Upload
vuongtruc
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ii
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS AKSELERASI TINGKAT SMP DI KOTA AMBON
OLEH
DENSY DAYANA PATTIRUHU
802010016
TUGAS AKHIR
DiajukanKepadaFakultasPsikologiGunaMemenuhiSebagian Dari PersyaratanUntukMencapaiGelarSarjanaPsikologi
Program StudiPsikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
ii
ii
ii
ii
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA SISWA KELAS AKSELERASI TINGKAT SMP DI KOTA AMBON
Densy Dayana Pattiruhu
Chr. Hari Soetjiningsih
Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
i
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. Sebanyak 70
siswa kelas akselerasi pada SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 6 Ambon diambil sebagai
sampel yang dilakukan dengan mengunakan teknik sampel jenuh. Pengumpulan data
kecerdasan emosional dilakukan dengan skala emotional intelligence dan skala penyesuaian
sosial. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment dengan
menggunakan bantuan SPSS 20 for windows. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien
korelasi (r) 0.447 dengan signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif
dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas
akselerasi. Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki
oleh siswa kelas akselerasi maka semakin tinggi pula penyesuaian sosialnya.
Kata Kunci: Kecerdasan emosional, penyesuaian sosial, siswa akselerasi.
ii
ABSTRACT
The purpose of this research is to find out the relationship between emotional
intelligence and social adjustment of Junior High School students in the accelerated classes in
Ambon. The sampling technique used in this research is saturated sampling technique with 70
students of the accelerated classes in SMP Negeri 1 and SMP Negeri 6 in Ambon. The data
collection of emotional intelligence is done by applying the scale of emotional intelligence
and the scale of social adjustment. The technique of data analysis utilized in this research is
the correlation technique of product moment assisted by SPSS 20 for Windows. The result of
the data analysis shows that there is a correlation coefficient (r) 0,447 with significance = 0,
000 (p < 0.05) which means that there is a positive and significant relationship between
emotional intelligence and social adjustment of the students in the accelerated classes. It
means that the higher the emotional intelligence of the students in the accelerated classes, the
higher the social adjustment.
Key Words : Emotional Intelligence, Social Adjustment, Accelerated Students.
1
PENDAHULUAN
Setiap anak yang mengikuti pendidikan di sekolah kemampuannya sangat
bervariasi. Kemampuan mereka ada yang di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata-
rata. Pendidikan bagi anak yang membutuhkan pendidikan khusus tidak sama dengan
anak-anak yang normal. Munandar (1992) menyebutkan bahwa bagi anak-anak yang
menyimpang ke atas (anak berbakat) maupun anak-anak yang menyimpang ke bawah
(anak yang dalam keadaan kurang atau cacat) membutuhkan pendidikan khusus agar
kemampuan-kemampuannya dapat dikembangkan sepenuhnya. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Wandasari (2004) agar potensi dan kebutuhannya dapat berkembang
secara optimal perlu diadakan layanan pendidikan khusus bagi remaja yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata. Salah satu program bagi anak-anak tersebut adalah
percepatan belajar atau program akselerasi.
Hawadi (2004) menjelaskan bahwa dengan adanya kelas akselerasi dapat
mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang mendukung berkembangnya
potensi siswa dan memacu siswa meningkatkan kecerdasan spiritual dan emosional
secara seimbang. Southern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa keuntungan yang potensial dari pelaksanaan akselerasi antara lain,
peningkatan efisiensi, peningkatan efektivitas, peningkatan waktu untuk
mempersiapkan masa depan, peningkatan produktivitas dan keuntungan ekonomis.
Selain memberikan dampak positif, program akselerasi juga memberikan dampak
negatif terhadap penyesuaian sosial dan penyesuaian emosional remaja. Menurut
pengamat pendidikan Darmaningtyas (dalam Primasari, 2008) bahwa kelas akselerasi
hanya mempercepat perkembangan kognitif peserta didik tetapi tidak mempercepat sisi
afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain bahwa kelas akselerasi hanya berorientasi
2
pada tataran kognitif saja. Hal ini membuat siswa akselerasi mengalami berbagai
permasalahan salah satunya masalah penyesuaian sosial. Seperti yang dikemukakan
oleh Maimunah (2009), dari hasil penelitiannya yang menemukan bahwa tidak semua
siswa akslerasi di SMPN 1 dan MAN 1 Malang memiliki penyesuaian sosial yang baik.
Hasil analisa data menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki kemampuan
penyesuaian terhadap emosi yang lebih baik dibandingkan dengan penyesuaian
sosialnya. Adapun dampak yang dirasakan para siswa tersebut selama mereka menjadi
siswa akselerasi bahwa waktu istirahat dan bermainnya kurang, temannya sedikit,
dikucilkan oleh teman lain atau dimusuhi oleh kakak kelasnya, dianggap sok dan tidak
bisa bebas mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Selain itu, dampak secara emosi yang
dirasakan adalah kekhawatiran atau takut bila mendapatkan nilai buruk dan merasa
malu jika nilainya lebih jelek jika dibandingkan dengan teman-temannya yang berada di
kelas reguler.
Hasil penelitian Anggoro (2008) juga menunjukkan bahwa siswa akselerasi
cenderung mengalami masalah-masalah terkait masalah pribadi, hubungan sosial,
kebiasaan belajar, penyesuaian terhadap sekolah atau kurikulum, penggunanaan waktu
luang dan masa depan yang berhubungan dengan jabatan. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh siswa kelas
akselerasi yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Hal ini juga diperkuat dengan
pernyataan Gibson (1980) mengatakan bahwa kelemahan utama program akselerasi
adalah menyangkut penyesuaian sosial. Richardson dan Benbow (1990) juga
berpendapat sama, bahwa dampak negatif dari program akselerasi adalah perkembangan
sosial dan emosional siswa.
