungan kitab tersebut, dan hal ini agak sulit

dibayangkan.

Ketika unit-unit wahyu telah ditetapkan, maka langkah

selanjutnya adalah memberi penanggalan terhadapnya. Suatu kajian

dalam perkembangan misi kenabian Muhammad saw., dalam pentas

sejarah, untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-Qur’an, mesti

dilakukan terlebih dahulu. Kesepakatan yang eksis dalam berbagai

sistem penanggalan tentang butir-butir khas dalam wahyu-wahyu yang

awal akan sangat membantu dalam menetapkan unit-unit wahyu yang

bisa dikelompokkan dan diberi penanggalan dari masa tersebut.

Demikian pula berbagai rujukan historis yang ada dalam al-Qur’an

misalnya (30: 2-5).

Bagian-bagian al-Qur’an yang merekondisikan peperangan

atau berbicara tentang pengikut-pengikut Nabi yang terlibat dalam

pertempuran. Ungkapan-ungkapan Muhajirun, Anshar, alladzina fi

qulubihim maradl, munafiqun, dan lainnya, secara jelas berasal dari

hijarah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional juga akan

memberikan banyak pentunjuk di dalam penanggalan unit-unit wahyu

tertentu.

Tentu saja penyusunan rangkaian kronologis unit-unit wahyu

al-Qur’an semacam itu membutuhkan upaya-upaya keserjanaan yang

serius dan memakan waktu lama. Bahkan upaya penyusunan sistem

penanggalan ini sebagaimana diyakini oleh Fazlur Rahman dan Rudi

Paret barangkali merupakan keniskalaan. Tetapi asumsi-asumsi dasar

yang telah diutarakan di atas paling tidak akan sangat membantu

mengarahkan kita pada penetapan rangkaian kronologis “kasar” unit-

unit wahyu dalam kajian-kajian tafsir tematis kronologis, yang dewasa

ini mendominasi peta perkembangan tafsir al-Qur’an.

Dalam menanggapi pandangan Bell tentang Fenomena

kewahyuan yang berada dalam tatanan natural, Vahidudin dan

Nizamat Jung berpendapat bahwa peristiwa mesteri dalam pengalaman

wahyu menurut Bell sudah tergolong peristiwa supranatural dan

sebagai peristiwa yang luar biasa.349

f. Dr. Amir Faisol Fath

Kritik Hipotesa Richard Bell terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

Menurut Amir, melalui karyanya “The Unity of Al-Qur’an” Ia

menjelaskan bahwa para Ulama telah sepakat kalau al-Qur’an disusun

berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw., atau

bersifat tauqifi. Imam Zarkasyi mengatakan bahwa urutan ayat-ayat

dalam dalam satu surah, dan peletakan “basmalah” di awal surah juga

tauqifi. Tidak ada keraguan dan perbedaan pendapat antara ulama.

Oleh karena itu, maka tidak boleh ada pertentangan.350

Imam Zarkasiy dalam kitab al-Burhan misalnya melarang

penulisan dengan mengubah sesuatu yang pernah ada walaupun dalam

bahasa arab sekalipun. Lantaran meunurutnya pandangannya, dalam

penulisan seperti yang dikenal selama ini mengandung banyak rahasia.

Ia telah menyingkap sebagian dari rahasia-rahasia itu. Terlebih dalam

tradisi penulisan mushaf al-Qur’an terhadap doktrin yang menyatakan

bahwa: “sesuatu yang menyimpang dari kesepakatan rasm Utsmani

adalah bid’ah”.351

349 Dadan Rusmana, al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung,

Pustaka Setia, cet I, 2006, hlm. 182. 350 Amir Fasol Fath, The Unity of al- Qur’an, Jakarta, Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010,

hlm. 53. 351 H. B. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta, Grafiti, cet I, 1995, hlm.

273.

Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa kesepakatan ulama dan

berbagai riwayat sahih yang menyatakan bahwa susunan al-Qur’an

adalah tauqifi dan tidak bisa dipersoalkanm. Sebab, di dalamnya tidak

terdapat pertentangan dan perbedaan. Beliau lalu mengutip pendapat

Ja’far bin Zubair yang menyatakan bahwa penempatan ayat-ayat dalam

sebuah surat dilakukan dibawah petunjuk yang Nabi Muhammad saw.

Dan tidak ada perbedaan pendapat anatara kaum Muslimin mengenai

masalah ini.

Syaikh Zarqani misalnya mengatakan bahwa ulama telah

sepakat kalau susunan dan urutan al-Qur’an seperti yang kita lihat

dalam mushaf yang kita baca sehari-hari, dilandasakan pada arahan

dan petunjuk langsung Nabi Muhammad saw yang menerima

bimbingan dari Allah swt., tidak ada ruang untuk ijtihad dalam

menyusun al-Qur’an.352

Al-Maududi juga mengatakan bhwa susunan dan urutan al-

Qur’an dalam mushaf merupakan struktur yang satu dan saling

menguatkan dan yang lansung bersumber dari Allah swt., tidak ada

penambahan atau pengurangan di dalamnya. Ia berkata, “susunan dan

urutan al-Qur’an tidak dikerjakan berdasarkan inisiatif para sahabat.

Nabi Muhammad saw, sendiri yang menyusunnya berdasarkan

petunjuk dari Allah swt., bukti hal tersebut adalah firman-Nya yang

berbunyi: “dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan,” (al-

Muzammil: 4).

Ayat ini menegaskan bahwa al-Qur’an telah direncanakan

menjadi sebuah kitab sejak pertama kali diwahyukan. Sebuah kitab

harus disusun dan diurutkan secara benar. Oleh sebab itu, Al-Maududi

menolak pendapat kaum orientalis dan beberapa pemikir lain yang

menyatakan bahwa surah dan ayat-ayat al-Qur’an tidak disusun secara

352 Ibid., hlm. 54. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, cet II, 2011, hlm 188.

benar berdasarkan bukti tema-tema al-Qur’an yang tercerai berai dan

terpisah.353

Cara pandang yang komprehensif hal ini yang disampaikan

oleh Muhammad Al-Ghazali, karena merupakan cara yang benar

dalam mempelajari al-Qur’an. Sementara cara pandang partikular

laksana tubuh yang lumpuh, sebagian anggota tidak berfungsi dengan

baik. Tubuh tersebut takkan pernah berfungsi dengan sempurna selama

masih lumpuh, jadi kita harus memandang al-Qur’an dengan cara yang

komprehensif dan menyeluruh. Oleh sebab itu, ayat pertama al-Qur’an

diawali dengan kalimat berikut (QS.al-Alaq: 1-7).354

Perintah pertama ayat di atas adalah membaca. Membaca

dengan nama Allah swt, bukan membaca yang hanya diperuntukan

bagi kemajuan peradaban, atau untuk ilmu pengetahuan. Kemudian

ayat 3-5, ayat ini memasuki masalah ekonomi dan kemasyarakatan

secara bersamaan. Titik ini merupakan tempat kesewenang-wenangan

dan kesombongan mereka ketika mendapatkan kemewahan,

memperoleh nikmat, serta mempunyai harta yang melimpah.

Menurut Prof. Dr. Quraish Sihab, kata iqra terambil dari akar

kata qara’a pada mulanya berarti “menghimpun”, yang diterjemahkan

dengan “bacalah”, menurutnya tidak mengharuskan adanya suatu teks

tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sebingga terdengar

oleh orang lain.

Karenannya anda dapat menemukan, dalam kamus-kamus

bahasa beranekaragam arti dari kata tersebut, antara lain,

menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,

mengetahui ciri-cirinya, dan sebagainya, yang semuanya dapat

dikembalikan kepada hakikat “menghimpun” yang merupakan arti

akar kata tersebut. Kita tidak penjelasan tentang objek perintah

353 Amir Faisal Fath, op. cit., hlm. 395. 354 Ibid., hlm. 449.

membaca tersebut dari redaksi wahyu pertama ini, dan karena itu

ditemukan beraneka ragam pendapat para ahli tafsir.355

Di samping itu Muhammad al-Ghozali pemikir Kontemporer,

menolak tafsir yang menggunakan metode partikular dalam mengkaji

al-Qur’an, seperti menolak penafsiran orang yang menghalalkan

minuman keras dangan melihat pada surat an-Nahl, tanpa melihat ayat-

ayat lainnya yang terdapat ditempat yang berbeda.356

h. Kritik Penulis terhadap konstruksi Richard Bell 357

Dari beberapa cendikiawan ulama Timur Tengah dan Indonesia

setelah menguraikan secara kritis terhadap gagasan sekaligus produk

dari seorang orientalis berkebangsaan Inggris yaitu Richard Bell,

sebagai dasar landasan bagi penulis, maka bagi penulis sendiri ketika

memberikan kritik konstruksi metodologi Richard Bell terhadap

nasikh-mansukh, hal ini penulis menggunakan pisau analisis

hermeneutik kritis-oyektif dan analisis-kritis wacana kebahasan358,

yang di pelopori oleh Hebermas, secara umum untuk melihat gagasan-

gagasan teori nasikh mansukh Richard Bell serta konstruk metodologi,

yang dibangunnya, antara lain yaitu:

Penulis mengkritik metodologi biblical criticism,359 oleh

Richard Bell dalam al-Qur’an, mengatakan bahwa al-Qur’an dalam

355 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Bandung, Mizan, cet XV, hlm. 167. 356 Amir Faisal Fath, op.cit., hlm. 450. 357Penulis di sini adalah Moch. Khoirul Anam. S.Th.I mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadist,

Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang angkatan 2008. 358Hermeneutik ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan dibalik teks, kendati

memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca. Hebermas menempatkan ‘sesuatu’ yang berada diluar teks sebagai problem hermeneutiknya. Kata-kata ‘Sesuatu’ di sini dimaksudkan untuk memahami dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia megandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutik sebelumnya. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Yogyakarta, Magnum, cet I, 2001, hlm. 149. Telewicara dengan Aksin Wijaya, pada hari Ahad, 8 Juli 2012, 08:00.

