76
BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret 2019 forestdigest.com Dunia bersatu mencegah suhu bumi naik 2 derajat. Dari Katowice hingga Babakan Madang.

F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

BUMI YANG MEMANAS

Sensor Hara Pohon Langka

Keluarga Cemara dari Puncak Bukit

SALJU DI BERLIN

F rest D gest

10januari-maret 2019

forestdigest.com

Dunia bersatu mencegah suhu bumi naik 2 derajat. Dari Katowice hingga Babakan Madang.

Page 2: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest2 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 3: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

SU R AT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4S A L A M K ET UA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5A L BUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6KA BA R R I M BAWA N . . . . . . . . . . . . . . . 8PIG U R A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0R AG A M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 2KA BA R BA RU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 4F OTO G R A F I. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 8PE N E L I T IA N . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 0BU K U . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 4 , 5 6KOL OM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 7 , 5 8OASE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 4

BI N TA NG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 2

daftaR isi

L A P OR A N U TA M A — Hlm. 16

Bumi yang MemanasPERUBAHAN iklim nyata di depan mata. Badai, curah hujan yang berubah, banjir,

suhu air laut yang menghangat, salju yang ekstrem, adalah sederet bukti semesta sedang berubah. Penyebabnya adalah manusia, dengan segala aktivitas dan keserakahannya. Negara-negara maju dan berkembang berembuk membuat prakarsa dan tindakan untuk menyelamatkan bumi yang bergolak, tapi semuanya tergantung tindak-tanduk tiap individu. Ikhtiar-ikhtiar kecil akan mengurangi kerusakan bumi kian parah.

T E K NOL O G I .......................................60

Sensor Hara Pohon Langka

Mahasiswa UGM menciptakan alat yang bisa mendeteksi unsur-unsur hara pohon. Peneliti tak perlu menunggu di lokasi penelitian untuk mendapat data komplit.

PROF I L ..................................................62

Keluarga Cemara dari Puncak Bukit

Keluarga ini mengembalikan tanah dan bukit gersang menjadi hijau. Mereka melawan calo tanah yang ingin menjual lamping-lamping itu ke pengusaha untuk dijadikan vila.

R E P ORTASE ........................................66

SALJU DI BERLINCuaca ekstrem di Jerman dalam dua

tahun terakhir. Perubahan iklim itu nyata adanya.

F rest D gest 3j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 4: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest4 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Penanggung JawabBambang Supriyanto

Ketua Umum Himpunan AlumniFakultas Kehutanan IPB

Pemimpin UmumGagan Gandara

Pemimpin RedaksiBagja Hidayat

Sekretariat Redaksi Drajad Kurniadi

Dewan RedaksiR. Eko Tjahjono

Librianna ArshantiSatrio Cahyo Nugroho

Kaka E. PrakasaFitri AndrianiMustofa Fato

M. Labib MubaarokRobi Waldi

Fairuz GhaisaniWike Andiani

Mawardah Nur HRazi Aulia Rahman

Zahra FirdausFirli DikdayatamaUbaidillah Syohih

Asep AyatYusril FuadiRifki Fauzan

Hubungan Usaha dan EksternalAtik Ratih Susanti

DesainerFahmi Albi

DistribusiUnit Kesekretariatan DPP HA-E IPB

AlamatSekretariat HA-E IPB,

Kampus Fakultas Kehutanan IPB,Jalan Lingkar Akademik Darmaga Bogor 16680

Kontak (Email)[email protected]

Forest Digest adalah majalah triwulanan yang diterbitkan Himpunan Alumni Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan didistribusikan secara gratis. Redaksi

mengundang Anda menulis artikel dengan panjang 4.000-8.000 karakter dengan spasi dan format Microsoft Word disertai foto penunjang.

Sampul: Bumi Makin Panas (R. Eko Tjahjono)

Tema Edisi 11 (April-Juni 2019): Kehutanan Milenial. Kirim tulisan Anda

seputar tema tersebut paling lambat pekan kedua Mei 2019.

Kami Menunggu Forest Digest

Terima kasih untuk kiriman majalah Forest Digest edisi 09. Kami menunggu kiriman berikutnya agar bisa dimanfaatkan oleh pemustaka (mahasiswa) kami.

—ArdoniKepala Perpusatakaan Universitas

Negeri Padang

Terima Kasih, Forest Digest

Kami mengucapkan terima kasih atas kiriman majalah Forest Digest. Bahan pustaka tersebut sangat bermanfaat bagi kami untuk menambah koleksi dan referensi.

—Djoko SaryonoKepala Perpustakaan Universitas Negeri

Malang

Bagaimana berlangganan?

Saya mahasiswa Rekayasa Kehutanan Institut Teknologi Bandung tahun 2016. Saya menemukan majalah Forest Digest di Gedung Kehutanan Labtek V ITB. Setelah membaca majalah edisi 9 saya sangat tertarik dengan konten yang diusung oleh Forest Digest. Saya ingin bertanya bagaimana cara saya berlangganan majalah ini? dan apakah saya bisa mendapatkan majalah Forest Digest edisi sebelumnya?

—VebrianikaBandung, Jawa Barat

Terima kasih tekah membaca Forest Digest. Anda bisa mengaksesnya melalui web ForestDigest.com. Di sana ada versi web dan pdf untuk semua edisi. Jika ingin mendapatkan edisi cetak, silakan kirim alamat pengiriman ke email [email protected].

F rest D gest

surat

RALATDalam Forest Digest edisi 09, Oktober-Desember 2018, ada kesalahan di artikel rubrik

Teknologi Identifikasi Kayu Melalui Aplikasi. Keterangan gambar tertulis seharusnya “AIKO Generasi Pertama. Pada halaman 55 tertulis penggunaanmakaiannya, seharusnya “penggunaannya”. Tertulis di halaman 57 19385.858647, seharusnya 193.858. Di halaman sama tertulis 195775, seharusnya 1957. Mohon maaf atas kesalahan teknis penulis tersebut.

Apresiasi Kementerian Pemuda dan Olah RagaKami menerima kiriman majalah Forest Digest. Kami menyampaikan apresiasi dan

penghargaan sebesar-besarnya.—Gatot S. Dewa Broto

Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga

F rest D gest54 o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

teknologi

F rest D gest 55o k t o b e r - d e s e m b e r 2 0 1 8

Indonesia perlu alat yang bisa meningkatkan efisiensi dan kemudahan proses identifikasi kayu sehingga dapat, meningkatkan kinerja pelaku usaha dan industri perkayuan, meningkatkan pendapatan negara bukan pajak, membantu memverifikasi jenis kayu dengan cepat dan akurat, mempermudah penataan dan pengelompokan jenis kayu perdagangan, membantu mempercepat proses penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan terutama penyelesaian konflik penentuan jenis kayu, dan pemetaan potensi jenis kayu untuk kepentingan konservasi dan pengembangan usaha.

Pada 2011, sistem yang ada belum mampu mengakomodasi penambahan contoh kayu sehingga penelitian hanya berlangsung dua tahun. Pimpinan baru di Puslitbang Hasil Hutan, Dr. Dwi Sudharto, membuka kembali peluang pengembangan sistem identifikasi kayu otomatis tersebut.

Pada tahun 2017, dengan fasilitasi dana dari Kementerian Riset dan Teknologi Perguruan Tinggi, digelar penelitian untuk mengembangkan sistem identifikasi jenis kayu otomatis yang akurat, terintegrasi melalui jaringan internet, dan mudah digunakan oleh para petugas di lapangan. Algoritma identifikasi kayu dikembangkan dengan metode computer vision berdasarkan citra struktur makroskopis penampang lintang kayu. Kelebihannya, sistem ini dirancang mampu memperbaharui kemampuan identifikasi jenis kayu sehingga database citra penampang kayu (database Lignoindo) dapat terus ditambahkan sehingga dapat

PROSES paling awal dalam pengolahan kayu adalah mengidentifikasinya. Namun, identifikasi kayu ini acap memakan waktu lama, sekitar satu hari hingga dua pekan tergantung tingkat kesulitan yang dihadapi, karena dilakukan secara manual. Hanya

orang yang punya pengalaman panjang yang bisa mengidentifikasi sebuah kayu hingga ke berat jenis dan saran penggunaanmakaiannya.

Kini proses itu bisa dilalui dan dipangkas dengan hanya hitungan detik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Bogor menelurkan sebuah alat yang diberi nama alat identifikasi kayu otomatis yang disingkat AIKO. AIKO adalah hasil kolaborasi dengan Pusat Penelitian Informatika LIPI KLHKmelalui dengan program Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional (INSINAS), Kemenristekdikti sejak tahun 2017.

Pada 28 September 2018, AIKO secara resmi diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta, bersamaan dengan Deklarasi Xylarium Bogoriense sebagai koleksi kayu terbesar di dunia.

Penelitiannya sendiri sudah dimulai sejak 2011. Bermula dari pemikiran

Identifikasi Kayu Melalui AplikasiMengenali kayu kini bisa melalui aplikasi. Pusat penelitian Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan terobosan baru dalam identifikasi kayu secara digital.

AIKOAplikasi alat indentifikasi kayu otomatis.

Page 5: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 5j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

salam ketua

SETELAH melalui proses yang agak rumit dan panjang, akhirnya kami bisa menuntaskan tahap akhir digitalisasi Forest Digest. Tepat saat peluncuran majalah edisi ke-9 pada Desember tahun lalu, kami bisa menyebarkan isi majalah ini secara digital ke

alamat surat elektronik para alumni Fakultas Kehutanan IPB dan kolega-kolega kami.

Ada sekitar 1.500 pelanggan Forest Digest melalui email yang kami kirimi artikel-artikel terpilih setiap hari. Sebanyak 96 persen alamat email tersebut aktif dan membuka kiriman-kiriman artikel dari majalah ini. Kami senang karena angka tersebut sangat signifikan. Saya lihat, angka yang membatalkan langganan juga sangat sedikit, kurang dari 0,001 persen. Mudah-mudahan para pembaca yang unsubscribes itu karena salah menekan tautan di email saja sehingga membatalkan langganan.

Selain melalui email, kami juga menyebarkan artikel di web Forest Digest melalui Facebook dan Twitter. Saya lihat di Facebook jumlah penyuka halaman Forest Digest juga lumayan. Tiap artikel bisa menjangkau 4.000-5.000 pemilik akun di Facebook. Sebuah angka yang mengejutkan sekaligus menyenangkan mengingat akun Forest Digest baru dibuat pada bulan Desember itu. Dalam waktu kurang tiga bulan, jumlah pembaca digital kami mencapai angka tersebut. Bagi media gratis yang dikelola secara amatir ini, angka-angka tersebut sangat menjanjikan.

Artinya, jejaring Internet adalah sarana ampuh menyebarkan informasi. Seperti dikupas dalam buku Kehutanan Milenial, generasi sekarang memakai cara berbeda sesuai dengan keahlian mereka dalam ikut serta membahas dikursus dan wacana pembangunan kehutanan. Dengan cara mereka sendiri, yang memanfaatkan Internet dan media sosial, isu-isu kehutanan kini menjadi perbincangan publik. Sehingga solusi-solusi yang diterapkan juga akan lebih demokratis.

Meski begitu, kami juga masih mencetak

majalah ini untuk dikirimkan kepada para rimbawan di seluruh Indonesia, juga perpustakaan-perpustakaan universitas agar para mahasiswa mendapat referensi populer dari majalah Forest Digest. Kami senang mengirimkan majalah-majalah ini kepada mereka, sama senangnya ketika mendapatkan balasan dari kepala-kepala perpustakaan bahwa majalah telah sampai di tangan mereka dan masuk dalam katalog perpustakaan.

Kebahagiaan para penulis adalah ketika artikel mereka dibaca secara luas. Karena itu kami terus berupaya meluaskan pembaca tersebut melalui pelbagai kanal offline maupun online. Untuk menunjang hal itu kami juga tetap menggratiskan majalah ini kepada pembaca. Kami percaya, informasi yang bermutu dan kredibel adalah hak setiap orang. Dengan informasi bermutu itulah peradaban kita terbangun. Forest Digest adalah ikhtiar kecil ikut dalam membangun peradaban yang bermartabat itu.

Seperti tema yang kami angkat di edisi ini tentang perubahan iklim dan pemanasan global. Ini isu besar dan kompleks yang tidak bisa tuntas dibahas dalam 1-2 artikel. Tapi kami mencoba mengupasnya dengan memberikan perspektif lain, terutama informasi-informasi dari dalam, dari para pelaku dan aktor yang terlibat dalam usaha-usaha mencegah pemanasan global. Dari

negosiasi dan diplomasi hingga usaha-usaha kecil membuat bumi tetap sejuk dan menjadi planet yang terus nyaman kita tinggali.

Sebab, kami percaya, hal-hal besar lahir dari hal-hal kecil. Kami, misalnya, mengangkat profil-profil SMA dan desa yang secara sukarela mewujudkan tempat tinggal mereka ramah lingkungan. Seperti Desa Bendungan di kawasan Puncak, Bogor, yang menjaga sungai mereka tetap bersih dari sampah dan memanfaatkan selokannya untuk menanam ikan. Usaha-usaha kecil ini mungkin tak seberapa dibanding upaya global menahan laju suhu udara, tapi apa yang mereka lakukan sangat berarti mengingat pola hidup dan konsumsi kita belum berubah kendati dampak pemanasan global sudah sangat terasa hari-hari ini.

Informasi dan berita-berita itu kami kemas sedemikian rupa agar enak dibaca. Kami yakin informasi penting akan menjadi tak berguna jika tak disampaikan dengan cara yang mudah dicerna. Tanpa harus menunggu edisi cetak terbit, kami menyediakannya secara digital melalui web ForestDigest.com. Bagi Anda yang ingin mengaksesnya silakan daftar email Anda di kotak pendaftaran yang tersedia di akhir tiap artikel. Kami menunggu.

Salam Lestari,

—Bambang Supriyanto

Forest Digest Digital

Ada sekitar 1.500 pelanggan Forest Digest melalui email yang kami kirimi artikel-artikel terpilih setiap hari. Sebanyak 96 persen alamat email tersebut aktif dan membuka kiriman-kiriman artikel dari majalah ini.

Page 6: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest6 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

album

M E N I NG G A L

Bayu Catur NugrahaAlumnus Fakultas Kehutanan IPB

ini jatuh saat wudu pada 15 Januari 2019 lalu dilarikan ke Rumah Sakit St Yosef Bandung dalam kondisi koma. Ia wafat pada usia 43, meninggalkan istri

dan anak perempuan satu-satunya untuk selamanya. Bayu aktif sebagai konsultan kehutanan dan auditor sertifikasi forest stewardship council.

Abdul Karimil FatahKepala Dinas kehutanan dan

Perkebunan merangkap Kepala Balai Lingkungan Hidup Provinsi Banten meninggal 24 Januari 2019 di Ciracas, Serang, Banten.

Edi SuryantoAlumnus Fakultas Kehutanan IPB ini

meninggal di Bogor pada 11 Februari 2019 di usia 45. Edi menderita stroke sejak 2014. Polisi hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini

meninggalkan istri dan tiga anak. Semasa hidupnya Edi, yang akrab disapa Gemblung ini, dikenal sebagai sosok yang lucu, polos, dan jujur.

M. Saleh Achmad Alumnus Kehutanan UI angkatan 1956 atau

angkatan -7 IPB ini wafat pada 12 Februari 2019 di Pontianak Timur, Kalimantan Timur. Semasa hidupnya ia pernah menjabat Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat dan Direktur PT Inhutani.

“Perubahan iklim itu nyata, terjadi sekarang. Ini problem sangat serius yang dihadapi umat manusia. Kita harus bekerja sama mencegahnya, jangan tunda lagi.”

—Leonardo di Caprio, saat berpidato dalam Oscar 2016

“Manusia bagian dari alam. Jika ia menghancurkannya, ia sedang menghancurkan dirinya sendiri.”

—Rachel Carson (1907-1964) dalam Silent Spring

(1962)

PE NG U K U HA N

Himpunan Alumni Fahutan IPBKetua Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Bambang

Supriyanto melantik 150 pengurus periode 2018-2021 pada 26 Januari 2019 di Kampus IPB Dramaga, Bogor. Dalam pidatonya, Bambang mengatakan bahwa HAE punya fungsi memfasilitasi kegiatan dan komunikasi timbal balik antar alumni, membina komunikasi timbal balik alumni dengan almamater, menumbuhkan, mengembangkan dan berperan aktif dalam membina sumber daya alumni untuk berperan dalam meningkatkan kesejahteraan alumni dan masyarakat pada umumnya, serta memberi masukan dan advokasi terhadap kebijakan

pemerintah yang terkait dengan kehutanan dan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Himpunan terbagi ke dalam dua klaster di bawah koordinasi Ketua I dan Ketua II. Ketua

I membawahkan empat bidang kerja: Database dan Sistem Informasi, Konsolidasi Angkatan dan Komisariat Derah, Pengembangan Profesi dan Forest-preneurship; serta Advokasi dan Promosi. Ketua II membawahkan bidang Fasilitasi Usaha Kehutanan, Fasilitasi Usaha Non Kehutanan, Peduli Sosial, serta Peduli Hutan dan Lingkungan. Ada juga bidang otonom yang langsung di bawah koordinasi Ketua Umum, yaitu: Yayasan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, Majalah Forest Digest, Kopi Oey, serta Koperasi HA-E IPB.

PE L A N T I KA N

Abdul Muin dan Asep SugihartaKeduanya dilantik sebagai pejabat baru eselon II Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Muin menjadi Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Papua, sementara Asep Sugiharta menjadi Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Selain keduanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melantik 179 orang eselon III pada 11 Februari 2019.

Page 7: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 7j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

PT SLJ GLOBAL Tbk GROUPFOREST MANAGEMENT, PLY MILL, MDF MILL, POWER PLANT

JAKARTA : RDTX Tower, Lantai 19, Jl. Prof. Dr. Satrio Kav. E IV/6, Mega Kuningan, Jakarta – 12950, DKI Jakarta, Indonesia, Tel : (021) 576 1188, 576 1199, Fax : (021) 577 1818, Website : http://www.sljglobal.com

SAMARINDA : Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo, Kel. Sengkotek, Kec. Loa Janan Ilir, Samarinda – 75391, Kalimantan Timur, IndonesiaTel : (0541) 261 277, 260 554, 260 256, 260 863, 260 967, Fax : (0541) 260 821

PENGELOLAAN HUTAN ALAM :- PT SUMALINDO LESTARI JAYA II - PT SUMALINDO LESTARI JAYA IV- PT SUMALINDO LESTARI JAYA V- PT SUMALINDO LESTARI JAYA Tbk- PT KARYA WIJAYA SUKSES- PT ESSAM TIMBER

MELANGKAH BERSAMA MEWUJUDKAN PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

Page 8: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest8 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

kabar rimbawan

Banyak sekali orang yang menyalurkan bantuan untuk korban tsunami di Selat Sunda, Banten, pada akhir tahun lalu. Tsunami yang diduga akibat runtuhnya tebing Gunung Anak Krakatau ini telah melumat beberapa desa dan menelan korban jiwa

serta kerusakan yang tak sedikit.Tak mau hanya menjadi penonton,

Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan pun melakukan penggalangan dana untuk korban bencana tsunami di sana. Dana yang terkumpul sebanyak Rp 25 juta

dibelanjakan untuk membantu korban, terutama mereka yang tinggal di wilayah terpencil, di Pandeglang dan Lampung. Bantuan yang di berikan berupa bahan makanan, sarung, beberapa obat-obatan, terpal tenda, pembalut wanita, buku, dan perlengkapan belajar bagi anak-anak.

Droping bantuan dilakukan serentak di dua lokasi yakni di Lampung dan di Pandeglang. Khusus di Pandeglang bantuan diberikan kepada komunitas korban bencana yang tinggal paling dekat dengan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Sementara untuk Lampung, bantuan dikirim ke desa yang paling parah terkena bencana tsunami yaitu Desa Way Muli.

Saat pemberian bantuan, kondisi

lapangan masih keadaan darurat. Jalan akses masih sulit ditembus. Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB mengalokasikan dana sebesar Rp 100 juta untuk membantu tahap pemulihan. Bantuan difokuskan untuk pengadaan bahan bangunan yang tidak tersedia di desa tersebut, terutama untuk membuat sarana mandi, cuci, dan kakus.

Selain dari Himpunan Alumni Kehutanan (HAE) IPB, Komisariat HAE Lampung juga memberi bantuan secara terpisah. Para alumnus Kehutanan IPB yang tinggal dan bekerja di Lampung itu memberikan bantuan berupa perahu untuk para nelayan yang kehilangan aset berharga mereka akibat tsunami.

—Budi Rahardjo

Rimbawan IPB Bantu Korban Tsunami Banten

BANTUAN. Masyarakat Pandeglang, Banten, mendengarkan penjelasan pengurus Himpunan Alumni Fahutan IPB saat pembagian bantuan, Desember 2018.

Page 9: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 9j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

MENTAS dari universitas dan mengabdi di pemerintahan adalah siklus yang telah jadi umum bagi para rimbawan Institut Pertanian Bogor. Tapi, bagi mereka yang

mengalaminya, menjadi istimewa ketika mendapat tugas riil menjaga hutan Indonesia di wilayah mereka bekerja di pelosok-pelosok Nusantara.

Maka sebelum tiap-tiap orang bekerja sesuai penugasannya, para alumni Fakultas Kehutanan IPB merasa perlu berbagi pengalaman dengan adik-adik kelas mereka yang kini satu korps itu. Pada Ahad, 17 Februari 2019, di Kampus Fahutan Dramaga, digelar pembekalan untuk calon aparatur sipil negara yang bertugas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada 59 alumni IPB yang lulus dan diwisuda akhir tahun lalu diterima di KLHK. Mereka akan bertugas di pelosok Sumatera, Maluku, Papua, Kalimantan,

Sulawesi. “Sebelum pergi kami ingin berbagi pengalaman dengan mereka supaya mereka lebih siap ketika bertugas di lapangan,” kata Bambang Supriyanto, Ketua Himpunan Alumni Fahutan IPB, yang kini menjabat Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK.

Bambang mengamanatkan bahwa para rimbawan IPB harus seperti kompas penunjuk arah. Mereka harus melihat Barat dan Timur, yakni teman seiring, kolega dalam pekerjaan, hingga lingkungan. Hormat kepada kolega, menghargai sesama, akan menyelamatkan kita saat bekerja. “Juga harus melihat ke Utara, yakni pimpinan kita dan ke Selatan yakni bawahan kita,” katanya.

Dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi berwasiat agar tiap-tiap rimbawan mempertahankan prinsip 5C + 1I, yakni critical thinking atau berpikir kritis, complex problem solving atau pemecah masalah yang kompleks, punya communication skills yang bagus, selalu creative dan innovative, mengutamakan collaboration, dan meneguhkan integrity. “Insya Allah dengan prinsip ini kita bisa bermanfaat untuk lingkungan dan sesama

manusia,” katanya.Selain keduanya, pembicara lain adalah

pejabat dan mantan pejabat KLHK. Mereka berbagi cerita, pengalaman, nasihat, kepada para rimbawan yang akan memasuki dunia nyata sebagai aparatur negara. Acara berlangsung santai karena para pembicara menyampaikan pengalaman dengan lucu dan segar. Banyak cerita nyata yang mereka kisahkan membawa inspirasi bagi peserta maupun alumni yang hadir dalam acara tersebut.

Bagi HAE, acara ini sudah digelar dua kali. Bambang Supriyanto mengatakan, tradisi ini perlu diteruskan sebab, “Selain mengeratkan kekeluargaan juga memantapkan semboyan kita, care and respect.” Ia berjanji acara-acara seperti ini akan diteruskan dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang relevan di bidang mereka. —Razi Aulia

Pembekalan untuk Calon Rimbawan

Pembekalan. Para alumnus IPB yang diterima di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerima pembekalan dari para pejabat KLHK dan dosen Fahutan di Ruang Sidang Sylva Fakultas Kehutanan IPB, Dramaga, 17 Februari 2019.

Page 10: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest10 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

pigura

Pantai Sampah.Seorang anak pulang melaut, menyeberangi pantai yang dangkal dan penuh sampah plastik di pantai Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Februari 2019Foto: Asep Ayat

F rest D gest10 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 11: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gestF rest D gest 11j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 12: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest12 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9F rest D gest

ragam

SECARA resmi, Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada 2015. Pembangunan berkelanjutan berpegang pada prinsip yang terdiri dari tiga tiang

utama, saling terikat satu sama lain, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Terkait dengan itu National Center for Sustainability Reporting (NCSR) sejak tahun 2005, mendorong praktisi, terutama unit bisnis untuk memahami dan menghasilkan Sustainability Report atau laporan keberlanjutan. Laporan ini

agak berbeda dengan laporan keuangan atau laporan tahunan lain yang lebih populer. Laporan keberlanjutan berisi pengungkapan kinerja perusahaan sesuai dengan prinsip sustainability.

Menurut Ketua Pengurus NSCR Ali Darwin laporan keberlanjutan dibuat untuk mengetahui sejauh mana perusahaan berkomitmen dan berkontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, juga sebagai media komunikasi para pemangku kepentingan. “Kalau tidak ada laporan itu tidak ada media untuk menyampaikan apa yang harus disampaikan kepada publik,” kata Darwin pada Desember 2018. “Bisa di koran tapi terbatas.”

Darwin menambahkan NCSR punya

standar laporan yang mengacu Global Reporting Initiative (GRI) dari Belanda. Dengan standar dan acuan tersebut, laporan keberlanjutan yang dibuat perusahaan lebih mudah dipahami oleh pembaca. Ia mencontohkan investor akan terbantu mendapatkan informasi yang tersedia dalam laporan tersebut. “Sehingga laporan ini sangat dibutuhkan kaitannya dengan kebutuhan informasi oleh investor,” kata dia.

Pada 8 Desember 2018, NCSR menyelenggarakan Asia Sustainability Reporting Rating (ASRR) di Novotel Bandar Lampung, sebagai bentuk apresiasi untuk para pembuat laporan keberlanjutan agar terus termotivasi berpartisipasi dalam pencapaian SDGs. Acaranya bersandingan dengan Sustainability Practitioner

Laporan Keberlanjutan di Perusahaan

Page 13: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 13j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Conference (SPC) yang diselenggarakan berkolaborasi bersama Institute of Certified Sustainability Practitioners (ICSP).

Sejak 2005, perhelatan ini dikenal sebagai Sustainability Reporting Award (SRA). Tahun lalu berubah menjadi ASRR, dengan sistem penilaian yang sebelumnya berupa award menjadi rating. Penilaiannya sendiri dilakukan oleh penilai eksternal yang berkompeten di bidangnya.

“Asesor sudah memiliki sertifikasi CSRS (Certified Sustainability Reporting Specialist) dan merupakan para pengajar di perguruan tinggi, yang bukan konsultan atau orang praktik, agar tidak ada konflik kepentingan,” kata Darwin.

Peserta ASRR tahun 2018 dari Indonesia tercatat ada 38 perusahaan. Dari luar negeri ada perusahaan dari Bangladesh, enam perusahaan dari Malaysia, lima dari Singapore, dan lima dari Filipina. Hasil pemeringkatan dalam ASRR terdiri dari 4 peringkat

yaitu Platinum (paling tinggi) diraih oleh 11 perusahaan, 29 perusahaan lainnya meraih Gold rating, 8 perusahaan peraih Silver rating dan 8 sisanya mendapatkan Bronze rating (paling rendah).

Kota Terkotor di IndonesiaSETIAP tahun, Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan penghargaan Adipura untuk mengapresiasi pengelolaan lingkungan kota-kota di Indonesia. Untuk tahun ini penilaian terakhir dilaksanakan pada 14 Januari 2019. Dari 514 kabupaten/kota sebanyak 72 persen sudah mendapatkan penilaian.

Ada beberapa kota yang mendapat nilai terendah, sehingga bisa dikategorikan sebagai kota terkotor. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati berharap bahwa kota-kota yang mendapatkan penilaian Adipura rendah bisa memperbaiki pengelolaan sampahnya.

“Hal yang menjadi tujuan utama itu bukan mendapatkan Adipura, tapi yang menjadi tujuan utama adalah target yang ada di Jakstrada (kebijakan dan strategi daerah) dan Jaktranas (kebijakan dan strategi nasional). Itu yang utama pengurangan 2025 bisa 30 persen, dan 70 persen penanganan (sampah)”, kata Rosa seperti dikutip Antara.

Sepuluh kota terkotor terbagi dalam empat kategori. Kategori metropolitan

didapatkan oleh Medan, sedangkan untuk kategori kota besar diraih Bandar Lampung dan Manado. Pada kategori sedang ada kota Sorong, Kupang, dan Palu. Dan kota kecil yang meraih predikat kota terkotor di antaranya Waikabubak di Sumba Barat, Waisai di Raja Ampat, Ruteng di Manggarai, Kabupaten Buol di Sulawesi Tengah, serta Bajawa di Kabupaten Ngada.

Kota-kota tersebut masuk kategori terkotor karena masih menggunakan pembuangan sampah yang terbuka. Juri juga menilai kebijakan serta strategi pengelolaan sampah rumah tangga. Antara lain penyediaan anggaran mengelola sampah rumah tangga dan sampah lingkungan. Komitmen dan partisipasi publik dalam pengelolaan sampah juga masuk penilaian untuk kategori ini.

Pemerintah pusat, kata Rosa, akan melakukan pendampingan terhadap kota-kota ini untuk memperbaiki kebijakan pengelolaan lingkungan mereka.

—Siti Sadida Hafsah

Penghargaan. Penghargaan pembangunan berkelanjutan dari Asia Sustainability Reporting Rating yang diserahkan Kepala Bapeda Lampung Taufik Hidayat kepada Feronica Yula dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk, di Bandarlampung, Desember 2018.Foto: ncsr-ide.org

Page 14: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

14 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9F rest D gest

kabar baru

Sampah plastik kini menjadi momok pencemaran lingkungan di Indonesia. Indonesia menjadi negara yang memproduksi sampah plastik nomor dua terbesar di dunia setelah Tiongkok, dengan angka 64 juta ton per tahun. Menurut Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, sebanyak 37 persen sampah plastik ditemukan di pantai dan laut.

Sampah plastik itu masuk ke laut karena terbawa arus sungai, atau sampah yang dibawa masyarakat saat piknik. “Saya lihat di pantai banyak botol dan tusuk sate, saya imbau agar wisawatan membawa sampah plastiknya setelah piknik,” kata Siti saat peringatan Hari Peduli Sampah Nasional pada 24 Februari 2018 di Kendal, Jawa Tengah.

Peringatan Hari Sampah itu ditandai dengan aksi bersih pantai Kendal yang melibatkan 2.000 orang sejak jam 6 pagi. Aksi bersih selama dua jam itu menghasilkan sampah plastik sebanyak 100 kilogram. Dalam pidatonya, Menteri Siti mengajak masyarakat peduli lingkungan dengan mengurangi sampah plastik atau tak membuangnya secara sembarangan.

