19
EXECUTIVE SUMMARY GERAKAN SOSIAL DALAM AKTIVITAS POLITIK DAN EKONOMI Studi Kasus Gerakan Sosial dalam Pilkada Kota Makassar 2018 dan Pendirian Koperasi Syariah 212 Mart Benteng Tangerang 2018 Peneliti: Mohammad Mulyadi PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

EXECUTIVE SUMMARY - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian... · pemerintahan Orde Baru ketika itu. ... dampak dari proses serupa di kawasan

  • Upload
    lythien

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

EXECUTIVE SUMMARY

GERAKAN SOSIAL DALAM AKTIVITAS POLITIK DAN EKONOMI

Studi Kasus Gerakan Sosial dalam Pilkada Kota Makassar 2018 dan

Pendirian Koperasi Syariah 212 Mart Benteng Tangerang

2018 Peneliti:

Mohammad Mulyadi

PUSAT PENELITIAN

BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gerakan sosial biasanya lahir dari sebuah situasi yang tidak diinginkan rakyat. Situasi

dimana terjadi ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain

gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkannya atau

menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Biasanya gerakan sosial seperti

itu mengambil bentuk dalam aksi berkumpul dan melakukan protes di tempat yang dapat

mengundang perhatian para pengambil kebijakan.

Protes yang dilakukan merupakan bentuk perlawanan yang sebenarnya selama

beradab-abad banyak dilakukan oleh manusia terhadap ketidakadilan. Perlawanan tersebut

baik dilakukan sendirian maupun berkelompok yang digerakkan oleh satu tujuan yaitu

tercapainya keadilan.

Salah satu bentuk gerakan sosial yang cukup besar di tanah air adalah aksi Mei

1998, gerakan sosial yang dimotori oleh mahasiswa tersebut berhasil menggulingkan rezim

pemerintahan Orde Baru ketika itu. Mereka menuntut pemerintahan Orde Baru yang dinilai

tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama

32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan amanah rakyat

sehingga mereka melakukan gerakan sosial berupa demonstrasi.

Gerakan sosial atau social movement adalah aktivitas sosial berupa gerakan atau

tindakan sekelompok orang yang bersifat formal atau informal agar tujuan yang diinginkan

tercapai. Gerakan sosial biasanya berfokus pada isu-isu yang mendukung atau menolak

sebuah kebijakan. Dalam beberapa kasus gerakan sosial biasanya

B. Fokus Penelitian

Dukungan para relawan melalui gerakan sosial dalam politik menarik untuk dikaji

sebab menggambarkan bagaimana komunitas relawan bergerak dalam politik praktis untuk

menempatkan kandidatnya sebagai kepala daerah. Fokus penelitian terletak pada aspek-

aspek mengapa dan bagaimana gerakan sosial tersebut terjadi dalam pilkada dan pendirian

koperasi syariah 212 mart, dimana, selanjutnya dioperasionalkan dalam pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa gerakan sosial terjadi dalam Pilkada di Kota Makassar Tahun 2018 dan

pendirian koperasi syariah 212 mart Benteng di Kota Tangerang

2. Bagaimana bentuk gerakan sosial terjadi dalam Pilkada di Kota Makassar Tahun 2018

dan pendirian koperasi syariah 212 mart Benteng di Kota Tangerang?

2

II. KAJIAN PUSTAKA

A. Gerakan Sosial

Gerakan sosial merupakan salah satu ciri dari perkembangan demokrasi. Dalam

Tesisnya, Huntington (2001:13) menyebut tiga periode perkembangan demokrasi.1

Gelombang pertama, terjadi pada kurun waktu 1828-1926, dimulai di Eropa dan dipicu oleh

perkembangan di bidang sosial dan ekonomi. Kemajuan di bidang ekonomi, industrialisasi,

urbanisasi, dan meningkatnya jumlah kelompok kelas menengah oleh Huntington dianggap

sebagai penyebab utama tumbuhnya demokrasi di sejumlah negara Eropa saat itu.

Gelombang kedua terjadi pada kurun waktu 1943-1962 dan penyebab utamanya adalah

faktor politik dan militer. Menyusul kemenangan pihak Sekutu pada Perang Dunia Kedua,

beberapa negara kemudian beralih ke demokrasi. Gelombang kedua ini berlanjut di

sejumlah negara yang baru merdeka menyusul proses dekolonisasi. Demokratisasi

gelombang ketiga dimulai tahun 1974 dengan faktor penyebab yang lebih kompleks

dibandingkan dua gelombang terdahulu. Empat di antaranya adalah melemahnya legitimasi

rejim otoriter, perkembangan di sektor ekonomi, dampak dari proses serupa di kawasan

(snowball effect), dan tekanan dari luar. Huntington memberi sebutan gelombang ketiga

(third wave) untuk proses demokratisasi yang terjadi mulai pertengahan 1970-an sampai

awal 1990-an. Dimulai dari Revolusi Mawar di Portugal sampai dengan perubahan politik di

negara-negara eks Blok Timur menyusul usainya Perang Dingin.

Memahami pola yang disusun oleh Huntington, proses demokratisasi di Indonesia

terjadi karena melemahnya legitimasi rezim otoriter sehingga membuka peluang munculnya

kelompok-kelompok sosial yang melakukan gerakan sosial. Hal tersebut dapat kita lihat

ketika rezim Orde Baru jatuh dan Indonesia memasuki era reformasi, dimana kemerdekaan

berpendapat dan berserikat jauh meningkat lebih baik.

Sesuai definisinya, teori mengenai gerakan sosial tersebut berakar dalam dan

dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan yaitu fungsionalisme. Fungsionalisme melihat

masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem di mana seluruh bagiannya saling bergantung

satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Fungsionalisme

menekankan kesatuan masyarakat dan apa yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Itulah

sebabnya maka penganut fungsionalisme cenderung melihat gerakan sosial sebagai negatif,

yakni menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni masyarakat. Teori konflik pada

dasarnya menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah

kepentingan dasar di mana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya.

Kedua, kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan ini melahirkan perjuangan untuk

mendapatkannya. Dan ketiga, nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh

berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing.

Para Ahli berbeda pendapat mengenai apa itu gerakan sosial dan bagaimana kita

mempelajarinya. Beberapa sarjana menekankan aspek organisasi dan tujuan dari gerakan-

gerakan sosial. Michael Useem, misalnya, mendefinisikan gerakan sosial sebagai “tindakan

kolektif terorganisasi, yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial.” John

McCarthy dan Mayer Zald melangkah lebih rinci, dengan mendefinisikan gerakan sosial

1 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2001, hal. 16

3

sebagai “upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apa

pun yang bernilai secara sosial”. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak perseteruan

(contentious) atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya.