359 Biblical criticism adalah Metode kritik Injil (historical-Biblical critical-method), tidak dapat diterima untuk diaplikasikan serta dicocokan dengan metode-metode ulumul Qur’an yang diletakkan oleh ulama Islam. Karena metode ulumul Qur’an diciptakan untuk mengukuhkan prinsip yang menjadi sandaran epistimologi bahwa al-Qur’an adalah tanzil dari Tuhan semesta Alam. Ia dijaga dengan perhatian Allah dan umat Islam selama perjalanan berabad-abad lamanya

pandangan umat Islam bukan sebuah kitab yang diilhamkan oleh Allah

kepada seorang laki-laki yang diberi otoritas untuk membuat redaksi

dari dirinya sendiri. Hakikatnya al-Qur’an adalah kalam Allah swt,

yang sesungguhnya seperti yang ditetapkan dalam lauh Mahfudz dan

diturunkan kepada Muahmmad saw., pada zaman tertentu dengan

pelantara malaikat Jibril. Adapun kekhususan suci yang keluar dari

kitab ilahi ini tak hanya mencetak makna-makna teks belaka

(subtansi), tetapi juga mencetak huruf-hurufnya (bentuk), kata-kata

dan maknanya dari Allah swt.

Dengan melihat uraian di atas penulis katakan Richard Bell

juga kurang memahami kaidah nuzul dan kajian semantik al-Qur’an,

sehingga hasilnya keliahatan prejudistik atau dugaan semata, penulis

juga mendapat dukungan dari murid Bell yaitu, William Montgomery

Watt, dalam buku Bell’s Introduction to the Qur’an, bahwa pendapat-

pendapat Bell di atas berasal dari dugaan suatu kesulitan yang tidak

bisa diatasi oleh Richard Bell, jika kata hawa bukankah satu-satunya

kata kerja yang berarti “mewahyukan”. Kata-kata nazala dan anzala

dipergunakan dalam pengertian serupa. Kedua kata tersebut muncul

tiga kali lebih sering katimbang dari pada bentuk turunan kata ahwa

(sekitar 250 berbanding 78 kata).

Dengan demikian kritik penulis terhadap Richard Bell secara

tidak langsung dapat memberikan efek jera dan dapat mengkritisi

pemikiran beliau melalui sikap orientalisnya, bahwa orang Kristen

sudah tidak sejalan dan cenderung menyimpang dari norma-norma

kerberagamaan, dengan cara pandang partikular yang dilakukan

Richard Bell terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat memporak-

porandakan keorisinalitas al-Qur’an serta merusak kesatuan

tematiknya. Menurutnya, bahaya yang disebabkan oleh

hingga kiamat datang menurutnya tidak dapat diterima dari segala bentuk permainan, perubahan dan penyelewengan. Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta, Perspektif kelompok Gema Insani, cet I, 2010, hlm. 184. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, Jakarta, Gema Insani, cet III, 2007, hlm. 46-47.

ketidakmampuan melihat al-Qur’an secara komprehensif adalah

memisah surat atau ayat dari surah atau ayat yang lain atau menjadikan

al-Qur’an sebagai kitab yang terpisah yang akan menyengsarakan

kehidupan umat Islam.

Dari uraian di atas penulis memberikan kritikan terhadap

Richard Bell, bahwa dalam menjelaskan hubungan antara satu ayat

dengan ayat yang lain, yang mengindikasikan bahwa tujuan konteks

surat adalah memperbaiki dan membersihkan halangan internal yang

berupa penyimpangan dan kerusakan sehingga bisa menjdai pemenang

agama bukanlah kemenangan induvidual, melainkan untuk

kemenanangan prinsip-prinsip agama yang suci dan jalan kebenaran

yang kokoh, maka prinsip amal dan pekerti yang mulia itu

disambungkan dengan pembicaraan tentang perang.

Penulis setuju dengan statement Dr. Abdul Mustaqim360, dalam

buku Epistemologi Tafsir Kontemporer, beliau memberikan penjelasan

dengan cara menganalisis komposisi dan struktur teks secara cermat

oleh karena itu, teks harus dipandang sebagai sesuatu yang otonom di

mana seorang mufassir dituntut bersikap kreatif dan tidak perlu lagi

disibukkan dengan persoalan bagaimana mendeteksi konteks historis

ayat tersebut. Dalam hal ini, penggunaan munasabah dalam Ulum al-

Qur’an dan prinsip maqashid asy-syari’ah dalam ushul fiqih yang telah

dirumuskan oleh para ulama terdahulu dapat di maksimalkan untuk

menemukan prinsip-prinsip moral universal tersebut.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada, metodologi

penafsiran yang ditawarkan Rahman telah memberikan alternatif baru

bagi pengembangan penafsiran al-Qur’an, terutama untuk memberikan

solusi untuk memberikan kecenderungan penafsiran al-Qur’an yang

subjektif, parsial, dan tekstualis-literalis yang menjadikan penafsiran

menjadi kering dari nilai-nilai etis.

360Beliau adalah dosen tetap Tafsir di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, lihat biografi

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LkiS, cet I, 2011.

Dengan berlandaskan atas pemikiran Nashruddin Baidan,

penulis katakan bahwa Richard Bell, masih terbawa dengan pendapat

sebagian kecil ulama yang menilai bahwa menggunakan riwayat

dengan pendekatan syair. Sebetulnya riwayat yang menggunakan syair

jika tidak ditemukan penafsiran dari al-Qur’an, sunah, dan perkataan

sahabat. Jika tidak didapati ketiganya maka baru mencari syair-syair

pada masa lalu dengan berdasarkan sumber yang benar. Dengan

demikian Bell masih kelihatan ceroboh dalam mengambil sikapnya.

Berkenaan dengan hal ini penulis menilai bahwa pendekatan

historisisme dan filologisme yang Richard Bell gunakan dalam

metodologi studi al-Qur’an itu bersifat reduksionis. Sebagaimana

peryataan Royster beliau mengatakan bahwa pendekatan historisisme

dan filologisme yang berusaha mencari akar institusi, beliau menolak

hal-hal yang bersifat fundamental dan berusaha memperluas dasar

teoritisnya, tetapi akibatnya menampilkan hasil yang kurang ilmiah. Di

samping itu penulis didukung dengan pernyataan Maryam Jamilah

bahwa kesalahan yang paling besar di masa modern adalah

reduksionisme, di mana hal yang besar dijelaskan dalam tarap yang

sangat kecil dan hal yang tinggi dijelaskan dalam taraf yang lebih

rendah. Wahyu yang bersifat supranatural dijelaskan sebagai fenomena

natural.

Penulis sendiri tidak sepakat dengan pernyataan Richard Bell

yang menyatakan bahwa dengan mengaransmen bentuk rima-rima,

awal dan akhiran surat bersenandung sama, namun, penulis melihat

Richard Bell tidak konsisten dengan teori rimanya, masih banyak lagi

dalam ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung rima. penulis menilai

bahwa penggunaan rima yang ada di akhir surat dalam al-Qur’an

merupakan suatu bentuk genre tersndiri, sehingga otentisitas al-Qur’an

tidak bisa dibantah dari segi apapun. Kendati demikian sejarah telah

membuktikan bahwa kaum sharfah yang ingin memalingkan isi al-

Qur’an baik dari redaksi, maupun teks-nya, tetapi Allah swt., tetap

menjaganya. Adapun bentuk rima-rima dalam al-Qur’an merupakan

bagian dari nilai estetika tersendiri, ketika dibaca agar si pembaca dan

pendengarnya tidak merasa jenuh dan bosan. Secara kompleks penulis

simpulkan bahwa Bell belum bisa memahami arti munasabah dalam al-

Qur’an secara komprehensif.

Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an

yang mengalami nasikh-mansukh oleh Richard Bell yang berusaha

untuk memaksakan al-Qur’an agar dapat berbicara sendiri dengan

menekankan pada aspek metodologinya, untuk itu penulis sepakat

dengan pandangan Fazlur Rahman bahwa rasionalisasi penafsiran yang

terlalu dipaksakan justru cenderung mengabaikan dimensi sastra dan

aspek kesejarahan. Akibatnya penafsirannya terhadap teori nasikh-

mansukhnya tersebut menjadi ahistoris. Oleh karena itu, para ulama

dan cendikiawan seperti Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syathibi,

Rasyid Ridha, Amin Kulli, Ibn Khaldun, Mustafa az-Azami, Musthafa

as-Siba’i, Nasr Hamid Abu Zaid dan Yusuf Qordowi mereka

kecenderungan tafsir yang demikian ditolak.

Dengan melihat peryataan Yusuf Qardawi dan para ilmuan-

lain, penulis menilai, bahwa melalui pendekatan historis yang di

lakukan oleh Richard Bell kemukakan sebagaimana di pembahasan

lalu, di dalam kajian keislaman menimbulkan nilai yang berbeda

tergantung dalam bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki

kelemahan di mana menempatkan sisi luar dari fenomena keagamaan

yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang esensial

dan subtansial.

Kekurangan tersebut sering juga tersebut sering juga didukung

oleh tidak tersedianya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang

salah. Pada aspek lain, al-Qur’an dapat menampilkan sosok yang

historis dan non historis, dikatakan historis karena ia menerangkan

jalinan kesinambungan wahyu Tuhan sebelumnya dengan adanya

penyesuaian wahyu dan tempak serta kondisi. Tampaknya dari sisi ini

Muhammad Abduh menjustifikasi pandangan ini ketika

mengemukakan teori evolusi wahyu di mana wahyu Allah yang sesuai

dengan taraf kemajuan umat manusia dan kesempurnaannya adalah

wahyu Nabi Muhammad saw.

Pendapat ini dipertegas oleh William Montgomery Watt dalam

buku Bell’s Intodution to the Qur’an. Menurut Watt al-Qur’an

bukanlah sajak yang pada setiap bait harus berujung konsonan atau

vokal. Dalam pandangannya al-Qur’an lebih merupakan purwakanti,

walau tidak mesti aksentuasinya selalu terletak pada bentuk kata akhir

sebuah ayat.

Pada surat al-Ikhlas misalnya, keempat ayatnya berirama-ad

dengan mengesampingkan dengan bunyi-bunyi nada; pada surat al-Fiil

(SQ. 105), ayat-ayat berirama –il dengan mengesampikan dengan

vokal-vokal akhir dan membolehkan -ul pada salah satu akhir ayat.

Sementara pada surat yang lebih panjang (QS. 54), -r menjadi

konsonan rima dan mendominasi hampir pada setiap ayat, pada pada

vokal-vokal akhir variasi –i dan –u bahkan –a muncul dalam posisi

sebagai fail (bentuk yang paling umum berupa satu suku kata vokal

pendek –r yang demikian menjadi konsonan rima).

Menurut penulis bahwa al-Qur’an bukanlah prosa atau puisi,

sisi lain prosa membagi kalam menjadi tiga macam: prosa atau puisi.

sebab disatu sisi, walaupun didalamnya lebih cenderung ke prosa

dengan kelaziman prosa mursal dan kata bersajak Arab, pada sisi yang

lain justru cenderung puitis.

Dalam pandangannya al-Qur’an lebih merupakan purwakanti,

walau tidak mesti aksentuasinya selalu terletak pada bentuk kata akhir

sebuah ayat. Penulis menilia bahwa al-Qur’an tidak selamanya

bersajak meskipun ada pada akhir ayat-ayat tertentu memiliki sajak,

dengan demkian penulis menambahkan, dengan munculnya varian-

varian al-Qur’an karena Allah swt., menjadikan al-Qur’an agar

mendapat perhatian khusus dan semakin diimani oleh hambanya serta

mudah untuk di ingat dan di hafalkan, karena itu al-Qur’an

mengandung aspek i’jaz yang tinggi.

Dengan metode tematik Richard Bell yang diaplikasikannya

kedalam seluruh konsep nasikh mansukhnya dalam al-Qur’an. penulis

mengatakan bahwa Bell bersikap takafful, di mana ayat-ayat yang

setema dapat dielaborasikan sedemikian rupa untuk merekonstruksi

dan menemukan Weltaneshcaung al-Qur’an mengenai tema yang

dikaji. Sehingga konsepnya tidak boleh bertentangan dengan

pandangan dunia al-Qur’an itu sendiri, karena penulis berangkat dari

jargon al-Qur’an yang mengatakan “bahwa ayat al-Qur’an saling

menafsirkan satu dengan yang lainnya” al-Qur’an yufassiru ba’dhahu

ba’dha. Dengan prinsip tersebut, pemahaman yang komprehensif dan

holistik dapat dicapai melaui metode tematik. Dengan demikian al-

Qur’an sudah dapat berbicara dengan sendirinya, tanpa dipaksakan.

Penulis juga menilai terkait dengan “ayat-ayat setan” yang

dijadikan tendensi khusus oleh Richard Bell itu berdasarkan dari hadis

maudu’. Jadi jelas hadis tersebut hanya dibuat-buat saja oleh rawi-

rawinya di masa itu, lalu ini dijadikan dasar penetapan oleh Richard

Bell.

Dalam hal ini penilaian penulis juga mendapat dukungan dari

Muhammad Abduh di mana beliau menolak pendapat yang

menafsirkan ayat ini dengan kisah “al-Gharaniq” karena kisah tersebut

adalah bohong, dan tidak sesuai dengan tema dan makna yang

dikandung dalam al-Qur’an. Ia berkata, “sekarang kembalilah pada

cara tafsir yang memaknai ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan makna

yang diakandung oleh kata-katanya, dan ditunjuk secara jelas oleh

kalimat-kalimatnya, dan hanya Allah yang maha mengetahui

kebenarannya”.

Akhirnya, setelah memaparkan semua upaya dan percobaan

peradaban Barat dalam interaksi mereka dengan teks-teks sucinya, ada

pertanyaan yang sangat mengelisahkan kebanyakan peneliti, padahal

jawabannya sudah hampir dapat diketahui pasti. Ketika bandingkan

posisi al-Qur’an sebagain kitab suci yang tak ada bandingannya dalam

Islam dengan posisi Bibel sebagai kitab suci Kristen, maka akan

jelaslah bahwa al-Qur’an memiliki kehususan dan keistimewaan yang

sangat tinggi. Dari sudut pandang eksternal apabila bisa dikatakan

demikian al-Qur’an adalah satu-satunya kitab, sementatar Bibel adalah

perpustakaan besar yang menghimpun berbagai kitab yang banyak

(ingat bentuk plural “Biblia)” dalam bahasa Yunani..

Penulis juga menambahkan bahwa al-Qur’an merupakan

khazanah sastra arab yang berdiri sendiri berbeda dengan Richard Bell

yang menimbang keorisinalitas al-Qur’an dengan sistem rima, puisi,

soneta, dan prosa, serta pengumpulan dan sebagainya hal ini sangatlah

tidak relvan dan tidak tepat.

Di samping itu yang harus perlu dipahami dalam mengkaji al-

Qur’an itu harus mempersiapkan perangkat-perangkat tafsir sehingga

produknya tidak dinilai cenderung parsial yang subjektif, dalam hal ini

apa yang digagas oleh Bell masih bersifat parsial semata-semata

karena kurangnya pemahamannya mengenai perangkat tafir dan ulum

al-Qur’an. serta perlunya melihat sastra al-Qur’an pada isi yang

mengagumkan, universal, prediktif, komprehensif dan adaptif. Dan hal

inilah yang tidak disentuh oleh Bell di dalam hipotesanya di atas. Dia

menyiratkan ketidakteraturan surat-surat, tema-tema, serta ia

menganggap adanya iltifat dalam suatu ayat hal ini ia nilai adanya

intervensi pihak luar dalam upanya penyusunan redaksi al-Qur’an.

Penulis juga menambahkan sebagaimana peryataan Dr.

Musthafa as-Siba’i dalam karyanya al-Istisriqaq wal Mustasriqun,

beliau menilai bahwa orientalis sesungguhnya tidak mengambil ilmu

dari gurunya. Mereka berlaku setera seperti anak-anak kecil,

melompat-lompat padanya, lalu keluar dalam bentuk kependetaan.

Kemudian memasukkan kepalanya dalam kebingungan impian. Dan

menyangka jika ia memiliki sesuatu padahal tidak diketahuinya.

C. Kontribusi Richard Bell terhadap teori Nasikh-Mansukh dan Ulum al-

Qur’an .