“Angka-angka ini menunjukkan bahwa kita harus terus-menerus bersama-sama dengan masyarakat, pemerintah, para aktivis, dan semua elemen untuk kita terus-menerus membersihkan sampah,” ujar Siti.

Dengan kerja sama antar individu dengan memulainya dari peduli lingkungan, Siti berharap Indonesia bisa menurunkan predikat produsen sampah plastik terbesar di dunia. Soalnya, kata dia, dari total sampah yang dibuang tiap hari, paling banyak berupa sampah rumah tangga. Siti mengajak masyarakat memilah sampah jika belum bisa menguranginya, bahkan mengolahnya agar menjadi produk yang bisa dipakai.

Kegiatan bersih pantai juga dilakukan secara serentak di beberapa kota dan kabupaten lain di Jawa Tengah, seperti, Tegal, Pemalang, Brebes, Jepara, Kebumen, Rembang, dan Batang. —

37% Sampah Plastik Ada di PantaiPantai Labuan Bajo, Nusa Tenggara TimurFoto: Asep Ayat

Menurut Siti, mengutip data Badan Pusat Statistik, indeks ketidakpedulian

orang Indonesia terhadap sampah sebesar 0,72. Artinya, tingkat kepedulian orang Indonesia terhadap sampah masih rendah.

Tips Mengurangi Sampah Plastik

Sampah plastik Indonesia sudah sangat mencemaskan. Setiap 100m2 terumbu karang ada 26 sampah plastik.

Memakai transaksi elektronik

Bawa asbak portabel

Bawa termos air ke mana pun untuk isi ulang

Jika jajan usahakan tak dibungkus atau bawa rantang sendiri

Hindari memakai peralatan makan sekali pakai

Memakai alat mandi daur ulang atau curah yang tak memerlukan pembungkus plastik

Ubah sampah plastik menjadi hiasan

Bawa kantong belanja sendiri

Kurangi jajan makanan berbungkus plastik

F rest D gest

Page 15: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 15j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Pemerintah Norwegia siap membayar kepada pemerintah Indonesia karena berhasil menurunkan 4,8 juta ton karbon dioksida (CO2) selama 2016-2017. Angka ini sudah diverifikasi sehingga Norwegia bersedia membayar

penurunan emisi untuk pertama kalinya. “Saya senang Indonesia dan Norwegia telah menyetujui aturan pembayaran berbasis hasil,” kata Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia Ola Elvestuen dalam keterangan tertulis pada 16 Februari 2019.

Elvestuen memuji langkah pemerintah Indonesia dengan mereformasi regulasi penurunan emisi dan membuahkan hasil. Pemerintah Norwegia, kata dia, tak akan ragu membayar termin kedua jika tren deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan terus menurun seperti ditunjukkan dalam tiga tahun terakhir. Norwegia menghargai karbon Indonesia US$ 5 per ton.

Salah satu upaya radikal pemerintah menurunkan deforestasi adalah membuat moratorium izin baru untuk perkebunan kelapa sawit. Presiden Joko Widodo memilih meningkatkan produksi minyak sawit dari perusahaan-perusahaan yang sudah ada ketimbang memberikan izin baru kepada perusahaan baru.

Pemerintah Indonesia dan Norwegia siap untuk masuk ke fase tiga dari kesepakatan 2010. Norwegia berjanji mendukung Indonesia hingga US$ 1 miliar dalam penurunan emisi sesuai hasil di lapangan. Dukungan itu terkait dengan target pemerintah Indonesia menurunkan emisi 29-41 persen pada 2030. —

Norwegia Akan Bayar Pengurangan Emisi

tahun 2016, seluas 438.363 hektare. Angka ini pun jauh menurun dibanding luas hutan yang terbakar setahun sebelumnya seluas 2.611.411 hektare.

Belakangan, Jokowi merevisi ucapannya dengan mengatakan bahwa pemerintah telah mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan hingga turun lebih dari 85 persen. “Salah satunya karena penegakkan hukum yang tegas,” ujar di Pandeglang, Banten, seperti dikutip Tempo.co.

Melalui akun Twitter, KLHK mengklarifikasi bahwa pernyataan Jokowi itu mengacu kepada pengertian bencana kebakaran hutan, seperti pada 2015. Direktur Penanggulangan Kebakaran Hutan KLHK, Raffles Pandjaitan, menegaskan bahwa kebakaran yang dimaksud Jokowi adalah kebakaran yang mengganggu penerbangan, aktivitas penduduk, hingga protes negara tetangga karena asap. “Dunia internasional mengapresiasi upaya pemerintah ini,” kata Raffles seperti dikutip Kompas.com, 18 Februari 2019. —

Calon Presiden Joko Widodo membuat pernyataan dalam debat kedua pada 17 Februari 2019 dengan mengatakan, selama tiga tahun ke belakang tak ada lagi kebakaran hutan, lahan, dan kebakaran gambut. “Dan itu kerja keras

kita semua,” kata Jokowi di Hotel Sultan dalam debat bertema pangan, energi, dan lingkungan itu.

Pernyataan itu memunculkan polemik karena faktanya, kebakaran masih terjadi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan dalam empat tahun terakhir kebakaran masih terjadi. Data Januari-Agustus 2018 saja ada 194.757 hektare hutan Indonesia yang terbakar. Angka ini naik dibanding data tahun sebelumnya seluas 165.528 hektare.

Meski naik, luas kebakaran hutan tahun lalu jauh lebih kecil jika dibandingkan

Kontroversi Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan di Riau.

Foto: Tempo

Page 16: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest16 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

Perubahan iklim nyata di depan mata. Badai, curah hujan yang berubah, banjir, suhu air laut yang menghangat, salju yang ekstrem, adalah sederet bukti semesta sedang berubah. Penyebabnya adalah manusia, dengan segala aktivitas dan keserakahannya. Negara-negara maju dan berkembang berembuk membuat prakarsa dan tindakan untuk menyelamatkan bumi yang bergolak, tapi semuanya tergantung tindak-tanduk tiap individu. Ikhtiar-ikhtiar kecil akan mengurangi kerusakan bumi kian parah.

Bumi yang Memanas

F rest D gest16 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 17: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 17j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9F rest D gest 17j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 18: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest18 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

BUMI menghangat. Goddard Institute for Space Studies (GISS), lembaga penelitian semesta milik NASA, mencatat suhu bumi naik 0,8 derajat Celsius sejak 1880, seratus tahun setelah dimulainya Revolusi Industri, ketika era

pertanian berubah menjadi pengolah barang di pabrik. Sebab, dua pertiga kenaikan tertinggi dimulai sejak 1975 sebesar 0,15-0,2 derajat Celsius per dekade. Perubahan iklim tengah terjadi, akibat aktivitas manusia dan segala penghuninya. Ia bukan mitos, seperti diyakini Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Iklim yang berubah tak sekadar soal suhu yang naik. Perubahan iklim bisa terlihat dengan jelas dari kian banyaknya jenis badai yang melanda belahan-belahan dunia dalam 50 tahun terakhir. Badai, banjir, salju yang ekstrem, dan musim kering berkepanjangan yang merenggut korban jiwa selalu tak sama di tiap-tiap era.

Orang-orang tua di kampung tak lagi memakai primbon untuk menghitung musim dan menyesuaikan tanaman dan waktu panen di sawah dan ladang. Primbon, yang berasal dari perhitungan-perhitungan kuno berdasarkan pengalaman sehari-hari, tak lagi sesuai atau bisa memprediksi perubahan cuaca. Setiap tahun ada perubahan-perubahan waktu tanam karena palawija tak sesuai lagi dengan iklim yang berganti. Musim hujan tak lagi terjadi pada kurun September-April, tapi di bulan-bulan

kering antara Mei-Agustus. Penyair Sapardi Djoko Damono

mesti membuat satu puisi lagi untuk menyesuaikan perubahan iklim ini. Ketika ia menulis Hujan Bulan Juni pada 1994, musim masih sesuai dengan penanggalan primbon. Dalam sajak itu, Sapardi menggambarkan bahwa hujan bulan Juni sebagai ketabahan karena air jatuh dari langit itu salah masa: rintiknya menghapus jejak kemarau yang panjang. Tapi kini, hujan bulan Juni bukan lagi metafora untuk ketabahan karena pada pertengahan tahun itu di beberapa daerah justru sedang banjir. Di Jakarta, pada Juni 2018, tinggi banjir mencapai satu meter.

Jarak antara puisi Sapardi dengan hari ini tak sampai 30 tahun. Dalam kurun itu cuaca berubah, iklim berganti dan penanggalan primbon tak berlaku lagi. Perubahan-perubahan cuaca yang pendek itu menunjukkan bahwa ada yang sedang berubah di alam semesta. Celakanya, perubahan itu ke arah yang lebih buruk. Deforestasi, naiknya jumlah penduduk, makin atraktifnya mesin dan produk-produk industri membuat karbon dioksida sebagai gas yang terbuang dari proses produksi itu, terperangkap di atmosfer kita sehingga memancar kembali ke bumi menaikkan suhu.

Jika dilihat dalam masa 200 tahun, kenaikan suhu permukaan bumi yang tak sampai 1 derajat Celsius itu bisa dianggap sebagai kenaikan yang kecil saja. Tapi, coba kita lihat ke lautan, kenaikan suhu bumi yang kecil itu telah membuat koral

yang ada di bawah laut menjadi putih dan mati. Suhu yang naik 0,8 derajat telah membuat suhu air laut ikut naik dan membunuh ekosistemnya. Padahal laut mengisi 2/3 permukaan bumi kita.

Artinya, butuh berapa pemanas untuk menghangatkan suhu air laut yang luas itu? Bumi hanya cukup dengan menghangat 0,8 derajat. Tak terbayangkan jika kenaikan suhu itu mencapai 1-2 derajat. Jika itu terjadi, barangkali, tak ada lagi salju di kutub utara, pulau-pulau akan hilang karena volume air laut naik akibat bertambah dari es-es yang mencair. Ujungnya, peradaban manusia akan terancam punah akibat alam yang berubah sebagai dampak ulah kita sendiri.

Maka ada perundingan-perundingan serius di tingkat dunia membahas perubahan iklim. Negara maju dan berkembang berembuk untuk menjalin kolaborasi menahan laju kenaikan suhu agar tak sampai lebih dari 1,5 derajat pada 2050. Sebab, tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat. Naiknya jumlah manusia, kian modernnya produksi kita, membuat energi yang kita lepaskan untuk keperluan-keperluan hidup itu menjadi meningkat. Dan energi melepaskan

Suhu bumi dalam 100 tahun

201020001990198019701960195019401930192019101900

13,70 13,721382

13,9614,02 13,98 13,99 14,00

14,17

14,32

14,5014,56

Sumber: NASA

terbarukan.Panel solar di Fukuoka, Jepang.

laporan utama

Page 19: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 19j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Penyumbang emisi gas rumah kaca (Giga ton CO2 /tahun)

karbon yang akan menaikkan suhu itu.Lingkaran setan ini harus diputus

sebelum kerusakannya kian masif dan kita terlambat mengantisipasinya. Sejarah telah membuktikan manusia gagal mengembalikan bumi ke suhu semula akibat gaya hidup dan konsumsi kita yang tak berubah, akibat keserakahan kita mengeksploitasi sumber daya alam, akibat tak imbangnya usaha-usaha pencegahan dengan tingkat kerusakan.

Tahun 1973, ekonom E.F Schumacher sudah mengingatkan kita akan bahaya teknologi maju yang akan mengamplifikasi keserakahan manusia. Dengan tegas ia menyatakan bahwa Revolusi Industri dan peradaban modern akan membunuh manusia secara pelan-pelan. Pemakaian energi fosil yang tak

terbarukan akan merusak ozon kita sehingga bumi akan rusak akibat cuaca yang tak lagi sesuai dengan daya tahan tubuh manusia. Ia menganjurkan pada kebajikan dan kearifan kuno dalam cara-cara konsumsi dan produksi. Ia menyebut teknologi madya yang lebih sesuai dengan cara hidup alami kita. Ia memilih Small is Beautiful, sebagai judul bukunya yang terkenal itu, ketimbang “bigger is better” yang menjadi jargon kapitalisme modern.

Toh, kajian-kajian ilmiah serta kritik-kritik para ilmuwan tak membuat kita menurut, keserakahan kita tak kunjung surut. Negara-negara maju kian meluaskan skala ekonomi mereka dan memproduksi teknologi modern sebagai pencapaian-pencapaian peradaban. Negara berkembang terus mengejar

tetangga mereka yang sudah maju dengan turut memproduksi teknologi dan menaikkan pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah ketakseimbangan alam yang membuat ia tak sanggup memikul beban hukum-hukumnya sendiri. Perubahan iklim adalah buah sekaligus hukuman kepada kita yang mengabaikan kebutuhan lingkungan.

Benar kata Mahatma Gandhi: alam sangat melimpah untuk menyediakan kebutuhan hidup kita, tapi tak akan cukup memenuhi keserakahan manusia. Maka poin pokoknya adalah keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Era Internet yang membuat sekat dunia dan negara roboh menjadi peluang bagi kita untuk menjalin kolaborasi dan saling mengingatkan tentang bahayanya keserakahan. Dunia harus bersatu untuk menyeimbangkan kebutuhan dan keinginan. Prakarsa-prakarsa untuk mengembalikan lingkungan yang seimbang harus dieksekusi segera sebelum kerusakan kian parah.

Pada tingkat individu kita harus memulai upaya-upaya menyeimbangkan kebutuhan dengan memulainya dari kesadaran bahwa setiap napas dan gerak kita akan mengancam kita sendiri karena berdampak pada rusaknya bumi. Kesadaran bahwa segala tindakan punya konsekuensi pada masa depan semesta akan membuat kita lebih berhati-hati dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan. Upaya-upaya kecil tiap individu itu akan terakumulasi menjadi tindakan besar untuk mengembalikan bumi sebagai planet yang nyaman dan alamiah bagi hidup mamalia seperti manusia.

Sumber: UNFCCC, UNFAO

Cina

Amerika Serikat

Peternakan

India

Indonesia

10,2

5,2

5

2,5

0,000000018

Kenaikan penyumbang emisi karbon di Indonesia

(persen)Kehutanan 11,22

Energi 3,48

Industri 2,00

Pertanian 1,30

Sampah 3,52

Page 20: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest20 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

WAKTU terasa cepat berlalu bagi para negosiator perubahan iklim utusan 195 negara yang bertemu dan bersidang pada 2-14 Desember 2018

di Katowice, kota kecil 300 kilometer ke selatan dari Warsawa, Ibu Kota Polandia. Perundingan-perundingan yang alot selama 14 jam, dimulai pukul 8 pagi, tak jarang mentok, meskipun mereka meneruskan rapat secara informal pukul 6-9 malam.

Para delegasi baru pulang ke hotel dan tidur jauh malam. Mereka harus datang lagi ke ruang sidang pukul 7 pagi untuk melanjutkan rapat. Negosiasi yang alot membuat sidang yang rencananya ditutup pada 14 Desember molor dua hari karena belum ada kesepakatan antar peserta. “Sewaktu ditutup pun masih ada pasal-pasal yang menggantung,” kata Joko Prihatno , Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Forest Digest pada Februari lalu.

Di Katowice, Joko menjadi Ketua Negosiator untuk Transparansi Kerangka Kerja Perubahan Iklim dan Koordinator Pelaporan Sidang. Sidang dibagi ke dalam dua kelompok besar: untuk membahas Paris Agreement Work Programme (PAWP) dan Non-PAWP. PAWP dibagi lagi delapan kelompok sidang dan Non-PAWP sebelas sidang.

Di kelompok transparency framework, Joko memimpin empat sidang terkait pendanaan mitigasi perubahan iklim, sumber daya informasi untuk perubahan globalstocktake atau pelaporan inventarisasi global, public registry untuk Nationally Determined Contribution

(NDC) dan public registry untuk adaptasi komunikasi. “Saya kemudian membuat laporan secara keseluruhan dari negosiasi-negosiasi itu,” kata Joko.

Hasil dari sidang kelompok-kelompok kecil itu dibawa ke sidang besar untuk diteruskan dalam penutupan. Dalam sidang besar itu, kata Joko, pemimpin rapatnya pejabat setingkat menteri sebuah negara yang ditunjuk majelis. Nyatanya, sidang-sidang itu pun masih mentok. “Meski sudah dipaksakan dengan draf kesimpulan, tetap tidak putus,” kata Joko. “Soalnya, satu negara saja tak sepakat, tidak boleh disetujui, tidak boleh voting.”

Menurut Joko, setidaknya ada tiga poin yang menjadi bahasan sangat alot para delegasi: Pertama, terkait dengan perdagangan karbon di pasar dan nonpasar. Banyak negara berkembang yang menolak mengadopsinya karena menyangkut pertukaran karbon yang dihitung di dalam negeri mereka namun nilainya ditentukan negara pembeli. Kedua, soal prinsip transparansi kerangka kerja. Negara berkembang dan negara maju tak kunjung sepakat dengan mekanismenya. Ketiga, soal globalstocktake untuk memenuhi kesepakatan menekan kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celsius karena menyangkut soal mitigasi, pendanaan, dan implementasinya.

Untuk mencapai target penurunan emisi, negara maju mengajukan proposal agar negara berkembang bersedia menjual karbon karena negara maju tak lagi punya lahan untuk menanam pohon penyerap karbon. Jika pilihan menanam pohon tak diambil, negara maju mesti berinovasi atau membeli teknologi rendah karbon yang mahal untuk menekan emisi. Harga karbon dari negara berkembang yang akan dibeli negara maju senilai US$ 5-10 per ton.

Belum lagi soal teknologi. Kewajiban memakai energi terbarukan membuat transfer dan perubahannya akan

memakan ongkos tak sedikit. Bagi negara maju, investasi dan harga itu akan berpengaruh pada ekonomi mereka, terutama negara-negara yang punya cadangan energi fosil yang banyak, seperti Arab Saudi. “Di tiap negosiasi tiap negara membawa kepentingannya sendiri-sendiri,” kata Joko.

Negosiasi tiap-tiap sidang terutama berurusan dengan sistem pelaporan dan transparansinya. Karena pencegahan perubahan iklim ini hajat hidup sedunia, tiap negara mesti melaporkan apa yang mereka lakukan secara transparan, pendanaan, kewajiban tiap negara yang berbeda-beda, hingga apa saja yang diberikan negara kaya untuk negara miskin untuk mendorong mitigasi pemanasan global.

Indonesia terlibat aktif dalam sidang perubahan iklim terutama karena telah meratifikasi persetujuan mencegah pemanasan global dalam sidang 195 negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada 22 April 2016, tetap pada Hari Bumi. Dengan ratifikasi itu, pemerintah Indonesia wajib memenuhi kewajiban menurunkan gas rumah kaca pada 2020, hingga cara-cara pembiayaan dalam program-program menurunkan suhu.

Negara-negara berkembang diwajibkan andilnya setelah Protokol Kyoto ditandatangani pada 1997 dan berlaku pada 2005. Protokol itu mengatur kewajiban tiap-tiap negara menurunkan emisi buangan dari hasil produksi industri mereka, hingga menjangkau produksi karbon tiap-tiap penduduknya. Protokol Kyoto Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Kyoto bahkan menyebut secara detail target-target yang harus dicapai oleh tiap-tiap negara.

Untuk mencapai target-target itulah

Negosiasi Alot di KatowicePara negosiator perubahan iklim berembuk di Polandia. Tarik menarik kepentingan negara maju dan berkembang.

laporan utama

Page 21: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 21j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

perundingan Katowice di Polandia berjalan alot. Perundingan ini merupakan lanjutan dari Kesepakatan Paris pada 2015. “Dunia, terutama negara maju, sangat khawatir dengan dampak perubahan iklim,” kata Rizaldi Boer, Pakar Manajemen Resiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Institut Pertanian Bogor.

Di Indonesia, dampak perubahan iklim itu mesti diteliti dalam kurun 30 tahun terakhir. Tak hanya suhu yang memanas, menurut Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati, musim hujan tak lagi dimulai di bulan September-Oktober tapi mundur bahkan terjadi ketika seharusnya musim kemarau.

Menurut Rizaldi, untuk mengatasi perubahan iklim ini, kerangka kerjanya dilakukan secara top-down, yakni dilakukan oleh negara yang wajib menurunkan emisi hingga 5 persen di bawah tingkat emisi 1990. Indonesia telah menetapkan target menurunkan emisi 29-41 persen pada 2030. Untuk mencapainya, pemerintah telah membagi tiap sektor untuk penurunan itu: kehutanan 17,2%, energi 11%, pertanian 0,32%, industri 0,10%, dan penanganan limbah 0,38%.

Angka 29%, kata Rizaldi, didapatkan dari proses penghitungan yang melibatkan para pemegang kepentingan dengan model semidinamis sejak 2016. Pemerintah membuat pedoman melalui Peraturan Presiden 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Hal-hal teknis dari aturan itu diterjemahkan, antara lain, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 33/2016 dan

Peraturan Menteri LHK 7/2018.Sebab, kehutanan menjadi sektor

yang paling tinggi target penurunan emisinya. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup pada 2000-20016, kenaikan emisi dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan sebesar 17,2 persen. Dekomposisi lahan gambut menjadi penyumbang terbesar dalam laju pemanasan iklim itu. “Kalau kita bisa menekan kebakaran di lahan gambut dan

menekan deforestasi, penurunan emisi tidak terlalu berat,” kata Joko Prihatno .

Pencapaian-pencapaian tiap negara tersebut akan dibahas kembali dalam Konferensi Para Pihak (COP 25) di Kota Santiago, Chili, pada 2020. Para negosiator akan kembali berunding menahan laju pemanasan global.

—Librianna Arshanti, Mawardah Hanifiyanti, Tiara Kusdanartika, Fitri

Andriani

Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (2000-2017) (juta ton karbon)

Pencapaian Penurunan Emisi

Sumber: KLHK

Sumber: KLHK

Foto: Reuters via Tempo

Page 22: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest22 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

PERUBAHAN iklim bisa terjadi akibat adanya peningkatan gas rumah kaca (green house effect). Efek rumah kaca merupakan akibat dari semakin banyaknya gas yang dibuang ke lapisan atmosfer bumi, lalu menyerap panas dari matahari atau radiasi,

kemudian memantulkannya kembali ke bumi. Manusia punya kontribusi besar dalam perubahan iklim. Kebakaran hutan, pembakaran sampah, pelepasan gas metana dari sampah, pemakaian bahan bakar fosil, pemakaian batu bara, pemakaian gas freon untuk pendingin ruangan, dll.

Secara umum, perubahan iklim telah melanda bumi jika, setidaknya terlihat hal-hal seperti ini: a) Perubahan pola curah hujan dan

siklus hidrologi Akhir-akhir ini curah hujan yang sangat tinggi dan tidak menentu

dengan jangka waktu yang lebih lama, terkadang kekeringan dan banjir bisa bersamaan datangnya.

b) Perubahan pola angin. Pola angin yang mendadak dapat meningkatkan intensitas badai tropis dan gelombang pasang. Hal inilah yang menyebabkan angin Janda di Sumatera ataupun angin Topan Sandi di Amerika Serikat.

c) Kenaikan temperatur permukaan air laut. Suhu air laut pantai utara provinsi Banten hingga Jawa Tengah naik hingga 0,004 – 04 derajat Celsius setiap tahun, mengakibatkan karang memutih (coral bleaching), migrasi ikan pelagis (ikan yang ada di permukaan air), penyebaran penyakit yang cepat.

d) Bertambahnya jenis organisme penyebab penyakit dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Virus-virus baru akan bermunculan, seperti virus flu burung.

e) Kenaikan paras muka air laut.

Akibat yang terlihat adalah genangan “Rob” di daratan rendah, seperti yang terjadi di Jakarta, selain itu abrasi dan sedimentasi, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Salah satu yang bisa mencegah pemanasan bumi adalah menghijaukan kembali tempat tinggal kita ini. Hutan dan tanah di bawahnya menyimpan karbon lebih dari satu triliun ton. Jumlah ini dua kali jumlah karbon yang ada di atmosfer atau setara dengan berat sekitar 2,000 kali berat total dari 7 miliar manusia yang hidup di dunia, dengan perkiraan berat rata-rata 70 kilogram per orang.

Ketika hutan mengalami peningkatan kepadatan maupun luas, hutan akan berperan sebagai “penyerap karbon”, karena mereka mengambil karbon yang ada di atmosfer dan menyimpannya. Sebaliknya, juga bisa menjadi “sumber emisi” dan penyebab perubahan iklim, jika semua hutan ditebangi, diubah peruntukannya dan terbakar. Karbon

Perubahan Iklim di Sekitar KitaPemanasan suhu bumi secara global mengubah arah angin dan curah hujan. Sudah terjadi pada hidup kita sehari-hari.

Foto: Tempo

Page 23: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 23j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

dioksida yang sudah mereka simpan itu akan dilepaskan ke atmosfer lalu memantulkan panasnya ke bumi kembali.

Mempertahankan hutan secara utuh akan mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer dan memperlambat efek perubahan iklim. Stok karbon dalam biomasa hutan berkurang 0.5 Gt tiap tahunnya selama periode 2005–2010 karena berkurangnya luasan hutan. Salah satunya karena deforestasi (FAO, 2010). Deforestasi di berbagai belahan dunia memberikan kontribusi 12-17% emisi karbon dioksida setiap tahun. Sehingga, jika kita kehilangan hutan, kita tidak hanya akan kehilangan fungsi penyerapan, tetapi juga karbon yang telah disimpan di dalam tanah dan tumbuhan dilepaskan ke atmosfer lagi, yang memperparah perubahan iklim.

Hutan lebih dirasakan fungsinya dalam mengatasi perubahan iklim dari pada sekadar menyerap gas rumah kaca yang ada di atmosfer. Hutan berperan menjaga tutupan awan, memantulkan sinar matahari kembali keluar dari atmosfer, mendorong transformasi dari air menjadi uap dan meningkatkan kelembaban di atmosfer, yang akan mendinginkan udara. Selain itu, melalui penyediaan fungsi-fungsi lingkungan yang berbeda dan memenuhi kebutuhan hidup, hutan juga membantu dalam melakukan strategi penyesuaian mata pencaharian manusia yang diakibatkan perubahan iklim.

Ada tiga tipe ancaman perubahan iklim terhadap lingkungan yang

mendapat perhatian dalam jurnal Global Environmental Change. Pertama, bersifat pribadi di mana timbul kecemasan bahwa perubahan iklim dapat berdampak pada keselamatan diri, misalnya, tingginya polusi udara yang berbahaya bagi kesehatan paru-paru. Lalu, ancaman altruistis atau yang berkaitan dengan kemanusiaan dan generasi penerus. Terakhir, ancaman biosfer atau yang mengancam kepada alam termasuk tumbuhan dan hewan. Perubahan iklim telah menunjukkan dampak kesehatan fisik dan mental seperti angin topan.

Dari dulu iklim selalu menentukan cara hidup kita. Saat iklim berubah, manusia juga beradaptasi. Adaptasi adalah proses belajar. Kita semua perlu memperbaiki strategi adaptasi. Kita harus mengurangi gas-gas rumah kaca, dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Kita harus mulai dari sekarang bersama-sama. Libatkan pembuat kebijakan, tingkatkan pemahaman tentang perubahan iklim, ciptakan kesadaran dalam masyarakat untuk adaptasi. Lebih baik bersiap untuk segala kemungkinan daripada menanggung dampak perubahan iklim tanpa perlindungan apa pun.

Bumi yang semakin panas berdampak pada mencairnya lapisan es di wilayah kutub. Hal ini akan mengakibatkan pertambahan massa air di lautan termasuk wilayah Indonesia, sehingga tinggi muka air laut akan meningkat. Dampak dari peristiwa ini adalah banyak wilayah pantai yang mengalami

kebanjiran, erosi, dan hilangnya daratan di pulau–pulau kecil, serta masuknya air laut ke wilayah air tawar, dan menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi peningkatan tinggi muka air laut sebesar 1–2 meter dalam kurun waktu sekitar 100 tahun terakhir.

Jika kondisi ini terus berlanjut maka negara kita yang memiliki sekitar 13.600 pulau akan mengalami dampak yang cukup serius. Masyarakat dan nelayan yang berdomisili di sekitar garis pantai akan semakin terdesak, bahkan kemungkinan kehilangan tempat tinggal.

Sedangkan, diprediksi cuaca ekstrem akan semakin terjadi. Contohnya kekeringan, puting beliung, banjir, dan longsor. Peristiwa semacam ini dapat menghancurkan rumah dan kehidupan manusia termasuk merusak infrastruktur, jalur komunikasi, dan lebih parahnya dapat menghambat pembangunan nasional. Kemudian, beberapa spesies yang tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi sekarang akan sulit untuk bertahan di habitatnya. Oleh karena itu tidak jarang banyak binatang dan tanaman yang mati karena tidak bisa beradaptasi dengan habitatnya.

Proyeksi iklim tak dapat memperkirakan masa depan secara pasti, karena sebagian itu tergantung dari cara bagaimana kita hidup dan memperlakukan alam. Namun, dari semua itu, apakah kita hanya bergantung pada kepastian untuk bertindak? Tidak. Kita sering mengambil tindakan berdasarkan pengalaman dan fakta, tanpa mengetahui kepastian yang akan terjadi di masa depan. Meskipun kita tidak tahu yang akan terjadi pada iklim, kita cukup tahu bagaimana kita akan bertindak.

Kita harus mampu memperhatikan dampak perubahan iklim sekarang dan masa depan, dalam strategi pembangunan, dalam perencanaan. Mulai sekarang kita mesti menimbang segala tindakan di masa depan dengan menghitung efek pada pemanasan global. Dalam tata kota, dalam perencanaan pembangunan, dalam eksekusi program, semua harus mengacu apakah aktivitas itu akan menimbulkan efek bahkan memperburuk cuaca dan kondisi bumi kita.

—Danu Djanurseto, bekerja di Perhutani KPH Bogor

Page 24: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest24 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

KERUSAKAN lingkungan, pemanasan global, badai, abrasi pantai dan naiknya paras air laut akibat perubahan iklim menjadi salah satu isu di dunia saat ini yang disinyalir akibat meningkatnya CO2 yang dihasilkan oleh

berbagai aktivitas manusia (Dharmawan & Siregar, 2008; Efendi et al., 2012). Dampak pemanasan global terhadap perubahan iklim, antara lain, menyebabkan terjadinya pencairan es di gunung-gunung daerah kutub yang turut mengakibatkan naiknya permukaan air laut (Suarsana & Wahyuni, 2011) secara global. Kenaikan air laut ini menjadi ancaman serius bagi manusia dan ekosistem. Salah satu ekosistem yang terpengaruh besar adalah mangrove dan ekosistem pesisir di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

Mangrove adalah salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki produktivitas tinggi. Sehingga selain sebagai pengendali iklim juga berfungsi menunjang produktivitas sumber daya perikanan. Fakta ini kemudian terlihat oleh kita mangrove memiliki fungsi ekologi sebagai nursery ground, feeding ground, dan spawning ground. Dalam konteks global, mangrove juga berperan dalam upaya mitigasi pemanasan global. Sebagai bagian dari kawasan hutan, ekosistem mangrove memiliki fungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon (Rachmawati et al., 2014; Sondak, 2015).

