Upload
damanhury
View
47
Download
11
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
1
Makalah
ETIKA PERPAJAKAN
BERBASIS ETIKA PANCASILA Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Pajak
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
1. Esty Rahmayanti 09401241001
2. M. Fatkhul Damanhury 09401241012
3. Yanri Kusmawijaya 09401241025
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan pajak yang tengah membelenggu praktik perpajakan di tanah air
tidak dapat dilepaskan dari persoalan moral yang mendera bangsa ini. Berbagai kasus
perpajakan yang belakangan tampil ke permukaan memperlihatkan bagaimana rupa
perpajakan Indonesia minus moralitas. Praktik manipulasi dan rekayasa pajak menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan perpajakan yang melibatkan entitas
pemerintah selaku aparatur pajak dan rakyat sebagai wajib pajak. Praktik-praktik
perpajakan semacam ini terus menguat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dan tuntutan wajib pajak yang menghendaki efisiensi biaya (zero cost) di
berbagai level kepentingan.
Persoalan perpajakan yang ditenggarai bersumber dari lemahnya kesadaran moral
dan tanggung jawab pemerintah dan rakyat menyebabkan multiplier effect bagi
kesinambungan roda perekonomian bangsa. Persoalan pajak yang membelit negara
berdampak pada pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pembangunan yang
diharapkan mampu meningkatkan taraf penghidupan masyarakat, pada kenyataannya
tidak dapat terwujud karena sebagian besar pembiayaan pembangunan yang bersumber
dari penerimaan pajak mengalami sejumlah kendala. Oleh karenanya, tidak ada pilihan
lain bagi pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan perpajakan melalui beragam
pendekatan yang sistematis dan komprehensif termasuk di dalamnya melalui pendekatan
etika.
Salah satu pendekatan yang digunakan pemerintah untuk mengantisipasi
persoalan perpajakan adalah dengan merumuskan etika perpajakan sebagai dasar bagi
praktik perpajakan di tanah air. Praktik perpajakan yang sehat harus berlandaskan pada
prinsip-prinsip dasar etika. Prinsip etika menjamin penatalaksanaan perpajakan sesuai
orientasi dan tujuan perpajakan yaitu mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. Prinsip
etika perpajakan dalam pengimplementasiaannya harus pula menjunjung tinggi nilai-nilai
dasar yang menjadi fundamental nilai bangsa ini. Dengan kata lain, etika perpajakan
harus mendasarkan dirinya pada etika Pancasila. Pengadaptasian etika Pancasila dalam
3
etika perpajakan mutlak diperlukan karena Bangsa ini telah menyepakati Pancasila
sebagai dasar filsafat bangsa. Sehingga seluruh aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya perpajakan harus bersandar pada
falsafah dasar negara yaitu Pancasila.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Moralitas dalam Pajak ?
2. Bagaimana Etika berbasis Nilai Dasar Pancasila?
3. Bagaimana Etika Perpajakan Berdasar Moralitas Pancasila ?
C. Tujuan
1. Mengetahui Moralitas dalam Pajak
2. Mengetahui Etika berbasis Nilai Dasar Pancasila
3. Mengetahui Etika Perpajakan Berdasar Moralitas Pancasila
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika Perpajakan: Moralitas dalam Pajak
Kemajuan dan keberhasilan suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh
pemerintahan yang bersih. Penatalaksanaan perpajakan yang sehat mensyaratkan
pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih merupakan fundamental
penyusunan dan penyelenggaraan pajak yang sehat. Salah satu upaya mewujudkan
pemerintahan yang bersih adalah dengan menerapkan prinsip good governance.
Penerapan good governance dalam berbagai aspek pemerintahan termasuk perpajakan
diyakini mampu mengantisipasi kekhawatiran publik atas ketidakmampuan pemerintah
dalam pengelolaan dan pengorganisasian pajak. Good governance menjamin bahwa
penyelenggaraan perpajakan negara steril dari berbagai bentuk diskriminasi,
penyelewengan dan tindakan-tindakan tercela aparatur perpajakan maupun wajib pajak.