Keterkaitan Richard Bell dalam memberikan kontribusi dalam bidang

nasikh-mansukh dan ulum al-Qur’an, hal ini tidak bisa terlepaskan dari

keterpengaruhan muridnya yaitu: W. Montgomery Watt, sebagaimana ia akui,

di dalam karyanya Bell’s Introduction to the Qur’an ia telah berhasil

menyempurnakan karya gurunya itu.361

Dalam pentas sejarah pengembangan nasikh-mansukh oleh para

mufassir muslim dalam membentuk suatu karya tentunya tidak bisa

terlepaskan juga dari keterkaitan oleh murid-muridnya sehingga menjadi

mahakarya yang sempurna, dalam hal ini sebagaimana mufassir muslim

seperti M. Abduh dan M. Rasyid Ridha dalam menyempurnakan karya

gurunya itu, kini karya itu masyhur dengan sebutan Tafsir al-Manar, menurut

Ibrahim Ahmad al-‘Adawiy, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Rif’at as-

Sauqi, peryataan beliau sebagai berikut:362

Bahwa orang yang paling dekat dengan M. Abduh adalah M. Rasyid

Ridha, sebab, sebagaimana diakui oleh Rasyid Ridha sendiri, kedekatan dan

keterkaitan seorang murid kepada gurunya yang senantiasa memberikan

tuntutan dan bimbingan, sebagaimana yang berlaku dalam kebiasaan dan

pandangan kaum sufi. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan nasikh-

mansukh dan ulum al-Qur’an seperti tokoh mufassir muslim klasik ini seperti:

Imam Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalalu al-Din asy-Suyuti, yang pada

akhirnya lahirlah karya yang fenomenal mayshur dengan sebutan Tafsir

Jalalain, al-Qur’anul Karim. 363

361 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh, at the University

Press, 1991, hlm. v 362 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah

Akidah dan Ibadah, Jakarta, Paramadina, cet I, 2002, hlm. 43 363 Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura, Haramain, t.th., hlm. 366-

378

Di dalam pengembangan teori nasikh-mansukh dan Ulmu al-Qur’an

rupanya terdapat nilai positif maupun negatif, meskipun ia seorang orientalis

yang dikritik habis-habisan oleh cendikiawan muslim. Adapun dalam bentuk

negatifnya sebagaimana penulis sudah dijelaskan di awal pada bab III dan IV.

Richard Bell secara tidak langsung sudah meberikan kontribusi

terhadap para cendikiawan muslim, mereka merasa terpanggil untuk

mengasah kemampuan akal mereka, ketika ada permasalah yang mencuat di

belantika disiplin ilmu yang terkait dengan ilmu-ilmu tafsir, sehingga para

mufassir seakan-akan mendapat ilmu baru, dan membuka cakrawala yang Bell

kembangkan, meskipun teorinya di tentang. Sedangkan dalam pengembangan

ulum al-Qur’an bahwa Bell memberikan langkah yang patut kita semua

memberikan apresiasi sedalam dalamnya kepada Bell, dengan susah payahnya

beliau dapat menemukan sejarah dari kronologi al-Qur’an secara instan dapat

di nikmati oleh pecinta ilmu arkeologi dan fiolologi dalam mengembangkan

kajian Islam, meskipun konsepnya oleh cendikiawan muslim ditentang.

Didalam pengembangan khazanah ilmu-ilmu al-Qur’an, Bell ternyata

banyak didukung oleh orientalis kontemporer yang mana pandangan mereka

positiif, diantaranya adalah: W. Motgomery Watt, Marshall G.S Hodson, John

O. Voll, John L. Esposito, dan Joques Jomier, di mana mereka dinilai oleh

kalangan cendikiawan Muslim bahwa kajian yang mereka kontribusikan

merupakan suatu investestigasi awal tentang al-Qur’an, tidak saja menarik

untuk dibaca tatapi juga dapat menghentikan pemikiran kita dalam memberi

penilaian terhadap mereka, para sarjana orientalis ini, yang mempunyai

kepedulian terhadap al-Qur’an. terlepas dari pretensi sebagai seorang Kristen

yang ingin mendalami al-Qur’an, ia telah memberikan kontribusi penting

dalam khazanah Ulum al-Qur’an yang sedikit tidaknya telah membuka mata

cakrawala para pemberhati studi al-Qur’an.

Seiring munculnya Renaissans, munculah alasan-alasan baru dalam

studi Islam, Pertama, adanya rasa ingin tahu tentang budaya-budaya asing,

khususnya filologi klasik yang menjadi paradigma untuk memahami budaya

lain. Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik orang Eropa yang

meningkatkan volume penjalanan kedunia Timur. Ketiga, lahirnya studi al-

Kitab dan semitis dengan menjadikan studi bahasa dan teks-teks Arab sebagai

alat yang bermanfaat.364

Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan berbagai

gagasan dan sudut pandang yang berkembang dikalangan sarjana baik muslim

maupun Barat tentang pewahyuan secara kronologis al-Qur’an yang

terbentang sekitar 23 tahun, baik ketika Nabi menetap di Mekkah maupun

setelah Nabi hijrah ke Madinah.

Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, berbagai sistem penanggalan

yang mendasarkan diri pada asumsi surat sebagai unit wahyu terlihat tidak

memadahi serta tidak setia kepada karekter asasi bahan-bahan tradisional

penanggalan al-Qur’an itu sendiri. Karena itu asumsi, tradisonal lainnya

tentang bagian-bagian al-Qur’an sebagai unit wahyu mesti dipegang kembali

dalam upanya pemberian penanggalan terhadap kitab suci tersebut.365

Menurut Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pengabean,

menanggapi berbagai aransmen kronologis yang dikemukakan para sarjana

baik muslim maupun Barat, memiliki kelemahan tertentu, aransemen-

aransemen kronologi yang didasarkan pada asumsi surat sebagai unit wahyu

orisinal tentu saja memiliki sejumlah kelemahan, terutama karena dalam satu

surat mungkin ayat-ayatnya turun tidak secara sekaligus.

Bahan-bahan tradisonal, seperti hadist, as-babun nuzul, nasikh-

mansukh, dan lain-lain banyak memperlihatkan bagian-bagian individu al-

Qur’an bagian-bagian ayat, dari beberapa ayat dan sejumlah kecil surat

pendek-sebagai wahyu orisinal. Dengan demikian menurut keduanya, bahwa

asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Hirschfeld dan Richard Bell tentang

bagian-bagian induvidual al-Qur’an sebagai unit wahyu menurutnya dapat

dibenarkan.

Sebagaimana mufassir muslim seperti Aisyah bin as-Sya’ti mengklaim

kebenaran final dengan makna “riil” al-Qur’an tersebut, tetapi salah satu

364 Abdul Basith Junaidi, (et,al), Islam dalam Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet I, 2009, hlm. 252.

365 Dadan Rusmana, op. cit., hlm. 328.

keuntungan yang dapat diperoleh dari studi-studi karya Bintu as-Sya’ti dan

Amin Kulli tentunya akan sama, juga tidak dikatakan mengungguli

keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam studi tafsir-tafsir klasik yang

tingkat pentingnya tampaknya dihargai tinggi oleh para sarjana Barat.

Menurutnya mufassir sejati memang sangat jarang kebanyakan karya

tafsir merupakan suatu bentuk campuran dari jenis tafsir kendati begitu semua

karya tentang al-Qur’an berisi diskusi-diskusi filologis secara luas. Bahkan

semua tafsir yang mengkaitkan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan

modern. Namun orang harus ingat rata-rata kalangan muslim modern, karena

latar belakangan pendidikan dasar memengaruhinya, lebih memahami secara

baik masalah-masalah filologi yang dimunculkan oleh al-Qur’an dari pada

rata-rata orang Kristen Barat terhadap teks dan masalah-masalah filologi

Injil. 366

Penelusuran di atas juga mengimplikasikan kebutuhan akan sistem

kronologi yang baru. Sistem kronologi ideal, menurut Taufik Adnan Amal dan

Syamsu Rizal, semestinya dilandaskan atas beberapa asumsi berikut:

Pertama, unit wahyu orisinal adalah bagaian-bagian pendek al-Qur’an

dapat berupa potongan ayat-ayat, atau surat-surat pendek. Untuk

mengidentifikasi unit wahyu orisinal ini, gagasan atau tema, gaya al-Qur’an,

serta bahan-bahan tradisional dapat dijadikan pegangan.367

Kedua, dalam menatapkan penanggalan suatu unit wahyu orisinal,

perkembangan misi kenabian Muhammad dan komunitas muslim pada masa

kewahyuan al-Qur’an mesti menjadi rujukan historis yang pasti, maka

penanggalannya bisa ditetapkan secara lebih tepat, misalnya QS: (30): 2-5,

berisi tentang kekalahan Bizantium atau Persia, surat Ali Imran QS: (3), 121-

129 tentang perang Badar, QS; at-Taubah (9): 25-27, tentang perang Hunain,

dan lain-lain. Jika unit wahyu berisi suatu tema yang hanya muncul pada

periode tertentu, penanggalannya munkin ditetapkan, seperti tema Jihad yang

hanya muncul pada periode Madinah.

