14
1 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------- ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA BERDASARKAN KONSTITUSI 1 Oleh: Moh. Mahfud MD. 2 Pengantar Bahwa negara ini sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua telah mahfum. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera berubah dan lebih baik. Sekarang, setelah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan- persoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya, namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan. Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di 1 Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta. 2 Ketua Mahkamah Konstitusi RI.

ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

1

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---------

ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

BERDASARKAN KONSTITUSI1

Oleh: Moh. Mahfud MD.2

Pengantar

Bahwa negara ini sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua

telah mahfum. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan

telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan

yang ada, persoalan itu semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi

kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan

apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi

dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi

segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu

sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera

berubah dan lebih baik.

Sekarang, setelah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalan-

persoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang

mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya,

namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan

sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan

politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah

reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering

dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan

kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam

kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor

lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan.

Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses

mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat

mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di

1 Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di

Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta. 2 Ketua Mahkamah Konstitusi RI.

Page 2: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

2

antara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah

menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak

dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun

berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil

atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.

Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan

ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang

kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka,

melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup.

Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas

teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara.

Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan

bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini

haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis

etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya

mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan

karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia

sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.

Dasar Prinsip Etika Bernegara

Etika merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan

etika adalah barometer peradaban bangsa. Suatu bangsa dikatakan

berperadaban tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai

dengan aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada

aturan main memungkinkan aktifitas dan relasi antar sesama warga berjalan

secara wajar, efisien, dan tanpa hambatan berarti. Masyarakat Jawa misalnya,

dituntut dan diajarkan untuk memahami benar tentang arti penting etika.

Sebab, etika yang juga sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan santun,

dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatkan diri dalam

pergaulan sosial, dan itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup

bermasyarakat.

Begitu pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika akan

menjelaskan mana tingkah laku yang baik, apa yang pantas, dan apa yang

secara substansi mengandung kebaikan dan sebaliknya. Bagi bangsa timur

seperti Indonesia, etika telah mendarah daging dimiliki dan diterapkan dalam

kerangka penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan

Page 3: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

3

kolektif. Karena itu, kita masih yakin dan percaya, etika mengalir menjadi

bagian dari kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secara

natural-genetis, di dalam diri anak bangsa mengalir sifat-sifat luhur manusia,

yang pada perkembangannya dirumuskan oleh founding peoples ke dalam

Pancasila, dan selanjutnya disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara.

Melalui Pancasila inilah, para pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar

etis bernegara yang demikian jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar Pancasila

yang dituangkan dalam UUD 1945 dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945,

tidaklah hadir hanya sebagai intuitif dan tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan

melewati proses penggalian mendalam. Meskipun baru dibahas dan

dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia merdeka, pemikiran

mengenai prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara sebenarnya telah

muncul dan dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, berbagai pemikiran yang mengarah

kepada kepada gagasan terciptanya konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan

Indonesia. Beragam pemikiran dan gagasan mengenai politik, fundamen etis dan

moral bangsa, ideologi, dan visi kebangsaan itu kemudian bersintesis dalam

karakter keindonesiaan. Akhirnya, para penyusun UUD berhasil menggali dan

mengakomodir nilai-nilai etika dan moral dalam berbagai bidang kehidupan

berbangsa dan bernegara, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain

untuk dituangkan ke dalam UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945, nilai

etika dan moral terdapat di seluruh Pokok Pikiran3, yang kemudian nilai-nilai itu

dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Itu sebabnya, UUD 1945 sejatinya

merupakan sintesa nilai etika dan moral yang diangkat dari nilai-nilai luhur

bangsa Indonesia yang dikenal religius, berperikemanusiaan, persatuan,

demokrasi, dan keadilan. Hal ini sangat simetris dan sinergis dengan tujuan

bernegara dan berkonstitusi yakni mengarahkan kepada moral kehidupan

berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang lebih baik.