Dalam definisinya, gerakan-gerakan sosial adalah “upaya-upaya mengadakan perubahan

lewat interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan di antara warganegara

dan negara.”2

Studi-studi tentang gerakan sosial mengalami banyak perubahan, terutama

bagaimana para ahli memberikan definisi tentang gerakan sosial. Menurut Ihsan Ali Fauzi

dalam Quintan Wiktorowicz (2002:9), “revolusi” tentang gerekan sosial terjadi akibat

berlangsungnya turbulensi politik pada era 1960-an di Amerika Serikat dan Eropa.

Sebelumnya, gerakan-gerakan sosial dipelajari sebagai subbidang di bawah kerangka besar

pendekatan aksi-aksi kolektif (collective actions). Sekalipun tidak semua ahli bersepakat

mengenai apa itu gerakan-gerakan sosial, atau apa unsur-unsur pokoknya. Sebab mereka

pada umumnya tidak suka dengan gerakan-gerakan itu atau para aktivisnya. Dimana

mereka merasa gerakan-gerakan sosial yang besar ketika itu dicirikan oleh wataknya yang

ekstremis: fasisme atau komunisme, atau gerakan-gerakan totalitarian lainnya.

B. Transformasi Gerakan Sosial Menjadi Kegiatan Politik

Gerakan sosial dapat saja bertransformasi menjadi gerakan politik yang digerakkan

oleh para relawan. Di Indonesia transformasi gerakan sosial menjadi gerakan politik muncul

pada era pasca reformasi, ketika pintu berdemokrasi terbuka bagi siapa saja yang ingin

mengekspresikan kebebasan berpolitiknya. Hal ini berdampak pada siapapun yang ingin

menyalurkan hak politiknya tanpa takut terintimidasi.

Gerakan relawan politik ini muncul atas ketidakadilan yang mereka sering rasakan di

tengah-tengah kebijakan yang hanya berpihak pada penguasa. Gerakan Sosial merupakan

sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut

perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan

perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks

masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat.

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penguasa membuat para

relawan politik berinisiatif untuk membuat ruang-ruang diskusi untuk menumbuhkan rasa

kebersamaan atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Mereka berkumpul dan bersepakat

untuk mensukseskan salah satu calon yang mereka anggap mampu menyuarakan aspirasi

mereka.

Di Indonesia sendiri, gerakan sosial tersebut juga terjadi dengan adanya tujuan

untuk kesejahteraan bersama. Salah satu contoh gerakan sosial yang bertransformasi

menjadi gerakan politik di Indonesia adalah gerakan reformasi di tahun 1998 yang dilakukan

oleh berbagai kalangan aktivis dan mahasiswa yang menuntut untuk terjadinya reformasi

terhadap rezim yang berkuasa ketika itu. Selain gerakan reformasi, banyak juga gerakan-

gerakan sosial yang dilakukan oleh para mahasiswa maupun buruh dan kalangan lainnya

2 Quintan Wiktorowicz (Ed). Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Paramadina, Edisi Digital. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. 2012, hal. 4

4

yang menuntut keadilan dan menuntut para oknum pemerintahan yang melakukan KKN

(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Gerakan mahasiswa di tahun 1998 pada dasarnya merupakan suatu gerakan sosial

(social movement), yang adalah salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif (collective

behavior). Menurut Turner dan Killan (1972), secara formal gerakan sosial didefinisikan

sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu

untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok

yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Ciri lain gerakan sosial adalah penggunaan cara yang

berbeda di luar institusi yang ada (Kamanto Sunarto, 2004: 199). Dari pengertian tersebut

dapat dilihat cukup banyak gerakan sosial yang ada di Indonesia ini, karena banyak gerakan

kolektif terorganisir yang memiliki tujuan entah untuk membuat perubahan atau menentang

perubahan, terlebih adanya gerakan sosial tersebut dikarenakan oleh adanya perilaku politik

itu sendiri.

C. Transformasi Gerakan Sosial Menjadi Kegiatan Ekonomi

Faktor penyebab munculnya suatu gerakan sosial sering dikaitkan dengan masalah

ekonomi maupun masalah sosial yang dialaminya, atau bahkan bisa juga karena keadaan

politik yang sedang berkembang. Beberapa orang melibatkan diri pada sebuah gerakan

sosial karena adanya rasa kehilangan, kekurangan, atau bahkan penderitaan terhadap

keadaannya atau sebagai dampak dari perubahan sosial yang terjadi yang tidak dapat

diterima yang juga termasuk juga dalam faktor pembentuk kelompok sosial. Sebagai contoh

seperti dibidang ekonomi, ketika beberapa orang kehilangan peluang untuk memenuhi

kebutuhan pokok mereka maupun merasa tidak sependapat dengan kebijakan-kebijakan

ekonomi yang diberlakukan.

Merujuk kebelakang, pendirian Koperasi Syariah 212 Mart lahir dari gerakan sosial

umat Islam ketika terjadi penistaan terhadap kitab suci AL Qur‟an oleh Gubernur DKI Jakarta

Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Bermula dengan pernyataan Ahok yang dianggap telah

melakukan penistaan agama, umat Islam Indonesia kemudian melakukan aksi unjuk rasa

besar yang di beri nama Aksi Bela Islam (ABI). Sejak oktober 2016 hingga maret 2017 ini

terdapat enam kali aksi yang telah dilakukan oleh masyarakat dan Ormas Islam Indonesia,

diantaranya yakni aksi pertama terjadi pada 14 oktober 2016, ribuan Ormas Islam yang

dikomandoi oleh FPI, melakukan aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Pada aksi

tersebut mereka menuntut untuk penyidikan atas kasus penistaan agama yang dilakukan

oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama segera dilakukan. Lalu aksi kedua yakni

Aksi Bela Islam II atau dengan nama lain Aksi Bela Islam 411 terjadi pada hari Jumat, 4

November 2016, seusai sholat Jum‟at. Dipusatkan di depan Istana Negara dengan kapasitas

pendemo yang mengikuti aksi demo tersebut mencapai ratusan ribu massa. Pada aksi demo

kali ini, para pengunjuk rasa menuntut untuk bertemu dengan Presiden Republik Indonesia,

