1
20 O NCE upon a time, there were a husband and a wife. The husband’s name was Sangkajang and the wife’s name was Nyai Rangkas. It was not easy for them to get married. Nyai Rangkas was not a human. She was a goddess. She loved Sangkajang very much. She was willing to leave the heaven and lived on earth with her husband. The couple had been married for a long time and they did not have any chil- dren yet. Nyai Rangkas really wanted to have her own children. And in one night she had a dream. She was meditating on a big stone near the river. After she nished meditating, she would be pregnant. Nyai Rangkas was sure that the dream was the guidance for her to have her own children. She told her husband about her dream and asked his permission to meditate. Her husband did not agree. It was not a safe place. There were lots of wild animals there. However Nyai Rangkas had already made up her mind. So when her husband was sleeping, she secretly left. She went to the river to find the big stone. She found it! She immediately sat on it and began her meditation. Meanwhile, Sangkajang woke up in the morning and did not nd his wife next to him. He was looking for her but he could not nd her. Then he remembered about her wife’s dream. He was sure that his wife was meditating on a big stone near the river. He went to the river. Suddenly some wild wolves stopped him. The wolves were grin- ning showing their sharp teeth. In just a minute the wolves attacked Sangkajang. He ran fast but sadly the wolves ran faster. They jumped and attacked him. Sang- kajang died instantly. In the meantime, Nyai Rangkas was meditat- ing. Then she heard a voice telling her that she would be pregnant soon. She was asked to take care of the baby very well, because he would be a great man some- day. It was the voice of the God of Wind. Nyai Rangkas was very hap- py. She nished meditating and went home. However she could not nd her husband. She was looking for him everywhere. She kept on calling her husband’s name. Then she found some blood on the ground. She followed the blood trail and she was shocked! She found her husband lying on the ground. He was dead. Nyai Rangkas was crying terribly. She felt so sorry. But it was too late. After she buried her husband’s body, she continued walking. Nyai Rangkas was completely clueless. She did not know where to go. She was lost. Nyai Rangkas arrived at a cave. She wanted to stay inside the cave. And when she was inside the cave, she met an old woman. Nyai Rangkas asked her permis- sion to stay in the cave. The old woman gave her permission. She felt very sorry after she heard that Nyai Rangkas just lost her husband. Time passed by and Nyai Rangkas still lived in the cave with the old woman. And nally a baby boy was born. Nyai Rangkas was extremely happy. She named him Mandangin. Mandangin grew as a good son. He loved his mo- ther very much. He always helped her. And when he was adult, he told his mother that he wanted to wander. His mother knew he could not stop his son’s wish. She remembered the God of Wind’s voice when she meditated that her son would be a great man. Mandangin arrived in a village. Some people tried to rob him. They were thieves! Man- dangin fought them brave- ly! And remem- ber, Man- dangin was not an ordinary man. His mother was a goddess. So he was a half human and a half god. He possessed the half power that gods had. And it was easy for him to beat those thieves. The people were hap- py. They had been living in