Mangrove juga punya peranan dalam memanfaatkan CO2 untuk fotosintesis yang kemudian disimpan dalam bentuk biomassa dan sedimen (Ati et al., 2014). Kauffman et al (2012) bahkan menyebut

karbon yang tersimpan dalam mangrove lebih tinggi dibandingkan pada tipe hutan lainnya. Terjadinya proses dekomposisi ranting dan daun mangrove yang jatuh oleh mikroorganisme merupakan salah satu sumber bahan organik pada sedimen mangrove.

Mc Cleod et al. (2011) menyatakan bahwa Blue Carbon (karbon biru) merupakan simpanan/cadangan karbon yang terdapat pada ekosistem mangrove, salt tidal marshes dan padang lamun beserta dengan komponen sedimennya. Komponen tersebut juga termasuk biomassa hidup (living biomass) yang berada di atas sedimen (daun dan batang), di bawah sedimen (akar) dan biomassa tidak hidup (non-living biomass) seperti sampah dan daun mati. Cadangan karbon pada tumbuhan hidup bisa bertahan secara singkat pada ekosistem terestrial, namun pada ekosistem pesisir cadangan karbon bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga memiliki potensi stok karbon yang besar (Duarte et al. 2005).

Stok karbon pada ekosistem pesisir khususnya ekosistem mangrove menggambarkan bahwa karbon biru merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesisir yang terintegrasi dalam proses adaptasi terhadap perubahan iklim. Kecenderungan perubahan iklim yang disebabkan oleh pesatnya pembangunan di wilayah pesisir semestinya mendorong pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu agar manfaat pembangunan tetap terasa bagi masyarakat seraya menjaga kelestarian sumber daya mangrove. Karena itu melibatkan masyarakat dalam menjaga lingkungan, khususnya ekosistem mangrove, menjadi penting. Cara

pertama adalah sosialisasi kepada mereka tentang pentingnya pengembangan kawasan dalam menunjang pembangunan daerah (Juwita et al. 2015)

Desa Pengendali DuniaSaat ini kawasan dan lingkungan di

Indonesia menghadapi kondisi yang tidak menentu. Beberapa wilayah mengalami bencana berupa kekeringan, kerusakan lahan karena gunung api, kerusakan pantai dan pesisir karena hilangnya habitat penahan serta turunnya kemampuan ekosistem akibat beratnya beban pencemaran. Wilayah pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang rentan dengan bencana

Lima Agenda Membangun Desa Peduli Iklim DuniaPembangunan desa bisa menjadi titik tolak pencegahan bencana. Juga pengendalian iklim dunia akibat pemanasan global.

Page 25: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 25j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

tersebut khususnya ekosistem mangrove. Sebanyak 10.664 desa memiliki pantai

yang berpotensi mengalami risiko dan dampak perubahan tersebut. Otonomi kewenangan desa pun berkembang tidak hanya mengurus dana desa, namun lebih besar mengelola sumber daya desa. Desa kemudian perlu didorong untuk merumuskan visi dalam tata kelola desa termasuk dalam menghadapi bencana di pesisir.

Sebagai unit terkecil yang memiliki peran sebagai perencana dan pelaksana pembangunan di kawasan pesisir dan laut, desa memiliki fungsi strategis dalam peran di lingkungan global. Desa memiliki peran lebih besar dalam upaya

penyelamatan lingkungan. Salah satunya dengan menyelamatkan ekosistem untuk antisipasi kerusakan pesisir, pengendalian ekonomi masyarakat dan kontribusi dalam perlindungan global. Untuk itu peran desa perlu terus didorong untuk memastikan bahwa pengelolaan iklim dari desa untuk dunia berjalan sesuai target pemerintah dan kontribusi global.

Untuk itu setidaknya ada lima agenda pokok yang perlu dilakukan terkait dengan peran mangrove sebagai

penopang produktivitas, penyerap karbon, serta pelindung pantai dari bencana alam. Kelima agenda utama kita dalam rehabilitasi dan restorasi mangrove berbasis desa adalah mempercepat peningkatan kemampuan tata kelola berbasis desa, meningkatkan daya dukung pesisir, mendorong komitmen global dalam penurunan emisi GRK, menuju Society 5.0 dengan memanfaatkan teknologi dalam monitoring mangrove dan bencana.

Agenda pertama. Mendorong akselerasi kemampuan desa dalam mengelola ekosistem mangrove terutama kawasan yang sebagian sudah kritis. Dua langkah penting yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan fungsi mangrove yang kondisinya masih baik adalah dengan segera merehabilitasi, sedangkan yang mengalami perubahan fungsi dengan restorasi terutama area yang kritis. Jika melihat target Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rehabilitasi mangrove berakhir tahun 2045, kita hanya mampu merehabilitasi 67 ribu hektare per tahun. Itu pun jika tak ada kerusakan yang lebih parah. Upaya yang linier akan berhadapan dengan pola adaptasi ekosistem yang dinamis dan iklim yang juga dinamis. Maka perlu akselerasi bukan hanya sekedar seremoni dengan target statis setiap tahun.

Dari perhitungan luasan rehabilitasi tahunan di atas, setidaknya pemerintah memerlukan dukungan pembiayaan Rp 1,1 triliun, dengan asumsi biaya rehabilitasi sebesar Rp 15 juta per hektare. Nilai ini akan naik Rp 1,3 triliun jika asumsi biayanya Rp 20 juta per hektare karena perbedaan teknik penanaman. Sementara jika penanamannya masif dengan mempercepat waktu pulih sampai 2025, setiap tahun harus direhabilitasi 260 ribu hektare dengan total pembiayaan mencapai Rp 3,9 triliun hingga Rp 5,2 triliun per tahun.

Rehabilitasi akan menjadi lebih cepat lagi apabila memanfaatkan peranan lebih dari 10 ribu desa dengan melibatkan mereka dalam kegiatan ini. Desa- desa yang memiliki pesisir harus merancang sebuah mekanisme tata kelola ekosistem mangrove sebagai paket program konservasi berbasis desa dengan tetap

Kotor.Anak-anak berenang di pantai Labuan Bajo yang penuh sampah, Februari 2019.Foto: Asep Ayat

Page 26: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest26 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

mengadaptasikan perkembangan teknologi dan sistem informasi sebagai bagian dari adaptasi penanggulangan bencana di desa pesisir.

Agenda kedua. Meningkatkan daya dukung kawasan pesisir terutama daerah mangrove. Konservasi berbasis desa menjadi langkah penting, sekaligus sebagai tanggung jawab mereka pada lingkungan dengan keberadaan dana desa. Dengan dana rehabilitasi sebesar 20 juta per hektare, setiap tahun perlu Rp 200 juta melalui desa (setara 20 hektare). Jika berhasil mangrove yang bisa direhabilitasi seluas 213.284 ribu hektare per tahun. Biaya yang diperlukan pun menciut menjadi Rp 4,1 miliar saja. Dengan masifnya rehabilitasi, waktu yang diperlukan tinggal 8,5 tahun.

Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan ekonomi menunjukkan bahwa pembuatan 1 hektare tambak ikan pada hutan mangrove alam menghasilkan ikan atau udang sebayak 287 kilogram per tahun dalam kondisi buruk, 1,1 ton per hektare per tahun jika kondisi hutannya baik. Kehilangan setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kilogram ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Pengurangan hutan mangrove terutama di areal green belt akan menurunkan produktivitas perikanan tangkapan.

Agenda ketiga. Memperkuat komitmen pengelolaan lingkungan global dari desa. Kegiatan industri, transportasi, dan aktivitas manusia lainnya yang memakai sumber energi fosil (batu bara, minyak bumi, gas) telah menyebabkan bumi kian panas karena tersekap oleh emisi yang lebih di kenal dengan istilah Gas Rumah Kaca (GRK) serta berkurangnya kemampuan hutan mangrove dalammenyerap CO2 akibat deforestasi.

Saat ini konsentrasi CO2 di atmosfer telah mengakibatkan lebih 50% dari total efek GRK sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim (IPCC, 2001). Perubahan iklim setiap tahun merupakan salah satu dampak dari pemanasan global yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Para pakar Intergovemmental Panel on Climate Change (IPCG) dalam laporan PBB tahun 2007 menyatakan bahwa pemanasan global mengakibatkan sejumlah pulau-pulau kecil Indonesia

diprediksi hilang pada 30 tahun mendatang dan sekitar 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada tahun 2080. Melalui rehabilitasi mangrove berbasis desa, ada harapan berbagai dampak di atas bisa diminimalkan.

Agenda keempat. Memperkuat sistem monitoring ekosistem mangrove dengan memanfaatkan teknologi informasi dan jaringan Internet. Rehabilitasi mangrove bisa dengan melibatkan semua pihak penyumbang karbon agar berpartisipasi dengan membuat berbagai program corporate social responsibility. Caranya melalui: (1) penyusunan tata kelola ekosistem mangrove berbasis desa dengan tetap mengadaptasikan perkembangan teknologi dan sistem informasi sebagai bagian dari adaptasi penanggulangan bencana di desa pesisir; (2) meningkatnya daya dukung ekosistem mangrove; (3) tersedianya informasi dan data stok karbon mangrove berbasis desa; (4) menyiapkan sistem pemantauan karbon pada ekosistem mangrove berbasis sistem aplikasi.

Agenda kelima. Memperkuat kemampuan desa dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir akibat gelombang pasang dan tsunami. Banyak kejadian

tsunami seperti di Palu dan Banten menelan kerugian triliunan rupiah. Kehilangan ekosistem mangrove membuat kita kehilangan kemampuan melindungi kawasan pantai dari bencana tersebut. Untuk itu penting melihat kemampuan mangrove dalam peranya sebagai penahan gelombang dan tsunami serta air pasang dan banjir.

KONSEP desa sebagai pengendali iklim dunia akan mendorong ikhtiar pembangunan dan konservasi dimulai sejak dari wilayah terkecil dalam pemerintahan ini. Untuk itu penguatan peran desa penting untuk menciptakan sinergi antara pemanfaatan ruang dan pembangunan yang berkelanjutan demi masa depan. Kita harus membuktikan bahwa desa mampu menjadi pengendali ekonomi dan iklim dunia.

—Yonvitner, Kepala Pusat Studi Bencana dan dosen Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan IPB

laporan utama

Jembatan kayu. Anak-anak suku Bajo berangkat ke sekolah melalui jembatan papan yang menghubungkan antar desa di Pulau Papan, Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.Foto: Bagja Hidayat

Page 27: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 27j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

kapasitas mitigasi pemanasan globalKesepakatan Paris belum menjamin pencapaian target pengendalian perubahan iklim global. Mitigasi dan adaptasi menjadi isu serius dan mendesak.

PADA 1992, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa melahirkan beberapa deklarasi dan kesepakatan internasional dalam hal menangani perubahan iklim, United Nations

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim. Tujuan umumnya adalah menstabilkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan kelangsungan sistem kehidupan penghuni bumi.

Secara kongkrit, UNFCCC memiliki tujuan utama mempertahankan agar kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi tidak melebihi 20 Celsius, bahkan kurang dari 1,50 Celsius. Target kedua perlu upaya lebih karena mempertimbangkan negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, antara lain karena kondisi negaranya yang relatif datar dan hanya sedikit lebih tinggi dari permukaan laut, sehingga rentan terhadap kenaikan permukaan air laut.

Dalam perkembangannya, pada Oktober 2018, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) yang fokus pada

penelitian dan aspek ilmiah perubahan iklim menyatakan bahwa ternyata tujuan UNFCCC perlu dikoreksi menjadi kurang dari 1,50 Celsius, bukan lagi di bawah 20 Celsius. Hal ini membutuhkan ambisi lebih ketat dalam upaya global menghadapi perubahan iklim.

Mandat Serius dan Mendesak Dalam pidato pembukaan Conference of

the Parties (COP) ke 23 di Bonn, Sekretaris Eksekutif UNFCCC Patricia Espinosa menyatakan bahwa komitmen para pihak baru sekitar sepertiga dari yang diperlukan untuk mempertahankan kenaikan suhu di bawah 20 Celsius. Artinya, komitmen para pihak melalui Kesepakatan Paris (Paris Agreement), apabila terlaksana, masih belum cukup untuk menjaga bumi dari perubahan iklim. Sebenarnya hal ini sudah disadari oleh para pihak pada COP ke 21 di Paris. Mereka sepakat menyatakan bahwa kapasitas pengendalian perubahan iklim menjadi permasalahan serius dan mendesak semua negara. Oleh karena itu, COP 21 sepakat membentuk Paris Committee on Capacity Building (PCCB) yang diberi mandat khusus untuk menangani kesenjangan (gaps) dan kebutuhan (needs) saat ini maupun yang akan datang dalam pengembangan kapasitas pengendalian perubahan iklim khususnya di negara berkembang.

Kerangka Kerja Pengembangan KapasitasPada prinsipnya, pembangunan

kapasitas menjadi isu penting pengendalian perubahan iklim, seperti pernyataan UNFCCC, “a country cannot mitigate or adapt to climate change without first having the capacity to do so”. Meskipun demikian, isu pengembangan kapasitas telah menjadi bagian dari proses negosiasi

di UNFCCC sejak dibentuk pada tahun 1992.

Sejak Tahun 2001, kegiatan pengembangan kapasitas di negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi (countries with economic in transition) berpedoman pada dua kerangka pengembangan, yaitu Framework for Capacity Building in Developing Countries dan Framework for Capacity Building in Countries with Economic in Transition. Kemudian pada tahun 2005, setelah Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) berlaku, Capacity Building Frameworks juga bisa diterapkan untuk implementasi Protokol Kyoto. Secara umum, kerangka pengembangan kapasitas kerangka kerja tersebut menjadi pedoman untuk prinsip-prinsip dan pendekatan pengembangan kapasitas, antara lain country driven process, melibatkan learning by doing, dan dikembangkan berdasarkan kegiatan saat ini.

Forum Durban dan PCCBMelalui pembelajaran dari monitoring

tahunan dan tinjauan secara periodik, serta berbagai pertemuan-pertemuan terkait pelaksanaan kerangka itu, dukungannya peningkatan kapasitas terus semakin berkembang. Pada 2009, pengembangan kapasitas menjadi bagian dari proses negosiasi dan kemudian menjadi awal terbentuknya Forum Durban (Durban Forum on Capacity Building). Forum Durban menjadi sesi tahunan sebagai wadah diskusi mendalam tentang pengembangan kapasitas yang melibatkan partisipasi para pihak, perwakilan badan-badan dibawah Konvensi, para ahli, praktisi, untuk berbagi pengalaman, dan gagasan.

Setelah terbentuknya PCCB, koordinasi antara Forum Durban dan agenda PCCB adalah pengembangan kapasitas dalam konteks implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) di negara berkembang. NDC adalah komitmen setiap negara, baik negara maju maupun berkembang, melaksanakan Kesepakatan Paris. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41% dengan kemitraan internasional.

Arti Pengembangan KapasitasMelalui PCCB, Indonesia

Secara kongkrit, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memiliki tujuan utama mempertahankan agar kenaikan rata-rata suhu permukaan bumi tidak melebihi 20 Celsius, bahkan kurang dari 1,50 Celsius.

Page 28: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest28 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

menyampaikan pengertian tentang pengembangan kapasitas sebagai “building abilities, relationships and values that will enable individuals, institutions and societies to improve their performance, solve problems, set and achieve objectives in a sustainable manner to do mitigation and adaption on climate change”, atau membangun kapabilitas, hubungan, nilai yang memungkinkan individu, institusi, dan masyarakat meningkatkan performa, menyelesaikan masalah, menyusun dan mencapai tujuan secara terus-menerus dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Dalam melaksanakan mandatnya, PCCB sedang menyusun laporan kompilasi dan sintesis kesenjangan kapasitas dan kebutuhan pengembangan kapasitas. Laporan tersebut akan memberikan gambaran kesenjangan kapasitas dan kebutuhan pengembangannya di negara berkembang, khususnya dalam upaya mencapai komitmen pengendalian perubahan iklim pada 2020-2030. Tantangan dalam melakukan kajian kapasitas adalah terbatasnya informasi yang disampaikan oleh negara-negara berkembang. Laporan utama negara berkembang kepada UNFCCC adalah National Communication (NC) dan Biennial Update Report (BUR).

Belum ada laporan khusus terkait pengembangan kapasitas di masing-masing negara. Karena itu PCCB meminta secara sukarela kepada negara berkembang yang menjadi anggotanya untuk menyampaikan contoh kajian pengembangan kapasitas. Jumlah anggota PCCB sebanyak 12 orang, 5 anggota berasal dari negara maju, 5 anggota dari negara berkembang, dan 2 anggota berasal dari negara kepulauan kecil dan negara tertinggal. Indonesia dan Tiongkok mewakili region Asia Pasifik.

Dalam perkembangannya, Indonesia menjadi negara percontohan. Saat ini Indonesia telah menyelesaikan tahap penting dalam pengembangan kapasitas, yaitu melakukan identifikasi kesenjangan dan kebutuhan pengembangan kapasitas, baik mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Kajian kebutuhan pengembangan kapasitas ini masih belum banyak dilakukan oleh negara-negara berkembang. Bahkan belum ada dokumen lain sejenis yang telah diterima oleh PCCB.

Kapasitas Mitigasi dan Adaptasi Indonesia

Tantangan terbesar dalam mitigasi adalah pada sektor NDC Kehutanan yang memiliki target penurunan emisi sebesar 497 mega ton CO2e dengan kemampuan sendiri (unconditional mitigation) dan 650 mega ton CO2e dengan kerja sama internasional (conditional mitigation). Dibandingkan dengan proyeksi tanpa tindakan (business as usual) sebesar 714 mega ton CO2e, berarti reduksi emisi di sektor NDC Kehutanan harus mencapai 70%-91% pada 2030.

Kapasitas yang perlu ditingkatkan di sektor kehutanan yaitu kapasitas institusi dalam mengendalikan tiga faktor utama emisi sektor kehutanan, yaitu deforestasi, kebakaran hutan, serta dekomposisi lahan gambut. Deforestasi masih terus terjadi sekitar 0,5 juta hektare per tahun. Fluktuasi emisi yang terjadi di sektor pembangunan kehutanan adalah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Emisi tahun 2015 mencapai 2,35 mega ton CO2e, meningkat cukup besar dibandingkan dari tahun 2014, karena adanya kebakaran hutan pada tahun tersebut. Pada 2017 menurun menjadi 1,16 mega ton CO2e. Kapasitas restorasi menghadapi tantangan karena proses pembentukan gambut terjadi dalam waktu ribuan tahun. Kapasitas institusi dalam pengendalian deforestasi dan kebakaran hutan menjadi faktor penting yang lebih terkendali. Tindakan konkret dan pengawasan menjadi kapasitas penting yang perlu ditingkatkan.

Pada periode 2020-2030 sebenarnya sektor NDC Energi akan menjadi sumber emisi utama di Indonesia. Namun target reduksi emisi lebih kecil dari sektor kehutanan, yaitu 314 mega ton CO2e dengan kemampuan sendiri (unconditional mitigation) dan 398 mega ton CO2e dengan kerja sama internasional (conditional mitigation) atau mereduksi 19%-24% dari emisi tanpa tindakan sebesar 1.669 mega ton CO2e di tahun 2030.

Di sektor NDC Energi, kapasitas kementerian/lembaga teknis terkait energi serta peran serta para pihak dalam peningkatan efisiensi penggunaan energi maupun pengembangan energi terbarukan, menjadi faktor utama untuk mencapai target NDC pada tahun 2030. Kapasitas institusi dalam pengembangan

sumber daya manusia dan teknologi khususnya energi baru terbarukan menjadi kunci pengembangan kapasitas sektor energi.

Dalam aspek adaptasi, diketahui adanya daerah yang rentan terhadap perubahan iklim yang meliputi 15 daerah, dari wilayah barat dan selatan pulau Sumatera, bagian barat dan timur Jawa, Papua, hampir seluruh wilayah Bali Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara. Secara umum, rencana aksi adaptasi diarahkan untuk membangun ketangguhan ekonomi, sosial, menjaga keberlanjutan jasa lingkungan,

Page 29: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 29j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

memperkuat ketangguhan wilayah perkotaan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta membangun sistem informasi, serta riset dan pengembangan.

Tantangan utama isu adaptasi yaitu kompleksitas potensi bencana, maupun faktor pemaparnya (exposure), sehingga kerentanan sebagai inti dari adaptasi, menghadapi tantangan dalam membuat indikator kerentanan secara umum. Kapasitas institusi juga perlu ditingkatkan dalam penyusunan indikator yang sederhana namun mampu mengukur dengan baik capaian adaptasi, yaitu pengurangan kerentanan. Kapasitas lain

koordinator, untuk menjamin terjadinya koordinasi lintas sektoral. Selain itu program pengembangan kapasitas pada sektor-sektor terkait dan melibatkan pemangku kepentingan lainnya, khususnya legislatif, media massa, dan sektor swasta perlu ditingkatkan.

—Mahawan Karuniasa, dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan anggota Paris Committee on Capacity

Building (PCCB)

Konferensi. Penulis dalam salah satu konferensi perubahan iklim di Katowice, Polandia, Desember 2018.

yang mendesak adalah membangun stakeholder engagement atau membangun jejaring dan interaksi antar pemangku kepentingan, karena upaya adaptasi mencakup aspek yang kompleks, baik ekonomi, sosial, dan ekologis.

Selain itu, tantangan utama dalam pengendalian iklim adalah kapasitas koordinasi antar instansi, karena bagaimanapun, sebagai negara berkembang tentunya peran pemerintah tetap dominan. Isu pengendalian perubahan iklim, disertai dengan isu kapasitas yang serius dan mendesak, perlu diangkat pada tingkat kementerian

Page 30: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest30 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

DI mini atau supermarket di Kota Bogor, foto Wali Kota Bima Arya terpacak di meja-meja kasir mulai 1 Desember 2018. Ia melarang toko-toko ritel menyediakan kantong plastik untuk membungkus barang belanjaan dan mengajak pembeli untuk diet

plastik. “Ini kebijakan bertahap hingga 2025 Bogor nol plastik,” katanya seperti dikutip Antara.com awal Desember tahun lalu.

Sebetulnya, Bima sudah menerbitkan Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61/2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik pada 23 Juli 2018. Larangan itu mulai efektif setelah enam bulan ia teken. Sampai Maret tahun ini ia masih mentoleransi toko ritel menyediakan kantong plastik sampai stoknya habis. Setelah itu, akan ada sanksi bagi toko yang masih menyediakan kantong plastik untuk bungkus belanjaan.

Ia mengimbau pembeli membawa kantong belanjaan sendiri atau membeli kantong kain yang disediakan di toko. Beberapa swalayan bahkan menerima pembelian kantong plastik ramah lingkungan yang terbuat dari singkong. Namun, kantong plastik yang bisa didaur ulang ini masih mahal. Harganya berkisar

antara Rp 10.000-12.000 per unit.Kepala Bagian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Kota Bogor N. Hashby Munnawar menambahkan bahwa kebijakan Wali Kota itu merupakan turunan dari peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menginduk pada Undang-Undang 18/2008 tentang pengelolaan sampah. “Jadi penegakkan aturan Wali Kota ini tetap harus berkoordinasi dengan KLHK,” kata dia.

Dengan peraturan ini, Bogor menjadi kota keempat yang menerapkan kebijakan larangan memakai kantong plastik untuk ritel modern setelah Balikpapan dan Banjarmasin di Kalimantan, serta Kabupaten Badung di Bali. Menurut Bima, peraturan ini belum menyasar pasar tradisional karena kebijakannya bertahap.

Bogor menjadi surga plastik karena limbah plastik sehari bisa 1,8 ton. Jumlah ini merupakan perhitungan limbah plastik yang dihasilkan dari 23 toko modern yang ada di kota Bogor. Belum menghitung produsen-produsen dari sektor lain yang

juga menghasilkan limbah yang tak terurai ini.

Pemerintah DKI Jakarta belakangan juga berencana meniru aturan sejenis. Gubernur Anies Baswedan sedang merevisi draf peraturan yang diajukan Dinas Lingkungan Hidup. Seperti dikutip Jakarta Post pertengahan Februari lalu, Kepala Dinas Isnawa Adji baru memasukkan draf baru pengurangan sampah plastik dan larangan bagi toko modern menyediakan kantong plastik.

Jakarta termasuk kota yang banyak menghasilkan sampah plastik. Dari 7.000 ton sampah yang diproduksi 9,7 juta penduduk Jakarta setiap hari, 2.400 ton di antaranya berupa sampah plastik. Isnawa Adji mengatakan bahwa penduduk Jakarta masih belum terbiasa hidup tanpa memakai plastik untuk banyak keperluan sehari-hari.

Jika pemerintah daerah punya komitmen menurunkan pemakaian plastik, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia juga sudah sadar dampak buruk kantong plastik terhadap lingkungan. Kematian paus sperma di

Hidup Tanpa PlastikBeberapa kota menerapkan larangan kantong plastik bagi peritel modern. Industri mengikuti.

Kantong plastikBotol plastik

StereofoamBaterai

Puntung rokokKaleng minuman

KainSisa makanan

Kertas

Waktu terurai sampah (tahun)

12

1280

10,080,01

20

100

Hijau.Gedung hijau Unilever di Jakarta.Foto: Dokumentasi Unilever

Page 31: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 31j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Wakatobi pada Desember lalu karena menelan 6 kilogram sampah plastik menunjukkan bahaya plastik terhadap habitat alam.

Kebiasaan penduduk Indonesia membuang sampah sembarangan, termasuk ke sungai, membuat plastik terbawa arus dan bersarang di lautan. Habitat laut yang mencari makan bingung membedakan plastik dengan makanan yang melayang di air. Mereka tak sadar memakannya hingga berkilo-kilo.

Habitat yang terbunuh karena plastik ini, tentu saja, akan mengganggu keseimbangan mereka di alam. Setelah suhu yang memanas akibat efek gas rumah kaca, populasi mereka terancam pula karena plastik. Pemanasan global tak hanya terjadi karena aktivitas produksi manusia tapi juga gaya hidup yang tak selaras dengan alam.

Danone Indonesia sadar dengan dampak buruk itu. Sebagai perusahaan produsen makanan dan minuman, Danone punya komitmen mengurangi dampak gas rumah kaca hingga 2050,

seperti program pemerintah yang diwajibkan oleh Paris Agreement dalam penurunan efek pemanasan global. “Kami sudah punya strategi yang solid untuk itu,” kata Direktur Sustainable Development Danone Indonesia Karyanto Wibowo.

Strategi Danone dalam mendukung kebijakan seluruh negara itu adalah penggunaan energi yang efisien, memakai energi terbarukan, dan carbon resolving. Menurut Karyanto, Pemakaian energi yang efisien dilakukan salah satunya dengan cara mengoptimalkan rute pengangkutan barang produksi. Dengan rute yang efisien, bahan bakar dan secara langsung juga mengurangi emisi.

Untuk energi terbarukan, di beberapa daerah Danone listrik dari sumber gas alam dan panel solar, tak lagi batu bara. Sedangkan pada program carbon resolving, Danone melakukan program penanaman seperti mangrove sebagai penyerap dan penyimpan karbon. “Itu adalah opsi terakhir setelah dua kebijakan pertama,” kata Karyanto.

Berbeda dengan Danone, Unilever punya cara sendiri dalam upaya mengurangi dampak buruk perubahan iklim. Salah satunya adalah menerapkan green office di kantor mereka. “Kantor ini sudah sertifikasi sebagai green office dari pencahayaan sampai pada pengolahan sampahnya. Kami juga punya program pilah sampah, seperti pilah sampah pada umumnya. Dan itu dikelola oleh Waste4Change. Supaya tidak ada sampah ke tempat penimbunan,” ujar Lucius Dinto Pramudyo, Kepala Divisi Enhancing Livelihood Programme - Unilever Indonesia Foundation.

Sebagai bagian dari tanggung sosial perusahaan, Unilever juga membangun bank sampah di beberapa daerah. Menurut Dinto, jumlah anggota bank sampah yang ikut dalam program itu

di seluruh Indonesia mencapai 40 ribu orang.

Danone saat ini sedang mengembangkan botol dari bahan daur ulang yang higienis dan aman untuk kemasan. “Beberapa minggu lalu kami telah meluncurkan secara resmi botol yang memakai 100% bahan baku daur ulang. Kami juga mendesainnya tanpa label atau plastik. Produk ini baru kita pasarkan di Bali,” ujar Karyanto.

Inovasi program yang dilakukan Unilever lebih pada mendorong untuk melakukan sertifikasi kedelai yang menjadi salah satu sumber bahan baku produksi. Sertifikasi ini akan menjamin petani tetap menjaga lingkungan dengan mengalokasikan sebagian areanya untuk tanaman keras. “Ini juga salah satu upaya untuk membuat petani itu juga resilient,” kata Dinto. “Jangan sampai kalau terjadi sesuatu di tanaman utamanya dengan enggak punya sumber penghidupan.”

Selain mencegah di hulu, penanganan limbah hasil industri juga merupakan aspek penting dalam pengurangan dampak buruk perubahan iklim. Karena itu Danone menempatkan mesin pengolah limbah organik dan anorganik di semua pabrik mereka. “Bahkan Danone memiliki beberapa spesifikasi standar yang melebihi standar pemerintah,” ujar Karyanto.

—Mustofa Fato, Mawardah Hanifiyanti, Wike Andiani, Fairuz

Ghaisani, Tiara Kusdanartika

1950

2 10

45 55

100

180

280

381

1960 1970 1980 1990 2000 2010 2015

Produksi sampah plastik (juta ton)

500

Page 32: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest32 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

KONSERVASI rupanya hanya berhasil sedikit menggeser paradigma eksploitasi hutan. Data Global Forest Watch menunjukkan deforestasi 2017 menurun dibandingkan 2016 tetapi angkanya jauh di atas tahun-tahun sebelumnya.

Penyebabnya karena penilaian pragmatis: hutan lebih menguntungkan secara ekonomi.

Pergeseran yang kecil ini harus dipandang sebagai kemunduran sejenak saja, karena berkembang kesadaran kuat bahwa cara konservasi mempertahankan dirinya adalah dengan membuatnya menguntungkan pula secara ekonomi. Selain komitmen berkelanjutan oleh para donatur—pribadi, lembaga, maupun negara—dari seluruh dunia, hasil kajian ilmiah yang cukup intensif memberikan harapan cerah untuk konservasi hutan.

Pada edisi Desember 2016, jurnal Public Library of Science (PLoS) One menerbitkan hasil kajian terhadap 14 hasil penelitian kehutanan, yang memberikan gambaran apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk menjamin program konservasi hutan tropis di Afrika, Asia dan Amerika Latin untuk mencapai hasil lebih baik. Kajian ini dipimpin oleh editor Jan Borner dari Universitas Bonn bersama-sama CIFOR dan memusatkan perhatian mereka pada parameter perubahan tutupan hutan tahunan.