Joko Widodo dan meminta agar Presiden tidak mengintervensi penyidikan kasus tersebut.3

3 http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2017/11/08/54232/menolak-lupa-tragedi-aksi-bela-

islam-411/#sthash.CB8mqRA2.dpbs, diakses tgl. 12 Februari 2018

5

Aksi ketiga yakni Aksi Bela Islam III diadakan pada tanggal 2 Desember 2016 yang

dinamai dengan Aksi Super Damai 212 karena pada aksi tersebut diadakan dalam bentuk

ibadah bersama. Setelah aksi bela Islam 411, umat Islam dibawah komando beberapa

ulama menggelar dzikir dan shalat Jumat di Monas dan sekitarnya.4 Aksi keempat yakni

Aksi 112 atau yang disebut juga Aksi Bela Islam IV yang mana pada aksi ini merupakan aksi

damai lanjutan dari Aksi Bela Islam III. Pada aksi kali ini dilakukan dengan Dzikir dan

tausiyah di Masjid Istiqlal Jakarta.

Aksi kelima yakni aksi 212 atau yang disebut dengan aksi 21 Februari 2017 yang

berlangsung di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Senayan Jakarta Pusat. Dengan tujuan

dari unjuk rasa tersebut menuntut DPR agar mendesak Menteri Dalam Negri menonaktifkan

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berstatus terdakwa. Tuntutan berikutnya yaitu

mendesak pengadilan menginstruksikan untuk menahan Ahok karena dinilai tak bisa

menjaga perkataan sepanjang persidangan.5

Terakhir, aksi keenam yakni aksi 313 atau yang disebut dengan aksi 31 Maret 2017.

Terjadi pertemuan dengan pemerintah yang diwakili oleh Menkopolhukam Wiranto. Dalam

pertemuan itu perwakilan menyampaikan tiga tuntutan aksi 313 kepada Wiranto. Pertama,

meminta pemerintah menghentikan upaya kriminalisasi terhadap para ulama. Kedua,

meminta Presiden Joko Widodo bertemu dengan perwakilan massa aksi. Ketiga, meminta

Presiden Joko Widodo untuk segera memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari

jabatan Gubernur DKI Jakarta karena menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama.6

Gerakan 212 secara jelas telah membawa implikasi politik terhadap berbagai

kekuatan politik di Indonesia. Dampak dari hal tersebut juga berimplikasi pada gerakan

pemberdayaan masyarakat melalui konsolidasi pemberdayaan ekonomi ummat Islam

dengan pendirian Koperasi Syariah 212.

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Di tinjau dari tujuannya, penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi kasus

(case study), yaitu suatu model penelitian yang menekankan pada eksplorasi dari suatu

“sistem yang berbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara

mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam

sumber informasi yang kaya akan konteks (Creswell, 1998 dalam Herdiansyah, 2010:76).

4 https://boemisayekti.wordpress.com/2016/12/03/kliping-aksi-bela-islam-212/, diakses tgl. 12 Februari 2018

5http://nasional.kompas.com/read/2017/02/20/18003651/selasa.besok.massa.aksi.212.datangi.dpr.mulai.puk

ul.08.00.wib, diakses tgl. 12 Februari 2018 6http://nasional.kompas.com/read/2017/03/31/16151101/ini.tiga.tuntutan.perwakilan.massa.aksi.313.ke.wira

nto, diakses tgl. 12 Februari 2018

6

B. Informan Penelitian

Dalam penelitian ini diperlukan informan-informan yang dianggap mampu dan

mempunyai kompetensi untuk memberikan informasi tentang masalah penelitian ini, yaitu

tentang gerakan sosial dalam wujud gerakan politik Pilkada. Sumber data lainnya yang

diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama di lapangan berupa

hasil wawancara, Fokus Group Discussion (FGD) dan pengamatan (observasi) sedangkan

data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder berupa

dokumentasi dan studi kepustakaan.

Adapun teknik pemilihan informan ditentukan secara purposive sampling. Teknik ini

digunakan pada penelitian-penelitian yang lebih mengutamakan tujuan penelitian daripada

sifat populasi dalam menentukan sampel penelitian. Jadi yang akan diambil sebagai anggota

sampel berdasarkan pada pertimbangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.7

C. Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah upaya

penelaahan atas esensi, mencari makna dibalik frekuensi dan variasi (Muhadjir, 2000:6).

Secara operasional analisis data kualitatif adalah proses menyusun data (menggolongkannya

dalam tema atau kategori) agar dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan. Menurut Bogdan

dan Biklen (1992:29) analisis data ini dilakukan selama penelitian di lapangan dan setelah

selesai pengumpulan data. Analisis data selama pengumpulan data di lapangan penelitian ini

dilakukan kegiatan: (1) memantapkan fokus penelitian dan pengumpulan data sesuai

dengan fokus tersebut sehingga tidak bias oleh banyak hal yang kelihatan mungkin menarik;

(2) wawancara dengan informan dimulai dari pertanyaan yang bersifat umum, kemudian

dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih analitik, operasional, fleksibel sesuai

dengan kondisi objektif yang dihadapi di lapangan; (3) setiap sesi pengumpulan data

direncanakan secara jelas, (4) menjaga konsistensi atas ide dan tema atau fokus penelitian,

(5) menuangkan data yang diperoleh dalam catatan lapangan; dan (6) mempelajari

referensi yang relevan untuk menambah dan meningkatkan wawasan dan mempertajam

analisis peneliti berkaitan dengan apa yang sedang dipelajari.

D. Lokasi dan Jadwal Penelitian

Penelitian yang meliputi aktivitas observasi dan wawancara dilaksanakan di Provinsi

Sulawesi Selatan, tanggal 16 Juli s/d 23 Juli 2018 dan tanggal 30 Juli s/d 6 Agustus 2018.

7 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press, 2001, hal. 118

7

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian di Kota Makkassar

1 Mengapa gerakan sosial terjadi dalam politik Pilkada Kota Makassar

Faktor apakah yang menyebabkan munculnya gerakan sosial dalam politik

pilkada di Makassar? Mengapa orang mau melibatkan diri kepada perilaku kolektif

yang bertujuan mempertahankan ataupun mengubah sesuatu di masyarakat? Dalam

kontestasi pilkada Kota Makassar dapat dijumpai berbagai penjelasan, terutama

alasan mengapa orang-orang yang mempunyai hak pilih mau memilih kolom kosong.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil wawancara terhadap beberapa

informan di Kota Makassar, terungkap bahwa orang melibatkan diri dalam gerakan

sosial karena menderita deprivasi di bidang politik yaitu hilangnya peluang dalam

memilih pemimpin yang mereka rasakan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Parpol sebagai pengusung pasangan calon kepala daerah seakan tidak peduli

apakah calon yang diusung memiliki kapabilitas atau tidak. Sebab seseorang bisa

saja diusung dipilkada karena memiliki modal untuk “membeli” kendaraan politik.