Nilai-nilai luhur itu kemudian disepakati untuk diformalisasi dengan

sebutan Pancasila. Di dalam Pancasila itu, nilai ketuhanan ditempatkan sebagai

3 Pembukaan UUD 1945 memuat 4 (empat) pokok pikiran. Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara

Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa

negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara

berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok

pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan

permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan bahwa negara Indonesia demokrasi, yaitu

kedaulatan ditangan rakyat. Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan

Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Page 4: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

4

sumber etika dan spiritualitas pada posisi yang sangat penting sebagai

fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasannya, Indonesia

bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, karena Indonesia

melindungi hidupnya semua agama dan keyakinan serta mengembangkan

agama untuk bisa memainkan peran yang berkaitan dengan penguatan etika

sosial. Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang

bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga

meruapakan fundamen penting bagi etika politik kehidupan bernegara.

Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar warga negara secara adil dan beradab

merupakan prasyarat yang tak boleh diabaikan dalam bernegara.

Pancasila juga menekankan prinsip persatuan kebangsaan yang

mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan itu dikelola dalam

konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan

keragaman dalam persatuan. Dalam prinsip semacam ini, ada toleransi, ada

ruang hidup untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Perlu

diketahui, negara Indonesia merdeka dikonstruksi di atas perbedaan, sehingga

perbedaan itu bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber kekuatan. Dalam

Pancasila terkandung pula prinsip bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan

persatuan tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi kedaulatan

rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat. Nilai-nilai ketuhanan,

kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi menjadi landasan etik bagi upaya

mewujudkan keadilan sosial dengan semangat kekeluargaan. Intinya, melalui

Pancasila dan UUD 1945, prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara yang

dibangun oleh para pendiri negara diarahkan untuk memajukan kepentingan

umum (bonnum commune) dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan, penghormatan

terhadap kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mengembangkan

demokrasi, serta berorientasi mewujudkan keadilan sosial. Inilah prinsip-prinsip

mendasar yang dijadikan acuan dalam merumuskan kehidupan demokratis

berbasis etika dan moralitas.

Dalam berpolitik misalnya, meskipun identik dengan cara meraih

kekuasaan, UUD menggariskan politik sebagai seni yang mengandung

kesantunan dan etika yang diukur dari pengutamaan moral. Pilihan para pendiri

negara untuk menyandarkan politik pada prinsip demokrasi deliberatif yang

mengedepankan pemusyawaratan dan bukan menang-menangan, merupakan

keputusan terbaik untuk mengatasi segala paham golongan maupun

Page 5: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

5

perseorangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Perbedaan, dalam

hal ini tetap dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.

Terkait dengan implementasi hak asasi manusia (HAM), Pembukaan UUD

1945 menyelaraskannya dengan filosofi, budaya, serta struktur kemasyarakatan

Indonesia. Dalam konteks filsafati, HAM akan terpenuhi manakala manusia juga

menunaikan kewajiban asasinya. Karena itu, tegaknya HAM harus diartikan

sebagai keseimbangan tegaknya hak asasi dengan kewajiban asasi.

Demikian halnya dengan bidang ekonomi. UUD 1945 mengepankan

prinsip kesejahteraan sosial dalam setiap aktifitas perekonomian yang

berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan ekonomi harus bermuara pada

peningkatan kesejahteraan sosial yang menjadi tolok ukur keberhasilan

pembangunan. Interaksi antar pelaku dalam ekonomi dilandasi oleh semangat

keseimbangan, keserasian, saling mengisi, dan saling menunjang dalam rangka

mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Problem Implementasi Etika Dewasa Ini

Yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan etika

berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan

bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa.

Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-

materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali

tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat

belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena

penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin

etika.

Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti

pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic

exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku

kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar

pemanis bibir saja. Kompetisi politik terreduksi hanya pada persoalan kalah dan

menang dalam meraih jabatan politik dan kekuasaan. Padahal jelas, politik

tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan

kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam

demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa

politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan

akhlak bangsa.

Page 6: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

6

Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot.

Aparat pemerintahan saat ini kebanyakan melihat status dan jabatan yang

disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara

sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut. Sebaliknya,

status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan

pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan

dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi

materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai

lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk

keuntungan pribadi. Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk

pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan

dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja

sesedikit mungkin.

Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi

tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan

mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika

dibandingkan dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk

menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun

sudah dilakukan dengan ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan

terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu anggaran sudah

dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan

pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada

akhirnya merugikan rakyat.

Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau

melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan

masyarakat karena diduga terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng

menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau

saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar etika seharusnya merasa

lebih berdosa daripada melanggar hukum karena pada dasarnya etika

merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai

etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat

negara sudah terbukti melanggar etika, maka seharusnya ia malu dan lalu

mengundurkan diri tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Pelajar ilmu

hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi dari nilai-nilai agama,

etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-kaidah dalam bermasyarakat

Page 7: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

7

untuk kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah,

kaidah-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.

Di bidang sosial, etika dalam pergaulan antar sesama warga semakin

tergerus oleh berbagai hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas

modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung, sampai dengan

menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu

agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali

menyulut konflik meski dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi,

perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan menggunakan ”okol”

ketimbang akal. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada

persoalan makin rumit dan kian meruncing. Kecenderungan lebih menggunakan

”okol” ketimbang akal menunjukkan melemahnya penghargaan dan

penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.

Tak berhenti sampai di situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata

semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika

akademis dan etika keilmuan, misalnya orang membeli gelar akademik dan suka

mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi

yang suka ”menjual” keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain

dengan imbalan tertentu. Ada pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta

menyampaikan pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu

pada pakem ilmiah-akademis melainkan bergantung pesanan dan pendapatan.

Dulu, orang menulis buku dan menerbitkan merupakan prestasi akademik luar

biasa yang membanggakan. Tetapi sekarang, orang bisa punya artikel, buku,

atau bahkan karya ilmiah tanpa harus memiliki tradisi berpikir ilmiah dengan

cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya,

padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etika ilmiah

akademik itu merupakan orang yang tidak keberatan membohongi diri sendiri.

Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri, maka dia tidak

sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri koruptor atau calon koruptor.

Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut berkontribusi banyak

dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.

Dewasa ini, ukuran etis atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap

permisif masyarakat terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk

penyimpangan sosial. Korupsi di negeri ini kian mengerikan dan merajalela,

salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi

sebagai budaya. Orang korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada

Page 8: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

8

kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil,

kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya

katakan, teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori

dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementara

negara terus menerus digerogoti.

Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan

ditegakkan tanpa bertumpu pada etika, moral, dan hati nurani sehingga

menjauhi rasa keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak membawa

perbaikan yang diinginkan. Salah satu sebabnya karena terjadinya pelanggaran

etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga

legislatif. Di ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti

pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa

melibatkan moral dan etika. Penegakan hukum yang hanya sekedar

menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas etika dan moral

keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali gagal

diwujudkan.

Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari

etika dan moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan.

Namun demikian, saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang

dijalankan justru mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa

suap dalam bentuk commitment fee atau kick back dalam proyek misalnya,

menujukkan bagaimana aktivitas ekonomi telah mengesampingkan etika.

Padahal, jika saja etika untuk memperoleh proyek pemerintah dipegang teguh,

korupsi dan suap akan bisa dicegah. Saat ini kita juga dapat melihat

dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup yang

mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di masa yang akan

datang. Pelanggaran-pelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang ekonomi

terkait dengan lemahnya etika pemerintahan di birokrasi. Saya pernah bertemu

dengan pengusaha yang mengaku terpaksa menyuap pejabat karena pejabatnya

yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia akan kalah atau

dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi.

Tentu kita miris dengan fenomena ini. Manakala etika tidak lagi dijadikan

sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini bukan lain

adalah suara sirine tanda bahaya bagi negara ini. Saya sering menyebut kondisi

negara saat ini sedang dalam bahaya. Di dalam konstitusi memang ada

ketentuan tentang negara dalam bahaya dalam arti serangan dari luar, dari

Page 9: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

9

negara lain, sehingga negara dapat menyatakan perang, namun keadaan

sekarang ini lebih bahaya karena ancaman itu justru datang dari dalam negara.

Ancaman bahaya itu ialah terjadinya penggerogotan dan pembusukan dari

dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah membuat kita sulit menemukan

orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran, mengapresiasi orang lain

secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu yang ironis

mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk

memberikan penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan

keadilan.

