Upload
vuongkhuong
View
240
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR
STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM
KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI
PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN
SITI ZAKIAH
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR
STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM
KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI
PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN
SITI ZAKIAH
NIM 1392161038
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR
STRUKTURAL YANG BERPERAN DALAM
KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI
PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
NASIONAL DI KABUPATEN TABANAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
SITI ZAKIAH
NIM 1392161038
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 7 JULI 2015
Pembimbing I,
Dr. dr Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi
NIP 195807041987032001
Pembimbing II,
Putu Ayu Indrayathi,SE,MPH
NIP. 197703312005012001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mayarakat
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof.dr. D.N Wirawan, MPH
NIP 194810101977021001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi,Sp.S (K)
NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Di Uji Pada
Tanggal 7 Juli 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor: 2024/UN14.4/HK/2015 Tanggal 7 Juli 2015
Ketua : Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi.
Anggota :
1. Putu Ayu Indrayathi,SE,MPH
2. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro, PA (K)
3. Dr. I Putu Ganda Wijaya, S.Sos, M.M
4. dr. Pande Putu Januraga, M.Kes, DrPH
Surat Pernyataan Bebas Plagiat
Nama : Siti Zakiah
NIM : 1392161038
Program Studi : Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis : Faktor Individual dan Faktor Struktural Yang Berperan Dalam
Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan
Kesehatan Nasional Di Kabupaten Tabanan.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI Nomor : 17 Tahun
2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 7 Juli 2015
Siti Zakiah
NIM: 1392161038
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puja dan puji syukur
kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
anugerah-Nya tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Dr.dr Dyah Pradnyaparamita Duarsa, Msi, selaku
pembimbing I dan pembimbing akademik penulis yang dengan penuh perhatian
dan kesabaran telah memberikan semangat, bimbingan dan saran selama penulis
menempuh pendidikan magister khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima
kasih sebesar-besarnya kepada Putu Ayu Indrayathi,SE,MPH, Pembimbing II
yang selalu sabar dan penuh perhatian memberikan semangat, bimbingan dan
saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Ucapan yang sama ditujukan juga kepada Prof.dr. Dewa Nyoman
Wirawan, MPH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat yang
telah memberikan dorongan dan semangat selama penulis menempuh pendidikan
di Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan
kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Ketut Suastika, SP.PD-KEMD
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan program magister di Universitas Udayana. Ucapan
terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang dijabat oleh Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, SPS(K) atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister
Universitas Udayana.
Pada Kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada
para penguji tesis yaitu Prof.Dr.dr.Mangku Karmaya, M. Repro, PA(K), Dr.I Putu
Ganda Wijaya, S.Sos, M.M dan dr Pande Putu Januraga, M.Kes yang telah
memberikan saran, masukan, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat
terselesaikan. Terima kasih banyak kepada dr Pande Putu Januraga, M.Kes selain
sebagai penguji juga sebagai pembimbing yang dengan sabar membimbing dalam
penulisan penelitian kualitatif ini.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Dinas kesehatan
Kabupaten Tabanan, Ketua Pengurus Cabang Ikatan Bidan Indonesia Kabupaten
Tabanan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian ini serta petugas BPJS Kabupaten Tabanan yang telah memberikan
bantuan dalam pencarian data. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
bidan praktek mandiri dan para dokter keluarga yang telah bersedia menjadi
partisipan dan membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tulus kepada semua dosen yang telah mengajar dan membimbing penulis saat
duduk di bangku kuliah, serta teman-teman seangkatan yang selalu memberikan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada mamak dan bapak yang selalu memberikan motivasi, do’a restu dan
memberikan kasih sayangnya hingga saat ini.
Akhirnya penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Suami tercinta
Bapak Suharsono, yang selalu menemani dalam perjalanan kuliah, memberikan
dukungan moral dan materiil untuk menyelesaikan studi ini, serta anak-anakku
tersayang Kausar Afif Fatwa, Kausar Sadit Nugraha dan Puspa Elok Mutmainnah
yang selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkah hidup penulis.
Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan
penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
Penulis
ABSTRAK
FAKTOR INDIVIDUAL DAN FAKTOR STRUKTURAL YANG
BERPERAN DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI
PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI
KABUPATEN TABANAN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme
asuransi sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi
dengan sistem asuransi kesehatan sosial. Pelayanan kebidanan dan neonatal pada
program JKN melibatkan dokter keluarga dan bidan praktek mandiri (BPM)
sebagai jejaringnya. Keikutsertaan BPM pada program JKN di Kabupaten
Tabanan masih sangat rendah (11,46%). Penelitian ini bertujuan untuk memahami
lebih dalam tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam
keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional.
Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam (indepth
interview). Wawancara mendalam dilakukan pada 18 orang Bidan Praktek
Mandiri (BPM) sebagai partisipan, 2 orang dokter keluarga dan 3 orang patisipan
kunci yaitu Kepala dinas kesehatan, ketua pengurus cabang IBI dan petugas BPJS
sebagai Triangulasi Data.
Hasil penelitian dilihat dari faktor individual,didapatkan kurangnya
pengetahuan BPM tentang program JKN pada pelayanan kebidanan dan neonatal.
Motivasi BPM mengikuti program JKN adalah untuk menyukseskan program
pemerintah, sebagai media promosi dan sebagai tempat mengabdi pada
profesinya, sedangkan harapannya adalah sebagian besar partisipan
mengharapkan adanya perbaikan sistem administrasi , peningkatan jumlah klaim
yang telah ditentukan dan BPM dapat bekerjasama dengan BPJS tanpa melalui
sistem jejaring dengan dokter keluarga. Dari faktor struktural seperti dukungan
dan kebijakan sebagian besar partisipan menyatakan kurangnya peran aktif dari
pemerintah dan organisasi IBI terhadap BPM, menyebabkan enggannya BPM
ikut program JKN.
Penelitian ini,dari faktor individual rendahnya pengetahuan BPM tentang
pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN, sebagian besar motivasi
ikut JKN karena ingin mempromosikan tempat praktek, menyukseskan program
pemerintah dan pengabdian terhadap profesinya. Dari faktor struktural
didapatkan rendahnya dukungan dan tidak adanya kebijakan dari pemerintah dan
Organisasi IBI pada program JKN.Saran kepada dinas kesehatan Kabupaten
Tabanan, petugas BPJS dan organisasi IBI agar lebih menyosialisasikan program
JKN pada bidan-bidan serta memberikan dukungan dan kebijakan yang
mendukung pelaksanaan JKN untuk BPM.Pemerintah diharapkan untuk meninjau
kembali klaim yang telah ditetapkan dan meninjau kembali sistem jejaring untuk
lebih meningkatkan partisipasi BPM pada program JKN.
Kata Kunci: Keikutsertaan, Bidan Praktek Mandiri, Jaminan Kesehatan Nasional.
ABSTRACT
INDIVIDUAL FACTORS AND STRUCTURAL FACTOR THAT PLAY A
ROLE IN THE PARTICICIPATIOAN OF INDEPENDENT PRACTICE
MIDWIVES ON NATIONAL HEALTH ASSURANCE PROGRAM
National Health Assurance (JKN) is part of the National Social Security
System (SJSN) which was made through the mechanism of social insurance that
aims to let all the people of Indonesia are protected with a social health insurance
system implemented. Obstetrics and neonatal service at JKN programs involving
family doctor and independent practices midwives (BPM) as networking. The
participant of BPM on JKN in Tabanan is still very low (11,5%). The research
aims to understand more deeply about the individual factors and structural factors
that play a role in the participation of BPM on JKN.
This study used a qualitative approach to the design of phenomenology,
the collection of data with in depth interviews. In-depth interviews on 18 persoan
BPM as a participant, 2 doctors family and 3 person key participant, head of
Departement of health, chairman of the executive board branch of IBI and officers
of the BPJS as a triangulation of the data. Data analysis using the thematic
analysis.
The results showed individual factors include : knowledge, motivation and
expectations of BPM to JKN, obtained a lack of knowledge of BPM of JKN. The
motivation of BPM program JKN is as media promotion and as a place to serve
on his profession, whereas the expectation is largely participant expects
improvement administration system and increasing the number of claims of that
have been determined. From the structural factors that play a role in the
participation of BPM on the program support and policies such as JKN most
participants expressed less thus causing BPM was reluctant to join the program
JKN.
The study of the individual factors of the low knowledge of BPM of
obstetrics and neonatal services at JKN program, most of the motivation for
wanting to join JKN promote places of practice, supporting government programs
and serve on the profession. Structural factors obtained from the low level of
support and the lack of policy from governments and organizations program IBI
on JKN. Advice to health services offices BPJS Tabanan regency, and the
organization to make it more socialize IBI program JKN on midwives as well as
provide support and policy that supports the implementation of JKN to BPM. The
government is expected to review the claims assigned and reviewing system
network to further enhance the participation of BPM on JKN.
Keyword : Participation, Independent Practice Midwives, National Health
Assurance.
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN SAMPUL DALAM JUDUL ................................................. i
PRASYARAT GELAR .............................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................. ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 7
1.3.1 Tujuan Umum ....................................................................... 7
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
1.4.1 Manfaat Teoritis ................................................................................ 7
1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN ................................................................... 9
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................... 9
2.1.1 Jaminan Kesehatan Nasional……………………………….. 9
2.1.2 Bidan Praktek Mandiri……………………………………… 20
2.1.3 Faktor Individual yang berperan dalam keikutsertaan BPM
pada Program JKN ................................................................. 21
2.1.4 Faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM
pada Program JKN ................................................................. 26
2.2 Konsep dan Kerangka Berpikir ....................................................... 29
2.2.1 Jaminan Kesehatan Nasional ................................................. 29
2.2.2 Konsep Bidan Praktek Mandiri .............................................. 30
2.2.3 Konsep Faktor Individual ...................................................... 31
2.2.4 Konsep Faktor Struktural ....................................................... 31
2.3 Landasan Teori ................................................................................ 31
2.4 Model Penelitian .............................................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 35
3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................... 35
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 36
3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian ...................................................... 36
3.3.1 Populasi ................................................................................. 36
3.3.2 Sampel Penelitian .................................................................. 36
3.4 Jenis Dan Sumber Data ................................................................... 38
3.5 Instrumen Penelitian ........................................................................ 38
3.6 Metode Dan Teknik Pengumpulan Data ......................................... 38
3.7 Metode Dan Teknik Analisis Data .................................................. 39
3.8 Metode Dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ........................ 40
3.9 Etika Penelitian ................................................................................ 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………………….. ...................... 43
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian……………………………… 43
4.1.1 Data Perekonomian ................................................................ 44
4.1.2 Data Praktek Dokter ............................................................... 44
4.1.3 Data Umum Bidan ............................................................... 44
4.1.3.1 Jumlah Bidan yang ada di masing-masing kecamatan.. 44
4.1.3.2 Data Bidan Berdasarkan Pendidikan……………..…… 46
4.1.3.3 Data Bidan Praktek Mandiri Yang mengikuti program
Jampersal, JKBM dan JKN………………………….. 46
4.2 Karakteristik Partisipan .................................................................... 47
4.3 Hasil penelitian dan pembahasan ..................................................... 49
4.3.1 Faktor individual yang berperan dalam keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional……. 49
4.3.2 Faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional ……. . 70
4.4 Refleksi ................................................................................................. 89
4.5 Keterbatasan Penelitian ......................................................................... 99
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 100
5.1 Simpulan ............................................................................................... 100
5.1.1 Faktor individual yang berperan dalam keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional ...... 100
5.1.2 Faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri pada program Jaminan Kesehatan Nasional ...... 103
5.2 Saran ..................................................................................................... 105
5.2.1 Untuk Dinas Kesehatan Tabanan ................................................ 105
5.2.2 Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ................ 106
5.2.3 Untuk Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) ........................ 107
5.2.4 Untuk peneliti selanjutnya ......................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1 Skema Teori Kurt Lewin ....................................................... 32
Gambar 2.2 Faktor Individual dan Struktural yang berperan
dalam keikutsertaan BPM pada Program JKN ................... 34
Gambar 4.1 Data Praktek Dokter .............................................................. 44
Gambar 4.2 Data Bidan per Kecamatan di Kabupaten Tabanan .............. 45
Gambar 4.3 Data Bidan berdasarkan tingkat pendidikan di
Kabupaten Tabanan ............................................................. 46
Gambar 4.4 Data BPM yang mengikuti Program Jampersal,
JKBM dan JKN di Kabupaten Tabanan .............................. 47
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 4.1 Karakteristik Partisipan berdasarkan Umur,
Pendidikan, Alamat dan StatusPartisipan............................... 48
DAFTAR SINGKATAN
AKI : Angka Kematian Ibu
AKB : Angka Kematian Bayi
SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
KH : Kelahiran Hidup
ASEAN : Association of South East Asia Nations.
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
UU : Undang-undang
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional
JAMPERSAL : Jaminan Persalinan
BPM : Bidan Praktek Mandiri
BPS : Bidan Praktek Swasta
PERMENKES : Peraturan Menteri Kesehatan
IBI : Ikatan Bidan Indonesia
JKBM : Jaminan Kesehatan Bali mandara
KTP : Kartu Tanda Penduduk
SIPB : Surat Ijin Praktek Bidan
AKDR : Alat Kontrasepsi dalam Rahim
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
MDGs : Millineum Devlopment Gools
SK : Surat Keputusan
IUD : Intra Uterine Device
KB : Keluarga Berencana
BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KF : Kunjungan Nifas
KN : Kunjungan Neonatus
SIPB : Surat Ijin Praktek Bidan
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rawat inap Tingkat Lanjutan
Faskes : Fasilitas Kesehatan
PONED : Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat-surat Ijin Penelitian
Lampiran 2 Panduan Wawancara Mendalam (Indept Interview)
Lampiran 3 Pemetaan Tema berdasarkan koding.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan
tolak ukur dalam menilai kesehatan suatu bangsa, oleh sebab itu pemerintah
berupaya keras menurunkan AKI dan AKB melalui program Gerakan Sayang Ibu
(GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bidan berperan sangat penting dalam
menurunkan AKI dan AKB. Karena bidan sebagai ujung tombak atau tenaga
kesehatan yang berada di garis terdepan dan berhubungan langsung dengan
masyarakat, dalam memberikan pelayanan yang berkesinambungan dan paripurna
berfokus pada aspek pencegahan melalui pendidikan kesehatan dan konseling,
promosi kesehatan, pertolongan persalinan normal dengan berlandaskan
kemitraan dan pemberdayaan perempuan serta melakukan deteksi dini pada kasus-
kasus rujukan kebidanan (Depkes RI,2013).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di dunia melalui World Health
Organization (WHO) telah membuat kesepakatan untuk mencapai Universal
Health coverage (UHC) di tahun 2014, mengenai kepastian sistem kesehatan
untuk setiap warga di suatu negara agar memiliki akses yang adil terhadap
pelayanan kesehatan berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
bermutu dengan biaya terjangkau. Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN) telah menjawab prinsip dasar dari
1
program UHC yaitu dengan mewajibkan setiap penduduk memiliki akses terhadap
pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau komprehensif (Aulia, 2011).
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 5 ayat 1
menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses atas sumber daya di bidang kesehatan (Depkes, 2009). Kesehatan
merupakan kebutuhan yang utama bagi setiap manusia dan pembangunan
kesehatan pada dasarnya menyangkut kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
Keadaan kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonominya
pada suatu bangsa dan negara, baik di negara yang sudah maju maupun di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia. Tujuan pembangunan kesehatan
adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya agar
terwujud manusia Indonesia yang bermutu, sehat dan produktif (Notoatmodjo,
2005).
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menurunkan
AKI dan AKB adalah membuat berbagai kebijakan untuk perbaikan akses dan
kualitas pelayanan kesehatan khususnya pada ibu bersalin dan perawatan bayi
baru lahir. Kebijakan untuk menurunkan AKI dan AKB tidak dapat dilakukan
dengan intervensi biasa, diperlukan suatu upaya terobosan serta peningkatan
kerjasama lintas sektoral untuk mengejar ketertinggalan penurunan AKI dan AKB
dalam rangka mempercepat pencapaian Millenium Development goals (MDGs)
tahun 2015.
Faktor terpenting yang dapat menurunkan kematian ibu dan bayi baru lahir
adalah meningkatkan akses ibu hamil terhadap persalinan yang sehat dengan cara
memberikan kemudahan pembiayaan untuk menghilangkan hambatan finansial
pada ibu hamil dan keluarga, maka pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang Jampersal. Tujuan dari
Jampersal yaitu untuk meningkatkan akses ibu hamil terhadap pelayanan
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir,
perawatan nifas dan pelayanan keluarga berencana (Kemenkes RI, 2011).
Hasil studi evaluasi Jampersal tahun 2012, menghasilkan evidence yang
meyakinkan bahwa Jampersal berhasil mengajak ibu hamil untuk melahirkan di
fasilitas kesehatan. Peran aktif dari bidan sebagai ujung tombak pemberi
pelayanan kebidanan dan neonatal, ketersediaan obat dan peralatan serta fasilitas
yang telah disediakan oleh pemerintah semakin meningkatkan jumlah kunjungan
ibu hamil ke fasilitas kesehatan. Masyarakat berpendapat dan mempunyai harapan
terhadap program Jampersal agar dapat dilanjutkan hingga saat program JKN
diberlakukan. Fakta tersebut menjadi alasan yang kuat program Jampersal
dipertahankan keberlangsungannya dalam program JKN dengan berbagai
perbaikan dalam proses pelaksanaannya (Rahmawaty, 2013).
Keberhasilan program Jampersal tergantung pada kondisi supply dan
demand dari pemberi pelayanan kesehatan di masing-masing daerah. Penelitian
tentang “Evaluasi pelaksanaan program Jampersal ditinjau dari persepsi pengguna
dan penyedia layanan di Puskesmas Mengwi I” menyatakan bahwa pelayanan
Jampersal mendapatkan respon yang baik dari pasien maupun petugas kesehatan,
dukungan tenaga kesehatan terutama bidan dalam bentuk komitmen dengan cara
memberikan pelayanan yang profesional pada masing-masing pelayanan
kebidanan (Adiputra dan Aryati, 2012).
Menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
menyatakan bahwa program Jampersal secara nasional telah berakhir tahun 2013
dan sejak awal tahun 2014 pemerintah Indonesia secara resmi melaksanakan
program JKN. Berlakunya program JKN diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan,
maka secara otomatis jaminan kesehatan yang pernah ada seperti Jamkesmas,
Jamkesda dan Jampersal masuk ke dalam program JKN. Propinsi Bali memiliki
Jamkesda yang bernama Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Pembiayaan
pelayanan kebidanan dan neonatal di Propinsi Bali sampai dengan tahun 2017
akan di tanggung oleh JKMB dan besaran klaimnya disesuaikan dengan standar
tarif pada JKN dan Propinsi Bali di harapkan sudah masuk ke dalam Program
JKN paling lambat pada tahun 2019 (Dinkes Propinsi Bali, 2014).
Desain asuransi kesehatan yang berbasis masyarakat seperti JKN,
membuat kontribusi masyarakat untuk berpartisipasi menjadi lebih tinggi.
Menurut Dror, dkk (2006) negara India melakukan penekanan biaya persalinan
dengan cara memberikan voucher yang bisa digunakan untuk membayar
transportasi saat akan bersalin. Hasil penelitian di Banglades menjelaskan bahwa
meskipun biaya persalinan gratis namun dari total pengeluaran langsung hampir
50 % untuk biaya rujukan (Dong dkk, 2004).
Implementasi JKN masih menimbulkan pertanyaan bagi para bidan,
karena Bidan Praktek Mandiri (BPM) tidak dapat bekerjasama langsung dengan
BPJS Kesehatan dan harus bergabung menjadi jejaring dulu pada fasilitas
kesehatan tingkat I (Puskesmas) atau dokter praktek perseorangan. Sosialisasi
tentang JKN pada BPM tentang bagaimana mekanisme kerjasama, prosedur,
sistem pembayaran klaim dan cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang
ditanggung JKN masih kurang, sehingga Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
mengharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan BPJS seperti saat
program Jampersal dan Jamkesda diberlakukan. Apabila BPM tidak dilibatkan
dalam JKN, maka dapat menghambat upaya pemerintah menekan AKI dan upaya
menggalakkan Program Keluarga Berencana (IBI, 2014).
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan (2014) mencatat bahwa: bidan
yang ada di Kabupaten Tabanan sebanyak 457 orang bidan, yang menjalankan
praktek mandiri dan telah mempunyai SIPB sebanyak 96 orang (20,07%)
sedangkan BPM yang mengikuti program JKN hanya 11 orang (11,46%).
Pelaksanaan program Jampersal/JKBM di Kabupaten Tabanan belum berjalan
optimal, walaupun sosialisasi tentang program Jampersal telah dilakukan pada
para bidan termasuk BPM. Saat ini program JKN sudah mulai dilaksanakan secara
nasional, maka bidan juga diharapkan untuk ikut berpartisipasi dalam program
JKN. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa BPM dikatakan bahwa:
“Program JKN belum disosialisasikan secara khusus kepada kami
(BPM) sehingga kami malas untuk kerjasama dengan JKN, apalagi kami
dengar akan ada potongan administrasi dari dinas dengan prosedur
kerjasama yang tidak jelas ”
Pengetahuan, motivasi dan harapan BPM terhadap pelayanan kebidanan
dan neonatal pada program JKN di Kabupaten Tabanan umumnya masih belum
diketahui secara benar. Sehingga perlu diketahui bagaimana faktor individual dan
faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN,
agar bidan dapat berpartisipasi ikut menyukseskan program tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Mayora,dkk (2012) di Kota Binjai
menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan bidan tentang Jampersal serta paket
manfaat yang diberikan menyebabkan bidan enggan untuk berpartisipasi dalam
program tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Rahmah tahun 2013, diketahui
bahwa motivasi BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal,
adalah adanya faktor kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM
kepada masyarakat dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara
kecenderungan BPM tidak mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang
terlalu sedikit dan perasaan tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal.
Pelaksanaan Jampersal di Kota Semarang dalam aspek pelaksanaan klaim terdapat
beberapa kendala pada aspek komunikasi dan sumber daya. Pelaksanaan
pelayanan Jampersal masih terkendala pada aspek sikap atau disposisi dan
struktur birokrasi (Mandasari, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam
keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional
di Kabupaten Tabanan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum:
Untuk memahami lebih dalam tentang faktor individual dan faktor struktural yang
berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan
Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan tahun 2015.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini untuk memahami lebih mendalam tentang :
1. Faktor individual yang meliputi : pengetahuan, motivasi dan harapan yang
berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program
Jaminan Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan.
2. Faktor struktural yang meliputi : dukungan dan kebijakan yang berperan
dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada program Jaminan
Kesehatan Nasional di Kabupaten Tabanan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam
memperkuat hasil-hasil studi yang berkaitan dengan faktor individual dan faktor
struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN serta
pengembangan penelitian kuantitatif selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Bidan
Dapat menjalankan profesionalisme sebagai tenaga kesehatan yang bekerja
memberikan pelayanan kebidanan dan neonatal, sesuai dengan kewenangan dan
standar profesi bidan serta dapat menjadi lebih termotivasi untuk berpartisipasi
menyukseskan program JKN.
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengetahui tentang pelayanan
kebidanan dan neonatal pada program JKN sehingga masyarakat dapat menerima
dan mendukung program tersebut.
3. Bagi Pemerintah
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi
kepada pemerintah agar lebih memperhatikan dan lebih meningkatkan
program JKN terutama tentang pelayanan kebidanan dan neonatal.
b. Pemerintah dapat mempertimbangkan pelayanan kebidanan dan
neonatal yang telah dilakukan oleh bidan sehingga dapat meningkatkan
kinerja dan kesejahteraan bidan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial yang bertujuan agar seluruh
penduduk Indonesia terlindungi dengan sistem asuransi. Negara Indonesia menuju
Universal health Coverage (UHC) berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban
ikut serta dalam program Jaminan kesehatan sosial. Jaminan Kesehatan Nasional
adalah bagian dari SJSN yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi
berdasarkan Undang-Undang RI nomor 40 tahun 2004. Tujuan asuransi kesehatan
agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dari masalah pembiayaan kesehatan
kebutuhan dasar masyarakat akan dapat terpenuhi (BPJS Kesehatan, 2014).