3
Permasalahan terkait penyesuaian sosial juga terjadi pada siswa kelas akselerasi
SMP di kota Ambon. Berdasarkan fenomena yang penulis dapatkan dari hasil observasi
dan wawancara dengan guru dan siswa pada SMP Negeri 6 dan SMP Negeri 1 Ambon
menunjukkan bahwa sebagian siswa kelas akselerasi mengalami kesulitan dalam
melakukan penyesuaian sosial. Dari hasil wawancara kepada beberapa siswa kelas
akselerasi di SMP Negeri 1 Ambon pada 11 November 2013, mengatakan bahwa ada
beberapa siswa kelas akselerasi yang suka menyendiri, teman mereka terbatas dan
jarang berteman dengan yang lain. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat wali
kelasnya bahwa ada beberapa anak kelas akselerasi yang terlibat berselisih paham
dengan anak lain dan tidak bergaul dengan siswa dari kelas reguler.
Selain itu, menurut salah satu siswa kelas akselerasi SMP Negeri 6 Ambon yang
diwawancarai pada 23 Desember 2013, penulis mendapat gambaran bahwa di dalam
kelas ada anak yang saling bermusuhan dan ada juga anak yang saat belajar senang
mengganggu anak lain. Menurut penjelasan salah satu guru, siswa kelas akselerasi
terkadang tidak menghormati orang lain khususnya pada guru-guru baru yang sedang
praktik di sekolah tersebut. Mereka sering membuat kegaduhan saat di kelas, tidak
memperhatikan dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sulit sehingga guru-guru
tersebut tidak mampu menjawabnya.
Selain itu, dari hasil pengamatan seorang siswa kelas akselerasi di rumah, siswa
tersebut sering bertengkar dengan saudara yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua
darinya dan menunjukkan sikap keras kepala pada orangtuanya. Siswa tersebut lebih
senang bermain dengan teman-temannya atau pergi bersama teman dibanding
membantu orangtua di rumah.
4
Menurut Dharamvir, Tali dan Goel (2011) sekolah merupakan salah satu tempat
penting di mana anak-anak dapat melakukan kontak dengan teman sebaya, membentuk
persahabatan dan berpartisipasi dalam kelompok sosial dengan anak lain. Namun,
berdasarkan wawancara pada guru, tidak semua anak-anak kelas akselerasi pada kedua
sekolah terlibat aktif dalam kegiatan organisasi maupun ekstrakulikuler. Bahkan ada
siswa yang sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan ekstrakulikuler. Waktu mereka
banyak tersita untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Hal
ini sesuai dengan salah satu indikator dari penyesuaian sosial yan dikemukakan oleh
Schneiders (1964) terkait penyesuaian di sekolah.
Selain itu, para siswa kelas akselerasi menghabiskan waktu belajar rata-rata 9 jam
ke atas dan tekadang waktu istirahat juga digunakam siswa untuk membaca materi
pelajaran berikutnya atau mengerjakan tugas di dalam kelas daripada berinteraksi
dengan teman-temannya. Aktivitas yang padat tersebut membuat mereka menjadi
berkurang kesempatannya untuk bergaul dan berinteraksi dengan teman-temannya
karena dituntut untuk selalu belajar.
Baker dan Siryk (dalam Cohon & Guliano, 1999) mengatakan bahwa penyesuaian
sosial berhubungan dengan bagaimana hubungan seseorang dengan orang-orang di
sekitarnya terutama lingkungan sekolah, dan bagaimana dia berhasil untuk mengikuti
kegiatan sosial dan berfungsi baik di lingkungan sosialnya. Penyesuaian sosial sangat
diperlukan siswa akselerasi untuk mampu berinteraksi dan menjalin hubungan sehat dan
akrab dengan lingkungannya.
Kepadatan materi yang diberikan pada siswa akselerasi akan mengurangi aktivitas
sosialnya terutama berkaitan dengan tugas perkembangan usianya. Hal ini akan
mempengaruhi keberhasilan dirinya dalam menjalin hubungan sosial dengan
5
masyarakat luas atau dengan kata lain siswa tersebut rentan memiliki tingkat
penyesuaian sosial yang rendah (Primasari, 2008).
Individu yang sukses dalam perkembangan sosial biasanya memiliki kepandaian
bergaul, pandai mencari teman, dan mampu menjaga perasaan orang-orang yang
menjadi temannya. Kegagalan dalam tugas perkembangan ini menyebabkan
unhappiness atau ketidakbahagiaan. Selain itu, pada masa remaja juga berkembang
kognisi sosial yaitu kemampuan memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik
menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahaman ini
mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan sebayanya
(Yusuf, 2009). Untuk itu, remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian
sosial yang baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Papalia, dkk. (2004) mengatakan bahwa salah satu poin ciri masa remaja (13-17
tahun) adalah memiliki masalah yang berhubungan dengan keadaan jasmaninya,
kebebasannya, nilai-nilai yang dianutnya, peranan pria dan wanita dewasa, lawan jenis,
masyarakat dan kemampuan mengerjakan sesuatu yang terkadang sukar untuk
diselesaikan karena menganggap orangtua dan guru terlalu tua untuk mengerti pikiran
dan perasaannya.
Gunarsa (2000) juga menyebutkan bahwa, karena kurang baiknya penguasaan
tugas-tugas perkembangan menimbulkan tidak sedikitnya remaja yang berperilaku
antisosial maupun asusila. Menjadi tugas remaja untuk mengatasi masalah tersebut, agar
menimbulkan kebahagian pelaksanaan tugas perkembangan selanjutnya. Gunarsa
(2000) menyimpulkan tugas perkembangan remaja yang amat penting adalah mampu
menerima keadaan dirinya, memahami peran seks atau jenis kelamin, mengembangkan
6
kemandirian, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial, menginternalisasikan
nilai-nilai moral, dan merencanakan masa depan.