366 J. J. G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta, Tiara Wacana, cet I, 1997, hlm. 123-124.

367 Ibid., hlm. 329.

Demikian pula, jika unit wahyu berisi suatu tema yang muncul dalam

periode tertentu, penanggalannya juga dapat dilakukan, seperti tema Anshar

dan Muhajirin yang hanya muncul setelah Nabi Muhammad dan para

pengikutnya yang berasal dari Mekkah hijrah ke Madinah. Di samping itu,

bahan-bahan tradisional juga dapat memberikan petunjuk di dalam

penanggalan unit-unit wahyu tertentu. Dengan demikian, tugas berat dalam

penyusunan kronologi al-Qur’an berpangkal dari pembacaan ulang terhadap

sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw., dan komunitas muslim masa

kenabian.

Penyusunan sistem kronologi yang dicita-citakan itu membutuhkan

upaya-upaya keserjanaan yang serius butuh waktu yang lama, terlebih lagi

untuk kepentingan tafsir tematik. Untuk sementara capaian-capaian yang ada

dibidang kronologi al-Qur’an dapat dimanfaatkan sebagai pijakan kasar dalam

studi-studi al-Qur’an dan Tafsir. Para pengkaji al-Qur’an diharapkan agar

tidak bertumpu pada suatu penanggalan saja, melainkan mampu

memanfaatkan keseluruhan sistem teknologi secara optimal perhatian terhadap

konteks sastra al-Qur’an serta perkembangan misi kenabian Muhammad saw.,

dan komunitas muslim pada periode pewahyuan akan memberi arah pada

pengkaji dalam menetapkan rangkaian kronologi untuk studi lanjut

berdasarkan sistem-sistem penanggalan yang ada.368

Tentu saja asumsi ini megimplementasikan kemustahilan penyusunan

surat-surat al-Qur’an dalam suatu tatanan kronologis, dan akan menjadikan

penentuan penanggalan bagian-bagian al-Qur’an sebagai sebuah pekerjaan

yang amat kompleks, bahkan mungkin tidak dapat selesaikan secara konklusif.

Minimnya informasi historis yang akurat tentang unit-unit wahyu yang

menjadi karekteristik utama-utama riwayat asbab al-Nuzul akan merupakan

kendala terbesar dibidang ini.

Dengan demikian, langkah utama dalam penyusunan kronologi

semacam ini adalah penentuan unit-unit wahyu dalam sebagian besar surat al-

Qur’an yang memiliki kandungan ayat dari periode pewahyuan. Seperti

368 Ibid., hlm. 329.

terlihat di atas, ada kesepakatan dalam berbagai sistem penanggalan mengenai

sejumlah kecil surat yang dipandang sebagai unit-unit wahyu oirisinal. Baik

dari periode Makiyah ataupun dari Madaniyah.

Dalam kasus semacam ini, pekerjaan yang tersisa menentukan masa

pewahyuannya secara lebih akurat. Tetapi sehubungan dengan surat-surat

yang memiliki kandungan unit wahyu dari berbagai masa. Maka penentuan

unit-unitnya barangkali dapat dilakukan dengan menerapkan metode analisis

sastra yang berpijak pada kesatuan gagasan dan gaya al-Qur’an baik prosaik

maupun puitis atau analisis wacana. Selain itu bahan-bahan tradisional juga

akan memberi kontribusi dalam hal ini.

Teori yang menyatakan bahwa susunan al-Qur’an sering disebabkan

beberapa bacaan ditulis pada sisi belakang lembaran lain, hal ini dijabarkan

secara rinci untuk seluruh al-Qur’an oleh Richard Bell. Namun hasilnya

dimasukkan dalam karyanya Transilation dengan berbagai alat tipografi

sebagai mana pembagian ditengah halaman. Makin kita kaji hasil ini, makin

kita terkesan oleh jerih payahnya dan kepiawaiannya. Karya yang sangat rinci

ini akan mendapat perhatian oleh para cendikiawan selama waktu yang lama.

Dalam hipotesisnya tentu tidak boleh kita tolak begitu saja, satu hal

yang adalah bahwa sudah ada naskah tulisan sejak zaman awal sekali. Bahwa

mungkin ada beberapa versi tulisan mengenai bagian-bagian Quran yang

disimpan oleh orang-orang berbeda.369

Namun, menurut Bell, ini tidak semata-mata khusus pada dokumen

tertulis, melainkan dengan istimewa penanggalan dokumen itu menurut dia

menjadi penyebab beberapa aspek pengurutan teksnya. Harus diakui apa yang

dikatakannya memang terkadang terjadi. Sebaliknya ada surah dalam (80 dan

96) yang menyatukan bagian-bagian yang tidak berhubungan; dan Bell

rupanya hanya menerima kenyataan ini tanpa mencoba menerpkan teorinya.370

Jadi bisa disimpulkan bahwa, setidaknya selama beberapa waktu,

siapapun yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan al-Quran tidak terlalu

369 Ibid., hlm. 92. 370 Ibid., hlm. 93.

mencemasi tidak hanya berkesinambungan alur pikiran dalam surah bisa saja

terjadi tanpa disebabkan penulisan bacaan di belakang surah lain. Ini membuat

beberapa rekonstruksi Richard Bell yang panjang lebar (seperti dalam contoh

(surah 2 dan 9) semakin meragukan.

Dalam kasus tertentu pasti tidak ada kepastian yang besar mengenai

cara yang tepat untuk menerapkan hipotesanya, tetapi seandainya

penerapannya sudah tepat, itu tidak akan menambah apa-apa kepada

pemahaman kita tentang Islam awal. Dalam hal ini hipotesa Bell bertentangan

dengan bukti yang menunjukkan adanya revisi dan perubahan. Kalau analisis

bacaan tentang qiblat benar, maka itu menambah wawasan kita mengenai

dalamnya reorintasi kebijakan negara Islam sekitar bulan maret sekitar tahun

624.371

Mengisyaratkan bahwa Nabi Muhmmad menerima wahyu dan

mengombinasikannya (dan barang kali menyesuaikan) dengan wahyu

sebelumnya. Ini menyiratkan lebih jauh bahwa wahyu mungkin diulang,

barangkali dsengan istilah yang agak berbeda. Ini menjadi semakin penting

jika kita ingat banyaknya jumlah pengulangan frase lanjutan-lanjutan

alternatif.

Jadi, mungkin saja dengan berasumsi bahwa beberapa bacaan sudah

diwahyukan dalam bentuk yang agak berbeda dalam kesempatan yang

berbeda, yang diingat oleh orang muslim perorangan dalam bentuknya yang

berbeda-beda, bahwa para ‘pengumpul’ menghadapi masalah yang luar biasa.

Mereka tentu tidak ingin melewatkan sekecil apapun wahyu yang orisinil,

namun jumlah bahannya begitu luas sehingga tidak mungkin mencakup

semuanya. Hal ini bisa menjelaskan mengapa beberapa teks Utsmani terasa

perlu, sehingga dalam hal ini teori nasikh-mansukh yang ditawarkan oleh

Richard Bell, dapat memberikan suatu kontribusi terhadap perkembangan

Ulum al-Qur’an dan perlu digaris bawahi betapa perlunya kajian secara rinci

yang telah dilakukan oleh Richard Bell atas teks al-Quran diperhalus.372

371 Ibid., hlm. 93. 372 Ibid., hlm. 94.

Terlepas dari kekurangan yang ada dalam teori naskh mansukh yang

Richard Bell kontruksikan itu sekiranya dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan tafsir yang ada di indonesia, tentu saja dengan memperhatikan

lokalitas budaya dan konteks keindonesiaan. Pada waktu yang sama perlu para

cendikiawan didorong untuk memusatkan perhatian pada bagian-bagian dari

pokok bahasan nasikh-mansukh dan Ulum al-Qur’an yang dapat memberikan

sumbangan untuk memperdalam pemahaman tentang khazanah keilmuan

dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an di masa-masa awal Islam.

Menurut penulis dalam mengkontekstualisasikan teori nasikh-

mansukh harus dibagun berdasarkan perinsip-prinsip sebagai berikut:

pertama, menjaga hal-hal yang subtantif dan konstan (ihtiram ats-tsawabit)

yang menjadi kesepakatan bersama secara rasional yang menjadi komunitas

akademi mufassir sehingga akan melahirkan produk tafsir yang lebih otoritatif

yang lebih otoritatif-intersubjektif dan tetap mencerminkan pandangan yang

pluralistik, bukan monolitik, kedua, untuk menghindari pemaksaan gagasan

ekstra Qur’ani seperti yang di lakukan oleh Richard Bell, al-Qur’an tidak

boleh diposisikan sebagai justifikasi teori ilmiah, tatapi hanya boleh

diposisikan sebagai inspirasi dan motivasi bagi pengembangan ilmu

pengetahuan, ketiga, pengembangan tafsir di era kontemporer ini tidak harus

meninggalkan turats (warisan keilmuan masa lalu) sama sekali sehingga

terjadi diskontinuitas sejarah keilmuan menganai teori nasikh-mansukh.