Peranan perpajakan yang signifikan bagi pilar kemajuan bangsa menempatkan
pajak dalam posisi yang strategis. Posisi ini menekankan pelibatan aktif peran pemerintah
dan rakyat selaku komponen utama perpajakan. Keberhasilan perpajakan pada prinsipnya
bergantung pada kerja sama aktif pemerintah dan rakyat. Sinergisitas keduanya
diperlukan guna mewujudkan praktik perpajakan yang fair dan sehat. Masing-masing
pihak harus berkomitmen menciptakan iklim perpajakan yang kondusif agar optimalisasi
penatalaksanaan perpajakan dapat berjalan dengan baik karena perpajakan pada
hakikatnya menyangkut relasi mutualisme yang mempertautkan kepentingan pemerintah
maupun rakyat.
Praktik perpajakan yang sehat tidak hanya mengandalkan kekuatan sistem yang
berorientasi pada optimalisasi perolehan pajak. Di dalamnya terdapat aspek moral yang
turut melengkapi atau bahkan memperkuat keberadaan sistem perpajakan. Sistem
perpajakan harus berdimensi moral agar praktik perpajakan keluar dari kesan kaku,
mekanistis dan prosedural. Pendekatan moral dalam pajak sesungguhnya diperlukan agar
kepatuhan dan ketaatan membayar pajak hadir dari inisiatif atau motif yang tulus dan
bukan berdasar atas paksaan atau ancaman. Pendekatan moral dalam dimensi yang lain
5
juga diharapkan akan menginisiasi lahirnya praktik perpajakan yang sadar, sehat dan
humanis.
Pembahasan tentang moralitas pajak mengantarkan diskusi perpajakan pada ranah
etika. Etika perpajakan berupaya menelaah dan mendalami persoalan moral perpajakan
secara konseptual maupun praksis. Secara konseptual, etika perpajakan berpeluang
membuka kemungkinan reflektif penelusuran dimensi moral dalam perpajakan.
Sedangkan di wilayah praksis, etika perpajakan mengkongkretisasi tindakan dan perilaku
manusia dalam praktik perpajakan. Etika perpajakan dalam hal ini merupakan dasar bagi
praktik penyelenggaraan pajak yang luhur melalui keterlibatan peran serta aktif rakyat
dan pemerintah.
Etika perpajakan memuat serangkaian argumentasi etis penyelenggaraan pajak.
Argumentasi tersebut disusun berdasarkan pada sejumlah pertimbangan etis tentang
urgensitas dan penatalaksanaan pajak di lapangan. Etika perpajakan berusaha melakukan
pembacaan secara kritis dan reflektif atas realitas perpajakan. Berbagai bentuk
penyalahgunaan kepentingan pajak sekaligus disorientasi kebijakan pemerintah yang
tidak bertumpu pada tujuan ideal termasuk dalam telaah kritis etika perpajakan. Etika
perpajakan menginginkan agar perpajakan sebagai bagian dari kebijakan perekonomian
negara berdiri di atas fundamental nilai dan norma yang mengantarkan perpajakan pada
alasan keberadaannya yang sesungguhnya. Orientasi perpajakan harus dikembalikan pada
proporsi yang tepat. Fungsi perpajakan harus dimanifestasikan secara konsekuen agar
perpajakan benar-benar berfungsi sebagai instrumen perekonomian vital bagi negara.
Perpajakan merupakan salah satu kebijakan fundamental perekonomian negara.
Keberadaan pajak sangat menentukan eksistensi negara. Urgensitas perpajakan sebagai
tulang punggung negara secara etis dapat dimaknai melalui sejumlah argumen yang
menguatkan dimensi etis perpajakan. Argumentasi teleologis perpajakan mengisyaratkan
perpajakan sebagai kegiatan yang berpengaruh dan mempunyai peran signifikan bagi
keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Konsekuensi perpajakan bagi negara secara
eksplisit menegaskan positivitas perpajakan dalam bingkai etika teleologi. Argumen
deontologis di sisi lain juga mencermati posisi perpajakan yang merupakan kewajiban
bagi setiap individu warga negara. Kewajiban membayar pajak yang dibebankan kepada
rakyat dan kewajiban memungut serta mengelola pajak bagi pemerintah menurut
6
perspektif etika deontologis merupakan bentuk kewajiban yang secara etis harus
ditunaikan.