Studi itu menyimpulkan terdapat beberapa kebijakan dan program yang efektif untuk mendorong konservasi hutan tetap berada pada jalurnya, antara lain adanya penetapan kawasan lindung,

pengelolaan hutan berbasis-komunitas, penegakan hukum dan pengumuman para perusak hutan, sertifikasi, dan payment for ecosystem services (PES).

Untuk kasus Indonesia, sertifikasi konsesi ternyata memberikan hasil paling besar karena mampu meningkatkan tutupan hutan sebesar 5% dalam kurun waktu 2000-2008 dibandingkan kawasan hutan tanpa sertifikasi. Kajian itu menjelaskan, sertifikasi hutan di Indonesia juga berpengaruh signifikan terhadap pengurangan ketergantungan pada kayu bakar (33%) polusi udara (31%), infeksi saluran pernapasan (33%) dan kekurangan gizi pada desa-desa yang berpartisipasi dalam program ini. Hasil yang kurang menjanjikan justru datang dari penetapan kawasan konservasi dan lindung, karena diperkirakan strategi ini hanya akan menambah tutupan hutan Indonesia 0,8% dalam sepuluh tahun.

Skema lain yang layak dicoba Indonesia adalah PES, karena Mexico berhasil menambah 2,91% tutupan hutan mereka per tahun, sedangkan Brazil telah mengintegrasikan PES sebagai ecological fiscal transfer melalui pengenaan terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang berlaku di 12 negara bagian di Brazil. Ada Mexico, Costa Rica, Tanzania, dan Namibia sebagai contoh beberapa negara yang mendapatkan manfaat cukup besar dari PES terutama untuk meningkatkan akses masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap fasilitas kesehatan dan Pendidikan.

Pendekatan lain yang disebut di dalam kajian ini adalah jurisdictional conservation approach (pendekatan konservasi berbasis yurisdiksi), yang cukup berhasil menekan laju deforestasi di beberapa negara bagian di Brazil. Berbasis yurisdiksi

artinya mengaitkan program konservasi, atau dalam kasus Brazil dibatasi pada penurunan laju deforestasi, dengan insentif dan disinsentif kepada pemerintah tingkat negara bagian, provinsi atau kabupaten.

Pendekatan ini fokus pada pemberdayaan di tingkat yurisdiksional, di mana kewenangan paling dekat dengan sumber daya itu berada. Pendekatan ini dimulai dengan pertanyaan, jika kabupaten atau provinsi bisa mengelola program konservasi hutan, kenapa harus dikelola pada tingkat nasional? Pemerintah federal Brazil memberikan disinsentif dengan berbagai cara, misalnya menutup pasar barang dan jasa dari daerah yang memiliki laju deforestasi tinggi, memperketat pemberian kredit bank, dan mengurangi penerimaan manfaat program pemerintah. Mereka juga membuat daftar hitam negara bagian yang tak mampu menekan deforestasi dan diumumkan kepada publik secara berkala, sebagai bentuk hukuman sosial.

Kebijakan dan program dalam pengelolaan sumber daya alam adalah instrumen mewujudkan salah satu tujuan bernegara, yaitu keadilan sosial. Sebagai instrumen ia bersifat dinamis mengikuti zaman, tetapi tujuan keadilan sosial tetap melekat sesuai perintah konstitusi. Sejalan dengan tujuan itu, sampai saat ini Pemerintah Indonesia berusaha memperkuat tiga aspek untuk

Insentif Hutan untuk Menyerap Emisi KarbonTiga upaya memaksimalkan hutan tumbuh secara alami untuk menyerap emisi karbon dan gas rumah kaca. Sudah berada di jalan yang benar.

Page 33: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 33j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

menopang pengelolaan sumber daya hutan yang berkeadilan dan pengurangan dampak perubahan iklim., walaupun tidak semuanya optimal.

Ketiga aspek itu adalah: pertama, pengakuan hak atas sumber daya sebagai alas hukum kepemilikan hutan (ownership) secara komunal. Penerbitan putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012, menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Harus dibedakan dengan tegas antara konsekuensi putusan MK dengan program perhutanan sosial, karena pasca putusan MK masyarakat hukum adat mempunyai kepemilikan atas hutan yang syaratnya-syaratnya akan ditentukan dengan peraturan. Ketidakmampuan satu komunitas adat memenuhi persyaratan hak atas hutan adat, tidak membatalkan pengakuan kepemilikan mereka atas hutan adat. Keterlibatan masyarakat hukum adat di dalam skema program pemerintah harus diletakkan sebagai program suka rela, karena hak kepemilikan telah menjamin hak pengelolaan sepenuhnya ada pada masyarakat adat.

Nilai-nilai ideal dalam pengaturan

yang bersifat administratif-negara terhadap hutan adat harus berdasarkan nilai ideal yang diyakini dan nyata-nyata berkembang di dalam masyarakat adat. Jika nilai-nilai ini ada yang bersifat khusus dan terbatas berkembang pada komunitas adat tertentu, serta belum diatur dalam hukum positif yang berlaku, maka harus ditemukan kompromi yang tidak merugikan masyarakat adat. Oleh karena itu peraturan daerah adalah bentuk hukum yang sesuai untuk mengatur dan menilai keberadaan masyarakat hukum adat, karena keberagaman kondisi yang ada.

Kedua, penciptaan akses atas sumber daya hutan. Akses rakyat atas sumber daya adalah perintah konstitusi untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Keadilan itu diejawantahkan antara lain dalam kebijakan ekonomi yang memberikan akses kepada sumber daya hutan dengan maksud memeratakan kesejahteraan. Pemerintah telah mengadopsi program Perhutanan Sosial (social forestry) yang bertumpu pada pembukaan lima skema akses atas lahan dan hutan.

Terminologi social forestry yang dimulai di India 43 tahun lalu ini, rupanya populer sebagai salah satu cara jitu negara untuk memberikan akses hutan kepada masyarakat tanpa kehilangan hak atasnya. Perhutanan sosial juga semacam kontrak sosial negara dan masyarakat, ketika negara menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan atas sumber daya alam kepada rakyat. Di kantong Presiden tercatat 12,7 juta hektare lahan kawasan hutan yang akan diperuntukkan bagi masyarakat yang di dalamnya juga terdapat hutan adat dan 9 juta hektare lainnya untuk diredistribusikan kepada masyarakat melalui reforma agraria. Terlepas dari keberhasilan perhutanan sosial yang tidak lebih dari 17 persen, pemerintah berada pada jalur yang benar.

Ketiga, insentif untuk perbaikan mutu lahan. Di daerah tujuan wisata seperti Bali, hamparan lahan milik pribadi yang ada pada satu lanskap yang menarik dan cukup luas, didesain sebagai kawasan terbuka hijau. Tidak jelas benar, apa insentif yang diberikan kepada pemilik lahan untuk mempertahankannya untuk melawan kebutuhan praktis harian, dan apakah insentif sesuai dengan tujuannya.

Untuk skala kepemilikan pribadi

yang telah setuju ikut dalam program konservasi, insentif yang tersedia cukup banyak misalnya pengurangan nilai pembayaran pajak atas tanah, peniadaan beban pajak selama kurun waktu tertentu, akses atas bibit pohon dan pemeliharaan lahan, jaminan pembelian pohon-pohon tua layak tebang, sampai pada insentif langsung berupa uang kontan, seperti yang diberikan pemerintah Costa Rica setiap tahun kepada para pemilik lahan pribadi yang membiarkan pohon mereka tumbuh tanpa ditebang. Apa yang dilakukan secara resmi oleh Costa Rica sejak tahun 1992 dan awalnya diniatkan untuk melindungi hidupan liar, kelak menjadi cikal bakal program REDD (Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang diadopsi secara global,.

Pada lanskap yang lebih luas, lahan kritis menurut perhitungan moderat oleh KLHK mencapai sebanyak 14 juta hektare. Pemerintah harus mengalokasikan dana bagi hasil dana reboisasi (DBH-DR) kepada daerah dan mengawasinya secara ketat. Pada situasi lain yang kontras, data dari Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ada pada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan, hingga 2018 dana reboisasi bagian pemerintah pusat yang masih tersisa di Rekening Pembangunan Hutan sebesar Rp 7,5 triliun.

Sementara data dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, dana reboisasi yang masih mengendap di rekening kas daerah sebanyak Rp 4,8 triliun. Dana itu terdiri dari sisa dana bagi hasil kabupaten/kota sebelum 2016 sebesar Rp 4,5 triliun dan bagian provinsi setelah 2016 sebesar Rp 292 miliar. Penyerapan yang rendah ini menunjukkan bahwa tidak ada inovasi kebijakan yang memadai untuk mengalokasikan DBH-DR secara efektif dan efisien untuk menekan luas lahan kritis di Indonesia.

Ketiga aspek di atas adalah upaya mempertahankan dan memperluas proses-proses alami yang terjadi di dalam ekosistem hutan. Di dalam konteks perubahan iklim, proses-proses alami ini memungkinkan hutan memiliki kemampuan menyerap karbon dalam jumlah besar.

—IGG Maha Adi, National Communication Manager Conservation

International Indonesia

Ekowisata. Pengunjung hutan Bedogol di Sukabumi, Jawa Barat.Foto: IGG Maha Adi

Page 34: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest34 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

DARI Paris (2015) ke Katowice (2018). Perjalanan negosiasi perubahan iklim telah menghasilkan pedoman bagaimana negara pihak pada Konvensi Perubahan Iklim melaksanakan aksi-aksi adaptasi dan mitigasi dalam

membatasi pemanasan global di bawah 1,5° Celcius dan mengukur pencapaian upaya-upaya tersebut dalam kerangka Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Paris Agreement yang diadopsi pada 2015 untuk menggantikan Protokol Kyoto dan merupakan komitmen baru dalam mengatasi perubahan iklim akhirnya memiliki pedoman, Rulebook of Paris Agreement.

Di bawah Katowice Climate Package, pedoman tersebut menjadi bukti bahwa walaupun negosiasi dilaksanakan di sebuah kota yang memiliki sejarah sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di Eropa, tidak menyurutkan negara-negara pihak untuk terus merealisasikan komitmen di bawah Paris Agreement, sebagaimana yang dilakukan kota tersebut dalam merealisasikan berbagai upaya mitigasi untuk menjadikan kota yang berlabel green. Di bawah Katowice Climate Package, Paris Agreement siap diimplementasikan mulai 2020 oleh seluruh negara pihak pada Konvesi Perubahan Iklim.

Proses mencapai titik kulminasi kedua setelah negosiasi Paris Agreement tidak sepenuhnya sukses karena walaupun COP 24 The United Nations Climate Change Convention (UNFCCC) menempuh waktu hampir dua pekan waktu persidangan (4-15 Desember 2018), masih menyisakan isu

yang belum disepakati, yaitu terkait dengan Artikel 6 Paris Agreement yang antara lain terkait dengan mekanisme pasar.

Katowice Climate Package antara lain berisi pedoman terkait dengan pendanaan iklim yang merupakah salah satu pendukung penting dalam mengimplementasikan Paris Agreement. Pedoman terkait pendanaan iklim ini sangat penting bagi negara berkembang karena di bawah Protokol Kyoto yang pelaksanaannya akan segera berakhir pada 2020, negara berkembang tidak berkewajiban memberikan kontribusi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca global, sementara di bawah Paris Agreement, negara berkembang memiliki kewajiban yang sama dengan negara maju dalam menurunkan emisi gas rumah kaca yang disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing.

Dengan berbagai keterbatasan sumber daya negara berkembang, negara maju diminta memberikan komitmen dukungan dan insentif kepada negara berkembang dalam rangka menjamin aliran sumber daya pendanaan yang akan digunakan dalam memenuhi komitmen negara berkembang dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Pedoman yang terkait dengan pendanaan iklim berisi beberapa hal, yaitu: 1. Proses memenuhi target baru dalam

meningkatkan jumlah pendanaan iklim di tingkat global untuk mendukung negara berkembang. Para Pihak sepakat bahwa mulai 2020, pendanaan iklim di tingkat global akan dimobilisasi sebesar minimum USD 100 miliar per tahun dan mulai 2025 harus lebih dari USD 100 miliar per tahun.

2. Komitmen (rencana bantuan) pendanaan publik negara maju kepada negara berkembang yang harus dikomunikasikan setiap dua tahun oleh negara maju.

3. Transparansi pelaporan atas pendanaan iklim yang telah diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang, dan

4. Proses transfer pengaturan pendanaan adaptasi dari Protokol Kyoto menjadi Paris Agreement.

Pada pertemuan COP 24 kali ini juga dilakukan dialog ketiga antara Menteri Keuangan dari seluruh anggota negara UNFCCC. Dialog yang diadakan setiap dua tahun dimulai sejak tahun 2014 dan akan diakhiri tahun 2020, sejalan dengan akan mulai diimplementasikannya Paris Agreement. Dialog ke-3 antara Menteri Keuangan ini difokuskan pada isu bagaimana upaya-upaya dan inisiasi nyata dalam memobilisasi pendanaan dan investasi iklim dan meningkatkan kapasitas dan peluang negara berkembang dalam mengakses pendanaan iklim, baik pendanaan yang tersedia pada multilateral (antara lain Green Climate Fund, Global

Pendanaan untuk Menurunkan Efek Gas Rumah KacaPendanaan untuk mengurangi dampak pemanasan global sebagai kepanjangan negosiasi di Paris dan Polandia. Perlu kerja sama yang kuat antar negara maju dan berkembang.

Page 35: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 35j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Environment Facility) ataupun bilateral (kerja sama langsung dengan negara tertentu). Dialog antara Menteri Keuangan ini sangat penting dan politis dalam menjamin aliran pendanaan iklim dari negara maju kepada negara berkembang.

Bagaimana negara maju memberikan komitmen dukungan pendanaan kepada negara berkembang? Negara berkembang juga harus mengkomunikasikan informasi kebutuhan pendanaan iklim yang diperlukan melalui Bienneal Updated Report (BUR) yang dibuat setiap dua tahun dan disampaikan ke Sekretariat UNFCCC. Indonesia baru saja memberikan BUR ke-2 kepada Sekretariat UNFCCC, salah satunya menyampaikan kebutuhan pendanaan yang diperlukan oleh Indonesia.

Indonesia menyampaikan bahwa estimasi kebutuhan pendanaan iklim untuk sektor kehutanan pada periode 2018-2030 sekitar Rp 78 triliun. Sementara berdasarkan hasil budget tagging perubahan iklim (pendanaan yang dialokasikan/digunakan untuk perubahan iklim) terdapat gap cukup besar. Selama tahun 2015-2016, APBN yang disediakan sekitar Rp 2,9 triliun (Second BUR, 2018).

Lalu bagaimana negara maju memobilisasi pendanaannya? There is no such free lunch. Rasanya ungkapan itu juga berlaku untuk konteks ini. Tentunya negara berkembang tidak serta merta bisa mengakses dana yang menjadi komitmen negara maju. Negara berkembang juga harus menentukan prioritas nasional dan mempersiapkan berbagai instrumen serta meningkatkan kapasitas untuk memenuhi berbagai persyaratan dalam mengakses dana tersebut.

Indonesia sendiri dalam rangka mengisi gap pendanaan iklim yang ada, melakukan beberapa upaya dalam memanfaatkan dana yang dimobilisasi negara maju, antara lain dengan mempererat kerja sama, baik bilateral dengan beberapa negara donor (antara lain dengan Kerajaan Norwegia, Pemerintah Jerman, dan beberapa negara lainnya) maupun kerja sama multilateral

(antara lain dengan memanfaatkan Carbon Funds dan mengakses dana GEF).

Untuk meningkatkan pengelolaan pendanaan lingkungan hidup, termasuk pendanaan iklim, yang diterima pemerintah dari berbagai donor, pemerintah, dalam hal ini KLHK dan Kementerian Keuangan, menginisiasi pembentukan lembaga pengelola pendanaan yang transparan, akuntabel dan memiliki standar pengelolaan yang diakui secara internasional. Lembaga tersebut bernama Badan Layanan Umum Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Konsep pembentukan BLU ini mengombinasikan dua pendekatan, yaitu pendekatan capital market dengan menunjuk custodian bank sebagai trustee dan pendekatan publik dengan membentuk komite pengarah dan melibatkan kementerian dan lembaga negara untuk memberikan rekomendasi teknis atas kegiatan yang layak dibiayai oleh BPDLH.

Proses pembentukan BPDLH diharapkan bisa berjalan lancar. Beberapa instrumen telah dikeluarkan pemerintah sebagai payung hukum, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Sejalan dengan penyempurnaan Rencana Strategi Bisnis BPDLH, Kementerian Keuangan juga mempersiapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Struktur Organisasi dan Tata Kelola BPDLH.

Ya, BPDLH adalah mimpi yang memberikan harapan baru atas pengelolaan dana lingkungan hidup yang transparan dan akuntabel yang dapat disalurkan dengan berbagai mekanisme dalam menjangkau berbagai tingkat pelaksana pelestari lingkungan hidup. Mari kita selaraskan ambisi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan melaksanakan aksi nyata mengurangi dampak perubahan iklim dari skala kecil dengan biaya yang lebih murah dibandingkan ketika kerusakan lingkungan telanjur terjadi.

—Endah Tri Kurniawaty, S.Hut, ME, MPA, Kepala Subdirektorat Sumber Daya Pendanaan Direktorat Mobilisasi Sumber

Daya Sektoral dan Regional, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

Pendanaan. Peserta konferensi perubahan iklim yang membahas pendaan menurunkan efek gas rumah kaca di Katowice, Polandia, Desember 2018.Foto: Endah Tri Kurniawaty

Page 36: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest36 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

sedunia di bawah UNFCCC disebut Conference of the Parties (COP), dan diselenggarakan setiap tahun di tempat yang berbeda. Indonesia pernah menjadi tuan rumah pertemuan yang ke 13 (COP13-UNFCCC) yang diselenggarakan di Bali pada 2008. Dalam kurun waktu seperempat abad ini, paling tidak COP telah mencatat dua capaian penting (milestones). Milestone yang pertama pada saat COP ke 3 di Jepang tahun 1997 yang menghasilkan kesepakatan Kyoto (Kyoto Protokol), dan yang kedua di Prancis pada saat COP ke 21 tahun 2015 yang menelurkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement).

Ada dua kubu yang memandang masalah perubahan iklim ini seperti gelas yang diisi air. Kubu pertama, kelompok

optimistik, melihat gelas itu terlihat setengah penuh, sedangkan kubu kedua, kelompok pesimistis, melihatnya seperti gelas setengah kosong. Para ilmuwan paham bahwa gelas itu sesungguhnya penuh, yaitu setengah gelas berisi air, dan setengahnya lagi berisi udara. Kelompok optimistik melihat kemajuan yang telah dicapai di Katowice itu positif, sementara kelompok pesimistis masih ragu dengan apa yang bisa dilakukan ke depan. Dengan demikian, hasil COP ke 24 Katowice itu perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu keberhasilan dan kegagalan pada satu tahap tidak dapat dievaluasi tanpa mempertimbangkan seluruh rangkaian perundingan sebelumnya dan telah berjalan hampir seperempat abad ini.

Mandatory vs. VoluntaryPerseteruan antara negara maju dan

berkembang tidak pernah berhenti selama berlangsungnya perundingan perubahan iklim. Di dalam negosiasi UNFCCC, kelompok negara maju disebut Annex-1, dan kelompok negara berkembang disebut Non-Annex 1 Parties. Para negosiator dalam kenyataannya tidak bernegosiasi

Solusi Menangani Perubahan IklimKerjasama global menjadi tulang punggung keberhasilan mencegah perubahan iklim. Tak kalah penting peran individu sejak dari rumah.

Solar. Desa panel surya di Fukuoka, Jepang.Foto: Bagja Hidayat

PERUNDINGAN perubahan iklim global telah berjalan hampir seperempat abad dan selalu diwarnai negosiasi yang alot. Perundingan pertama tahun 1992 di Rio de Jainero, Brasil. Perundingan terakhir telah selesai pada bulan Desember tahun lalu di

Katowice, Polandia, dan rencananya akan dilanjutkan lagi tahun ini di Chile. Seluruh pelaksanaan perundingan itu berada di bawah koordinasi Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bermarkas besar di Bonn, Jerman.

Pertemuan puncak perubahan iklim

Page 37: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 37j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

1,50 C.Laporan khusus yang cukup

monumental yang dibuat pada 2018 oleh para peneliti itu menyimpulkan target kenaikan suhu maksimal 1,50 Celsius hanya bisa dicapai melalui komitmen utama, yaitu mengurangi emisi pada 2030 sebesar 45% dari level emisi tahun 2010, dan mencapai nol (bebas emisi) pada 2050. Menurut IPCC (2014), total emisi global pada 2010 sebesar 37 ribu juta ton setara CO2, sehingga total emisi yang harus dikurangi pada 2030 lebih kurang 16,5 ribu juta ton setara CO2 .

Memperhatikan angka-angka di atas, jelas bahwa persoalan perubahan iklim sifatnya darurat krisis iklim. Laporan khusus IPCC itu memperjelas masalah yang tengah kita hadapi dan mempertegas perlunya bertindak sekarang untuk menghindari dampak perubahan iklim dalam kurun 11-12 tahun ke depan (s/d 2030). Tapi tampaknya respons pemerintah di setiap negara dalam menanggapi krisis iklim ini dianggap kurang memadai.

Indonesia telah menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat UNFCCC pada 2016 sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK global. Selain itu, NDC juga merefleksikan tindakan

untuk kepentingan lingkungan global semata-mata, tetapi secara tersembunyi maupun terang-terangan selalu mengaitkannya dengan kepentingan ekonomi, politik dan sosial negara dan atau kelompok negara yang diwakilinya. Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump, misalnya, tidak mau meratifikasi Paris Agreement yang dianggapnya merugikan kepentingan ekonomi AS. Padahal AS merupakan biang keladi pemanasan global karena emisinya yang terbesar di dunia setelah Tiongkok.

Dilihat dari sejarahnya, negara maju menjadi penanggung dosa terbesar penyebab perubahan iklim. Revolusi industri pada abad 18 memicu pelepasan bahan bakar fosil secara besar-besaran sehingga konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat tajam dan memicu pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Karena itu Kyoto Protocol mewajibkan (mandatory) negara maju bertanggung jawab terhadap masalah ini, dan negara berkembang hanya membantunya sebagai voluntary saja.

Seiring waktu kita tahu emisi dari negara berkembang pun meningkat karena perkembangan ekonomi dan populasi. Tiongkok yang saat ini menjadi bagian dari negara berkembang, adalah negara yang mengeluarkan emisi terbesar di dunia, sementara Apabila penurunan emisi hanya dilakukan di negara maju, total emisi global masih terlalu banyak, dan temperatur bumi akan bertambah panas, sehingga perubahan iklim berlanjut. Itulah sebabnya dalam Paris Agreement tahun 2015 disepakati bahwa penurunan emisi menjadi kewajiban (mandatory) seluruh negara, tanpa membedakan negara maju dan berkembang, namun dengan tetap menerapkan pasal 4 UNFCCC, yaitu prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR).

Negosiasi perubahan iklim multilateral dalam kenyataannya sulit dilakukan, karena semua negara berusaha melindungi kepentingan nasional mereka, termasuk kepentingan ekonomi, sosial, dan politik. Itulah sebabnya komitmen yang dibuat di Paris dianggap sebagai terobosan yang berhasil. Kesepakatan itu, selain menetapkan target menahan kenaikan suhu global di bawah 2° Celsius, juga termasuk komitmen untuk meningkatkan

pembiayaan untuk mencegah perubahan iklim, dukungan keuangan dari negara-negara industri ke negara-negara berkembang, mengembangkan rencana mitigasi nasional pada tahun 2020 dengan tujuan dan target yang ditentukan sendiri; melindungi ekosistem, memperkuat adaptasi dan mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.

Target 1.5 dan NDC IndonesiaMasalah perubahan iklim terkait erat

paling tidak dengan tiga ciri penting. Pertama, tidak mengenal batas negara (borderless); kedua, rentang waktu yang amat panjang (sekitar 50 sampai 100 tahun); dan yang ketiga, sarat dengan argumentasi ilmiah. Ketiga ciri ini terefleksikan dalam kesepakatan para pihak yang diikrarkan di Paris (Paris Agreement) tiga tahun lalu.

Seratus delapan puluh tujuh negara bersepakat menahan kenaikan suhu global hingga di bawah 2° Celsius di atas suhu zaman praindustri, dan mengupayakan agar kenaikan suhu maksimal 1,5° Celsius saja. Para ilmuan yang tergabung dalam Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Inter governmental Panel on Climate Change -IPCC), kemudian menindaklanjuti kesepakatan Paris dengan membuat analisis dampak yang terjadi apabila kenaikan suhu ini dibatasi hanya

Page 38: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest38 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

yang akan dilakukan Indonesia dalam melakukan transisi ke pembangunan rendah emisi serta ketahanan iklim setelah 2020. Berdasarkan NDC, penurunan emisi nasional difokuskan melalui sektor-sektor kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, pertanian, industri, dan limbah/sampah.

Menurut data NDC Indonesia, saat ini sektor kehutanan dan gambut menjadi kontributor utama emisi GRK Indonesia. Sektor energi akan menyusul secara signifikan dalam waktu 11-12 tahun ke depan. Hal ini wajar karena pertumbuhan penduduk dan PDB yang terus meningkat mengakibatkan konsumsi energi akan berkembang jauh lebih besar dibandingkan sektor kehutanan dan gambut. Menurut perhitungan NDC, bila tidak dilakukan tindakan apa-apa atau BAU (business as usual), emisi GRK dari sektor energi pada 2030 mencapai 1669 juta ton setara CO2, atau naik hampir tiga kali lipat dibandingkan emisi 2010; sementara pada tahun yang sama emisi dari sektor kehutanan dan gambut hanya 714 juta ton, atau naik 10% dibandingkan emisi 2010.

NDC baru akan dilaksanakan setelah 2020, tetapi pemerintah Indonesia telah menyiapkan implementasinya melalui berbagai kebijakan, aksi mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu, BAPPENAS saat ini sedang menyiapkan Peraturan Presiden tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) yang akan memandu Kementerian/Lembaga Pemerintah dalam melaksanakan implementasi kebijakan pembangunan rendah karbon hingga 2045. Kemudian, Kementerian Keuangan menyiapkan kebijakan-kebijakan fiskal perubahan iklim, termasuk penandaan anggaran (budget tagging), Green Sukuk, dan menelaah proposal-proposal yang akan diajukan ke Green Climate Fund; Selanjutnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral banyak terlibat dengan Kebijakan konservasi energi, energi terbarukan, dan efisiensi energi.

Belajar dari KatowiceDi Katowice, para pihak mencoba

menyepakati bagaimana mereka mencapai komitmen Paris secara kolektif,

membangun kepercayaan di antara masing-masing negara, dan membawa kesepakatan Paris untuk dilaksanakan secara konsekuen. Sesi terakhir dari perundingan perubahan iklim COP24 di Katowice ditunda beberapa kali karena lebih dari 100 menteri dan lebih dari 1.000 negosiator mencoba mengatasi perbedaan mereka tentang bagaimana ‘Rulebook of Paris’, akan diimplementasikan di setiap negara. Setelah melalui perdebatan yang sengit, Konferensi Perubahan Iklim Sedunia yang seharusnya selesai pada 14 Desember 2018 itu, baru ditutup dua hari kemudian jam 0.33 waktu setempat.

Walaupun diselingi perdebatan alot, COP24 Katowice berhasil mendongkrak komitmen negara-negara maju membantu implementasi Paris Agreement di negara-negara miskin dan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di Katowice, untuk pertama kalinya mobilisasi dana adaptasi menembus batas psikologis, yaitu USD 100 juta. Jerman menjadi contoh negara maju yang melipatgandakan komitmen bantuannya, yaitu dari 750 juta Euro menjadi 1,5 juta Euro per tahun sampai 2020.

Sisi positif lainnya dalam perundingan kali ini adalah adanya kerangka kerja transparansi yang lebih baik untuk pelaporan emisi setiap negara, dan penilaian secara berkala yang disebut Global Stocktake untuk mengukur efektivitas pengurangan emisi tingkat nasional yang mulai berlaku tahun 2023.

Adapun sisi negatif perundingan Katowice adalah penolakan beberapa negara terhadap laporan IPCC yang menyebutkan dampak buruk yang akan terjadi apabila kenaikan suhu rata-rata dunia melebihi 1,50 Celsius dibandingkan zaman prarevolusi industri. AS, Rusia, dan Arab Saudi mencoba merusak gravitasi laporan ilmiah ini. Kegagalan lainnya adalah keberhasilan Brasil yang membatalkan rencana pasar karbon internasional. Selanjutnya, COP ke 24 ini juga telah gagal untuk mengatasi celah penghitungan karbon bio-energi, yang memberikan insentif pada pemanenan dan pembakaran pohon untuk menghasilkan energi dengan menyebut proses itu sebagai karbon netral.

Keberhasilan dan kegagalan dalam perundingan multilateral adalah hal yang biasa dalam rangkaian COP. Menyepakati

bagaimana membuat semua hal di atas terjadi, adalah masalah yang kompleks secara politis dan teknis, yang kadang-kadang bertentangan dengan berbagai realitas di tingkat nasional dan lokal, tingkat kemajuan sosial, politik dan ekonomi tiap negara, isu-isu ilmiah, masalah anggaran, dan pada ujungnya adalah mempertanyakan tingkat kepercayaan setiap negara.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?Perubahan iklim bukan mimpi buruk,

tetapi kenyataan yang harus dihadapi bersama. Dampaknya sudah bisa kita lihat di mana-mana. Produksi pertanian yang menurun akibat ketidakpastian musim, banjir, dan kekeringan; munculnya hama dan penyakit baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya; dan merosotnya produksi perikanan karena berubahnya ekosistem lautan dan rusaknya terumbu karang; serta berbagai bencana yang sering kita lihat akhir-akhir ini. Menurut Badan Penanganan Bencana Alam (BNPB), lebih 80% bencana nasional yang terjadi di Indonesia adalah akibat perubahan iklim.

Penurunan emisi GRK adalah pekerjaan rumah besar yang perlu kita selesaikan bersama-sama. Bukan hanya di tingkat nasional dan lokal, tetapi juga internasional. Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras melakukan berbagai upaya penurunan emisi GRK. Termasuk di antaranya moratorium penundaan pemberian izin baru pengusahaan hutan alam, pembangunan ekonomi rendah

Page 39: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 39j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

karbon, dan pendirian Badan Restorasi Gambut. Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) dan Bappenas adalah dua lembaga pemerintah yang selama ini menjadi leading agents dalam mengurus permasalahan yang terkait dengan perubahan iklim. Sementara Kementerian Keuangan mendukungnya dengan berbagai kebijakan pendanaan perubahan iklim.