Rakyat pada akhirnya tidak diberi banyak pilihan dan “terpaksa” memilih calon

berdasarkan apa yang telah diusung oleh parpol.

Kasus kemenangan kotak (kolom) kosong di Makassar membuka mata publik,

bahwa rakyat makin cerdas dalam menentukan pilihannya. Kemenangan kotak

kosong bisa jadi simbol perlawanan rakyat. Kemenangan kotak kosong dari calon

tunggal pada Pilkada Kota Makassar merupakan sejarah baru di Indonesia.

Fenomena kemenangan kotak kosong dalam Pilwalkot Makassar bentuk kegagalan

elite mengelola keinginan rakyat Makassar. Desain elite politik yang hanya

memajukan satu pasangan calon saja dalam pilwalkot itu dikalahkan oleh keinginan

rakyat. Bahkan, bisa dikatakan elite politik di Makassar telah dipermalukan oleh

rakyatnya lantaran kotak kosong lebih unggul dari calon tunggal.

Fenomena gerakan sosial dalam kontestasi pilkada di Indonesia menjadi

kajian politik yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Kajian tentang

sekelompok orang yang bertindak sebagai volunter dalam mensukseskan pasangan

calon untuk dipilih menjadi kepala daerah atau dalam kasus pilkada Kota Makassar

bertindak untuk memenangkan kotak kosong juga penting untuk dilakukan. Sebab,

peran kelompok ini yang begitu besar dalam membangun sebuah gerakan untuk

memenangkan kotak kosong. Peran kelompok ini yang bertindak sebagai volunter ini

tidak dapat diangggap remeh di tengah krisis kepercayaan kepada partai politik yang

semakin kehilangan legitimasi politiknya. Gerakan sosial yang diinisiasi oleh volunter

akhirnya muncul sebagai kekuatan baru yang mampu menjangkau sektor-sektor

yang tidak mampu dijangkau oleh partai politik. Gerakan sosial ini juga muncul

sebagai gerakan politik non elitis, non partisan, berdaya secara mandiri, dan

bergerak secara massif untuk menuntut adanya sebuah perubahan yang di desain

oleh elit politik namun tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat.

8

Gerakan sosial dalam kasus pilkada di Kota Makassar ini pada akhirnya

mampu berpartisipasi secara politik tanpa partai politik. Pada kasus ini, sekelompok

orang menemukan momentumnya sebagai bentuk kekuatan baru untuk

memenangkan kotak kosong di tengah fenomena pemilih yang semakin cenderung

memilih figur tanpa melihat partai politik yang mendukungnya.

Gerakan sosial yang melakukan perjuangan di jalur politik non-partai

memanfaatkan keterbukaan masyarakat dalam memilih setiap calon yang dianggap

mampu “memperjuangkan aspirasinya”. Oleh karena eksistensi mereka mampu

bertahan dalam menggali potensi sumberdaya gerakan dan memobilisasi jaringan-

jaringan sosial sebagai upaya mendukung kandidat yang dicalonkannya.

Kemunculan gerakan sosial dalam mendukung kolom kosong di Makassar

memancing para aktivis dari komunitas lainnya untuk turut serta menjadi bagian tim

relawan. Ketika gerakan tim relawan semakin membesar, maka dukungan publik pun

semakin meluas. Mereka yang terlihat antusias mendukung kolom kosong antara lain

para

Gerakan sosial ini memanfaatkan hubungan sosial yang sudah dibangun

selama ini. Mereka menyebarkan pesan kampanye secara berantai baik secara

langsung maupun melalui media online, seperti Facebook, Whatsapp dan Twitter.

Mereka bekerja secara sukarela dan mengandalkan biaya secara mandiri (self-

funding). Proses ini senada dengan pendapat Kriesi (Libby, 1998: 18) bahwa para

relawan yang melakukan gerakan sosial dengan jaringan keluarga, pertemanan, dan

hubungan informal lainnya akan memberikan perluasan mobilisasi yang berjalan

massif dan efektif. Perkembangan gerakan sosial yang dibentuk oleh para relawan

kolom kosong menunjukkan adanya jaringan sosial yang membentuk basis dari

gerakan sosial yang dapat dimobilisasi untuk mempengaruhi publik dalam memilih

kolom kosong.

Opini tentang kolom kosong adalah representasi Calon Walikota yang juga

Petahana Danny Pomanto yang “didzholimi” oleh lawannya menjadi “amunisi” aktif

yang digunakan untuk memojokkan posisi lawan. Sehingga Warga Kota Makassar

yang selama ini merasakan langsung sentuhan pembangunan yang dilakukan oleh

Petahana semakin solid memberikan suaranya ke kotak kosong.8

Gerakan sosial yang dilakukan dalam pemenangan kotak kosong di Kota

Makassar tidak mungkin terjadi begitu saja dan tanpa alasan ataupun tujuan yang

tidak jelas, gerakan sosial tentunya terorganisir dan memiliki tujuan demi

kepentingan bersama ataupun kepentingan suatu golongan tertentu yang biasanya

8 Wawancara dengan Drs. Rachmat Azis, Pakar Ilmu Pemerintahan di Makassar. Tanggal 09 Juli 2018

9

ada pada golongan powerless untuk mendapatkan keadilan yang mereka anggap

layak menerimanya.

2. Bagaimana Bentuk Gerakan Sosial Dalam Politik Pilkada Di Makassar

Gerakan sosial dalam kontestasi pilkada di Indonesia menjadi kajian politik

yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Kajian tentang gerakan sosial

juga penting untuk dilakukan. Sebab, gerakan sosial yang begitu besar dalam

membangun basis dukungan untuk memenangkan kandidat yang diusung. gerakan

sosial ini tidak dapat diangggap remeh di tengah krisis kepercayaan kepada partai

politik yang kian kehilangan legitimasi politiknya. Gerakan sosial akhirnya muncul

sebagai kekuatan baru yang mampu menjangkau sektor-sektor yang tidak mampu

dijangkau oleh partai politik dan mampu berpartisipasi secara politik tanpa partai

politik. Pada titik ini, gerakan sosial menemukan momentumnya sebagai bentuk

kekuatan baru upaya pemenangan kandidat di tengah fenomena pemilih yang

semakin cenderung memilih figur daripada partai politik yang mendukungnya.

