Upload
mike-cabalaro
View
41
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif dikelompokkan
dalam F1. Kelompok ini berisi gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dan
intoksikasi tanpa atau dengan komplikasi, penggunaan yang merugikan, sindrom
ketergantungan, keadaan putus zat, sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia), dan
semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau
tanpa resep dokter).
Zat psikoaktif yang digunakan dinyatakan oleh karakter ketiga (yaitu dua digit pertama
setelah huruf F), sedangkan karakter keempat dan kelima khusus untuk keadaan klinis. Untuk
praktisnya, semua zat psikoaktif disebutkan lebih dahulu, baru diikuti oleh karakter keempat
dan kelima, namun dengan catatan tidak semua kode pada karakter keempat dan kelima dapat
digunakan untuk semua jenis zat.
F10, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
F11, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan oploida
F12, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk kafein
F16, Gangguan mental dan perilaku akibatpenggunaan halusinogenika
F17, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap
F19, Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan zat psikoaktif
lainnya
Karakter keempat dan kelima dapat digunakan untuk menentukan kondisi klinis sebagai berikut:
F1x.0 intoksikasi akut
00 Tanpa komplikasi
01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
02 Dengan komplikasi medis lainnya
03 Dengan delirium
04 Dengan distorsi persepsi
05 Dengan koma
06 Dengan konvulsi
07 Intoksikasi patologis
F1x.1 Penggunaan yang merugikan (harmful)
F1x.2 Sindrom Ketergantungan
20 Kini abstinen
21 Kini abstinen tetapi dalam lingkungan terlindung
22 Kini dalam pengawasan kiinis atau dengan pengobatan pengganti (ketergantungan
terkendali)
23 Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversi atau obat penyekat (“blocking drugs”)
24 Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif)
25 Penggunaan berkelanjutan
26 Penggunaan episodik (dipsomania)
F1x.3 Keadaan putus zat
30 Tanpa komplikasi
31 Dengan konvulsi
F1x.4 Keadaan putus zat dengan delirium
40 Tanpa konvulsi
41 Dengan konvulsi
F1x.5 Gangguan psikotik
50 Lir-skizofrenia
51 Predominan waham
52 Predominan halusinasi
53 Predominan polimorfik
54 Predominan gejala depresif
55 Predominan gejala manik
56 Campuran
F1x.6 Sindrom amnesik
F1x.7 Gangguan psikotik residual dan onset lambat
70 Kilas balik (flashback)
71 Gangguan kepribadian atau perilaku
72 Gangguan afektif residual
73 Demensia
74 Hendaya kognitif menetap lainnya
75 Gangguan psikotik onset lambat
F1x.8 Gangguan mental dan perilaku lainnya
F1x.9 Gangguan mental dan perilaku YTT
Pada kesempatan kali ini, pembahasan hanya akan dititik beratkan pada F11 dan F15 karena kedua
zat psikoaktif ini yang paling banyak disalahgunakan. Pembahasan pun hanya terbatas pada
klasifikasi dan cara kerja opioida dan amfetamin, gambaran klinis penting perihal intoksikasi,
overdosis, dan putus zat, dan penatalaksanaannya secara umum.
Sekilas tentang Opioida
Opioida adalah nama segolongan zat, baik alamiah, semisintetik, maupun sintetik yang mempunyai
khasiat seperti morfin. Opioida dibagi dalam tiga golongan menurut asalnya:
1. Opioida alamiah, seperti opium, morfin, dan kodein.
2. Opioida semisintetik, yaitu opioida yang diperoleh dari opium yang diolah melalui proses /
perubahan kimiawi. Sebagai contoh, heroin (diasetil-morfin) dan hidromonfon (dilaudid)
3. Opioida sintetik, yang dibuat di pabrik,misalnya meperidin (petidin), metadon, propoksifen,
levorfanol, dan levalorfan.
Selain mempunyai khasiat analgesik (menghilangkan rasa sakit), opioida juga mempunyal khasiat
hipnotik (menidurkan) dan eufona (menimbuikan rasa gembira dan sejahtera). Penggunaan opioida
berulang kali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Biia sudah terjadi ketergantungan
terhadap oploida, lalu jumlah penggunaan dikurangi atau dihentikan, maka akan timbul gejala putus
zat (withdrawal). Pada umumnya, opioida dikonsumsi melalui suntikan intravena, inhalasi,
dicampur dalam rokok tembakau, atau secara oral.