Yang diperlukan dari pemerintah saat ini hanyalah persoalan kepemimpinan dan tata kelola dalam perubahan iklim (leaderships and governance), baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di tingkat pusat, mutlak diperlukan kekompakan antara Kementerian/Lembaga (K/L) yang banyak terlibat dalam perubahan iklim agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan kewenangan. Peran kementerian perekonomian dan industri dituntut jauh lebih besar lagi agar terjadi koordinasi yang sinergis, efektif dan efisien antara K/L yang terlibat dalam urunan emisi dan pembangunan rendah karbon. Di tingkat daerah, juga diperlukan keserasian antara peran dan kewenangan gubernur, bupati dan wali kota, serta dinas teknis. Tolok ukur keberhasilan penanganan perubahan iklim adalah implementasi di daerah, sehingga segala upaya dan dukungan teknologi, pendanaan, dan kapasitas penanganan perubahan iklim

difokuskan di tingkat daerah, bukan di pusat pemerintahan.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, dalam 11-12 tahun mendatang sektor energi akan memegang peranan kunci dalam upaya penurunan emisi di Indonesia. Kenaikan hampir tiga kali lipat emisi dari sektor ini pada tahun 2030 akan berdampak besar pada target penurunan emisi 29-41% yang telah disampaikan pemerintah kepada Sekretariat UNFCCC. Apabila Indonesia ingin “mendukung” kenaikan temperatur bumi maksimal 1,50

Celsius dibandingkan suhu bumi rata-rata sebelum revolusi industri abad 18, maka target penurunan emisi ini harus dilipat gandakan dari target yang ada sekarang.

Menurut data NDC Indonesia, rencana reduksi emisi dari sektor energi masih lebih rendah dibandingkan sektor kehutanan. Dari proyeksi 1669 juta ton emisi tahun 2030, jumlah emisi yang akan dikurangi hanyalah 314 juta ton bila dilakukan dengan upaya sendiri (counter measure 1 -CM1), dan 398 juta ton bila dilakukan dengan dukungan internasional (counter measure 2 -CM2). Bandingkan angka ini dengan kewajiban penurunan emisi dari sektor kehutanan sebesar 497 juta ton (dengan CM1) dan 650 juta ton (dengan CM2). Padahal prakiraan emisi dari sektor kehutanan kurang dari separuhnya dibandingkan prakiraan emisi dari sektor energi pada tahun 2030 (714 versus 1669 juta ton emisi CO2).

Sektor kehutanan sesungguhnya bisa membantu sektor energi untuk menurunkan emisi GRK, yaitu dengan mengembangkan bioenergi dari sumber daya hutan (biomasa hutan) yang menghasilkan lignoselulosa yang bisa dibudidayakan dan dikelola secara berkelanjutan dalam bentuk Hutan Tanaman Energi (HTE). Pengembangan HTE juga akan membantu mengurangi tekanan pada hutan alam dan konservasi, serta merehabilitasi lahan yang rusak.

Mengembangkan bioenergi dari sumber daya hutan bukan tanpa masalah dan hambatan. Tantangannya adalah bagaimana bisa memperoleh keberadaan sumber bahan baku potensial dan terukur secara berkelanjutan. Pengembangan energi semacam ini tidak bisa mengandalkan produk sampingan dan/atau limbah pembalakan hutan dan dari industri kehutanan saja. Apalagi kalau

akan diperankan dalam mengupayakan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Selain itu, jenis kayu energi yang akan dikembangkan dalam HTE sangat tergantung pada kondisi tempatan yang variasinya cukup besar mengingat luasnya wilayah NKRI.

Pemerintah tidak akan sanggup bekerja sendirian saja, dan perlu bantuan para aktor di luar pemerintahan (non-state actors). Mereka adalah para pelaku bisnis, LSM, ilmuan, akademisi, praktisi lapangan, para pendidik, pemuka masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Yoichi Kaya, seorang ekonom Jepang, menyampaikan argumennya bahwa besarnya emisi suatu negara berbanding lurus dengan jumlah populasi, GDP, dan jenis energi yang dipakai di negara tersebut. Makin tinggi populasi dan GDP suatu negara, emisinya akan semakin tinggi. Apalagi bila energi yang dipakai bukan energi yang terbarukan, dan digunakan secara berlebihan/boros. Tantangan terberat bagi Indonesia adalah bagaimana emisi GRK dapat diturunkan sebanyak mungkin namun dengan menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi.

Solusi perubahan iklim bukan hanya wacana yang ramai diperdebatkan di ruang berpendingin udara (AC) di kota-kota besar, dan di hotel-hotel mewah, tetapi perlu dituangkan dalam aksi nyata di lapangan. Pemerintah dan non-state actors sesungguhnya merupakan para pelaku utama yang dapat mengubah keadaan. Pemahaman tentang perubahan iklim harus dilakukan lebih intensif, serius, dan diulang terus menerus oleh semua pihak agar dapat mengubah tingkah laku dan pola hidup masyarakat yang boros energi.

Perundingan perubahan iklim yang telah berlangsung hampir seperempat abad ini hanyalah salah satu sarana untuk mencari solusi untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim dunia, tetapi kunci keberhasilannya tergantung pada kita masing-masing. Solusi yang paling pragmatis adalah 3M: mulai dari diri sendiri, mulai dari keluarga dan kerabat terdekat; dan mulailah sekarang juga.

—Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau; anggota Masyarakat

Pegiat Biomasa Hutan Indonesia (MAPEBHI), mantan negosiator UNFCCC dan beberapa Konperensi Perubahan Iklim

internasional

Sampah. Ekosistem burung yang terperangkap sampah pantai.Foto: Eko Tjahjono

Page 40: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest40 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

SALAH satu cara agar pengurangan emisi 26-41 persen pada 2030 dikerjakan semua pihak dan berjalan sesuai target, pemerintah akan memberikan insentif berupa pembayaran yang berbasis kinerja. Dalam dokumen Nationally Determined

Contribution (NDC) yang dikirimkan pemerintah pada 2016, penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan diproyeksikan 17,2-23%, dengan pilar utamanya berasal dari Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest, and Enhancement of Forest Carbon Stocks (REDD+).

REDD+ merupakan mitigasi bidang kehutanan dengan pendekatan kebijakan dan insentif. Pada sektor kebijakan, cara mencapai target dengan membuat moratorium izin baru kebun sawit di lahan gambut dan hutan primer, kebijakan satu peta atau one map initiative, pembangunan Demonstration Activities (DA), pembuatan Strategi Nasional REDD+, pengembangan Forest Reference Emission Level (FREL).

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70/2017 menegaskan komitmen itu melalui tata cara pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Peraturan ini secara lugas menyasar berbagai pihak termasuk pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, lembaga non-pemerintah, kelompok masyarakat, dan organisasi non-profit lainnya yang berbadan hukum untuk terlibat secara aktif dalam pengurangan emisi nasional.

Agar program REDD+ dicatat NDC,

setiap tindakan harus dicatat dan didaftarkan ke dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI). Sistem ini menyediakan data dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Selain untuk memastikan transparansi dan keterbukaan informasi, sistem ini juga untuk mengindari risiko double counting atau double claimming, terutama bagi program-program yang telah didaftarkan di luar platform nasional melalui voluntary registry (contoh: Verified Carbon Standard/ Verra).

Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri LHK 71/2017 yang secara spesifik memberikan panduan dan prosedur dalam penyelenggaraan Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim. Dua peraturan lain sebagai penunjang operasional REDD+, adalah Peraturan Menteri LHK 72/2017 tentang pedoman pelaksanaan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi aksi dan sumber daya pengendalian perubahan iklim; dan

Permen LHK 73/2017 tentang pedoman penyelenggaraan dan pelaporan inventarisasi gas rumah kacanasional.

Dalam peraturan terakhir disebutkan bahwa pedoman umum inventarisasi nasional serta pedoman perhitungan emisi gas rumah kaca mengadopsi pedoman Intergovernmental Panel on Climate Change Tahun 2006 (2006 IPCC Guideline for National Greenhouse Gas Inventories). Di dalam peraturan ini terdapat data aktivitas, emisi, serapan, yang merupakan elemen utama dalam penghitungan emisi gas rumah kaca. Dengan menambahkan matriks perubahan tutupan lahan (setidaknya antara dua tahun berbeda), pengurangan emisi atau besaran penyerapan gas rumah kaca akan bisa dihitung dengan lebih akurat.

laporan utama

Insentif Mengurangi Emisi Berbasis KinerjaPemerintah menyiapkan insentif pelaksanaan pengurangan emisi berbasis kinerja. Perlu aturan dan skema turunan yang lebih teknis.

penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan diproyeksikan 17,2-23%, dengan pilar utamanya berasal dari Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest, and Enhancement of Forest Carbon Stocks (REDD+).

Page 41: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 41j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Insentif REDD+Yang menarik dari peraturan-

peraturan yang komplit soal REDD+ ini adalah terbukanya peluang mengakses pembayaran berbasis kinerja atau Result Based Payment (RBP). Ini semacam pembayaran dari hasil pengurangan emisi yang telah diverifikasi, dan manfaat selain karbon. Pada saat proses registrasi, pelaksana program REDD+ akan diminta memilih dua opsi: RBP atau Non RBP. Apabila RBP, program ini akan diarahkan untuk bisa mengakses pendanaan.

Pelaksana REDD+ didorong mengukur dan melaporkan pencapaian pengurangan emisi melalui program mereka paling lama dua tahun sekali. Hasil perhitungan ini akan dicek dan diverifikasi pemerintah dan/atau pihak ketiga. Setelah itu proses pembayaran

dan restorasi, skema RBP juga akan membuka peluang bagi para konsultan untuk mengambil bagian dalam verifikasi pencapaian pengurangan emisi yang dilaporkan pelaku REDD+. Pemberdayaan ekonomi masyarakat juga akan kian terdorong dengan adanya RBP. Bahkan melalui hutan desa atau hutan kemasyarakatan (HKm), masyarakat bisa mendaftarkan kegiatannya ke dalam SRN PPI untuk mengakses skema RBP.

Pertanyaannya, apakah aturan dan inventarisasi emisi gas rumah kaca itu telah siap diimplementasikan?

Jika menengok situs Verified Carbon Standard atau Verra, ada banyak alat, modul, dan metodologi untuk jadi basis kuantifikasi pengurangan atau penyerapan karbon melalui tipe atau kategori proyek seperti REDD, IFM (Improved Forest Management), atau ARR (Aforestation, Reforestation, and Revegetation). Alat ukur itu bisa mendeteksi sebuah proyek sebelum penghitungan emisinya.

Dengan memakai tool yang berbeda, penentuan skenario BAU (Bussiness As Usual) dilakukan sebaliknya. Setelah mengikuti langkah-langkah yang ada, baru kemudian menghitung pengurangan emisi atau penyerapan emisi dengan mencari selisih antara emisi dari skenario tanpa intervensi (BAU) dan dengan intervensi (project), dengan juga memperhitungkan Leakage dan Buffer.

Dengan kondisi tersebut, agaknya, peraturan-peraturan tentang REDD+ itu perlu ditopang petunjuk yang lebih teknis dalam bentuk tool, module dan methodology. Petunjuk teknis ini akan jadi pedoman bagi pelaku pengurang emisi memilih standar BAU atau intervensi melalui proyek.

Soal lain adalah perbaikan Forest Reference Emission Level (FREL) agar benefit karbon dari Conservation, Sustainable Management of Forest, dan Enhancement of Forest Carbon Stocks bisa diklaim dalam RBP REDD+. Soalnya, saat ini hanya mencakup emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dan

berbasis kinerja yang melibatkan bank kustodian.

Skema BRP lebih membuka kesempatan pemerintah untuk berkolaborasi dengan pelbagai pihak dalam mendukung program di lapangan. Bagi lembaga swadaya masyarakat lingkungan yang selama ini berkecimpung dengan kegiatan konservasi dan restorasi, skema RBP juga memberikan peluang mengintensifkan kegiatan. Sudah jamak diketahui, program atau proyek hanya aktif di periode tertentu, umumnya 1-5 tahun. Setelah itu hasilnya tidak terawat, rusak, dan tidak menentu keberlanjutannya. Pendanaan melalui RBP bisa menjadi salah satu solusi menjamin keberlanjutan kegiatan.

Selain para pelaku konservasi

Bersahabat. Seorang pengunjung Taman Nasional Ujung Kulon memotret seekor kijang.Foto: Bagja Hidayat

Page 42: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest42 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

dekomposisi gambut. Sementara untuk forest growth (dari kegiatan konservasi), pengurangan emisi dari pengelolaan hutan lestari, dan karbon yang diserap melalui kegiatan penanaman masih belum masuk, sehingga belum bisa diklaim untuk REDD+.

Pelaksanaan RBP Saat IniMenengok data pada website resmi

SRN PPI hingga akhir Januari 2019, ada 928 pendaftar (registar) yang mengajukan 2.192 kegiatan. Dari jumlah itu nomor registri yang dikeluarkan sebanyak 289. Sayangnya, tak ada informasi mana kegiatan yang kategori RBP dan Non-RBP. Kabar baiknya, registri itu menunjukkan kegiatan REDD+ tengah berjalan, setidaknya ditahap awal.

Bagaimana pendanaannya? Dalam pasal 16 Permen LHK 70/2017 disebutkan bahwa sumber pendanaan bisa berasal dari hibah, kerjasama/pembayaran program atau kegiatan yang berbasis kinerja, Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara, dan sumber lainnya yang sah. Pada pertengahan Februari lalu, muncul berita bahwa pemerintah Norwegia siap membayar pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 4,8 juta ton karbon dioksida (CO2) kepada Indonesia untuk laporan 2016-2017.

Apakah pembayaran itu terkait dengan RBP, belum jelas benar. Tapi dari sini muncul pertanyaan lain, apakah pemerintah sudah mengalokasikan APBN untuk skema RBP? Soalnya, sumber pendanaan akan ditampung di rekening Badan Layanan Umum yang khusus mendanai proyek terkait perubahan iklim dan isu lingkungan hidup, termasuk REDD+.

Ihwal pendanaan ini sangat krusial karena menyangkut pembayaran. Soalnya, setelah itu ada pertanyaan turunan seperti teknis pencarian, nilai untuk setiap pengurangai emisi yang terverifikasi, apakah ada beda antara nilai pengurangan emisi dengan penyerapan emisi, dan seterusnya. Ketentuan-

ketentuan ini penting karena bisa jadi ukuran nilai pembayaran dibandingkan dengan segala upaya dalam pengurangan emisi.

Sukses atau tidaknya program ini sangat ditentukan oleh realisasinya. Jika program ini berhasil, akan memicu banyak pihak melaksanakan program pengurangan emisi secara besar-besaran. Sebaliknya, program ini akan gagal jika pembayarannya tak berjalan atau nilainya tak sebanding dengan biaya pengeluaran proyeknya.

Terlepas dari itu semua, RBP dalam REDD+ patut disambut dan ditunggu. Bagaimana pun ini insentif yang menarik dan layak dicoba untuk mencegah bumi kian memanas akibat perubahan iklim.

—Iwan Tri Cahyo Wibisono, Koordinator Program di Wetlands

Conservation and Restoration Indonesia

Kabut. Pepohonan di Gunung Tangkuban Parahu, Bandung, Jawa Barat.Foto: Bagja Hidayat

Page 43: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 43j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

SEKOLAH adalah satu tiang utama merawat lingkungan, ketika anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di lembaga pendidikan ini setiap hari. Sekolah juga yang membentuk pola pikir mereka terhadap apa saja. Sekolah yang berhasil menjaga

lingkungannya mendapat Penghargaan Adiwiyata (adi: unggul; wiyata: pendidikan), sejak 2006. Komponen yang dinilai untuk Penghargaan Adiwiyata Nasional dan Mandiri adalah kebijakan sekolah berwawasan lingkungan, kurikulum sekolah berbasis lingkungan, kegiatan sekolah berbasis partisipasi dan pengelolaan sarana dan prasarana pendukung ramah lingkungan. Tahun lalu, dari seluruh Indonesia, terpilih 279 sekolah mendapat Awidiyata Nasional dan 314 sekolah Adiwyata Mandiri. Sekolah-sekolah ini mempraktikkan

paradigma menjaga lingkungan dengan memulainya dari pola pikir.

SMA 7 BogorAcep Sukriman, Kepala Sekolah

Untuk mencapai sekolah Adiwiyata Mandiri tanpa bimbingan pemerintah, kami membentuk Tim Adiwiyata. Tapi bukan karena ingin mendapat penghargaan kami membentuknya. Terutama untuk menjaga lingkungan. Ada pekerjaan rutin setiap hari seperti menyapu, memotong rumput, memungut sampah. Lalu ada kegiatan mingguan itu kegiatan bersih-bersih massal dari guru, staff dan penjaga kebersihan dan siswa untuk Jumat bersih.

Kami satu-satunya sekolah yang punya biogas untuk memasak. Sumbernya dari sampah dan tinja. Mesinnya sumbangan Astra. Gas dipakai untuk memasak. Tapi biogas belum berfungsi maksimal karena memerlukan banyak tinja. Kami menyambungkan pipanya dengan toilet guru yang jarang dipakai, seharusnya

dari WC siswa. Saat uji coba apinya sudah nyala tapi harus dipancing dengan kotoran sapi, tapi sulit mengangkut kotoran sapi setiap hari.

Selain biogas kami juga membuat lubang biopori. Kepada guru kami sudah mewajibkan bawa termos untuk air minum. Kami beri semua guru termos secara gratis. Mudah-mudahan sampah plastik berkurang. Untuk siswa segera kami wajibkan. Kami sedang timbang apakah membeli mesin penjernih atau membeli air galon di beberapa titik.

Hal paling sulit mewujudkan lingkungan bersih adalah mengubah mindset. Seharusnya Tim Adiwayata itu tidak ada karena seharusnya tugas warga sekolah. Kami sosialisasikan bank sampah, aquaponik, biopori. Tak hanya ke siswa dan guru tapi lingkungan sekolah. Kemudian kami juga punya kolam lele. Jadi dari air biogasnya sisanya kami kasih menjadi pakan lele, jadi bermanfaat. Sampah botol plastik kami manfaatkan untuk kerajinan.

Sekolah-Sekolah Peduli LingkunganSMPN 5 Bogor

Page 44: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest44 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

SMPN 5 BogorNeti Anniati, Humas dan Guru Bahasa Inggris

Kami dua kali mendapat Adiwyata, tingkat kota dan provinsi. Awalnya berat menjadikan sekolah bersih. Hari ini dibersihkan, besok di pot sudah ada puntung rokok. Kalau sudah begitu ibu-ibu guru dan Tim Adiwiyata menegur pelakunya dan penjelasan. Soalnya, kalau soal rokok, ada aturan 500 meter area terlarang merokok.

Lalu sosialisasi memilah sampah ke siswa dan guru. Kami punya program Serasah, Semangat Rabu Tanpa Sampah. Tiap Rabu tidak boleh ada yang buang sampah. Sampah harus dibawa pulang dan mereka diusahkan tidak jajan. Selain itu ada Gemes, gerakan gemar membersihkan sekolah setiap hari; lalu Markisa: mari kita sarapan dua minggu sekali; Segar: senam bugar dua Minggu sekali.

Kami punya gerakan pungut sampah lalu dijadikan kompos. Guru-guru membeli sampah itu. Kolaborasi dengan Pemda sangat bagus, juga bantuan dari perusahaan melalui CSR. Untuk kurikulum lingkungan hidup kami ajarkan melalui wali kelas. Kuncinya adalah terus mengingatkan dan jalankan programnya. Anak-anak dan guru akan aktif dan sadar sendiri pada akhirnya.

SMP Negeri 85 JakartaYanti Liandra, Guru Pembina Lingkungan

Penyebab banjir Jakarta adalah sampah di sungai. Karena itu kami membiasakan siswa membuang dan mengolah sampah dengan benar. Siswa diajak menghitung sampah harian yang dihasilkan oleh mereka sendiri lalu diakumulasi selama mingguan, bulanan, dan tahunan. Pembelajaran ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tertentu akan banyak sampah anorganik yang menumpuk dan menggunung. Selain itu siswa diajak melihat seberapa lama proses penguraian sampah organik dan sampah anorganik.

Program selanjutnya adalah mengenalkan cara memilah sampah yang mereka hasilkan antara plastik, kertas, dan sisa makanan. Limbah organik yang diolah menjadi kompos yang di gunakan sendiri di dalam lingkungan sekolah sendiri. Kompos ini digunakan untuk pupuk kebun sayuran sendiri, tanaman obat keluarga, dan pohon buah. Proses pembuatan kompos ini dimulai dengan mencacah sampah organik dan ditempatkan di dalam bak pengolahan. Sampah ini kemudian dimasukkan ke dalam plastik yang diikat rapat lalu dibiarkan sampai menjadi kompos.

Bank Sampah di SMP 85 sudah terdaftar di Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan

dan nasabahnya adalah masing-masing kelas. Sampah plastik ini selanjutnya ditampung oleh bank sampah Indukesit pusat yang merupakan jaringan penampung sampah plastik dari Dinas Lingkungan. Hasil penjualannya untuk pelaksanaan program sekolah sehat lainnya.

Selain memilah sampah, siswa juga diajarkan mengubah sampah agar memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu limbah plastik diolah menjadi karya seni yang bernilai jual, pada saat penyerahan Adiwiyata Mandiri ada beberapa hasil karya seni sudah ada provinsi lain yang menawar.

Orang tua dan lingkungan sekitar sekolah adalah pendukung utama keberhasilan sekolah meraih Adiwiyata. Pedagang di kantin sekolah juga memberikan dukungan dengan tidak menggunakan alat makan sekali pakai. Tadinya, sampah kantin sehari 50 kilogram, kinitinggal 30 kilogram sehari.

SDN Menteng BogorRia Haryani, Pembina Lapangan

Kami sudah tiga kali mendapat penghargaan Adiwiyata pada tingkat kota, provinsi, dan nasional. Sebelum mendapat penghargaan itu kami membentuk Tim Adiwiyata yang struktur organisasinya ada ketua, lalu ada divisi dan bagian seperti lingkungan dan pangan. Mereka yang menjadi koordinator program, seperti pembuatan biopori, serta pembinaan kepada siswa-siswi SD yang bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup.

Kendala utama adalah kampanye. Maklum siswa masih SD. Meskipun tiap hari diingatkan masih saja ada siswa-siswi kelas 1 yang membuang sampah sembarangan. Program kami berjalan karena, salah satunya, mendapat dukungan para orang tua. Mereka membawa tanaman dan pupuk untuk ditanam dan membuat taman, lalu dibuat kerja sama dengan ibu komite dan warga sekolah.

Elemen lain pendukung Adiwiyata adalah kantin. Kantin kami mendapatkan gelar sebagai juara III Kantin Sehat pada 2008. Caranya mengurangi sampah plastik. Siswa kami wajibkan membawa bekal dan tempat minum sendiri. Mereka senang dengan anjuran ini. Mereka juga tambah senang ketika mendapat penghargaan Adiwiyata.

SMP Negeri 85 Jakarta

Page 45: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 45j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

SMA Negeri 1 Babakan Madang, Bogor

Melwinda Fitri, Kepala Sekolah Setiap pagi selalu kami ingatkan

seluruh warga sekolah tidak membuang sampah sembarangan, tidak merokok di lingkungan sekolah, dan membawa botol minum dan tempat makan dari rumah untuk mengurangi sampah. Mungkin kemasan makanan ringan sulit di hindari, tetapi seperti pelastik gorengan, botol pelastik air kemasan, pelastik untuk air es jajanan, bisa kita hindari. Kami juga sediakan fasilitas pembuangan sampah

yang memadai, memilahnya sejak awal.Sekolah kami dekat dengan Sentul,

tapi penduduk Bababkan Madang belum terbiasa dengan prilaku peduli lingkungan. Karena itu tantangan terberat untuk peduli lingkungan adalah mengubah perilaku siswa dan orang tuanya. Faktor keluarga ini sangat menentukan. Sulit tapi itu tugas pendidik. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan butuh 40 tahun untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan peduli lingkungan. Karena itu kami para guru tak bosan mengingatkan terus menerus

soal ini sampai menjadi kebiasaan para siswa dan masyarakat sekitar.

Menurut saya satu sampah dapat menimbulkan seribu bencana. Karena itu kami harus mengambil kebijakan pro terhadap lingkungan. Misalnya di sini ada 1.000 siswa, mereka menularkan kebiasaan peduli lingkungan kepada lingkungannya seperti di rumah dan di teman-teman bermainnya.

—Razi Aulia, Mawardah Hanifiyanti, Tiara Kusdanartika, Librianna

Arshanti, Fairuz Ghaisani

SMA Negeri 1 Babakan Madang, Bogor

Page 46: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest46 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

laporan utama

DI sepanjang selokan besar yang membelah Desa Bendungan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, tak satu pun plang terpacak larangan membuang sampah sembarangan atau anjuran membuang sampah pada tempatnya. Tapi air

irigasi itu terlihat bersih. Tak satu pun sampah terserak di badan sungai maupun sempadannya.

Di beberapa titik ada tempat sampah yang menampung plastik dan bungkus jajanan. Anak-anak bermain di sekitar sungai, pemuda dan pemudi terlihat nongkrong pada suatu sore bulan Januari 2019. Udara jadi terasa segar di perkampungan yang rindang dengan gang-gangnya yang sempit itu. “Sampah itu benda mati, mereka tidak bersalah,” kata Irfah Satiri, 51 tahun, penduduk setempat. “Yang bersalah mereka yang membuangnya sembarangan.”

Irfah adalah Ketua Kelompok Baraya, singkatan dari Bendungan Asri Ramah Berbudaya. Berkat bendungan itu desa ini diganjar Ecovillage Award dari pemerintahan provinsi Jawa Barat dua tahun berturut-turut sejak 2016. Penghargaan itu berkat upaya penduduk desa, terutama di Kampung Ciasin, membersihkan irigasi dan memanfaatkannya untuk penghidupan keluarga.

Caranya adalah dengan membendung irigasi itu dengan empat sekatan pada 2016. Masing-masing 5-10 meter. Sekatan-sekatan itu menjadi keramba ikan sehingga mendorong penduduk membersihkannya dari sampah.

Menurut Irfah, pada awal pembentukan Baraya, tiap hari mereka mengangkut sampah dari dasar sungai itu sekitar 20 kilogram. Selain sampah rumah tangga penduduk sekitar, sampah plastik terbawa

arus dari hulu sungai yang berujung di kawasan Puncak. Mereka terinspirasi menjadikan sungai sebagai keramba karena penduduk di sana umumnya tak punya pekerjaan tetap.

Kebetulan Irfah, yang sehari-hari aktif di Lembaga Perwakilan Masyarakat, punya pengalaman dan pengetahuan memelihara ikan. Ia punya ide menjadikan sungai menjadi keramba dengan membendungnya. “Terutama membersihkan sungai yang kotor oleh sampah,” kata dia. Ide itu disambut tetangganya. Mereka mulai membersihkan sampah dari dasar sungai secara bergotong-royong.

Seperti kata Irfah, sampah itu benda mati. Mereka hanyut jika dibuang manusia ke sungai. Maka, daripada susah payah mengeduk sampah, runtah itu harus dicegah tak berantakan sejak dari rumah. Dibantu penyuluh dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, Irfah dan anggota Baraya berkampanye ke tiap rumah agar mereka tak membuang sampah sembarangan, apalagi ke sungai.

Para penyuluh dari Dinas Lingkungan itu awalnya mendatangi kampung Ciasin untuk membentuk kader Ecovillage. Irfah salah satunya. Ia menjadi kader Ecovillage yang mendapat pelatihan selama dua bulan atau delapan kali pertemuan tentang pentingnya mengelola lingkungan dan membangun desa yang bebas sampah, sekaligus mendatangkan keuntungan secara ekonomi bagi penduduk desa.

Tim itu lalu berkampanye ke penduduk desa. Butuh tiga bulan mereka berkampanye agar penduduk paham pentingnya membuang sampah ke wadahnya lalu mau swadaya turun ke sungai membersihkan sampah dan membangun keramba. Patungan anggota Baraya terkumpul Rp 100 juta untuk melakukan tahap-tahap pembangunan itu: dari membersihkan, mengangkut sampah, membuat keramba, hingga menanam ikannya.

Tanpa perlu menempel pengumuman “buanglah sampah pada tempatnya”, penduduk Bendungan mematuhi kampanye itu. Apalagi, keramba ikan di bendungan itu menghasilkan keuntungan. Bekerja sama dengan agen ikan, mereka bisa menjual ikan tersebut ke pasar. Dari bibit ikan yang ditebar sebanyak 30 kilogram, dengan ukuran ikan satu kilogram sebanyak 6-8 ekor, mereka bisa panen 180 kilogram. “Ini untuk tambah ukuran tiga meter,” kata Irfah. “Bahkan kami pernah panen sampai 800 kilogram.”

Dengan keuntungan berlipat itu, kata Irfah, kian banyak orang Bendungan yang tertarik bergabung dengan Baraya. Mereka kini membuat keramba-keramba pribadi dan memanen ikannya lalu secara kolektif menjual ikan melalui agen tersebut. “Jadi punya nilai tambah untuk keluarga,” kata Irfah.

Soalnya, selain mendatangkan nilai tambah, bendungan itu juga membuat nyamuk dengue tak sudi mampir di Desa Bendungan. Karena air dibersihkan dan mengalir terus, tak ada jentik nyamuk di sungai. “Kalau pun ada dimakan ikan,” kata Irfah.

Sebetulnya ada 15 desa di tiga kecamatan di Bogor yang dianjurkan dan dilatih menjadi desa ramah lingkungan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat, namun hanya Desa Bendungan yang berhasil mencapai tahap nilai tambah. Irfah dan tetangganya memberanikan diri ikut Ecovillage Award meski baru dua bulan mengembangkan keramba. “Ternyata menang,” katanya.

Kunci sukses itu, kata Irfah, selain soal kekompakan masyarakat, dibantu pemerintah, juga prinsip SARE yang mereka terapkan. SARE kependekan dari Sosialisasi Aksi Reaksi Eksekusi. Baraya adalah wujud kongkret slogan itu di Desa Bendungan. Menurut Irfah, pemerintah membantu Baraya dengan barang. “Tapi tak efektif karena biasanya tak sesuai kebutuhan,” kata dia.

Nyamuk pun Tak Bersarang di CiasinDesa Bendungan di Bogor menjadi desa ramah lingkungan berkat kesadaran penduduknya mencegah sampah masuk sungai. Menguntungkan secara ekonomi bagi keluarga.

Page 47: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 47j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Contohnya, ketika pemerintah Jawa Barat mengirim septic tank untuk penduduk, bantuan itu tak berguna karena ukurannya terlalu besar. Menurut Irfah, jangankan masuk ke rumah penduduk, penampung tinja itu tak muat masuk ke gang. Jadi, kata dia, pemerintah sudah tepat dengan mengirim bantuan para penyuluh berkampanye menyadarkan masyarakat agar peduli lingkungan.

Bantuan yang lumayan berguna adalah sumbangan mesin pengolah sampah yang diberikan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar ketika ia berkunjung ke sana pada September 2017. Mesin itu Wagub pun memberikan apresiasi tertingginya atas hasil karya tersebut. Mesin pengolah sampah ini mampu mengolah sampah dari awal hingga menghasilkan briket sebagai bahan bakar rumah tangga. Mesin ini hanya perlu bensin 6 liter per hari untuk mengolah sampah selama dua jam.