Pada kontestasi pilkada Kota Makassar 2018, publik dapat melihat bahwa

Mohammad Ramdhan Pomanto atau biasa dikenal sebagai Danny Pomanto yang

juga Petahana mampu mencalonkan diri melalui jalur independen. Menariknya, jalur

independen adalah jalur politik yang dikenal jarang dilakukan oleh calon kepala

daerah petahana yang hendak mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Apalagi,

sebelumnya Danny Pomanto diusung oleh Partai Demokrat dan PBB. Danny

Pomanto dengan gerakan sosial yang terbentuk mampu bergerak secara masif

mencari dukungan politik untuk memuluskan langkahnya maju melalui jalur

independen.

Pasangan bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, Mohammad

Ramdhan Pomanto atau akrab disapa Danny Pomanto dan Indira Mulyasari

Paramastuti maju Pilwalkot Makassar 2018 via jalur independen. Gerakan sosial

dalam Pilkada Kota Makassar ini terbukti dengan adanya sekelompok warga

menggalang pengumpulan KTP untuk Danny Pomanto dan Indira Mulyasari untuk

maju melalui lewat jalur independen.

Menurut Abdul Haris Awie, Ketua Tim Pendataan dukungan pencalonan

perseorangan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi) di Pilwalkot Makassar

2018. "Dukungan terus mengalir secara sukarela oleh warga Kota Makassar, proses

penginputan data-data dilakukan secara sukarela oleh ratusan relawan buat

pasangan dengan tagline dua kali tambah baik".

Munculnya gerakan sosial dalam kontestasi pilkada tidak hanya menjadi

sebuah kritik terhadap kinerja partai politik, melainkan juga sebagai tanda betapa

10

menguatnya demokrasi partisipatoris di negeri ini; yakni demokrasi yang lebih

memberikan kesempatan yang luas bagi partisipasi publik dengan menitikberatkan

pada kepedulian atas beragam problematika sosial di dalam ranah publik. Partisipasi

dalam konteks ini tidak dapat dilihat sebagai mobilisasi politik secara paksa apalagi

berbayar, sebab, relawan bergerak dan berdaya secara sukarela; baik melalui aksi

jalanan (offline) ataupun online. Adanya gerakan sosial tidak hanya pada upaya

memenangkan calon yang didukung, melainkan juga tentang peran pentingnya

dalam menjangkau para pemilih pemula, massa mengambang (floating mass), dan

ranah privat yang berisi aktor kreatif yang selama ini tidak dijangkau oleh partai

politik. Padahal, aktor kreatif yang menggerakkan masyarakat selama ini dikenal

bukan sebagai aktor politik tapi lebih kepada tokoh agama, tokoh masyarakat,

penggerak ekonomi kreatif seperti para pekerja seni, pekerja sosial, budayawan, dan

sebagainya, merupakan creator dan inisiator yang cukup besar dan berpengaruh.

Hanya saja, selama ini, mereka cenderung apatis terhadap politik dan partai politik

disebabkan adanya ketidakpercayaan mereka terhadap sistem politik di negeri ini.

Nahed Eltantawy dan Julie B. Wiest dalam jurnal internasional yang berjudul

“Social Media in the Egyptian Revolution: Reconsidering Resource Mobilization

Theory”,9 menjelaskan gerakan sosial dan dampaknya dengan mengeksplorasi

penggunaan media sosial dalam revolusi Mesir tahun 2011 dengan menggunakan

teori mobilisasi sumberdaya. Teori ini mengatakan bahwa kesuksesan sebuah

pergerakan sosial sangat dipengaruhi oleh waktu, dana, kemampuan berorganisasi,

dan ruang sosial atau politik.

Teori modal sosial di dalam struktur jaringan sosial mengatakan bahwa

jaringan sosial dapat memberikan sebuah informasi atau pengetahuan yang dapat

mempengaruhi sebuah jaringan tersebut. Teori ini juga menjelaskan bahwa

hambatan-hambatan yang terjadi di dalam jaringan sosial tradisional di dalam

masyarakat akibat aturan atau kondisi tertentu (aturan rejim misalnya) akan

mendorong munculnya alternatif jaringan sosial baru yang lebih bebas dengan skala

interaksi yang lebih luas dan tidak terbatas. Media sosial seperti Whatsapp dan

Facebook dianggap sebagai suatu wadah alternatif yang disepakati bersama oleh

sebuah jaringan sosial sehingga dari sana muncul kesepahaman akan nilai-nilai yang

dibangun. Kesepahaman ini biasanya muncul karena ada ikatan-ikatan seperti

persahabatan, relasi bisnis, kepentingan bersama atau kesamaan ideologi.

Hidup dan berinteraksi dengan orang lain disekitar akan membuka ruang

dimensi pengetahuan dan informasi baru. Namun, paradoksnya dalam berinteraksi

sering kali memunculkan sebuah keniscayaan yakni berupa konflik. Manusia

diciptakan oleh Tuhan dengan seperangkat alat hidup. Tidak hanya perangkat-

9 Nahed Eltantawy & Julie B. Wiest, 2011, International Journal of Communication Vol. 5. Diakses pada 19

Oktober 2018 dari https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/1242/597

11

perangkat yang terlihat seperti panca indera, melainkan juga akal dan perasaan agar

manusia hidup didunia tidak sekedar hidup. Melainkan bisa memikirkan dan

memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.

Peduli bukanlah persoalan keuntungan apa yang akan didapatkan, melainkan

suatu keikhlasan dari apa yang dimiliki dan diberikan kepada orang lain. Berbagai

macam varietas gerakan sosial telah banyak bermunculan, salah satunya yakni

agenda pengabdian kepada masyarakat di berbagai aspek yang dilatar belakangi

pada hasrat kepedulian sesama. Pada dasarnya, munculnya gerakan-gerakan sosial

pada ranah masyarakat merupakan entitas pembuktian bahwa pemerintah belum

atau bahkan tidak sanggup menjangkaunya dan juga menjadi kritik atasnya. Namun

perlu diketahui, bahwa untuk mewujudkan cita-cita suatu negara, tidak hanya satu

atau dua instrumen saja yang bergerak, melainkan seluruh komponen yang tercakup

didalamnya. Jadi, gerakan-gerakan sosial (pengabdian) yang telah diinisiasi

merupakan bentuk kesadaran fundamental atas akal dan perasaan yang diberikan

Tuhan kepada inisiator.