Sebab, apa yang dianggap sebagai turats tidak berguna di saat sekarang boleh

jadi akan berguna disaat yang akan datang.

Dalam hal ini penting yang harus di catat bahwa perubahan

pengembangan nasikh-mansukh meniscayakan perubahan dan pengembangan

konstruksi nasikh-mansukh. Sebab, bila zaman dan kondisi telah berubah,

tatapi jika konstruksi nasikh-mansukh yang digunakan tidak berubah maka

perkembangan nasikh-mansukh sangat mungkin akan berjalan di tempat.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan deskripsi, analisis sekaligus mengkritisi

teori nasikh-mansukh Richard Bell dalam buku Bell’s Introduction to the

Quran, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara eksplisit orientalis ini mengakui nasikh al-Qur’an dalam arti

pembatalan, penghapusan, dan penggantian ayat terdahulu dengan ayat

yang datang kemudian. hanya saja dalam teorinya dia mengembangkan arti

derevisi revisi itu sendiri, yang cenderung diartikan memasukkan,

menambah, mengurangi, memaksakan ayat-ayat al-Qur’an kepada ayat –

ayat yang lain. Menurut Richard Bell bahwa al-Qur’an memiliki kegandaan

sumber wahyu, yaitu Allah sebagai sumber utama dan Muhammad SAW.

Menurut Bell, unit-unit wahyu orisinal terdapat dalam bagian-bagian

pendek al-Quran. Hal ini disebabkan pandangannya yang menempatkan

Muhammad sebagai revisor al-Quran, walaupun dalam koridor inisiatif

illahi.

Munculnya orientalis Richard Bell, karena dipengaruhi serta

termotivasi dengan kepentingan politis pada waktu itu, sehingga kajiannya

terlihat prejudistik, dari pada karya yang objektif. Ia juga mengatakan

bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah hasil modifikasi orang-

orang Muslim setelah kematian Muhammad, Bell, Ia juga menyimpulkan

bahwa sumber historis utama dari ajaran-ajaran al-Qur’an adalah agama

Kristen. Sehingga metodologi yang digunakan Richard Bell dalam hal ini

adalah melalui pendekatan historis dan filologis dengan dua pendekatan itu

menurutnya sudah dapat mengupas al-Qur’an, dari sisi penafsirannya.

Metode kritis historis dan filologis Richard Bell yang diramu

dengan metode tematik yang dilahirkannya agaknya dimaksudkan untuk

mereformasi kesan adanya kontradisi internal dalam al-Qur’an yang dahulu

menjadi alasan para ulama untuk menggulirkan konsep nasikh-mansukh.

Implikasi tersebut jika diaplikasikan kedalam bentuk teori revisi

Richard Bell terhadap penafsiran al-Qur’an menurutnya: bahwa al-Qur’an

bersifat“ de-sakralisasi” teks yang mengarah pada kontektualisasi makna

teks, dalam arti bahwa ketentuan tekstual yang bersifat legal-formal dapat

diketepikan demi meraih nilai ideal moralnya. Hanya saja, bagi Richard

Bell, untuk sampai pada makna kontekstual tersebut, seorang mufassir

harus menemukan original meaning terlebih dahulu melalui pendekatan

sosio-historis.

Sebab, bentuk-bentuk pengetahuan Richard Bell termasuk bentuk

penafsirannya, pada situasi tertentu ia cenderung berkuasa dan menjadi

juru tafsir satu-satunya yang dianggap benar atau realitas. Akibatnya ia

cenderung otoriter dan menyingkirkan tafsir-tafsir lain yang di anggap

menyimpang dari mainstream pemikiran yang umum. Dalam konteks ini

Richard Bell termasuk salah seorang orientalis dengan menyandang gelar

mufassir kontemporer yang menggunakan nalar kritis untuk memberikan

kritik dan revisi terhadap hasil penafsiran konvensional para ulama

sebelumnya.

2. Banyak cendikiawan muslim yang menilai Richard Bell di dalam

memberikan kontribusi terkait dengan aplikasi penafsiran ayat-ayat yang

dianggap mengalami revisi (nasikh-mansukh) para ulama yang hidup di

masanya atau setelahnya mereka merasa terpanggil untuk memberikan

kritikan sangat tajam, sedangkan para orientalis yang hidup dimasanya juga

menilai bahwa Richard Bell bersifat sangat ambisius, hingga pada akhirnya

tidak ada respon dari sekoleganya.

Di dalam memahami dan mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang

dia anggap mengalami nasikh-mansukh, Bell berusaha memaksa al-Qur’an

agar bisa berbicara sendiri dengan menekankan pada aspek metodologinya,

penulis sepakat dengan pandangan Fazlur Rahman Rahman bahwa

rasionalisasi penafsiran yang terlalu dipaksakan justru cenderung

mengabaikan dimensi sastra dan aspek kesejarahan. Akibatnya

penafsirannya terhadap teori nasikh-mansukhnya tersebut menjadi

ahistoris. Oleh karena itu, para ulama dan cendikiawan seperti Abu Hayyan

al-Andalusi, asy-Syathibi, Rasyid Ridha, Amin Kulli, Ibn Khaldun,

Mustafa az-Azami, Musthafa as-Siba’i, Nasr Hamid Abu Zaid dan Yusuf

Qordowi mereka kecenderungan tafsir yang demikian menolak.

Dengan metode tematik Richard Bell yang diaplikasikannya ke

dalam seluruh konsep nasikh mansukhnya dalam al-Qur’an. penulis

mengatakan bahwa ia bersikap (pemaksaan) takalluf di mana ayat-ayat

yang setema dapat dielaborasikan sedemikian rupa untuk merekonstruksi

dan menemukan Weltaneshcaung al-Qur’an mengenai tema yang dikaji.

Dengan demikian Richard Bell, merupakan salah satu dari sekian

banyak orientalis yang secara tegas memploklamirkan teori nasikh-

mansukh terhadap ayat-ayat al-Qur’an, hal ini membuat para cendikiawan

muslim menjadi gerah terhadap apa yang dilakukan oleh Richard Bell

terkait dengan penafsiran ayat yang di anggapnya mengalami revisi, para

ulama sepakat dan menilai bahwa Richard Bell, sekali lagi cenderung untuk

memaksakan ayat-ayat al-Qur’an (takalluf) agar masuk dalam konsepnya,

di samping itu para cendikiawan juga menilai bahwa apa yang

dilakukannya cenderung menyelewengkan (iltifat) terhadap ayat-ayat al-

Qur’an, baik dalam bentuk ayat yang mengalami korelasi (muansabah)

suatu ayat terhadap ayat yang lain. Sehingga hal ini cenderung memicu

bahwa al-Qur’an terasa keluar dari manhajnya, baik dari manhaj bayaniy,

burhaniy. Dan ‘irfaniy.

Kelemahan teori revisi Richard Bell ini adalah bahwa ia hanya

dapat diterapkan untuk memehami ayat-ayat hukum dan sulit atau bahkan

tidak bisa diterapakan untuk menafsirkan ayat-ayat non hukum. lagi pula,

terdapat jarak yang terlalu jauh antara situasi sekarang dengan saat

ditrurnkanya al-Qur’an sehingga menurut hemat penulis tetap ada unsur

subjektivitas penafsir di dalamnya. Dengan demikian, bisa jadi apa yang

disebut sebagai makna otentik tidak lagi benar-benar otentik (quasi

otentik).

Penulis juga menilai bahwa ketika Richard Bell menjelasakan dan

menguraikan tentang konsep teori revisi ia cenderung gegabah dalam

mengambil sikap terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang pada akhirnya dinilai

cenderung mengeksploitasi serta memanipulasi ayat-ayat al-Qur’an juga

kurangnya pemahaman mengenai teori nasikh-mansukh sebagaimana apa

yang telah dilakukan oleh para ulama dan cendikiawan muslim lainnya.

3. Sekian banyaknya kritikan tajam yang ditujukan kepada Richard Bell,

seorang sarjana dari kebangsaan Inggris ini, penulis sampaikan bahwa

keterkaitannya dengan teorinya terhadap ayat-ayat yang mengalami nasikh-

mansukh, sebagaimana apa yang dilakukan oleh cendikawan ulama, pada

dasarnya teori revisi yang dilakukan oleh Richard Bell menjadikan suatu

sumbangsih keilmuan tersendiri bagi sarjana-sarjana sesudahnya, terlepas

dari konsepnya yang bertolak belakang.

Namun, dalam hal ini ada kaitannya dengan Ulum at-Tafsir, di

mana kajian ini menjadi pangkal dari teori nasikh-mansukh yang Richard

Bell telah lahirkan dengan berdasarkan konsep-konsepnya, penulis

mengatakan diakui atau tidak, baik secara langsung atau tidak, penulis

menilai bahwa apa yang dilakukan Richard Bell secara tidak langsung

sudah memberikan kontribusi yang relevan bagi kita serta banyak

mengajarkan kepada kita semua, terlepas dari konsepnya yang cenderung

memaksakan serta dianggap memanipulsi ayat-ayat al-Qur’an.