Implementasi JKN dalam SJSN tahun 2014 adalah untuk menurunkan
Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) karena Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015 harus segera dapat dicapai sehingga
identifikasi perlindungan akses melalui jaminan pembiayaan persalinan dengan
kepesertaan dalam JKN menjadi penting. Sejalan dengan peningkatan cakupan
SJSN maka peserta Jampersal secara bertahap akan menjadi peserta JKN. Lingkup
9
paket manfaat jampersal menjadi bagian dari paket manfaat JKN yang
komprehensif sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali ha-hal yang bersifat
nonmedis seperti biaya transportasi (Mukti, 2012).
Prinsip-prinsip Penyelenggaraan JKN berdasarkan Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2011, mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut: kegotong
royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan
efektifitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanah dan hasil
pengelolaan dana jaminan sosial. Manfaat jaminan kesehatan yang bisa diperoleh
dalam program JKN bersifat pelayanan perseorangan yang mencakup pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan kebidanan dan
neonatal. Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang termasuk di dalam
program JKN meliputi: pelayanan pemeriksaan kehamilan (antenatal care),
pertolongan persalinan (intranatal care), pemeriksaan bayi baru lahir (neonatus),
pemeriksaan pascasalin (postnatal care) dan pelayanan Keluarga Berencana
setelah melahirkan (BPJS Kesehatan, 2013).
Program JKN memberikan jaminan pembiayaan pada pelayanan
kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non kapitasi. Peserta JKN
mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan
fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan BPJS. Manfaat pelayanan
kebidanan dan neonatal yang diberikan oleh JKN berupa : Pemeriksaan ANC,
pelayanan persalinan, Pemeriksaan PNC dan bayi baru lahir (neonatus) dan
pelayanan keluarga berencana.
Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor
36 tahun 2009 pasal 13 yang menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut
serta dalam program Jaminan Kesehatan Sosial. Program JKN juga memberikan
jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan
pembayaran non kapitasi untuk mendapatkan pelayanan kebidanan pada
puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang
bekerjasama dengan BPJS (BPJS Kesehatan, 2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59
tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan pasal 11 ayat 1 (a) menyatakan bahwa: jasa
pelayanan kebidanan, neonatal dan keluarga berencana yang dilakukan oleh bidan
atau dokter bersifat non kapitasi yaitu besaran pembayaran klaim oleh BPJS
Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan
jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan kehamilan (ANC) sesuai standar yang diberikan dalam
bentuk paket paling sedikit 4 kali pemeriksaan, sebesar Rp 200.000,00
(dua ratus ribu rupiah)
2) Persalinan pervaginam normal sebesar Rp 600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah)
3) Persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar di
puskesmas PONED Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
4) Pemeriksaan PNC dan neonatus sesuai standar dilaksanakan dengan dua
kali kunjungan ibu nifas dan neonatus pertama (KF1-KN1) dan kunjungan
ibu nifas dan neonatus kedua (KF2-KN2) serta satu kali kunjungan
neonatus ketiga (KN3) dan satu kali kunjungan ibu nifas ketiga (KF3),
sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk tiap kunjungan
dan diberikan kepada pemberi pelayanan yang pertama dalam kurun waktu
kunjungan.
5) Pelayanan tindakan pasca persalinan di puskesmas PONED, sebesar Rp
175.000,00 (seratus tujuh puluh lima ribu rupiah)
6) Pelayanan pra rujukan pada komplikasi kebidanan dan neonatal Rp
125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah), dan
7) Pelayanan Keluarga Berencana:
a) Pemasangan atau pencabutan IUD/Implan sebesar Rp 100.000,00
(seratus ribu rupiah)
b) Pelayanan suntik KB sebesar Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah)
setiap kali suntik
c) Penanganan komplikasi KB sebesar Rp 125.000,00 (seratus dua puluh
lima ribu rupiah), dan
d) Pelayanan KB MOP/vasektomi sebesar Rp 350.000,00 (tiga ratus lima
puluh ribu rupiah).
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 143
Tahun 2014 tentang Implementasi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 menjelaskan
bahwa :
1) Pemeriksaan ANC dan PNC/neonatus dapat diberikan dan ditagihkan
oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama (FKTP)
2) Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk.
Pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk
maksimal 10 % dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014)
3) Tarif pemeriksaan ANC merupakan tarif paket untuk pelayanan ANC
paling sedikit 4 (empat) kali pemeriksaan dalam masa kehamilannya
yaitu 1 (satu) kali pada trimester pertama, 1 (satu) kali pada trimester
kedua, dan 2 (dua) kali pada trimester ketiga kehamilan dan tidak dapat
dipecah menjadi 4 (empat) misalnya per kali pemeriksaan masing-masing
Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)
4) Apabila pemeriksaan ANC dilakukan kurang dari jumlah minimal (< 4
kali) pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan maka biaya pemeriksaan
ANC tidak dapat ditagihkan.
5) Penagihan biaya pemeriksaan ANC dapat ditagihkan apabila telah
dilakukan minimal 4 kali pemeriksaan ANC sesuai waktu yang
ditetapkan (dapat bersamaan dengan klaim persalinan yang diajukan atau
terpisah jika persalinan dilakukan di faskes lain) disertai dengan bukti
pelayanan kepada peserta.
6) Untuk menjaga kontinuitas pelayanan pemeriksaan ANC maka perlu
adanya informed consent bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan
ANC dan PNC di satu tempat yang sama (baik oleh FKTP maupun
jejaring bidan sesuai dengan prosedur). Pemeriksaan ANC dan PNC pada
tempat yang sama dimaksudkan untuk : keteraturan pencatatan partograf,
monitoring terhadap perkembangan kehamilan, memudahkan dalam
administrasi pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan.
7) Yang dimaksud dengan perkali kunjungan pemeriksaan PNC adalah
paket kunjungan ibu nifas dan neonatus (kedatangan keduanya dihitung
untuk 1 kali kunjungan)
8) Pemeriksaan ANC dan PNC di Fasilitas Kesehatan Rawat inap Tingkat
Lanjutan (FKRTL) dilakukan berdasarkan indikasi medis
9) Kartu ibu dan buku kesehatan ibu dan anak (Buku KIA) disediakan oleh
faskes sebagai pencatatan dan pemantauan status kesehatan peserta
kebidanan.
10) Fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dapat menagihkan tarif
pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar
sebesar Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan pelayanan
tindakan pasca persalinan sebesar Rp 175.000,00 (seratus tujuh puluh
lima ribu rupiah) hanyalah Puskesmas yang ditetapkan sebagai
Puskesmas PONED (Pelayanan Obstretrik Neonatal Emergensi Dasar).
11) Apabila pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi
dasar ditagihkan oleh FKTP lain selain Puskesmas PONED, maka
disetarakan sesuai tarif persalinan pervaginam normal sebesar Rp
600.000,00 (enam ratus ribu rupiah )
12) Pelayanan KB dapat diberikan dan ditagihkan oleh FKTP
13) Kantor cabang agar berkoordinasi dengan BKKBN di masing-masing
daerah terkait ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (alkon)
14) Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk,
pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk
maksimal 10% dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014)
15) Khusus pelayanan KB MOP/vasektomi dapat diberikan pada FKTP yang
ditunjuk berdasarkan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan mempertimbangkan kompetensi dan kelengkapan sarana dan
prasarana faskes.
Tarif pelayanan kebidanan yang berlaku di Kabupaten Tabanan berdasarkan
kesepakatan organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI) cabang Tabanan tahun 2013
menetapkan tarif minimal yang dapat dijadikan acuan oleh BPM, sudah termasuk
jasa pelayanan, obat yang digunakan dan kelengkapan sarana prasarana yaitu:
1) Pemeriksaan kehamilan : Rp 30.000 – Rp 50.000,-
2) Persalinan normal dan bayi baru lahir : Rp 900.000 – Rp 1.200.000,-
3) Perawatan nifas dan ibu menyusui : Rp 30.000 – Rp 50.000,-
4) Pemasangan IUD : Rp 150.000 – Rp 300.000,-
5) Suntik KB: Rp 25.000 – Rp 40.000,-
6) Konseling : Rp 10.000,-
7) Imunisasi : masing-masing Rp 20.000 – Rp 40.000,-
8) Rujukan : berdasarkan Unit Cost
Bila dilihat dari tarif tersebut maka terdapat kesenjangan antara kesepakatan yang
dibuat oleh organisasi dibandingkan dengan penetapan tarif pelayanan kebidanan
yang ditetapkan oleh pemerintah (BPJS Kesehatan).
Hasil penelitian Januraga, dkk (2009) di Kabupaten Jembrana
menunjukkan bahwa: Terdapat pemahaman yang keliru pada sebagian besar
policy makers program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) terhadap konsep
kebutuhan dasar kesehatan dan konsep keadilan egaliter dalam bidang kesehatan
sehingga menimbulkan resistensi atau penolakan terhadap kebijakan pembayaran
premi, khususnya premi Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) I JKJ. Sebagian
besar policy makers dan PPK program JKJ memiliki persepsi yang buruk terhadap
sistem pembayaran kapitasi karena dipandang memiliki kelemahan dalam
pemerataan, keadilan, kepuasan pasien dan mutu pelayanan kesehatan. Untuk
mengatasi hal itu sebaiknya besaran biaya per kapita dihitung berdasarkan unit
cost atau biaya klaim yang selama ini berlaku serta dikomunikasikan secara baik
antara Badan pelayanan dan PPK . Selain itu, beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi resiko kerugian finansial PPK adalah dengan melakukan risk
adjusment capitation, curve out, dan reinsurance.
Risk adjustment capitation, besaran kapitasi dihitung dengan penyesuaian
terhadap faktor demografi, riwayat kesehatan peserta, riwayat kunjungan peserta,
dan beberapa indikator klinik. Curve out, dilakukan dengan mengeluarkan
pelayanan tertentu dari perhitungan kapitasi untuk dibayar dengan cara lain. Peran
Badan pelayanan bersama-sama dengan PPK dibutuhkan untuk membahas jenis
pelayanan yang harus dikeluarkan, tetapi dengan tetap memperhatikan hak-hak
peserta untuk memperoleh pelayanan yang optimal. Cara terakhir adalah dengan
melakukan reinsurance. Reasuransi pada perusahaan reasuransi dilakukan oleh
Badan pelayanan untuk menghindari terjadinya kerugian pada PPK akibat
pengeluaran yang tidak terduga.
Hampir sama seperti pendapat policy makers, sebagian besar PPK melihat
Program Kesehatan Jembrana khususnya kapitasi sebagai sistem yang merugikan
dari sisi kebebasan konsumen dalam memilih pelayanan, di samping pandangan
negatif akan adanya risiko finansial berupa kerugian pada pihak PPK. Ketakutan
akan kegagalan secara finansial bahkan juga dirasakan oleh PPK yang justru
menganggap kapitasi sebagai suatu cara pembayaran yang baik. Senada dengan
pendapat sebelumnya pangkal semua ketakutan terjadi karena kebebasan
masyarakat memperoleh pelayanan yang menurut anggapan PPK sulit untuk
diubah.
Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung oleh BPJS
Kesehatan meliputi:
1) Pemeriksaan ANC sekurang-kurangnya dilakukan 4 kali dengan distribusi
waktu satu kali trimester satu, satu kali trimester dua dan dua kali pada
trimester ketiga kehamilan yang disesuaikan dengan usia kehamilan.
2) Pemeriksaan ANC berupa pengukuran tinggi badan dan berat badan,
pemeriksaan tekanan darah, pengukuran lingkar lengan atas, pemeriksaan
tinggi fundus uteri, pemeriksaan denyut jantung janin dan posisi janin,
skrining status dan pemberian imunisasi tetanus toksoid, pemberian tablet
tambah darah dan asam folat, serta temu wicara.
3) Pemeriksaan ANC berupa pemeriksaan laboraturium rutin meliputi
pemeriksaan kadar hemoglobin dan pemeriksaan golongan darah pada ibu
hamil wajib dilakukan oleh pemberi pelayanan antenatal yang memiliki
alat pemeriksaan laboraturium tersebut. Sedangkan untuk pemeriksaan
laboraturium lainnya dilakukan atas indikasi.
4) Persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar di puskesmas
PONED meliputi penatalaksanaan untuk mengatasi kegawatdaruratan
medis, perdarahan pada kehamilan muda (abortus), preeklamsia, eklamsia
dan persalinan macet (distosia)
5) Pelayanan pada ibu nifas meliputi : pemeriksaan tekanan darah, nadi,
respirasi dan suhu, pemeriksaan tinggi fundus uteri, pemeriksaan lochea
dan pengeluaran pervaginam lainnya, pemeriksaan payudara dan
dukungan pemberian ASI Ekslusif, pemberian vitamin A, pemberian
pelayanan Keluarga Berencana pascasalin, konseling dan edukasi
perawatan kesehatan, serta penanganan resiko tinggi dan komplikasi pada
ibu nifas.
6) Pelayanan pada ibu nifas diberikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali
dengan distribusi waktu pada 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan
(KF1), pada hari ke 4 sampai dengan hari ke 28 pascapersalinan (KF2),
dan pada hari ke 29 sampai dengan hari ke 42 pasca bersalin (KF3).
7) Pelayanan neonatal meliputi: pelayanan neonatal dengan menggunakan
formulir Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM), memastikan
pemberian vitamin K1, pemberian salep mata antibiotika, pemberian
imunisasi Hepatitis B 0, perawatan tali pusat serta konseling terkait
pemberian ASI ekslusif, perawatan tali pusat, deteksi dini tanda bahaya
dan pencegahan infeksi.
8) Pelayanan neonatus diberikan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sesuai
standar dengan distribusi waktu pada 6 jam sampai dengan 48 jam pasca
salin (KN1), pada hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir (KN2)
dan pada hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah melahirkan (KN3).
9) Hasil pelayanan kebidanan, neonatal dan KB dicatat pada kartu ibu dan
buku KIA.
10) Buku KIA wajib dibawa oleh peserta Jaminan Kesehatan pada tiap
kunjungan untuk mendapatkan pelayanan kebidanan, neonatal dan KB.
Beberapa manfaat JKN untuk masyarakat adalah: memberikan keuntungan
dengan premi yang terjangkau, asuransi JKN yang menerapkan prinsip kendali
mutu dan biaya, asuransi kesehatan sosial yang menjamin kepastian pembiayaan
pelayanan kesehatan yang berkelanjutan serta asuransi kesehatan sosial yang
dapat digunakan diseluruh Indonesia (Kemenkes RI,2013).
Berdasarkan hasil analisis koordinasi pelaksanaan pembiayaan kesehatan
ibu dan anak (KIA) di Kabupaten Lombok Tengah, program Jampersal juga
belum berjalan optimal. Walaupun tidak ditemukan terjadinya tumpang tindih
pembiayaan dan tidak ada pelayanan KIA yang tidak terbiayai, namun masih
ditemukan adanya iuran biaya untuk obat maupun biaya rujukan serta tidak
dilibatkannya pihak swasta dalam program Jampersal. Pelaksanaan program
Jampersal dinas kesehatan kabupaten seharusnya dapat bekerjasama dengan klinik
atau bidan praktek swasta (Erpan,dkk.2011).
2.1.2 Bidan Praktek Mandiri
Bidan Praktek Mandiri ( BPM ) adalah suatu institusi pelayanan kesehatan
secara mandiri yang memberikan asuhan pelayanan dalam lingkup kebidanan.
Praktek bidan mandiri merupakan serangkaian kegiatan pelayanan kebidanan
yang diberikan kepada pasien baik individu, keluarga dan masyarakat sesuai
dengan kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya. Bidan yang menjalankan
praktek mandiri harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) untuk
menjalankan prakteknya pada sarana kesehatan yang dimilikinya. Praktek
pelayanan bidan mandiri merupakan penyedia layanan kesehatan, yang memiliki
kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,
khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Masyarakat sebagai
pengguna jasa layanan bidan dapat memperoleh akses pelayanan yang bermutu,
perlu adanya regulasi pelayanan praktek bidan secara jelas persiapan sebelum
bidan melaksanakan pelayanan praktek seperti perizinan, tempat, ruangan,
peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus sesuai dengan
standar seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 (Kemenkes, 2010).
Hasil penelitian Tambun, dkk (2013) menyatakan bahwa kebijakan
persalinan masyarakat miskin di Kota Tanjung Pinang belum mendapat dukungan
secara optimal dari pemerintah daerah. Plafon biaya yang kecil membuat tidak
semua bidan bersedia mengikuti program Jampersal dengan klaim biaya kecil.
Tidak ada perbedaan jenis pertolongan yang diberikan bidan praktek swasta antara
pasien asuransi kesehatan masyarakat miskin dan masyarakat umum. Pelaksanaan
program Jampersal di Tanjung Pinang banyak ditemukan pemungutan iuran biaya
persalinan di luar tanggungan Jampersal yang dilakukan oleh bidan dalam bentuk
biaya transport rujukan dan obat - obatan tambahan.
Implementasi JKN masih menimbulkan pertanyaan bagi para bidan,
karena BPM tidak dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan dan harus
bergabung menjadi jejaring dulu pada fasilitas kesehatan tingkat I (Puskesmas)
atau dokter praktek perseorangan. Sosialisasi tentang JKN pada BPM tentang
bagaimana mekanisme kerjasama, prosedur, sistem pembayaran klaim dan
cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung JKN masih kurang,
sehingga IBI mengharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan BPJS
Kesehatan seperti saat program Jampersal dan Jamkesda diberlakukan. Apabila
BPM tidak dilibatkan dalam JKN, maka dapat menghambat upaya pemerintah
menekan AKI dan upaya menggalakkan program KB (IBI,2013).
2.1.3 Faktor Individual Yang Berperan Dalam Keikutsertaan BPM Pada
Program JKN
Faktor individual merupakan hubungan sikap seseorang terhadap
pekerjaannya. Penelitian ini yang dimaksud dengan faktor individual adalah
pengetahuan, motivasi dan harapan BPM terhadap program JKN dalam
memberikan asuhan kebidanan dan neonatal.
Menurut Achterbergh & Vriens (2002) pengetahuan memiliki dua fungsi
utama, pertama sebagai latar belakang dalam menganalisa sesuatu hal,
mempersepsikan dan menginterpretasikannya, yang kemudian dilanjutkan dengan
keputusan tindakan yang dianggap perlu. Kedua, peran pengetahuan dalam
mengambil tindakan yang perlu adalah menjadi latar belakang dalam
mengartikulasikan beberapa pilihan tindakan yang mungkin dapat dilakukan,
memilih salah satu dari beberapa kemungkinan tersebut dan
mengimplementasikan pilihan tersebut. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pengetahuan adalah: pendidikan, pekerjaan, umur, keinginan,
pengalaman lingkungan dan sumber informasi (Notoatmojo,2010).
Pengetahuan masyarakat tentang JKN yang sangat minim terutama di
daerah-daerah perlu diselesaikan secara bertahap. Dalam mengatasi masalah ini,
kebijakan kesehatan pemerintah harus hati-hati, cermat dan teliti sehingga
investasi yang dilakukan selama ini tidak sia-sia (Kebijakan Kesehatan
Indonesia,2013). Komunikasi juga sangat berperan dalam menyosialisasikan
program JKN, karena komunikasi merupakan suatu proses kegiatan yang dapat
berlangsung secara dinamis. Sesuatu yang didefinisikan sebagai proses, berarti unsur-
unsur yang ada di dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis.
Kegiatan sosialisasi merupakan kegiatan komunikasi, ini ditandai dengan
adanya proses penyebaran pengetahuan dari seorang komunikator kepada komunikan
dengan tujuan meningkatkan pengetahuan. Sosialisasi suatu program, merupakan
pengetahuan yang disampaikan dalam suatu kegiatan sosialisasi yang berkaitan
dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Sosialisasi akan
memegang peranan penting di dalam menyebarluaskan informasi yang berkaitan
dengan inovasi atau pengetahuan - pengetahuan yang berhubungan dengan inovasi,
baik pengetahuan teknis maupun pengetahuan prinsip (Cangara, 2009).
Motivasi merupakan satu penggerak / pendorong dari dalam hati seseorang
untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan
sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari
kegagalan dalam mencapai tujuan hidup. Seseorang yang mempunyai motivasi
berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam
kehidupan. Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang
bersifat intrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat
seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan
pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau
bisa juga dikatakan seorang melakukan hobbinya, sedangkan motivasi ekstrinsik
adalah manakala elemen-elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan
tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status
ataupun kompensasi (Leidecker dkk, 2009).
Menurut teori Mc Clelland tentang teori kebutuhan untuk mencapai
prestasi (Need for achivenment) dalam Sudrajat (2008) menyatakan bahwa
motivasi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi.
Karakteristik orang yang berprestasi tinggi memiliki tiga ciri umum yaitu: sebuah
preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat,
menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya
mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, dan menginginkan umpan
balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka.
Hasil penelitian terkait motivasi keterlibatan Bidan Praktek Swasta (BPS)
pada program Jampersal di Kota Banjarmasin menyatakan bahwa Pelaksanaan
program Jampersal di Kota Banjarmasin belum berjalan optimal. Pertolongan
persalinan oleh non nakes (dukun) meningkat dari 56 pada tahun 2010 menjadi
122 pada tahun 2011. Sosialisasi program Jampersal telah dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kota Banjarmasin kepada seluruh bidan. Kepala Dinas Kesehatan telah
mengeluarkan instruksi kepada seluruh BPS untuk menjalin kerjasama Jampersal,
namun demikian dari 346 BPS yang ada hanya 45 BPS (13%) yang bersedia
melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal. Rendahnya motivasi BPS
untuk melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal dipengaruhi oleh faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik (Noorhidayah,2012).
Hasil penelitian Brahmasari dan Suprayetno (2012) membuktikan bahwa
motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan, artinya bahwa motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang
karyawan untuk dapat mencapai suatu kepuasan kerja yang tinggi meskipun
menurut sifatnya kepuasan kerja itu sendiri besarannya sangat relatif atau berbeda
antara satu orang dengan orang lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian Rahmah (2013), diketahui bahwa motivasi
BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor
kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat
dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak
mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan
tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal.
Harapan merupakan salah satu penggerak yang mendasari seseorang untuk
melakukan suatu tindakan. Karena dengan adanya usaha yang keras, maka hasil
yang didapat akan sesuai dengan tujuan. Harapan merupakan usaha seseorang
untuk memaksimalkan sesuatu yang menguntungkan dan meminimalkan sesuatu
yang merugikan bagi pencapaian tujuan akhirnya. Menurut V.Room dalam Freddy
(2012) harapan adalah tingkat kepentingan pelanggan, yaitu keyakinan pelanggan
setelah mencoba atau menggunakan suatu produk atau jasa yang akan dijadikan
standar acuan untuk menilai produk atau jasa tersebut. Harapan dari tenaga
kesehatan adalah kunci pokok bagi setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan
seperti kesehatan ibu dan anak yang melibatkan bidan sebagai pelanggan internal
dan pasien atau klien sebagai pelanggan eksternal.
Menurut teori Maslow, pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan
pokok, yang ditunjukkan dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang
memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal
dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar
sampai motif psikologis yang lebih kompleks yang hanya akan penting setelah
kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat, paling tidak harus
terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi
penentu tindakan yang penting. Pengetahuan, motivasi dan harapan bidan untuk
mengikuti suatu program termasuk ke dalam kebutuhan penghargaan dan
aktualisasi diri. Bidan akan mempunyai motivasi dan harapan yang besar
terhadap suatu program seperti JKN apabila mendapatkan suatu penghargaan yang
layak bagi dirinya.
Hasil penelitian Dewi (2013) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah
menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang searah dan signifikan antara faktor
harapan dengan pekerjaan bidan. Jika harapannya terpenuhi maka akan
menghasilkan kepuasan. Harapan bidan dalam bekerja berhubungan kinerja
provider dalam pelayanan antenatal berlaku pada lokasi tertentu dan situasi
tertentu saja sesuai dengan kondisi daerah, jika ingin meningkatkan kinerja maka
faktor harapan dalam bekerja yaitu memiliki uraian tugas yang jelas, prosedur
kerja yang tetap serta standar pelayanan antenatal harus tersedia agar dalam
menjalankan pekerjaan bidan tidak ragu-ragu dalam melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan kompetensi dan kewenangan terhadap pelaksanaan pelayanan
sesuai dengan tanggung jawab yang akan memberikan dukungan bagi bidan untuk
berinisiatif dan berinovasi dalam memberikan pelayanan sehingga dapat
meningkatkan kinerja.
2.1.4 Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan BPM Pada
Program JKN
Faktor struktural adalah suatu keadaan relatif yang dapat membantu untuk
memperoleh suatu hasil seperti kebijakan dari pemerintah dan dukungan sosial.
Penelitian ini yang dimaksud dengan faktor struktur adalah kebijakan – kebijakan
JKN yaitu: prosedur kerjasama, prosedur klaim dan prosedur administrasi.