Mesin ini mampu mengolah sampah hingga dua ton per hari dengan menghasilkan 1,4 ton briket. Jika 1 kilogram briket dijual seharga Rp 1.200, mesin ini bisa mendatangkan keuntungan Rp 1,7 juta sehari.

Memasuki tahun 2019, Irfah dan Baraya menargetkan bendungan itu menjadi tujuan wisata penduduk di sekitar, terutama ekowisata pendidikan lingkungan. Ia membuka diri kepada siapa pun, dari perwakilan desa atau sekolah, yang ingin datang untuk berbagi pengetahuan dan belajar pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan kearifan lokal. Program ini, kata dia, butuh bantuan pemerintah untuk sosialisasi dan dukungan penyuluh.

Menurut Irfah keberhasilan Desa Baraya menjadi Ecovillage adalah kesadaran masyarakat yang memahami kampanye lingkungan bersih. Dengan menyentuh langsung keluarga, kesadaran itu menjalar hingga pemahaman ke anak-anak mereka. Di Desa Bendungan, anak-anak terbiasa membuang sampah ke tempatnya ketika selesai jajan.

—Fitri Andriani

Keramba. Irfah Satiri memberi makan ikan di selokan Ciasin di Desa Bendungan, Bogor, Jawa Barat, yang dijadikan keramba oleh penduduk.Foto: Fitri Andriani

Page 48: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest48 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

fotografi

Membekukan Waktu

Tips Memotret Objek Bergerak

Lingkungan sekitar kita menyajikan beragam kesempatan unik untuk menangkap momen indah. Burung, pengendara sepeda motor, manusia yang berjalan, adalah objek-objek hidup yang bisa menjadi objek fotografi.

Kecepatan rana (shutter speed)Tak perlu ragu bermain dengan

kecepatan rana. Seperti halnya mengabadikan burung terbang, kemampuan kamera menangkap subjek foto yang tidak berada di tengah frame sangat penting, agar Anda mampu

menangkap gambar dengan cepat dan efektif. Jika ingin menangkap pose diam dari suatu rangkaian gerakan cepat, ubahlah pengaturan kecepatan rana minimal 1/1000. Teknik ini dikenal dengan sebutan freezing. Teknik ini merupakan teknik memotret objek bergerak yang menggunakan kecepatan sangat tinggi. Teknik ini seolah membekukan gerakan yang menghasilkan objek yang terlihat tajam saat ia sedang bergerak. Selain satwa liar, sangat cocok juga untuk mengambil gambar olahraga sejenis F1 atau MotoGP.

Pilihan diafragma/apertureElemen lainnya dalam pengambilan

objek bergerak adalah diafragma atau bukaan lensa (aperture). Pilih lensa berdiafragma f/2.8 atau f/4. Agar tak kehilangan momen bagus, ada baiknya memakai mode continuous auto focus (CAF). Pada beberapa kamera bahkan sudah mampu mengambil gambar sekaligus mencari fokus sebanyak 15 foto per detiknya.

Kepekaan film (ISO)ISO adalah ukuran sensitivitas sensor

kamera terhadap cahaya. Semakin tinggi ISO, semakin sensitif sensor terhadap cahaya. Meningkatkan ISO pada kamera memberikan kesempatan membidik pada kecepatan rana lebih tinggi. Kamera menjadi lebih sensitif terhadap cahaya sehingga hasil gambar pun lebih maksimal. Dulu, ISO tinggi menghasilkan efek noise atau bintik hitam. Seiring perkembangan sistem teknologi kamera, tingkat noise semakin berkurang. Sekarang, kebanyakan kamera mampu menghasilkan gradasi warna lembut di tempat minim cahaya sekalipun.

TripodSaat memotret long exposure kita

membutuhkan tripod yang kuat, remote shutter, untuk mengindari shake serta butuh waktu. Memotret air terjun, laut atau sungai di siang hari dengan air bergerak (dan awan bergerak) menjadi terlihat seperti serat kapas juga termasuk long exposure. Intinya kita membutuhkan waktu exposure yang lama, supaya benda bergerak terlihat blur.

Gunakan tripod kala memotret objek terbang atau saat cahaya rendah dengan shutter speed 1/50 atau lebih tinggi. Fotografi alam banyak dipengaruhi pencahayaan, maka harus jeli melihat cahaya dan memilih subjek atau tema lanskap berdasarkan pencahayaan yang tersedia.

Kesabaran adalah KunciTak harus menjadi fotografer profesional

untuk menghasilkan foto unik dan berbeda. Temukan sudut dan ide-ide baru di setiap momen bidikan. Terkadang, membutuhkan keberuntungan (lucky) sehingga kita tidak bisa mengendalikan lingkungan dan objek. Kesabaran adalah kunci dalam mengabadikan momen-momen yang indah.

1.

FOTOGRAFI sejatinya membekukan benda-benda dalam waktu dan peristiwa yang bergerak. Tapi pembekuan itu tak harus menjadikan objek menjadi kaku. Teknologi memungkinkan pembekukan waktu itu tetap mengesankan benda-benda dan peristiwa di dalamnya tetap hidup, bergerak dalam bingkai yang kita inginkan, agar cerita yang terkandung di dalamnya tetap abadi. Karena itu foto menjadi bagian dari kesenian. Ia setara dengan sastra, lukisan, atau karya-karya agung lain dari cipta karya tangan manusia. Foto mengabadikan cerita manusia dan benda-benda di sekelilingnya, sehingga waktu yang terus bergerak itu menjadi berhenti, terabadikan dalam lensa kamera sehingga generasi berikutnya akan mendapat pengetahuan yang sama dengan mereka yang berada dalam

peristiwa-peristiwa itu. —Asep Ayat

Page 49: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 49j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

1. Kangkareng perut-putih (Anthracoceros albirostris)

2. Capung kawin3. Kepak elang4. Memotret curug dengan long exposure

sehingga kecepatan air terlihat lembut dan halus

5. Elang bondol (Haliastur indus)6. Penduduk Suku Batin Sembilan Jambi

sedang mengambil rotan di hutan.

Foto-foto: Asep Ayat

2. 3.

5.

6.

Page 50: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest50 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

penelitian

Pengertian Nano Porous KarbonMUNGKIN istilah nano porous karbon

(NPK) masih terasa asing bagi masyarakat. Padahal NPK bukan hal baru karena kita mengenal istilah arang aktif atau karbon aktif.

Karbon aktif merupakan salah satu adsorben/penyerap sangat penting untuk keperluan industri. Memang, tidak semua karbon aktif adalah nano porous karbon. Nano porous karbon merupakan karbon aktif yang memiliki diameter pori lebih kecil dari 2 nm (mikropori) dan kurva isothermal adsorpsi/desorpsi gas nitrogen Tipe I (IUPAC, 2014). Nano karbon sendiri bisa dibedakan menjadi dua produk yaitu nano dalam hal ukuran pori (nano porous karbon) dan nano dalam hal ukuran partikel (nano partikel karbon).

International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) mengelompokkan karbon aktif menjadi tiga, yaitu mikropori

berukuran diameter pori kurang dari 2 nano meter (nm), mesopori berukuran pori 2-50 nm dan makropori berukuran pori lebih dari 50 nm (IUPAC, 2014). Satuan satu nano meter setara dengan sepermiliar meter (1 x 10-9 m) atau sepersejuta centimeter (1 x 10-6 cm). Untuk melihat ukuran pori karbon aktif, tidak bisa memakai mikroskop optik biasa, bahkan dengan memakai Scanning Electron Microscope (SEM) sekalipun masih sulit karena terbatasnya pembesaran. Ukuran pori nano dapat dilihat dengan menggunakan perangkat High Resolution Transmission Electron Microscope (HR-TEM) dan secara analisis dapat diketahui menggunakan perangkat Surface Area Analyzer (SAA).

Pori yang diperlihatkan pada Gambar 1a. adalah hasil SEM karbon aktif A. mangium. Pori tersebut bukan merupakan pori sesungguhnya dari

karbon aktif, akan tetapi yang berasal dari pori bahan baku (pori kayu A. mangium). Pori sesungguhnya terdapat pada dinding-dinding karbon aktif sebagaimana ditunjukkan oleh tanda panah berwarna merah. Apabila pada dinding-dinding tersebut dianalisis lebih lanjut menggunakan HR-TEM maka akan tampak seperti pada Gambar 1b. Bagian permukaan yang berwarna gelap merupakan pori sesungguhnya dari karbon aktif.

Gambar 1c dan Tabel 1 merupakan hasil analisis nano porous karbon menggunakan instrumen SAA (Darmawan, 2014). Data pada Tabel tersebut menjelaskan bahwa karbon aktif A memiliki diameter pori 1,68 nm, luas total permukaan 1.454m2/g dengan luas mikropori 1.172 m2/g dan volume mikropori sebesar 65% dari total volume pori sedangkan karbon aktif B memiliki diameter pori sebesar 1,70 nm,

Tabel 1. Analisis luas permukaan karbon aktif/nano porous karbon dari kayu pinus

ContohUji

Diameterpori(nm)

Luas pori total, BET(m2/g)

Luas mikropori (m2/g)

Totalvol. pori(cc/g)

Volume mikropori(cc/g)

Vol. mikropori / total vol.pori(%)

Karbon Aktif A 1,68 1.454 1.172 0,896 0,5876 65,58

Karbon Aktif B 1,70 2.240 1.513 1,583 0,7462 47,14

Sumber: Darmawan (2014)

Manfaat Arang Aktif dari BiomassaAda banyak kegunaan arang aktif yang istilah ilmiahnya adalah nano porous karbon. Salah satunya untuk baterai litium telepon seluler kita.

Gambar 1. Topografi karbon aktif A. mangium menggunakan SEM (kiri); topografi permukaan nano porous karbon menggunakan HR-TEM (tengah) dan kurva isotermal adsorpsi/desorpsi gas nitrogen Tipe I menggunakan SAA (kanan).

Page 51: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 51j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

luas total permukaan 2.240m2/g dengan luas mikropori 1.513m2/g dan volume mikropori sebesar 47% dari total volume pori. Kedua jenis karbon aktif tersebut termasuk ke dalam nano porous karbon. Karbon aktif B memiliki sifat porositas lebih baik dibandingkan dengan karbon aktif A.

Gambar 2 di bawah ini merupakan ilustrasi struktur pori karbon aktif. Pada Gambar 2a jumlah pori masih sangat terbatas karena didominasi oleh pori berukuran makropori sedangkan pada Gambar 2b, jumlah dan sebaran pori mulai meningkat dan pada Gambar 2c. sudah terdapat struktur mikropori. Karbon aktif dari biomassa pada umumnya memiliki ukuran pori beragam, gabungan dari makro hingga mikropori. Apabila pori didominasi oleh struktur mikropori maka dapat dikatakan bahwa karbon aktif tersebut termasuk ke dalam nano porous karbon.

Pembuatan Karbon AktifBiomasa berlignoselulosa sangat

potensial menggantikan atau menyubstitusi karbon aktif dari minyak bumi, batu bara dan produk turunannya karena sifatnya yang terbarukan dan lebih ramah terhadap lingkungan. Biomassa dapat berupa kayu hasil penebangan maupun limbah kehutanan, perkebunan, pertanian dan biomassa lainnya. Pemanfaatan limbah biomassa bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah. Setiap biomasa berlignoselulosa memiliki karakteristik tersendiri yang akan berpengaruh terhadap karakteristik karbon aktif yang dihasilkan.

Menurut Bonelli (2001) dan Wan Daud (2004), dari beberapa parameter yang mempengaruhi pembentukan ukuran pori karbon, salah satunya adalah komponen kimia biomassa yaitu lignin, selulosa dan holoselulosa. Biomassa yang disukai untuk pembuatan karbon aktif adalah

yang memiliki kandungan karbon tinggi seperti tempurung. Penelitian Daud dan Ali (2004) menggunakan tempurung kelapa dan tempurung sawit, Bansode et al. (2003) menggunakan pecan nut dan almond nut, Bonelli et al. (2001) memakai Brazil nut dan Sharma (2002) meggunakan tobacco dan Darmawan (2014) menggunakan tempurung kemiri.

Karbon aktif merupakan produk lanjutan dari produk arang melalui proses aktivasi. Proses aktivasi dilakukan untuk menciptakan porositas lebih tinggi, baik melalui aktivasi kimia, fisik atau kombinasi dari keduanya (Simon dan Burke, 2008; Carbo, 2009). Selama proses aktivasi terjadi penataan unsur karbon membentuk pori bersamaan dengan keluarnya bahan mudah menguap (Gomez-Serrano et al. 1996) sehingga tercipta porositas.

Aktivasi pada umumnya dilakukan pada suhu di atas 750o Celsius dengan mengalirkan uap air (aktivasi fisik).

Gambar 3. Proses pembuatan karbon aktif/nano porous karbon

Gambar 2. Ilustrasi struktur pori pada arang aktif, (kiri). makropori; (tengah). mesopori dan (kanan) mikropori (Leng dan Sun, 2016)

Arang Pemberian Aktivator Aktivasi Pemurnian Karbon aktif/nano

porous karbon

Page 52: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest52 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

penelitian

Aktivasi fisik menghasilkan karbon aktif dengan porositas lebih rendah dibandingkan dengan karbon aktif dari proses aktivasi kimia dan biasanya belum mencapai produk nano porous karbon. Untuk menciptakan porositas karbon aktif yang tinggi, dapat dilakukan melalui aktivasi kimia menggunakan aktivator seperti H3PO4, NH4HCO3, KOH, dan NaOH (Sudrajat, 2005; Pari ,2005; Bonelli, 2001; Bonsade, 2003; dan Guo et. al., 2002). Garis besar pembuatan karbon aktif dan nano porous karbon dapat dilihat pada Gambar 3.

Di antara aktivasi kimia, aktivator KOH memiliki keunggulan dibandingkan dengan aktivator lain (Raymundo-Pinero et al. 2005). Aktivator KOH dapat bereaksi secara efektif pada berbagai macam bahan polimer dan karbon, termasuk tingginya penyusunan struktur heksagonal karbon dan pembentukan pori berukuran nano

(Kierzek et al. 2006). Karbon aktif atau nano porous karbon dicapai pada kondisi aktivasi inert menggunakan KOH tinggi (Cao et al. 2014). Kalium lebih mudah terinterkalasi di antara lapisan graphene (Raymundo-Pinero et al. 2005), karena kalium memiliki titik didih lebih rendah (Guo et al. 2002) dan tekanan uap lebih besar dari natrium (NaOH). Interkalasi ini merupakan salah satu proses pembentukan pori pada saat aktivasi.

Penggunaan Karbon AktifApabila kita menelusuri perdagangan

karbon aktif komersial di situs online, banyak produsen menawarkan karbon aktif dengan beragam porositas yang ditunjukkan dari parameter daya jerap iodin. Analisis daya jerap iod merupakan salah satu parameter dan cara untuk menentukan porositas karbon aktif. Semakin tinggi nilai daya jerap iodin

maka porositas karbon aktif semakin baik. Standar Nasional Indonesia menetapkan daya jerap iodin karbon aktif sebesar 750mg/g (SNI, 1995). Secara perhitungan kimia/stokiometri, daya jerap iodin maksimal sekitar 1.270mg/g. Porositas nano porous karbon pada umumnya di atas nilai maksimal tersebut sehingga untuk menentukan porositas produk nano porous karbon harus menggunakan instrumen surface area analyzer. Untuk produk nano porous karbon sendiri belum ada standarnya. Bahan baku karbon aktif yang banyak ditawarkan pada situs online sebagian besar berasal dari bahan baku batu bara dan tempurung kelapa karena keduanya memiliki kandungan karbon tinggi dengan nilai daya jerap iodin berkisar 500-1.000mg/g.

Kegunaan karbon aktif sangat beragam, di antaranya seperti tercantum pada Gambar 4. Produk nano porous karbon lebih banyak digunakan untuk sensor, pendukung katalis, pengobatan dan perangkat energi seperti hidrogen storage, baterai lithium-ion, dan superkapasitor. Peran nano porous karbon tidak berdiri sendiri atau hanya mengutamakan ukuran pori saja, akan tetapi lebih pada bersinergi dengan senyawa lain sehingga disebut juga sebagai material fungsional. Untuk baterai lithium-ion, pori nano porous karbon berperan sebagai media pergerakan ion lithium pada saat proses charge/discharge berlangsung.

Nano porous karbon dapat digunakan sebagai sensor senyawa aromatik beracun seperti benzena dan toluena. Kemampuannya empat kali lebih sensitif dibandingkan karbon aktif komersial (Chaikittisilp, 2013). Penggunaan nano porous karbon sangat penting pada perangkat fuel cell sebagai elektroda karena memiliki struktur bangun dan kimia yang menguntungkan dalam aksesibilitas dan stabilitas elektrokimia (Tang, 2014). Hal lain yang menarik dari nano porous karbon adalah sebagai pembawa agen yang ideal pada terapi tumor atau kanker. Nano porous karbon dapat mengonversi cahaya dan iradiasi sinar laser menjadi energi panas yang cepat, baik secara in vitro dan in vivo dalam menghambat pertumbuhan dan mematikan sel kanker (Chu, 2013).

—Saptadi Darmawan, Peneliti Madya di Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hasil Hutan

Gambar 4. Beberapa kegunaan karbon aktif

Page 53: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 53j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Referensi:

Bansode, R. R., Losso, J. N., Marshall, W. E., Rao, R. M., & Portier, R. J. (2003). Adsorption of volatile organic compounds by pecan shell-and almond shell-based granular activated carbons. Bioresource Technology, 90(2), 175-184.

Bonelli, P. R., Della Rocca, P. A., Cerrella, E. G., & Cukierman, A. L. (2001). Effect of pyrolysis temperature on composition, surface properties and thermal degradation rates of Brazil Nut shells. Bioresource Technology, 76(1), 15-22.

Carbó, A. D. (2009). Electrochemistry of porous materials. CRC press.

Chu, M., Peng, J., Zhao, J., Liang, S., Shao, Y., & Wu, Q. (2013). Laser light triggered-activated carbon nanosystem for cancer therapy. Biomaterials, 34(7), 1820-1832.

Chaikittisilp, W., Ariga, K., & Yamauchi, Y. (2013). A new family of carbon materials: synthesis of MOF-derived nanoporous carbons and their promising applications. Journal of Materials Chemistry A, 1(1), 14-19.

Darmawan, S. 2014. Karbon Nanoporous dari Biomassa Hutan melalui Proses Karbonisasi Bertingkat: Pirolisis,

Hidrotermal dan Aktivasi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Daud, W. M. A. W., & Ali, W. S. W. (2004). Comparison on pore development of activated carbon produced from palm shell and coconut shell. Bioresource technology, 93(1), 63-69.

Gomez-Serrano, V., Pastor-Villegas, J., Perez-Florindo, A., Duran-Valle, C., & Valenzuela-Calahorro, C. (1996). FT-IR study of rockrose and of char and activated carbon. Journal of analytical and applied pyrolysis, 36(1), 71-80.

Guo, Y., Yang, S., Yu, K., Zhao, J., Wang, Z., & Xu, H. (2002). The preparation and mechanism studies of rice husk based porous carbon. Materials chemistry and physics, 74(3), 320-323.

IUPAC (2014). Gold Book: Compendium of chemical terminology. International Union of Pure and Applied Chemistry, 528.

Leng, C., & Sun, K. (2016). The preparation of 3D network pore structure activated carbon as an electrode material for supercapacitors with long-term cycle stability. RSC Advances, 6(62), 57075-57083.

Pari, G. (2005). Pengaruh lama aktivasi terhadap struktur kimia dan mutu

arang aktif serbuk gergaji sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(3): 207-218

Raymundo-Pinero, E., Azais, P., Cacciaguerra, T., Cazorla-Amorós, D., Linares-Solano, A., & Béguin, F. (2005). KOH and NaOH activation mechanisms of multiwalled carbon nanotubes with different structural organisation. Carbon, 43(4), 786-795.

SNI. (1995). SNI 06-3730-1995: Arang aktif teknis. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.

Simon, P., & Burke, A. F. (2008). Nanos-tructured carbons: double-layer capac-itance and more. The electrochemical society interface, 17(1), 38

Sudrajat, R. (2005). Pembuatan arang aktif dari tempurung biji jarak pagar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23(2); 143-162

Sharma, R. K., Wooten, J. B., Baliga, V. L., Martoglio-Smith, P. A., & Hajaligol, M. R. (2002). Characterization of char from the pyrolysis of tobacco. Journal of agricultural and food chemistry, 50(4), 771-783.

Tang, J., Liu, J., Torad, N. L., Kimura, T., & Yamauchi, Y. (2014). Tailored design of functional nanoporous carbon materials toward fuel cell applications. Nano Today, 9(3), 305-323.

Lithium.Baterai Lithium di telepon seluler sebagai produk akhir karbon nano porous.

Page 54: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest54 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

buku

SAYA belum menelitinya lebih jauh apakah pernah ada novel Indonesia yang menjadikan tokoh utamanya berlatar belakang pendidikan Fakultas Kehutanan IPB. Boleh jadi novel Dilarang Bercanda dengan Kenangan sebagai buku pertama

yang memuatnya dalam khazanah sastra modern Indonesia.

Fakultas Kehutanan IPB adalah fakultas yang cukup tua dalam sejarah universitas. Fakultas ini dirintis oleh para ilmuwan Belanda pada awal 1950. Saya tertarik menjadikan tokoh alumnusnya sebagai pemeran utama untuk beberapa alasan. Tapi sebelum membahasnya mari cermati ringkasan di sampul belakang buku:

Johansyah Ibrahim, seorang pemuda Indonesia yang sedang belajar ilmu PR (Public Relations) di University of Leeds, Inggris tak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk datang ke London melihat prosesi pemakaman Putri Diana Spencer bersama beberapa teman kampusnya, akan menjadi titik balik dalam kisah cinta dan mengubah jalan hidupnya selamanya. Di tengah murung musim gugur yang mengurung kota, Jo mengalami beragam peristiwa yang bersentuhan dengan bermacam jenis hati wanita, selama sepekan yang riuh oleh liputan media dan ziarah hutan manusia. Ketika prosesi pemakaman usai, Jo harus menetapkan pilihan siapa wanita yang akan bertakhta dalam singgasana cintanya. Dia tak bisa bermain hati karena setiap pesona romansa memancarkan elegi dan tragedinya sendiri.

Pada pembukaan novel, dijelaskan lebih jauh profil Jo:

Aku alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Begitu lulus, aku tak sempat menerapkan ilmu Konservasi Sumber Daya Hutan yang kupelajari karena sekitar 1,5 bulan sebelum diwisuda

aku diterima bekerja di sebuah perusahaan kehumasan. Kantor ini memang bukan termasuk tiga besar PR Agency di Tanah Air, tetapi mereka menerapkan sebuah kebijakan yang sangat kuhargai: aku diperbolehkan bekerja setelah selesai dengan semua urusan wisuda.

Kenapa seorang lulusan IPB, Fakultas Kehutanan pula, bisa diterima di perusahaan humas? Pertanyaan itu lumayan sering kuterima, dan biasanya kutanyakan balik, “Kenapa tidak?” Sebab dalam kenyataannya, alumni kampusku memang tersebar di banyak bidang pekerjaan yang sering tak ada kaitannya dengan pertanian. Ada yang masuk media massa dan berkarir sebagai jurnalis, tak sedikit yang bekerja di sektor perbankan dan menjadi bankir profesional, selain ada juga yang menggeluti industri manufaktur dan menjadi pengusaha makmur.

Akibat begitu mudahnya menemukan lulusan kampusku di segala bidang pekerjaan, maka berkembanglah kelakar bahwa jangan-jangan kepanjangan IPB itu adalah ‘Institut Pleksibel Banget’. Sebagian kawanku menganggapnya terlalu serius sebagai olok-olok sinis dari orang-orang yang iri. Aku justru melihatnya sebagai pujian terselubung akan potensi alumni yang siap ditempa di mana saja, dengan metode apa saja, untuk menjadi siapa saja. “Pleksibel itu kata yang bagus, karena menunjukkan kemampuan kita membangun negeri di berbagai bidang,” ujarku dalam sebuah pertemuan alumni. (hal. 9-10).

Bagian ini menginformasikan dua hal, yakni sebaran alumnus IPB yang luas di bidang pekerjaan tak hanya pertanian dan atau kehutanan, dan sikap open mind dan optimistik Jo yang melihat tersebarnya lulusan IPB di pelbagai bidang pekerjaan itu sebagai ‘kemampuan kita membangun negeri’. Ini pandangan Jo secara makro.

Adapun pandangan Jo secara mikro terhadap kemampuannya sendiri tergambarkan pada alinea selanjutnya:

Tetapi aku harus jujur mengatakan bahwa menjelang masuk kerja di hari pertama, aku cemas luar biasa. Jauh lebih cemas dibandingkan menghadapi seluruh ujian yang pernah kuhadapi dijadikan satu. Apalagi mengingat jurusan kuliahku yang ‘nggak nyambung’ dengan pekerjaan ini. Bayangkanlah aku yang selama bertahun-tahun mempelajari sumber daya hutan, kini harus mempelajari ‘sumber daya klien’: manusia dan perusahaan. Bukan kumpulan vegetasi dan animalia yang menawan (hal. 11).

Ini bagian penjelasan tentang latar belakang pendidikan dan sedikit cara berpikir Jo sebagai alumnus yang baru memasuki dunia kerja. Saya ingin

Rimbawan dalam NovelApa jadinya jika alumnus Fakultas Kehutanan IPB menjadi tokoh utama dalam sebuah novel? Akan jadi kenangan.

Page 55: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 55j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

membuat kontradiksi “before” dan “after” dari perkembangan sang protagonis dari seseorang yang ‘sekarang’–present dalam cerita—selalu berhubungan dengan manusia (sebagai praktisi kehumasan) dengan masa lalunya–past dalam kisah—yang tidak selalu berhubungan dengan manusia (sebagai mahasiswa kehutanan). Memang masih terbuka banyak pilihan untuk pendidikan Jo, semisal mahasiswa Geologi, Teknik Nuklir, Kimia Murni, dan lain-lain jurusan S1 yang tidak langsung berkaitan dengan manusia seperti dalam gugus ilmu humaniora (social sciences). Namun latar belakang Jo sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan saya butuhkan untuk memperkokoh

lanjutan cerita saat Jo sudah melanjutkan pendidikan di Inggris.

Taman Kota dan Kebakaran HutanSetelah Jo berada di Inggris (terutama

menghabiskan waktu di Leeds dan London) taman dan hutan kota yang tersebar di banyak lokasi adalah setting tempat yang tak terelakkan dalam novel romansa ini. Misalnya dalam pembicaraan tokoh Aida Jderescu, wartawati peranakan Rumania-Kurdi, dengan Jo di sebuah taman dekat Istana Buckingham. Awalnya Aida hanya tahu Jo sebagai mahasiswa ilmu kehumasan. Tetapi setelah dia mengetahui latar belakang pendidikan Jo yang alumni fakultas kehutanan, Aida bertanya.

“Hutan hujan tropis adalah yang terbaik di dunia. Mereka penyuplai oksigen terbesar untuk dunia, benar Jo?”

“Benar, tapi sayangnya jumlah hutan hujan tropis terus menyusut dari tahun ke tahun. Ada yang salah dengan cara pandang manusia modern saat ini terhadap hutan ... dst.” (hal. 91).

Di bagian lain novel ini, Jo dan Pakde (paman) Sam – diplomat di KBRI London – membicarakan fenomena kebakaran hutan di tanah air yang selalu terjadi dari tahun ke tahun.

Eksplorasi TerbukaMeskipun demikian, mengingat ilmu,

perspektif dan wawasan kehutanan bukan merupakan fokus utama novel ini selain sebagai latar belakang yang ikut menopang keutuhan kisah, maka pengalaman Jo saat menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB sama sekali tak dielaborasi.

Ini menjadi ruang eksplorasi yang sangat terbuka bagi para mahasiswa maupun alumni Fakultas Kehutanan IPB untuk menuliskannya dalam karya-karya fiksi selanjutnya, sebagai ikhtiar diseminasi ide tentang pentingnya eksistensi hutan bagi kehidupan manusia, hatta di tengah era disrupsi teknologi yang membuat kita terkepung dunia digital dari segala penjuru seperti saat ini. Agar hutan tak hanya menjadi kenangan belaka di benak Generasi Milenial.

—Akmal Nasery Basral, penulis novel. Hubungi ia melalui

akun Twitter di @akmalbasral atau email [email protected].

Dilarang Bercanda dengan KenanganPenulis: Akmal Nasery BasralTebal: 470 halamanPenerbit: RepublikaHarga: Rp. 90.000 (Pulau Jawa)

Page 56: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest56 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

buku

Buku Pintar Istilah-Istilah KehutananBuku yang mempermudah pemahaman terhadap istilah-istilah teknis di bidang kehutanan. Akan ideal jika tersedia dalam dua bahasa: Indonesia-Inggris.

SEWAKTU mulai belajar ilmu kehutanan di kampus Institut Pertanian Bogor pada 1996, saya tak kunjung paham dengan istilah-istilah baru yang saya dengar waktu itu. Kartografi, silvikultur, kehutanan masyarakat, agroforestri, ekowisata.

Belum lagi istilah yang muncul diambil dari bahasa hukum peraturan dan perundangan.

Untuk mengingatnya, saya catat tiap kali mendengar istilah baru dari dosen maupun teman atau ketika mengikuti seminar. Catatan-catatan itu kemudian membantu saya memahami paradigma dan ilmu kehutanan secara lebih cepat. Betapa ilmu pengetahuan ternyata dibuka dan tersampaikan dengan pemahaman bahasa lebih dulu.

Sialnya, istilah-istilah yang saya catat itu tak berusia panjang. Baru saja memahami tentang hak pengusahaan hutan (HPH), muncul nama baru Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Dahulu ada Hutan Tanaman Industri (HTI) saat ini hanya disebutkan Hutan Tanaman saja. Apakah hutan bukan tanaman atau tanaman itu bukan hutan? Sebab tanaman itu kata benda bentukan, bukan kata benda dasar. Ia akan rancu jika digandengkan dengan kata benda lain. Mengapa bukan “hutan tanam” saja yang mengacu pada hutan yang dibuat manusia, untuk membedakan dengan hutan alam?

Problem manusia memang dimulai dari problem bahasa. Sebab ia menjadi alat komunikasi kita. Jika kita gagal memakainya, gagal pula komunikasi manusia. Untuk menyatukan makna itu kita menyepakati nama benda-benda dengan bahasa. Setelah itu kita membuat istilah jika sebuah makna dan pengertian tak cukup diserap oleh hanya satu kata. Karena itu kita perlu kamus agar hal-ihwal

mudah diingat dan dipelajari.Maka Kamus Kehutanan yang disusun

Bambang Winarto ini menjadi penting dan relevan agar kita satu pemahaman dalam melihat persoalan hutan, kehutanan, dan lingkungan. Seperti disebutkan dalam pengantarnya, Bambang membuat kamus ini untuk “menyamakan definisi tentang kehutanan terutama bagi mahasiswa kehutanan, penyelenggara

kegiatan kehutanan, masyarakat penggiat lingkungan, dan sebagai acuan dalam pembakuan istilah-istilah kehutanan.