Perpajakan dalam konteks etika tidak semata-mata berorientasi pada normativitas
perpajakan. Sebaliknya, orientasi etis perpajakan mengakar pada praksis operasional di
lapangan. Etika perpajakan menghendaki refleksi etis tidak hanya berada pada wilayah
konseptual namun sebaliknya ke wilayah permukaan agar keberadaannya bisa dimengerti
dan dipahami dengan baik sebagai upaya mengarahkan komponen yang terlibat dalam
perpajakan untuk secara kooperatif mendukung potensialitas perpajakan bagi kepentingan
bersama. Persoalan yang terjadi belakangan menunjukkan bahwa problem perpajakan
menyangkut praksis penatalaksanaan perpajakan yang melibatkan aparatur pajak dan
wajib pajak. Problem semacam ini mengantarkan refleksi etika perpajakan pada
pembahasan tentang etika institusional.
Etika institusional menyangkut domain pemerintah pada tataran kelembagaan.
Etika institusional merupakan modalitas bagi bangunan etika perpajakan dikarenakan
perpajakan terkait erat dengan institusi pemerintah yang diwakili Direktorat Jenderal
Pajak (DJP). Kongkretisasi etika institusional dalam perspektif kelembagaan diwujudkan
melalui keberadaan kode etik yang mengatur perilaku dan tindakan aparatur pajak. Kode
etik diperlukan untuk mengantisipasi perilaku aparatur yang menyalahi atau bertindak di
luar kewenangannya. Kode etik secara eksplisit juga menyatakan perbuatan-perbuatan
etis yang relevan dengan penatalaksanaan perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak dalam
hal ini telah menyusun kode etik yang mengikat perilaku aparatur pajak. Termasuk pula
kode etik yang mengatur profesi konsultan pajak. Kode etik yang mengatur perilaku
aparatur pajak maupun konsultan pajak membatasi ruang gerak kewenangan mereka pada
wilayah-wilayah yang menjamin penatalaksanaan perpajakan sesuai prosedur dan
ketentuan yang berlaku.
B. Etika Pancasila: Etika berbasis Nilai Dasar Pancasila
Sejak tahun 1945 Pancasila telah diterima sebagai sebuah konsensus bersama
yang mengikat seluruh entitas bangsa dari Sabang sampai Merauke. Konsensus bersama
ini menempatkan Pancasila sebagai dasar sekaligus filsafat negara. Pancasila sebagai
dasar negara melandasi setiap aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
7
Sedangkan sebagai filsafat negara, Pancasila merupakan pandangan dunia (world view)
yang mengorientasikan seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Selain sebagai dasar
dan filsafat negara, Pancasila sering disebut sebagai ideologi atau jiwa dan kepribadian
bangsa.
Pancasila sebagai filsafat negara mengandaikan refleksi Pancasila secara falsafati.
Filsafat Pancasila merupakan pemikiran-pemikiran Pancasila yang bersifat kritis,
mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif.1 Pancasila dalam konteks sistem filsafat
dimaknai sebagai sebuah sistem organis yang saling terhubung secara formal logis
maupun ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sila-sila yang tertuang dalam Pancasila
merupakan satu kesatuan yang memberi dasar fundamental bagi kehidupan seluruh
masyarakat Indonesia di berbagai bidang kehidupan.
Gagasan tentang etika Pancasila pada hakikatnya berkaitan dengan kedudukan
Pancasila sebagai filsafat negara. Etika Pancasila bersumber dari pemikiran mendalam
terhadap nilai-nilai dasar Pancasila. Pengertian etika Pancasila sendiri mengacu pada
pengertian etika secara umum yaitu ilmu tentang kesusilaan2 atau filsafat moral. Sehingga
etika Pancasila dapat didefinisikan sebagai filsafat kesusilaan atau moral Pancasila.
Sunoto3 memberikan pengertian etika Pancasila sebagai filsafat moral atau filsafat
kesusilaan yang berdasar atas kepribadian, ideologi, jiwa dan pandangan hidup bangsa
Indonesia.