Kecerdasan emosional adalah hal yang esensial yang perlu dimiliki untuk dapat
suskes dalam melakukan penyesuaian (Adeyemo, 2006). Penyesuaian sosial
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kecerdasan emosional seperti yang
diungkapkan Engelberg dan Sjoberg (2004) bahwa kecerdasan emosional merupakan
salah satu fakor yang dapat menentukan keberhasilan penyesuaian sosial seseorang.
Selain kecerdasan emosional, ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi
penyesuaian sosial seperti yang dikemukakan oleh Ketsetzis, Ryan dan Adams (1998)
bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang yaitu proses
dalam keluarga, interaksi orang tua dan anak, dan karakteristik anak akan
mempengaruhi penyesuaian sosialnya.
Kecerdasan emosional ini terlihat dalam beberapa hal seperti bagaimana remaja
mampu menilai ekspresi emosi yang dutunjukan orang lain maupun diri sendiri, mampu
mengatur emosi dan dapat memanfaatkan emosi dalam menyelesaikan masalah
(Salovey & Mayer, 1990). Remaja yang telah memiliki kecerdasan emosi akan lebih
terampil dalam menenangkan dirinya. Menurut Gottman (1997) remaja yang belajar
mengenali dan menguasai emosinya akan menjadi lebih percaya diri, lebih sehat fisik
dan psikis, dan cenderung akan menjadi orang yang sehat secara emosi.
Siswa kelas akselerasi tingkat SMP termasuk ke dalam kategori remaja awal.
Shouthern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa siswa akselerasi akan
mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi serta akan mengalami
social maladjustment karena siswa akselerasi kekurangan waktu beraktivitas dengan
teman sebayanya. Namun, bila anak-anak telah memiliki kecerdasan emosional, mereka
7
dapat mengatasi dampak negatif terhadap penyesuaian sosial yang mereka rasakan dari
diadakannya program akselerasi.
Dari hasi penelitian yang dilakukan oleh Punia dan Sangwan (2011)
mengemukakan bahwa siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi
menunjukkan penyesuaian sosial yang baik juga. Adeyemo (2006) mengemukakan
bahwa ada hubungan yang signifikan diantara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian diri, selain itu kecerdasan emosional juga memiliki kontribusi pada
penyesuaian sosial dan penyesuaian akademik siswa SMP.
Eksperimen yang dilakukan Jdaitawi, Ishak dan Mustafa (2011) pada mahasiswa
baru di North Jordan menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh
pada penyesuaian sosial dan akademis mahasiswa baru. Meskipun dalam penelitian
tersebut tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol pada penyesuaian sosial dan akademis mereka.
Penelitian Engelberg dan Sjoberg (2004) mendapati hasil bahwa kecerdasan emosional
memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial. Studi yang dilakukan oleh Mestre, Guil,
Lopes dan Olarte, (2006) pada 127 remaja Spanyol mendukung hipotesis yang
menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan positif dengan indikator
dari penyesuaian sosial dan akademis di sekolah.
Dari penjelasan di atas, penulis melihat masih kurangnya penelitian yang
mengambil subjek siswa yang memiliki keberbakatan di kelas akselerasi. Hal inilah
yang mendasari penulis melakukan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan
emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota
Ambon.
8
Penyesuaian Sosial
Penyesuaian sosial penting di miliki setiap individu khususnya remaja, agar dapat
diterima di lingkungan sosialnya. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial adalah
suatu kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi.
Penyesuaian ini dilakukan individu terhadap lingkungan di luar dirinya, seperti
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat.
Baker dan Siryk (dalam Cohorn & Guliano, 1999) mendefinisikan penyesuaian
sosial sebagai kemampuan individu untuk berhubungan dan terlibat dengan aktivitas
sosial dalam kelompok di sekolah dan keberhasilan hubungan interpersonal individu.
Penyesuaian sosial tersebut berhubungan dengan bagaimana hubungan seseorang
dengan orang-orang di sekitarnya terutama lingkungan sekolah, dan bagaimana dia
berhasil untuk mengikuti kegiatan sosial dan berfungsi baik di lingkungan sosialnya.
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial seseorang dapat dilihat pada 3
situasi berikut, yaitu :
a. Penyesuaian di rumah dan keluarga
Penyesuaian di rumah dan keluarga ditunjukkan oleh individu melalui kemampuan
menjalin hubungan baik dengan anggota keluarga, mampu menerima otoritas
orangtua, menerima tanggung jawab dan batasan-batasan dalam keluarga,
membantu keluarga sebagai individu maupun kelompok dalam mencapai tujuan,
memiliki kebebasan secara bertahap dan tumbuh kemandirian pada individu dalam
keluarga.
b. Penyesuaian di sekolah
Penyesuaian sosial yang baik juga ditunjukkan individu di lingkungan sekolah
melalui kemampuan untuk menghormati dan mau menerima peraturan sekolah,
9
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, memiliki hubungan yang ramah dengan
teman-teman, guru dan pembimbing, bersedia menerima batasan dan tanggung
jawab sebagai siswa di sekolah dan mampu membantu sekolah dalam mencapai
tujuan-tujuannya.
c. Penyesuaian di masyarakat
Penyesuaian sosial ditunjukkan individu melalui kebutuhan untuk mengakui dan
menghormati hak-hak orang lain, individu mampu memelihara jalinan
persahabatan dengan orang lain, memiliki minat dan simpati pada kesejahteraan
orang lain, mampu merealisasikan minat dan simpati tersebut lewat amal dan sikap
altruisme, mampu menghormati nilai-nilai hukum, tradisi dan kebiasaan yang ada
dalam masyarakat.
Menurut Schneiders (1964) buruknya penyesuaian di rumah akan diikuti dengan
sulitnya melakukan penyesuaian sosial di sekolah atau di masyarakat dan sebaliknya,
ketika individu tidak mampu menempatkan diri di lingkungan sosial mungkin akan
mengganggu penyesuaian individu di rumah.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Penyesuaian individu tidak dapat lepas dari pengaruh dalam diri maupun luar
dirinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut.