2.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pemakaian oploida antara lain:
a. Euforia awal diikuti oleh suatu periode sedasi, dikenal dengan istilah jalanan
sebagai“nodding off’
b. Euforik yang tinggi (“rush”)
c. Rasa berat pada anggota gerak
d. Mulut kering
e. Wajah gatal (khususnya hidung)
f. Kemerahan pada wajah
g. Untuk orang awam yang pertama kali memakai opioida: dapat menyebabkan disforia, mual,
dan muntah
h. Efek flsik: depresi pernafasan, konstriksi pupil, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan
saluran empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, kecepatan denyut jantung dan temperatur
tubuh
2.3. lntoksikasi dan Overdosis Oploida
lntoksikasi opioida ditandai dengan:
a. Pamakaian opioida yang belum lama terjadi
b. Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
c. Perubahan mood
d. Retardasi psikomotor
e. Mengantuk
f. Bicara cadel (slurred speech)
g. Gangguan daya ingat dan perhatian
Gejala overdosis opioida ditandai dengan:
a. Hilangnya responsivitas yang nyata
b. Koma
c. Pin point pupil
d. Depresi pernafasan
e. Hipotermia
f. Hipotensi
g. Bradikardia
2.4 Putus Oploida
Gejala putus opioida ditandai dengan:
a. Penghentian (atau penurunan) opioida yang telah lama atau berat
b. Mood disforik
c. Mual atau muntah
d. Nyeri otot
e. Lakrimasi atau rinorea
f. Dilatasi pupil, piloreksi, atau berkeringat
g. Diare
h. Menguap
i. Demam
j. Insomnia
2.5 Penatalaksanaan lntoksikasi, Overdosis, dan Putus Opioida
Penatalaksanaan intoksikasi opioida:
a. Beri nalokson HCI (Narcan) sebanyak 0,2-0,4 mg atau 0,01 mg/kg berat badan secara
intravena, intermuskular, atau subkutan.
b. Bila belum berhasil, dapat diulang sesudah 3-10 menit sampai 2-3 kali.
c. Oleh karena narcan mempunyai jangka waktu kerja hanya 2-3 jam, sebaiknya pasien tetap
dipantau selama sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien menggunakan heroin dan 72 jam bila pasien
menggunakan metadon.
d. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya gejala putus opioida akibat pemberian narcan.
Penatalaksanaan overdosis opmoida:
a. Pastikan jalan nafas yang terbuka.
b. Jaga tanda vital.
c. Usahakan peredaran darah berjalan lancar: bila jantung berhenti berdenyut, lakukan masase
jantung ekstemal dan berikan adrenalin intrakardial; bila terjadi fibrilasi, gunakan defifrilator; bila
sirkulasi darah tidak memadai, beri infus 50 cc sodium bikarbonat (3,75 gr)guna mengatasi asidosis.
d. Awasi kemungkinan terjadinya kejang.
e. Bila tekanan darah tidak kunjung naik menjadi normal, pertimbangkan untuk memberi
plasma expander atau vasopresor.
f. Beri antagonis opiat, nalokson: 0,4 mg intravena. Dosis tersebut dapat diulang empat sampai
lima kali dalam 30 sampai 45 menit pertama sampai menunjukkan respons yang adekuat.
g. Observasi ketat dan awasi kemungkinan relaps ke keadaan semikoma dalam empat sampai
lima jam.
Penatalaksanaan putus opioida dapat ditempuh melalui beberapa cara antara lain:
a. Terapi putus opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun. Pasien
merasakan semua gejala putus opiolda. Terapi ini diberikan dengan harapan pasien akan jera dan
tidak akan menggunakan opiolda lagi. Cara ini tidak disukai pasien, tidak efektif, dan hampir tidak
pernah dilakukan lagi di fasilitas kesehatan.
b. Terapi putus opioida dengan terapi simtomatik: untuk menghilangkan rasa nyeri berikan
analgetik yang kuat; untuk gelisah berikan tranquilizer, untuk mual dan muntah berikan antiemetik;
untuk kolik berikan spasmolitik; untuk rinore berikan dekongestan; untuk insomnia berikan
hipnotik; untuk memperbaiki kondisi badan dapat ditambahkan vitamin. ]
c. Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal): dengan memberikan opioida yang
secara hukum boleh digunakan untuk pengobatan,misalnya morfin, petidin, kodein, atau metadon.
Kebanyakan metadon digunakan secana oral. Biasanya diberikan dosis awal 10-40 mg, bergantung
pada berat ringannya ketergantungan pasien terhadap opioida, diberikan dalam dosis terbagi (start
low go slow). Pada hari kedua dan seterusnya, dosis dikurangi 10 mg setiap hari sampai jumlah
dosis sehari 10 mg. Sesudah itu, diturunkan menjadi 5 mg sehari.
Buprenorfin juga dapat dipakai untuk detoksiflkasi dengan cara yang sama dengan metadon, dengan
dosis awal 4-8 mg. Dapat pula dipakai kodein dengan dosis 3-4 kali sehari @ 60-100 mg. Dosis
diturunkan 5-10 mg tiap hari menjadi 3-4 kali sehari @ 55mg dan seterusnya.
d. Terapi putus opioida bertahap dengan substitut non-opioida, misalnya klonidin. Dosis yang
diberikan 0,01 - 0,3 mg tiga atau empat kali sehari atau 17 mikrogram per kg berat badan per hari
dibagi dalam tiga atau empat kali pemberian.
e. Terapi dengan memberikan antagonis opioida di bawah anestesi umum (rapid
detoxification). Gejala putus zat timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien tidak
merasakan karena pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung sekitar enam jam
dan perlu dirawat satu sampai dua hari.