Buku yang terbit pada 2018 ini sudah mengakomodasi perubahan istilah sesuai peraturan kehutanan yang terakhir. Penjelasan definisi dari istilah kehutanan dalam kamus ini juga sudah mencantumkan Peraturan Kehutanan yang menyebutkan istilah-istilah tersebut. Sehingga kita tak perlu membuka lembar-lembar peraturan untuk

memastikan pengertian sebuah istilah.Salah satu contohnya ada di nomor

185 tentang “batas hutan”. Kamus Kehutanan mendefinisikan frasa atau istilah ini dengan pengertian “batas kawasan hutan maupun batas fungsi hutan dan batas areal suatu hak pengusahaan yang ditetapkan oleh menteri.” Bambang mengambil pengertian ini mengacu kepada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 333/1999.

Ada banyak istilah-istilah lain yang dicantumkan dalam

kamus setebal 357 halaman ini. Totalnya ada 3.535 lema istilah kehutanan yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah definisi arti dan pada bagian dua adalah singkatan-singkatan yang digunakan dalam bidang kehutanan. Sayangnya, pada bagian dua Bambang tak menuliskan di halaman mana saja singkatan dan istilah yang ia kutip itu bisa ditemukan.

Problem lain adalah kamus ini masih menghimpun istilah dalam bahasa Indonesia. Mengingat dunia kehutanan sudah menjadi isu global, istilah-istilah tersebut perlu diterjemahkan atau dicari padanannya dalam istilah bahasa Inggris. Sehingga akan afdal jika Kamus Kehutanan tersedia dalam dwibahasa, apalagi jika disediakan secara online dalam bentuk aplikasi di telepon pintar.

—Librianna Arshanti

KAMUS KEHUTANANPenulis: Bambang WinartoPenerbit: Himpunan Alumni Fahutan IPB (HAE) IPB bekerja sama dengan PT. Penerbit IPB PressTahun Terbit: 2018Jumlah Halaman:357 halamanDidapatkan di: Sekretarian HAE – IPB di Darmaga, Bogor.

Page 57: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 57j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

kolom

SEJAUH ini boleh dibilang hubungan antara kebisingan dan stres sudah seterang siang di musim kemarau. Begitu pula fakta bahwa sumber keingar-bingaran di luar ruang, di mana pun di dunia ini, adalah mesin--termasuk di dalamnya sistem transportasi, kendaraan bermotor, pesawat terbang, dan kereta. Tapi tampaknya masih banyak orang yang justru tak peduli betapa sebenarnya polusi suara itu membuat hidup ini terganggu.

Bersepeda termasuk di antara sedikit hal yang membantu saya menyadari kenyataan itu. Yang membuat saya seperti tiba-tiba terjaga dari tidur adalah momen ketika saya bersepeda di lokasi yang jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas yang padat kendaraan bermotor. Di jalan-jalan kecil di pinggiran kota, misalnya; kebetulan, begitulah kondisi sebagian dari rute yang saya lalui sewaktu bersepeda ke kantor.

Jauh dari hiruk-pikuk itu artinya suara-suara yang bisa saya dengar hanya berasal dari percakapan orang, ocehan satwa, gemerisik dedaunan dari aneka tanaman yang kebetulan ada di tempat yang sedang saya lalui, atau angin yang bersiul di telinga. Suara juga berasal dari desir rantai yang bergerak memutar atau memidahkan gigi. Suara lain yang bisa ikut nimbrung, jika saya sengaja menyalakan pemutar musik, adalah lagu-lagu dari album yang saya pilih untuk menemani perjalanan--tapi ini lebih banyak pada saat saya bersepeda di akhir pekan.

Betapa berbeda suasana yang relatif “natural” itu. Saya memperoleh kesan semua hal seakan-akan berhenti, seperti sedang mendengarkan 4’33”, komposisi John Cage yang fenomenal itu, atau sekurang-kurangnya bagaikan potret monokrom yang merupakan hasil pembekuan sewarna obyek-obyek hidup melalui bidikan lensa kamera.

Tentu saja, di perkotaan, apalagi di Jakarta, suasana semacam itu sangat jarang bisa dijumpai. Padahal sebenarnya tak harus

demikian.Di Belanda, negara yang 30-an persen penduduknya

menjadikan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari, kebisingan jalan secara umum hanya bisa dirasakan di...jalan juga--itu pun dengan derajat yang relatif rendah dibandingkan negara-negara lain, maksimal sekitar 90 desibel. Bergeser sedikit saja keluar dari jalan, 20-an meter, tingkat kebisingannya turun hingga setengahnya. Ini suasana seperti orang mendengar percakapan biasa, lebih hening ketimbang suara anak-anak bermain di taman di kejauhan. Beranjak sekitar 100 meter dari jalan suasana bisa senyap; meteran pun bisa tak mengukur apa-apa.

Dari segi konstruksi, memang ada upaya untuk mencapai kondisi itu, yakni dengan memilih penggunaan bahan-bahan khusus untuk permukaan jalan dan pemasangan alat penghalang kebisingan. Di samping itu, diberlakukan pula pembatasan kecepatan maksimum, terutama di kawasan yang dekat pemukiman.

Pesepeda tergolong yang diuntungkan dari upaya itu. Bagaimanapun, harus diakui bersepeda di tengah-tengah jalan yang gaduh, bahkan di jalur khusus sekalipun (yang di Jakarta dan sekitarnya masih langka),

adalah pengalaman yang sulit bisa disebut nyaman. Deru mesin kendaraan mudah sekali menggerus perasaan aman.

Sangat besar kemungkinan apa yang terdapat di Belanda berlaku pula di negara-negara lain yang ramah sepeda. Di Jakarta, saya kira, pesepeda hanya bisa menghibur diri dengan mengklaim punya saraf baja, yang membantu mereka mengarungi jalan-jalan yang pengang dan membendung serangan stres. Kecuali memang sedang berolahraga off-road, atau terlalu larut pulang dari kantor, hanya sesekali saja peruntungan mereka bagus: bertemu suasana seperti yang selalu saya alami saat melalui jalan-jalan di pinggiran kota.

13 Mei 2015—Dicuplik dari “Solilokui Sepeda” (Buring Printing, 2018).

Sepeda, Mesin, Kebisingan

Purwanto SetiadiWartawan dan Pesepeda

Page 58: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest58 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

PendahuluanKita pernah berharap bahwa deforestasi akan berkurang ketika

seorang sarjana kehutanan untuk pertama kalinya menjadi orang nomor satu di republik ini. Faktanya, sejak tahun 2014 hingga 2017, kemusnahan pepohonan di Indonesia berfluktuasi antara 1,3 juta hingga 2,5 juta hektare menurut Global Forest Watch (GFW, 2017).

Kegiatan reboisasi pun merosot dari 26.162 hektare di tahun 2014, 10.508 hektare di tahun 2015, dan 7.067 hektare di tahun 2016. Baru kemudian melonjak lima kali lipat menjadi 35.123 hektare di tahun 2017. Fenomena ini berbanding terbalik dengan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang merosot dari 486.858 hektare ke 214.150 hektare dari tahun 2014 ke 2015. Lalu turun secara perlahan menjadi 198.346 hektare pada tahun 2016, dan naik secara pelan-pelan menjadi 200.991 hektare pada tahun 2017 (Pusat Data dan Informasi, 2018, halaman 124).

Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hutan lindung Indonesia seluas 29,7 juta hektare dan hutan konservasi Indonesia seluas 27,4 juta hektare pada tahun 2017. Di sisi lain, hutan produksi mencapai 68,8 juta hektare. Dengan kata lain, pemerintah masih mengutamakan komersialisasi ketimbang pelestarian lingkungan karena luasan hutan produksi lebih besar 11,7 juta hektare ketimbang gabungan antara hutan lindung dan hutan konservasi (Pusat Data dan Informasi, 2018).

Barangkali ini yang dimaksud Julien Benda sebagai “pengkhianatan para intelektual”. Dalam bukunya The Treasons of the Intellectuals, Benda membuat kategori “the clerks” yang mengacu pada ilmuwan/sarjana, filosof dan budayawan yang hasil kerjanya abadi, dan mereka bekerja bukan untuk keuntungan material. Sayangnya, mereka berkhianat karena sudah mengadopsi motif politis (Benda, 2014, halaman 50-51, 52).

Oleh karena itu, kita perlu bertanya: Bagaimana seharusnya sarjana kehutanan menyelesaikan masalah etis seputar deforestasi? Di satu sisi, sebagian dari mereka bekerja dalam proses bisnis deforestasi. Di sisi lain, lingkungan membutuhkan hutan dalam jumlah signifikan serta kualitas yang baik untuk menjaga kualitas udara, menghindari longsor, menyuplai makanan dan tempat tinggal bagi manusia serta hewan.

Masalah Etis

Masalah etis sesungguhnya mengimplikasikan justifikasi baik terhadap konflik kepentingan maupun dilema. Justifikasi

bukan hanya ihwal pembenaran tapi mengandung keadilan serta masuk akal. Secara umum, konflik kepentingan merupakan ketidaksesuaian tujuan atau perhatian dari dua belah pihak yang berbeda. Dengan kata lain, konflik kepentingan sejatinya tidak eksis dalam satu persona tapi melibatkan orang lain.

Biasanya, konflik kepentingan melibatkan pilihan antara baik atau buruk. Dengan kata lain, seorang sarjana kehutanan bisa mengambil pilihan yang secara objektif dan universal baik ketimbang mengutamakan egoisme personal atau kelompok. Inilah yang oleh Henry Sidgwick disebut kebahagiaan universal (universal hedonism), yang tolok ukurnya merupakan pemenuhan kewajiban (moral dan legal) serta kebajikan/keutamaan. Contohnya, seorang sarjana kehutanan wajib melestarikan hutan, dan mengutamakan harmoni antara hutan, manusia, dan binatang. Jika terpenuhi, sarjana tadi mendekati kebahagiaan universal meski kepentingan pribadi atau kelompoknya sedikit terusik. Hal ini analog dengan profesi dokter (baik perokok atau bukan) yang tetap perlu merekomendasikan pasien untuk menjaga pola hidup sehat meski ia sadar bahwa bila tidak ada orang sakit maka penghasilannya terganggu. Ada konflik kepentingan di sana tapi ia tetap memenuhi kewajiban moral dan legal serta mengupayakan kebajikan/keutamaan.

Belajar dari Amerika Serikat (AS), GBRF (Georgia Board of Registration for Foresters) mewajibkan satu jam pelatihan etika dalam setiap pembaruan masa keanggotaan (Lewis, 2019). Tentu saja etika yang dimaksud bukanlah etiket atau sopan santun. Namun, bagaimana melakukan kerja sama bisnis dengan pemilik lahan mulai dari tawar-menawar harga, berbagai rencana manajemen yang kurang jelas atau konflik kepentingan tersembunyi yang tidak kasat mata (Watson & Barron, 2019).

Hal ini semakin rumit karena para rimbawan di AS menghadapi beberapa lapisan kode etik baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Bahkan, bisa saja rimbawan di luar lingkungan pemerintah federal tidak familier dengan integritas akademik, kekeliruan profesional serta kekeliruan riset yang diatur pada tingkat nasional (Guldin, 2019).

Kemudian, dilema ialah dua atau lebih alternatif yang sama-sama tidak menyenangkan tapi tetap harus mengambil keputusan. Orang bisa memahaminya secara longgar bahwa dilema melekat pada seseorang tanpa harus melibatkan orang lain. Namun, hal itu tidak selamanya benar karena dilema juga bisa melekat pada komunitas atau bahkan pemerintah, semisal pilihan antara perkebunan sawit atau kerusakan lahan. Hal itu boleh jadi tampak sebagai dilema bagi pemerintah. Tapi, orang

Sarjana Kehutanan dan Deforestasi

kolom

Page 59: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 59j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

bisa mengujinya dengan membuat empat kuadran. Dilema hanya berada di sebelah kiri bawah yang mewakili pilihan pelik antara negatif dengan negatif. Jika masih ada konsiderans positif dari sebuah kasus atau fenomena, boleh jadi kodratnya merupakan konflik kepentingan.

Bayangkan seorang pemuda dari kaum adat tertentu berhasil menjadi sarjana kehutanan. Dia kemudian bekerja untuk sebuah perusahaan yang memegang izin pemanfaatan sebuah Hutan Tanaman Industri di mana masyarakat adatnya bercocok tanam di dalam hutan yang sama. Kepada siapa dia seharusnya berpihak: perusahaan tempatnya bekerja atau masyarakat adatnya sendiri? Hal ini bisa semakin pelik apabila ia seorang anak kepala suku. Di masa depan, ia akan menjadi kepala suku berikutnya yang wajib memastikan kesejahteraan masyarakat adat sementara suku tersebut bukan nomaden.

Sejatinya, “HTI bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk distribusi lahan secara ekual antara masyarakat lokal dan perusahaan pemegang hak HTI, sebagai sumber produksi dan meningkatkan kondisi sosial-ekonomi berbagai komunitas lokal” (Hidayat, 2018, p. 103). Dengan demikian, HTI seharusnya berkah, bukan kutuk bagi masyarakat sekitarnya.

Kodrat DeforestasiSecara umum, deforestasi merupakan tindakan membersihkan

area yang luas dari pepohonan. Kita belum tahu apakah tindakan itu secara inheren bersifat baik atau buruk. Katakanlah netral. Lantas, apa yang membedakannya?

Pertama, tujuan deforestasi. Kedua, batasan atau cakupan dari deforestasi. Ketiga, status hutan yang mengalami deforestasi. Keempat, akibat atau konsekuensi dari deforestasi baik pada lingkungan, manusia maupun binatang di dalam maupun sekelilingnya. Kelima, pelaku deforestasi. Keenam, tindakan pasca-deforestasi.

Keenam hal tersebut merupakan ekspektasi rasional untuk menentukan kodrat dari sebuah proses deforestasi. Namun, fakta global cenderung menunjukkan sisi negatif dari deforestasi.

Deforestasi bersama dengan perubahan iklim juga turut mengancam kepunahan 60% dari 124 spesies kopi dunia karena banyak varietas tumbuh dan berkembang di bawah kanopi-kanopi alamiah di dalam hutan (Sengupta, 2019). Menurut Profesor Maryudi, sebanyak 10-13 juta hektare hutan dunia hilang setiap tahunnya (Maryudi dalam Ika, 2018).

Kemudian, sarjana kehutanan juga sebaiknya menggunakan tujuh pertanyaan dalam mengeksaminasi sebuah deforestasi. Pertama, siapa saja aktor yang terlibat? Kedua, bagi status mereka menjadi salient and non salient stakeholders. Ketiga, buat daftar apa saja hal yang membahagiakan salient and non-salient stakeholders? Keempat, apakah hal yang membahagiakan mereka bersifat subyektif dan partikular atau objektif serta universal? Kelima, tolok ukur objektivitas dan universalitas ialah: apakah hal tersebut mewakili kebajikan/keutamaan tertentu (bukan kebijakan/policies); dan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Contoh kebajikan/keutamaan ialah keadilan inter-generasional, pelestarian lingkungan, kesejahteraan binatang di dalam hutan, dan lain sebagainya. Keenam, jika memang merepresentasikan peraturan perundang-undangan serta kebajikan/keutamaan, buat daftar rinciannya. Jika tidak, maka apa saja yang membahagiakan stakeholders secara subyektif dan partikular. Ketujuh, analisis biaya dan manfaat dengan basis enam poin sebelumnya. Dengan demikian, analisis biaya dan manfaat tidak bersifat egoistik karena hanya memerhatikan usaha meningkatkan keuntungan.

KesimpulanMenjawab pertanyaan di atas, sarjana kehutanan dan rim-

bawan perlu membedakan secara saksama antara potensi konflik kepentingan dengan dilema. Kemudian, mengeksaminasi kodrat dari berbagai proyek deforestasi yang berbeda dengan beberapa perangkat di atas. Dengan demikian, mereka bisa menjustifikasi keputusan secara baik. Kehutanan terlalu penting hanya untuk diurus oleh para rimbawan, dan opini ini merupakan langkah awal untuk dialog lintas bidang akademik. —

Qusthan FirdausPeneliti di the Rhetoric Centre, Jakarta. Dosen di

beberapa perguruan tinggi.

dilema juga bisa melekat pada komunitas atau bahkan pemerintah, semisal pilihan antara perkebunan sawit atau kerusakan lahan. Hal itu boleh jadi tampak sebagai dilema bagi pemerintah. Tapi, orang bisa mengujinya dengan membuat empat kuadran. Dilema hanya berada di sebelah kiri bawah yang mewakili pilihan pelik antara negatif dengan negatif. Jika masih ada konsiderans positif dari sebuah kasus atau fenomena, boleh jadi kodratnya merupakan konflik kepentingan.

Page 60: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest60 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

KETIKA akan meneliti pohon Palahlar, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada kesulitan mengakses data-data di sekitar pohon langka Indonesia yang punya nama Latin Dipterocarpus littoralis

ini. Tak ada data yang komplit mengenai pH tanah di sekitar pohon, nutrisi yang diperlukan, hingga kecukupan cahaya untuk tumbuh. Informasi penunjang pohon ini jarang termuat dalam literatur.

Kelangkaan itu yang mendorong Khumairoh Nur Azizah, mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta angkatan 2015, membuat alat yang bisa mendeteksi unsur-unsur di setiap pohon dengan mudah. Ia mengajak Dwi Rahmasari dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Gema Wahyu dari Sekolah Vokasi UGM untuk berinovasi membuat teknologinya.

Setelah pembicaraan mulai mengerucut soal teknik pembuatan alat itu dan merumuskan cara kerjanya yang efektif, mereka sepakat mengajukan proyek itu untuk Program Kreativitas Mahasiswa di bidang karsa cipta yang diadakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menyediakan hibah penelitian. Karena sudah masuk riset, mereka dibantu senior pembimbing Sony Alfa dari jurusan Teknik Fisika UGM di bawah arahan pembimbing dosen Ronggo Sadono.

Agar deteksi bisa dilakukan dengan mudah, ketiga mahasiswa ini merancang sebuah alat yang memakai sensor sehingga para peneliti tak harus menunggui pohon yang sedang diamatinya selama 24 jam. Alat bisa bekerja sehari penuh karena dilengkapi

panel solar sebagai sumber energi. Sensor juga bisa ditinggal untuk

merekam kehidupan sebuah pohon selama 24 jam yang datanya bisa dimonitor di komputer laboratorium. “Kami fokuskan untuk pohon-pohon langka dulu,” kata Azizah kepada Forest Digest akhir Februari lalu.

Mereka menamani alat itu Litto-Sens. Sens di sana merujuk pada kata “sensor”. Sementara Litto diambil dari nama Latin akhir pohon Palahlar. Menurut Azizah, pengelolaan jenis-jenis pohon di Indonesia, terutama jenis langka seperti Palahlar, masih sulit didapatkan oleh para mahasiswa. Problemnya karena alat untuk penelitiannya belum tersedia. “Padahal data itu penting untuk mengevaluasi satu jenis,” katanya.

Data-data yang mencakup penunjang hidup sebuah pohon tersebut direkam

oleh sensor yang ditaruh peneliti di stasiun pengamatan. Dengan teknologi telemetri, data kemudian dikirim ke server website. Sensor alat di stasiun pengamatan bisa menjangkau radius 15 kilometer. Sehingga peneliti tak harus mendatangi pohon yang sulit dijangkau karena ada di lereng yang curam atau berada di medan yang sulit dilalui.

Sistem pengiriman datanya memakai sistem pengiriman data nirkabel yang telah di integrasikan melalui telemetri pada veri high frequency (VHF) dan pengiriman data ke jaringan internet. Dengan perpaduan dua metode pengiriman itulah, alat ini sangat memungkinkan sistem bekerja bahkan pada daerah yang jauh atau remote.

Pendukung cara kerja Litto-Sens terdiri dari perangkat keras dan lunak. Sistem hardware terdiri dari dua stasiun yaitu stasiun sensor dan stasiun pengolah (gate station). Stasiun sensor bertanggungjawab pada pengukuran parameter sekaligus mengirimkan data secara telemetri kepada gate station. Sementara gate station menerima data yang kemudian mengirimkannya ke server melalui jaringan internet.

Azizah kini masih mengembangkan website untuk menampung data-data rekaman dari lapangan itu. Untuk

Sensor Hara Pohon LangkaMahasiswa UGM menciptakan alat yang bisa mendeteksi unsur-unsur hara pohon. Peneliti tak perlu menunggu di lokasi penelitian untuk mendapat data komplit.

Cara Kerja Litto-Sens

Page 61: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 61j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

sementara mereka memakai platform Ubidots, perangkat Internet of Things yang cocok dengan teknologi berbasis sensor. “Tapi alatnya sudah selesai dibuat 2018,” kata Azizah.

Alat itu kini sedang disempurnakan terutama soal daya jangkau. Azizah dan timnya menargetkan sensor bisa mengirim data ke server komputer dalam jarak 20 kilometer. “Kami belum sempat mengalibrasi karena kurang pendanaan,” kata dia.

Hibah dari Kementerian Riset turun sebesar Rp 7,5 juta sudah habis selama pembuatan dan pengembangan alat ini yang makan waktu tiga bulan pada tahun lalu. Azizah dan teman-temannya baru menanamkan algoritma kalibrasi yang berfokus pada datasheet dari setiap sensor yang merupakan bawaan dari pabriknya.

Dalam uji coba, pengiriman data berjalan lancar dari stasiun sensor hingga ke web. “Problemnya kami terbatas waktu mengembangkan antena sendiri,” kata Azizah. Akibatnya, jangkauan pengiriman telemetri yang seharusnya bisa mencapai puluhan bilometer belum tercapai.

Inovasi ini muncul tepat waktu. Tahun 2018 adalah tahun yang heboh akibat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan aturan

yang mengeluarkan lima jenis burung langka dari kategori dilindungi. Tak hanya itu Peraturan 106/2018 ini juga mengeluarkan pohon-pohon langka dan endemi Indonesia dari daftar dilindungi. Palahlar termasuk pohon langka, endemi pulau Nusa Kambangan, yang kini tak dilindungi setelah dikeluarkan dari daftar perlindungan pada Desember 2018.

Karena itu, kata Azizah, pemerintah maupun pemerhati pohon sangat antusias dengan inovasi yang mereka ciptakan. Para peneliti, universitas, dan pemerintah bisa memantau lebih cepat

dan akurat keberadaan pohon-pohon langka termasuk perlakuan terhadap mereka untuk mencegah kepunahan akibat degradasi alam. “Semoga bisa dikembangkan untuk mendeteksi hewan-hewan langka sehingga penghitungan dan perlakuan terhadap mereka lebih akurat,” kata Azizah. —Razi Aulia

pencipta. Khumairoh Nur Azizah (tengah) bersama pembimbing dan tim pembuat Litto-Sens di depan kampus UGM Yogyakarta.Foto: Dokumentasi UGM

Page 62: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest62 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

profil

JIKA cerita Keluarga Cemara menunjukkan hubungan personal antar anggota keluarga, yang menguatkan ikatan, yang meneguhkan kepercayaan, keluarga Bambang Istiawan melampaui itu semua. Mereka menjalin hubungan yang lebih akrab dengan alam. Sejak 2000, keluarga ini pindah ke Megamendung di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, dengan misi menghijaukan bukit-bukit gersang dan menahan pemodal mengubah lereng-lereng hijau menjadi vila.

Mulanya, ketika pergantian milenium dari 1999 ke 2000, Bambang sudah memikirkan menghabiskan waktu pensiun sebagai pegawai di sebuah perusahaan minyak dan gas. Ia

Keluarga Cemara dari Puncak BukitKeluarga ini mengembalikan tanah dan bukit gersang menjadi hijau. Mereka melawan calo tanah yang ingin menjual lamping-lamping itu ke pengusaha untuk dijadikan vila.

2000

2002 2004

Page 63: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 63j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

lahir di Kalimantan Timur lalu bekerja di tempat kelahirannya, di sebuah perusahaan minyak dan gas bumi. Kantor pusatnya di Jakarta, kadang-kadang juga ia bepergian ke luar negeri. Waktu itu usianya baru 46, masa puncak karier dan pekerjaan. “Saya ingin setelah pensiun tinggal di pinggir hutan,” kata dia pada Januari lalu.

Pulang ke Kalimantan bukan pilihan yang bagus memenuhi cita-citanya itu. Di Kalimantan hutan tumpas akibat hak-hak pengelolaannya diberikan kepada korporasi besar di zaman emas

perdagangan kayu. Bambang lalu memilih Bogor karena istrinya, Rosita, lahir dan besar di Kota Hujan. Keduanya sepakat memilih tinggal di Megamendung.

Mereka membeli 2 hektare lahan di sana. Karena pekerjaan, Bambang tak sering tinggal di Megamendung, hanya Rosita dan kedua anak mereka yang acap mengunjungi rumah masa depan mereka. Selama tinggal itu, Rosita, kini 56 tahun, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana hutan-hutan di kawasan Puncak itu roboh karena berubah menjadi vila dan tempat-tempat peristirahatan.

Bukit yang hijau ketika ia pertama datang, lambat laun kerontang. Indonesia yang sedang krisis ekonomi membuat penduduk menjual lahan-lahan mereka melalui biong, calo tanah yang mendapat pesan dari pemodal dari kota. Longsor yang tak pernah terjadi sebelumnya, sejak itu, acap melanda desa-desa di sekitar Puncak. “Orang sini senang menjual tanah ke orang Jakarta,” kata Rosita.

Orang Jakarta memandang Puncak hanya semata sebagai tempat tetirah. Mereka membangun vila, menyewakannya, datang pada akhir pekan

Page 64: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest64 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

profil

untuk menikmati kesejukan kawasan tinggi Bogor itu. Ironisnya, kata Rosita, mereka tak mau menanami lahan-lahan mereka dengan pohon yang menjadi sumber kesejukan yang mereka cari di sana itu.

Bambang dan Rosita pun bertekad menghentikan laju deforestasi itu. Caranya, menghadang pemodal Jakarta masuk ke Megamendung: mereka akan membeli lahan-lahan gersang di sekitarnya agar tak jatuh ke pemodal vila. Tapi rencana itu tak semudah yang mereka perkirakan. Begitu tahu pembelinya bukan orang Jakarta yang akan mengubah lahan menjadi pemondokan, para biong menghalangi upaya Bambang dan Rosita.

Keduanya tak mundur. Secara persuasif mereka mendekati para pemilik lahan yang berniat menjualnya melalui biong. Beberapa menolak, beberapa setuju setelah kesepakatan harga tercapai. Selama lima tahun, Bambang dan Rosita berhasil membeli sekitar 12 hektare. Rupanya,

lahan-lahan itu dijual karena memang tak menghasilkan. “Sangat tandus dan curam,” kata Rosita.

Bambang dan Rosita lalu menetapkan diri dan merancang rencana mengembalikan lahan-lahan itu menjadi hijau. Waktu itu Bambang tak terlibat terlalu banyak karena ia masih bekerja di luar negeri. “Urusan teknis penanaman dan lainnya saya serahkan sepenuhnya sama istri saya,” kata Bambang, kini 64 tahun.

Penanaman mulai jalan. Pohon mulai tumbuh lagi di sana. Namun, seiring pertumbuhan pohon dan lahan menjadi hijau, para biong kembali melirik lahan-lahan itu. Mereka meminta Rosita menjual kembali tanah-tanah itu. Rosita bercerita pernah ia didatangi delapan laki-laki membawa golok yang hendak memaksa Rosita menjual tanah. Ia menolak.

Rosita hanya berpikir jika tanah itu kembali jadi milik biong mereka akan menjualnya sembarangan kepada

pemodal. Setelah itu ia tak akan bisa memulihkannya lagi dan hanya akan melihat kerusakan alam yang kian masif. Tiap mereka datang, Rosita terus-menerus menyatakan penolakan. “Saya mah hanya punya keyakinan dan keinginan berbuat baik. Memang pasti banyak godaannya, tapi nanti akan menghasilkan sesuatu yang baik juga.” kata dia.

Rosita dan Bambang menamai penghijauan itu dengan “Hutan Organik”. Rosita mencari sendiri bibit pohon untuk ditanam di lahannya. Karena tak punya pengalaman dan pengetahuan serta jaringan bidang kehutanan, tak jarang Rosita tertipu ketika membeli jenis pohon dengan harga mahal. “Saya bingung

Organik. Bambang Istiawan dan Rosita di hutan organik di depan rumah mereka di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.Foto: Zahra Firdausi

Page 65: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 65j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Hijau. Hutan organik yang dibangun Bambang dan Rosita telah tumbuh menghijaukan lahan gersang di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.Foto: Zahra Firdausi

awalnya untuk mencari bibit-bibit pohon itu,” kata dia.

Pengalaman memang guru terbaik. Sering ditipu dan bersinggungan dengan pohon membuat Rosita belajar sendiri tentang cara menanam, jenis, dan segala informasi tentang pohon. Ia gabungkan menanam pohon dengan pertanian melalui tumpang sari. Ia menanam pohon Agathis, Damar, Mahoni, Kenari, Rasamala, dan Pala berdampingan dengan tanaman sayuran seperti tomat, cabai, pakcoi.

Agar bebannya berkurang, Rosita mengajak petani di sekitar rumahnya untuk ikut menanam. Ia membentuk Kelompok Tani Hutan Organik untuk bersama-sama memperbaiki lahan tersebut. Problemnya, karena lahan curam dan pernah tandus, air kurang. Untuk mengatasinya, ia dan para petani mengangkut galon air dari pemukiman yang berjarak kurang lebih tiga kilometer ke lokasi penanaman.

Cara itu terlalu mahal, sampai akhirnya Bambang punya ide mengalirkan air melalui irigasi dengan pompa hidrolik (hydram). Ini pompa memakai sistem irigasi yang bisa mengalirkan air dari tempat yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi dengan memanfaatkan energi kinetik air tanpa listrik. “Saya jadi belajar bagaimana membuat pompa hydram,” kata Bambang. “Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti mencari posisi ideal pompa, menentukan lokasi penampungan air dan sistem distribusinya supaya airnya bisa naik. Waktu itu kira-kira butuh naik 50 meter”.

Tiga tahun setelah menanam, bukit itu kembali hijau. Dan, ternyata, di sana ada mata air. Mata air tumpas karena penduduk membiarkan tanahnya tandus. Menurut Rosita, sumber mata air hutan organik ini sudah mengaliri desa-desa yang berada di bawahnya. Bahkan ketika memasuki musim kemarau daerah ini tidak pernah mengalami kekeringan berkat adanya hutan organik ini.