Ketsetzis, Ryan dan Adams (1998) menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi
penyesuaian sosial seseorang yaitu proses dalam keluarga, interaksi orang tua dan anak,
dan karakteristik anak akan mempengaruhi penyesuaian sosialnya.
Faktor lain yang turun mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang adalah
kecerdasan emosional seperti yang dikemukan oleh Adeyemo (2006) bahwa kecerdasan
10
emosional turut mempengaruhi penyesuaian sosial. Penelitian lain yang juga
mengatakan bahwa kecerdasan emosional dapat mempengaruhi penyesuaian sosial
individu adalah seperti penelitian yang dilakukan oleh Punia dan Sangwan (2011),
Jdaitawi, Ishak dan Mustafa (2011), Engelberg dan Sjoberg (2004), Mestre et al, (2006),
sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang turut mempengaruhi
penyesuaian sosial seseorang adalah kecerdasan emosional. Selain itu, faktor budaya
juga diprediksi ikut andil terhadap penyesuaian sosial individu, sebab latar belakang
budaya akan mempengaruhi pembentukan sikap, nilai, dan norma seseorang
(Schneiders, 1964). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor–faktor
yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah proses dalam keluarga dan interaksi
orangtua-anak, karakteristik seseorang, kecerdasan emosional, dan kebudayaan
seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian sosial.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan hal yang perlu dimiliki oleh individu selain
kecerdasan intelektual. Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan bahwa kecerdasan
emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memonitor emosi diri dan orang
lain, mampu membedakan emosi tersebut serta menggunakannya sebagai informasi
untuk menuntun pikiran dan perilaku individu. Dari perspektif ini, ada tiga aspek utama
yaitu penilaian ekspresi emosi, pengaturan emosi dan pemanfaatan emosi dalam
menyelesaikan masalah.
Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan bahwa ketiga aspek tersebut meliputi:
a. Penilaian ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)
Merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri secara verbal maupun
nonverbal dan kemampuan untuk mengenali emosi orang lain melalu persepsi emosi
11
secara nonverbal dan mampu berempati merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain.
b. Pengaturan emosi (regulation of emotional)
Merupakan kemampuan individu untuk memonitor, mengevaluasi dan mengatur
emosi dalam diri sendiri dan juga mampu mengatur dan mengubah sikap orang lain.
c. Pemanfaatan emosi dalam penyelesaian masalah (utilization emotions in solving
problems)
Merupakan kemampuan individu untuk memanfaatkan emosi mereka sendiri untuk
memecahkan masalah dengan perencanaan yang fleksibel, mampu berpikir kreatif,
memiliki fokus pada masalah yang ada meskipun emosi yang kuat terjadi serta
mampu menggunakan suasana hati untuk memotivasi diri sendiri.
Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial pada Siswa
Kelas Akselerasi Tingkat SMP di Kota Ambon
Siswa akselerasi memiliki potensi yang lebih tinggi dari siswa biasa, terutama di
bidang akademik. Oleh karena itu siswa akselerasi mendapatkan wadah khusus agar
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dapat berkembang dengan baik.
Menurut Southern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) selain memberikan dampak positif,
program akselerasi juga memberikan dampak negatif terhadap penyesuaian sosial dan
penyesuaian emosionalnya. Dalam kelas akselerasi, siswa akan didorong untuk
berprestasi dalam bidang akademiknya sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas
dengan teman sebayanya. Menurut Soemantri (2006) karakteristik kognitif yang tinggi
pada anak berbakat belum tentu disertai dengan terjadinya perkembangan emosi yang
tinggi pula. Maimunah (2009) menemukan bahwa anak-anak ini memiliki intelegensi
12
yang tinggi namun mereka sering menghadapi permasalahan emosional, baik yang
bersumber dari diri mereka maupun dari dalam diri mereka.
Kecerdasan emosional adalah hal yang esensial yang perlu dimiliki untuk dapat
suskes dalam melakukan penyesuaian (Adeyemo, 2006). Penyesuaian sosial
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah kecerdasan emosional seperti yang
diungkapkan Engelberg dan Sjoberg (2004) bahwa kecerdasan emosional merupakan
salah satu fakor yang dapat menentukan keberhasilan penyesuaian sosial seseorang.
Shouthern dan Jones (dalam Hawadi, 2004) menjelaskan bahwa siswa akselerasi akan
mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi serta akan mengalami
social maladjustment karena siswa akselerasi kekurangan waktu beraktivitas dengan
teman sebayanya. Namun, bila anak-anak telah memiliki kecerdasan emosional, mereka
dapat mengatasi dampak negatif terhadap penyesuaian sosial dan penyesuaian
emosional yang mereka rasakan dari diadakannya program akselerasi.
Dari hasi penelitian yang dilakukan oleh Punia dan Sangwan (2011)
mengemukakan bahwa siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi
menunjukkan penyesuaian sosial yang baik juga. Adeyemo (2006) mengemukakan
bahwa ada hubungan yang signifikan diantara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian diri, selain itu kecerdasan emosional juga memiliki kontribusi pada
penyesuaian sosial dan penyesuaian akademik siswa SMP.
Eksperimen yang dilakukan Jdaitawi, Ishak dan Mustafa (2011) pada mahasiswa
baru di North Jordan menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh
pada penyesuaian sosial dan akademis mahasiswa baru. Meskipun dalam penelitian
tersebut tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol pada penyesuaian sosial dan akademis mereka.
13
Penelitian Engelberg dan Sjoberg (2004) mendapati hasil bahwa kecerdasan emosional
memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial. Studi yang dilakukan oleh Mestre et al,
(2006) pada 127 remaja Spanyol mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional memiliki hubungan positif dengan indikator dari penyesuaian
sosial dan akademis di sekolah.
