30
1 SENASBASA (4) (2020) (E-ISSN 2599-0519) PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA) http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan pendidikan di tengah terpaan pandemi 1 Syamsul Arifin 2 [email protected]; [email protected] A. Wajah Kemanusiaan Kita 3 Wabah Covid-19 telah mendatangkan akibat buruk, nyaris pada semua sendi kehidupan dengan tingkat kerugian yang besar pula. Semula hanya dalam hitungan jari orang yang dinyatakan terpapar Covid-19, awal Maret lalu. Pada hari-hari berikutnya terjadi kenaikan secara signifikan. Diperkirakan tren penyebaran Covid-19 masih akan tetap meninggi, setidaknya jika mempertimbangkan tiga hal. Pertama Covid-19 memiliki daya sebar dan penularan antarmanusia yang begitu cepat. Kedua, tingkat kedisiplinan dalam menegakkan protokol pencegahan Covid-19 di masyarakat terutama yang terkait dengan pembatasan mobilitas orang dan menjaga jarak fisik (physical distancing) serta penggunaan masker secara benar. Ketiga, belum ditemukan vaksin yang terbukti ampuh untuk menguatkan daya tahan tubuh dari terpaan Covid-19. Karena penyebaran wabah Covid-19 sedemikian cepat dengan tingkat fatalitas kasus (case fatality rate) yang tidak bisa dianggap enteng, maka di samping ada himbauan juga terbit ketentuan yang mengatur mobilitas orang secara ketat agar tidak terjadi pertemuan dan kerumunan. Maka dalam dua bulan terakhir ini setelah Indonesia pada gilirannya terpapar pandemi Covid-19, publik diminta melakukan social distancing dan physical distancing. Pengaturan mobilitas orang tak pelak berdampak pada perekonomian yang menjadi penggerak utama aktivitas manusia dalam memenuhi hajat yang paling mendasar. Padahal manusia seperti diulas filsuf dan tokoh psikoanalisis, Erich Fromm (1968), senantiasa dihadapkan pada persoalan survival, bahkan hingga ke tahapan trans- survival jika kebutuhan yang paling pokok berupa pangan, sandang, dan papan bisa diraih. Jika hal yang paling pokok (survival) tidak bisa diraih, masih menurut Erich 1 Sebagai pengantar dialog pada Seminar Nasional: Bahasa, Sastera, dan Pembelajarannya di Masa Pandemi”, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Bekerja Sama dengan Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI) Pusat, Rabu, 28 Oktober 2020. Paper ini—kecuali bagian Wajah Kemanusiaan—dikompilasi dari artikel penulis yang dimuat di beberapa media massa seperti Republika, Jawa Pos, dan Suara Muhammadiyah. 2 Syamsul Arifin, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan al-Islam-Kemuhammadiyahan (AIK)&Guru Besar Sosiologi Agama Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. 3 Belum dipublikasi.

Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

  • Upload
    others

  • View
    61

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

1

SENASBASA (4) (2020) (E-ISSN 2599-0519)

PROSIDING SEMINAR

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)

http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan pendidikan di tengah terpaan pandemi1 Syamsul Arifin2 [email protected]; [email protected] A. Wajah Kemanusiaan Kita3 Wabah Covid-19 telah mendatangkan akibat buruk, nyaris pada semua sendi kehidupan dengan tingkat kerugian yang besar pula. Semula hanya dalam hitungan jari orang yang dinyatakan terpapar Covid-19, awal Maret lalu. Pada hari-hari berikutnya terjadi kenaikan secara signifikan. Diperkirakan tren penyebaran Covid-19 masih akan tetap meninggi, setidaknya jika mempertimbangkan tiga hal. Pertama Covid-19 memiliki daya sebar dan penularan antarmanusia yang begitu cepat. Kedua, tingkat kedisiplinan dalam menegakkan protokol pencegahan Covid-19 di masyarakat terutama yang terkait dengan pembatasan mobilitas orang dan menjaga jarak fisik (physical distancing) serta penggunaan masker secara benar. Ketiga, belum ditemukan vaksin yang terbukti ampuh untuk menguatkan daya tahan tubuh dari terpaan Covid-19.