Penulis menilai bahwa apa yang dilakukan Richard Bell, terkait

dengan teorinya merupakan langkah awal secara tidak langsung Richard

Bell adalah orientalis yang pertama kali yang pernah mengukir sejarah,

yang pada akhirnya dapat mewarisi generasi-generasi sebelum maupun

sesudahnya dari sejumlah tokoh orientalis, meskipun gagasannya banyak

ditolak dan diremehkan oleh sekoleganya, hal itu tidak mempengaruhi

pemikirannya. Richard Bell juga memiliki jalur transmisi keilmuan yang

cukup relevan dari jejak pendahulu-pendahulunya, hingga pada akhirnya

dapat melahirkan teori revisi, begitu juga halnya apa yang telah dilakukan

oleh cendikiawan muslim yang tidak bisa terlepas dari jejak pendahulunya

hingga akhirnya mereka melahirkan teori nasikh-mansukh serta dapat

melahirkan cendikiawan-cendikiawan sesudahnya.

B. Saran- Sarana

1. Konsep naskh merupkan objek kajian yang sangat penting dan krusial juga

kajian yang bersifat sensitif. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian dan

kehati-hatian agar jangan terjadi kesemena-menaan dalam menetapkan

apakah nas telah dinasikh atau tidak, jangan hanya persoalanya karena

ditemukan adanya pertentangan dengan nass lannya.

2. Melihat minimnya penelitian kajian-kajian orientalis, hendaknya institut

memperkaya literatur-literatur orientalis guna mendorong kajian-kajian

yang intensif sebagai upanya menciptakan iklim keterbukaan untuk

berdialog dengan kajian mereka, juga melatih kalangan akademisi

bersikap lebih kritis.

3. Untuk mengembangkan penafsiran di indonesia, diperlukan keberanian

intlektual untuk mengubah paradigma epistemologi penafsiran nasikh-

mansukh dari nalar ideologis ke nalar kritis. Sebab, perkembangan tafsir

nasikh-mansukh sangat dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan

dari waktu ke waktu. Denga demikian, meski situasi dan kondisi telah

berubah, bila epistemologi tafsirnya tidak berubah maka pengembangan

tafsirnya akan mengalami stagnasi. Akibatnya, tafsir akan terjebak pada

pengulangan pendapat-pendapat masa lalu yang belum relevan dengan

konteks ke indonesiaan. Bahkan jangan sampai mengalami kemandulan

dalam memberi solusi terhadap prolem sosial keagamaan masyarakat

kontemporer.

4. Karena konsep naskh mengalami perkembangan dan waktu ke waktu,

maka masih banyak untuk diperbincangkan kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama,

Bandung: Diponegoro, 2007

‘Ala, Abdul. Dari Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2003

Abi Bakr, asy-Suyuti, Jalal al-Din Abdur Rahman bin al-Durr al-Mansur, fi al-Tafsir al-Ma’stur, Juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1990

Al-Ghazali. Syaikh Muhamma dimata Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung: Mizan, cet III,1997

Aceh, Abu Bakar, Sejarah al-Qur’an, Solo: Ramadhani, cet VI, 1989

Adzalimi, Agung Abdul Khalifah, Jamu Al-Qur’an, Dirasat Tahliliat Li Marwiyat, Berut: Lebanon, Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1971

Abyadi, Ibrahim. Sejarah al-Qur’an, Terj. Halimuddin S.H., Jakarta: Rineka Cipta, cet I, 1992

Ali bin Muhammad, as-Syaukani, Al-Imam Muhammad bin, Fath Al-Qadir, Baina al-Riwayat wa al-Dirayah min Ulum al-Tafsir, juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1994

Azami, Mustafa. Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Terj. Sohirin Solihin, (et,al), Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005

Ali Dukhruj dan Kamil Musa. Kaifa Mafham al-Qur’an, Dirasat fi al-Madzahib al-Tafsiriyyah wa Ittijahatiha, Beirut: Lebanon, 1992

Amal, Taufik Adnan dan Pengabean, Syamsu Rizal. Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 1989

_________________, Sejarah Rekontruksi Al-Qur’an, Yogyakarta: FKBA, cet I, 2001

_________________, “al-Qur’an dimata Barat” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 1, 1990

_________________, Islam Tantangan Modernitas, Studi atas Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, cet III, 1992

Abdullah, Amin. “Perlunya Sikap Oksidentalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992

Aminudin. Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: Sinar baru Al-Gensindo, 1995

Anwar, Rahison. Pengantar Ulum al-Qur’an, Bandung: Pustaka setia, Cet, I, 2009

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2008

Armas, Adnin, Metodologi Bebel dalam Stusi al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005

Armas, Adnin. Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani, cet II, 2004

Ashabuni, Ali. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, ’alaam al-kutub, t.k, t.th

Azra, Ayzumardi. Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: Paramadina, cet I, 1999

Badawi, Abdur Rahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroeni Drajat. Yogyakarta: LKiS, cet II, 2003

Baharun, Hasan. Islam Esensial; Kajian Membumikan Suanah Rasulillah, Jakarta: Pustaka Amani, cet I, 1998

Baiquni, N. A, (et.al), Indeks Al-Qur’an, Cara Mencari Ayat al-Qur’an, Surabaya: Arkola, t.th

Baqi, Muhammmad Fu’ad Abdul. Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzil al-Qur’an, Dar al-Fikr, cet II, 1981

Bell, Richard, To The Quran Translation with a Critical Re Arenggement of the Surah. 2 Jilid. Edinburgh: T& T Clark, t.th

Burton, John. The Source Of The Quran Law, Islamic Theories Of Abrogation Of The Quran, Edinbugh, 1990

Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasyid, Jakarta: Bulan Bintang, 1980

Cummings, Louise. Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2007.

David Power. “The Exegicial Genre Nasikh Al-Qur’an wa mansukhuhu”, dalam andrae Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Quran, oxford, 1988

Denffer, Ahmad Von. Ulum al-Qur’an, An Introduction to the Sciences of the Quran,

Dzahabi, Muhammad Husein. Penyimpangan-Penyimpangan dalam Penafsiran, Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, cet I, 1986

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme, Edisi Rsevisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet 1, 2010

Fath, Amir Faisal. The Unity of al- Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, cet I, 2010

Fauzi, Ihsan Ali “Studi Islam Agenda Timur-Barat”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu Dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992

G. S. Hodgson, Marshall. The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradapan Dunia Masa klasik, Jakarta: Paramadina, cet I, 2002

Ghazali, Muhammad. Syaikh dimata Dr. Yusuf Qardawi, Terj. Drs. Masykur Hakim, Bandung: Mizan, cet III, 1997

Hanafi, Hasan. Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terj. Asep Usman Ismail (et,al), Jakarta: Paramadina, cet I, 2003

Husaini, Adian. Wajah Peradapan Barat; dari Hegemoni Kristen ke dominasi Sekuler Liberal, Jakarta: Gema Insani, cet I, 2005

Huges, Thomas Patrick. Dictonary of Islam, India: Cosmo Publication, 1982

Ismail, Muhammad Bakr. Dirasat fi Ulum Alqur’an, cet I. Beirut, Dar al-Manar, 1991

Ibn Jauzi, al-Farsy al-Baghdadhi, Al-Hafidh Jamaluddin Abi al-Farj Abd al-Rahman Nawasikh al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, t.th

Ibn Arabi, al-Ma’afiri, al-Qadhi Abi Bakr Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Abdillah Maliki, Naskh wa al-Mansukh fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet III, 2006

Jamal, Muhammad. Membuka Tabir Upaya Orientalis Islam, Alih Bahasa, As’ad Yamin, Bandung: Dipenogoro, cet I, 1991

Jumantoto, Totok dan Amin, Samsul Munir. Kamus Ushul Fiqh, t.k, Amzah, cet I, 2005

Jassin, H. B, Kontoversi al-Qur’an Bewajah Puisi, Jakarta: Grafiti, cet I, 1985

Junaidi, Abdul Basith (et,al), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2009

Jansen, J. J. G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet I, 1997

Jomier, Jacques. Horizon al-Qur’an, Membahas Tema-Tema Unggulan dalam al-Qur’an, Terj. Hasan Basri, Jakarta: BKTAP, cet I, 2002

Jakub, Ismail H, Tk, Orientalisme dan Orientalisten, prihal Ketimuran dan Para Ahli Perihal Ketimuran, Surabaya: C.V. Faizan, t.th

Jursy, Shalahuddin. Membumikan Islam Progesif, Terj. M. Aunul Abied Shah, Jakarta: Paramadina, cet I, 2004

Karman, M. & Supiana. Ulumul Qur’an, dan Pengenalan Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cet 1, 2002