danger because those thieves always ruined their lives. The villagers asked Mandangin to stay. And because the villagers had no a leader, they asked him to be their leader. Manda- ngin agreed. And later he just did not become the head of the village. He became a king! FUN WITH ENGLISH Jika kamu suka menggambar dan menulis puisi atau cerpen, kirimkan karyamu ke Media Anak, Jl Pilar Mas Raya Kav A-D, Kompleks Delta Kedoya, Jakarta Barat. Kalian juga bisa mengirimkannya dalam bentuk soft copy dengan cara di-scan atau difoto. Lalu kirim ke [email protected]. Tersedia bingkisan menarik buat kamu. Jangan lupa untuk mencantumkan identitas, alamat dan nomor telepon kalian, ya! Gabung juga di Fan Page Pacebook Media Anak INFO LUKISAN MENARI TARIAN DAERAH Ela Kelas 3 SD Tarakanita, Jakarta HIDUP INDONESIAKU Alya Zhafira Putri, 8 tahun SD Al-Kamal, Kedoya, Jakarta Barat F OLKLORE FROM C ENTRAL K ALIMANTAN Mandangin RAGAM Andaikan tidak Ada Air… PUISI Kisah tentang Anak Jalanan Hatinya mencerminkan dia ingin menjadi sukses Senyumannya mencerminkan kesyukurannya telah diberi hidup Langkah kakinya mencerminkan usahanya ... Yang takkan pernah berhenti hingga mencapai kesuksesan Ya Allah .... Mengapa aku selalu tak tega ketika melihat semua ini... Aku tak tega harus melihat anak-anak seumuranku Berjualan koran...mengamen.... Apakah memang ini yang dinamakan takdir? Takdir yang pahit... Yang harus diterima dengan hati yang tabah dan sabar Aku berharap semoga orang yang berhati sabar seperti mereka Menjadi orang yang sukses kelak Bella Ayu Maharani, 11 tahun Kelas 6A SDIT At Taqwa Wiyung, Surabaya Renungan Kehidupan Keceriaan… Semua terkandung dalam sinar mentari Pagi itu sinar mentari memulai keceriaan kita Tapi… Tiba-tiba segerombolan air bergelombang datang Menggulung satu persatu warga Keluargaku, temanku, juga desaku hancur seketika Aku mendengar teriakan, “Tolong-tolong...” Tapi aku tak kuasa apa-apa Aku hanya bisa meneteskan air mata Ya Allah… Apa yang terjadi dengan bumiku? Apakah ini peringatan bagiku? Ya Allah… Maafkanlah aku Maafkanlah keluargaku Maafkanlah temanku Setelah air menyurut Aku melihat mayat bergelimpangan Mayat keluargaku dan temanku berceceran di mana-mana Aku tidak tega melihat semua ini Ya Allah… Maafkanlah aku Humaira Amirani Nugrahardo Kelas 4 Arafah SD Islam Al-Azhar 27, Cibinong FREDY “Daaah…!!!” seru Tio kepada teman-temannya sambil melambaikan tangan. Teman-temannya membalas lambaian itu. Mereka mengakhiri permainan sepak bola pada hari itu saat matahari terik di atas ubun-ubun membuat mereka kepa- nasan. Tio berjalan kaki dengan santai. Untung saja di pinggir jalan yang dilalui Tio masih ditumbuhi pepohonan rindang. Terik ma- tahari tidak begitu dirasakan Tio saat perjalanan pulang. Jarak antara lapangan tempat ia bermain sepak bola dan rumahnya memang cukup jauh. Ia pun agak kecapekan saat berjalan pulang. Tiba-tiba, Tio merasa pusing. “Duh, aku kok pusing begini ya… duh…” keluh Tio sembari memegangi kepalanya. Ia mempercepat langkahnya, sambil sesekali berlari. Kemudian, ia melihat seorang pemuda membuang kaleng minuman kosong ke dalam selokan yang kotor, banyak sampah. Pemuda itu tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilaku- kan dan dengan santainya berlalu membiarkan kaleng itu di dalam selokan. “Hiii… selokannya kotor banget! Yakz, joroknya minta am- pun!” kata Tio lirih. Tio segera pergi meninggalkan tempat itu. Tio berlari agar cepat sampai ke rumahnya ka- rena kepalanya masih terasa pening. Sesampai di