Karena penyebaran wabah Covid-19 sedemikian cepat dengan tingkat fatalitas kasus (case fatality rate) yang tidak bisa dianggap enteng, maka di samping ada himbauan juga terbit ketentuan yang mengatur mobilitas orang secara ketat agar tidak terjadi pertemuan dan kerumunan. Maka dalam dua bulan terakhir ini setelah Indonesia pada gilirannya terpapar pandemi Covid-19, publik diminta melakukan social distancing dan physical distancing.

Pengaturan mobilitas orang tak pelak berdampak pada perekonomian yang menjadi penggerak utama aktivitas manusia dalam memenuhi hajat yang paling mendasar. Padahal manusia seperti diulas filsuf dan tokoh psikoanalisis, Erich Fromm (1968), senantiasa dihadapkan pada persoalan survival, bahkan hingga ke tahapan trans-survival jika kebutuhan yang paling pokok berupa pangan, sandang, dan papan bisa diraih. Jika hal yang paling pokok (survival) tidak bisa diraih, masih menurut Erich

1 Sebagai pengantar dialog pada Seminar Nasional: Bahasa, Sastera, dan Pembelajarannya di Masa Pandemi”, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Bekerja Sama dengan Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI) Pusat, Rabu, 28 Oktober 2020. Paper ini—kecuali bagian Wajah Kemanusiaan—dikompilasi dari artikel penulis yang dimuat di beberapa media massa seperti Republika, Jawa Pos, dan Suara Muhammadiyah. 2 Syamsul Arifin, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan al-Islam-Kemuhammadiyahan (AIK)&Guru Besar Sosiologi Agama Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. 3 Belum dipublikasi.

Page 2: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

2

Fromm (1973), manusia bisa bertindak secara agresif yang cenderung merusak tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.

Aktivitas perekonomian yang sebagian besar meniscayakan interaksi secara fisik yang melibatkan banyak orang, tentu berpotensi mempercepat penyebaran Covid-19 jika tidak diatur dengan menerapkan physical distancing. Masalahnya penerapan ketentuan yang membatasi mobilitas manusia ini mulai menghempaskan dunia usaha yang mengancam jutaan pekerja. Bila pekerjaan hilang, berarti menganggu pencapaian survival yang bisa mendorong munculnya tindakan agresif. Masalah Kemanusiaan

Pada kenyataannya, hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, setidaknya terhitung sejak awal Maret, efek ganda (multiplier effect) menyusul munculnya wabah Covid-19 tidak hanya menyasar bidang kesehatan dan ekonomi, tetapi juga lainnya yang menuntut kita memikirkan mitigasi risiko supaya tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.

Salah satu efek ganda setelah merebaknya wabah Covid-19 adalah munculnya ketakutan secara berlebihan terhadap orang yang dikaikan dengan wabah Covid-19, baik karena sebagai petugas medis, pasien yang positif terpapar, bahkan hingga kepada pasien yang pada akhirnya tidak tertolong jiwanya yang kemudian terkadang menimbulkan penolakan dari sekelompok warga yang khawatir tertular wabah Covid-19 dari jenazah.

Karena itu boleh dikatakan, penyebaran wabah Covid-19 telah menghadirkan persoalan kemanusiaan. Kecemasan (anxiety) dan ketakutan secara berlebihan, lalu pada gilirannya menggerus aspek etis kita dalam menghargai dan memuliakan manusia, adalah persoalan kemanusiaan yang mulai tampak begitu nyata di era wabah Covid-19 saat ini. Dimensi Teologis

Manusia dalam kondisi apa pun ingin memeroleh penghargaan dan kemuliaan. Kesadaran eksistensial yang paling primitif ini terutama karena mempertimbangkan muasal manusia yang dalam telaah filsafat disebut dengan ultimate cause, alih-alih proximate cause. Manusia ada dalam kosmos ini bukan semata karena penyebab terdekat (proximate cause), hanya melalui proses biologis semata dari orang tua, tetapi perlu kita tarik lebih ke belakang yang menjadi muasal semua ciptaan (ultimate cause) atau yang disebut juga penyebab tertinggi (supreme cause), yaitu Tuhan, setidaknya begitu yang menjadi keyakinan kalangan teistik.