Propinsi Bali mempunyai suatu program kesehatan yang bernama Jaminan
Kesehatan Bali Mandara (JKBM) juga memberikan jaminan pembiayaan pada ibu
hamil hingga melahirkan. Bagi penduduk Bali yang berdomisili dan mempunyai
KTP Bali bila tidak mempunyai jaminan kesehatan lain berhak untuk
mendapatkan pelayanan JKBM. Untuk pelayanan kebidanan dan neonatal belum
semua penduduk Bali masuk ke dalam program JKN, sehingga pemerintah Bali
mengintegrasikan program Jampersal ke dalam program JKBM dan akan berakhir
pada tahun 2017.
Menurut Taylor, dkk (2000) dukungan sosial adalah pertukaran
interpersonal dimana seorang individu memberikan bantuan pada individu lain.
Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, perhatian, penghargaan,
maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain
ataupun dari kelompok. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang
membutuhkan dukungan sosial. Ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu:
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan
informasi dan dukungan kelompok (Sarafino, 2002).
Menurut Ealau dan Pewitt (1973) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Menurut Yandrizal, dkk (2013) menyatakan bahwa kebijakan jaminan kesehatan
Kota Bengkulu dilaksanakan belum menerapkan prinsip asuransi, dimana
penyelenggara berfungsi mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan
yang diberikan baik di pelayanan dasar/primer maupun di pelayanan rujukan.
Menurut Titmuss (1974) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah prinsip-
prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan
adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara
bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan
tertentu yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu. Mekanisme kerjasama BPM dengan program JKN diatur
dalam sistem jejaring, dimana seorang bidan dapat bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan selaku penyelenggara JKN melalui dokter keluarga. Dokter keluarga
akan bekerjasama dengan BPM dalam hal pelayanan kebidanan dan neonatal,
namun pada kenyataannya dokter sering mengambil alih tugas tersebut.
Mekanisme kerjasama antara BPM dengan program JKN yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan adalah melalui dokter keluarga. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2014, menyatakan bahwa dokter
harus memiliki jejaring bidan, khusus untuk memberikan pelayanan kebidanan
dan neonatal. Dokter keluarga dapat bekerjasama dengan 1 sampai 3 orang bidan,
sedangkan bidan hanya boleh bekerjasama dengan satu dokter keluarga saja.
Sistem jejaring ini baru mulai diterapkan sejak 1 Januari 2015, karena diharapkan
adanya kolaborasi antara dokter keluarga dengan bidan.
Menurut Notoatmodjo (2005), kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang
formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan
tentang komitmen dan harapan masing-masing anggota tentang peninjauan kembali
terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan saling berbagi (sharing) baik
dalam resiko maupun keuntungan yang diperoleh. Terdapat tiga kata kunci dalam
kemitraan, yaitu: (1) Kerja sama antara kelompok, organisasi dan individu, (2)
Bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang disepakati bersama, (3) Saling
menanggung resiko dan keuntungan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hatta, dkk (2013) tentang peran
dokter dalam pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta menunjukkan
bahwa berdasarkan analisis univariat ditemukan peran dokter dalam pelayanan
maternal di puskesmas ada 61,1% responden yang tidak setuju bila ibu hamil
tanpa komplikasi untuk partus di bidan, dan 77,8% responden tidak setuju bila
bidan melakukan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kelainan pada infant.
Terdapat 66,7% dokter tidak setuju bila ibu hamil bebas memilih tempat
melahirkan di rumah atau fasilitas kesehatan dan 94,4% responden setuju pada
kebijakan pemerintah yang mengharuskan ibu hamil partus di fasilitas kesehatan.
Di dapati pula ada 83,3% responden mengatakan bahwa beban kerjanya ringan
dan 50% berpendapat tidak ada potensi sengketa antara profesi bila berperan
dalam pelayanan maternal.
2.2 Konsep Dan Kerangka Berpikir
2.2.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari SJSN yang
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang
bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah yang sudah terlaksana mulai 1
Januari 2014 untuk masyarakat umum. JKN yang ditawarkan berupa: jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan
jaminan kematian. Negara Indonesia menuju Universal Health Coverage (UHC)
berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 pasal 13
menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut serta dalam program jaminan
kesehatan sosial.
2.2.2 Konsep Bidan Praktek Mandiri
Bidan Praktek Mandiri (BPM) merupakan bentuk pelayanan kesehatan
secara mandiri yang dilakukan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan
kepada masyarakat. Kegiatan pelayanan yang diberikan haruslah sesuai dengan
standar, kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya. Bidan dalam menjalankan
kegiatan praktek kebidanan pada sarana kesehatan pribadinya diwajibkan untuk
mempunyai Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) yang di keluarkan oleh dinas
kesehatan kabupaten. Regulasi pelayanan praktek bidan meliputi perijinan,
tempat, ruangan, peralatan praktek dan kelengkapan administrasi.
Bidan sebagai tenaga yang professional harus mampu bertanggung jawab
secara akuntabel, bekerja sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan
asuhan kebidanan selama kehamilan, saat menolong persalinan dan perawatan
bayi baru lahir, saat masa nifas hingga perawatan bayi, balita dan anak prasekolah.
Asuhan yang diberikan berupa preventif , promotif serta kuratif untuk mendeteksi
komplikasi resiko tinggi pada ibu dan anak terhadap akses bantuan medis dan
bantuan lain yang sesuai serta kemampuan melaksanakan tindakan dan rujukan
terhadap kasus kegawat daruratan kebidanan.
Tugas bidan juga diharapkan mampu memberikan konseling termasuk
pendidikan kesehatan pada individu dan keluarga tentang asuhan kehamilan,
peran sebagai orang tua, kesehatan reproduksi serta persiapan biaya melahirkan
dan pengasuhan anak. Bidan diharapkan mampu menjadi fasilitator dan motivator
pada perempuan dan keluarga dalam mempersiapkan keuangan atau biaya untuk
melahirkan sehingga pada saat melahirkan ibu merasa aman dan nyaman karena
sudah ada persiapan untuk melahirkan.
2.2.3 Konsep Faktor Individual
Faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang berhubungan dengan
sikap orang tersebut terhadap pengambilan keputusan dalam pekerjaannya. Faktor
individual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tentang pengetahuan
seorang BPM tentang program JKN yang berhubungan dengan motivasi dan
harapan bidan untuk ikutserta berpartisipasi pada program JKN.
2.2.4 Konsep Faktor Struktural
Faktor struktural sangat berperan dalam mensukseskan keberhasilan suatu
program. Dukungan dari organisasi dan pemerintah berupa dorongan,
penghargaan serta kenyamanan akan sangat membantu bidan untuk ikut
berpartisipasi dalam program JKN. Kebijakan-kebijakan yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan JKN dari pemerintah haruslah dapat memberikan
kepastian terhadap pelaksanaan program dan sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan.
2.3 Landasan Teori
Menurut Kurt Lewin (1970) mengemukakan bahwa suatu keseimbangan
antara berbagai kekuatan pendorong (driving forces) dan berbagai kekuatan
penahan (restraining forces) membentuk perilaku seseorang. Model teori Kurt
Lewin dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini.
Gambar 2.1 Skema Teori Kurt Lewin
Sumber : Teori Kurt Lewin dalam Notoatmodjo, 2003.
Adanya ketidakseimbangan antara kekuatan pendorong dan kekuatan
penahan tersebut di dalam diri seseorang menyebabkan perubahan perilaku,
sehingga kemungkinan tiga perubahan perilaku pada diri seseorang adalah sebagai
berikut:
a. Meningkatnya kekuatan-kekuatan pendorong.
Keadaan ini dapat terjadi karena adanya rangsangan-rangsangan yang
mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku. Rangsangan ini berupa
sosialisasi, konseling, penyuluhan, pemberian informasi tentang hal yang
berkaitan dengan perilaku tersebut.
b. Menurunnya kekuatan penahan.
Keadaan ini disebabkan oleh melemahnya stimulus yang menyebabkan
menurunnya kekuatan penahan.
c. Meningkatnya kekuatan pendorong dan menurunnya kekuatan penahan
sehingga menyebabkan perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2012).
Bentuk-bentuk perubahan pada seseorang antara lain :
1) Perubahan alamiah (natural change) : perubahan seseorang karena
alamiah yang disebabkan oleh lingkungan disekitarnya.
2) Perubahan terencana (planned change) : perubahan yang memang telah
direncanakan oleh yang bersangutan.
3) Kesiapan untuk berubah (readiness): perubahan melalui proses internal
pada seseorang, dimana proses internal ini berbeda pada masing-masing
individu.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian ini menggunakan teori Kurt Lewin untuk mengetahui
tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan
BPM pada program JKN:
Gambar 2.2
Faktor Individual dan Struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek
Mandiri
pada Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri
pada Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)
Faktor Penghambat BPM ikut berperan dalam
Program JKN :
1. Faktor Individual
(sosialisasi JKN, jumlah klaim pembayaran,
prosedur klaim)
2. Faktor Struktural
(kebijakan dan dukungan program)
Faktor pendorong BPM ikut berperan dalam
Program JKN :
1. Faktor Individual
(pengetahuan, motivasi dan harapan)
2. Faktor Struktural
(prosedur kerja sama, proses klaim, dan
proses administrasi)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan atau desain penelitian yang digunakan adalah rancangan
penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Menurut Denzin dan
Lincon (1994) dalam Ahmadi (2014), penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang dapat menggambarkan suatu masalah secara alamiah dan
menginterpretasikan prilaku seseorang sehingga dapat memberikan pemahaman
terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Penelitian kualitatif juga
merupakan penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-
masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas dan natural setting
yang holistis, kompleks dan terinci. Penelitian kualitatif dapat menggunakan
pendekatan induktif yang mempunyai tujuan penyusunan teori atau hipotesis
melalui pengungkapan fakta (Umar, 2013).
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi
karena adanya fenomena atau permasalahan diantara para BPM yang masih
rendah dalam berpartisipasi dalam program jaminan kesehatan yang sudah ada
sebelumnya seperti Jampersal dan JKBM. Metode kualitatif digunakan untuk
dapat menggali lebih dalam mengenai faktor individual dan faktor struktural yang
berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN di Kabupaten Tabanan.
35
3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Tabanan Propinsi Bali
dengan alasan pemilihan tempat karena cakupan partisipasi dan keterlibatan BPM
untuk bekerjasama dengan program jaminan kesehatan seperti Jampersal dan
JKBM sebelum adanya JKN sangat rendah (20,83%) dan untuk saat ini BPM
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam program JKN hanya 11 Orang
(11,46%), sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang
keikutsertaan BPM dalam program JKN.
Waktu penelitian ini dialokasikan dari bulan November 2014 sampai
dengan bulan Mei 2015. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal yang
dilakukan mulai awal bulan November 2014 sampai penyelesaian administrasi
penelitian, bulan April 2015. Pengumpulan data telah dilakukan pada bulan April
sampai Mei 2015 di Kabupaten Tabanan.
3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi situasi
sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat, pelaku dan aktivitas. Oleh
karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi
sosial tertentu (Sugiyono, 2013).
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian kualitatif disebut sebagai partisipan (nara
sumber), peneliti melakukan observasi atau wawancara kepada orang-orang yang
dianggap tahu tentang situasi sosial tersebut (Sugiyono, 2008). Cara pemilihan
informan dalam penelitian kualitatif dilakukan secara purposive sampling yaitu
menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan sampel dan untuk jumlah
sampel ditentukan berdasarkan pada azas kesesuaian dan kecukupan sampai
mencapai saturasi data. Apabila dalam proses analisis data peneliti telah
menemukan pola yang sama berulang kali, maka analisis sudah dapat dihentikan
karena saat itu terjadi kejenuhan data (Poerwandari, 2005).
Penelitian ini, memilih informan secara purposive yaitu dipilih
berdasarkan pertimbangan dan tujuan dari penelitian, dianggap mampu serta
bersedia dalam memberikan informasi yang diperlukan untuk menggali faktor
individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan BPM pada
program JKN di Kabupaten Tabanan. Partisipan dalam penelitian ini adalah bidan
yang melaksanakan praktek mandiri dan berada di Wilayah Kabupaten Tabanan.
Bidan yang dipilih adalah BPM yang saat ini telah mengikuti program JKN dan
BPM yang tidak mengikuti program JKN dengan kriteria inklusi sebagai berikut :
a. Sudah mempunyai pengalaman praktek mandiri lebih dari 5 (lima)
tahun
b. Melayani persalinan
c. Jumlah kunjungan pasien rata-rata 15 orang perhari.
Jumlah BPM sebagai partisipan sebanyak 18 orang, sedangkan sebagai triangulasi
data dipilih tiga orang partisipan pemegang kebijakan yaitu Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Tabanan, Ketua Ikatan Bidan Indonesia cabang Tabanan,
Petugas BPJS Kabupaten Tabanan dan dua orang Dokter Keluarga yang ikut
program JKN yang mempunyai jejaring dengan BPM dan yang belum mempunyai
jejaring BPM. Sehingga jumlah partisipan seluruhnya sekitar 23 orang.
3.4 Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif berupa data primer dan
data sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara secara mendalam
(indepth interview) dengan partisipan yang telah dipilih dan bersedia memberikan
informasi penelitian (Moleong, 2007), sedangkan data sekunder didapatkan dari
penelusuran dokumen yang ada di pemegang program Jamkesmas, data yang ada
di Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan data yang ada di kantor BPJS
Kesehatan Kabupaten Tabanan.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian pada penelitian ini adalah peneliti sendiri yang
berperan sebagai instrumen dan dibantu oleh seorang pendamping peneliti yang
bertugas membantu mencatat dan merekam hasil wawancara mendalam serta
pendokumentasian. Peneliti juga menggunakan pedoman wawancara mendalam
untuk menggali lebih dalam tentang faktor individual dan faktor struktural yang
berperan dalam keikutsertaan BPM pada program JKN, dan instrumen lain yang
digunakan berupa alat perekam, buku catatan serta kamera.
3.6 Metode Dan Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara
mendalam (indepth interview) yang dilakukan pada BPM dengan dipandu secara
langsung oleh peneliti dengan menggunakan panduan wawancara mendalam,
kemudian dilakukan perekaman dan dibuat transkripnya untuk kemudian
dianalisis.
Sebelum melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terlebih
dahulu diberikan penjelasan terhadap maksud dan tujuan penelitian ini. Apabila
peserta indepth interview setuju, maka diberikan surat persetujuan (informed
consent) untuk ditandatangani, kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dan
proses pengumpulan data serta wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti
sendiri. Informasi yang diperoleh pada saat wawancara mendalam direkam
dengan menggunakan alat perekam, catatan lapangan, dan foto sebagai
dokumentasi.
Apabila ada data yang perlu ditambahkan atau dikonfirmasi selama
wawancara, maka dapat dilakukan member checking. Pembuatan transkrip hasil
wawancara mendalam diusahakan dibuat segera mungkin setelah selesai
melakukan kegiatan tersebut.
3.7 Metode Dan Teknik Analisis Data
Metode dan teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
thematic analisis, yaitu mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema tertentu. Menurut
Sastroasmoro dan Ismael (2011) langkah-langkah dalam melakukan analisis data
kualitatif, meliputi:
1) Familiarisation: menggabungkan data dasar dengan mendengarkan rekaman,
membaca transkrip, mempelajari catatan kemudian membuat daftar ide dan
tema dari data yang diperoleh.
2) Identifying a thematic framework: mengidentifikasi semua masalah penting,
konsep dan tema dari data yang diperoleh. Hasil akhir dari tahapan ini adalah
indeks data secara detail, data-data sudah dilabel sesuai dengan sub-kelompok.
3) Indexing: mengaplikasikan kerangka tematik atau indeks secara sistematik
terhadap seluruh data dalam bentuk tekstular menjadi kode-kode.
4) Charting: mengatur kembali data sesuai dengan kerangka tematik dan
membuat diagram.
5) Mapping and interpretation: menggunakan diagram (chart) untuk
mendefinisikan konsep, memetakan fenomena alamiah, dan menemukan
asosiasi antara tema dengan pandangan yang dapat menjelaskan hasil temuan.
3.8 Metode Dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data primer pada penelitian ini, disajikan dengan cara
mengutip kata-kata dari partisipan tanpa mengurangi maknanya. Penyajian hasil
analisis data juga dipaparkan dengan menampilkan data hasil penelitian terlebih
dahulu kemudian dikaitkan dengan teori yang digunakan atau dengan
memaparkan teori terlebih dahulu kemudian dikaitkan dengan hasil penelitian
yang ada sebelumnya.Sedangkan hasil analisis data skunder pada penelitian ini,
disajikan dengan cara menampilkan tabel, gambar dan grafik.
Kehandalan dan kredibilitas data penelitian ini didapatkan dengan
triangulasi data. Menurut Sutopo (2006), mengatakan bahwa untuk meningkatkan
validitas data dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan triangulasi. Terdapat
empat macam triangulasi yaitu: triangulasi sumber/data, triangulasi peneliti,
triangulasi metodologis dan triangulasi teoritis. Dalam menarik kesimpulan yang
mantap, diperlukan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, oleh karena itu
triangulasi merupakan tehnik yang didasari oleh pola pikir fenomenologi yang
bersifat multiperspektif.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi data/sumber yaitu
dengan menggunakan informan atau partisipan yaitu Dokter Keluarga yang ikut
program JKN sudah mempunyai jejaring BPM dan Dokter Keluarga yang ikut
program JKN tetapi belum mempunyai jejaring BPM , serta dikonfirmasi dengan
melakukan wawancara mendalam kepada partisipan kunci yaitu Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Tabanan, Ketua Ikatan Bidan Indonesia Cabang Tabanan
dan Petugas BPJS Kesehatan Kabupaten Tabanan.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan rekomendasi/ijin penelitian dari Badan
Penanaman Modal dan Perijinan Provinsi Bali, ijin dari Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik Kabupaten Tabanan, surat ijin penelitian dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Tabanan dan surat ijin penelitian dari Ikatan Bidan Indonesia Cabang
Tabanan serta surat keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dari Komisi
Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Sebelum melakukan wawancara mendalam, partisipan menandatangani
pernyataan kesediaan menjadi partisipan penelitian setelah membaca pernyataan
penelitian. Setelah selesai wawancara mendalam partisipan diberikan kompensasi
berupa bingkisan sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan karena telah
berpartisipasi dalam penelitian ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi pemaparan hasil penelitian dan pembahasan atas hasil
penelitian. Sebelum masuk ke dalam inti pembahasan, peneliti akan memaparkan
tentang gambaran umum lokasi penelitian, data praktek dokter dan data umum
bidan lalu diikuti dengan karakteristik partisipan.
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung di Kabupaten Tabanan, dimana Kabupaten
Tabanan terletak di bagian selatan pulau Bali. Wilayah ini cukup strategis karena
berdekatan dengan Ibukota Propinsi Bali yang hanya berjarak sekitar 25 Km
dengan waktu tempuh ± 45 menit dan dilalui oleh jalur arteri yaitu jalur antar
propinsi.
Secara administratif Kabupaten Tabanan terbagi atas 10 kecamatan dan
133 desa. Batas-batas wilayah Kabupaten Tabanan secara lengkap adalah sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Badung, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jembrana, dan
sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Luas Kabupaten Tabanan
adalah 839,33 km2 atau sekitar 14,90 % dari luas Propinsi Bali (5.632,86 km
2).
Berdasarkan besarnya wilayah, maka Kabupaten Tabanan termasuk kabupaten
terbesar kedua di Propinsi Bali setelah Kabupaten Buleleng.
43
4.1.1 Data Perekonomian
Berdasarkan kriteria dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) maka jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tabanan pada tahun 2013
sebanyak 103.964 jiwa atau 23,50 % dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk
miskin terbanyak terdapat di Kecamatan Kediri yaitu sebesar 16.019 jiwa dan
yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Selemadeg Barat dengan jumlah
penduduk miskin sebanyak 6.416 jiwa.
4.1.2 Data Praktek Dokter
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Tabanan data dokter umum yang praktek di Kabupaten Tabanan sebanyak 305
orang dan yang ikut program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebanyak 33
orang (11%).
Gambar 4.1
Data Dokter Umum yang terdapat di Kabupaten Tabanan
4.1.3 Data Umum Bidan
4.1.3.1 Jumlah Bidan Yang Ada Di Masing-Masing Kecamatan
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
Kabupaten Tabanan tahun 2013, jumlah bidan di masing-masing kecamatan di
89%
11%
Dokter Umum
Dokter JKN
Kabupaten Tabanan antara lain Kecamatan Tabanan sebanyak 118 orang dengan
jumlah BPM sebanyak 22 orang, jumlah bidan di Kecamatan Kediri sebanyak 46
orang dengan jumlah BPM sebanyak 22 orang, Kecamatan Pupuan jumlah bidan
sebanyak 41 orang dengan jumlah BPM sebanyak 7 orang, Kecamatan
Kerambitan jumlah bidan sebanyak 30 orang dengan jumlah BPM sebanyak 5
orang, Kecamatan Selemadeg jumlah bidan sebanyak 24 orang dengan jumlah
BPM sebanyak 4 orang, Kecamatan Selemadeg Barat jumlah bidan sebanyak 18
orang dengan jumlah BPM sebanyak 9 orang, Kecamatan Selemadeg Timur
jumlah bidan sebanyak 24 orang dengan jumlah BPM sebanyak 6 orang,
Kecamatan Baturiti jumlah bidan sebanyak 35 orang dengan jumlah BPM
sebanyak 4 orang, Kecamatan Penebel jumlah bidan sebanyak 31 orang dengan
jumlah BPM sebanyak 6 orang, Kecamatan Marga jumlah bidan sebanyak 35
orang dengan jumlah BPM sebanyak 11 orang, jumlah bidan di BRSUD Tabanan
sebanyak 55 orang. Jadi jumlah bidan yang ada di Kabupaten Tabanan sebanyak
457 orang, dengan bidan praktek mandiri sebanyak 96 orang.
Gambar 4.2
Data Bidan per Kecamatan di Kabupaten Tabanan
118
46 41 30 24 18 24 35 31 35 55
457
22 22 7 5 4 9 6 4 6 11
96
0
100
200
300
400
500
Jumlah Bidan Ranting Cabang Tabanan BPM
4.1.3.2 Data Bidan Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan data yang diperoleh dari profil IBI Kabupaten Tabanan tahun
2013, data bidan berdasarkan tingkat pendidikan antara lain jumlah bidan dengan
pendidikan sekolah bidan sebanyak 1 orang (0,21%), pendidikan DI Kebidanan
sebanyak 62 orang (13,57%), DIII Kebidanan sebanyak 367 orang (80,31%), DIV
Kebidanan Klinik sebanyak 19 orang (4,16%), dan dengan DIV Kebidanan
Pendidik sebanyak 8 orang (1,75%).
Gambar 4.3
Data Bidan Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tabanan
4.1.3.3 Data Bidan Praktek Mandiri Yang Mengikuti Program Jampersal,
JKBM Dan JKN
Berdasarkan data yang diperoleh dari pemegang program Jamkesmas di
Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan dan data dari petugas BPJS Kesehatan
Tabanan, dari seluruh jumlah BPM yang terdapat di Kabupaten Tabanan sebanyak
96 orang pada tahun 2012 sampai dengan 2015, BPM yang ikut program
Jampersal tahun 2012 sejumlah 14 orang (14,58%) dan tahun 2013 sebanyak 22
orang (22,92%), BPM yang ikut program JKBM tahun 2014 sebanyak 20 orang
0,21%
13,57%
80,31%
1,75% 4,16%
Sekolah Bidan
D1 Keb.
D3 Keb.
D4 Keb. Pendidik
D4 Keb. Klinik
(20,91%), dan BPM yang ikut program JKN hingga bulan maret tahun 2015
sebanyak 11 orang (11,46%).
Gambar 4.4
Data BPM Yang Mengikuti Program Jampersal, JKBM, Dan JKN
Di Kabupaten Tabanan
4.2 Karakteristik Partisipan
Pada penelitian ini, partisipan terdiri dari dua yaitu partisipan dan
partisipan kunci. Proses pengumpulan data pada kedua partisipan ini dilakukan
dengan wawancara mendalam. Jumlah partisipan sebanyak 23 orang terdiri dari 9
(sembilan) orang BPM yang ikut program JKN, 9 (sembilan) orang BPM yang
tidak ikut program JKN, 2 orang dokter keluarga, seorang Kepala Dinas
Kesehatan, seorang ketua IBI dan seorang petugas BPJS Kesehatan. Karakteristik
partisipan dapat dilihat dari umur, tingkat pendidikan, alamat dan status
keikutsertaan partisipan dalam program JKN.