B. Hasil Penelitian di Kota Tangerang

1. Mengapa Gerakan Sosial Terjadi Dalam Pendirian Koperasi Syariah

212 Mart Benteng Kota Tangerang

Gerakan 212 adalah sebuah fenomena baru dalam sejarah demokrasi

Indonesia. Ia lahir dan tumbuh dari kesadaran kolektif umat Islam, untuk

memperjuangkan hak-hak keadilan dan persamaan di muka hukum. Tidak sedikit

yang menilai bahwa, gerakan 212 adalah gerakan politik untuk tujuan tertentu,

terlebih menjelang tahun politik, Pilkada serentak tahun 2018, Pemilu dan Pilpres

tahun 2019.

Interpretasi ini tentu tidak salah, tergantung dari sudut pandang mana kita

menilainya. Dan itu sah-sah saja dalam dialektika berdemokrasi. Saya mencoba

melihat gerakan 212 dari sudut pandang gerakan sosial (social movement). Untuk

memahami istilah gerakan sosial, penting untuk menengok kembali kemunculan

teori gerakan sosial pada awal tahun 1950 an.

Pada tahun kisaran tahun 1960 an psikologi sosial, didominasi oleh kajian

tentang gerakan sosial, yang bersandar pada pendekatan prilaku kolektif (collective

behavior), yang memandang gerakan sosial sebagai ”bentuk dari kerumunan dan

kepanikan sosial “.

Kemudian pendukung teori mobilisasi sumber daya (resources mobilisation),

mengritik teori collective behavior, dan mulai memformulasikan gagasan mengenai

12

pentingnya faktor-faktor organisasi, dan struktur politik untuk mengkaji pergolakan

sosial.

Kita coba membaca karakteristik gerakan sosial, yang dikemukakan McAdam

dan Snow. Pertama, berbentuk aksi-aksi kolektif dan bersama; kedua, memiliki

tujuan yang berorentasi perubahan; ketiga, memiliki karakter sebagai organisasi;

keempat, memiliki aspek kontinuitas, meski kadang temporal; kelima, aksi kolektif

bersifat ekstra institusional, atau kombinasi antara demonstrasi jalanan dan lobi.

Dengan mengawinkan lima elemen diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa,

kolektivitas atau tindakan sekelompok orang, yang dilakukan oleh organisasi, dan

memiliki dimensi keberlanjutan diluar prosedur dan mekanisme institusional politik

formal, dengan tujuan yang sama menginginkan perubahan.

McAdam dan Snow tetap berpandangan bahwa, aktor – aktor utama gerakan

sosial adalah pihak luar diluar elemen pelembagaan politik formal, termasuk partai

politik. Dengan sedikit mengambil garis berbeda dari arus utama gerakan sosial,

saya memposisikan gerakan 212 sebagai gerakan sosial (social movement).

Dalam hazanah teori-teori sosial, gerakan 212 dapat diposisikan sebagai

social movement (gerakan sosial). Jurgen Habermas ketika menjelaskan fenomena

gerakan sosial mengemukakan bahwa social movement dipahami sebagai devensive

relations to defend the public and private sphere of individuals againts the inroad of

the state system and market economy (Gemma Edwards, Habermas and Social

Movement Theory, 2009).

Perspektif Habermas tersebut menggambarkan bahwa sesuatu disebut

gerakan sosial jika terjadi relasi defensif antaranggota masyarakat yang

terkonsolidasi untuk melindungi ruang publik dan private mereka dengan melawan

tekanan dari negara (state system) maupun ekonomi pasar (market economy).

Sementara Anthony Giddens (Politics, Government and Social Movements,

Sociology 7th Edition, 2013), gerakan sosial dimaknai sebagai upaya kolektif untuk

mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama atau

gerakan bersama melalui tindakan kolektif (action collective) di luar lembaga-

lembaga mapan.

Dari perspektif Habermas dan Giddens diatas sudah cukup untuk

menempatkan gerakan 212 sebagai gerakan sosial karena terpenuhinya sarat

diantaranya sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama (penegakan

hukum), melindungi ruang publik dan privat (hak individu sebagai pribadi dan

sebagai warga negara), ada tindakan kolektif (bergerak bersama), dilakukan bukan

oleh lembaga-lembaga mapan (inisiatif GNPF MUI).

13

Sebagian pandangan yang mengemuka perihal aksi itu masih menganggap

bahwa variabel utama dari aksi demonstrasi itu tidak jauh-jauh dari motif psikologis

berupa kesulitan-kesulitan kehidupan sosial-ekonomi, perasaan anomi, kecemasan

sosial atas ketegangan sosio-politik masyarakat sehingga melahirkan tindakan

kolektif berupa aksi besar-besaran. Motif psikologis itu secara alamiah maupun

terencana sangat mudah menular (contagious) dari satu orang kepada yang lainnya

melalui berbagai perangkat informasi.

Tindakan kolektif itu kemudian dilihat sebagai ekspresi pelarian diri untuk

mendapatkan perasaan berdaya dan diperhitungkan. Setali tiga uang, otoritas politik

yang sah kemudian merespons dengan mengakomodasi tuntutan-tuntutan aksi itu

untuk menghindari ketegangan yang semakin besar yang berpotensi memunculkan

kekacauan politik.

Dalam studi gerakan sosial, pendekatan semacam itu pada dasarnya telah

banyak ditinggalkan oleh para peneliti gerakan sosial. Bahwa variabel psikologis

sebagai determinan utama lahir dan tumbuhnya gerakan sosial, berikut aksi-aksi

yang dilancarkannya, dalam kajian gerakan sosial dikenal dengan teori penularan

(contagion theory). Teori ini, dalam praktiknya di lapangan, kerap berseiring dengan

pendekatan fungsional yang sangat mendambakan keseimbangan sistem. Dalam

pendekatan fungsional, negara sebagai pemangku otoritas yang sah, oleh

karenanya, sudah selayaknya memenuhi tuntutan yang diajukan oleh gerakan sosial

itu. Namun, ternyata persoalan belum selesai. Pertanyaan lain yang justru muncul,

apakah ketika negara mengakomodasi tuntutan aksi itu lantas dengan sendirinya

kondisi akan stabil dan masyarakat tidak lagi melakukan aksi protes atau menuntut?