Dalam ajaran Kristiani terdapat konsep imago dei yang ingin memberikan penekanan kemuliaan manusia karena keterciptaan manusia pada dasarnya merupakan gambaran dan rupa Tuhan. Islam juga memberikan apresiasi yang sama kepada manusia antara lain melalui konsep ahsanu taqwin, bahwa kualitas penciptaan manusia lebih unggul apabila dibandingkan dengan kualitas penciptaan makhluk lainnya. Maka sebagai kelanjutan dari konsep ini, manusia dalam pandangan Islam merupakan khalifah yang berarti antara lain sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Kemuliaan manusia bisa terwujud karena dua hal. Pertama karena dilakukan oleh individu sendiri dengan menjalankan aktivitas yang memiliki implikasi kebaikan terhadap dirinya dan pihak lain. Bekerja merupakan cara yang ditempuh oleh manusia untuk memuliakan dirinya. Salah seorang filsuf dan teoritikus sosial klasik, Karl Marx, menaruh perhatian terhadap makna kerja ini yang dipandangnya sebagai cara yang dilakukan manusia dalam mewujudkan hakikat kemanusiaannya.

Page 3: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

3

Dengan mengambil contoh bekerja sebagai salah satu cara yang ditempuh manusia untuk memeroleh kemulian dirinya, lalu yang menjadi pertanyaan: Bagaimana jika manusia secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan sebagaimana yang dialami banyak orang saat ini menyusul badai wabah Covid-19? Maka di sinilah pentingnya hal yang kedua, pihak di luar individu harus tetap menjamin kemulian tersebut. Kehadiran Negara

Tentu pihak yang paling bertanggung jawab menjamin kemuliaan tersebut adalah negara. Dalam keadaan warga kehilangan pekerjaan, negara dituntut memenuhi hak asasi warganya untuk mendapatkan jaminan/perlindungan sosial dengan cara menyediakan kebutuhan dasar atau pokok mereka. Pemenuhan ini juga harus dipastikan terwujud ketika di beberapa wilayah diterapkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB).

Penting dipertegas pula, yang harus hadir untuk mewujudkan pemenuhan tersebut adalah negara sebagai istitusi, bukan secara perorangan yang dilakukan secara sporadis sebagian bagian dari praktik populisme dengan maksud sekedar mendapatkan citra sebagai pemimpin yang populis di tengah badai wabah Covid-19.

Negara juga harus menjamin keterwujudan kemerdekaan dari rasa takut (freedom from fear). Konteks kebebasan dari rasa takut yang dikemukakan oleh Franklin D. Rossevelt di hahadapan parlemen Amerika Serikat pada 6 Januari 1941 sebagai salah satu bagian dari tiga kebebesan esensial lainnya, yaitu kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan beribadah (freedom of worship), kebebasan dari kekurangan dan kemiskinan (freedom of want), memang memiliki perbedaan, tetapi tetap relevan dirujuk karena warga sedang berada dalam ketakutan menghadapi badai wabah Covid-19.