14,58% 22,92% 20,91% 11,46%
0
5
10
15
20
25
Bidan jampersal 2012
Bidan jampersal 2013
Bidan JKBM 2014
Bidan JKN 2015
Tabel 4.1
Karakteristik Partisipan Berdasarkan Umur, Pendidikan, Alamat dan
Status Partisipan
No Kode
Partisipan Umur
Pendi
Dikan Alamat Status Partisipan
1. 1 39 tahun D III Tabanan BPM JKN
2. 2 35 tahun D III Kediri. BPM JKN
3. 3 44 tahun D III Pupuan. BPM JKN
4. 4 39 tahun D III Pupuan. BPM JKN
5. 5 40 tahun D IV Selemadeg Timur BPM JKN
6. 6 65 tahun D III Kediri BPM JKN
7. 7 50 tahun D III Baturiti BPM JKN
8. 8 48 tahun D IV Kerambitan BPM JKN
9. 9 33 tahun D III Selemadeg Timur BPM JKN
10. 10 49 tahun D IV Selemadeg Barat BPM NON JKN
11. 11 60 tahun D III Tabanan BPM NON JKN
12. 12 52 tahun D IV Kerambitan BPM NON JKN
13. 13 43 tahun D III Kediri BPM NON JKN
14. 14 47 tahun D IV Tabanan BPM NON JKN
15. 15 61 tahun D III Tabanan. BPM NON JKN
16. 16 35 tahun D III Selemadeg Timur BPM NON JKN
17. 17 43 tahun D III Baturiti BPM NON JKN
18. 18 42 tahun D IV Tabanan BPM NON JKN
19. 19 53 tahun S II Tabanan Pemegang kebijakan
20. 20 47 tahun S I Tabanan Pemegang kebijakan
21. 21 52 tahun S II Tabanan Pemegang kebijakan
22. 22 46 tahun S I Penebel Dokter keluarga
23. 23 40 tahun S I Tabanan Dokter Keluarga
Sumber: Hasil Wawancara Mendalam dengan Partisipan pada Bulan April sampai Mei 2015.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada BPM di Kabupaten
Tabanan , didapatkan data bahwa sebagian besar informan berusia antara 33 – 58
tahun, sebagian kecil lainnya berusia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari segi
pendidikan sebagian besar partisipan berpendidikan DIII Kebidanan dan sebagian
kecil partisipan yang berpendidikan DIV Kebidanan dan semua partisipan tinggal
di wilayah Kabupaten Tabanan dan tersebar di masing - masing kecamatan.
4.3 Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Hasil penelitian disajikan dengan menggunakan narasi atau uraian sesuai
dengan fenomena-fenomena yang ditemukan saat wawancara mendalam dan
untuk pembahasan hasil penelitian juga menggunakan narasi atau uraian-uraian
berdasarkan hasil yang ditemukan dari proses thematic analisis dengan model
strategi analisis data kualitatif-verifikatif dimana setelah data dikumpulkan
kemudian diklasifikasikan untuk membuat suatu kesimpulan yang merujuk
kepada teori dan sumber pustaka (Bungin,2012).
4.3.1 Faktor Individual Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan Praktek
Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional
Hasil penelitian terkait dengan faktor individual yang berperan dalam
keikutsertaan BPM pada program JKN terdiri dari pengetahuan, motivasi dan
harapan dapat dilihat pada uraian di bawah ini:
a. Pengetahuan Bidan Praktek Mandiri Tentang Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian mengenai pengetahuan BPM tentang Program JKN
menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan menyatakan sudah mengetahui
program JKN secara umum.
“ Saya tahu tentang JKN… karena mencakup Jamkesmas, Askes sama
JKN mandiri.” (T1P2,Bidan JKN)
“Menurut saya JKN ini adalah suatu program pemerintah dimana adanya
kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat terutama dalam hal
kesehatan, melalui pembayaran premi.” (T1P9,Bidan JKN)
Menurut partisipan program JKN merupakan sebuah asuransi kesehatan
untuk melindungi masyarakat dari masalah kesehatan dengan cara membayar
iuran sebagai bentuk pengumpulan dana, pengumpulan dana tersebut
dimaksudkan untuk saling membantu antara masyarakat yang kaya dengan
masyarakat yang miskin, antara masyarakat yang sehat membantu yang sakit.
“JKN adalah asuransi kesehatan, tapi kalau sepengetahuan saya yang
dimaksud asuransi adalah sejenis mengumpulkan uang…, kalau di
masyarakat Bali itu namanya meselisi misalnya sehat membantu yang
sakit, kalau yang sakit dibantu oleh yang sehat itu…”
(T2P4, Bidan JKN)
Partisipan lebih berpendapat bahwa pelayanan pada JKN itu bersifat gratis
dan dapat dilakukan di fasilitas pemerintah serta melanjutkan program
sebelumnya yang pernah ada seperti program Jampersal, Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (Jamsostek), JKBM dan Jamkesmas.
“….tidak ada bedanya dengan Jamsostek, cuman bedanya kalau
jamsostek para karyawan, sedangkan kalau JKN tidak hanya karyawan
saja, tetapi masyarakat umum bisa ikut asuransi kesehatan”
(T2P6,Bidan JKN)
Para pemegang kebijakan menyatakan bahwa program JKN ini merupakan
suatu program dari pemerintah yang menjamin kesehatan seluruh masyarakat
mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabititatif. Derajat kesehatan suatu
negara dapat dilihat dari jumlah AKI dan AKB, dengan adanya JKN diharapkan
dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan.
“…dengan JKN akan menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia
mulai dari tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk ke
depannya JKN akan lebih menekankan promotif dan preventif untuk
mencegah jangan sampai ada masyarakat yang sakit terutama penyakit
degenerative dan sebagainya” (T2P19,Pemegang Kebijakan)
“…derajat kesehatan suatu negara itu diukur dari jumlah AKI dan AKB,
beberapa tahun yang lalu Tabanan pernah menduduki AKI dan AKB
tertinggi di bali, tapi tahun ini sudah turun. Jadi dengan adanya JKN
dapat membantu masyarakat meningkatkan derajat kesehatannya
sehingga jumlah AKI dan AKB dapat ditekan seminimal mungkin..”
(T2P21,Pemegang Kebijakan)
Namun hasil penelitian juga menunjukkan bahwa partisipan kurang
memahami program JKN yang terkait dengan pelayanan kebidanan dan neonatal.
“….ya, program JKN untuk pelayanan kebidanan hanya di puskesmas
atau rumah sakit, kan gratis, kalau bidan ikut JKN rugi…karena tidak
dibayar” (T2P11,Bidan Non JKN)
Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang program JKN
secara khusus untuk BPM. Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa belum
pernah diundang rapat untuk mendengarkan himbauan atau pengarahan tentang
program JKN apalagi yang menyangkut keikutsertaan BPM.
“Selama ini sih, terus terang saja belum pernah ada sosialisasi tentang
program JKN khusus untuk bidan praktek mandiri” (T1P1, Bidan JKN)
Informasi tentang Program JKN untuk BPM lebih banyak didengar saat rapat
rutin atau saat rapat program puskesmas lainnya baik dari dinas kesehatan maupun
petugas BPJS Kesehatan. Partisipan mengetahui program JKN secara global
melalui media elektronik dan media cetak seperti TV, radio, internet dan koran.
Sebagian besar partisipan menyatakan tidak pernah ada pengarahan dan
pembinaan mengenai JKN secara langsung untuk BPM.
“ Walaupun saya praktek berdekatan dengan dinas kesehatan, saya tidak
pernah mendapatkan sosialisasi tentang program JKN. Apalagi khusus
untuk bidannya…saya tahu tentang JKN hanya dari TV dan baca koran
saja “ (T1P11,Bidan non JKN)
Pada saat sosialisasi tentang JKN, pemegang kebijakan hanya
mengundang IBI serta beberapa orang bidan koordinator. Menurut sebagian
partisipan pelayanan JKN itu dilaksanakan di rumah sakit pemerintah atau
puskesmas, sedangkan untuk pelayanan JKN di BPM hanya sekedar informasi
saja.
“…penyampaian program JKN selalu di informasikan bersamaan dengan
program yang lain. Secara menyeluruh program JKN ini dilayani di
puskesmas, tapi untuk pelayanan kebidanan di bidan swasta pernah saya
dengar hanya sepintas lalu saja “ ( T1P10,Bidan non JKN)
Menurut para pemegang kebijakan, sudah dilakukan sosialisasi tentang
program JKN untuk BPM, tetapi yang diundang pada saat itu Ketua Pengurus
Cabang Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan beberapa bidan koordinator pemegang
program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada pertemuan tersebut disampaikan
tentang keikutsertaan BPM pada program JKN. Proses kerjasama bidan dengan
JKN baru dimulai sejak awal tahun 2015 karena sebelumnya BPJS hanya
bekerjasama dengan dokter keluarga saja.
“..sosialisasi kepada bidan mandiri sudah kita lakukan, kami mengundang
ketua IBI, di ruang pertemuan dinas kesehatan, khusus keikutsertaan
bidan-bidan di dalam pelayanan JKN, untuk waktu pelaksanaannya itu di
awal tahun 2015” (T1P19,Pemegang kebijakan)
Sosialisasi tentang pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN
ini digabungkan dengan rapat program lainnya, tidak ada waktu khusus antara
BPM dan BPJS Kesehatan serta Dinas Kesehatan duduk bersama untuk
menyosialisasikan program JKN yang berhubungan dengan pelayanan kebidanan
dan neonatal.
Pemegang kebijakan menyatakan bahwa dari organisasi belum pernah
menyampaikan sosialisasi tentang JKN pada anggota bidan, karena sampai saat ini
(bulan Mei 2015) belum pernah dilakukan rapat rutin. Rapat rutin organisasi IBI
Kabupaten Tabanan dilaksanakan setiap tiga bulan, namun hingga saat ini belum
terlaksana karena kesibukan dari masing-masing anggota dan pengurus.
“ Secara formal kita belum melakukan sosialisasi JKN pada bidan. Untuk
sosialisasi dari BPJS yang diundang cuma ketua saja, dan kebetulan kita
di organisasi belum mengadakan rapat rutin, jadi memang kami belum
mengadakan sosialisasi khusus untuk kepesertaan BPJS..”
( T1P21, Pemegang kebijakan)
Kurangnya sosialisasi tentang program JKN yang diberikan kepada BPM
akan sangat mempengaruhi pengetahuan bidan tentang program JKN. Program
JKN di tujukan untuk mencapai kesehatan untuk semua dan salah satunya juga
untuk memberikan pelayanan kebidanan dan neonatal, dalam hal ini bidan
membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB. Sosialisasi yang telah
dilakukan oleh pemegang kebijakan kepada IBI dan beberapa bidan koordinator
seharusnya disampaikan kepada bidan-bidan yang lain agar BPM dapat
mengetahui tentang program JKN khususnya untuk pelayanan kebidanan dan
neonatal. Bidan sebagai ujung tombak merupakan tenaga kesehatan yang paling
terdepan melayani masyarakat terutama untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
anak di Indonesia.
Menurut Mayona, dkk (2012) responden memiliki persepsi buruk tentang
paket Jampersal tetapi memiliki kemauan untuk menjadi provider program
Jampersal. Hal ini disebabkan karena responden memiliki persepsi yang baik
tentang prosedur dan tarif program Jampersal. Secara umum bidan sudah
mengetahui tentang adanya program Jampersal, namun pengetahuan bidan tentang
program ini masih rendah. Bidan belum mengetahui prosedur maupun paket-paket
manfaat Jampersal secara rinci. Tarif Jampersal juga menurut bidan cukup rendah
karena di bawah tarif yang biasa mereka berlakukan pada umumnya. Selain itu,
pandangan bidan tentang prosedur yang harus dilakukan, baik untuk perjanjian
kerjasama maupun klaim juga menjadi hambatan bagi mereka untuk mau menjadi
provider Jampersal. Menurut bidan, rumitnya prosedur yang harus dilakukan sering
kali menjadi kendala dalam program-program yang diadakan pemerintah, termasuk
program Jampersal. Untuk itu, perlu adanya usaha dari pemerintah untuk
meningkatkan kerjasama dengan bidan untuk menjadi provider program Jampersal.
Negara Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 pasal 13 menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban
ikutserta dalam program jaminan kesehatan sosial. JKN di laksanakan
berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2004. Implementasi JKN dalam
SJSN tahun 2014 adalah untuk menurunkan AKB dan AKI karena MDG’s tahun
2015 harus segera dapat dicapai sehingga identifikasi perlindungan akses melalui
jaminan pembiayaan persalinan dengan kepesertaan dalam JKN menjadi penting.
(BPJS Kesehatan, 2014).
Hasil penelitian yang terkait dengan tujuan dari program JKN didapatkan
bahwa sebagian besar partisipan sudah mengetahui tujuan dari program JKN
secara umum, menurut partisipan tujuan JKN adalah untuk memberikan kepastian
pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin atau kurang mampu.
“ Tujuannya kedepan supaya masyarakat bisa berobat kemana - mana di
seluruh Indonesia,tanpa takut tidak punya biaya.” (T2P2,Bidan JKN )
“…ekonomi sekarang semakin sulit, dan biaya kesehatan juga semakin
mahal, terutama untuk operasi, masyarakat sangat terbantu karena biaya
menjadi gratis dengan adanya JKN…” (T2P6,Bidan JKN)
Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa program JKN ini hanya
bertujuan untuk meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat karena lebih
cenderung untuk memenuhi kebutuhan politik saja.
“ setiap program yang dikeluarkan oleh pemerintah pasti bertujuan untuk
meningkatkan citra pemerintah di depan masyarakat, seperti JKN ini
kelihatannya seperti malaikat penyelamat untuk warga yang mengalami
kesulitan biaya kesehatan..” (T2P11, bidan non JKN)
Hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci menunjukkan bahwa
tujuan dari program JKN untuk pelayanan kebidanan adalah sama dengan
program sebelumnya seperti Jampersal dan JKBM.
“ Untuk kebidanan, tujuan dari JKN adalah sebagai pengganti Jampersal
dan Jamkesmas atau Jamkesda seperti JKBM dimana ibu hamil dapat di
berikan asuhan sesuai standar kebidanan untuk menuju persalinan yang
sehat dan aman” (T2P21,pemegang kebijakan)
Tujuan khusus dari program JKN dalam pelayanan kebidanan dan neonatal
merupakan tindakan antisipasi dari pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB.
Pada program JKN pelayanan yang diharapkan sesuai dengan standar kebidanan
yang telah disepakati. Dengan demikian seorang ibu hamil akan terpantau
kehamilannya hingga melahirkan dan tanpa takut tidak punya atau kurangnya
biaya dalam persalinannya. Ibu hamil diharapkan dapat melahirkan secara aman
dan sehat di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh tenaga yang profesional.Tujuan
asuransi kesehatan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dari masalah
pembiayaan kesehatan, kebutuhan dasar masyarakat akan hidup sehat dan
sejahtera dapat terpenuhi (BPJS Kesehatan, 2014).
Dari hasil penelitian terdahulu terhadap program Jampersal bertujuan
untuk meningkatkan akses ibu hamil terhadap pelayanan pemeriksaan kehamilan,
pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas dan pelayanan
keluarga berencana (Kemenkes RI, 2011). Tujuan dari program JKN khususnya
pada pelayanan kebidanan dan neonatal adalah untuk memudahkan ibu hamil
memperoleh pelayanan secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
sehingga dapat menurunkan AKI dan AKB.
Hasil penelitian terkait manfaat dari program JKN menunjukkan bahwa
sebagian besar partisipan menyatakan program JKN sangat bermanfaat untuk
membantu masyarakat mendapatkan pelayanan yang lebih baik tetapi sebagian
kecil menyatakan bahwa program JKN ini dapat mengancam keberlangsungan
praktek bidan mandiri. Partisipan menyatakan bahwa program JKN ini mematikan
usaha praktek mandiri karena pasien lebih cenderung memilih mendapatkan
pelayanan gratis di puskesmas, sehingga dapat mengurangi pemasukan bidan.
“…kalau jujur memang manfaatnya kurang dirasakan oleh bidan, seperti
teman bidan yang lain merasa dirugikan dengan adanya JKN, pasien
lebih memilih melahirkan di puskesmas karena gratis, sehingga pasien
yang datang ke tempat praktek berkurang dan rejeki bidan berkurang “
(T2P6,Bidan JKN)
Sebagian kecil juga dari partisipan menyatakan bahwa program JKN ini
dapat bermanfaat sebagai media promosi bagi bidan yang baru buka praktek dan
sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat untuk yang sudah lama buka
praktek.
“Kalau saya rasakan.. setelah ada JKN ini ada juga manfaatnya, kita kan
dapat klaim pelayanan dengan cara non kapitasi, jadi kita tetap mendapat
uang jasa dari BPJS dan bisa membantu masyarakat tidak
mampu…sebagai wujud pengabdian dengan masyarakat”
(T2P8,Bidan JKN)
Menurut pemegang kebijakan, program JKN ini sangat bermanfaat dalam
mengatur pendokumentasian asuhan kebidanan yang telah diberikan. Dengan
Program JKN, bidan yang ikut kerjasama dengan BPJS Kesehatan dituntut untuk
melengkapi administrasi dan standar prosedur pelayanan kebidanan, sehingga
pelayanan yang diberikan pada program JKN ini menjadi lebih optimal.
“ Manfaatnya agar setiap bidan mau melaksanakan pelayanan kebidanan
sesuai standar, pendokumentasian sesuai standar jadi akan lebih tertib
dalam administrasi, sebab kalau tidak gitu.. tidak bisa klaim”
(T2P21,Pemegang Kebijakan)
Manfaat JKN untuk pelayanan kebidanan dan neonatal bila dilihat dari pandangan
partisipan dianggap tidak bermanfaat dan merugikan, tetapi bila dilihat dari segi
manfaat JKN yang lain seperti: prosedur administrasi, pendokumentasian asuhan
kebidanan ini sangat bermanfaat. Bidan tidak hanya dituntut untuk dapat melayani
pasien saja tetapi harus mampu melakukan pencatatan yang benar dan teratur
untuk menunjang kinerja bidan selanjutnya dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Program JKN ini hampir sama manfaatnya dengan program Jampersal,
hal ini sesuai dengan hasil penelitian tentang evaluasi pelaksanaan program
Jampersal ditinjau dari persepsi pengguna dan penyedia layanan di Puskesmas
Mengwi I menyatakan bahwa pelayanan Jampersal mendapatkan respon yang baik
dari pasien maupun petugas kesehatan, dukungan tenaga kesehatan terutama bidan
dalam bentuk komitmen dengan cara memberikan pelayanan yang profesional
pada masing-masing pelayanan kebidanan (Adiputra dan Aryati, 2012).
Indonesia menuju UHC berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor
36 tahun 2009 pasal 13 yang menyatakan bahwa: setiap orang berkewajiban ikut
serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Program JKN juga memberikan
jaminan pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan
pembayaran non kapitasi untuk mendapatkan pelayanan kebidanan pada
puskesmas-puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014).
Menurut IBI (2013) tentang cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal
sesuai dengan standar pelayanan kebidanan antara lain: pemeriksaan kehamilan
(Antenatal Care atau ANC) sebanyak empat kali sesuai dengan usia kehamilan,
pertolongan persalinan (Intranatal Care atau INC), perawatan masa nifas
(Postnatal Care atau PNC) sebanyak tiga kali dan perawatan bayi baru lahir
(neonatus) sebanyak tiga kali serta pelayanan KB. Program JKN untuk pelayanan
kebidanan dan neonatal juga sudah sesuai dengan standar pelayanan kebidanan
yang ditetapkan.
Hasil penelitian terkait cakupan pelayanan kebidanan menunjukkan bahwa
sebagian besar partisipan belum mengetahui tentang cakupan pelayanan
kebidanan dan neonatal serta mana saja yang masuk kedalam cakupan JKN.
“…mungkin hampir sama dengan Jampersal dan JKBM, ANC 4 kali,
partus, PNC dengan neonatusnya 4 kali juga, dengan KB, kalau imunisasi
tidak tahu apakah ditanggung atau tidak….” (T2P1,Bidan JKN)
Rendahnya pengetahuan BPM tentang cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal
serta apa saja yang ditanggung pada program JKN, akan mempengaruhi persepsi
bidan terhadap klaim yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan. Cakupan pelayanan
yang diberikan oleh bidan sebagai pemberi pelayanan harus sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan oleh IBI.
Menurut partisipan kunci, selain cakupan pelayanan kebidanan bidan juga
diperbolehkan untuk mengambil pasien umum bila tidak ada dokter di daerahnya.
“Cakupan pelayanan kebidanan yang ditanggung JKN adalah ANC,
persalinan, nifas, bayi dan KB tapi bila ada pasien sakit kalau tidak ada
dokter ya.. bidan boleh memberikan pengobatan ringan ”
(T2P19, Pemegang Kebijakan)
“Sesuai standar pelayanan kebidanan kami (bidan) melakukan
pemeriksaan kehamilan (ANC), pertolongan persalinan, perawatan nifas,
perawatan bayi baru lahir dan pelayanan KB harus sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan oleh organisasi, baik ikut JKN maupun tidak semua
harus sesuai standar…” (T2P21,Pemegang Kebijakan)
Hasil studi evaluasi Jampersal tahun 2012, menghasilkan evidence yang
meyakinkan bahwa Jampersal berhasil mengajak ibu hamil untuk melahirkan di
fasilitas kesehatan. Peran aktif dari bidan sebagai ujung tombak pemberi
pelayanan kebidanan dan neonatal, ketersediaan obat dan peralatan serta fasilitas
yang telah disediakan oleh pemerintah semakin meningkatkan jumlah kunjungan
ibu hamil ke fasilitas kesehatan. Masyarakat berpendapat dan mempunyai harapan
terhadap program Jampersal agar dapat dilanjutkan hingga saat program JKN
diberlakukan. Fakta tersebut menjadi alasan yang kuat program Jampersal
dipertahankan keberlangsungannya dalam program JKN dengan berbagai
perbaikan dalam proses pelaksanaannya (Rahmawaty, 2013).
Sejalan dengan peningkatan cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal
maka peserta Jampersal secara bertahap akan menjadi peserta JKN. Lingkup paket
manfaat Jampersal menjadi bagian dari paket manfaat JKN yang komprehensif
sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali hal-hal yang bersifat nonmedis seperti
biaya transportasi (Mukti, 2012).
Desain asuransi kesehatan yang berbasis masyarakat seperti JKN,
membuat kontribusi masyarakat untuk berpartisipasi menjadi lebih tinggi.
Menurut Dror, dkk (2006) negara India melakukan penekanan biaya persalinan
dengan cara memberikan voucher yang bisa digunakan untuk membayar
transportasi saat akan bersalin. Hasil penelitian di Banglades menjelaskan bahwa
meskipun biaya persalinan gratis namun dari total pengeluaran langsung hampir
50 % untuk biaya rujukan (Dong dkk, 2004).
Menurut Achterbergh & Vriens (2002) pengetahuan memiliki dua fungsi
utama, pertama sebagai latar belakang dalam menganalisa sesuatu hal,
mempersepsikan dan menginterpretasikannya, yang kemudian dilanjutkan dengan
keputusan tindakan yang dianggap perlu. Kedua, peran pengetahuan dalam
mengambil tindakan yang perlu adalah menjadi latar belakang dalam
mengartikulasikan beberapa pilihan tindakan yang mungkin dapat dilakukan,
memilih salah satu dari beberapa kemungkinan tersebut dan
mengimplementasikan pilihan tersebut. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pengetahuan adalah: pendidikan, pekerjaan, umur, keinginan,
pengalaman lingkungan dan sumber informasi (Notoatmojo,2010). Pengetahuan
masyarakat tentang JKN yang sangat minim terutama di daerah-daerah perlu
diselesaikan secara bertahap. Dalam mengatasi masalah ini, kebijakan kesehatan
pemerintah harus hati-hati, cermat dan teliti sehingga investasi yang dilakukan
selama ini tidak sia-sia (Kebijakan Kesehatan Indonesia,2013).
Komunikasi juga sangat berperan dalam menyosialisasikan program JKN,
karena komunikasi merupakan suatu proses kegiatan yang dapat berlangsung secara
dinamis. Sesuatu yang didefinisikan sebagai proses, berarti unsur – unsur yang ada di
dalamnya bergerak aktif, dinamis, dan tidak statis. Kegiatan sosialisasi merupakan
kegiatan komunikasi, ini ditandai dengan adanya proses penyebaran pengetahuan dari
seorang komunikator kepada komunikan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan.