Dalam perkembangan studi gerakan sosial, teori penularan itu banyak dikritik

karena penyederhanaan penjelasan yang berlebihan yang berimplikasi pula pada

melesetnya diagnosis atas variabel determinan dari muncul dan tumbuhnya suatu

gerakan sosial. Cara pandang baru kemudian ditawarkan. Bahwa gerakan sosial

tidak melulu dipandang sebagai ekspresi frustrasi, keputusasaan, atau bahkan

pelarian diri. Di negara-negara maju, misalnya, gerakan sosial tidak jarang muncul

dan dimotori oleh kalangan terdidik yang secara ekonomi bukanlah berasal dari

masyarakat yang tidak berdaya.

2. Bagaimana Bentuk Gerakan Sosial Dalam Pendirian Koperasi

Syariah 212 Mart Benteng Kota Tangerang

Gerakan 212 mungkin tepat digolongkan sebagai gerakan sosial baru yang

dapat diposisikan sebagai Gerakan Sosial Berbasis Religiusitas (GSBR) walau pada

akhirnya kemudian mereka bersepakat untuk mendirikan Koperasi Syariah 212 Mart

sebagai sebuah gerakan sosial yang memperkuat keberdayaan ekonomi masyarakat.

14

Disebut GSBR karena ide gerakannya dilakukan sebagai protes terhadap

ketidakadilan hukum yang dilandasi oleh sikap religiusitas para penggeraknya

(respon spiritual atas apa yang disebut sebagai perilaku penistaan terhadap kitab

suci). Adapun mereka melanjutkannya dalam mendirikan Koperasi tersebut agar

ikatan batin dalam hubungan sosial yang terbentuk dapat mereka pelihara terus

menerus.

Sejumlah karakteristik untuk menunjukan bahwa gerakan 212 adalah Gerakan

Sosial Berbasis Religiusitas diantaranya nampak pada militansi yang berbaur dengan

sikap voluntary (ikhlas) yang terlihat pada perilaku mereka. Aksi long march

masyarakat dari Ciamis menuju Monas yang kemudian menginspirasi masyarakat

Bogor dan Bekasi untuk melakukan hal yang sama adalah fakta militansi dan

keikhlasan yang dilakukan dengan kesadaran yang tinggi dan tulus atas dasar

religiusitas mereka.

Solidaritas sesama mereka juga nampak begitu kuat, dukungan rakyat untuk

memberikan makanan dan minuman yang melimpah, ratusan tim medis dan

ambulan yang bersiaga, jutaan masa yang tidak anarkis, saling menolong, tertib,

dibingkai dalam agenda doa dan sholat jumat berjamaah yang terorganisir adalah

fakta lainya yang terlihat di lapangan.

Mereka bukan kelompok intoleran sebab dilapangan mereka nampak begitu

welcome dengan siapapun pekerja dengan latar belakang agama berbeda yang

menyapa mereka disepanjang jalan Pramuka, Salemba, Senen, Medan Merdeka,

Menteng, Cikini, Harmoni dan Sudirman-Thamrin. Tidak juga penulis temukan

kalimat-kalimat intoleran dari mulut-mulut mereka, kecuali doa-doa kemanusiaan

dan keadilan.

Tuduhan intoleran kepada mereka sangat tidak berdasar, kehadiran Jokowi-

JK adalah fakta pengakuan orang paling berkuasa di republik ini atas hebatnya

jutaan manusia berkumpul secara damai. Parade Bhineka Tunggal Ika 4 Desember

jika dilakukan untuk memposisikan gerakan 212 sebagai anti Bhineka Tunggal Ika

adalah keliru, sebab tidak ada Bhineka Tunggal Ika jika eksistensi Indonesia tanpa

kehadiran mereka.

Mereka adalah umat Islam terpelajar yang menghargai keragaman. Fakta

dilapangan juga penulis temukan bahwa yang turut dalam gerakan 212 juga tidak

sedikit berasal dari etnis yang berbeda dan agama yang berbeda. Gerakan 212

hanya ingin hukum ditegakan. Pesan substantif gerakan 212 adalah agar para

penegak hukum tidak boleh abai terkait hal ini.

Sebagai sebuah gerakan sosial baru, gerakan 212 yang penulis kategorikan

sebagai gerakan sosial yang dilakukan jutaan umat Islam Indonesia telah

memberikan sumbangan berharga bagi dunia, bahwa nilai-nilai religius Islam yang

15

diyakini jutaan manusia di Indonesia telah mampu mendorong sebuah gerakan

sosial besar yang civilized (beradab).

Fakta ini tentu luar biasa bagi kemajuan demokrasi. Namun sesungguhnya

umat Islam Indonesia telah memberi contoh terbaik bukan hanya bagi demokrasi

tetapi juga bagi peradaban dunia.

Ada tren yang sedang berkembang dalam ranah gerakan sosial untuk melihat

protes sebagai ”politik dengan cara lain”. Ada kerendahan hati untuk mengakui

secara intelektual bahwa, politik institusional dan gerakan ekstra-institusional adalah,

dua dunia yang tidak bersifat mutually exclusive, tapi justru saling bersinggungan

dan saling terkait.

Jika gerakan 212 dipandang sebagai organisasi gerakan sosial, maka

keberadaannya bisa dijelaskan melalui tiga faktor, Pertama, struktur kesempatan

politik; Kedua, mobilisasi sumber daya; Ketiga, pembingkaian aksi kolektif.

Kebanyakan mobilisasi massa biasanya dapat dilakukan dengan memberikan

uang transport atau uang makan, bahkan juga uang saku oleh Panitia

Penyelenggara kepada peserta, maka kegiatan 212 dilakukan mustahil dibiayai

semua oleh Panitia Penyelenggara. Sebab dengang jumlah hadirin di atas

7.000.000an orang, maka Panitia Penyelenggara pasti perlu menyediakan anggaran

Triliyunan Rupiah.

Dari 7 jutaan peserta yang hadir tidak hanya dihadiri oleh satu agama

apalagi satu etnis suku bangsa yang ada di Indonesia. Begitu juga dari strata social.

Dari sisi agama, peserta yang hadir ada dari Non Islam dan Islam sebagai peserta

paling banyak. Sedangkan dari suku bangsa sangat beragam. Dapat dikatakan

hampir mewakili semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Sedangkan dari strata

sosisal aksi 212 dihadiri mulai dari rakyat biasa sampai kepada Pejabat Negara.