rumah, tujuan per- tama Tio menemui ibunya un- tuk menanyakan penyebab pusingnya. Tio yakin 100% bahwa ibunya sedang berada di dapur un- tuk memasak makan siang. Dan ternyata dug- aan Tio benar, ia me- lihat ibunya di dapur sedang membuat jus jambu. “Bu, kok aku pusing begini ya?” tan- ya Tio manja. “Kamu harus banyak minum air putih! Ayo minum dulu,” jawab ibunya sambil menatap anak tersayangnya itu. “Apa hubungannya pusing de- ngan banyak minum air putih, Bu?” tanya Tio ingin tahu. “Kepala kamu pusing karena kamu dehidrasi,” kata ibu. “Dehi… dehirasi… apa tadi na- manya?” tanya Tio polos. “Dehidrasi,” ucap ibu lebih pelan. “Apa itu, ya?” tanya Tio lagi. “Kita bisa terkena dehidrasi jika tubuh kita kekurangan air. Kita bisa merasakan sakit kepala. Jika sudah terkena dehidrasi, kita harus minum air putih yang banyak agar tubuh kita tidak kekurangan air,” ibu menjelaskan. “Oooh…” Tio membulatkan mulutnya. De- ngan polos, anak yang baru duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar itu bergegas menuju dispenser dan mengambil air mineral untuk meminumnya. “Ahh… segarnya, panas-panas begini minum air segar…” ucapnya. Tio melangkah mendekati ibunya lalu duduk di kursi yang dekat dengan ibunya yang sedang membereskan sesuatu. “Bu, tubuh kita kan bisa kekurangan air, bagaimana dengan bumi ya? Apakah bumi bisa kekurangan air juga?” tanya Tio memecah keheningan. “Oh, jelas saja bisa. Bahkan, beberapa negara telah mengalami kekurangan air, lo!” jawab ibu. “Negara mana, Bu? Indonesiakah?” selidik Tio seperti detektif cilik. “Mmm, di antaranya Mesir, Polandia, Maroko dan banyak lagi. Kalau Indonesia termasuk negara makmur air, Indonesia kan punya julukan negara maritim, yang berarti wilayah perairan- nya lebih luas daripada daratannya. Selain In- donesia, negara yang makmur air yaitu Jepang, Amerika, Inggris, dan masih banyak negara lain lagi yang makmur air,” jelas ibu panjang lebar. Tio mengangguk kecil, lalu berkata, “Yes!!!, In- donesia negara makmur air, jadi air di Indonesia banyak!” seru Tio girang. “Lho!!, walaupun Indonesia negara makmur air, kamu nggak boleh suka boros air dan mengo- tori air sembarangan, contohnya membuang sampah di selokan, sungai, dan tempat lain- nya,” ucap ibu. “Oya, bagaimana ya kalau kita hidup tanpa air?” tanya Tio polos. “Kalau enggak ada air, kita tak akan hidup. Karena se- bagian tubuh kita mengan- dung air, juga makhluk lainnya sangat membutuhkan air untuk hidup. Apalagi Fisi, ikan peliharaanmu itu. Kamu letakkan di darat, pasti tak akan lama ikan itu mati, sama halnya seperti manusia,” jelas ibu lagi de- ngan serius. “Kita juga eng- gak bisa minum, makan, makanan laut enggak ada, baju enggak bisa dicuci, enggak bisa mandi dan gosok gigi. Hii… jijik!” Oya, Bu. Tadi aku ngelihat orang buang sampah di selokan, selokannya jadi kotor deh!” celetuk Tio. Ibu tersenyum lalu berkata, “Jangan mencontoh orang yang buang sampah sembarangan ya, di mana saja. Kalau melihat temanmu buang sampah sembarangan, diingatkan ya, oke!” “Oke!” seru Tio. “Nah, sekarang kamu pasti lapar. Ayo ma- kan siang dulu, yuk! Ada jus jambu dan soto kesukaanmu, lo!” ajak ibu sembari menyiapkan sepiring nasi soto dan segelas jus jambu. “Hmm, pasti enak, yummy! Oh iya, kalau enggak ada air pasti enggak bisa makan soto dan nggak bisa minum jus jambu!” celetuk Tio. Hahaha…heee… ?” (M-2) Azharine Purwa Jingga Kelas 5, SDIT At-Taqwa Surabaya Pemenang Kompetisi Menulis dalam Rangka Hari Air di Facebook Media Anak MINGGU, 27 MARET 2011 EBET