Dari penelitian-penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan
emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial, namun penulis melihat masih
kurangnya penelitian yang mengambil subjek siswa yang memiliki keberbakatan di
kelas akselerasi. Hal inilah yang mendasari penulis melakukan penelitian mengenai
hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas
akselerasi tingkat SMP di kota Ambon.
Hipotesis Statistik
H0 : Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon.
H1 : Ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon.
METODE PENELITIAN
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas akselerasi tingkat SMP di dua
sekolah berbeda yaitu SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 6 Ambon. Siswa kelas akselerasi
di SMP Negeri 1 Ambon berjumlah 18 siswa. Pada SMP Negeri 6 Ambon kelas dibagi
menjadi dua kelas yang masing-masing kelasnya berisi 26 siswa, sehingga jumlah siswa
kelas akselerasi sebanyak 52 siswa, sehingga jumlah partisipan dalam penelitian ini
adalah sebanyak 70 siswa kelas akselerasi.
14
Prosedur Sampling
Dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh yang artinya semua
populasi dijadikan sampel penelitian.
Pengukuran
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua alat ukur berupa skala
kecerdasan emosional dan skala penyesuaian sosial. Dalam skala kecerdasan emosional,
penulis memodifikasi skala tersebut dengan cara menerjemahkan skala asli ke dalam
Bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian penulis juga mengubah kalimat yang sulit
dipahami menjadi kalimat yang lebih jelas dimengerti untuk siswa SMP.
Skala kecerdasan emosional disusun oleh Schutte et al. (1998) yang terdiri atas
33 aitem dan disusun berdasarkan teori kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh
Salovey dan Mayer (1990) yang meliputi tiga aspek yaitu penilaian ekspresi emosi,
pengaturan emosi dan pemanfaatan emosi dalam penyelesaian masalah. Berdasarkan
hasil seleksi aitem didapatkan hasil dengan pengujian daya diskriminasi dan reliabilitas
sebesar 0,840 dengan 8 aitem gugur dan sisa 25 aitem yang valid dari 33 aitem.
Skala kedua yaitu skala penyesuaian sosial yang disusun oleh penulis
berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Schneiders (1964). Berdasarkan hasil seleksi
aitem didapatkan hasil dengan pengujian daya diskriminasi dan reliabilitas sebesar
0,854 dengan 12 aitem gugur dan sisa 27 aitem yang valid dari 39 aitem.
Penentuan-penentuan aitem valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2012)
yang menyatakan bahwa aitem pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila ≥
0,30 namun, karena aitem yang lolos jauh dari jumlah yang diinginkan maka batas
kriteria koefisien korelasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah ≥ 0,25.
15
Skala yang digunakan adalah skala likert. Salah satu contoh item skala
kecerdasan emosional yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: saya tahu kapan
harus berbicara tentang masalah pribadi saya kepada orang lain. Salah satu contoh item
skala penyesuaian sosial yang diambil dari item nomor 1 sebagai berikut: saya sering
berselisih paham dengan saudara saya.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan pengumpulan data dimulai
pada tanggal 15 Oktober 2014 di SMP Negeri 6 Ambon kemudian pada tanggal 20
Oktober 2014 di SMP Negeri 1 Ambon dengan cara, penulis langsung ke sekolah SMP
Negeri 6 dan SMP Negeri 1 Ambon untuk bertemu dengan subjek penelitian sebanyak
70 subjek siswa kelas akselerasi. Pada SMP Negeri 6 Ambon, kelas akselerasi A
berjumlah 26 siswa, dan kelas akselerasi B berjumlah 26 siswa. Sedangkan pada SMP
Negeri 1 Ambon, kelas akselerasi VII berjumlah 18 siswa. Angket yang disebar oleh
peneliti kepada subjek penelitian sebanyak 70 angket.
Sebelumnya, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri dan memberikan
penjelasan mengenai maksud dan tujuan peneliti melakukan penelitian kepada para
siswa dan meminta partisipasi siswa untuk berperan serta dalam penelitian ini dengan
mengisi angket yang disebarkan kepada mereka. Selama pengisian angket, siswa
diperkenankan bertanya jika ada materi yang terdapat di dalam skala dianggap sulit
dipahami atau tidak jelas. Selama pengisian angket, peneliti berada di dalam kelas untuk
memberikan penjelasan jika terdapat persoalan yang tidak dimengerti siswa. Setelah
pengisian angket selesai, angket langsung diberikan kepada peneliti dan peneliti
langsung mengecek angket yang telah diisi oleh siswa. Selama pelaksanaan penelitian
16
subjek-subjek dapat bekerjasama dengan baik dan cenderung menjawab setiap
pernyataan dengan baik.
Pada penelitian ini, sebelumnya penulis telah melakukan try out pada siswa SMP
dengan menguji bahasa dari aitem-aitem pada kedua skala. Dari hasil uji coba,
kebanyakan subjek tidak mengerti pertanyaan pada skala kecerdasan emosional seperti
pertanyaan nomor dua: ketika saya dihadapkan dengan masalah, saya ingat ketika saya
menghadapi masalah yang serupa dan saya mampu mengatasinya. Penulis kemudian
merevisi bahasa yang digunakan sehingga pertanyaan nomor dua berbunyi : saya
mampu mengatasi masalah yang pernah saya alami sebelumnya. Begitu pula dengan
item-item lainnya pada skala kecerdasan emosional. Data yang diperoleh dalam
penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan program komputer SPSS 20 for
windows.
Hasil
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogrov-Smirnov, variabel kecerdasan
emosional memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,063 dengan signifikansi sebesar p = 0,200 (p
> 0,05). Penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi menghasilkan nilai K-S-Z sebesar
0,066 dengan signifikansi sebesar p = 0,200 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
sebaran data kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi
merupakan sebaran data yang berdistribusi normal.
Uji Linearitas
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan
secara linear dengan variabel terikat atau tidak. Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai
17
Fbeda sebesar 1,216 dengan sig.= 0,283 (p > 0,05) yang menunjukkan hubungan antara
kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial adalah linear.
Analisis Deskriptif
Tabel 1. Kategorisasi pengukuran skala kecerdasan emosional No Interval Kategori Mean N Presentase 1 105 ≤ x ≤ 125 Sangat
Tinggi
95,19
14 20%
2 85 ≤ x < 105 Tinggi 45 64,28% 3 65 ≤ x < 85 Sedang 10 14,29% 4 45 ≤ x < 65 Rendah 1 1,42% 5 25 ≤ x < 45 Sangat
Rendah 0 0%
Jumlah 70 100% SD = 10,867 Min = 62 Max = 119
Berdasarkan Tabel di atas, dapat dilihat bahwa tidak ada siswa kelas akselerasi
yang memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori sangat rendah
dengan presentase 0%, 1 siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosional
yang berada pada kategori rendah dengan presentase 1,42%, 10 siswa memiliki skor
kecerdasan emosional yang berada pada kategori sedang dengan presentase 14,29%, 45
siswa kelas akselerasi memiliki skor kecerdasan emosional yang berada pada kategori
tinggi dengan presentase 64,28%, dan 14 siswa kelas akselerasi memiliki skor
kecerdasan emosional yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 20%.
Mean (rata-rata) sebesar 95,19, dapat dikatakan bahwa rata-rata kecerdasan
emosional siswa kelas akselerasi berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh
subjek bergerak dari skor minimum sebesar 62 dan maksimum sebesar 119 dengan
standar deviasi (SD) sebesar 10,867.
18
Tabel. 2 Kategorisasi pengukuran skala penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi
No Interval Kategori Mean N Presentase 1 113,4 ≤ x ≤ 135 Sangat
Tinggi
106,96
21 30%
2 91,8 ≤ x < 113,4 Tinggi 43 61,43% 3 70,2 ≤ x < 91,8 Sedang 6 8,57% 4 48,6 ≤ x < 70,2 Rendah 0 0% 5 27 ≤ x < 48,6 Sangat
Rendah 0 0%
Jumlah 70 100% SD = 11,566 Min = 83 Max = 132
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 21 siswa akselerasi memiliki skor
penyesuaian sosial yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 30%, 43
siswa akselerasi memiliki skor penyesuaian sosial yang berada pada kategori tinggi
dengan presentase 61,43%, 6 siswa kelas akselerasi memiliki skor penyesuaian sosial
yang berada pada kategori sedang dengan presentase 8,57% dan tidak ada siswa kelas
akselerasi yang memiliki skor penyesuaian sosial yang rendah maupun sangat rendah
dengan presentase 0%.
Berdasarkan rata-rata sebesar 95,19 dapat dikatakan bahwa rata-rata penyesuaian
sosial siswa kelas akselerasi berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek
bergerak dari skor minimum sebesar 83 sampai skor maksimum sebesar 132 dengan
standar deviasi sebesar 11,566.
19
Analisis Korelasi
Tabel 3. Hasil Uji Korelasi antara Kecerdasan Emosional dengan Penyesuaian Sosial
Correlations KE PS
KE
Pearson Correlation 1 .447**
Sig. (1-tailed) .000
N 70 70
PS
Pearson Correlation .447** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 70 70 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial sebesar 0,447 dengan sig. = 0,000 (p <
0.05) yang berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan
emosional dengan penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional, maka akan semakin tinggi pula
penyesuaian sosial siswa akselerasi.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi pada tingkat SMP di kota Ambon, didapatkan
hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional
dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon. Hal
ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,447 dengan signifikansi sebesar
0,000 (p < 0,05). Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional siswa kelas
akselerasi maka semakin tinggi penyesuaian sosial siswa tersebut dan sebaliknya,
semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin rendah penyesuaian sosial siswa
kelas akselerasi.
Ada beberapa kemungkinan kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial
memiliki hubungan positif yang signifikan. Ditinjau dari aspek-aspek kecerdasan
20
emosional yaitu penilaian ekpsresi emosi, pengaturan emosi dan pemanfaatan emosi
dalam menyelesaikan masalah, ditemukan bahwa ketika seseorang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi akan memiliki penyesuaian sosial yang baik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Engelberg dan Sjoberg (2004) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional memiliki hubungan dengan penyesuaian sosial.
Pertama, indikator pada aspek penilaian ekspresi emosi meliputi mengenali
emosi diri sendiri secara verbal maupun non-verbal, mengenali emosi orang lain secara
verbal maupun non-verbal, dan empati akan membuat individu dapat melakukan
penyesuaian sosial. Emosi non-verbal tersebut terlihat pada ekspresi wajah seseorang.
Ketika seseorang mampu mengenali ekpresi wajah orang lain maupun diri sendiri
dengan baik akan membantu individu dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan
sosialnya. McArthur dan Baron, (1983) mengatakan bahwa informasi yang diterima dari
ekspresi wajah orang lain dapat meningkatkan perilaku interpersonal yang dapat
menolong untuk meningkatkan kemampuan sosial seseorang.
Informasi yang didapat melalui ekspresi wajah berkaitan juga dengan verbal
terkait komunikasi yang dilakukan seperti nada suara dan gerakan badan yang
ditunjukkan seseorang. Misalnya, perkataan yang positif harus juga diikuti dengan
ekspresi wajah yang positif pula. Hal ini dapat diaplikasikan dalam melakukan
penyesuaian sosial baik di lingkungan keluarga ketika berbicara dengan orang tua,
maupun ketika berada di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Selanjutnya, Nagle dan Anand (2012) mengatakan bahwa empati juga
memberikan kontribusi yang besar dalam melakukan penyesuaian pada remaja. Empati
adalah mampu merasakan yang dirasakan oleh orang lain, remaja yang memiliki empati
terlihat lebih mampu memiliki interaksi yang baik dengan teman mereka sehingga
21
mereka memiliki penyesuaian sosial yang baik. Dari penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ketika seseorang memiliki penilaian ekspresi emosi yang baik maka
individu tersebut dapat bersosialisasi, membina hubungan dengan orang lain yang baik
sehingga dapat melakukan penyesuaian sosial dengan orang lain di sekitarnya.