2.6 Terapi Pasca-detoksifikasi
Setelah detoksifikasi selesai, terapis harus memberitahukan bahwa proses penyembuhan belum
selesai, pasien baru menyelesaikan tahap awal dan proses penyembuhan. Terapis harus senantiasa
menyadarkan pasien bahwa perilaku penggunaan zat psikoaktif oleh pasien adalah perilaku yang
merugikan kesehatan pasien, merugikan kehidupan sosial, dan merugikan keluarganya.
Sama seperti penyakit kronis lainnya, setelah diobati pasien harus mengubah pola hidupnya. Untuk
mengubah perilaku, pasien masih harus mengikuti program pasca-detoksifikasi. Program pasca-
detoksifikasi banyak ragamnya, yang pada umumnya menggunakan pendekatan farmakologi, non-
farmakologi, konseling, dan psikoterapi. Bila pasien telah memutuskan akan mengikuti terapi pasca
detoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan terapi pasca-detoksifikasi
mana yang sesuai untuk pasien.
Keberhasilan terapi pasca-detoksifikasi sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien. Pasien yang dapat
menyelesaikan program terapi pasca-detoksiflkasi biasanya hasilnya lebih baik daripada mereka
yang tidak menyelesaikan program tersebut. Kemungkinan kambuh lebih kecil, dan bila kambuh,
terjadi setelah abstinensi yang lebih lama. Program terapi pasca-detoksiflkasi ada yang non panti dan
panti.
2.7 After Care
After care adalah perawatan lanjutan bagi seseorang yang telah mengikuti program terapi yang
terstruktur. Hal ini perlu dilakukan mengingat eks-pasien rentan terpapar pada lingkungan yang
mendorong mereka untuk kembali menggunakannya. Seringkaii pula eks-pasien berharap terlalu
cepat dan terlalu yakin diri bahwa ia mampu melepaskan dirinya dan kebiasaan menggunakan zat
psikoaktif saat ini. Dalam after care ini, eks-pasien selalu dikuatkan kembali dan didukung terus-
menerus agar tetap tidak menggunakan zat psikoaktif lagi.
3.1. Sekilas tentang Amfetamin
Amfetamin adalah suatu senyawa sintetik yang tergolong perangsang susunan saraf pusat.
Ada 3 jenis amfetamin, yaitu:
1. Laevoamfetamin (benzedrin)
2. Dekstroamfetamin (deksedrin)
3. Metilamfetamin (metedrin)
Banyak macam derivat amfetamin dibuat dengan sengaja oleh laboratorium dengan tujuan
penggunaan rekreasional, misalnya yang banyak disalahgunakan di Indonesia saat ini adalah 3,4
metilen-di-oksi met-amfetamin (MDMA) atau lebih dikenal sebagai ekstasi, dan met-amfetamin
(sabu-sabu). Metilfenidat (Ritalin) jarang disalahgunakan. Dalam bidang Psikiatri, metilfenidat
digunakan untuk terapi anak dengan GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif).
Pada umumnya, amfetamin dikonsumsi melalui suntikan intravena atau subkutan, inhalasi uap,
snorting, supositoria, atau secara oral.
3.2 Gambaran Klinis
Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang digunakan,
dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan tekanan darah,
mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia,
menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan
aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat.
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor ringan,
gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan,
menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur.
Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku
stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif,
melakukan tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat.
3.3. lntoksikasi dan Putus Amfetamin
lntoksikasi amfetamin ditandai dengan:
a. Pamakaian amfetamin yang belum lama terjadi
b. Takikandia atau bradikardia
c. Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
d. Dilatasi pupil
e. Peninggian atau penurunan tekanan darah
f. Berkeringat atau menggigil
g. Mual atau muntah
h. Tanda-tanda penurunan berat badan
i. Agitasi atau retardasi psikomotor
j. Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
k. Konvulsi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma
Gejaia putus amfetamin ditandai dengan:
a. Penghentian (atau penurunan) amfetamin yang telah lama atau berat
b. Depresi
c. Keleiahan
d. Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
e. Insomnia atau hipersomnia
f. Peningkatan nafsu makan
g. Retardasi atau agitasi psikomotor
3.4 Penatalaksanaan lntoksikasi dan Putus Amfetamin
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin:
a. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut hipotermik.
b. Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid 10-25
mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
c. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
d. Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus juga untuk
menurunkan tekanan darah.
e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi
amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
f. Bilatimbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin:
a. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
b. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
c. Dapat diberikan anti depresi.
3.5 Terapi pada PsikosisAkibat Penggunaan Amfetamin
Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada psikosis
akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg per oral atau 25-50
mg intra muskular yang dapat diulang setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5
mg.