F FROM CENTRAL KALIMANTAN tidak Ada Air… O · sorry after she heard that Nyai Rangkas just lost her husband. Time passed by and Nyai Rangkas still lived in the cave with the old

  • Upload
    dangdat

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

20

ONCE upon a time, there were a husband and a wife. The husband’s name was Sangkajang and the wife’s name was Nyai Rangkas. It was not easy for them to get married. Nyai Rangkas was not a human. She was

a goddess. She loved Sangkajang very much. She was willing to leave the heaven and lived on earth with her husband. The couple had been married for a long time and they did not have any chil-dren yet. Nyai Rangkas really wanted to have her own children. And in one night she had a dream. She was meditating on a big stone near the river. After she fi nished meditating, she would be pregnant.

Nyai Rangkas was sure that the dream was the guidance for her to have her own children. She told her husband about her dream and asked his permission to meditate. Her husband did not agree. It was not a safe place. There were lots of wild animals there. However Nyai Rangkas had already made up her mind. So when her husband was sleeping, she secretly left. She went to the river to find the big stone. She found it! She immediately sat on it and began her meditation. Meanwhile, Sangkajang woke up in the morning and did not fi nd his wife next to him. He was looking for her but he could not fi nd her. Then he remembered about her wife’s dream. He was sure that his wife was meditating on a big stone near the river.

He went to the river. Suddenly some wild wolves stopped him. The wolves were grin-ning showing their sharp teeth. In just a minute the wolves attacked Sangkajang. He ran fast but sadly the wolves ran faster. They jumped and attacked him. Sang-kajang died instantly. In the meantime, Nyai Rangkas was meditat-ing. Then she heard a voice telling her that she would be pregnant soon. She was asked to take care of the baby very well, because he would be a great man some-day. It was the voice of the God of Wind. Nyai Rangkas was very hap-

py. She fi nished meditating and went home. However she could not fi nd her husband. She was looking for him everywhere. She kept on calling her husband’s name. Then she found some blood on the ground. She followed the blood trail and she was shocked! She found her husband lying on the ground. He was dead.

Nyai Rangkas was crying terribly. She felt so sorry. But it was too late. After she buried her husband’s body, she continued walking. Nyai Rangkas was completely clueless. She did not know where to go. She was lost. Nyai Rangkas arrived at a cave. She wanted to stay inside the cave. And when she was inside the cave, she

met an old woman. Nyai Rangkas asked her permis-sion to stay in the cave. The old woman gave her permission. She felt very sorry after she heard that Nyai Rangkas just lost her husband. Time passed by and Nyai Rangkas still lived in the cave with the old woman. And fi nally a baby boy was born. Nyai Rangkas was extremely happy. She named him Mandangin.

Mandangin grew as a good son. He loved his mo-ther very much. He always helped her. And when he was adult, he told his mother that he wanted to wander. His mother knew he could not stop his son’s wish. She remembered the God of Wind’s voice when she me ditated that her son would be a great man.

Mandangin arrived in a village. Some people tried to rob him. They were thieves! Man-

dangin fought them brave-

l y ! A n d r e m e m -ber, Man-

dangin was not an ordinary man. His mother was a goddess. So he was a half human and a half god. He possessed the half power that gods had. And it was easy for him to beat those thieves.

The people were hap-py. They had been living in danger because those thieves always ruined their lives. The villagers asked Mandangin to stay. And because the villagers had no a leader, they asked him to be their leader. Manda-ngin agreed. And later he just did not become the head of the village. He

became a king!

FUN WITH ENGLISH

Jika kamu suka menggambar dan menulis puisi atau cerpen, kirimkan karyamu ke Media Anak, Jl Pilar Mas Raya Kav A-D, Kompleks Delta Kedoya, Jakarta Barat. Kalian juga bisa mengirimkannya dalam bentuk soft copy dengan cara di-scan atau difoto. Lalu kirim ke [email protected]. Tersedia bingkisan menarik buat kamu. Jangan lupa untuk mencantum kan identitas, alamat dan nomor telepon kalian, ya! Gabung juga di Fan Page Pacebook Media Anak