Sosialisasi suatu program, merupakan pengetahuan yang disampaikan dalam suatu
kegiatan sosialisasi yang berkaitan dengan konteks permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat. Sosialisasi akan memegang peranan penting di dalam menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan inovasi atau pengetahuan-pengetahuan yang
berhubungan dengan inovasi, baik pengetahuan teknis maupun pengetahuan prinsip
(Cangara, 2009).
b. Motivasi Bidan Praktek Mandiri Terhadap Program Jaminan Kesehatan
Nasional
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar partisipan mengungkapkan
bahwa dorongan BPM ikut program JKN adalah untuk melanjutkan dan
menyukseskan program pemerintah sebelumnya seperti Jampersal, JKBM dan
Jamkesmas.
“…awalnya ikut kerjasama alasan finansial, yaitu banyak pasien yang
ngebon, itu jadi kendala…karena merupakan lanjut dari program
sebelumnya, jadi saya ingin mensukseskan program pemerintah ”
(T5P1, Bidan JKN)
Menurut partisipan kunci mengatakan bahwa sejak ada program JKN dari
bidan sendiri secara tidak langsung banyak yang mengajukan Surat Ijin Praktek
Bidan (SIPB) karena salah satu syarat untuk dapat bekerjasama dengan JKN
adalah mempunyai SIPB.
“…tanpa mendorong pun bidan-bidan sudah berlomba-lomba untuk ikut.
Mereka akan berebut, sehingga sesuai persyaratan seperti kelengkapan
ijin praktek, untuk mereka yang lalai, saya lihat sudah ada peningkatan
dalam pengurusan surat ijin praktek, agar dapat bergabung dengan
JKN…” (T8P19,Pemegang Kebijakan)
Bidan Praktek Mandiri ( BPM ) adalah suatu institusi pelayanan kesehatan secara
mandiri yang memberikan asuhan pelayanan dalam lingkup kebidanan. Praktek
bidan mandiri merupakan serangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang
diberikan kepada pasien baik individu, keluarga dan masyarakat sesuai dengan
kewenangan dan kompetensi yang dimilikinya. Bidan yang menjalankan praktek
mandiri harus memiliki SIPB untuk menjalankan prakteknya pada sarana
kesehatan yang dimilikinya. Praktek pelayanan bidan mandiri merupakan
penyedia layanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak.
Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan bidan dapat memperoleh akses
pelayanan yang bermutu, perlu adanya regulasi pelayanan praktek bidan secara
jelas persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan praktek seperti perizinan,
tempat, ruangan, peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus
sesuai dengan standar seperti yang diatur dalam PERMENKES RI Nomor
1464/MENKES/PER/X/2010 (Kemenkes, 2010).
Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa mengikuti program JKN
merupakan dorongan dari hati nurani sebagai seorang bidan ingin membantu
masyarakat yang tidak mampu.
“….hati nurani sebagai seorang bidan, untuk membantu masyarakat, saya
ingin membantu masyarakat..seandainya saya tidak ikut JKN, saya tidak
dapat membantu masyarakat… yang paling tidak biayanya setengah sudah
di bayar pemerintah ” (T5P6,Bidan JKN)
Sesuai dengan surat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan dokter keluarga
disebutkan bahwa: bidan yang ikut bekerjasama dengan BPJS melalui dokter
keluarga tidak dibolehkan untuk menarik iuran tambahan kepada pasien dengan
alasan apapun. Namun untuk Kabupaten Tabanan bila dilihat dari jumlah klaim
yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan dirasakan sangat kurang oleh bidan,
sehingga dari beberapa partisipan menarik iuran tambahan kepada pasien dengan
alasan penggunaan bahan habis pakai serta fasilitas sarana dan prasarana yang
disediakan.
“ pasien melahirkan agar tetap merasakan JKN saya sarankan untuk naik
kelas saja…jadi bayarnya setengah dari BPJS dan setengahnya lagi dari
pasien” (T5P6,Bidan JKN)
Adapula BPM yang menyatakan mengikuti program JKN sebagai media
promosi kepada masyarakat agar dapat mempertahankan kunjungan pasiennya,
sehingga pendapatan bidan tidak berkurang.
“…dengan JKN saya dapat mempromosikan layanan lain yang bisa
diberikan seperti SPA bayi, pemeriksaan IVA dan kelas ibu hamil. Kalau
tidak boleh narik lebih,saya menarik biaya dari layanan tambahan
tersebut.. jadi pasien tidak merasa keberatan ” (T5P5,Bidan JKN)
Hasil wawancara mendalam pada partisipan kunci menyatakan bahwa
pemerintah selalu mendorong BPM untuk ikut menyukseskan program
pemerintah dan sebagai media promosi untuk mengajak pasien terutama ibu dan
anak untuk berkunjung ke BPM.
“…..motivasi bidan ikut JKN adalah agar dapat berlomba memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat, karena masyarakat bebas memilih
mana yang baik…dan selanjutnya semakin banyak pasien semakin banyak
insentif yang didapat oleh bidan..” (T5P19,Pemegang Kebijakan)
Pemegang kebijakan juga menyatakan bahwa tidak bisa memaksakan bidan untuk
ikut program JKN. Hal ini disebabkan karena jumlah klaim yang ditetapkan tidak
sesuai dengan kondisi geografi dan perekonomian masyarakat Kabupaten
Tabanan.
“ kami belum bisa memotivasi seluruh bidan praktek untuk ikut program
JKN, kalau pendapat saya pribadi sih… jasa pelayanannya tidak sesuai
dengan kondisi di Bali. Tapi kami dari BPJS hanya bisa menyampaikan
sesuai dengan undang- undang no 59..ya hanya itu saja..”
(T5P20,Pemegang Kebijakan)
“…untuk sementara belum ada motivasi atau dukungan dari organisasi,
kami dari organisasi mendukung saja program nasional sebatas kita sama-
sama diuntungkan dan tujuan utama kita adalah menurunkan angka
kematian ibu dan anak.” (T5P21,Pemegang Kebijakan)
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmennya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi
instrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi
yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang
ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan
lainnya. Menurut teori Mc Clelland tentang teori kebutuhan untuk mencapai
prestasi (need for achievement) dalam Sudrajat (2008) menyatakan bahwa
motivasi berbeda-beda sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi.
Karakteristik orang yang berprestasi tinggi memiliki tiga ciri umum yaitu: sebuah
preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat,
menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya
mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, dan menginginkan umpan
balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka.
Motivasi merupakan satu penggerak / pendorong dari dalam hati seseorang
untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan
sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari
kegagalan dalam mencapai tujuan hidup. Seseorang yang mempunyai motivasi
berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam
kehidupan. Motivasi yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu
sendiri yang membuat seseorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan
dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status
ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya, termasuk
diantaranya: persepsi seseorang terhadap diri sendiri, harga diri, harapan pribadi,
kebutuhan, keinginan, kepuasan kerja, dan prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen-elemen diluar
pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat
seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi, antara lain: jenis dan sifat
pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang bergabung, organisasi tempat
bekerja, situasi lingkungan pada umumnya, sistem imbalan yang berlaku dan cara
penerapannya (Leidecker dkk, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Rahmah (2013), diketahui bahwa motivasi
BPM dalam penandatangan perjanjian kerjasama Jampersal, adalah adanya faktor
kebutuhan aktualisasi diri sebagai bentuk pengabdian BPM kepada masyarakat
dan kepatuhan terhadap aturan pemerintah, sementara kecenderungan BPM tidak
mengikuti Jampersal karena biaya pengganti yang terlalu sedikit dan perasaan
tidak nyaman harus mematuhi aturan Jampersal.
Hasil penelitian terkait motivasi keterlibatan BPM pada program
Jampersal di Kota Banjarmasin menunjukkan bahwa pelaksanaan program
Jampersal di Kota Banjarmasin belum berjalan optimal. Pertolongan persalinan
oleh non nakes (dukun) meningkat dari 56 pada tahun 2010 menjadi 122 pada
tahun 2011. Sosialisasi program Jampersal telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kota Banjarmasin kepada seluruh bidan. Kepala Dinas Kesehatan telah
mengeluarkan instruksi kepada seluruh BPS untuk menjalin kerjasama Jampersal,
namun demikian dari 346 BPS yang ada hanya 45 BPS (13%) yang bersedia
melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal. Rendahnya motivasi BPS
untuk melakukan perjanjian kerjasama program Jampersal dipengaruhi oleh faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik (Noorhidayah,2012).
Hasil penelitian Brahmasari dan Suprayetno (2012) tentang pengaruh
motivasi kerja, kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja
karyawan serta dampaknya pada kinerja perusahaan, membuktikan bahwa
motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja
karyawan, artinya bahwa motivasi kerja memang sangat diperlukan oleh seorang
karyawan untuk dapat mencapai suatu kepuasan kerja yang tinggi meskipun
menurut sifatnya kepuasan kerja itu sendiri besarannya sangat relatif atau berbeda
antara satu orang dengan orang lainnya.
c. Harapan Bidan Praktek Mandiri Terhadap Program Jaminan Kesehatan
Nasional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan
mempunyai harapan yang besar terhadap program JKN. Partisipan menyatakan
agar mekanisme kerjasama BPM dengan program JKN dapat berkoordinasi
langsung dengan BPJS Kesehatan tanpa melalui dokter keluarga dan adanya
peningkatan tarif pelayanan yang telah ditetapkan.
“ Yang pertama pasti perhatikan tarif persalinannya, dimana melihat
resiko pekerjaan yang menolong 2 nyawa ibu dan bayi, Kedua, usahakan
bidan praktek mandiri dan apalagi yang sudah memiliki sertifikat PONED,
bisa PKS langsung dengan JKN/BPJS.” (T6P3,Bidan JKN)
Pemegang kebijakan juga menyatakan harapan kedepannya BPM dapat
bekerjasama dengan BPJS tanpa menjadi jejaring dokter keluarga lagi.
“…kalau bisa kami bekerja sama dengan JKN tidak di bawah dokter
keluarga, karena kami (bidan) juga sebuah profesi yang diakui secara
sah …akan lebih gampang prosedurnya, langsung bisa diklaim, langsung
masuk rekening kami tidak bertele-tele. ….”
(T6P21,Pemegang Kebijakan)
Bidan juga mengharapkan agar pemerintah harus lebih siap dalam
mempersiapkan sarana dan prasarana serta fasilitas yang dapat menunjang
kegiatan program tersebut, bidan juga mengharapkan agar yang ditanggung oleh
JKN bukan semua penyakit tetapi penyakit-penyakit tertentu saja.
“ Harapan saya agar rumah sakit atau ruangan-ruangan disiapkan lebih
banyak, tenaga yang lebih banyak, agar petugasnya tidak kewalahan
dengan pasien yang membludak. Terus yang kedua.., agar tidak semua
masalah kesehatan di tanggung JKN, seperti batuk pilek, agar masyarakat
bisa mandiri “ (T6P11,Bidan non JKN)
Hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci menyatakan bahwa harapan
JKN kedepannya akan memberikan pelayanan secara merata keseluruh lapisan
masyarakat sehingga bidan dapat memberikan pertolongan dengan segera.
“diharapkan semakin banyak bidan yang mau bekerja sama dengan BPJS
karena saya yakin sampai saat ini baru sedikit….harapan ke depan
semakin merata, diharapkan masing-masing desa di wilayah kerja
puskesmas ada bidannya yang sudah bekerja sama sehingga tidak perlu
jauh meminta pertolongan..” (T6P19,Pemegang Kebijakan)
Bidan Praktek Mandiri sangat mengharapkan adanya peningkatkan jumlah
klaim terhadap jasa pelayanan yang telah ditetapkan. Menurut partisipan
kehamilan bukanlah suatu penyakit tetapi suatu anugrah dari Tuhan yang patut
disyukuri.
“ Persalinan juga sebaiknya jangan ditanggung agar bidannya dapat
uang juga, karena persalinan itukan bukan musibah tapi anugrah tuhan…
juga persalinan dibayar segitu menurut saya itu sangat tidak sesuai ”
(T6P6,Bidan JKN)
Harapan merupakan usaha seseorang untuk memaksimalkan sesuatu yang
menguntungkan dan meminimalkan sesuatu yang merugikan bagi pencapaian
tujuan akhirnya. Menurut V.Room dalam Freddy (2012) harapan adalah tingkat
kepentingan pelanggan, yaitu keyakinan pelanggan setelah mencoba atau
menggunakan suatu produk atau jasa yang akan dijadikan standar acuan untuk
menilai produk atau jasa tersebut. Harapan dari tenaga kesehatan adalah kunci
pokok bagi setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti kesehatan ibu dan
anak yang melibatkan bidan sebagai pelanggan internal dan pasien atau klien
sebagai pelanggan eksternal.
Menurut teori Maslow, pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan
pokok, yang ditunjukkan dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang
memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal
dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar
sampai motif psikologis yang lebih kompleks yang hanya akan penting setelah
kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat, paling tidak harus
terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi
penentu tindakan yang penting. Pengetahuan, motivasi dan harapan bidan untuk
mengikuti suatu program termasuk kedalam kebutuhan penghargaan dan
aktualisasi diri. Bidan akan mempunyai motivasi dan harapan yang besar
terhadap suatu program seperti JKN apabila mendapatkan suatu penghargaan yang
layak bagi dirinya.
Besarnya harapan BPM untuk ikutserta berperan dalam program JKN
diharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan JKN, pemerintah
menyiapkan sarana dan prasarana yang lengkap serta peningkatan jumlah klaim
yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian di Kabupaten Tabanan akan
menambah ketertarikan BPM mengikuti program JKN. Bidan sebagai ujung
tombak pelayanan kebidanan dan neonatal di masyarakat dapat membantu
pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB. Harapan yang jelas terhadap
program JKN dapat lebih meningkatkan kualitas kinerja dari BPM.
Hasil penelitian Dewi (2013) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan tengah
menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang searah dan signifikan antara faktor
harapan dengan pekerjaan bidan. Jika harapannya terpenuhi maka akan
menghasilkan kepuasan. Harapan bidan dalam bekerja berhubungan kinerja
provider dalam pelayanan antenatal berlaku pada lokasi tertentu dan situasi
tertentu saja sesuai dengan kondisi daerah, jika ingin meningkatkan kinerja maka
faktor harapan dalam bekerja yaitu memiliki uraian tugas yang jelas, prosedur
kerja yang tetap serta standar pelayanan antenatal harus tersedia agar dalam
menjalankan pekerjaan bidan tidak ragu-ragu dalam melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan kompetensi dan kewenangan terhadap pelaksanaan pelayanan
sesuai dengan tanggung jawab yang akan memberikan dukungan bagi bidan untuk
berinisiatif dan berinovasi dalam memberikan pelayanan sehingga dapat
meningkatkan kinerja.
4.3.2 Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian terkait dengan faktor struktural yang berperan dalam
keikutsertaan BPM pada program JKN diantaranya berupa dukungan dan
kebijakan dari Dinas Kesehatan dan organisasi IBI, dapat dilihat pada uraian di
bawah ini:
a. Dukungan Pemerintah Dan Organisasi Terhadap Keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan
menyatakan belum mendapat dukungan langsung dari pemerintah (dinas
kesehatan Kabupaten Tabanan).
“…tidak ada dukungan atau kebijakan tentang keikutsertaan bidan dengan JKN.
Himbauan juga tidak ada, bagaimana bidannya aja.. mau ikut atau tidak, juga
tidak ada sangsi atau penghargaan yang diberikan..”
(T8P2,Bidan JKN)
“….tidak pernah ada dukungan atau kebijakan dari dinkes….karena semua kan
diatur oleh pemerintah pusat bukan pemerintah daerah”
(T8P11,Bidan Non JKN)
Sebagian kecil menyatakan mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui
kepala puskesmas.
“..dukungan berupa himbauan sudah disampaikan lewat kepala
puskesmas, karena kepala puskesmas juga perpanjangan tangan dinas
kesehatan, kalau bidan bisa ikut JKN melalui dokter keluarga dan
kebijakan tentang JKN tentunya sudah mengacu pada undang-undang
yang berlaku.” (T8P9,Bidan JKN)
Hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci menyatakan bahwa
sudah ada dukungan untuk BPM yang ikutserta dalam program JKN. Pemerintah
mengharapkan semakin banyak bidan yang ikut program JKN.
“…Saya sangat mendukung program JKN ini, karena di tahun mendatang
diharapkan semua masyarakat sudah ikut JKN dan bidan sebagai petugas
kesehatan di harapkan untuk ikut berpartisipasi dalam program JKN..”
(T8P19,Pemegang Kebijakan)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan
menyatakan belum ada dukungan dari IBI, hanya berupa himbauan serta
pembinaan bagaimana cara ikut berpartisipasi pada program JKN.
“Sementara belum ada dukungan dari organisasi, himbauan saja dulu
hanya sebatas himbauan tidak ditekankan...untuk melakukan kerjasama
dengan JKN….diharapkan juga ke depannya ada kebijakan dari IBI untuk
menyejahterakan kami (bidan)“ (T8P10,Bidan non JKN)
Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan menunjukkan
bahwa memang belum ada suatu keharusan BPM ikutserta dalam program JKN,
menurut pemegang kebijakan program keterlibatan bidan dalam program JKN
baru di mulai awal tahun ini, jadi cukup hanya dilakukan sosialisasi dulu. Untuk
kesediaan menjadi jejaring dalam program ini, organisasi hanya bisa memberikan
himbauan saja serta dukungan yang bersifat moril.
“Sementara ini karena baru tahap sosialisasi dari Kemenkes, belum
mengharuskan bidan praktek mandiri untuk ikut JKN, kontribusi ke bidan
hanya dalam bentuk pembinaan saja, jadi seiring berjalannya waktu nanti
kami (IBI) pikirkan, hanya dukungan moril aja dulu…”
(T8P2,Pemegang Kebijakan)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dokter keluarga mendukung
keikutsertaan BPM pada program JKN. Partisipan menyatakan bahwa semua
dokter keluarga melakukan pendekatan secara langsung dengan BPM. Dokter
keluarga mencari dan memilih bidannya sendiri, karena dengan memilih partner
sendiri akan merasa lebih nyaman dan lebih mudah berkomunikasi.
“ kami (dokter keluarga) lebih senang mencari jejaring yang dekat dan
kenal jadi dengan memilih partner kerja akan memudahkan untuk bisa
berkomunikasi” (T4P23,Dokkel)
Sebagian kecil juga partisipan menyatakan ingin mendukung dokter
keluarga karena merasa kasihan dengan dokter keluarga yang baru buka praktek.
Sebagian partisipan juga sudah mendapatkan tawaran untuk kerjasama dengan
dokter keluarga tapi belum ditindak lanjuti.
“karena dia dokter baru… belum punya pasien makanya beliau ingin ikut
JKN untuk promosilah, dia minta tolong supaya bisa dia bisa kerja sama
dengan BPJS harus punya bidan jejaring. Saya merasa kasihan makanya
saya ikut JKN” (T4P2,Bidan JKN)
“Pernah ditawarkan sekitar 2 bulan yang lalu kebetulan bertemu, tapi
tidak lagi ditindak lanjuti, ….dan kita juga belum bekerja sama dengan
dokternya.” (T4P11,Bidan Non JKN)
Rendahnya dukungan dari pemegang kebijakan terhadap keikutsertaan
BPM pada program JKN mengakibatkan kurangnya kemauan dari BPM
mengikuti program JKN. Dukungan dari lingkungan dan orang sekitar akan
meningkatkan kepercayaan diri bidan terhadap suatu program. Menurut Taylor,
dkk (2000) dalam Sarafino (2002), menyatakan bahwa dukungan sosial adalah
pertukaran interpersonal dimana seorang individu memberikan bantuan pada
individu lain. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, perhatian,
penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterima oleh individu
dari orang lain ataupun dari kelompok. Dalam menghadapi situasi yang penuh
tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial yang berasal dari orang lain
seperti: teman, keluarga, pimpinan, rekan kerja atau orang lain.
Ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu: dukungan emosional terdiri dari
ekspresi seperti : perhatian, empati, dan turut prihatin kepada seseorang, dukungan
penghargaan yaitu ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada
orang yang sedang stress dengan cara memberikan dorongan atau persetujuan
terhadap ide ataupun perasaan individu, dukungan instrumental yaitu dukungan
berupa bantuan secara langsung dan nyata, dukungan informasi berupa informasi
atau berita dari orang-orang sekitarnya dengan cara memberikan nasehat, arahan
dan saran untuk beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan, dan dukungan
kelompok merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa
dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-anggotanya.
Keikutsertaan BPM pada program JKN tidak terlepas dari peran dokter
keluarga untuk mengajak bidan untuk bekerjasama. Sebagian kecil bidan juga
menyatakan keinginannya untuk ikut dalam program JKN tetapi belum ada dokter
yang mengajak untuk bekerjasama.
“… belum ada dokter keluarga yang ikut program JKN disini, jadi ..sama
siapa saya bisa jadi jejaring klo persyaratan kerjasama dengan JKN
harus dibawah dokter.. ” (T4P17, Bidan non JKN)
Peran BPM dalam keikutsertaan pada program JKN juga dipengaruhi oleh
keinginan dari BPM secara individual berdasarkan kesadaran pribadi tapi
sayangnya dokter keluarga yang ikut program JKN belum tersebar secara merata
pada seluruh daerah di Kabupaten Tabanan. Pemerintah Kabupaten Tabanan dan
BPJS Kesehatan di harapkan lebih memeratakan dokter keluarga yang ikut JKN
diseluruh wilayah Kabupaten Tabanan sehingga bidan juga dapat berpartisipasi
pada program JKN.
b. Kebijakan Pemerintah Dan Organisasi Terhadap Keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional
Implementasi JKN masih menimbulkan pertanyaan bagi para bidan,
karena BPM tidak dapat bekerjasama langsung dengan BPJS Kesehatan dan harus
bergabung menjadi jejaring dulu pada fasilitas kesehatan tingkat I (Puskesmas)
atau dokter praktek perseorangan. Sosialisasi tentang JKN pada BPM tentang
bagaimana mekanisme kerjasama, prosedur, sistem pembayaran klaim dan
cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung JKN masih kurang,
sehingga IBI mengharapkan agar BPM dapat bekerjasama langsung dengan BPJS
Kesehatan seperti saat program Jampersal dan Jamkesda diberlakukan. Apabila
BPM tidak dilibatkan dalam JKN, maka dapat menghambat upaya pemerintah
menekan AKI dan upaya menggalakkan program KB (IBI, 2014).
Prosedur kerjasama antara BPM dengan BPJS Kesehatan haruslah melalui
dokter keluarga. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
partisipan mengetahui mekanisme kerjasama melalui dokter keluarga secara
langsung di fasilitasi oleh dokter keluarga dari pengurusan administrasi hingga
pengklaiman di BPJS Kesehatan.
“...kita kerjasama dengan BPJS melalui dokkel, laporannya juga di
gabung oleh dokkelnya… untuk klaimnya masuk ke rekening dokkel baru
kemudian diberikan kita” (T2P4,Bidan JKN)
Partisipan berpendapat bahwa semua tergantung pada dokter keluarga, dan
sebagian partisipan menyatakan bidan hanya melaksanakan saja.
“…kalau sekarang kan hanya dokter yang bisa kerjasama dengan BPJS,
sedangkan bidannya hanya melaksanan saja “ (T2P3,Bidan JKN)
Menurut partisipan kunci, BPM bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
melalui dokter keluarga bukan melalui dinas kesehatan, kalau bidan bekerja di
klinik berarti sudah masuk program JKN. Bila BPM ingin ikut JKN dapat datang
langsung ke kantor BPJS Kesehatan.
“ Bidan praktek kalau mau bekerjasama dengan JKN…harus jadi jejaring
dulu dengan Dokter keluarga, bila tidak ada dokter yang mengajak untuk
jadi jejaring datang saja langsung ke BPJS, Jadi kerjasamanya dengan
BPJS bukan dengan dinas kesehatan”
(T2P19,Pemegang Kebijakan)
“Dari BPJS…kami bekerja sama dengan dokter keluarga bukan dengan
bidan. Kalau klinik berbeda lagi, karena dalam klinik sudah ada dokter,
bidan, perawat dan juga petugas administrasi. Jadi untuk dokter
perorangan, dia wajib bekerja sama dengan bidan.”
(T2P20,Pemegang Kebijakan)
Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan menyatakan bahwa
secara nasional menginginkan agar bidan dapat mandiri bekerjasama langsung
dengan BPJS Kesehatan tanpa melalui dokter keluarga.