Kedua, pengaturan emosi atau regulasi emosi, mengacu pada bagaimana
individu mampu memonitor, mengevaluasi diri dan mengatur emosi dalam diri sendiri.
Penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk mampu bersosialisasi dan
mampu membina hubungan dengan orang lain, maupun dengan lingkungan sekitar.
Untuk menampilkan hal tersebut, seseorang harus mampu mengendalikan dirinya sebaik
mungkin dalam bersosialisasi, sehingga mereka mampu melakukan penyesuaian sosial
yang maksimal. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan pengaturan emosi yang dimiliki
oleh individu.
Pengaturan emosi atau regulasi emosi memiliki peran yang penting dalam
penyesuaian sosial. Individu yang memiliki pengaturan emosi yang baik memiliki
pengendalian diri yang kuat untuk tidak meluapkan emosinya ketika berhadapan dengan
orang lain atau saat berada di lingkungan sosialnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Gottman (1997) yang mengatakan bahwa remaja yang belajar mengenali dan menguasai
emosinya cenderung akan menjadi orang yang sehat secara emosi.
Aspek ke tiga yaitu pemanfaatan emosi dalam menyelesaikan masalah melalui
perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, memiliki fokus pada masalah meskipun
emosi yang kuat terjadi dan mampu memotivasi diri sendiri juga dapat mendukung
terjadinya penyesuaian sosial yang baik. Menurut Denham, Izard dan Trentacosta
(dalam Izard, Stark, Trenacosta & Schultz, 2008), pengetahuan mengenai emosi dapat
memfasilitasi seseorang untuk memanfaatkan emosi yang dialami. Informasi emosi
22
yang diterima dapat mengarahkan pada pengetahuan emosi yang lebih akurat, yang
berkontribusi pada pemanfaatan emosi sehingga tercipta interaksi interpersonal yang
baik, perkembangan perilaku sosial yang adaptif. Ketika individu mampu memiliki
pengendalian diri atas emosi yang terjadi maka individu tersebut dapat menggunakan
cara-cara di atas untuk mengatasi emosi tersebut. Hal ini membuat individu menjadi
orang yang lebih dapat diterima di lingkungannya karena tidak meluapkan emosinya
pada orang lain, sehingga memiliki penyesuaian sosial yang baik.
Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi kecerdasan
emosional seseorang, maka tinggi pula penyesuaian sosialnya, sehingga individu
tersebut mampu beradaptasi atau bersosialisasi dengan sekitarnya baik itu di keluarga,
sekolah maupun dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa
kecerdasan emosional siswa kelas akselerasi berada pada kategori tinggi sebesar
64,29%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswi kelas akselerasi tingkat
SMP memiliki kecerdasan emosional yang baik. Begitu pula dengan penyesuaian sosial
siswa kelas akselerasi yang berada pada kategori tinggi sebesar 61,43%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswi kelas akselerasi memiliki kemampuan
penyesuaian sosial yang baik.
Selain itu, Jika dilihat sumbangan efektif yang diberikan kecerdasan emosional
terhadap penyesuaian sosial, kecerdasan emosional memberikan kontribusi sebesar
19,98% dan sebanyak 80,02% dipengaruhi oleh faktor lain di luar kecerdasan emosi
yang dapat berpengaruh terhadap penyesuaian sosial. Misalnya seperti faktor dari
lingkungan seperti budaya yang menurut Schneiders (1964) dapat mempengaruhi
pembentukan sikap, nilai dan norma seseorang dalam melakukan penyesuaian social,
23
selain itu faktor dari dalam diri seperti karakteristik individu juga dapat mempengaruhi
penyesuaian sosial seseorang. Ketsetzis, Ryan dan Adams (1998), juga menyebutkan
bahwa proses dalam keluarga seperti interaksi orang tua dengan anak juga turut
berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial anak. Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memberikan
kontribusi terhadap penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi, sehingga nampak jelas
bahwa kecerdasan emosional mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan
penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan sebagi berikut:
1. Ada hubungan positif yang signifikansi antara kecerdasan emosional dengan
penyesuaian sosial pada siswa kelas akselerasi tingkat SMP di kota Ambon.
Semakin tinggi kecerdasan emosional siswa maka semakin tinggi pula penyesuaian
sosial siswa kelas akselerasi.
2. Besarnya sumbangan efektif kecerdasan emosional sebesar 19,98%. Hal ini
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang
memiliki pengaruh terhadap penyesuaian sosial pada siswa akselerasi tingkat SMP
di kota Ambon.
24
3. Kecerdasan emosional sebagian besar siswa kelas akselerasi (64,29%) berada pada
ketegori tinggi dan penyesuaian sosial sebagian besar siswa kelas akselerasi
(61,43%) yang juga berada pada kategori tinggi.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, maka peneliti mengajukan saran kepada
beberapa pihak, sebagai berikut:
1. Bagi siswa kelas akselerasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi
tingkat SMP berada pada kategori tinggi. Para siswa disarankan dapat
mempertahankan bahkan bisa mengembangkan lagi diri mereka. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk mengembangkan diri siswa kelas akselerasi, yaitu
dengan cara meningkatkan kecerdasan emosional pada diri masing-masing siswa,
seperti siswa disarankan mengikuti training atau pelatihan yang kemudian didesain
khusus untuk anak usia remaja. Siswa juga diharapkan untuk terlibat aktif dalam
kegiatan di luar kegiatan belajar seperti berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakulikuler
yang ada.
2. Bagi sekolah dan guru.
Di sekolah, guru yang memegang peranan penting dalam mendidik para siswa.