Solusi Menguatkan Etika

Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor

penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang

dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan

pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula

pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan

meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR

Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini

sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan

oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan

Etika Kehidupan Berbangsa meliputi:

1. Etika Sosial Budaya

Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam

dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling

memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di

antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan

kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang

bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang

harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun

informal pada setiap lapisan masyarakat.

2. Etika Politik dan Pemerintahan

Page 10: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

10

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat

dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,

berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur

dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara

moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan

masyarakat.

Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam

perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari

sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak

manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

3. Etika Ekonomi dan Bisnis

Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja

ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya

suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada

rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini

mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan

ekonomi yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di

bidang ini lebih menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya

dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis kaum libertarian

bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan

kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi.

Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusia-

lah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada

batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini, terutama

kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala

cara. Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-

kurangnya 3 (tiga) keburukan. Pertama, persaingan bebas, dengan

menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan

atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang

dibiarkan bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih

besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan kesenjangan,

pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi

tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun

terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua,

perekonomian kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil.

Page 11: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

11

Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak selalu

berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang

dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada

pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan

mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan

jumlah uang yang beredar “seolah-olah” semakin besar dan bertambah

nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu

akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas

ekonomi riil sebagai dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar

keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah

merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya

praktik korupsi.

4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial,

ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan

dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak

pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya

supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa

keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini

meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan

tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum, dan

menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan

dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya..

5. Etika Keilmuan

Etika ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,

ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga

harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai

kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.

Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta,

dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan

komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis,

berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Page 12: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

12

6. Etika Lingkungan

Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan

melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara

berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku

yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga

persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menanamkan etika,

mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan

bernegara. Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui

pendidikan ajaran nilai dan moral yang menjadi sumber etika serta

aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam Ketetapan Nomor

VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika

bernegara adalah:

1. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam

kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui

pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh

keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin

masyarakat.

2. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan

menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika

yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta

pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara

kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal

kebajikan.

3. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas

kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik

pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.

Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari

situasi dan lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari

kehancuran akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera

mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang

kehidupan kita. Secara kolektif kita harus segera menyadari kembali bahwa

semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan

mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi-

Page 13: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

13

dimensi etis dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari

kultur dan jati diri bangsa.

Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara.

Namun, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan

etika merupakan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai

transfer pengetahuan. Dalam proses pendidikan karakter ini peran keteladanan

jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan

perguruan tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap pembentukan etika

mahasiswa dibanding kuliah tentang etika di kelas. Keteladanan dalam

menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam menegakkan kebebasan

akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang sangat penting

untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula, keteladanan

aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi terhadap

upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan

model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan.

Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh

negara dan para aparatnya. Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang

juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika

bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan

perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah

model bagi anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus

dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki

peran besar untuk menentukan pemimipin yang beretika sekaligus mampu

memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini,

tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta

organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan

bernegara.

Atas dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di

dalam sanubari dan kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber

atau dilandasi oleh etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan

masa depan dan menggagalkan tujuan kita mewujudkan kehidupan bangsa dan

negara yang demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.

*****

Page 14: ETIKA Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara

14

Daftar Bacaan A.B. Kusuma, Lahirnya Undang Dasar: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan

Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Badan Penerbit

Fakultas Hukum Unibersitas Indonesia, Jakarta, 2004. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Gramedia, Jakarta, 1988. ____________________, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1991. ____________________, Memantapkan Demokrasi Pancasila: Sebuah Telaah

Filosofis, Jakarta, 1994. J. Kristiadi, Demokrasi dan Etika Bernegara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,

2008. Kartohadiprodjo, S., Pancasila dan/dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bina

Cipta, Bandung 1986. Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem

Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Kongres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007. ______________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers,

Jakarta, 2009. ______________, Hukum, Moral, dan Politik, Materi Studium Generale untuk

Matrikulasi Program Doktor Ilmu Huku Universitas Diopnegoro, Semarang, 23 Agustus 2008.

Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Andi Publisher , Yogyakarta, 2006.

Soekarno, Lahirnja Pantja Sila, dalam Tjamkan Pantja Sila, Departemen

Penerangan, 1964.

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.