“…Organisasi IBI pada saat rapat sampai kongres selalu mengajukan
agar kami dapat mandiri tanpa harus menjadi jejaring dokter keluarga.
Dalam hal kolaborasi yang paling dekat adalah dokter,…kami bidan
dapat mengkonsulkan atau merujuk ke dokter, mungkin itu yang
menjadikan BPJS menerapkan sistem jejaring ”
(T2P21,Pemegang Kebijakan)
Menurut Notoatmodjo (2005), kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama
yang formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-
organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada
kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing anggota tentang
peninjauan kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan
saling berbagi (sharing) baik dalam risiko maupun keuntungan yang diperoleh.
Terdapat tiga kata kunci dalam kemitraan, yaitu: (1) Kerja sama antara kelompok,
organisasi dan individu, (2) Bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang
disepakati bersama, (3) Saling menanggung risiko dan keuntungan.
Menurut Ealau dan Pewitt (1973) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah
sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Menurut Titmuss (1974) dalam Suharto (2008), kebijakan adalah prinsip-prinsip
yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak
yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu.
Menurut Yandrizal,dkk (2013) terkait analisis kebijakan jaminan
kesehatan kota Bengkulu dalam upaya efisiensi dan efektifitas pelayanan di
puskesmas menyatakan bahwa kebijakan Jamkeskot Bengkulu dilaksanakan
belum menerapkan prinsip asuransi, dimana penyelenggara berfungsi
mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan yang diberikan baik di
pelayanan dasar/primer maupun di pelayanan rujukan.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar partisipan menyatakan tidak
setuju dengan sistem jejaring antara dokter keluarga dengan BPM. Menurut
partisipan, bidan adalah profesi mandiri sehingga tidak perlu berada dibawah
profesi lain.
“Kalau dari hati nurani saya sendiri memang tidak setuju, lebih baik
bidan praktek mandiri harus bisa mandiri PKS dengan BPJS tapi karena
situasi sekarang memaksa saya ikut dengan peraturan yang sekarang.”
(T3P3,Bidan JKN)
Sebagian kecil partisipan menyatakan setuju untuk menjadi jejaring dokter
keluarga karena menggangap pekerjaan bidan sangat beresiko sehingga perlu
dokter pendamping.
“…sistem jejaring, ya setuju saja…kita ini pekerjaan beresiko ya.. dengan
dokter bisa konsultasi bukan tentang kebidanan saja tapi penyakit yang
lain..” (T3P12,Bidan Non JKN)
Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan menunjukkan bahwa
dari segi kerjasama memang sebaiknya bidan berada dibawah pengawasan dokter
seperti dahulu, hal ini sebagai bentuk kerjasama (kolaborasi) antara dokter dengan
bidan. BPM saat ini tidak hanya melayani pasien kebidanan saja tetapi termasuk
pasien umum. Sehingga bila terjadi suatu masalah terhadap pelayanan terhadap
masyarakat, maka bidan dapat mengkonsultasikannya dengan dokter.
“ Dulu juga pernah diberlakukan untuk setiap bidan praktek harus punya
dokter pengawas, berjalan dengan baik tidak ada masalah”
(T3P19,Pemegang Kebijakan)
“Sistem jejaring merupakan implementasi nyata bentuk kolaborasi antara
dokter swasta dengan bidan mandiri, karena pada JKN tidak hanya
bersifat pertolongan bersalin dan kebidanan saja,tapi lebih mengarahkan
kesehatan untuk semua..”
(T3P20,Pemegang Kebijakan)
Menurut partisipan kunci, BPM sebaiknya dapat bekerja langsung dengan
program JKN. Dilihat dari kewenangan bidan, BPM berwenang dalam
memberikan pelayanan secara mandiri dan kolaborasi dengan profesi lain dalam
memberikan pelayanan kebidanan. Tetapi karena mekanisme kerjasama dengan
JKN harus melalui dokter keluarga, akhirnya bidanpun di hadapkan pada proses
administrasi yang sempurna sesuai dengan pendokumentasian asuhan kebidanan
yang harus diterapkan.
“ kami selalu memperjuangkan agar bidan dapat bekerja secara mandiri
bukan dibawah profesi lain. Terutama dalam pelayanan pasien JKN kami
dihadapkan pada sistem administrasi yang sempurna sesuai dengan
pendokumentasian asuhan kebidanan,…”
(T3P21,Pemegang Kebijakan)
Pada mekanisme pengajuan klaim pelayanan kebidanan dan neonatal ke
BPJS Kesehatan, praktek bidan di wajibkan untuk melengkapi data-data
pelayanan dengan berbagai administrasi yang telah disepakati pada surat PKS.
Administrasi tersebut antara lain: surat keterangan dari dokter keluarga, surat
pernyataan menerima layanan, dokumentasi asuhan kebidanan berupa buku KIA
yang mencatat sejak kehamilan, partograf serta surat pernyataan ikut program KB
setelah melahirkan. Dokumentasi asuhan kebidanan ini seringkali diabaikan oleh
bidan, karena bidan lebih fokus memberikan pelayanan saja ke pasien dan
bayinya. Sehingga dengan bekerjasama dengan BPJS Kesehatan bidan-bidan akan
lebih giat dalam memberikan pelayanan serta mencatat semua kegiatan yang telah
diberikannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dokter keluarga kurang setuju
dengan sistem jejaring yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan. Dokter keluarga
berpendapat mereka pasti bisa melakukan pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, perawatan nifas dan bayi baru lahir serta pelayanan KB. Dokter
keluarga menyatakan bahwa pasien-pasien peserta JKN sudah cukup pintar dan
kritis sehingga disaat bersalin, pasien lebih memilih ke dokter spesialis kandungan
(SpOG) atau Rumah sakit di bandingkan ke bidan.
“ walaupun kami dokter umum, sebenarnya bisa saja mengambil
pelayanan kebidanan dan untuk melahirkannya kita serahkan ke
pasiennya mau ke dokter SPOG, rumah sakit atau ke bidan. Pasien BPJS
biasanya memilih SPOG atau rumah sakit daripada kebidan, itu ya
terserah pasiennya…” (T2P22,Dokkel)
Sebagian kecil partisipan menyatakan bahwa ada dokter keluarga yang sudah
mempunyai jejaring bidan tetapi masih melayani pelayanan kebidanan seperti:
pasien hamil dan KB hanya persalinannya saja yang dikirim ke BPM.
“ Kalau dokter saya itu.. hanya mengirim pasien partus saja ke sini
(praktek Bidan) untuk periksa hamil dan KB beliau ambil sendiri, katanya
tidak perlu dikirim ke bidan karena beliau bisa koq.. memeriksa hamil dan
pasang KB. Terus terang saya merasa hanya di perlukan saat partusnya
saja apalagi resikonya besar..” (T2P5,Bidan JKN)
Sistem jejaring yang diberlakukan oleh BPJS Kesehatan dimaksudkan
untuk meningkatkan kolaborasi diantara tenaga kesehatan seperti dokter, bidan,
perawat dan dokter gigi untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan paripurna
kepada masyarakat. Kenyataannya semua profesi tersebut sudah mempunyai
asosiasi organisasi profesi sehingga masing-masing organisasi profesi tersebut
merasa mandiri tidak berada di bawah profesi lainnya. Sifat egoisme dari masing-
masing profesi karena semua ingin menunjukkan kewenangan dari profesi masing
-masing. Menurut Sigmund Freud dalam Kurniawan (2011), ego bekerja
berdasarkan prinsip realitas yang berusaha untuk memuaskan keinginan dengan
cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Tenaga kesehatan merupakan
tenaga profesional yang memiliki tingkat keahlian dan pelayanan yang luas dalam
mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang berfokus
pada kesehatan pasien. Tenaga kesehatan memiliki tuntutan untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu di era global seperti saat ini. Pelayanan
bermutu dapat diperoleh melalui praktik kolaborasi antar tenaga kesehatan.
Pelayanan kesehatan sering sekali ditemukan kejadian tumpang tindih pada
tindakan pelayanan antar profesi yang diakibatkan karena kurangnya komunikasi
antar tenaga kesehatan dalam kerjasama tim (Sedyowinarso dkk., 2011). Untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, kemampuan kolaborasi antar tenaga
kesehatan perlu ditingkatkan. Professional kesehatan, yang berfokus pada belajar
dengan, dari, dan tentang sesama tenaga kesehatan untuk meningkatkan kerja
sama dan meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hatta, dkk (2013) tentang peran
dokter dalam pelayanan maternal di puskesmas Kota Yogyakarta menunjukkan
bahwa berdasarkan analisis univariat ditemukan peran dokter dalam pelayanan
maternal di puskesmas ada 61,1% responden yang tidak setuju bila ibu hamil
tanpa komplikasi untuk partus di bidan, dan 77,8% responden tidak setuju bila
bidan melakukan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi kelainan pada infant.
Terdapat 66,7% dokter tidak setuju bila ibu hamil bebas memilih tempat
melahirkan di rumah atau fasilitas kesehatan dan 94,4% responden setuju pada
kebijakan pemerintah yang mengharuskan ibu hamil partus di fasilitas kesehatan.
Didapati pula ada 83,3% responden mengatakan bahwa beban kerjanya ringan dan
50% berpendapat tidak ada potensi sengketa antara profesi bila berperan dalam
pelayanan maternal.
Hasil penelitian terkait dengan prosedur pengklaiman jasa pelayanan
kebidanan dan neonatal pada program JKN, sebagian besar partisipan menyatakan
tidak mengerti cara pengklaiman ke BPJS Kesehatan.
“Saya kurang tahu berapa-berapa, tapi saya dengar informasi dari teman-
teman sepertinya agak murah untuk harga diri seorang bidan yang
menolong 2 nyawa ” (T2P12, bidan Non JKN)
“Saya dengar waktu rapat, periksa hamil dibayarkan harus lengkap dari
K1 sampai K4 kalau tidak, hangus klaim sebelumnya. Persalinan 600.000,
KB 15.000, IUD dan implant 100.000… dan itu diajukan ke dokternya
bukan ke dinkes” (T2P13,Bidan Non JKN)
Sebagian besar partisipan menyatakan untuk laporan pelayanan kebidanan
diserahkan ke dokter keluarga untuk selanjutnya dokter yang mengurus ke BPJS
Kesehatan dan klaim dari BPJS Kesehatan dan masuk ke rekening tabungan
dokter setelah itu dokter menyerahkan ke bidan sesuai dengan laporan yang
dibuat.
“Sistem pembayarannya, menurut dokternya saya hanya diberikan berkas
untuk dilengkapi oleh pasiennya, lalu disetor ke dokter, kemudian dokter
sendiri yang mengamprah ke JKN.” (T2P2,Bidan JKN)
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan partisipan kunci didapatkan
bahwa: prosedur pengklaiman jasa pelayanan kebidanan dan neonatal pada
program JKN termasuk pada sistem non kapitasi. Pembayaran dilakukan
berdasarkan jumlah pelayanan yang telah diberikan berdasarkan Permenkes No 59
tahun 2014 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan
program JKN.
“ Untuk tarif pengklaimannya kami tetap mengacu pada peraturan
terakhir yaitu Permenkes 59. Sedangkan untuk syarat-syarat pengajuan
klaimnya memang ada pemotongan mungkin untuk administrasi antara
dokter dengan bidan, …” (T2P20,Pemegang Kebijakan)
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan pasal
11 ayat 1 (a) menyatakan bahwa: jasa pelayanan kebidanan, neonatal dan KB
yang dilakukan oleh bidan atau dokter bersifat non kapitasi yaitu besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
diberikan sesuai dengan ketentuan.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Nomor 143
Tahun 2014 tentang Implementasi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 menjelaskan
bahwa: Pemeriksaan ANC dan PNC/neonatus dapat diberikan dan ditagihkan oleh
FKTP, Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui faskes induk.
Pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 %
dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014), Tarif pemeriksaan ANC
merupakan tarif paket untuk pelayanan ANC paling sedikit 4 (empat) kali
pemeriksaan dalam masa kehamilannya yaitu 1 (satu) kali pada trimester pertama,
1 (satu) kali pada trimester kedua, dan 2 (dua) kali pada trimester ketiga
kehamilan dan tidak dapat dipecah menjadi 4 (empat) misalnya per kali
pemeriksaan masing-masing Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah).
Apabila pemeriksaan ANC dilakukan kurang dari jumlah minimal (<4
kali) pemeriksaan sesuai waktu yang ditentukan maka biaya pemeriksaan ANC
tidak dapat ditagihkan, Penagihan biaya pemeriksaan ANC dapat ditagihkan
apabila telah dilakukan minimal 4 kali pemeriksaan ANC sesuai waktu yang
ditetapkan (dapat bersamaan dengan klaim persalinan yang diajukan atau terpisah
jika persalinan dilakukan di faskes lain) disertai dengan bukti pelayanan kepada
peserta, untuk menjaga kontinuitas pelayanan pemeriksaan ANC maka perlu
adanya informed consent bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan ANC dan
PNC di satu tempat yang sama (baik oleh FKTP maupun jejaring bidan sesuai
dengan prosedur).
Pemeriksaan ANC dan PNC pada tempat yang sama dimaksudkan untuk:
keteraturan pencatatan partograf, monitoring terhadap perkembangan kehamilan,
memudahkan dalam administrasi pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan, yang
dimaksud dengan per kali kunjungan pemeriksaan PNC adalah paket kunjungan
ibu nifas dan neonatus (kedatangan keduanya dihitung untuk 1 kali kunjungan).
Pemeriksaan ANC dan PNC di Fasilitas Kesehatan Rawat Tingkat Lanjut
(FKRTL) dilakukan berdasarkan indikasi medis, Kartu ibu dan buku kesehatan
ibu dan anak (Buku KIA) disediakan oleh faskes sebagai pencatatan dan
pemantauan status kesehatan peserta kebidanan, FKTP yang dapat menagihkan
tarif pelayanan persalinan pervaginam dengan tindakan emergensi dasar sebesar
Rp 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) dan pelayanan tindakan pasca
persalinan sebesar Rp 175.000 (seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) hanyalah
Puskesmas yang ditetapkan sebagai Puskesmas PONED (Pelayanan Obstretrik
Neonatal Emergensi Dasar), apabila pelayanan persalinan pervaginam dengan
tindakan emergensi dasar ditagihkan oleh FKTP lain selain Puskesmas PONED,
maka disetarakan sesuai tarif persalinan pervaginam normal sebesar Rp 600.000
(enam ratus ribu rupiah).
Pelayanan KB dapat diberikan dan ditagihkan oleh FKTP, Kantor cabang
agar berkoordinasi dengan BKKBN di masing-masing daerah terkait ketersediaan
alat dan obat kontrasepsi (alkon), Penagihan biaya pelayanan oleh jejaring melalui
faskes induk, pemotongan biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk
maksimal 10% dari total klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014), Khusus
pelayanan KB MOP/vasektomi dapat diberikan pada FKTP yang ditunjuk
berdasarkan rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan kompetensi dan kelengkapan sarana dan prasarana faskes.
Hasil wawancara mendalam dengan pemegang kebijakan terkait prosedur
klaim jasa pelayanan kebidanan dan neonatal, menurut partisipan kunci
menyatakan bahwa bila dilihat dari jumlah klaim yang ditetapkan Permenkes
Nomor 59 Tahun 2014 tidak sesuai dengan kondisi di Kabupaten Tabanan, BPM
diperbolehkan menarik biaya tambahan sesuai dengan kesepakatan yang telah
dibuat oleh IBI Tabanan sebelum adanya JKN, asalkan ada perjanjian antara bidan
dengan pasiennya.
“..Jadi kebijakan untuk menarik biaya tambahan untuk bidan JKN dan
JKBM, kami memaklumi saja, yang penting ada tanda tangan pasien
bahwa dia menyetujui membayar kekurangannya, karena obat kan tidak
ditanggung, menurut saya sah-sah saja menarik tambahan sebatas masih
batas minimal ” (T2P21,Pemegang Kebijakan)
Tarif pelayanan kebidanan yang berlaku di Kabupaten Tabanan berdasarkan
kesepakatan organisasi IBI cabang Tabanan tahun 2013 menetapkan tarif minimal
yang dapat dijadikan acuan oleh BPM, sudah termasuk jasa pelayanan, obat yang
digunakan dan kelengkapan sarana prasarana yaitu: Pemeriksaan kehamilan: Rp
30.000 – Rp 50.000, Persalinan normal dan bayi baru lahir: Rp 900.000 – Rp
1.200.000, Perawatan nifas dan ibu menyusui: Rp 30.000 – Rp 50.000,
Pemasangan IUD: Rp 150.000 – Rp 300.000, Suntik KB: Rp 25.000 – Rp 40.000,
Konseling: Rp 10.000, Imunisasi masing-masing Rp 20.000 – Rp 40.000,
Rujukan: berdasarkan Unit Cost. Bila dilihat dari tarif tersebut maka terdapat
kesenjangan antara kesepakatan yang dibuat oleh organisasi dibandingkan dengan
penetapan tarif pelayanan kebidanan yang ditetapkan oleh pemerintah (BPJS
Kesehatan).
Hasil penelitian Januraga, dkk (2009) di Kabupaten Jembrana
menunjukkan bahwa: terdapat pemahaman yang keliru pada sebagian besar policy
makers program Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) terhadap konsep kebutuhan
dasar kesehatan dan konsep keadilan egaliter dalam bidang kesehatan sehingga
menimbulkan resistensi atau penolakan terhadap kebijakan pembayaran premi,
khususnya premi PPK I JKJ. Sebagian besar policy makers dan PPK program JKJ
memiliki persepsi yang buruk terhadap sistem pembayaran kapitasi karena
dipandang memiliki kelemahan dalam pemerataan, keadilan, kepuasan pasien dan
mutu pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi hal itu sebaiknya besaran biaya per
kapita dihitung berdasarkan unit cost atau biaya klaim yang selama ini berlaku
serta dikomunikasikan secara baik antara badan pelayanan dan PPK. Selain itu,
beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian finansial
PPK adalah dengan melakukan risk adjusment capitation, curve out, dan
reinsurance. Risk adjustment capitation, besaran kapitasi dihitung dengan
penyesuaian terhadap faktor demografi, riwayat kesehatan peserta, riwayat
kunjungan peserta, dan beberapa indikator klinik. Curve out, dilakukan dengan
mengeluarkan pelayanan tertentu dari perhitungan kapitasi untuk dibayar dengan
cara lain. Peran badan pelayanan bersama-sama dengan PPK dibutuhkan untuk
membahas jenis pelayanan yang harus dikeluarkan, tetapi dengan tetap
memperhatikan hak-hak peserta untuk memperoleh pelayanan yang optimal. Cara
terakhir adalah dengan melakukan reinsurance. Reasuransi pada perusahaan
reasuransi dilakukan oleh badan pelayanan untuk menghindari terjadinya
kerugian pada PPK akibat pengeluaran yang tidak terduga.
Hampir sama seperti pendapat policy makers, sebagian besar PPK melihat
program JKJ khususnya kapitasi sebagai sistem yang merugikan dari sisi
kebebasan konsumen dalam memilih pelayanan, di samping pandangan negatif
akan adanya risiko finansial berupa kerugian pada pihak PPK. Ketakutan akan
kegagalan secara finansial bahkan juga dirasakan oleh PPK yang justru
menganggap kapitasi sebagai suatu cara pembayaran yang baik. Senada dengan
pendapat sebelumnya pangkal semua ketakutan terjadi karena kebebasan
masyarakat memperoleh pelayanan yang menurut anggapan PPK sulit untuk
diubah.
Pelaksanaan Jampersal di Kota Semarang dalam aspek pelaksanaan klaim
terdapat beberapa kendala pada aspek komunikasi dan sumber daya. Pelaksanaan
pelayanan Jampersal masih terkendala pada aspek sikap atau disposisi dan
struktur birokrasi (Mandasari, 2012). Program JKN memberikan jaminan
pembiayaan pada pelayanan kebidanan dan neonatal berdasarkan pembayaran non
kapitasi. Peserta JKN mendapatkan pelayanan kebidanan pada puskesmas-
puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan swasta yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan.
Hasil penelitian terkait prosedur administrasi yang ditetapkan oleh
Permenkes Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan
Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan mengenai pemotongan
biaya pembinaan terhadap jejaring oleh faskes induk maksimal 10 % dari total
klaim (Permenkes nomor 28 tahun 2014) sebagian besar partisipan termasuk
partisipan kunci tidak setuju. Menurut partisipan klaim yang ditetapkan sudah
sangat kurang dibandingkan dengan harga penggunaan bahan habis pakai yang
digunakan oleh pasien. Saat menolong persalinan bidan juga diharuskan
bekerjasama dengan bidan lain untuk memberikan pelayanan dan mengurangi
resiko dalam pekerjaannya.
“….saya mengharapkan dari JKN agar bisa meneliti lagi, dengan biaya
pelayanan yang semakin meningkat, biaya bahan habis pakai sekarang
sudah naik, agar seimbang.. jadi lebih ditingkatkan jumlah klaimnya juga
tidak ada pemotongan-pemotongan lagi untuk bidan baik untuk
administrasi atau pembinaan” (T6P1,Bidan JKN)
“Janganlah ada potongan lagi..kasian bidannya sudah klaimnya sedikit
tidak ditanggung obatnya…” (T6P19, Pemegang Kebijakan)
Tetapi ada sebagian kecil dokter keluarga yang memotong administrasi sebagai
jasa pembinaan dan pemotongan biaya meterai saat mengajukan klaim ke BPJS
Kesehatan.
“Ada pemotongan sebesar 10% untuk dokter keluarga…pihak BPJS
mengirim uang jasa ke rekening dokter keluarga tersebut, selanjutnya
dokter yang memberikan ke saya” (T2P5,Bidan JKN)
“klaim yang masuk ke rekening kami itu kena pajak meterai dan kami juga
bertanggung jawab terhadap bidannya…jadi wajar lah kami potong
sesuai aturan” (T2P22,Dokter keluarga)
Berdasarkan hasil analisis koordinasi pelaksanaan pembiayaan KIA di
Kabupaten Lombok Tengah, program Jampersal juga belum berjalan optimal.
Walaupun tidak ditemukan terjadinya tumpang tindih pembiayaan dan tidak ada
pelayanan KIA yang tidak terbiayai, namun masih ditemukan adanya iuran biaya
untuk obat maupun biaya rujukan serta tidak dilibatkannya pihak swasta dalam
program Jampersal. Pelaksanaan program Jampersal dinas kesehatan kabupaten
seharusnya dapat bekerjasama dengan klinik atau bidan praktek swasta
(Erpan,dkk.2011).
Hasil penelitian yang dilakukan di Tanjung Pinang, Sumatera utara,
Sulawesi selatan dan Sumbawa tentang Jampersal dan Jamkesda menyatakan
ketidak puasan bidan terhadap klaim jasa pelayanan kebidanan yang diberikan
oleh pemerintah. Plafon biaya yang kecil membuat tidak semua bidan bersedia
mengikuti program Jampersal. Di Kabupaten Buol Sulawesi Selatan untuk klaim
Jampersal sering mengalami keterlambatan dalam pencairan dana dan adanya
pemotongan dana hingga 25% berdasarkan Surat Keputusan Bupati. Di
Kabupaten Binjai menyatakan bahwa kurangnya sosialisasi tentang Jampersal
menyebabkan kurangnya pengetahuan bidan tentang program tersebut sehingga
bidan tidak mau bekerjasama dengan pemerintah. Bidan yang ikut kerjasama
dengan Jampersal sering mengambil iuran di luar tanggungan karena dana yang
diberikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan standar organisasi.
4.4 Refleksi
Program JKN yang secara efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2014
merupakan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 3, disebutkan
bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial. Sebagai sebuah kebijakan
pemerintah, program JKN ini akan menggantikan secara bertahap jaminan sosial
yang telah ada sebelumnya seperti Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri. Dengan
adanya program JKN ini, maka seluruh masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan
dasar hidupnya untuk hidup sehat tanpa menderita suatu penyakit, termasuk juga
masalah kehamilan dan persalinan yang memerlukan biaya besar.