Dalam catatan sejarah pada masa Orde Baru, untuk maksud menjabarkan nilai-
nilai Pancasila sebagai pedoman perilaku, ada Ketetapan MPR yang khusus mengatur
mengenai aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Pancasila dijabarkan menjadi Pedoman
Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4). Namun, setelah reformasi,
ketentuan mengenai P4 itu tidak berlaku lagi. Akan tetapi, nilai-nilai etika kehidupan
berbangsa dan bernegara tetap kita perlukan sehingga materinya dituangkan menjadi
Ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 yang dibiarkan tetap berlaku sampai sekarang oleh
Ketetapan MPR No. I/MPR/2003. TAP MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini
harus dijabarkan lebih lanjut oleh setiap instansi pemerintahan dan institusi kenegaraan
1 Kaelan. FIlsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2002.,hal: 130 2 H. De Vos. Penagntar Etika. Yogyakarta Tiara Wacana, 2002.,hal:2 3 Sunoto. Mengenal Filsafat Pancasila: Etika Pancasila. Yogyakarta: Penerbit FE-UII, 1982.,hal:1
8
ke dalam infra struktur kode etika dan pengaturan mengenai penegakannya dalam
praktik.4
Prof Kaelan5 menyatakan bahwa sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai.
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan satu kesatuan
sistematis. Sila yang satu dengan sila yang lain mempunyai keterkaitan yang sangat erat.
Keterkaitan tersebut tidak hanya terletak pada logika formal namun terdapat pula pada
pemaknaan masing-masing sila. Nilai-nilai yang terangkum dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai fundamental yang bersifat universal. Daoed Josoef6 menyebut Pancasila
sebagai gagasan vital yang berasal dari kebudayaan Indonesia. Masing-masing sila pada
hakikatnya merepresentasikan nilai dasar yang menjadi pedoman bagi bangsa ini dalam
mengidentifikasi dan mewujudkan dirinya.
Etika Pancasila berangkat dari refleksi kritis atas nilai-nilai fundamental
Pancasila. Lebih jauh Yudi Latif7 menegaskan Pancasila sebagai basis moralitas dan
haluan kebangsaan-kenegaraan. Etika Pancasila mendasarkan dirinya pada keberadaan
nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila menjadi inspirasi
sekaligus pegangan hidup dalam mewujudkan harapan dan cita-cita bangsa. Secara garis
besar, nilai-nilai dasar Pancasila berlandaskan pada adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat
dan adil.8 Nilai universal yang dimiliki masing-masing sila menunjukkan orientasi
sekaligus idealitas yang hendak diwujudkan negara ini. Sehingga seluruh komponen
bangsa berkewajiban menempatkan Pancasila sebagai fondasi gerak bagi kemajuan
bangsa.
Nilai dasar yang tertuang dalam sila pertama Pancasila adalah nilai ketuhanan.
Nilai ketuhanan menyangkut keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki bangsa ini.
Agama merupakan salah satu sumber moralitas.9 Aspek etis yang dilahirkan dari sila
pertama Pancasila adalah adanya jaminan bagi setiap penduduk untuk mengidentifikasi
4 Jimly Asshiddiqie. “Pancasila dan Agenda Pembaruan Birokrasi”. Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2011., hal:3 5 Kaelan. Op. Cit.,hal:140. 6 Daoed Joesof. Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan. 1987, Dalam Soeroso H.P.,et.al. (ed). Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat., hal:1 7 Yudi Latif. Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia Pustaka: 42 8Notonagoro. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta; Bumi Aksara., hal:46 9 Sudaryanto. Etika Pancasila sebuah Refleksi Awal. Yogyakarta: Fakultas FIlsafat – UGM., hal:22
9
dirinya berdasar keyakinan atau agama tertentu. Setiap individu berhak menyatakan
dirinya berdasar keyakinan yang ia percayai. Negara dalam hal ini memfasilitasi
kebutuhan keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia dan menjamin pelaksanaan
kewajiban atas kepercayaan yang dianut masyarakatnya.
Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam sila kedua merepresentasikan kedudukan
manusia yang sederajat dan bermartabat. Manusia ditempatkan dalam kedudukan yang
terhormat. Kemanusiaan menyangkut segala unsur yang melekat pada diri manusia
sebagai makhluk monopluralis.10 Dalam nilai kemanusiaan juga melekat atribut adil dan
beradab yang mempertegas orientasi kemanusiaan berdasar Pancasila. Pemerintah dalam
hal ini harus menjamin setiap usaha memanusiakan manusia dalam kerangka
mewujudkan sosok manusia yang adil dan beradab.
Sila ketiga memuat nilai dasar persatuan. Persatuan mengikat seluruh perbedaan
yang niscaya dalam bangsa ini. Persatuan juga merupakan modalitas utama dalam
mengintegrasikan seluruh kepentingan di bawah payung kebangsaan. Berbagai
kemungkinan yang mengarah pada disintegrasi seoptimal mungkin diantisipasi.
Pemerintah dan rakyat harus secara sadar menjaga dan memelihara kohesivitas yang
melekatkan entitas bangsa ini dalam satu bingkai kebangsaan.
Sila keempat Pancasila menempatkan kerakyatan sebagai nilai universal yang
melengkapi sila-sila sebelumnya. Nilai kerakyatan menegaskan bahwa orientasi
sesungguhnya dari keberadaan bangsa ini harus bermuara pada kepentingan rakyat.
Rakyat adalah kekuatan terbesar yang menentukan harapan dan cita-cita bangsa.
Pemerintah harus mengupayakan optimalisasi potensi kekuatan rakyat sebagai penopang
keberlangsungan bangsa. Di samping itu, pemerintah juga harus menginsyafi kenyataan
bahwa rakyat adalah subjek dan bukan objek. Konsekuensinya perlakuan rakyat sebagai
objek oleh pemerintah bisa dipandang tidak etis.11
Sila terakhir Pancasila yaitu sila kelima memuat nilai keadilan sosial yang
ditujukan bagi seluruh bangsa Indonesia. Keadilan sosial menjamin pemerataan
pembangunan. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat merupakan prioritas utama kerja
pemerintah. Pembangunan yang diupayakan pemerintah harus dirasakan dan dinikmati
10 Notonagoro. Op. CIp., hal: 64 11 Sudaryanto. Op. Cit., hal:45
10
seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Melalui sila ini, pemerintah memastikan bahwa
siapapun akan memperoleh haknya berdasarkan pada kewajiban-kewajiban yang melekat
di dalamnya.
Keberadaan nilai-nilai universal dalam Pancasila sepatutnya termanifestasi dalam
setiap aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut
menjadi fondasi bagi keberlaksanaan pembangunan. Pembangunan harus dilandasi nilai-
nilai dasar Pancasila. Dalam kerangka inilah, etika Pancasila diwujudkan untuk
menjembatani realitas masyarakat, bangsa dan negara dengan idealitas yang merupakan
harapan dan cita-cita bangsa Indonesia. Keberadaan etika Pancasila diperlukan guna
mengkondisikan pemerintah dan rakyat untuk selalu berada pada tujuan semula pendirian
bangsa.
C. Etika Perpajakan Berdasar Moralitas Pancasila
Perpajakan bukan instrumen perekonomian bebas nilai. Keberadaan pajak yang
bebas nilai mengindikasi kemungkinan negatif atas penyalahgunaan perpajakan bagi
kepentingan tertentu. Pajak yang bebas nilai menegasikan nilai-nilai yang seharusnya
melandasi praktik perpajakan. Perpajakan pada dasarnya terikat nilai. Setidaknya ada dua
landasan nilai yang bisa ditemukan dalam perpajakan. Pertama nilai keadilan dan
pemerataan dan kedua nilai efisiensi ekonomi. Keduanya dianggap sebagai nilai ideal
yang mewarnai sistem perpajakan.12
Hal ini juga dapat ditelisik dari teori Pembenaran Pajak. Ada 5 (lima) macam
Teori Pembenaran Pajak. Yaitu13, 1) teori Asuransi; 2) Teori Kepentingan
(Aequivalentie); 3) Teori Kewajiban Pajak Mutlak; 4) Teori Daya Beli; dan 5) Teori
Pembenaran Pajak Menurut Pancasila. Lebih jauh Rochmat Soemitro14 menjelaskan
mengenai Teori Pembenaran Pajak Menurut Pancasila. Pancasila mengandung sifat
kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada peranan
dari setiap anggota keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan. Jadi berdasarkan
Pancasila, pungutan pajak dapat dibenarkan karena pembayaran pajak dipandang sebagai
uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat sendiri. Individu, dalam hubungan
ini, tidak dapat dilihat lepas dari keluarganya, dan anggota masyarakat dan 12 Mohammad Zain. Managemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat, 2008., hal:25-27 13 Y. Sri Pudyatmoko. Pengantar Hukum Pajak, Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006., hal:34-36 14 Rochmat Soemitro. Asas dan Dasar Perpajakan I. Bandung: PT. Eresco, 1992.,hal:31
11
lingkungannya. Hak asasi individu dihormati dan hana dapat dikurangi demi kepentingan
umum.
Perpajakan berkaitan erat dengan nilai. Nilai fundamental yang melatarbelakangi
perpajakan adalah nilai ekonomi. Ekonomi merupakan motif utama penyelenggaraan
pajak. Perpajakan adalah instrumen kebijakan perekonomian di bidang fiskal. Kebijakan
fiskal ditujukan untuk mengatur dan mengendalikan pendapatan dan pengeluaran
pemerintah melalui instrumen pajak. Kebijakan fiskal itu sendiri ditujukan untuk
mencapai pemerataan hasil pembangunan yang adil.15 Perpajakan yang merupakan
instrumen pokok kebijakan perekonomian secara eksplisit mengkonsekuensikan
eksistensi nilai ekonomi dalam pajak.
Moralitas Pancasila menghendaki perpajakan tidak semata-mata berorientasi pada
nilai ekonomi. Kendati nilai ekonomi merupakan elemen vital dalam perpajakan namun
terdapat pula nilai lain yang turut mengiringi keberadaan perpajakan. Pajak merupakan
salah satu alat penting pemerintah dalam mencapai tujuan ekonomi, politik dan sosial.16
Nilai-nilai tersebut patut dipertimbangkan dalam diskursus perpajakan guna memberi
kerangka yang lebih jelas dan komprehensif dalam membahas permasalahan yang
melingkupi praktik perpajakan.
Etika perpajakan mengungkap argumentasi etis yang mendasari praktik
perpajakan. Keberadaan pajak harus dipahami sebagai bagian kehidupan sosial politik
masyarakat Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perpajakan mempunyai
serangkaian nilai yang melekat dalam setiap bentuk penatalaksanaan perpajakan di
lapangan. Keberadaan perpajakan di tengah-tengah masyarakat mengkonsekuensikan
pengadaptasian fundamental nilai yang diacu masyarakat Indonesia, yaitu Pancasila.
Perpajakan harus berpedoman pada nilai-nilai dasar Pancasila. Demikian pula dengan
penatalaksanaanya yang harus sepenuhnya berorientasi nilai Pancasila.
Perpajakan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila menempatkan variabel nilai
Pancasila sebagai pertimbangan etis perpajakan. Nilai-nilai dasar Pancasila harus bisa
diterjemahkan dalam pengkonsepsian maupun pelaksanaan perpajakan. Dalam konteks
inilah etika perpajakan menemukan pendasarannya yaitu etika Pancasila. Pancasila
15 Soemarso. Perpajakan Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Slaemba Empat, 2007., hal:20 16 Mohammad Zain. Op.Cit., hal:6
12
diposisikan sebagai fundamental etika yang melahirkan refleksi kritis atas keberadaan
etika termasuk di dalamnya etika perpajakan.
Etika perpajakan berbasis etika Pancasila menegaskan keberadaan perpajakan
yang didasarkan pada nilai-nilai dasar Pancasila. Moralitas perpajakan harus
merepresentasikan moralitas Pancasila. Moralitas Pancasila yang bersumber dari nilai-
nilai dasar Pancasila dihadirkan dalam kerangka mewujudkan moralitas perpajakan.
Nilai-nilai universal seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
sosial menjadi acuan dan pertimbangan moral penatalaksanaan perpajakan.
Nilai universal yang terkandung dalam sila pertama Pancasila memposisikan
perpajakan dalam bingkai keyakinan atau kepercayaan masyarakat. Agama mengajarkan
keutamaan hidup dan mengantarkan penganutnya pada kualitas hidup.17 Dalam konteks
sila pertama, perpajakan dipahami sebagai kewajiban yang bersifat keilahian. Pensifatan
ini dilekatkan karena kepentingan perpajakan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pemenuhan kewajiban pajak menunjukkan kepatuhan atau ketaatan terhadap pemimpin.
Sehingga perpajakan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi karena terkait tanggung
jawab terhadap negara sekaligus pemimpin. Di sisi lain, tanggung jawab pemerintah
dalam mengelola dan mengorganisasi pajak rakyat tidak semata-mata ditujukan kepada
rakyat. Tanggung jawab pemerintah dalam hal ini bisa dimaknai sebagai tanggung jawab
teologis. Sehingga pemenuhan tanggung jawab pemerintah kepada rakyat merupakan
salah satu bentuk pemenuhan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perpajakan dalam perspektif sila kedua Pancasila menekankan aspek perpajakan
pada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Perpajakan harus memanusiakan manusia
dan mengantarkannya sebagai manusia yang beradab. Perpajakan merupakan perwujudan
keberadaban manusia. Dengan kata lain kewajiban perpajakan adalah kewajiban yang
ditujukan bagi manusia yang beradab karena perpajakan pada esensinya menyangkut
keberlangsungan hidup manusia. Sehingga hanya orang yang beradab saja yang rela
membayar pajak untuk kepentingan bangsa dan negara. Di samping itu, adil dalam
perspektif sila kedua dipahami sebagai sikap adil pada diri sendiri. Perpajakan yang
merupakan kewajiban warga negara harus dijalankan dengan seadil-adilnya oleh negara
maupun wajib pajak. Setiap orang harus melaksanakan kewajibannya dengan adil sesuai
17 Sudaryanto. Op. Cit., hal:22
13
dengan kemampuan dan kapasitasnya. Begitu pula dengan pemerintah yang juga harus
bersikap adil dalam menyelenggarakan perpajakan.
Perpajakan yang dibebankan kepada seluruh warga negara ditujukan bagi
pemenuhan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Dalam konteks inilah nilai persatuan dan
kesatuan dihadirkan melalui perpajakan. persatuan Indonesia mengandung di dalamnya
cita-cita persahabatan dan persauaraan yang dipupuk oleh keinsyafan atas persamaan
nasib dan tujuan.18 Pembangunan yang dibiayai oleh pajak pada hakikatnya
diperuntukkan bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Situasi yang setara, senasib
dan sepenanggungan semakin memperkuat kohesivitas sosial di masyarakat karena apa
yang mereka keluarkan sebagai bentuk kewajiban perpajakan berpulang kembali dalam
wujud pemerataan pembangunan. Di saat yang sama, perpajakan berpretensi
mengantisipasi perpecahan atau disintegrasi bangsa. Komitmen pemerintah mewujudkan
pembangunan yang adil dan merata menjadi kunci bagi upaya menciptakan persatuan dan
kesatuan bangsa.
Nilai kerakyatan dalam perpajakan dimanifestasikan melalui keikutsertaan rakyat
dalam mendukung kebijakan pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Perpajakan adalah wujud partisipasi dan kontribusi riil rakyat kepada negara. Upaya
nyata keterlibatan rakyat dalam pembangunan nampak melalui kerelaan rakyat membayar
pajak. Oleh karenanya perpajakan dapat dianggap sebagai kerja gotong royong dalam
membangun bangsa dan negara. Di sisi lain, nilai universal sila keempat Pancasila turut
pula mendorong pemerintah untuk bertanggung jawab atas pengoptimalan potensi rakyat
bagi kepentingan bangsa dan negara. Pemerintah sebagai representasi demokrasi harus
memahami bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah adalah mengabdi dan melayani
kepentingan masyarakat. Subjek pembangunan yang sesungguhnya adalah rakyat.
Sehingga pemerintah berkewajiban memenuhi kepentingan rakyat melalui pengelolaan
pajak yang bertanggung jawab.
Sila keempat juga menekankan proses pengambilan keputusan perpajakan yang
berdasarkan pada musyawarah mufakat. Asas kerakyatan dalam sila keempat adalah
kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
18 Mohammad Hatta. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press, 1977., hal:33
14
Hal ini secara langsung menegasikan kepentingan suara terbanyak.19 Proses perpajakan
yang bersandar pada musyawarah membawa mufakat perpajakan pada pertimbangan
yang matang dengan berlandaskan pada kearifan dan kebijaksanaan.
Sila kelima Pancasila yang memuat nilai keadilan sosial menghendaki perpajakan
berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan sosial di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara. Keadilan sosial yang dimaksudkan dalam konteks
perpajakan adalah pembebanan pajak yang tidak membeda-bedakan atau
mendiskriminasi warga negara. Setiap warga negara diperlakukan sama kaitannya dengan
kewajiban perpajakan. Pengecualiaan pajak hanya ditujukan bagi mereka yang memang
tidak memenuhi kualifikasi pembebanan pajak. Tidak ada diskriminasi, dispensasi atau
perlakuan khusus bagi mereka yang terkena kewajiban pajak. Semua mendapat perlakuan
secara adil. Nilai keadilan sosial juga memberi dasar bagi pemerintah dalam
mengusahakan pemerataan pembangunan. Pajak yang dibayarkan kepada negara guna
membiayai pembangunan harus dikelola dengan baik. Pemerintah dalam hal ini
menjamin bahwa pembangunan bisa dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa
terkecuali.
Orientasi etika perpajakan yang didasarkan pada etika Pancasila memperlihatkan
bagaimana perpajakan seharusnya diwujudkan. Nilai-nilai yang melandasi perpajakan
harus berpijak pada nilai universal Pancasila. Permasalahan perpajakan yang melingkupi
praktik perpajakan bisa dihindari manakala seluruh komponen yang terlibat di dalamnya
memahami bahwa perpajakan mempunyai fundamental nilai yang mengantarkan manusia
pada kualitas penghidupan yang paripurna. Penghayatan terhadap nilai-nilai perpajakan
yang disandarkan kepada nilai Pancasila akan membuka mata seluruh komponen bangsa
ini bahwa perpajakan bukan semata-mata kewajiban yang ditegakkan tanpa makna.
Perpajakan adalah kewajiban yang sarat nilai dan makna bagi kehidupan manusia.
19 Mohammad Hatta. Op. Cit., hal:33
15
BAB III
PENUTUP
Perpajakan memiliki pengaruh yang signifikan bagi masa depan negara. Eksistensi
negara bergantung sepenuhnya dari keberhasilan pemerintah dalam mengusahakan optimalisasi
perpajakan. Berbagai permasalahan yang melingkupi perpajakan di tanah air berimbas pada
ketidakoptimalan perputaran roda perekonomian rakyat. Pembangunan terhambat, kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat pun ikut berdampak.
Permasalahan perpajakan umumnya disebabkan oleh kurangnya integritas dan komitmen
moral pemerintah dan rakyat selaku wajib pajak. Persoalan moral yang melingkari perpajakan
harus dipecahkan melalui pendekatan etika perpajakan. Etika perpajakan diharapkan mampu
menjawab persoalan perpajakan dan menjamin penatalaksanaan pajak sesuai dengan nilai-nilai
yang mendasari praktik perpajakan.
Keberadaan etika perpajakan tidak bisa dilepaskan dari etika Pancasila yang menaungi
seluruh kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Etika perpajakan selayaknya mendasarkan diri
pada nilai-nilai Pancasila yang diadopsi sebagai etika Pancasila. Pendasaran etika perpajakan
berbasis etika Pancasila diharapkan akan semakin memperkuat keberadaan etika perpajakan yang
mengatur dan mengarahkan setiap praktik perpajakan di tanah air agar berjalan sesuai dengan
tujuan dan cita-cita bangsa.