Dari Aksi 212 yang berlansung sabtu pagi di Halaman Monas Jakarta

mengambarkan arti toleransi yang utuh dan menyeluruh. Toleransi tersebut

diwujudkan bukan hanya terhadap kebhinnekaan dalam etnis tapi juga agama dan

aset property bangsa.

Perlu mendapat catatan tersendiri di hari yang sama di gereja Katedral ada

pernikahan sepasang pengantin. Meskipun massa „Menyemut‟ tapi tidak menghalangi

lalu lintas penganten dan rombongan menuju gereja tersebut . Bahkan dibantu oleh

peserta aksi agar perjalanan pengantin dan rombongan menjadi mudah.

Sedangkan toleransi dalam hal Property bangsa adalah terjaganya taman,

hamparan rumput dan aset lainnya dengan baik, tak satupun yang rusak bahkan

sampahpun tertangani dengan baik. Sehingga tempat aksi kembali bersih 1-2 jam

setelah aksi dinyatakan selesai.

16

V. PENUTUP

Simpulan

1 Fenomena gerakan sosial dewasa ini cukup dinamis, terlihat dari kemunculannya,

baik sudah terlembaga dengan baik maupun yang bersifat sporadis serta

kasusistik. Namun, terpenting adalah bahwa gerakan sosial membawa misi

tertentu, yakni adanya perubahan di dalam masyarakat yang lebih baik dan

tentunya demokratis. Tak jarang, masyarakat yang ikut dalam gerakan sosial

justru menjadi pionir bagi perubahan yang bersifat radikal dan fundamental.

Mereka berjalan dalam sebuah tuntutan perubahan terhadap kondisi yang dinilai

buruk dan sewenang-wenang. Salah satu gerakan sosial yang paling dikenal

adalah gerakan 212 yang terjadi pada Tahun 2017. Gerakan sosial ini menjadi

bagian penting di dalam mengrangkai tatanan sosial politik di tanah air.

2 Pilkada yang terlaksana di Kota Makassar, menunjukkan bahwa kemenangan

kotak/kolom kosong pertanda gerakan sosial yang terjadi massif dalam

mengarahkan dukungan atau suaranya kepada kotak kosong. Terdapat banyak

faktor mengapa gerakan sosial yang terbangun mampu “memenangkan” kotak

kosong, salah satu diantaranya adalah pesan dan kesan yang disampaikan

bahwa kotak kosong yang notabene adalah Petahana adalah pihak yang

“didzholimi” oleh sistem pemilihan kepala daerah. Akibatnya pemilih merasa

berempati dan akhirnya memberikan suaranya ke kotak kosong.

3 Aktivitas ekonomi dari sebuah gerakan sosial yang melahirkan Koperasi Syariah

212 Mart telah memiliki pasar sendiri, yaitu anggota Koperasi Syariah 212 atau

komunitas yang ikut berinvestasi mendirikan 212 Mart. Jika selama ini, mereka

belanja di tempat lain, maka sejak 212 Mart ada mereka belanja ke 212 Mart. Hal

tersebut merupakan bentuk komitmen mereka dan merupakan bentuk realisasi

dari semangat anggota Koperasi Syariah 212 untuk mengembangkan ekonomi

dalam negeri secara berjamaah. Unsur kolektivitas tinggi, kalau ritel lain dimiliki

perusahaan yang pemegang sahamnya beberapa saja, jadi terobosannya 212

Mart ini komunitas. Kendati demikian, 212 Mart tetap perlu beroperasi layaknya

mini market komersial pada umumnya dengan mengambil keuntungan dari setiap

barang yang dijual.

Saran

1 Gerakan sosial melalui kekuatan kebersamaan tersebut, baik dalam aktivitas

pilkada maupun pendirian koperasi syariah 212 Mart akan banyak terjadi di tanah

air. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya membuka ruang agar suasana

demokrasi dan kompetisi dalam persaingan usaha dapat berlangsung dengan

sehat. Gerakan sosial dapat menjadi sarana edukasi dalam berdemokrasi di tanah

air.

2 Pemerintah hendaknya lebih banyak memberikan pelatihan-pelatihan yang

sifatnya mendukung keberdayaan ekonomi masyarakat khususnya bagi pelaku-

17

pelaku usaha kecil dan menengah. Agar mereka dapat memulai dan menjaga

keberlangsungan usaha yang mereka jalankan.

3 Salah satu upaya pemerintah dalam mengembangkan UMKM adalah melalui

pemberdayaan. Oleh karena itu hendaknya pemerintah melakukan

pemberdayaan untuk memberikan daya atau kemampuan kepada seseorang atau

kelompok usaha melalui pemberian pengetahuan, penguatan modal dan sumber

daya manusia sehingga menumbuhkembangkan usaha yang sehat, tangguh dan

mampu berdaya saing.

18

DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University

Press.

Donatella Bella Porta. 2009. Social Movements and Multilevel Governance: The External Dimension of Democracy on Democracy in Social Movements Edited by Donatella della Porta. New York: Palgrave Macmillan.

Faisal,Sanapiah. 2001. Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Fakih, Mansoer. 2002. Tiada Transformasi Tanpa Gerakan Sosial, dalam Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Terpinggir: Studi Tentang Ideologi, Isu , Strategi Dan Dampak Gerakan, Yogyakarta: Insist Press.

Huntington, Samuel P. 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Locher, David A. 2002. Collective Bahavior. New Jersey: Prentice Hall.

Macionis, John J. 1999. Sociology. New Jersey: Prentice Hall

Meyer, David, dan Sidney Tarrow. 1998. The Social Movement Society. Lanham, MD: Rowman and Littlefield.

Misel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Yogyakarta: Resist Book.

Purboningsih, Sayekti Dwi. 2015. Gerakan Sosial Baru Perspektif Kritis: Relawan Politik dalam Pilpres 2014 di Surabaya. Jurnal Review Politik Volume 05 nomor 01. Edisi Juni.

Putra, Fadhillah dkk. 2006. Gerakan Sosial, Konsep, Strategi,Aktor, Hambatan Dan Tantangan Gerakan Sosial Di Indonesia. Malang: PlaCID‟s dan Averroes Press.

Quintan Wiktorowicz (Ed). 2012. Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Paramadina, Edisi Digital. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.

Sujatmiko, Iwan Gardono. 2006. Gerakan Sosial Dalam Dinamika Masyarakat dalam Buku Gerakan Sosial, Wahana Civil Society bagi Demokrasi (Darmawan Triwibowo, Editor). Jakarta: LP3ES.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi.