35
STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TIDAK MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA OLEH MYRNA ARINDA JOSEPHINE SINAGA 802010098 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK

YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TIDAK

MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA

OLEH

MYRNA ARINDA JOSEPHINE SINAGA

802010098

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi
Page 3: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi
Page 4: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi
Page 5: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK

YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TDAK

MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA

Myrna Arinda Josephine Sinaga

Berta E.A. Prasetya

Heru Astikasari S.Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 6: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stres akademik antara anak taman

kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

Penelitian ini dilakukan pada 60 anak yang berusia 5-6 tahun melalui teknik purposive

sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan The Academic Stress Scale

(ASS), dikembangkan oleh Hesketh dkk (2010) dan Principal Component Analysis (PCA)

dari Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti.

Stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan

tidak mendapat pengajaran membaca diuji menggunakan Independent Sample Test dan

diperoleh bahwa nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p<0,05), sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada perbedaan perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak

yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

Kata kunci : stres akademik, anak, taman kanak-kanak.

Page 7: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

Abstract

This study aimed to examine the differences in academic stress among kindergarten children

who get reading lesson and not. This study was conducted towards 60 children aged 5-6

years old through purposive sampling technique. Data collected by using The Academic

Stress Scale (ASS), developed by Hesketh et. al (2010) and Principal Component Analysis

(PCA) from Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), modified by researcher. The

differences between academic stress tested with independent sample test. The result reveal

that the t-test value is 3,745, with a significance of 0,001 (p<0,05), so that it can be

concluded that there are differences in Academic stress among kindergarten children who get

reading lesson and not.

Keywords : academic stress, children, kindergarte

Page 8: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

1

PENDAHULUAN

Papalia (1995), seorang ahli perkembangan menyatakan bahwa anak

berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan

bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya,

mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali

dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Berdasarkan pandangan secara umum,

dunia anak adalah dunia impian yang hanya dipenuhi oleh berbagai kesenangan dan

ketenangan.

Namun fakta membuktikan bahwa selain hal-hal yang menyenangkan,

kehidupan anak-anak sekarang ini juga telah dipenuhi oleh berbagai persoalan dan

tekanan, sama seperti yang dialami oleh orang dewasa pada umumnya. Hal ini sejalan

dengan pendapat Pratanti (2008) bahwa stres tidak hanya terjadi pada orang dewasa,

tetapi juga pada anak-anak.

Menurut Irzal (2010), seorang anak yang stres dapat diidentifikasi dengan

memperhatikan tingkah lakunya. Reaksi-reaksi psikosomatik, termasuk problem

pencernaan, sakit kepala, kelelahan, gangguan tidur, dan mengompol mungkin

merupakan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Respons anak-anak

terhadap situasi tertentu dapat berbeda-beda. Ada situasi yang dianggap menegangkan

bagi anak yang satu, tapi tidak untuk anak lain.

Stres pada anak biasanya disebabkan oleh situasi baru yang terasa asing atau

tidak terduga, harapan-harapan yang tidak pasti terpenuhinya, antisipasi terhadap

sesuatu yang tidak menyenangkan (sakit dan sebagainya), ketakutan akan gagal

(prestasi belajar ataupun dalam pergaulan), memasuki tahap penting dalam kehidupan

(meninggalkan TK masuk SD, dan sebagainya) (Widyarini, 2010). Selain itu, anak-anak

Page 9: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

2

juga bisa mengalami stres karena kegiatan sehari-harinya, salah satunya adalah dari

sekolah, seperti beratnya beban yang diberikan pihak sekolah dalam meningkatkan

prestasi belajar anak. Rasa tertekan jelas menimbulkan dampak negatif pada anak, baik

secara fisik maupun psikis (Wibisono, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat dari

Santrock (2002) yang menyatakan bahwa banyak peristiwa yang dapat membuat anak-

anak mengalami stres, beberapa di antaranya adalah faktor-faktor kognitif, peristiwa-

peristiwa kehidupan, percekcokan sehari-hari, faktor sosial budaya, dan status sosial

ekonomi.

Stres telah menjadi topik penting dalam lingkup akademik. Banyak peneliti di

bidang ilmu perilaku telah melakukan penelitian yang luas pada stres dan hasilnya

menyimpulkan bahwa topik ini membutuhkan lebih banyak lagi perhatian (Agolla

dalam Purna, 2009). Stres dalam institusi akademik dapat memiliki efek positif jika bisa

dikelola dengan baik, dan memiliki efek negatif jika tidak dikelola dengan baik

(Stevenson & Harper, 2006). Institusi akademik memiliki pengaturan kerja yang

berbeda jika dibandingkan dengan yang bukan akademik, berbeda baik dari segi gejala,

penyebab, dan efek stres (Chang & Lu, 2007).

Para peneliti telah mengidentifikasi stressor dari stres akademik, yaitu terlalu

banyak tugas sekolah, persaingan dengan teman, kegagalan dan hubungan yang buruk

dengan teman dan guru (Fairbrother & Warn, 2003). Pelajar melaporkan sumber

pengalaman stres akademik terbesar yang mereka alami setiap semester adalah dari

belajar untuk ujian, persaingan nilai, dan harus menguasai pelajaran yang banyak dalam

waktu yang singkat (Abouserie, 1994). Ketika stres dianggap negatif atau menjadi

berlebihan, siswa akan mengalami gangguan secara fisik maupun psikologis.