Sejak diberlakukan Januari 2014 yang lalu, implementasi kebijakan JKN
pada pelayanan kebidanan dan neonatal sarat dengan berbagai permasalahan,
diantaranya pertama, masih belum meratanya sosialisasi tentang JKN pada bidan-
bidan. Kedua, komitmen antara BPM dan BPJS Kesehatan dalam hal pelayanan
kebidanan dan neonatal dengan masyarakat masih kurang jelas sehingga
memunculkan perbedaan pendapat terkait mekanisme prosedur kerjasama dan
klaim pada program JKN. Ketiga, masih banyak BPM yang belum bergabung
pada BPJS Kesehatan terutama di Kabupaten Tabanan. Keempat, kurangnya BPM
yang bergabung mengakibatkan banyak peserta yang mengantri dan menumpuk di
Puskesmas sehingga mengakibatkan kurang optimalnya sistem pelayanan dan
rujukan. Kelima, masih adanya kesenjangan antar fasilitas kesehatan seperti:
kesiapan infrastruktur, database, anggaran dan sumber daya manusia.
Dilihat dari lokasi penelitian Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten
agraris dan dekat dengan ibukota Propinsi Bali. Berdasarkan kriteria dari BKKBN
jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tabanan tahun 2013 sebanyak 23,50 %
dari jumlah penduduk, sehingga program JKN ini akan sangat membantu
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Bidan merupakan tenaga
kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan sehingga diharapkan
mampu menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kebidanan dan
neonatal. Usaha pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB sudah dimulai
sejak tahun 2011 dengan program Jampersal dan program JKBM, tetapi pada saat
itu bidan dapat bekerjasama secara langsung dengan pemerintah (Dinas Kesehatan
Kabupaten).
Kerjasama antara BPM dengan program JKN dimulai sejak awal Januari
2015, dimana sebelumnya BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan dokter
keluarga. Saat ini dokter keluarga diwajibkan untuk mengajak BPM sebagai
jejaring agar dapat melayani pasien dengan kasus kebidanan seperti pemeriksaan
hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas dan bayi baru lahir serta pelayanan
KB. Rendahnya partisipasi BPM di Kabupaten Tabanan pada program JKN ini
berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa hal, antara lain disebabkan
karena kurangnya pengetahuan BPM tentang program JKN terkait pelayanan
kebidanan dan neonatal.
Banyaknya partisipan yang tidak memahami tentang program JKN terkait
pelayanan kebidanan dan neonatal walaupun bidan tersebut sudah mengikuti
program JKN. Pemahaman BPM tentang program JKN itu termasuk pengertian,
tujuan, manfaat, cakupan pelayanan pada program JKN, mekanisme kerjasama,
jumlah klaim dan prosedur klaim sangat kurang. BPM mengikuti program JKN
hanya untuk mengikuti program yang sudah ada sebelumnya seperti Jampersal,
Jamkesmas dan JKBM. Bidan ikut program JKN bersifat ikut-ikutan saja karena
ajakan dari dokter keluarga atau kepala puskesmas tempat bidan bekerja dan
merasa kasihan pada dokter yang mengajak karena dokter keluarga juga ingin
mempromosikan tempat prakteknya.
Sebagai pemberi layanan kesehatan, bidan seharusnya sudah siap dengan
informasi tentang pelayanan kesehatan dalam program JKN. Namun
kenyataannya, informasi yang diterima oleh bidan tidak seragam. Bidan
memperoleh informasi dari berbagai sumber yang berbeda seperti informasi
langsung dari dokter yang mengajaknya kerjasama, mendengar langsung dari
teman – teman bidan dengan JKN serta informasi dari dokter puskesmas saat rapat
yang di gabung dengan rapat-rapat yang lain, sehingga terjadi persepsi yang
berbeda-beda antara sesama BPM. Tidak ada pertemuan khusus yang dilakukan di
puskesmas atau di rumah sakit untuk menyosialisasikan program JKN terkait
pelayanan kebidanan dan neonatal. Proses penyampaian informasi tidak semua
BPM mengetahui tentang pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung
oleh JKN seperti: ANC, pertolongan persalinan, PNC dan pelayanan KB termasuk
jumlah klaim yang akan diberikan.
Seorang partisipan menyatakan bahwa tujuan dari program JKN adalah
meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat terutama secara politik.
Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap program yang diluncurkan oleh
pemerintah secara tidak langsung bersamaan dengan pergantian kepala negara
(Presiden) sehingga kemungkinan program tersebut diluncurkan memang untuk
mengambil hati rakyat, dalam hal ini secara tidak langsung tenaga kesehatan
secara finansial akan merasa dirugikan karena pemerintah telah mengeluarkan
sistem pelayanan gratis untuk masyarakat.
Manfaat JKN mungkin sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat tapi
tidak untuk tenaga kesehatan termasuk bidan. Sebagian bidan yang melaksanakan
praktek mandiri akan merasa kehilangan atau berkurang pasiennya, karena pasien
lebih memilih pengobatan yang gratis ketimbang membayar ke BPM. Tapi bila
masyarakat jeli melihat, maka lebih banyak masyarakat yang ingin mendapatkan
pelayanan yang lebih privasi terutama pelayanan kebidanan dan neonatal.
Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal diharapkan sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan oleh IBI yaitu: ANC sebanyak 4 kali, persalinan,
PNC sebanyak 3 kali, kunjungan neonatus sebanyak 3 kali dan pelayanan KB.
Pada Permenkes Nomor 59 tahun 2015 dinyatakan bahwa klaim dapat dibayarkan
apabila pasien hamil memenuhi standar yang telah ditentukan, apabila tidak maka
klaim tidak dapat ditagihkan. Peraturan ini dibuat dengan harapan pasien akan
menjaga kehamilannya dengan memeriksa kehamilannya secara teratur pada satu
tempat sehingga secara administrasi akan berkesinambungan.
Hal tersebut tentunya sangat merugikan BPM yang bekerjasama dengan
JKN karena tidak semua pelayanan dapat di klaim apabila pasien periksa
berpindah-pindah tempat. Pada kenyataannya pasien lebih sering periksa sesuai
dengan keinginannya seperti periksa USG atau saat pulang kampung, sedangkan
saat program Jampersal atau JKBM pasien kemanapun periksa tetap ditanggung
walaupun tidak pada satu tempat. Pemerintah diharapkan untuk lebih
memperhatikan sistem paket klaim pada pasien ANC untuk mempertahankan
kesejahteraan bidan.
Motivasi BPM untuk mengikuti program JKN untuk ikut menyukseskan
program pemerintah, sebagai media promosi tempat praktek dan sebagai tempat
mengabdi pada profesi perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan organisasi
IBI. Beberapa BPM menyatakan mengikuti program JKN adalah untuk
mempertahankan jumlah kunjungan pasiennya, karena dengan adanya JKN
masyarakat lebih banyak mengunjungi puskesmas daripada datang ke BPM.
Bidan-bidan yang sebelumnya telah mengikuti program Jamkesmas, Jampersal
dan JKBM masih tetap ingin melanjutkan kerjasama dengan pemerintah melalui
program JKN, namun ada juga bidan yang mengikuti JKN karena di minta oleh
dokter keluarga/dokter puskesmas. Adanya sistem jejaring dokter keluarga secara
langsung mencari dan mendatangi BPM untuk mengajak menjadi jejaring, tapi
ada juga BPM yang memiliki keinginan untuk bergabung dengan JKN sedangkan
di daerahnya tidak ada dokter keluarga yang ikut program JKN sehingga BPM
tersebut tidak bisa menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Program JKN ini juga dijadikan sebagai media promosi untuk praktek
BPM, selain melayani pasien-pasien kebidanan juga mengembangkan suatu usaha
untuk menunjang pelayanan seperti: pijat bayi, senam hamil, perawatan
kewanitaan seperti Spa vagina dan ratus vagina. Mengikuti program JKN menurut
bidan menjadi pelayanan pokok sedangkan usaha-usaha lain yang diberikan
merupakan pelayanan pengembangan. Jadi dengan bekerjasama dengan JKN
bidan berharap selain ikut membantu menyukseskan program pemerintah juga
dapat meningkatkan program pelayanan pengembangan yang sedang digalakkan.
Dengan demikian menurut BPM walaupun klaim yang diberikan oleh BPJS
Kesehatan sangat kecil maka akan terbantu dengan program pengembangan yang
diberikan. Bidanpun dapat menarik biaya perawatan sesuai dengan pelayanan
yang telah diberikan sehingga jumlah pasien dan pendapatan akan tetap bisa
dipertahankan.
Bidan yang sudah membuka praktek lebih dari 20 tahun mengatakan ikut
JKN adalah untuk mengabdikan diri kepada profesi, karena selama ini untuk
kebutuhan finansialnya sudah lebih dari cukup. Apabila ada pasien dengan
keadaan yang kurang mampu maka bidan tersebut akan membebaskan biaya
perawatannya karena sudah mendapatkan klaim dari BPJS Kesehatan, tapi kalau
ada pasien yang mampu dan menggunakan JKN maka akan disarankan untuk naik
kelas perawatan sehingga akan terjadi subsidi silang antara yang mampu dengan
yang tidak mampu.
Harapan BPM pada program JKN adalah adanya perbaikan sistem dan
infrastruktur termasuk peningkatan jumlah klaim, sehingga tidak menyulitkan
pekerjaan bidan. Selama ini pemerintah menuntut agar BPM dapat memberikan
pelayanan yang terbaik dan sesuai dengan standar pelayanan kebidanan namun
tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana serta biaya yang mencukupi. Kejadian
di lapangan pada akhirnya akan terjadi ketimpangan, dimana bidan memberikan
pelayanan seadanya tidak memperhatikan standar pelayanan yang telah ditetapkan
oleh organisasi. Kalau saja sarana dan prasarana, obat-obatan serta bahan habis
pakai di lengkapi oleh pemerintah maka dengan klaim yang sedikit tidak akan
menjadi penghalang bagi BPM untuk melakukan asuhan yang sesuai dengan
standar. Jumlah klaim yang sedikit sudah termasuk obat, alat dan bahan habis
pakai, belum lagi BPM setiap menolong persalinan diwajibkan untuk berpartner
dengan teman sejawatnya, sudah tentu BPM tersebut akan membayar jasa bidan
yang lain sehingga klaim yang diberikan oleh BPJS Kesehatan untuk saat ini
tidaklah sesuai dengan kondisi di Kabupaten Tabanan. Apalagi di Kabupaten
Tabanan sudah mempunyai suatu kesepakatan organisasi IBI tentang tarif
pelayanan kebidanan di BPM yang sudah berjalan sejak 2013 sebelum adanya
program JKN.
Mekanisme kerjasama antara BPM dengan program JKN sesuai
Permenkes 59 tahun 2014 menyatakan bahwa BPM yang akan bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan haruslah melalui sistem jejaring dengan dokter keluarga.
Bidan-bidan merasa sangat keberatan dengan hal tersebut karena secara
Internasional bidan telah diakui sebagai suatu profesi yang mandiri, jadi tidak
perlu berada di bawah profesi lain termasuk dokter. Pada saat program Jampersal
dan JKBM berlangsung bidan dapat bekerjasama langsung dengan dinas
kesehatan. Secara administrasi bidan melakukan asuhan dan pendokumentasian
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan langsung melaporkan ke dinas
kesehatan, tetapi dengan adanya sistem jejaring BPM diharuskan untuk
melaporkan semua pelayanan kebidanan dan KB kepada dokter keluarganya
setelah itu dokter keluarga yang melanjutkan ke BPJS Kesehatan.
Sistem jejaring menjadi lebih rumit dari program sebelumnya karena
pengklaiman dilakukan pada rekening dokter keluarga dan adanya sistem
pemotongan administrasi sebesar 10% dari total klaim yang diajukan sebagai
administrasi atau pembinaan. Dokter keluarga sebenarnya juga merasa sangat
keberatan dengan adanya sistem jejaring ini. Menurut dokter keluarga sebenarnya
beliau juga dapat melakukan pemeriksaan hamil dan pelayanan KB secara
mandiri, termasuk juga persalinan. Hanya saja pasien-pasien kebidanan sudah
lebih mandiri mengambil keputusan untuk melahirkan, walaupun pasien telah
diarahkan ke BPM tetapi pasien lebih banyak yang minta dirujuk ke rumah sakit
atau ke dokter spesialis saja. Sistem jejaring sebenarnya dimaksudkan agar ada
kolaborasi antara dokter dengan bidan sehingga tidak terjadi persaingan dalam
memberikan pelayanan kebidanan dan KB pada masyarakat dalam memberikan
asuhan yang akan diberikan.
Keikutsertaan BPM pada program JKN sangat memerlukan dukungan dari
pemerintah seperti dinas kesehatan dan juga organisasi IBI. Program JKN baru
diluncurkan pada tahun 2014, menurut pemegang kebijakan program ini masih
baru dan hanya perlu himbauan saja pada bidan-bidan. Tujuan dari program JKN
salah satunya adalah untuk membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan
AKB dimana tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kepada
masyarakat adalah bidan termasuk BPM. Pemerintah daerah seharusnya benar-
benar mendukung program JKN karena merupakan program pemerintah pusat
dengan cara memberikan informasi melalui sosialisasi yang lebih intensif kepada
para bidan sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan dari BPM untuk ikut
berpartisipasi pada program JKN. Dukungan yang diharapkan oleh bidan berupa
bantuan perlengkapan sarana dan prasarana serta obat-obatan untuk menunjang
pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Sistem administrasi yang ribet
dan berbelit-belit juga mengakibatkan bidan enggan untuk ikutserta dalam
program JKN, pemerintah hendaknya menyiapkan suatu sistem administrasi yang
sudah sistematis dan sederhana sehingga bidan tidak merasa terbebani oleh
masalah tersebut.
Kebijakan dari dinas kesehatan dan organisasi IBI pada program JKN
berupa kebijakan daerah sangat diperlukan oleh bidan. Mekanisme kerjasama
antara BPM dengan JKN sebenarnya tidaklah sulit seperti yang dibayangkan oleh
bidan. Hendaknya dinas kesehatan dan BPJS mengatur dokter keluarga yang ikut
program JKN untuk mengajak jejaring BPM. Selama ini dokter memilih sendiri
BPM yang hendak dijadikan jejaring dengan alasan mencari BPM yang dekat dan
mudah untuk berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan ada beberapa bidan yang
ingin bekerjasama dengan BPJS terhalang karena tidak ada dokter keluarga yang
mengajak untuk bekerjasama. Bila sudah diatur kerjasama antara dokter dengan
bidan akan lebih mudah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kebijakan tentang tambahan penarikan iuran sesuai dengan perjanjian
kerjasama dengan BPJS tidak dibenarkan. Karena sesuai Undang-Undang Nomor
40 tahun 2004, fasilitas kesehatan termasuk bidan tidak boleh menarik biaya
diluar dari yang telah ditetapkan. Pemegang kebijakan di Kabupaten Tabanan
melalui organisasi IBI memberikan pernyataan memperbolehkan kalau BPM
menarik biaya tambahan sesuai dengan kesepakatan IBI yang sudah disepakati,
asalkan ada surat perjanjian antara pasien dengan bidan. Secara hukum tetap tidak
dibenarkan, sebaiknya pemerintah daerah mengajukan kepada pemerintah pusat
tentang penyesuaian klaim antar daerah atau pemerintah daerah ikut
menanggulangi atau menambah jumlah klaim pelayanan dari APBD masing-
masing sehingga tenaga kesehatan (bidan) tidak akan merasa dirugikan.
Kebijakan pemotongan administrasi untuk BPM yang bekerjasama dengan
JKN diharapkan pemerintah daerah meniadakan pemotongan tersebut. BPM
dipacu untuk bekerjasama dengan JKN agar dapat memberikan pelayanan yang
merata kepada semua lapisan masyarakat dan jangan sampai memotong honor
bidan tersebut. Dibuatkan suatu acuan berapa jumlah total klaim yang dapat
dipotong sebagai biaya administrasi tidak semuanya harus dipotong 10%. Jumlah
klaimnya saja sudah sedikit apalagi tambah potongan maka dapat mengurangi
kinerja dari bidan. Kurangnya klaim yang diterima oleh bidan akan sangat
mempengaruhi kinerja bidan selanjutnya.
Pada situasi dan kondisi yang telah dipaparkan diatas peneliti menyadari
dan merasakan bahwa kurangnya informasi tentang kerjasama BPM dengan
program JKN secara tidak langsung akan menghambat keinginan untuk
berpartisipasi dengan program JKN. Untuk sistem jejaring dari pandangan peneliti
sebenarnya tepat karena bidan juga perlu melakukan kolaborasi dengan dokter
bila berhadapan dengan pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, namun bila
dihadapkan dengan permasalahan kebidanan seharusnya bidan memang bisa
mandiri melakukan tindakan. Jumlah klaim yang ditetapkan oleh pusat tidaklah
sesuai dengan situasi dan kondisi di Kabupaten Tabanan, sehingga perlu
dilakukan pengkajian ulang mengenai hal tersebut. Kebijakan dari dinas kesehatan
dan IBI semua tergantung dari peraturan yang berlaku dari pusat kecuali kebijakan
itu mendapatkan persetujuan otonomi dari pemerintah daerah.
4.5 Keterbatasan Penelitian
Wawancara mendalam yang dilakukan pada partisipan kunci kurang
mendetail dan terarah karena partisipan lebih menutup-nutupi informasi yang
ingin digali karena faktor jabatan struktural yang harus mengikuti aturan dari
pemerintah.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik simpulan sebagai
berikut:
5.1.1 Faktor Individual Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
a. Pengetahuan BPM Tentang Program JKN
1) Pengetahuan partisipan tentang program JKN secara umum tergolong
cukup, karena partisipan sebagian besar bekerja di puskesmas atau
rumah sakit sehingga mendengar langsung saat ada rapat. Partisipan
juga mengetahui program JKN ini melalui TV, baca koran dan melalui
sosial media.
2) Pengetahuan partisipan tentang program khusus JKN yang terkait
dengan pelayanan kebidanan dan neonatal tergolong kurang. Hal
tersebut disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh oleh
partisipan baik melalui petugas BPJS Kesehatan, dinas kesehatan dan
organisasi IBI. Sosialisasi hanya dilakukan pada ketua IBI dan
beberapa bidan koordinator KIA saja, dan hingga saat ini belum ada
penyampaian langsung ke BPM . Informasi tentang JKN didapatkan
hanya melalui media, teman dan dokter keluarga yang mengajak untuk
bekerjasama.
100
3) Menurut partisipan terkait pengetahuan tentang tujuan JKN: ada yang
menyatakan bahwa tujuan dari JKN adalah untuk meningkatkan citra
pemerintah di mata masyarakat. Peran pemegang kebijakan haruslah
lebih dapat menjelaskan kepada BPM tentang tujuan dari JKN dalam
pelayanan kebidanan dan neonatal merupakan tindakan antisipasi dari
pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB.
4) Pengetahuan partisipan terkait manfaat JKN: partisipan lebih
berasumsi tidak ada manfaatnya bagi praktek bidan, bahkan merugikan
bidan. Manfaat dari JKN adalah untuk lebih dapat mengatur
administrasi seperti: prosedur administrasi, pendokumentasian asuhan
kebidanan. Karena untuk dapat mengklaim ke BPJS Kesehatan
diperlukan administrasi yang lengkap dan sesuai standar yang telah
ditetapkan.
5) Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal pada program JKN
sebagian besar partisipan sudah mengetahuinya karena sama dengan
yang telah ditetapkan oleh organisasi IBI.
b. Motivasi BPM Terhadap Program JKN:
1) Motivasi partisipan untuk ikut berpartisipasi pada program JKN adalah
untuk melanjutkan program sebelumnya, karena sejak diluncurkannya
Jampersal, Jamkesda dan JKBM ada beberapa partisipan sudah ikut
bekerjasama sehingga ingin tetap melanjutkannya hingga program
JKN.
2) Keikutsertaan BPM pada program JKN karena adanya dorongan dari
bidan untuk tetap mempertahankan kunjungan pasiennya dan
memperkenalkan program layanan pengembangan yang dimiliki oleh
bidan, seperti: pijat bayi, senam hamil, perawatan kewanitaan dan
sebagainya.
3) Untuk partisipan yang telah buka praktek lebih dari 20 tahun
menyatakan mengikuti program JKN selain untuk melanjutkan
program pemerintah yang sebelumnya juga ingin mengabdikan diri
pada profesinya serta agar dapat membantu masyarakat dengan sistem
subsidi silang antara pasien yang kurang mampu dengan pasien yang
mampu.
c. Harapan BPM Terhadap Program JKN
1) Bila dilihat dari jumlah klaim yang diterima sebagian besar partisipan
menyatakan tidak pantaslah untuk jasa bidan yang menanggung resiko
dua nyawa sekaligus. Partisipan berharap adanya peningkatan jumlah
klaim disesuaikan dengan kondisi geografi dan perekonomian di
Kabupaten Tabanan.
2) Partisipan mengharapkan agar pemerintah sebelum meluncurkan suatu
program untuk masyarakat agar mempersiapkan dulu sarana dan
prasarana, infrastruktur dan sumber daya manusia sehingga tidak
terjadi keterlambatan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
3) Bidan mengharapkan agar dapat bekerjasama langsung dengan BPJS
Kesehatan secara mandiri tanpa harus melalui sistem jejaring, karena
bidan adalah sebuah profesi yang sudah diakui internasional sehingga
tidak perlu berada di bawah naungan profesi lain (dokter keluarga).
5.1.2 Faktor Struktural Yang Berperan Dalam Keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri Pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
a. Dukungan Dari Dinas Kesehatan Dan Organisasi IBI
1) Rendahnya dukungan langsung yang diberikan oleh pemerintah (dinas
Kesehatan) dan organisasi IBI disebabkan karena program JKN
merupakan program baru, apalagi kerjasama antara BPJS Kesehatan
dengan BPM baru dimulai sejak awal tahun 2015 sehingga dinas
kesehatan dan organisasi IBI hanya bisa memberikan himbauan saja
dan belum ada peraturan dari pusat yang mengharuskan BPM untuk
ikut dalam program JKN.
2) Dokter keluarga mendukung keterlibatan BPM pada pada program
JKN untuk bersama-sama menyukseskan program pemerintah dalam
menurunkan AKI dan AKB.
3) BPM juga ingin membantu dokter keluarga yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan karena BPJS Kesehatan mengharuskan setiap dokter
keluarga harus bidan jejaring.
4) Belum meratanya dokter keluarga di seluruh kecamatan Tabanan
menjadi penghambat BPM yang ingin ikutserta pada program JKN.
b. Kebijakan Dari Dinas Kesehatan Dan Organisasi IBI
1) Dokter keluarga yang ikut program JKN diwajibkan untuk mempunyai
jejaring BPM, padahal dokter keluarga berpendapat mereka (dokter
keluarga) mampu melakukan pelayanan kebidanan seperti ANC,
pelayanan KB dan pemberian imunisasi.
2) Sehingga mekanisme kerjasama antara BPM dengan BPJS Kesehatan
lebih banyak di fasilitasi oleh dokter keluarga, dalam hal ini dokter
keluarga mencari sendiri BPM yang diajak untuk berpartner dalam
program JKN dengan alasan agar lebih dekat dan memudahkan untuk
berkomunikasi.
3) Dokter keluarga mengurus prosedur kerjasama antara BPM dengan
BPJS Kesehatan mulai dari proses kerjasama hingga sistem
pengklaiman dari pelayanan kebidanan dan neonatal sedangkan
bidannya hanya melaksanakan saja.
4) Sistem klaim pada pelayanan kebidanan dan neonatal akan masuk ke
rekening dokter kemudian baru di distribusikan kepada BPM sesuai
dengan pelayanan yang telah diberikan. Oleh sebab itu jasa klaim yang
akan diterima oleh BPM akan dipotong maksimal 10% dari seluruh
total pengklaiman oleh dokter keluarga sebagai jasa pembinaan dan
pengurusan administrasi.
5) Pemegang kebijakan semuanya tidak setuju dengan adanya
pemotongan tersebut karena jasa yang diterima oleh bidan sudah
sangat kecil bila dibandingkan dengan situasi dan kondisi Kabupaten
Tabanan.
6) Sehingga ada kebijakan yang tidak tertulis dari organisasi IBI untuk
BPM menarik biaya tambahan di luar tarif yang telah ditetapkan BPJS
Kesehatan. IBI mengharapkan dengan iuran tambahan tersebut para
bidan dapat memberikan asuhan kebidanan sesuai dengan standar
asuhan kebidanan yang telah ditetapkan sepanjang ada komunikasi
antara BPM dengan pasiennya.