Para biong, sementara itu, mundur teratur dengan penolakan Rosita. Apalagi, Rosita kini didukung para petani dan kabar keberhasilannya menghijaukan lahan tandus tercium ke luar Megamendung. Banyak peneliti IPB mulai berdatangan untuk meneliti keragaman populasi hutan organik. “Survei awal yang

mereka lakukan dapat menemukan 16 jenis burung yang lima jenis di antaranya merupakan jenis burung yang dilindungi,” kata Bambang. “Tandanya hutan di sini sudah pulih.”

Bambang kini tinggal sepenuhnya di Megamendung, setelah pensiun. Total lahan yang sudah ia beli mencapai 27 hektare. Lahan-lahan itu kini sepenuhnya menjadi hutan. Bambang tak mau menghitung berapa uang yang ia keluarkan untuk membelinya. “Jangan lihat seberapa banyak dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun semua ini, lihat komitmen dan konsistensi kami menyelamatkan lahan kritis di sini,” kata Bambang.

Bambang ingin mengingatkan semua orang agar terdorong dengan apa yang ia dan istrinya lakukan, yakni peduli lingkungan dan kelestarian alam. Rosita menambahkan tidak perlu memiliki lahan yang luas untuk mulai menanam. Hanya perlu sebidang tanah di depan halaman rumah untuk memulai menanam. Rosita memiliki keyakinan bahwa apa yang ia lakukan ini akan bermanfaat bagi anak dan cucunya nanti.

Oleh karena itu, Rosita dan Bambang selalu mengajarkan dan mengenalkan alam kepada anak dan cucu-cucunya. “Sebagai orang tua kita harus mengenalkan dan membuat anak-anak dekat dengan alam, agar mereka bisa menyayangi pepohonan

dan bumi kita ini sedari usia dini,” kata Rosita.

Ke depan, Rosita dan Bambang berencana menjadikan hutan ini sebagai model pengelolaan rehabilitasi ekosistem dan lahan kritis. Ia meminta Fakultas Kehutanan IPB menyurvei keanekaragaman hayati yang ada di hutan organik ini. Setelah survei ia berharap ada evaluasi dan monitor rutin. Sementara Rosita berencana menanami 2 hektare lahannya dengan buah-buahan untuk observasi food forest.

Rosita berharap, dengan semakin banyaknya orang yang mengetahui keberadaan hutan organik ini, sehingga semakin banyak juga orang yang tergugah untuk menanam pohon dan akhirnya mengikuti jejaknya. “Saya ingin berbagi pengalaman dengan membuat sekolah alam untuk masyarakat sekitar sini, supaya semua bisa menyadari bahwa hutan itu memberikan manfaat yang banyak untuk kita semua,” kata Rosita. “Apalagi di tengah isu perubahan iklim seperti sekarang.”

—Tegar Patidjaya K dan Zahra Firdausi

Page 66: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest66 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

reportase

Salju di BerlinCuaca ekstrem di Jerman dalam dua tahun terakhir. Perubahan iklim itu nyata adanya.

Page 67: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 67j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

DI Hamburg, cuaca bisa berubah tiba-tiba seperti bajaj belok. Pertengahan Desember 2018 saya mengunjungi kota pelabuhan ini untuk sebuah kunjungan kerja. Ketika saya tiba, hujan turun renyai, semesta hanya cahaya.

Tidak sampai kuyup tapi membuat jaket lumayan basah. Udara cukup hangat untuk ukuran negara di Eropa.

Saya tiba pada hari Minggu sehingga kota industri yang padat penduduk ini sepi seperti tak berpenghuni. Di jalan hanya ada bus beberapa. Mobil-mobil pribadi tak terlihat di jalan-jalan besar. Toko-toko tutup dan trotoar sunyi. Saya menilai Hamburg kota yang asyik: ngungun kelabu dengan cuaca yang tak ekstrem.

Tiap-tiap mengunjungi kota yang asing kita akan merasakan sensasi pertama ketika menginjakkan kaki sekeluar dari bandara. Saya merasa feel at home di Hamburg. Mungkin karena dulu pernah tinggal di Kyoto, kota para orang tua yang sepi, selow, tak terlalu dingin dengan sejarah panjang Jepang yang terekam dalam sungai dan kuil-kuilnya yang tua. Hamburg seperti Kyoto. Tak seperti San Fransisco atau Las Vegas yang asing, yang kapitalis, yang petugas imigrasinya tertawa mengejek begitu membaca paspor dari Indonesia.

Jadi, agaknya dalam kunjungan 10 hari itu, saya akan betah di Hamburg. Cuacanya, ketika tiba di bandara lalu naik kereta bawah tanah sambung dengan bus, cukup bersahabat bagi kulit orang tropis ini. Sekitar 9-10 derajat Celsius. Jadi dengan memakai jaket parka dan sal, saya bisa berjalan kaki jika tujuan-tujuan kunjungan tak terlalu jauh.

Maka, hari itu saya memutuskan jalan kaki begitu keluar stasiun bawah tanah dari stasiun bus terdekat ke Universitas Hamburg. Saya ketinggalan bus, sementara bus berikutnya telat delapan menit dari jadwal yang tertera di papan waktu di halte. Jarak ke universitas itu sekitar tiga kilometer, tak terlalu jauh, jika dibandingkan dengan jarak joging saya tiap pagi yang dua kali lipatnya dalam setengah jam. Setelah mengecek

ulang cuaca hari itu di telepon, saya meyakinkan teman perjalanan agar jalan kaki saja. Suhu Hamburg 11 derajat dengan perkiraan hujan kecil pada siang.

Hamburg kota yang rapi. Orang-orangnya tertib. Setidaknya terlihat ketika mereka hendak menyeberang jalan. Tak ada yang menerabas tengah jalan atau tengok kiri-kanan melihat jalan kosong lalu mencelat ke seberang. Semua orang menyeberang di tempatnya. Berdiri menunggu lampu jalan hijau. Para pengendara juga berhenti jauh dari garis zebra cross. Beradab sekali.

Tentu saja setelah membandingkannya dengan Berlin. Di Ibu Kota Jerman ini orang bisa tiba-tiba berlari ke tengah jalan menyeberang ketika jalan penuh kendaraan. Mereka tak mau repot mendatangi pelican cross untuk menunggu lampu hijau dalam cuaca dingin bulan Desember. Mungkin karena Berlin lebih kosmopolitan dibanding Hamburg. Para imigran juga lebih senang datang ke Berlin dibanding kota lain di Jerman.

Tiba-tiba, ketika sedang khusyuk berjalan sambil melihat lalu-lalang

Basah. Pagi yang basah (atas) dan siang yang hujan (bawah) di Hamburg, Desember 2018.Foto-foto: Bagja Hidayat

Page 68: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest68 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

reportase

kendaraan dan gedung-gedung tua yang megah dan menjulang, saya merasakan telinga pengeng. Semakin jauh berjalan dari halte semakin terasa beku. Ketika saya raba, daun telinga seperti es, basah, dingin, membeku.

Kacamata juga berembun. Saya baru sadar orang lain ternyata setengah berlari di kaki lima. Ketika menyingkir ke halte bus dan memeriksa telepon, di sana tertera suhu 2 derajat Celsius. “Wow, cepat sekali turunnya,” kata seorang teman perjalanan. “Begitulah di Hamburg,” kawan dari Jerman, asal Bonn, menimpali.

Kaki jadi terasa kaku ketika kami akan meneruskan perjalanan karena waktu kian mepet ke waktu janji bertemu dengan seorang profesor ahli kajian media. Karena jarak tinggal satu kilometer lagi, kami memutuskan terus berjalan kaki, tidak naik bus yang belum tiba dari jadwal seharusnya. Selama menempuh sisa perjalanan itu saya menggigil dalam dingin. Sarung tangan, sal, penutup kepala jaket parka, tak sanggup mencegah udara yang masuk ke tubuh dan angin kencang yang menampar kulit pipi.

Kami berjalan dengan gegas dalam diam. Teman dari Bonn itu juga diam dengan mata melihat Google Maps di layar teleponnya. “Tinggal satu belokan lagi,” katanya. Kami terus berjalan sampai bertemu kantin kampus. Profesor itu ingin bertemu sambil makan siang. Saya buru-buru masuk ke restoran itu untuk menghirup udara hangat. Di dalam restoran orang penuh. Mungkin dengan tujuan sama: mencari makan siang sambil menghangatkan tubuh.

Saya memesan cappuccino. Dingin ini harus dienyahkan dengan segelas kopi. Tak enak mengobrol bersama orang baru kenal dengan tubuh menggigil dan bibir yang beku. Dua teguk kopi hangat Italia itu serasa memecah kebekuan kerongkongan dan menghangatkan bibir yang mulai pecah.

Menurut Matthias Wichert, teman dari Bonn yang berusia 32 tahun itu, cuaca Jerman memang berubah akhir-akhir ini. Salju turun tak merata. Di Hamburg, Bonn, Berlin, Koln, atau Frankfurt, salju belum turun menjelang Natal. Padahal kota-kota itu ada di selatan Jerman, daerah pegunungan. Padahal pasar-pasar

Natal sudah bertebaran di pusat-pusat kota menyuguhkan minuman yang muncul sekali setahun menjelang 25 Desember: gluhwein—anggur hangat yang asam karena dicampur jeruk dan rum.

Kantor Berita Deutsche Welle melaporkan setengah bulan sebelum saya tiba di Hamburg, salju di pegunungan bahkan sudah menipis. Mereka melaporkan suhu dari Zugspitze, pegunungan tertinggi di Jerman di selatan Bavaria. Di sana, salju biasanya sudah turun deras sejak September. Tapi pada akhir November 2018, para petani keluar rumah bahkan memakai kaos dan turis berjalan dengan jaket tipis yang dibuka kancingnya.

Toni Zwinger, petani yang membuka toko saus dan lahir-besar di Zugspitze, mengatakan bahwa cuaca terus berubah dibandingkan 30 tahun lalu. Ia memperkirakan salju berkurang 25 persen di puncak-puncak gunung sepanjang periode itu. “Ini tahun terpanas selama 25 tahun,” katanya.

Dari catatan di Statista.com, tahun 2018 memang tahun terpanas di Jerman dalam sepuluh tahun terakhir. Rata-rata suhu selama 365 hari dalam setahun itu 10,4 derajat Celsius. Tahun-tahun lain biasanya rata-rata suhu di Jerman berkisar antara 9,6-9,8 derajat.

Para peneliti datang ke Zugspitze untuk

meneliti perubahan cuaca itu. Mereka menyimpulkan suhu di pegunungan ini naik 1 derajat Celsius sejak 1985. Pada Januari, waktu terdingin di Jerman, tahun itu suhunya bisa minus 20 derajat Celcius. Januari lalu, di pegunungan ini suhu paling rendah saja hanya minus 5 derajat. “Perubahan iklim nyata terjadi di sini,” kata Michael Krautblatter, profesor dari Munich’s Technical Unversity.

Ahli lain meneliti curah hujan di hutan-hutan Bavaria. Harald Kunstmann, profesor dari University of Augsburg, mengatakan bahwa es dari langit itu tak sempat membeku ketika melewati atmosfer bumi. Mereka terkena panas karbon yang terperangkap di sana lalu turun menjadi hujan. Perubahan ini, kata Harald, bisa mengubah konstelasi cuaca dan bencana. Sebab volume hujan yang naik jumlahnya bisa memicu banjir ketimbang unggun-timbun salju.

Perubahan salju menjadi air itulah yang terjadi di beberapa kota di Jerman. Seperti di Hamburg atau Bonn atau Berlin, hujan tak lagi sekadar gerimis. Hujan agak deras hingga tembus ke jaket yang tebal. Dan waktunya tak menentu, bahkan bisa mengelabui prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Hujan. Jalan Freidrich di lokasi Checking Point Charlie di Berlin, Desember 2018.

Page 69: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 69j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

setempat. Cuaca bisa turun tiba-tiba tanpa pemberitahuan.

Tapi sebulan setelah DW membuat laporan cuaca Zugspitze, Berlin dilanda hujan salju yang parah. The Guardian pada 11 Januari 2019 melaporkan bahwa 11 orang tewas akibat kecelakaan karena cuaca ekstrem. Beberapa terperangkap di dalam mobil akibat suhu dingin dan salju yang deras. Pemerintah Jerman bahkan menetapkan kawasan Bavaria dengan status darurat dan mengirimkan 300 tentara ke tiga distrik di sana untuk menolong 350 penduduk yang terjebak salju.

Ketebalan salju di Bavaria mencapai 1,5 meter, mengubur rumah, stasiun kereta, perkantoran, hingga mobil yang terjebak di jalanan. Pemerintah menutup kantor karena jalanan tertutup salju dan pepohonan yang tumbang. Sekitar 100 penerbangan dari Frankfurt dan Munich dibatalkan dengan alasan cuaca buruk.

Beberapa kecelakaan terus dilaporkan bertambah akibat pohon tumbang dan badai salju di beberapa wilayah Jerman.

Alina Jenkins, prediktor BBC Weather, mengatakan bahwa cuaca buruk akan terus menghantam Jerman, Austria, Turki, Balkans dalam beberapa bulan ke depan. Saya membaca berita-berita dua pekan kemudian. Saya mengirim pesan kepada Matthias untuk bertanya kabar dan turut berduka dengan berita buruk dari Jerman akibat cuaca yang ekstrem tersebut. “All good here,” katanya. “Di Jerman sudah hangat.” Diikuti emoticon tertawa.

Lho, kok bisa? “Ya, tidak biasa,” katanya. Dia mengabarkan pagi di Bonn bersuhu dua derajat Celsius tapi siang bisa 16-17 derajat. Bagi orang Jerman, suhu yang menyenangkan bagi orang Indonesia karena setara dengan suhu di Puncak, Bogor, itu lumayan panas. Di Jerman, kata dia, bulan Februari

memang selalu hangat. Suhu terpanas bulan Februari di Jerman terjadi pada 29 Februari 1960 yang mencapai 22,3 derajat Celsius di Kempten. “Tapi di kota yang sama pada 21 Ferbruari 1956 tercatat suhu terdingin, minus 23,8 derajat,” katanya. “Temperatur fluktuatif sejak 1950.”

Di Bonn, kata Matthias, salju turun dua hari pada dua pekan lalu atau akhir Januari 2019. Setelah itu cuaca cerah dan kering. Sewaktu saya di sana, cuaca Bonn mirip dengan di Hamburg: hangat sebentar lalu dingin tiba-tiba dan hujan gerimis yang mempercepat kelam dan mempercepat langkah orang-orang, menghindari cuaca yang anjlok tanpa pemberitahuan. “Maret mungkin akan drop kembali,” kata Matthias.

—Bagja Hidayat

Siang Mendung. Seorang melintasi jembatan di bawah suhu 4 derajat Celsius di Bonn.

Page 70: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest70 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

teroka

KETIKA mereka bersepakat menjadikan hobi “ngopi bareng” untuk dijadikan bisnis membuka kedai, tiga mahasiswa Fakultas Kehutanan ini kebingungan mencari nama. Mereka lalu ingat Mars Rimbawan, yang akrab di telinga para

alumnus Fakultas Kehutanan di kampus mana pun karena ini lagu wajib mereka.

Dalam mars itu ada potongan lirik di stanza keempat: rimba raya... rimba raya/indah permai dan mulia/maha taman tempat kita bekerja. “Mahataman itu bagus, mudah diingat,” kata Mochamad Hendri, yang akrab disapa Ikang. Mustofa dan Aswin Rahadian setuju dengan ide itu. Jadilah, mereka bersiap mendirikan kedai kopi bernama “Mahataman” pada awal 2015.

Ketiganya satu almamater di Fakultas Kehutanan IPB, hanya beda angkatan. Hendri paling muda, angkatan masuk 2008, atau usianya 27 tahun. Mustofa lebih tua dua tahun dan Aswin lebih tua empat tahun. Kendati beda angkatan mereka berteman karena aktif di Rimbawan Pencinta Alam. Selepas lulus, Aswin bekerja di NGO Internasional dan Mustofa di lembaga konsultan.

Tinggal Ikang yang belum bekerja. “Gue enggak bisa ke mana-mana,” katanya. Menurut Mustofa, kalimat itu merujuk pada Indeks Prestasi Ikang yang “dua koma alhamdulillah bisa lulus.” Maka berbisnis adalah cara terbaik bagi Ikang untuk mengembangkan bakat berdagang

yang tak memerlukan pamer ijazah. “Ridwan Kamil pernah bilang, pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar,” kata Ikang, menyebut nama Gubernur Jawa Barat.

Maka ke sanalah mereka: membuka kedai kopi. Ikang yang setiap hari keluyuran di Kota Bogor melaporkan

bahwa kedai kopi bisnis yang menjanjikan karena tak banyak pesaingnya. Waktu itu hanya ada dua kafe yang menyediakan kopi segar, itu pun memakai alat-alat otomatis. “Kalau manual belum ada kafe yang menyediakannya,” kata Ikang.

Analisis pasar sudah ada, keberanian sudah punya, kesempatan juga terbuka, yang belum ada adalah pengalaman. Menurut Mustofa, kendati tiga faktor itu menunjang dalam berbisnis pengalaman nol bisa menjerat mereka ke dalam kesalahan. Kesalahan memang tak bisa dielakkan, “tapi kita harus menguranginya sekecil mungkin.” “Caranya mendengar cerita orang yang sudah sukses,” kata dia.

Dari Hobi Turun ke Kedai KopiTiga mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB yang merintis usaha kedai kopi di Bogor. Bermodal nekat.

Spesialti. Kafe Mahataman yang menyediakan kopi spesialti secara manual di Kampus IPB Dramaga, Bogor.Foto-foto: Mustofa Fato

Page 71: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 71j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Hampir tiap pekan mereka mendatangi kedai-kedai kopi di Jakarta atau Bandung atau kota lain ketika mereka mendapat tugas dari kantor masing-masing. Di Bogor, salah satunya adalah Malabar Mountain Coffee. “Alih-alih dianggap pesaing, pemiliknya sangat senang kami berniat buka kedai,” kata Aswin.

Itu pula kesan yang ditangkap Ikang ketika ia Yogjakarta untuk belajar cara menyeduh kopi manual di Klinik Kopi. Di Yogya, kafe di sana umumnya menyediakan seduh manual. Ikang mempelajari semuanya di sana. Pulang ke Bogor ia menyimpulkan, niat menyediakan seduh manual sudah tepat. “Rasa kopi lebih variatif dan hemat energi karena tak perlu memakai listrik,” katanya.

Dengan modal Rp 5 juta membeli alat seduh, mereka membuka kedai di rumah toko Jalan RE Abdullah di Pasir Jaya, Kota Bogor. Agar tak perlu membayar sewa

tempat, mereka mencari mitra yang mau menyewakan lokasi. Tapi kerja sama itu hanya bertahan delapan bulan karena pemilik ruko menjualnya ke orang lain.

Tak punya tempat untuk kedai, mereka membeli alat roasting kopi untuk memangkas biaya produksi. Ikang membuat kopi bubuk untuk dipasok ke kedai-kedai di Bogor dan Jakarta. Sedangkan ground beans dijual kepada pelanggan rumahan dan kantoran.

Pada Februari 2016 mereka mendapat tawaran mengisi kantin di Gedung Pusat Informasi Kehutanan Fahutan IPB di Dramaga. Pucuk dicita ulam tiba. Mereka tak menyia-nyiakan tawaran itu kendati ongkos sewanya lumayan mahal. Mereka memutuskan mengambilnya dengan

perhitungan biaya sewa akan tercukup dengan menjual kopi seduhan.

Masalahnya adalah mengenalkan seduhan kopi segar kepada mahasiswa dan dosen. Di Bogor saja, kopi seduh manual tak populer, apalagi di kampus. Harganya relatif mahal pula untuk kantong mahasiswa, Rp 6.000 per gelas. “Bulan pertama buka per hari hanya laku satu cangkir,” kata Mustofa.

Untuk mengenalkan kopi single-origin ke mahasiswa, mereka acap ikut menjadi sponsor dalam acara-acara kampus. Awalnya kopi mereka gratiskan sembari memberi tahu mahasiswa bahwa minum kopi yang benar adalah bukan kopi instan. Mereka juga menambahkan sajian cappuccino agar mahasiswa tertarik nongkrong di Mahataman.

Kopi Mahataman merupakan jenis arabika, dari Gayo, Pangalengan, Kintamani, Toraja, sampai Wamena. Mereka memburu biji-biji kopi itu langsung kepada petani atau dari kedai lain ketika tak bisa menjangkau ke daerahnya. “Prioritas utama kami membeli langsung ke petani karena misi kami mengenalkan kopi asli daerah Indonesia,” kata Ikang.

Lambat laun, mahasiswa yang mencibir “kopi pahit” itu mulai menerima kopi racikan Mahataman. Mereka mulai terbiasa meminum kopi “single-origin” tanpa gula. Slogan #ngopidikampus pun mulai populer sehingga pada jam-jam istirahat, mereka datang ke Mahataman. Apalagi, di sana tak hanya menyediakan kopi tapi juga makanan lain.

Kini omzet Mahataman sudah melampaui harga sewa kantin setahun sebesar Rp 20 juta. Kendati untungnya masih tipis, kata Mustofa, penghasilan mereka cukup untuk membayar pegawai dan membeli bahan baku, juga menambah koleksi alat seduh. Ketiga berbagai saham 30 persen. Sebanyak 10 persen merupakan milik “umat” yang akan mereka sedekahkan kelak jika usaha sudah membesar.

Setelah usaha mereka stabil, ketiganya kini paham berbisnis memang hanya perlu “dilakukan” saja. “Istilahnya just do it,” kata Mustafa. “Perencanaan perlu tapi takut mengeksekusinya sama saja bohong.”

“Dan yang penting pakailah hati menjalankannya,” Ikang menambahkan.

—Fitri Andriani

Pendiri. Mustofa (kiri), Aswin Rahadian, Mochamad Hendri

Page 72: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest72 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

bintang

ENDAH N RHESACemas Perubahan Iklim

BAGI Endah Widiastuti, perubahan iklim sudah sangat terasa dampaknya sekarang. Musim yang bergeser, gagal panen, daerah yang menjadi gersang, kekurangan air, adalah dampak nyata pemanasan global yang sedang hangat dibicarakan orang di seluruh dunia. Personel band Endah n Rhesa

ini mengingatkan bahwa perubahan-perubahan itu terjadi kendati Indonesia punya hutan hujan tropis yang luas. “Seharusnya kita bersyukur,” kata perempuan 29 tahun ini kepada Razi Aulia dari Forest Digest Januari lalu. “Karena itu kita harus jaga mereka.”

Menurut Endah, menjaga hutan tak harus bertentangan dengan pembangunan karena yang diperlukan adalah keseimbangan dalam memanfaatkannya. Jika urusan pembangunan dan segala hal besar lainnya menyangkut pengelolaan oleh negara yang kompleks, Rhesa Aditya menambahkan agar menjaga lingkungan sudah dimulai sejak dari individu. “Ya, benar,” kata Endah. “Salah satunya bisa dimulai dengan mengurangi sampah plastik.”

Keduanya menyarankan agar setiap orang meniru kampanye-kampanye para pesohor yang sudah hidup dengan nol sampah plastik. Caranya sederhana: tak memakai alat-alat plastik yang sekali pakai. Endah biasanya berbelanja atau ketika jajan dengan membawa sendok dan sedotan sendiri yang bisa dicuci. Belanja dengan membawa kantong sendiri juga cukup menolong mengurangi sampah plastik yang hanyut ke laut lalu membunuh dan mempengaruhi penghuni air.

Pelantun When You Love Someone dan I don’t Remember tersebut mendukung upaya pemerintah menahan laju kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celsius. Buat mereka mencegah dampak pemanasan global sama pentingnya dengan menjaga bumi. Pasangan suami-istri ini kompak mengatakan bahwa tanggung jawab menjaga lingkungan adalah tugas setiap orang, bukan hanya pemerintah atau lembaga-lembaga negara. —

RIEKA ROSLANKampanye Menanam

IA sangat bersyukur pernah tinggal di Gili Meno, satu dari tiga Kepulauan Gili di barat laut Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rieka tinggal di sana dari tahun 2002 hingga 2007 selepas eluar dari band jazz kenamaan, The Groove. “Saat saya tinggal di sana belum masuk listrik, jadi masih bisa lihat bintang jatuh kalau malam,” kata dia kepada Rina Kristanti dari Forest Digest. Kondisi yang masih alami tersebut banyak menginspirasi album ketiganya yang berjudul Mata Ketiga.

Selama di Gili Meno, selain menulis lagu, Rieka juga aktif mengajak masyarakat sekitar yang mayoritas turis asing untuk menanami lingkungan tempat tinggalnya dengan tanaman-tanaman yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Penyanyi 49 tahun ini selalu memilah sampah rumah tangganya, memisahkan sampah plastik dengan sampah lain.

Menurut penyanyi ini memang sudah seharusnya figur publik dilibatkan dan berperan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan seperti misalnya menjadi Duta Lingkungan Hidup. “Tapi seharusnya durasinya jangan terlalu lama, biar lebih banyak publik figur lagi yang bisa terlibat, misalnya 3 bulanan diganti,” katanya. Boleh juga. Layak dicoba! —

Page 73: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest 73j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 74: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest74 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

YANG paling menyenangkan saat lari pagi, atau lari di waktu yang lain, adalah ketika tiba saatnya berada di persimpangan: berhenti atau terus. Ada pertentangan dalam pikiran yang tarik menarik di antara dua kutub itu. Keduanya menyimpan konsekuensi.

Jika berhenti, lemak dan sejenisnya akan menang dan bersorak karena mereka tak terus disiksa dan dibakar menjadi keringat. Jika terus, belum tentu lemak itu juga terbakar. Tapi, yang pasti, tubuh akan kelelahan. Pada

saya, biasanya, persimpangan itu muncul pada 15 menit setelah start.

Memikirkan dua pilihan itu acap kali makan waktu 15 menit bahkan lebih. Sebab setelah melewati “persimpangan” itu, tubuh jadi ringan dan selalu ingin menempuh jarak terjauh dari yang bisa kita capai. Saya selalu percaya bahwa rasa malas dan dorongan berhenti pada 15 menit pertama saat berlari, berasal dari racun dalam tubuh kita. Mereka jadi setan yang mengirim sinyal menyerah ke dalam pikiran kita.

Mereka bisa berasal dari mana saja: racun dalam makanan dan minuman yang kita mangsa 12 jam sebelumnya, udara kotor yang kita hirup di jalanan berpolusi, atau pikiran buruk dari kerungsingan-kerungsingan yang datang dari mana-mana. Mereka adalah racun yang coba memberontak ketika kita hendak mengenyahkannya.

Maka, satu-satunya jalan adalah melawan mereka sekuat tenaga. Jika kita menang, otot mungkin yang rontok. Pada 24 jam setelahnya, sendi kita akan ngilu. Dunia olah raga menyebutnya DOM’s, keterkejutan otot yang mekar karena kontraksi yang tak biasa. Jika DOM’s itu dilawan dengan gerak yang sama secara terus menerus, ia akan mengubah kelelahan menjadi otot yang lebih kenyal.

Sama seperti ketika menambah jarak atau durasi dalam lari. Otot akan kelelahan setelahnya karena mendapat perlakuan tak biasa. Untuk menumbuhkannya lagi hanya perlu dibiasakan, lalu ditambahkan pelan-pelan. Saya selalu ingat apa yang dilakukan Cassius Clay saat ia kecil. Ia ingin jadi anak yang kuat untuk bisa bertinju.

Di Amerika, ketika akar rasialisme belum enyah benar, naik ring pada 1960-an adalah prestise bagi anak kulit hitam. Maka ia berlatih mengangkat anak sapi setiap pagi. Setiap pagi pula ia menambah durasi mengangkatnya. Tanpa ia sadari jumlah angkatannya bertambah, padahal bobot anak sapi itu juga bertambah tiap hari. Maka ketika anak sapi itu sudah besar, Cassius tetap bisa mengangkatnya.

Ototnya bertambah kuat setiap kali ia menambah jumlah mengangkat anak sapi itu. Ketika bobot anak sapi tersebut bertambah dua kali lipat, kekuatan ototnya juga meningkat dua kali lipat. Tubuh Cassius menjadi lentur dan pukulannya menjadi bertenaga. Ia kemudian jadi petinju paling terkenal di Amerika, terutama setelah ia mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.

Memenangi “persimpangan” dalam pikiran saat lari adalah kesenangan yang tak bisa dijabarkan, semacam ekstase yang hanya bisa dinikmati tanpa bisa dirumuskan. Otot kita memang lelah tapi ia akan semakin kuat tiap kali kita menggapai pencapaian-pencapaian baru, durasi atau jarak dan bobot yang baru. Sebab otot akan lebih liat dan lentur setelahnya.

Saya tak ingat kapan mulai suka lari. Mungkin sejak kelas 5 SD, sewaktu diajak teman-teman lari setelah subuh pada Sabtu atau Minggu ke Maneungteung, bukit tempat pemancar radio yang 10 kilometer jaraknya dari kampung. Ini tempat nongkrong anak-

anak muda yang membawa pacar sekadar melihat kampung dari ketinggian.

Umumnya mereka berjalan kaki karena sepeda motor belum musim pada pertengahan 1980. Banyak juga keluarga-keluarga yang membawa anak-anak, juga tikar dan rantang berisi makanan. Mereka piknik di hari libur sekolah.

Jalan menanjak yang beraspal itu adalah arena menguji tungkai dan paru-paru, juga mental. Mencapai puncak

tanpa kelelahan dan pingsan adalah medali setiap anak yang bisa menempuhnya. Semangat persaingan bercokol dalam pikiran dan kegembiraan.

Sekarang lari jadi semacam rutinitas dengan motif yang berbeda: sayang pada oksigen yang melimpah. Bagi yang tinggal di Bogor, kerugian terbesar adalah bangun siang lalu kehilangan kesempatan menghirup oksigen yang melimpah itu di bawah suhu 23 derajat. Sebab saya pernah tinggal di Jakarta dan berlari bersama asap knalpot yang menderu-deru pada pukul 5. Sungguh tak menyenangkan. Rasanya tak ada jam-jam udara bersih, bahkan di Senayan pada pukul 4 sore dan 6 pagi.

Lari pun jadi terasa genting. Tak ada “persimpangan” yang tiba karena laju kaki bisa tiba-tiba dihentikan oleh sepeda motor yang berbelok tanpa lampu sen, juga mobil yang merasa terhalangi dengan klakson yang tiba-tiba ada di dekat telinga.

Dalam keriuhan seperti itu, lari bukan prosesi untuk merenung dan mengolah raga, juga pikiran dalam “persimpangan-persimpangan yang menyenangkan”. Dalam keramaian seperti itu, lari bukan lagi sebagai meditasi.

Sebab pada lari sebagai meditasi, hanya ada aku, ruang, dan waktu…

—Bagja Hidayat

Lari sebagai Meditasi

oase

Page 75: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret

F rest D gest com

lebih interaktifklik

Page 76: F rest D gest Pohon Langka Sensor Hara Keluarga Cemara ...BUMI YANG MEMANAS Sensor Hara Pohon Langka Keluarga Cemara dari Puncak Bukit SALJU DI BERLIN F rest D gest 10 januari-maret