Maka kepada pihak sekolah khususnya guru sebagai seorang fasilitator di sekolah,
disarankan lebih untuk tidak hanya mengejar materi dan hal-hal terkait akademis
siswa namun juga memperhatikan sisi psikologis terkait afektif para siswa. Selain
itu, meningkatkan kualitas mendidik dan mengajar siswa khususnya siswa kelas
akselerasi dengan menambah kelas BK, sehingga siswa kelas akselerasi ini mampu
meningkatkan kecerdasan emosional mereka untuk dapat melakukan penyesuaian
25
sosial yang lebih baik lagi saat berada di lingkungan sekolah maupun di luar
lingkungan sekolah.
2. Bagi peneliti selanjutnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di luar kecerdasan
emosional yang memengaruhi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sebesar
80,02%. Pengaruh yang sangat besar berasal dari variabel lain selain kecerdasan
emosional yang hanya berkontribusi 19,98% terhadap penyesuaian sosial.
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut penelitian ini dengan
mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat digunakan dengan metode
penelitian yang berbeda, sehingga terungkap faktor-faktor yang memengaruhi
penyesuaian sosial siswa akselerasi terutama pada tingkat SMP di kota Ambon
seperti budaya, proses dalam keluarga, interaksi orang tua dan anak, dan
karakteristik anak akan mempengaruhi penyesuaian sosialnya seperti kepribadian,
jenis kelamin, inteligensi, dan konsep diri. Selain itu, penulis menyadari bahwa
dalam penelitian ini terdapat kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis
seperti penentuan sampel yang tidak maksimal karena pada saat melakukan
penelitian di SMP Negeri 1 Ambon, kelas yang diwakilkan dalam penelitian ini
hanya 1 kelas yaitu kelas VII sehingga nampak keterlibatan kelas VIII dalam
penelitian ini tidak ada.
26
Daftar Pustaka
Adeyemo, D. A. (2006). The buffering effect of emotional intelligence on the adjustment of secondary school students in transition. Electronic Journal in Educational Psychology, 6(2), 79-90. Retrieved August 4, 2014, from EBSCOhost.
Anggoro, P. I. (2008). Masalah-masalah yang dihadapi dan harapan bantuan pemecahannya pada siswa kelas akselerasi dan siswa kelas reguler SMP Negeri di kota Malang. (Skripsi tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Negeri Malang, Malang.
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi (Edisi 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cohorn, C. A., & Giuliano, T. A. (1999). Predictors of adjustment institutional attachment in 1st-year college students. Psi Chi Journal of Undergraduate Research, 4(2), 47-56.
Dharamvir., Tali, D. B., & Goel, A. (2011). A comparative study on anxiety and emotional maturity among adolescents of coeducational and unieducational schools. ACADEMICA, 1(3), 2249-7137. Retrieved from http://www.saarj.com
Engelberg, E., & Sjoberg, L. (2004). Emotional intelligence, affect intensity, and social adjustment. Personality & Individual Diferencces, 37, 533-542.
Gibson, J. T. (1980). Psychology for the classroom (2th ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gottman, J. (2001). Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S. D. (2000). Psikologi praktis: Anak, remaja, dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.
Hawadi, R. A. (2004). Akselerasi a-z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Izard, C., Stark, K., Trentacosta, C., & Schultz, D. (2008). Beyond emotion regulation: Emotion utilization and adaptive functioning. Child Development Perspectives, 2(3), 156-163.
27
Jdaitawi, M. T., Ishak, N. A., & Mustafa, F. T. (2011). Emotional intelligence in modifying social and adjustment among first year university student in North Jordan. International Journal of Psychological Studies, 3(2), 1-7. doi:10.5539/ijps.v3n2p135
Maimunah, S. (2012). Gambaran penyesuaian sosial dan emosi siswa program akselerasi. Prosiding Seminar Nasional dalam rangka Konaspi CI+BI, 34-46. Diunduh pada tanggal 20 agustus 2013, dari http://report.umm.ac.id/index.php/researchreport/article/viewFile/373/484_umm_scientific_journal.pdf
McArthur, L. Z., & Baron, R. M. (1983). Toward an ecological theory of social perception. Psychological Review, 90, 215-238.
Mestre, J. M., Guil, R., Lopes, P. N., Salovey, P., & Gil-Olarte, P. (2006). Emotional intelligence and social and academic adaptation to school. Psicothema, 18, 112-117. Retrieved from http://www.psicothema.com
Munandar, U. (1992). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Jakarta: PT. Gramedia.
Nagle, Y. K., & Anand, K. (2012). Empathy and personality traits as predictors of adjustment in Indian youth [Abstract]. Industrial Psychiatry Journal, 21(2).
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development 9th
edition. New York: McGraw Hill Inc.
Primasari, A. (2008, Oktober 12). Menilik kembali akselerasi. http://ardiprimasari.blogspot.com/2008/10/menilik-kembali-akselerasi.html
Punia, S., & Sangwan, S. (2011). Emotional intelligence and social adaptation of school children. J Psychology, 2(2), 83-87.
Richardson, T. M. & Benbow, C. P. (1990). Long-term effects of acceleration on the social-emotional adjustment of mathematically precocious youths. Journal of Educational Psychology, 8(3), 464-470.
Rifayanti, R. (2006). Permasalahan dan strategi coping siswa akselerasi studi di SMU N 1 Samarinda (Tesis tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional intelligence (pp. 185-211). New Haven: Baywood Publishing Co., Inc.
28
Schneiders, A. A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York, USA.
Schutte, N.S., Malouff, J. M., Hall, L. E., Haggerty, D. J., Cooper, J. T., Golden, C. J. & Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional intelligence. Personality and Individual Differences, 25, 167-177.
Somantri, S. T. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Yusuf, S. (2009). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Wandasari, Y. (2004). Peran dukungan orangtua dan guru terhadap penyesuaian sosial anak berbakat intelektual. Provitae, 1(1), 29-42.