5.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti menyarankan:
5.2.1 Untuk Dinas Kesehatan Tabanan
a) Dinas Kesehatan seharusnya menyosialisasikan tentang program JKN
pada semua bidan termasuk BPM yang tidak bekerja di puskesmas,
agar informasi tentang JKN dapat dipahami oleh semua bidan.
b) Agar dinas kesehatan memetakan kembali dokter keluarga yang ada di
semua kecamatan Tabanan, sehingga lebih merata dan BPM di
masing-masing daerah dapat menjadi jejaring dokter keluarga.
c) Agar dinas kesehatan dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah
tentang kebijakan biaya tambahan dari APBD untuk menambah jumlah
klaim pelayanan kebidanan dan neonatal.
d) Dinas kesehatan memberikan fasilitas sarana dan prasarana serta obat
dan bahan habis pakai untuk BPM yang ikut JKN.
e) Dinas kesehatan memberikan penghargaan bagi BPM yang telah ikut
berpartisipasi pada program JKN.
5.2.2 Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
a) Petugas BPJS Kesehatan agar melakukan sosialisasi langsung kepada
semua BPM tentang proses kerjasama dengan dokter keluarga.
b) Untuk tarif pelayanan kebidanan dan neonatal sebaiknya BPJS
Kesehatan melakukan risk adjustment capitation dengan menghitung
besaran kapitasi berdasarkan penyesuaian terhadap faktor geografi,
riwayat kesehatan peserta JKN, riwayat kunjungan peserta JKN dan
beberapa indikator klinik sehingga akan mengurangi resiko finansial
pada BPM sebagai pemberi pelayanan.
c) Mengatur Dokter keluarga yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
agar tidak memilih BPM sesuai dengan keinginan dokter saja tetapi
berdasarkan wilayah dan jumlah kapitasi pasien yang dimilikinya.
d) Memudahkan proses kerjasama antara dokter dengan bidan dengan
sistem administrasi yang sederhana dan mencakup semua pelayanan
kebidanan.
e) Menghindari keterlambatan dalam memberikan klaim tagihan yang
telah dilaporkan oleh BPM.
f) Mengusulkan kepada BPJS Kesehatan pusat agar tidak melakukan
potongan administrasi untuk BPM yang ikut program JKN, bila tetap
dilakukan pemotongan administrasi sebesar maksimal 10% maka BPJS
Kesehatan diharapkan agar membuat acuan yang jelas mengenai hal
tersebut.
5.2.3 Untuk Organisasi Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
a) Bagi Organisasi IBI agar selalu memberikan dukungan kepada
anggotanya untuk bekerjasama dengan JKN, sehingga dapat membantu
pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB.
b) Setiap informasi yang ada tentang program JKN hendaknya segera
diinformasikan pada anggotanya, sehingga tidak menimbulkan
persepsi yang berbeda-beda antara BPM.
c) Mengundang petugas BPJS Kesehatan untuk memberikan sosialisasi
secara langsung tentang program JKN, khususnya pelayanan
kebidanan dan neonatal.
d) Dengan kebijakan tidak tertulis yang disampaikan organisasi,
diharapkan agar IBI mampu melindungi anggotanya yang melakukan
penarikan iuran tambahan diluar tarif yang telah ditentukan BPJS
Kesehatan.
e) Agar IBI selalu mengadakan rapat pertemuan secara rutin yang
berkaitan dengan program JKN.
5.2.4 Untuk Peneliti Selanjutnya
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian
tentang analisis persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa BPM pada
program JKN sehingga akan memberikan gambaran secara komprehensif
mengenai peran BPM dalam menyukseskan program JKN.
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, W. & Saptiaryati. 2012. “ Evaluasi Pelaksanaan Program Jaminan
Persalinan Ditinjau dari Persepsi pengguna dan penyedia layanan di
Puskesmas Mengwi I”. Denpasar : Universitas Udayana.
Aulia,2011. “Analisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan
Ante Natal Care oleh ibu peserta Jampersal di wilayah kerja Puskesmas
Pocol”. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro.
Badan Litbang Kemenkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2012, Jakarta.
Bungin, B.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada:
Jakarta.
BPJS Kesehatan, 2014. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Brahmasari,I.A dan Suprayetno,A. 2012. “Pengaruh Motivasi Kerja,
Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja
Karyawan Serta Dampaknya Pada Kinerja Perusahaan “ Surabaya :
universitas 17 Agustus.
Dinas Kesehatan Propinsi Bali, 2013. Profil Kesehatan Propinsi Bali.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan, 2013.Profil Kesehatan Kabupaten
Tabanan.
Dewi,AP (2013). “ Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kinerja
Bidan Desa Pada Pelayanan Antenatal Dalam Program Jaminan Kesehatan
Daerah Di Kabupaten Kapuas” Kalimantan tengah: Unpar
Dong,H. dkk. 2004 The Feasibility Of Community-Based Health Insurance In
Burkina Faso. Health policy, 69 (1). 45-53.
Dror, D.M.dkk.2006 Health insurance benefit packages prioritized by low-income
client in india: the tree criteria to estimate effectiveness of choice. Journal
of social science & Medicine 64. 884-896
Erpan,LN.2011.” Koordinasi Pelaksanaan pembiayaan program kesehatan ibu
dan anak di Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat”.
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Freddy, R. Motivasi dan Harapan untuk yang berprestasi. Jakarta
Hatta,dkk (2013) “ Peran Dokter dalam Pelayanan Maternal di Puskesmas Kota
Yogyakarta “ Surabaya : Universitas Brawijaya.
Handayani, dkk. 2012.”Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan masyarakat
membayar iuran jaminan kesehatan di kabupaten hulu sungai selatan “.
Bandung : Universitas Padjadjaran.
Cangara, H. Pegantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 51,
megutip David K. Berlo, The Process of Communication: An Introduction to
Theory and Practice (NewYork: Holt, Rinehart and Winston, 1960).
Ikatan Bidan Indonesia. 2004. Bidan Menyongsong Masa Depan: 50 Tahun
Ikatan Bidan Indonesia. Jakarta : Pengurus Pusat IBI.
Ikatan Bidan Indonesia. 2014. Surat Edaran Nomor 117/SE/PPIBI/II/2014
tentang pelayanan Kebidanan di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Januraga, dkk (2009) “Persepsi stakeholders terhadap latar belakang subsidi
premi, sistem kapitasi dan pembayaran premi program jaminan kesehatan
Jembrana”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, hal 33 – 40.
Kementerian Kesehatan RI, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor. 2562/MENKES/PER/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis
Jaminan Persalinan,Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2010. Permenkes RI Nomor 1464/MENKES/PER/X/
2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, Jakarta.
Kementerian Keuangan RI, 2011.Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 244/PMK.07/2011 tentang Peta Kapasitas Fikal Daerah,
Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2012. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 40
tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat.
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2013. Tantangan Kebijakan Kesehatan di
Indonesia dalam Menghadapi Stagnasi Pencapaian MDG4 dan MDG5, dan
Semakin Meningkatnya Penyakit Tidak Menular dan
AIDS.http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/189
3.html. Diakses tanggal 17 Juli 2014 jam 4.27WIB.
Kemenkes RI. 2013. Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) dan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta. Kemenkes RI. 2013.
Bahan Paparan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Jakarta.
Kemenhumkam, 2004. Undang-undang RI Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Kemenhumkam, 2011. Undang-undang RI Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara jaminan sosial (BPJS)
Larasati, dkk. 2012.” Analisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan Antenatal Care oleh ibu Peserta Jampersal di wilayah kerja
Puskesmas poncol”. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro.
Leidecker. Joel K dan Hall. James J. (2009) Motivasi: Teori baik – tapi
penerapan buruk. Dalam: Timple. A dale, ed. Seri Manajemen Sumber
Daya Manusia: Memotivasi Pegawai. Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia, Jakarta.
Mayona,H., dkk. 2012. “ Pengaruh Persepsi Bidan Praktek Swasta Tentang
Program Jampersal Terhadap Kemauan Bidan Menjadi Provider Program
Jampersal Di Kota Binjai”. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Moleong,LJ., 2007. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Mukti, AG, 2012. “ Evaluasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Daerah Di
Kabupaten Magelang” Yogyakarta : Universitas gajah Mada.
Noorhidayah, 2012. “ Motivasi Keterlibatan Bidan Praktik Swasta terhadap
Program Jampersal di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan”.
Semarang: Universitas Diponogoro.
Notoatmojo, Soekidjo., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar.
Jakarta : Rineka Cipta.
Peraturan Gubernur Bali Nomor: 6 tahun 2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM).
Peraturan Guberbnur Bali Nomor 22 tahun 2012 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan.
Poerwandari,E.K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Prilaku Manusia.
(ed-3), Jakarta : Perfecta LPSP3. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Ratama,S.A. 2013. “Analisia Faktor Yang Mempengaruhi Keikutertaan Bidan
Praktek Mandiri Dalam Program Jaminan Persalinan Di Surabaya”.
Semarang : Universitas Diponogoro.
Rahmawaty,T. 2012. Riset Evaluatif Implementasi Jaminan Persalinan. Laporan
Penelitian, Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat. Surabaya.
Rukmini, 2013. “ Analisis Implementasi Kebijakan Jampersal di dinas Kesehatan
Kabupaten Sampang” Jakarta: Kemenkes RI.
Sudrajat, A. 2008 “Teori-Teori Motivasi Untuk Pendidikan”http:
akhmadsudrajad.wordpress.com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/
Suharto.2008. Kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan, Jakarta.
Sastroasmoro,Prof.Dr.dr. S & Ismael, Prof.Dr.S 2011. Dasar-dasar Metodelogi
penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Agung Seto.
Sugiyono, 2008. Memahami penelitian kualitatif, Bandung : PT alfabeta.
Sutrisno, E. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia
Tambun, dkk 2012. “Evaluasi Implementasi Kebijakan Persalinan Bagi
Masyarakat Miskin oeh Bidan Praktek Swasta di Kota Tanjung Pinang”
Tanjung Pinang: Universitas Hasanudin.
Umar,H, 2003. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis. Jakarta: Rajawali
Press.
Yandrizal, dkk (2013). “ Analisis Kebijakan Jaminan Keshatan Kota Bengkulu
Dalam Upaya Efisiensi Dan Efektifitas Pelayanan Di Puskesmas” Sumatera:
Universitas sumatera utara
Lampiran 2
Panduan Wawancara Mendalam ( Indept Interview )
“Faktor Individual dan Faktor Struktural yang Berperan dalam
Keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan
Nasional di Kabupaten Tabanan “
SITI ZAKIAH
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
Lembaran Informasi
PENJELASAN KEPADA CALON PARTISIPAN SEBELUM
WAWANCARA MENDALAM BERLANGSUNG TENTANG FAKTOR
INDIVIDUAL DAN FAKTOR STRUKTURAL YANG BERPERAN
DALAM KEIKUTSERTAAN BIDAN PRAKTEK MANDIRI PADA
PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL.
Program Jaminan Kesehatan Nasional disingkat JKN adalah suatu
program pemerintah dan masyarakat/rakyat dengan tujuan memberikan kepastian
jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk
Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. Tujuan penyelenggaraan
adalah untuk memberikan manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan akan
pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan. Manfaat diberikan dalam bentuk
pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup pelayanan
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan
(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) termasuk pelayanan kebidanan dan
neonatal.
Wawancara mendalam ini bertujuan untuk mengetahui faktor individual
dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri
pada program Jaminan Kesehatan Nasional. Penelitian ini di dalamnya akan ada
sejumlah pertanyaan dan pernyataan, mengenai program JKN yang menyangkut
“Faktor individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan
Praktek Mandiri pada Program Jaminan Kesehatan Nasional”.
Kita mempunyai waktu selama kurang lebih 60 – 90 menit untuk
membahas beberapa topik diskusi yang berkaitan dengan faktor individual dan
faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada
program JKN dengan dibantu alat perekam serta dilakukan dokumentasi berupa
foto. Selama wawancara berlangsung, peneliti akan melakukan segala upaya
untuk merahasiakan semua informasi yang menyangkut hal-hal pribadi. Informasi
yang diperoleh akan dikumpulkan dan disimpan dalam bentuk kode-kode. Oleh
sebab itu, nama ibu/bapak sama sekali tidak akan ada di data penelitian ini.
Penelitian ini juga telah mendapatkan persetujuan dari Kesbangpolinmas, Dinas
Kesehatan Kabupaten Tabanan dan dari Komite Etik Universitas Udayana
Denpasar.
Besar harapan saya, kepada ibu/bapak untuk menjawab yang sejujur-
jujurnya terhadap pertanyaan yang saya ajukan tanpa unsur paksaan karena hal ini
penting sekali sebagai masukan untuk penyempurnaan program Jaminan
Kesehatan Nasional yang sedang di selenggarakan. Ibu/Bapak juga dapat menolak
atau mengundurkan diri apabila ada hal-hal yang kurang berkenan selama
wawancara mendalam dilakukan. Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi
saya sebagai peneliti utama (Siti Zakiah) Nomor HP yang bisa dihubungi:
08164728642.
Pernyataan Kesediaan Menjadi Partisipan
Persetujuan partisipasi sebagai partisipan pada penelitian “Faktor individual dan
faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri pada
Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Kabupaten Tabanan ”
Saya menyadari bahwa :
1. Sebagai informan saya akan memberikan informasi sepanjang pengetahuan
saya.
2. Saya akan diwawancarai oleh petugas/pemandu diskusi selama kurang lebih
60-90 menit.
3. Identitas saya akan dilindungi dengan tidak mencantumkan hal-hal yang
bersifat pribadi.
4. Keikutsertaan dalam studi ini bersifat sukarela dan saya bisa mengundurkan
diri, sebelum maupun saat wawancara sedang berlangsung.
5. Saya boleh tidak menjawab suatu pertanyaan, oleh karena alasan apapun.
6. Saya memahami tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
individual dan faktor struktural yang berperan dalam keikutsertaan bidan
praktek mandiri pada program jaminan kesehatan nasional, oleh karena itu
informasi yang saya berikan sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Tabanan ,…..………………2015
Partisipan
(………………….……)
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM
UNTUK BIDAN PRAKTEK MANDIRI
1. Tanggal wawancara mendalam :
2. Nama Partisipan :
3. Umur Partisipan :
4. Pendidikan terakhir :
5. Lama Buka Praktek Mandiri :
6. Alamat Partisipan :
7. Nomor Telp Partisipan :
8. Akses Informasi :
A. Pendahuluan
1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.
2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari
wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan
informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan
dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang
diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan
pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi
berupa foto oleh pendamping.
5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam
dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam :
No Topik Probing Taksir Waktu
1 Apakah pernah dilakukan
sosialisasi Jaminan Kesehatan
Nasional pada Bidan Praktek
Mandiri?
- Kapan, Dimana, Siapa
pesertanya,
- disosialisasikan oleh siapa,
- apa saja yang dibahas,
- informasinya sudah cukup.
15 menit
2. Apakah yang ibu bidan
ketahui tentang Program
Jaminan Kesehatan Nasional ?
- Pengertian, tujuan dan
manfaat, kepesertaan,
- Mekanisme kerjasama
- cakupan layanan JKN pada
pelayanan kebidanan
- sistem pembayaran klaim
15 menit
yang diajukan oleh Bidan.
3. Bagaimanakah pendapat bidan
tentang sistem jejaring pada
program JKN?
- Setuju/tidak
- Mekanisme/prosedur
kerjasama dengan dokter
perorangan
10 menit
4. Apakah ibu pernah diajak
untuk bekerjasama JKN oleh
dokter praktek mandiri?
- Kapan, siapa, dimana ?
- Bagaimana kelanjutannya?
10 menit
5. Bagaimanakah motivasi ibu
terhadap program JKN?
- Apa saja usaha yang akan
dan telah dilakukan.
- Apa yang mendorong
untuk mengikuti program
JKN.
5 menit
6. Bagaimanakah harapan ibu
terhadap program JKN?
- Apakah pengakuan dan
penghargaan yang
diinginkan di masa yang
akan datang.
5 menit
7 Apakah ada dukungan dari
Organisasi (IBI) untuk
mengikuti program JKN ?
- Himbauan
- Sosialisasi
- Kebijakan
10 menit
8. Apakah ada dukungan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten
Tabanan
- Kebijakan
- Himbauan
- Sanksi atau penghargaan
10 menit
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK KEPALA DINAS
KESEHATAN SEBAGAI TRIANGULASI DATA
1. Tanggal wawancara mendalam :
2. Nama Partisipan :
3. Pendidikan terakhir :
4. Alamat Partisipan :
5. Nomor Telp Partisipan :
A. Pendahuluan
1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.
2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari
wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan
informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan
dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang
diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan
pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi
berupa foto oleh pendamping.
5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam
dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam :
No Topik Probing Taksir Waktu
1. Apakah sudah pernah
dilakukan sosialisasi
program Jaminan
Kesehatan Nasional
pada Bidan Praktek
Mandiri?
- Kapan, dimana, jumlah
peserta yang hadir
- Materi yang telah
disampaikan.
15 menit
2. Apakah ada kebijakan
yang telah dibuat untuk
mendorong Bidan
Praktek Mandiri agar
mau ikutserta dalam
program Jaminan
kesehatan Nasional?
- Undang- undang yang
mengatur kerjasama
BPM dengan Program
JKN
- Surat keputusan atau
peraturan daerah.
15 menit
3. Apakah ada himbauan
dari pemerintah agar
- Ajakan langsung dari
dinas kesehatan
15 menit
pihak swasta seperti
Bidan Praktek mandiri
ikut berpartisipasi
dalam program JKN?
- Kemudahan bila
mengikuti program
- Prosedur kerjasama
dengan BPJS
4. Menurut pandangan
bapak, Apakah ada
kontribusi Bidan
Praktek Mandiri untuk
ikut mensukseskan
program JKN?
- Apasaja yang dapat
dibantu dengan
keikutsertaan bidan pada
program JKN?
- Kemudahan akses
pelayanan kebidanan
15 menit
5. Menurut pandangan
bapak apakah ada
potongan administrasi
pada klaim pelayanan
kebidanan yang
diberikan oleh Bidan
Praktek mandiri?
- Mengapa ada
Pemotongan
administrasi
- Berapa jumlahnya
- Kegunaannya
15 menit
6. Menurut pendapat
Bapak, penghargaan
apa yang dapat
diberikan pada Bidan
Praktek Mandiri yang
ikut program JKN?
- Fasilitas-fasilitas yang
dapat dimanfaatkan
untuk menunjang
program JKN
- Tambahan klaim
pelayanan ?
10 Menit
6. Menurut pendapat
Bapak, sangsi apakah
yang dapat diberikan
pada bidan praktek
mandiri yang tidak
mau berpartisipasi pada
program JKN?
- Proses pengurusan ijin
praktek
- Proses administrasi ke
dinas kesehatan
10 menit
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
UNTUK KETUA IKATAN BIDAN (IBI) CABANG TABANAN SEBAGAI
TRIANGULASI DATA
1. Tanggal wawancara mendalam :
2. Nama Partisipan :
3. Pendidikan terakhir :
4. Alamat Partisipan :
5. Nomor Telp Partisipan :
A. Pendahuluan
1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.
2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari
wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan
informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan
dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang
diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan
pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi
berupa foto oleh pendamping.
5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara mendalam
dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam :
No Topik Probing Taksir Waktu
1. Apakah sudah pernah
dilakukan sosialisasi program
Jaminan Kesehatan Nasional
pada Bidan Praktek Mandiri?
- Kapan, dimana, jumlah
peserta yang hadir
- Materi yang telah
disampaikan.
15 menit
2. Apakah ada kebijakan dari
organisasi Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) cabang
Tabanan untuk keikutsertaan
BPM pada program JKN?
- Surat keputusan IBI
- Kesepakatan bersama
dengan anggota IBI
10 menit
3. Menurut pendapat ibu, apakah
BPM dapat memberikan
kontribusi terhadap pelayanan
kebidanan dan neonatal pada
- Cakupan pelayanan
kebidanan dan
neonatal.
15 menit
Program JKN?
4. Menurut pendapat ibu,
dukungan apakah yang dapat
diberikan pada bidan praktek
mandiri yang ikut
bekerjasama dengan JKN?
- Kemudahan dalam
pengurusan ijin praktek
- Kemudahan proses
administrasi
15 menit
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK PETUGAS BPJS
KESEHATAN CABANG TABANAN SEBAGAI TRIANGULASI DATA
1. Tanggal wawancara mendalam :
2. Nama Partisipan :
3. Pendidikan terakhir :
4. Alamat Partisipan :
5. Nomor Telp Partisipan :
A. Pendahuluan
1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.
2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari
wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan
informasi tentang faktor individual dan faktor struktural yang berperan
dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program Jaminan
Kesehatan Nasional.
3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang
diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan
pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi
berupa foto oleh pendamping.
5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara
mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam :
No Topik Probing Taksir Waktu
1. Apakah sudah pernah dilakukan
sosialisasi program Jaminan
Kesehatan Nasional pada Bidan
Praktek Mandiri?
- Kapan, dimana,
jumlah peserta yang
hadir
- Materi yang telah
disampaikan.
15 menit
2. Bagaimanakah prosedur /
mekanisme kerjasama BPM
dengan Program JKN?
- Kelengkapan
administrasi
- Cara melakukan
kerjasama.
- Bagaimana dengan
sistem jejaring
15 menit
3. Bagaimanakah prosedur klaim
dari BPM pada Program JKN?
- Tarif pelayanan
kebidanan yang
diberikan.
- Syarat-syarat
15 menit
pengajuan klaim
4. Bagaimanakah prosedur
administrasi pelayanan
kebidanan dan neonatal
- Adakah
pemotongan
administrasi
- Mengapa ada
pemotongan
administrasi
- Iuran biaya
tambahan
15 menit
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK DOKTER
PRAKTEK PERORANGAN/MANDIRI SEBAGAI TRIANGULASI DATA
1. Tanggal wawancara mendalam :
2. Nama Partisipan :
3. Umur Partisipan :
4. Pendidikan terakhir :
5. Lama Buka Praktek Mandiri :
6. Alamat Partisipan :
7. Nomor Telp Partisipan :
A. Pendahuluan
1. Memperkenalkan diri: Saya Siti Zakiah mahasiswa Program Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Denpasar.
2. Memberitahukan maksud dan tujuan dari penelitian: Tujuan dari
wawancara mendalam yang akan dilakukan adalah untuk mendapatkan
informasi tentang faktor individual dan faktor cxlixtructural yang
berperan dalam keikutsertaan Bidan Praktek Mandiri Pada Program
Jaminan Kesehatan Nasional.
3. Menjelaskan tentang kerahasiaan partisipan: Identitas partisipan yang
diberikan pada hari ini akan dirahasiakan dan hanya untuk kepentingan
pendidikan. Mohon kiranya memberikan informasi secara terbuka
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami.
4. Mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi: meminta ijin
mempersiapkan alat perekam dan dokumentasi yang dibantu oleh
pendamping peneliti dan akan dilakukan perekaman dan dokumentasi
berupa foto oleh pendamping.
5. Setelah tercipta suasana yang nyaman dan kondusif, wawancara
mendalam dimulai.
B. Pertanyaan Wawancara Mendalam :
No Topik Probing Taksir Waktu
1. Bagaimanakah pendapat /
pandangan dokter tentang
jaminan kesehatan nasional?
- Pengertian
- Manfaat
- tujuan
15 menit
2. Bagaimanakah pandangan
dokter tentang sistem jejaring
pada program JKN?
- Mekanisme
kerjasama
- Cakupan pelayanan
kebidanan.
- Sistem klaim
pelayanan
kebidanan
20 menit
3. Menurut pandangan dokter,
apakah dokter setuju
bekerjasama dengan bidan
- Sistem pembagian
tugas
- Sistem pembagian
20 menit
praktek mandiri sebagai
jejaring?
pembayaran jaminan
kesehatan nasional?
4. Bagaimanakah harapan dokter
dari kerjasama dengan Bidan
Praktek Mandiri
- Keinginan di masa
depan
- Kelanjutan
kerjasama dokter
dan bidan
15 menit
Lampiran 3
Pemetaan Tema Berdasarkan Koding
No TEMA Sub-Tema Kode
1
Faktor Individual
1. Pengetahuan
a. Sosialisasi JKN
b. Pengetahuan umum
tetnang JKN
c. Kurangnya
pengetahuan tentang
pelayanan kebidanan
dan neonatal pada
program JKN
d. Tujuan JKN
e. Manfaat JKN
f. Cakupan pelayanan
sesuai standar
2. Motivasi a. Menyukseskan
program
b. Membantu
masyarakat kurang
mampu
c. Promosi tempat
Praktek
3. Harapan a. Penolakan Sistem
jejaring
b. Peningkatan jumlah
klaim persalinan
c. Persiapan sarana dan
prasarana
2
Faktor struktural
1. Dukungan
a. Kurangnya informasi
ke BPM
b. Mekanisme
kerjasama
c. Penambahan jumlah
klaim
2. Kebijakan a. Prosedur
administrasi
b. Prosedur klaim