Khaalil, Shawki Abu, Ph. D., Membela Agama Tauhid; Argumen Ilmiah untuk Menjawab Cercaan Orientalisme terhadap Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2005

Khalil, Abu Syauqi. Islam Menjawab Tuduhan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet I, 2006

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Singapura: Haramain, cet II, 2004

Khudori, Darwis. “Catatan atas le Coran Jacquis Berque”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. V, No. 2, 1994

Kabbani, Rana. Menggugat Kesalah Pahaman Barat, Terj. Julia Sumanto dan Samsiah Soedamo, Jakarta: Temprint, cet II, 1992

Maraghiy, Ahmad Mushtafa. Tafsir al-Maraghiy, Juz I, Beirut: Dar al-Turats al-Arabiy, cet III, t.th

M, M. Ghalib. Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina, cet I, 1998

Mahfudz, Muhsin “Arah Baru Hubungan Orientalisme dan Oksidentalisme”, dalam Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 13, No. 1, Tahun 2009

Manna’ al-Qattan. Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Singapura: Haramain, t.th

Mahmud, Mustafa. Dialog dengan Atheis, Terj. Maimun Syamsudin, Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet I, 2002

Martin, Richard C. ”Analisis Struktural dan al-Qur’an, pendekatan baru dalam kajian teks Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 4, Tahun 1992

Moh, Natsir, Mahmud “Al-Qur’an di mata Barat, Studi Evaluatif”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 12, Januari- Maret 1994

Muhammad, Muslih. Religious Studies, Problem Hubungan Islam Barat Kajian Atas Pemikiran, Karel A. Steenbrink, Yogyakarta: Blukar, cet I, 2003

M. Echols, Johan dan Shadily. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet XXVI, 2005

Mukid, Abdul. Nasikh-Mansukh menurut Quraish Shiahab, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuludin, IAIN Walisongo Semarang, 2001

Mustaqim, Abdul, (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana, cet I, 2002

_______________, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, cet I 2011

_______________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet 1, 2008

Na’im, Abdullah Ahmad. Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, cet I, 1994

Namr, Abd Mun’im. Ulum al-Qur’an al-Krim, Bairut: Dar al-Kitab, cet II, 1983

Nabi, Malik bin. Fenomena al-Qur’an, Terj. Saleh Mahfoed, Bandung: al-Ma’arif, 1983

Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2011

Nawawi, Imam. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Juz 6, Mesir: Al-Hijazi, Jilid III, t.th

Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Jakarta: Paramadina, cet I, 2002

Nurmawan, Sulamul Hadi. Nasikh Mansukh Menurut Pemikiran Abdullah Ahmad an-Na’im, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadits, UIN SUKA, Yogyakarta, 2003

Partanto, Pius A, & Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th

Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, cet II, 2000

Qutb, Sayyid. Tafsir Fi Dhilalil al-Qur’an, Jilid I, Beirut- Dar Syuruq, cet XVII, 1992

Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomoderisme Islam, Bandung: Mizan, t,th

_____________. Islamic Revelation, Edinburgh at the University Press, 1969

_____________. Pokok-Pokok Tema dalam al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, cet II, 1996

Rais, M. Amin. “Belajar Ke Barat, Tapi Anti Orientalis”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 5, No. 3, Tahun 1992

Rohman, Abujamin. Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, cet II, 1990

Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar, Jilid I, Beirut: Lebanon, Dar-Ilmiyah, t.th

Rofiq, A, (ed.), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, cet I, 2004

Rusmana, Dadan. al-Qur’an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka Setia, cet 1, 2006

Rabbani, Wakhid Bakhsh Capt. Sufisme Islam, Terj. Burhan Wirasubrata, Jakarta: Sahara publishers, cet I, 2004

Shiddiqie, T.M. Hasbiy, Sejarah dan Pengantar Tafsir dan Ulumul Qur’an, Cet VII, Jakarta: Bulan Bintang, 1980

Sibagh, M. Bin Lutfi. Limahat fi Ulumul Qur’an, wa at-Tijahat al-Tafsir, Lebanon: Maktabah Islamiy, cet III, 1990

Suyuti, Muhammad Jalaluddin. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid I, t.th

Syahbah, Abu Muhammad Syaikh. Studi al-Qur’an al-Karim,Menelusuri Sejarah Turunnya al-Qur’an, Terj. Tafik Rahman, Bandung: Pustaka Setia, cet I, 1992

Syaikh, Ahmad. al-Mustaqqafun al-‘Arab wa al-Gharb, Kairo: al-Markaz al-‘Ara liddirasat al-‘Arabiyah, cet I, 2000

Said, Edward W. Oreintalisme Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Objek, Terj. Ahmad Fawaid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 2010

Salim, Fahmi. Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Prespektif kelompok Gema Insani, cet I, 2010

Sumaryono. Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius, 1993

Sou’yb, Joesoef. Orientalis dan Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1985

Senoung, Ilham B. Hermeneutik Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Bandung: Teraju, cet II, 2002

Shahrur, Muhammad. Metodelogi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta: Elsaq, Cet V, 2008

Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: Elsaq, Cet I, 2005

Shalih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Lebanon, Dar al-‘Ilm, lil Malayin, cet XVII, 1988

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, cet XV, 1992

______________. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, cet II, 2008

Steenbriink, Karel A. Mencari Tuhan Dengan Kaca Mata Barat, Fakultas pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, Jilid III.

Stefan Titscher, (et.al), Metode Analisis Teks dan Wacana, Terj. Ghazali, (et.al), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet I, t.th

Soetapa, Djaka. “Ibn Hazm atau As-Syahrastani, Kumpulan Makalah Seminar, seri INIS, Jilid VII, Jakarta: 1990

Suma, M. Amin. “Nasikh Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i”, dalam Jurnal Al- Insan, Kajian Islam, Vol. 1, No. 1, Januari 2005

Syafruddin, Amir. Ushul Fiqih, Jilid I, Jakarta: Kencana Media Group, cet IV, 2009

Syamsuri, dan Kusmana. Pengantar Kajian al-Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, cet I, 2004

Tahan, Abu Habsin Mahmud. Taisir al-Musthalah al-Hadits, Singapura, Jidah, Indonesia, al-Haramain, 1985

Thabathaba’i, Al-‘Alamah Husein. al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an, Jilid XVIII, Iran-Muassasah Isma’iliyan, cet V, 2000

Thabari, Muhammad bin Jarir, Abi Ja’far, Tafsir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an, Juz I, Beirut: Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet I, 1992

Wansbrough, John. Quranic studies, London: Oxfrod University Pess, 1977

Watt, W. Montgomery. Bell’s Introduction to the Quran, Edinburgh: Edinburgh at the University Press, 1991

___________________. Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Pers, cet II, 1995

___________________. Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: PT Raja Garfindo, cet I, 1997

___________________. Pengantar al-Qur’an, Terj. Lilian D. Tejasudhana, INIS, 1998

Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah Al-Qur’an Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Bandung: Diponegoro, 2007

Zahrudin. Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam as-Syafi’i, Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang, 1998

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Terj. Saefullah Ma’sum (et.al), Jakarta: Pustaka Firdaus, cet IX, 2005

Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, cet V, edisi revisi, 2005

Zarkasyi, Abdullah. al-Burhan fi-Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, cet II, 1988

Zarqani, Abd Azhim. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Bairut: Lebanon, Dar al-Fikr, Jilid II, 1988

Zuhail, Wahbah. Tafsir Munir, Beirut: Lebanon, Dar al-Fikr al-Muassar, jilid I, cet I, 1991

Zaid, Musthafa. an-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Dirasat Tasyri’iyyah Tariyyati Naqdiyyah, Jilid I, Dar al-Wafa, al-Mansyurah, cet III, 1987

http://anwarsy.files.wordpress.com 2012/01/ kajian orientalis terhadap al-Qur’an-Hadis. PDF diunduh pada 18 Maret 2012.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Moch. Khoirul Anam Tempat Tanggal Lahir : Demak, 18 Agustus 1989 Alamat : Bukit Meranti, Belilas. Kec. Seberida.

Kab. Rengat Pekanbaru- Riau Alamat Domisili Semarang : Bagun Harjo, RT/03RW/08, kec.

Tembalang-Semarang Nama Ayah : Sudarmo Pekerjaan Orang Tua : Wiraswata Alamat E-Mail : [email protected] No. Hp : 085641982348 / 085326676868 Latar Belakang Pendidikan a. Pendidikan Formal : SDN 042 Pulau Burung Tembilahan Riau

(1995-2001) : MTs. Futuhiyyah 1 Mranggen Demak (2002-2005) : MAK Futuhiyyah 1 Mranggen Demak (2004-2008) : IAIN Walisongo Semarang, Jurusan Tafsir Hadits

b. Pendidikan Non-Formal : PON-PES Al-Anwar Suburan Mranggen Demak Pengalaman Organisasi : Anggota HMJ Tafsir-Hadits 2008-2009

: Anggota SMF Fakultas Ushuluddin 2010-2011

Penulis, Moch. Khoirul Anam NIM: 084211008