INFO

LUKISAN

MENARI

TARIAN DAERAH

Ela Kelas 3 SD Tarakanita, Jakarta

HIDUP INDONESIAKU

Alya Zhafira Putri, 8 tahunSD Al-Kamal, Kedoya, Jakarta Barat

FOLKLORE FROM CENTRAL KAL IMANTAN

Mandangin

RAGAM

Andaikan tidak Ada Air…

PUISI

Kisah tentang Anak Jalanan

Hatinya mencerminkan dia ingin menjadi suksesSenyumannya mencerminkan kesyukurannya telah diberi hidupLangkah kakinya mencerminkan usahanya ...Yang takkan pernah berhenti hingga mencapai kesuksesan Ya Allah .... Mengapa aku selalu tak tega ketika melihat semua ini... Aku tak tega harus melihat anak-anak seumuranku Berjualan koran...mengamen.... Apakah memang ini yang dinamakan takdir?Takdir yang pahit...Yang harus diterima dengan hati yang tabah dan sabarAku berharap semoga orang yang berhati sabar seperti merekaMenjadi orang yang sukses kelak Bella Ayu Maharani, 11 tahun Kelas 6A SDIT At Taqwa Wiyung, Surabaya

Renungan Kehidupan

Keceriaan…Semua terkandung dalam sinar mentariPagi itu sinar mentari memulai keceriaan kita Tapi… Tiba-tiba segerombolan air bergelombang datang Menggulung satu persatu warga Keluargaku, temanku, juga desaku hancur seketikaAku mendengar teriakan, “Tolong-tolong...”Tapi aku tak kuasa apa-apaAku hanya bisa meneteskan air mata Ya Allah… Apa yang terjadi dengan bumiku? Apakah ini peringatan bagiku?Ya Allah…Maafkanlah akuMaafkanlah keluargakuMaafkanlah temanku Setelah air menyurut Aku melihat mayat bergelimpangan Mayat keluargaku dan temanku berceceran di mana-manaAku tidak tega melihat semua iniYa Allah…Maafkanlah aku

Humaira Amirani NugrahardoKelas 4 Arafah SD Islam Al-Azhar 27, Cibinong

FREDY

“Daaah…!!!” seru Tio kepada teman-temannya sambil melambaikan tangan. Teman-temannya membalas lambaian itu. Mereka mengakhiri permainan sepak bola pada hari itu saat matahari terik di atas ubun-ubun membuat mereka kepa-nasan. Tio berjalan kaki dengan santai.

Untung saja di pinggir jalan yang dilalui Tio masih ditumbuhi pepohonan rindang. Terik ma-tahari tidak begitu dirasakan Tio saat perjalanan pulang. Jarak antara lapangan tempat ia bermain sepak bola dan rumahnya memang cukup jauh. Ia pun agak kecapekan saat berjalan pulang. Tiba-tiba, Tio merasa pusing.

“Duh, aku kok pusing begini ya… duh…” keluh Tio sembari memegangi kepalanya. Ia mempercepat langkahnya, sambil sesekali berlari. Kemudian, ia melihat seorang pemuda membuang kaleng minuman kosong ke dalam selokan yang kotor, banyak sampah. Pemuda itu tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilaku-kan dan dengan santainya berlalu membiarkan kaleng itu di dalam selokan.

“Hiii… selokannya kotor banget! Yakz, joroknya minta am-pun!” kata Tio lirih. Tio segera pergi meninggalkan tempat itu. Tio berlari agar cepat sampai ke rumahnya ka-rena kepalanya masih terasa pening.

Sesampai di rumah, tujuan per-tama Tio menemui ibunya un-tuk menanyakan penyebab pusingnya. Tio yakin 100% bahwa ibunya sedang berada di dapur un-tuk memasak makan siang.

Dan ternyata dug-aan Tio benar, ia me-lihat ibunya di dapur sedang membuat jus jambu. “Bu, kok aku pusing begini ya?” tan-ya Tio manja. “Kamu harus ba nyak minum air putih! Ayo minum dulu,” jawab ibunya sambil menatap anak tersayangnya itu.