Page 10: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

3

Dalam budaya Confucian Heritage Culture (CHC) seperti di negara Cina,

Macau, Korea, Jepang, dll, para orang tua biasanya sangat menanamkan pentingnya

pendidikan anak-anak mereka, dan memberikan tuntutan yang signifikan agar anak

mereka memiliki aspirasi yang tinggi untuk hasil akademik (Tan & Yates, 2007).

Berdasarkan alasan ini, peneliti menemukan bahwa anak-anak bisa memiliki

pengalaman stres akademik yang tinggi, terkait stres yang memiliki efek negatif bagi

perkembangan anak. Sebagai contoh, dalam studi investigasi dampak dari stres

akademik di China, Hesketh dkk (2010) menemukan bahwa stres akademik dengan

level yang tinggi dialami juga oleh anak Sekolah Dasar, baik dalam rumah dan

lingkungan sekolah, sehingga anak ditempatkan dalam tekanan yang mengganggu

kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Maksood (dalam Setiawati, 2010) menyatakan bahwa reaksi stres atau

kekecewaan pada diri anak dan remaja sering menyebabkan timbulnya kasus bunuh diri.

Didukung oleh Seto (dalam Sindo, 2010) yang menyatakan bahwa stres yang

berlebihan, bisa karena faktor keluarga, lingkungan, hingga sekolahnya, karena guru

mungkin membebani pekerjaan rumah yang berlebihan atau tuntutan prestasi yang

terlalu tinggi juga dapat menjadi penyebab seorang pelajar nekat bunuh diri. Hakikatnya

bunuh diri yang dilakukan anak adalah akumulasi dari berbagai stres yang dialaminya.

Stres ini menimbulkan rasa frustrasi, lalu timbul depresi sampai pada tahap anak

memutuskan untuk bunuh diri (Sumarsih, 2008). Berdasarkan efek negatif pada

perkembangan anak tersebut, maka penelitian bagi stres akademik anak sangat

didukung (Yorke, 2013).

Salah satu contoh fenomena yang terjadi saat ini adalah perbedaan kurikulum

antar beberapa Taman Kanak-Kanak yang ada di Indonesia dalam hal pemberian

Page 11: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

4

pengajaran membaca kepada para siswanya. Beberapa TK sudah memberikan

pengajaran membaca, sedangkan TK yang lain tidak. Perbedaan tersebut

dilatarbelakangi alasan dan prinsipnya masing-masing.

Saat ini masih banyak perdebatan yang kontroversial antara kelompok yang pro

dan kontra mengenai pemberian pengajaran membaca tersebut di usia pra sekolah.

Apalagi saat ini beberapa sekolah sudah ada yang mengharuskan anak sudah bisa

membaca dan berhitung saat masuk SD menyebabkan beban akademik yang kini

ditanggung anak jauh lebih berat.

Hal ini bertentangan dengan dasar dari Peraturan pemerintah No. 17 tahun 2010

pasal 69 dan pasal 70. Dalam PP tersebut diatur untuk masuk sekolah dasar (SD) atau

sederajat tidak didasarkan pada tes baca, tulis, hitung atau tes lainnya. Tidak ada alasan

bagi penyelenggara pendidikan tingkat SD atau sederajat untuk menggelar tes masuk

bagi calon peserta didiknya. Berikut isi PP No. 17 tahun 2010 pasal 69 ayat 5, yaitu

Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak

didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes

lain.

Pada dasarnya membaca merupakan kemampuan menghubungkan antara bahasa

lisan dengan tulisan, dalam kaitannya dengan kemampuan membaca permulaan,

keterampilan penguasaan kosa kata sangatlah penting bagi anak. Menurut Bowman

dan Bowman (1991), membaca merupakan sarana yang tepat untuk

mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Dengan

mengajarkan kepada anak cara membaca berarti memberi anak tersebut sebuah masa

depan yaitu memberi suatu teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun

yang dipilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidup.

Page 12: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

5

Aulina (2010) memaparkan bahwa membaca pada usia anak sebelum SD berarti

memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD.

Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah aktivitas dominan di

usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan

menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal di kemudian

hari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hainstock (2002), yang menyatakan bahwa

anak secara mental belum siap membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan

orangtua diingatkan bahwa dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak

membaca sebelum usia tersebut.

Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak

Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung

(calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan

kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak.

Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya

belum saatnya.

Aulina (dalam Arist 2012) Komnas Pelindungan Anak mencatat terjadi 2.386

kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik

98% dibanding tahun sebelumnya. Mayoritas anak-anak ini stres karena kehilangan

masa bermainnya. Anak-anak sudah disibukkan dengan banyak aktifitas seperti les,

sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita. Menurut Arist, negara telah gagal memberi

jaminan perlindungan kepada anak-anak jika ditinjau dari sistem kurikulum di PAUD,

anak-anak harus dapat membaca, menulis dan berhitung agar bisa masuk SD. Padahal

seharusnya anak usia dini itu hanya dikenalkan dengan konsep-konsep dasar kehidupan

saja seperti bersosialisasi dan bergaul.

Page 13: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

6

Hal ini didukung oleh Piaget (dalam Santrock, 2008), bahwa pelajaran membaca

secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia tujuh

tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah tujuh tahun anak belum mencapai

fase operasional konkret, fase ketika anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur.

Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang

memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak

TK yang masih berusia balita. Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika

pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun.

Pendapat-pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh para ahli di

Amerika dan Inggris yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang

otaknya belum siap. Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang

bermanfaat, tetapi bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson,

seorang Dokter ahli spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17

tahun telah meneliti anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU

pemerintah yang menetapkan standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan

berhenti mencoba mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda,

beliau yakin bahwa pada usia 8-9 tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam,

menulis, membaca, memperhatikan, dan belajar dengan mudah (“Indonesia Educate”,

2013).

Namun pada kenyataannya beberapa tahun belakangan ini, banyak SD,

khususnya sekolah dasar favorit memberikan beberapa persyaratan masuk misalnya,

dengan tes psikologi dan terutama adalah anak harus bisa membaca. Dampaknya,

persyaratan yang diberikan membuat guru TK sibuk mencari cara untuk

mengajarkan muridnya belajar membaca. Padahal, di TK tidak ada kewajiban anak

Page 14: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

7

belajar membaca, kecuali hanya ajang sosialisasi prasekolah. Demikian pula dengan

orangtua yang kebingungan dan menuntut di TK anak harus diajarkan untuk

membaca dan berhitung, seringkali orangtua dengan sengaja memberikan les privat agar

anak bisa membaca (“Media Indonesia”).

Persyaratan anak harus bisa membaca tersebut diberikan terutama dengan

adanya penelitian terhadap kemampuan membaca anak SD-MI kelas satu yang

menunjukkan bahwa pada umumnya siswa yang pernah masuk Taman Kanak-kanak

kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak dari Taman

Kanak-kanak. Hal ini disebabkan karena kesiapan belajar membaca, pengenalan huruf

dan sosialisasi antar anak lebih baik dari siswa yang tidak dari Taman Kanak-

kanak (“Managing Basic Education”, 2004). Supriadi (dalam Ranis, 2013) dengan

tegas mendukung hal ini, bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan

berhitung. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan

lain-lainnya.

Hal ini jugalah yang mendorong lembaga pendidikan penyelenggara PAUD

maupun orangtua secara aktif untuk mengajarkan kemampuan membaca, menulis dan

berhitung dengan cara-cara pembelajaran di SD yang tidak sesuai dengan tingkat

perkembangan anak. Oleh karena itu, PAUD yang seharusnya menjadi taman yang

indah, tempat anak-anak bermain dan berteman, mulai beralih menjadi sekolah kanak-

kanak yang hanya memenuhi target kemampuan calistung, kegiatan ini berakibat

adanya penugasan-penugasan yang harus diselesaikan di rumah biasa disebut Pekerjaan

Rumah (PR), seperti layaknya proses pembelajaran di SD.

Doman (1991) berpendapat bahwa waktu terbaik untuk belajar membaca

kira-kira bersamaan waktunya dengan anak belajar bicara, di mana masa pekanya

Page 15: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

8

terjadi pada rentang umur tiga tahun sampai lima tahun, yaitu ketika kemampuan anak

untuk belajar membaca sedang di puncak. West dan Egley (dalam Seefeldt dkk, 2008)

menyatakan bahwa meskipun pelajaran membaca formal biasanya dimulai di kelas satu,

TK banyak mengembangkan banyak keterampilan yang mempersiapkan mereka untuk

belajar membaca. Anak-anak yang rutinitas dan kegiatan sehari-harinya memberi

kesempatan membaca akan mulai mengidentifikasi tulisan-tulisan lingkungan.

Lingkungan yang kaya dengan buku dan tulisan membantu anak untuk mulai

membedakan makna tulisan itu.

Durkin telah mengadakan penelitian tentang pengaruh membaca dini pada anak-

anak. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca

dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih

maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Selain

itu, Steinberg telah berhasil dalam eksperimennya yang mengajar membaca dini untuk

anak-anak berusia antara 1-4 tahun. Dia juga menemukan bahwa anak-anak yang telah

mendapatkan pelajaran membaca dini pada umumnya lebih maju di sekolah (dalam

Nurbiana dkk, 2009).

Berdasarkan pemaparan hasil-hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa

pemberian materi pengajaran membaca awal pada usia TK tidak selalu membuat anak

mengalami stres akademik. Hal ini mengartikan bahwa ada beberapa pendapat

menyatakan bahwa tidak masalah mengajarkan anak membaca pada usia pra sekolah

asal diberikan metode yang tepat dan menyenangkan bagi anak (Hidayati, 2010).

Namun pendapat lain menyatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak di

usia pra sekolah berarti mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah

aktivitas yang dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan (Aulina,

Page 16: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

9

2010). Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan stres

akademik pada anak TK yang mendapat dan tidak mendapat pendidikan membaca

permulaan?

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Stres Akademik

Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya disebut

dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) menggambarkan stres akademik

ialah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus

dikerjakan. Stres akademik mengacu pada perasaan yang dialami siswa ketika tuntutan

pendidikan dan sistem sekolah melebihi kemampuan mereka untuk mengatasinya

(Kapri dkk, 2013). Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-

tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan

akademik yang semakin meningkat, sehingga pada siswa semakin terbebani oleh

berbagai tuntutan (Alvin, 2007). Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami

siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara

tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.

Melalui hasil pengujian Hesketh dkk (2010) di Vietnam dan China, stres

akademik memiliki tujuh indikator, yaitu enjoyment of school, worry about exams,

pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of punishment of teachers, and

being physically bullied or corporally punished at home. Skor stres akademis dibagi

menjadi selalu, kadang-kadang, dan tidak pernah. Selain itu, menurut Principal

Component Analysis (PCA) dari Scale For Assesing Academic Stress (SAAS), stres

akademik memiliki lima aspek, yaitu cognitive, affective, physical, social/interpersonal,

motivational.

Page 17: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

10

Kurikulum Taman Kanak-Kanak

Kurikulum TK yang Mendapat Pengajaran Membaca

Beberapa Taman Kanak-Kanak menggunakan kurikulum nasional dan

kurikulum yang dibuat sendiri oleh pendidik, disetujui oleh kepala sekolah, dan

diketahui oleh yayasan. Proses belajar mengajar didasarkan pada critical thingking dan

multiple intelligences, untuk mengembangkan kecerdasan anak. Multiple intelligences

tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu bahasa, agama, intra, inter, musik, visual-

spasial, sains, logical math, dan multimedia (Gardner, 1983). Berdasarkan instruksi

membaca, TK ini menggunakan bottom-up process anak-anak mempelajari komponen-

komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf),

dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh suatu makna.

Pengajaran membaca pada TK ini terbagi ke dalam tiga metode, yaitu:

1. Phonics Method, metode ini mengandalkan pada pembelajaran alphabet yang

diberikan kepada anak dengan mempelajari nama-nama huruf dan bunyinya.

Setelah mempelajari bunyi huruf mereka mulai merangkum beberapa huruf

tertentu untuk membentuk kata-kata (contoh: b-a-kr-a- k p-a kt-a- k).

2. Flashcard, metode ini menggunakan kartu-kartu yang berisi gambar yang

merangsang siswa untuk berpikir dan melakukan sesuatu.

3. Journal, yaitu bercerita menggunakan bahasa inggris dalam 4 kata. Anak akan

menulis dan membacakan ceritanya berdasarkan gambar yang disediakan.

Masing-masing metode ini diberikan kepada siswa selama satu kali dalam seminggu

dan semuanya menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, mata pelajaran Bahasa

Indonesia akan diberikan dua kali dalam seminggu, pada mata pelajaran ini anak

Page 18: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

11

diberikan stimulus dari gambar yang ada, untuk menulis dan membaca apa yang

dilihatnya.

Kurikulum TK yang Tidak Mendapat Pengajaran Membaca

Berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh Permendiknas No.58 Tahun 2009

tentang standar PAUD, setiap anak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri

sesuai potensi masing-masing. Pendidik bertugas membantu, jika anak membutuhkan.

kurikulum TK berisi pengembangan nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif,

bahasa, sosial-emosional, dan seni.

Berdasarkan kurikulum yang digunakan di TK, pembelajaran membaca belum

diajarkan di TK, melainkan pembelajaran pramembaca, yaitu siswa diharapkan mampu

mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, dan

mengenal simbol-simbol yang melambangkannya, seperti dapat menceritakan gambar

(pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri,

mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar), dan

menghubungkan gambar/ benda dengan kata. Selain itu, dapat menceritakan gambar

(pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri,

mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar),

menghubungkan gambar/ benda dengan kata (Permendiknas, 2013).

Perbedaan Stres Akademik Antara Anak Taman Kanak-Kanak Yang Mendapat

Pengajaran Membaca dan Tidak Mendapat Pengajaran Membaca

Menurut Purbo (2010) mengharuskan semua anak TK untuk bisa membaca

tampaknya menjadi hal yang kurang bijaksana mengingat setiap anak memiliki

kemampuan dan kesiapan belajar membaca yang berbeda satu sama lainnya.

Page 19: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

12

Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang penting untuk dapat diajarkan pada anak TK

daripada hanya terfokus pada kemampuan membaca, misalnya penanaman disiplin,

kemandirian, tanggung jawab serta budi pekerti yang baik. Stimulasi terhadap

kecerdasan intelektual anak seperti pada kegiatan membaca memang penting. Namun,

perlu diupayakan jangan sampai stimulasi terhadap kecerdasan intelektual terlalu

berlebihan sehingga cenderung memaksakan anak dan melupakan aspek-aspek

kecerdasan lain yang juga perlu mendapat stimulasi seperti kecerdasan sosial dan

emosional yang semuanya sangat diperlukan agar dapat menjadi bekal bagi anak dalam

menghadapi masa depannyan kelak.

Membaca pada usia anak sebelum SD berarti memaksakan anak untuk memiliki

kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Sehingga waktu bermain, yang

seharusnya adalah aktifitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bisa saja

menjadi terabaikan. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan

kemampuan anak secara optimal dikemudian hari (Aulina, 2010).

Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak

Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung

(calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan

kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak.

Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya

belum saatnya

Selain itu, Pawitasari (2012) menyebutkan bahwa usia yang paling tepat bagi

anak untuk mulai belajar membaca dan menulis adalah tujuh tahun. Diterangkan lebih

lanjut bahwa mengajar anak membaca dan menulis sebelum anak siap bisa merusak

Page 20: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

13

otak anak. Selain itu, memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif akan

membuat mereka stres karena anak-anak usia dini seharusnya lebih banyak bermain dan

bereksplorasi. Mengingat TK bukan sekolah seperti layaknya SD, SMP, dan SMA atau

lembaga-lembaga pendidikan lainnya, maka baik isi program kegiatan belajar (topik)

maupun bentuk penyelenggaraan kegiatan belajarnya harus diciptakan dalam suasana

bermain sambil belajar. Oleh karena itu, di TK tidak diajarkan menulis, membaca, dan

berhitung (matematika). Berdarakan hal tersebut, TK melaksanakan berbagai kegiatan

pengembangan sebagai upaya meletakkan kemampuan dasar yang dapat memfasilitasi

anak untuk memiliki kesiapan membaca, menulis, dan berhitung. Dengan demikian,

program pendidikan TK tidak menjadi prasyarat untuk memasuki SD (Nugraha,dkk.,

2007).

Namun kenyataannya saat ini sudah banyak TK yang memberikan pengajaran

membaca kepada siswanya. Hal ini didasarkan pada penelitian tentang pengaruh

membaca dini pada anak-anak. Durkin (dalam Nurbiana dkk, 2009) menyimpulkan

bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah

diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-

anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Ketika anak diberikan pengajaran

membaca, ketika para orang tua menuntut anak mereka agar bisa membaca, anak akan

merasa tertekan dan memicu stres akademik. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti

apakah ada perbedaan tingkat stres akademik pada siswa taman kanak-kanak yang

mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

Page 21: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

14

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang

signifikan stres akademik antara anak TK yang mendapat dan tidak mendapat

pengajaran membaca.

METODE PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah anak TK yang berusia 5-6 tahun.

Selanjutnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 anak.

Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan

sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dalam

penelitian ini, karakteristik subjeknya adalah anak-anak yang berada di kelas TK B,

lokasi penelitian di beberapa TK yang ada di Salatiga, berusia 5-6 tahun yang berjenis

kelamin berbeda. Anak ada yang berada di TK yang memberikan pengajaran membaca

dan ada yang berada di TK yang tidak memberikan pengajaran membaca.

Pengambilan data menggunakan try out atau uji coba terpakai yang berarti data

dari subjek yang digunakan untuk try out juga digunakan untuk penelitian. Untuk

memperoleh data dari penelitian ini, peneliti melakukan wawancara langsung kepada

masing-masing anak berdarkan skala academic stress yang ada. Skala academic stress

dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan indikator academic stress

menurut Hesketh dkk (2010) dan juga berdasarkan aspek academic stress menurut

Principal Component Analysis (PCA) dari Scale For Assessing Academic Stress

(SAAS).

Skala academic stress terdiri dari 43 item pertanyaan yang tersusun dari 6

indikator dari academic stress itu sendiri, yaitu academic stress yaitu enjoyment of

Page 22: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

15

school, worry about exams, pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of

punishment of teachers, and being physically bullied or corporally punished at home.

Selain itu peneliti juga menggunakan 5 aspek dari academic stress, yaitu cognitive,

affective, physical, social/ interpersonal, motivational. Skala ini memiliki dua pilihan

jawaban yaitu Y (Ya) dan T (Tidak). Hal ini untuk mengantisipasi anak usia 5-6 tahun

diperkirakan belum mampu memahami makna pilihan jawaban lainnya. Untuk item

favorable diberi nilai sebagai berikut : Y diberi nilai 1 dan T diberi nilai 0. Untuk item

unfavorable adalah kebalikannya, yaitu Y diberi nilai 0 dan T diberi nilai 1.

Tabel 1

Item Valid dan Gugur pada Skala Stres Akademik

Setelah dilakukan uji diskriminasi item pada Academic Stress Scale, dari 43 item

yang diujikan terdapat 26 item yang dapat digunakan, karena memiliki koefisien item

total korelasi ≥ 0,25. Pengujian validitas alat ukur dilakukan sebanyak tiga putaran,

didapatkan hasil akhir koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,252 sampai dengan

0,446 dan memiliki realibilitas Alpha’s Cronbach sebesar α = 0,901.

No Indikator Enjoyment of

school

Worrying

about exam,

difficulty

completing

homework

Feelings of

pressure to

do well

Fear of

punishment

of teacher

Corporal

punishment

at home

1. Cognitive 1,3 10 17*,18* 26,27 34*

2. Affective 2*,42,43 11*,12 19*,20* 28*,29,30* 35,36,37*

3. Physical 4,5,6 13 21*,22 31 38

4. Social/ Interpersonal 7* 14 23,24* 32 39,40*

5. Motivational 8,9* 15,16* 25 33 41

TOTAL ITEM VALID 26 ITEM

Ket: Item dengan tanda (*) adalah item yang gugur setelah dilakukan uji coba atau memiliki koefisien

korelasi yang kurang dari 0,25 (Azwar, 2012)

Aspek

Page 23: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

16

HASIL PENELITIAN

Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, diperlukan beberapa bentuk uji data

yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Hasil Deskriptif

Berdasarkan perhitungan data penelitian yang telah dilakukan,

didapatkan hasil analisis deskriptif academic stress dengan nilai minimum 0 dan

nilai maksimum 26. Mean yang diperoleh adalah sebesar 3,37 dan standard deviasi

sebesar 4,647, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2

Kategori Skor Academic Stress

No. Interval Kategori Frekuensi Persentase Mean Standar

deviasi

1. 17,2 ≤ x ≤ 26 Tinggi 2 3,3%

3,37 4,647 2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 6,7%

3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 54 90%

Perbedaan kategori skor academic stress antara anak taman kanak-kanak

yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca

ditunjukkan pada Tabel 3. Skor stres akademik pada anak yang mendapat

pengajaran membaca terbagi menjadi tiga kategori, anak yang memiliki kategori

tinggi berjumlah 2 orang (6,67%), kategori sedang berjumlah 4 orang (13,3%) ,

dan kategori rendah berjumlah 24 orang (80%) . Sedangkan skor stres akademik

pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca seluruhnya termasuk

dalam kategori rendah.

Page 24: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

17

Tabel 3

Kategori Skor Stres Akademik antara anak taman kanak-kanak yang

mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca

No.

Interval

Kategori

Baca

%

Tidak Baca

%

1. 17,2 ≤ x ≤ 26 Tinggi 2 6,67% 0 0

2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 13,3% 0 0

3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 24 80% 30 100%

Mean 5,40 1,33

Standar deviasi 5,709 1,668

2. Hasil Uji Analisa

a. Uji Asumsi

Tahap selanjutnya adalah melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas

yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data

penelitian pada masing-masing variabel. Data dari variabel uji penelitian

diuji normalitasnya menggunakan metode Kolmograv-Smirnov Test. Data

dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05.

Table 4

Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Baca Tidak Baca

N 30 30

Normal Parametersa Mean 5.40 1.33

Std. Deviation 5.709 1.668

Most Extreme

Differences

Absolute .191 .221

Positive .191 .221

Negative -.172 -.212

Kolmogorov-Smirnov Z 1.047 1.212

Asymp. Sig. (2-tailed) .223 .106

a. Test distribution is Normal.

Page 25: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

18

Hasil uji normalitas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel stres

akademik pada masing-masing kelompok sampel memiliki koefisien

Kolmogrov-Smirnov Test sebesar 1, 047 dan 1,212 dengan probabilitas (p)

atau signifikansi sebesar 0,223 dan 0,106 pada masing-masing kelompok

sampel. Dengan demikian, variabel stres akademik memiliki distribusi data

yang normal karena p > 0,05 pada kedua kelompok yang diteliti.

Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel dalam

penelitian berasal dari populasi yang sama atau tidak. Data dapat dikatakan

homogen apabila nilai probabilitas p > 0,05.

Tabel 5

Hasil Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

Stres Akademik

Levene Statistic df1 df2 Sig.

10.088 1 58 .002

Dari hasil uji homogenitas pada Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai

koefisien Levene Test sebesar 10,088 dengan signifikansi sebesar 0,002 (p <

0,05). Oleh karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa data tersebut tidak homogen.

b. Uji Komparasi

Setelah kedua tahap ini dilakukan, selanjutnya adalah mengetahui

perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat

pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, dengan

Page 26: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

19

menggunakan perhitungan Independent Sample t-test. Setelah analisis data

dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 6

Hasil Uji-t

Group Statistics

B_TB N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

SA 1 30 5.40 5.709 1.042

2 30 1.33 1.668 .305

Tabel 6.1

Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-

tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

SA Equal

variances

assumed

12.479 .001 3.745 58 .000 4.067 1.086 1.893 6.240

Equal

variances

not

assumed

3.745 33.914 .001 4.067 1.086 1.860 6.274

Hasil perhitungan Independent Sample t-test pada tabel 6.1

menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan antara anak taman

kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran membaca

memiliki nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,05) yang

berarti terdapat perbedaan yang signifikan pada academic stress antara anak

Page 27: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

20

taman kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran

membaca. Selain itu hasil perhitungan juga menunjukkan mean academic

stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean

academic stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca

sebesar 1,33. Maka, anak yang mendapat pengajaran membaca, memiliki

tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat

pengajaran membaca.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-test,

diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,001 (p < 0,05), artinya H0 ditolak dan H1

diterima. Selanjutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean academic

stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean academic

stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca sebesar 1,33, artinya anak

yang mendapat pengajaran membaca memiliki tingkat stres akademik yang lebih tinggi

dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca. Hal ini juga menunjukkan bahwa

beberapa anak yang mendapat pengajaran membaca termasuk dalam kategori stres

akademik yang tinggi dan sedang, sedangkan anak yang tidak mendapat pengajaran

membaca memiliki skor stress akademik yang rendah.

Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat para ahli di Amerika dan Inggris

yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang otaknya belum siap.

Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang bermanfaat, tetapi

bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson, seorang Dokter ahli

spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17 tahun telah meneliti

Page 28: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

21

anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU pemerintah yang menetapkan

standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan berhenti mencoba mengajarkan

baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda, beliau yakin bahwa pada usia 8-9

tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam, menulis, membaca,

memperhatikan, dan bisa belajar dengan mudah (Indonesia Educate, 2013).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pelajaran

membaca secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah

usia tujuh tahun. Piaget (dalam Santrock, 2008) beranggapan bahwa pada usia di bawah

tujuh tahun anak belum mencapai fase operasional konkret, fase ketika anak-anak

dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Hal ini dikhawatirkan otak anak-anak akan

terbebani jika pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun. Maka

dapat diartikan bahwa ketika anak diajarkan membaca diusia pra sekolah, maka ada

potensi anak akan mengalami stres, meskipun masih dalam kategori stres yang rendah.

Hainstock (2002) juga menyatakan bahwa anak secara mental belum siap

membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan orangtua diingatkan bahwa

dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak membaca sebelum usia

tersebut. Namun kenyataan yang ditemukan saat ini banyak para orangtua yang

memaksakan anaknya membaca di usia pra sekolah tanpa menyadari kemampuan anak-

anaknya. Hal ini dilatarbelakangi pendapat agar anaknya tidak mengalami kesulitan

ketika masuk SD yang menjadikan kemampuan membaca sebagai tes pada penyaringan

siswa baru yang masuk Sekolah Dasar. Hal ini juga seringkali menyebabkan orangtua

dengan sengaja memberikan les privat agar anak bisa membaca (Media Indonesia,

2012).

Page 29: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

22

Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat stres pada

anak, hal ini bukanlah menjadi suatu kesimpulan bahwa anak tidak boleh diajarkan

membaca di usia pra sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Adelar (2000) yang

menyatakan bahwa anak pada usia empat sampai lima tahun bisa diajarkan membaca,

yang penting adalah orangtua harus melihat bagaimana kemampuan dan minat anak.

Pengajar atau orangtua yang membimbing anak harus menjauhkan cara mengajar yang

sifatnya pemaksaan, kegiatan belajar sebaiknya lebih bersifat menyenangkan. Selain itu,

metode pengajaran juga diharapakan tidak membebani anak, yang dapat menyebabkan

mereka kelihatan murung dan menjadi bingung. Jika hal ini tidak diperhatikan dengan

baik, maka inilah yang membuat anak berpotensi mengalami stres.

Berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan

Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan 2014, anak usia 6 tahun diharapkan

dapat memiliki pengetahuan tentang diri, keluarga, teman, guru, orang sekitar, makhluk

hidup, benda, teknologi, seni dan budaya di lingkungan rumah, tempat bermain. Namun

kenyataan yang ada saat ini, banyak sekolah yang tidak mengikuti kurikulum yang

pemerintah sarankan. Beberapa sekolah memilih untuk membuat kurikulum sendiri,

karena menurut pendapat mereka, kurikulum yang pemerintah buat tidak sesuai dengan

perkembangan dunia, khususnya dunia pendidikan saat ini.

Hasil penelitian ini menolak penelitian yang dilakukan oleh Durkin dan

Steinberg (2009), tentang pengaruh membaca dini pada anak-anak. Dia menyimpulkan

bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah

diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-

anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Steinberg menemukan bahwa

Page 30: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

23

anak-anak yang telah mendapatkan pelajaran membaca pada usia 1-4 tahun pada

umumnya lebih maju di sekolah (dalam Nurbiana dkk, 2009).

Meskipun ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang

mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, namun

jumlah anak yang mengalami tingkat stres tinggi dan sedang berjumlah sangat sedikit

dibanding dengan anak yang memiliki stres rendah. Hal ini mengartikan bahwa anak

yang diajarkan mambaca pasti akan mengalami stres, tetapi berpotensi mengalami stres

ketika hal tersebut dianggap diluar kemampuannya. Berdasarkan pengamatan peneliti,

tingkat stres akademik anak taman kanak-kanak mayoritas tergolong rendah, khususnya

sekolah yang mengajarkan membaca adalah karena memang metode-metode yang

digunakan oleh para pengajar merupakan metode yang menyenangkan dan tidak

memaksakan anak, sehingga anak tetap merasa nyaman dan bisa menerima pengajaran

tersebut.

Jika dilihat dari jumlah anak yang mengalami stres akademik dengan kategori

yang tinggi namun berjumlah sangat sedikit, membuktikan bahwa tidak semua anak

mengalami stres akademik ketika diajarkan membaca. Penelitian ini memberikan

sumbangan yang positif dan menguatkan teori-teori kontra yang sebelumnya, bahwa

tidak salah bagi orangtua maupun pihak sekolah memberikan pengajaran membaca

kepada anak usia pra sekolah, selama menggunakan metode yang tepat dan tidak

bersifat memaksa bagi anak.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat

ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

Page 31: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

24

1. Ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat

pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.

2. Stres akademik anak yang mendapat mendapat pengajaran membaca lebih tinggi

dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih

banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran

sebagai berikut :

1. Saran bagi orangtua

Orangtua yang memiliki anak pada usia pra sekolah sebaiknya tidak

memaksakan anak mereka agar bisa membaca dengan tujuan supaya bisa masuk

di SD favorit. Selain itu, orangtua juga harus mengawasi dan memperhatikan

perkembangan kemampuan anaknya di sekolah, sehingga dapat memberikan

pengajaran yang tepat sesuai dengan kemampuan anak. Orangtua juga

diharapkan tidak membebani anak dengan berbagai macam les privat membaca

tanpa mengetahui bagaimana keadaan anak sebenarnya.

2. Saran bagi guru

Sebagai guru sebaiknya mengetahui kemampuan masing-masing para siswanya,

sehingga dapat memberikan cara pengajaran membaca yang tepat pada para

siswa. Selain itu juga memberikan pengajaran membaca permulaan, seperti

pengenalan huruf dengan metode belajar sambil bermain, mengingat adanya

kemungkinan penyebab stres.

Page 32: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

25

3. Saran bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini masih terbatas, karena tidak meneliti subjek yang benar-benar

homogen. Selanjutnya agar meneliti jenis sekolah yang memiliki ciri yang sesuai

dengan kriteria dari variabel yang ada. Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti

efek stres dari pengajaran membaca pada anak usia pra sekolah, meneliti subjek

anak SD yang berada di sekolah yang mewajibkan membaca dan tidak

mewajibkan membaca.

Page 33: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

26

DAFTAR PUSTAKA

Agolla, J.E. (2009). Occupational stress among police officers. The case of Botswana

police service. Journal of Bus Manage. 2 (1), 25-35.

Alvin, N.O. (2007). Handing study stress: Panduan agar anda bisa belajar bersama

anak-anak anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Andriani, S. (2006). Perbedaan efektivitas metode lembaga kata serta metode struktural

analisis dan sintesis (sas) dalam meningkatkan kemampuan membaca

permulaan. Tesis pada FP Universitas Diponegoro Semarang: tidak diterbitkan.

Apriani., Cicilia., Kasiyati., & Tarmansyah. (2013). Efektifitas metode kupas rangkai

suku kata dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan bagi anak

kesulitan membaca. Pendidikan Khusus, 2,(3), 735-844.

Aulina, C.N. (2012). Pengaruh permainan dan penguasaan kosakata terhadap

kemampuan membaca permulaan anak usia 5-6 tahun. Pedagogia, 1, (2), 131-

143.

Berry, L.M. (2008). Psychology at Work: New York: Mc-GrawHill.

Bimba-aiueo. (2013). Bolehkah Belajar Membaca dan Menulis Bagi Anak Usia Dini.

Jakarta.

Burts, D.C., Andrea Y.R., & Sarah, H.P. (1999). Observed stress behavior of children

participacing in more and less developmentally appropriate activities. Available

(Online).

Catootjie, W. (2007). Stres pada anak gejala, penyebab, dampak, dan

penanggulangannya. Available (Online): (11 Juli 2008).

Chang K., & Lu, L. (2007). Characteristics of organisational culture, stressors and

wellbeing: The case of Taiwanese organizations. Journal of Manage Psychol.

22 (6), 549-568.

Fairbrother, K., & Warn, J. (2003). Workplace dimensions, stress and job satisfaction.

Journal of Managerial Psychology 18(1), 8-21.

Feldman, R.S. (1989). Adjustment: Applying psychology in complex world. New York:

Mc Graw-Hill.

Gardner, H. (2003). Multiple intelligence: Kecerdasan majemuk, teori dan praktek.

Batam: Interaksara.

Hardjana, A.M. (1994). Stres tanpa distres (seni mengolah stress). Jakarta: Kanisius.

Page 34: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

27

Hainstock, E.G. (2002). Montessori untuk anak prasekolah. Jakarta: Pustaka Delaprasta.

Harnowo, P.A. (2012, 21 Maret). Pelajaran calistung sejak paud bikin anak jadi stress.

Detik Health, h. 5.

Hesketh, T., Zhen, Y., Lu, L., Dong, Z., Jun, Y., Xing, Z. (2010). Stress and

psychosomatic symptoms in Chinese school children: cross sectional survey.

Journal of Arch Dis Child, 95, 136-140. Retrieved October 13, 2014, from

http://group.bmj.com

Ibung, D. (2008). Stres pada anak (usia 6-12 tahun). Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo.

Kapri, C.U., Ahmad, J., & Rani, N. (2013). A study of creative stimulation school

environment and academic stress with respect to underachievers in science at

secondary school level. Journal of Teacher Education, 1(1), 1-7.

Looker, T.O. (2005). Managing Stress. Yogyakarta: BACA.

Mahsun. (2004). Bersahabat dengan stres. Yogyakarta: Prisma Media.

Nabillah, R. (2013). Status sosial ekonomi keluarga peserta didik. Skripsi pada FP

Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.

National Association of School Psychologists. (2012). Stress in children and

adolescents: Tips for parents. West Highway: Bethesda.

Nandamuri, P.P., & Ch, G. (2011). Sources of academic stress- a study on management

students. Journal of ITM Business School, India.

Nugraha, A., & Ganjar, U. (2007). Kurikulum dan Bahan Belajar di TK. Jakarta:

Universitas Terbuka.

Nurbiana, D. (2009). Metode pengembangan bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka.

Olejnik, S.N., & Holschuh, J.P. (2007). College rules! 2nd

Edition How to study, survive,

and succeed. New tork. Ten Speed Press. [Online].

Pawitasari, E. (2012, 20 Januari). Masuk SD usia 5 tahun. Suara Islam Edisi 127, h.19.

Pranadji, D.K., & Nurlaela. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada

anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk”. Jurnal Ilmu Keluarga dan

Konsumen, 2, (1), 57-63.

Purbo, A. (2010. Haruskah anak TK bisa membaca dan menulis. Diunduh pada 17

Desember 2010 dari http://www.parentsguide.co.id/smf/index.

Santoso, S. (2008). Panduan lengkap menguasai spss 16. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo.

Page 35: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9305/2/T1_802010098_Full... · Berta E.A. Prasetya . Heru Astikasari S.Murti. Program Studi

28

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak jilid 2 edisi 11. Jakarta: Erlangga.

Solihat, R.U. (2009). stres dan coping stres pada guru bantu. Skripsi pada FP

Universitas Gunadarma: tidak diterbitkan.

Stainback, W. 1999. Anak anda berhasil di sekolah. Yogyakarta: Kanisius.

Stevenson, A., & Harper, S. (2006). Workplace stress and the student learning

experience. Journal of Qual. Assur. Education, 14(2), 167-178.

Trisumarsih. (2008). Bunuh Diri dan Percobaan Diri Pada Anak.

Yorke, L. (2013). validation of the academic stress scale in the Vietnam school survey

round 1. Journal of Young Lives. 1, 2-10.

Yuliyono. (2012). Dipaksa calistung saat paud, anak bisa jadi tak suka baca saat besar.

GoodreadsIndonesiadiscussion. [Online]. Tersedia

http://www.media-indonesia.com/media/spacer.gif

http://kidshealth.org/parent/emotions/feelings/stress.html#

http://www.sekolahdasar.net/2012/06/peraturan-pemerintah-yang-melarang-

tes.html#ixzz2szqd2jD6