“Apa hubungannya pusing de-ngan banyak minum air putih, Bu?” tanya Tio ingin tahu. “Kepala kamu pu sing karena kamu dehidrasi,” kata ibu. “De hi… dehirasi… apa tadi na-manya?” tanya Tio polos. “Dehidrasi,” ucap ibu lebih pelan. “Apa itu, ya?” tanya Tio lagi.

“Kita bisa terkena dehidrasi jika tubuh kita kekurangan air. Kita bisa merasakan sakit kepala. Jika sudah terkena dehidrasi, kita harus minum air putih yang banyak agar tubuh kita tidak kekurangan air,” ibu menjelaskan.

“Oooh…” Tio membulatkan mulutnya. De-ngan polos, anak yang baru duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar itu bergegas menuju dispenser dan mengambil air mineral untuk meminumnya.

“Ahh… segarnya, panas-panas begini minum air segar…” ucapnya. Tio melangkah mendekati ibunya lalu duduk di kursi yang dekat dengan ibunya yang sedang membereskan sesuatu.

“Bu, tubuh kita kan bisa kekurangan air, bagaimana dengan bumi ya? Apakah bumi bisa kekurangan air juga?” tanya Tio memecah keheningan.

“Oh, jelas saja bisa. Bahkan, beberapa negara telah mengalami kekurangan air, lo!” jawab ibu. “Negara mana, Bu? Indonesiakah?” selidik Tio seperti detektif cilik.

“Mmm, di an taranya Mesir, Polandia, Maroko dan banyak lagi. Kalau Indonesia termasuk negara makmur air, Indonesia kan punya julukan negara maritim, yang berarti wilayah perairan-nya lebih luas daripada daratannya. Selain In-donesia, negara yang makmur air yaitu Jepang, Amerika, Inggris, dan masih ba nyak negara lain lagi yang makmur air,” jelas ibu panjang lebar. Tio mengangguk kecil, lalu berkata, “Yes!!!, In-donesia negara makmur air, jadi air di Indonesia banyak!” seru Tio girang.

“Lho!!, walaupun Indonesia negara makmur air, kamu nggak boleh suka boros air dan mengo-

tori air sembarangan, contohnya membuang sampah di selokan, sungai, dan tempat lain-

nya,” ucap ibu. “Oya, bagaimana ya kalau kita hidup tanpa air?” tanya

Tio polos. “Kalau enggak ada air, kita

tak akan hidup. Karena se-bagian tubuh kita mengan-

dung air, juga makhluk lainnya sangat membutuhkan air

untuk hidup. Apalagi Fisi, ikan peliharaanmu

itu. Kamu letakkan di darat, pasti tak akan lama ikan itu mati, sama halnya seperti manusia,” jelas ibu lagi de-ngan serius.

“Kita juga eng-gak bisa minum,

makan, makanan laut enggak ada, baju

enggak bisa dicuci, enggak bisa mandi dan

gosok gigi. Hii… jijik!” Oya, Bu. Tadi aku ngelihat orang

buang sampah di selokan, selokannya jadi kotor deh!”

celetuk Tio. Ibu tersenyum lalu berkata, “Jangan mencontoh orang

yang buang sampah sembarangan ya, di mana saja. Kalau melihat temanmu buang sampah sembarangan, diingatkan ya, oke!” “Oke!” seru Tio.

“Nah, sekarang kamu pasti lapar. Ayo ma-kan siang dulu, yuk! Ada jus jambu dan soto kesukaanmu, lo!” ajak ibu sembari menyiapkan sepiring nasi soto dan segelas jus jambu.

“Hmm, pasti enak, yummy! Oh iya, kalau enggak ada air pasti enggak bisa makan soto dan nggak bisa minum jus jambu!” celetuk Tio. “Hahaha…heee… ?” (M-2)

Azharine Purwa JinggaKelas 5, SDIT At-Taqwa Surabaya

Pemenang Kompetisi Menulis dalam Rangka Hari Air di Facebook Media Anak

MINGGU, 27 MARET 2011

EBET