Ketakutan tersebut terlihat antara lain pada merebaknya stigmatisasi terhadap mereka yang terkait dengan wabah Covid-19 baik karena sebagai tenaga medis, pasien yang dinyatakan positif terkena wabah Covid-19, bahkan kepada pasien yang meninggal dunia. Munculnya ketakutan menjadi petunjuk penting agar negara harus terus hadir memberikan edukasi kepada warga disertai jaminan pelaksanaan protokol penanganan wabah Covid-19 agar yang lain tidak terpapar. B. Pendidikan dan Gangguan Disrupsi4

Selama tiga hari (6-8 Maret 2019) mengikuti The First MOCAT (Modern Competence of Academic Teachers) Project Meeting di University of Salerno, Itali, saya memperoleh kesan setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, harapan sekaligus kegelisahan terkait dengan perkembangan teknologi yang berlangsung secara revolutif. Disebut sebagai harapan karena di satu sisi memberikan banyak kemudahan dalam mengakses berbagai macam informasi dalam tempo yang singkat, tetapi di sisi lain mengubah perilaku dari kalangan civitas akademika ke tren yang negatif, yakni kian tumpulnya literasi karena alih-alih mahasiswa, di kalangan dosen sekali pun tidak sedikit yang terjebak pada praktik copy-paste yang mengarah pada terjadinya penjiplakan.

Kedua, ketidakmungkinan menghindar dari dampak revolusi teknologi yang merambah dunia pendidikan tentu termasuk ke ruang kelas perkuliahan. Dalam pertemuan muncul lontaran sederhana dari salah seorang peserta dari University of Akureyri, Iceland, yang sebenarnya sering muncul di Indonesia, tentang penggunaan smartphone, apakah dimatikan atau dimanfaatkan selama proses perkuliahan berlangsung? Smartphone sekedar secuil contoh apa yang dulu pernah disebut oleh John

4 Dimuat di Republika, Selasa, 12 Maret 2019.

Page 4: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

4

Naisbitt dengan high tech. Tetapi sebagaimana judul bukunya yang pertama kali terbit pada 1983, High Tech/High Touch: Technology and Our Search for Meaning, maka “sentuhan yang tinggi” terhadap smartphone, masih menurut peserta dari Iceland itu, harus lebih dioptimalkan kemaslahatannya di ruang kelas.

Ketiga, inilah target yang disasar dalam pertemuan The First MOCAT Project Meeting itu, bagaimana tim yang bergabung proyek MOCAT yang terdiri dari 8 perguruan tinggi dari Kenya, Turki, Iceland, Georgia, Itali, Polandia, dan Indonesia (Universitas Muhammadiyah Malang), mampu mengembangkan suatu produk yang mampu mendongkrak kompetensi dosen dalam menggunakan teknologi informasi yang turut mendongkrak pula kualitas mahasiswa. Keniscayaan Perubahan

Seturut dengan makna denotatif pada kata revolusi, yakni perubahan yang mendadak dan radikal (abrupt and radical change) seperti diulas Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution (2017), internet yang sudah berkembang, pada revolusi era sekarang, masih merujuk pada Schwab, bisa dimanfaatkan lagi lebih mudah di berbagai tempat karena sudah berkembang menjadi mobile internet dengan harga yang lebih murah, dan dengannya pula, berkembang kecerdasan buatan atau artificial intelligent. Karena karakteristiknya yang demikian, Schwab dalam buku terbarunya, Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (2018) revolusi industri 4.0 merupakan bab baru (a new chapter) dalam perkembangan kehidupan manusia.

Bermula sejak 1760 hingga 1840 yang disebut dengan revolusi industri 1.0, terus berkembang ke fase berikutnya, revolusi industri 2.0 yang dimulai pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, lalu muncul revolusi industri 3.0 pada 1960-an hingga puncaknya pada 1990-an yang ditandai dengan kemajuan internet, dan tahap selanjutnya yang sedang terjadi sekarang yang disebut revolusi industri 4.0.

Lazimnya perubahan yang radikal di bidang teknologi, akan terjadi pula perubahan dalam bidang lainnya. Revolusi industri pertama antara lain mengundang terjadinya urbanisasi di bidang sosial dan sekularisasi yang menimpa agama. Revolusi industri 4.0 telah mengubah cara masyarakat bertransportasi setelah perusahan rintisan (startup) seperti Uber, Grap, dan Go-Jek mendisrupsi teknologi lama. Pelan-pelan disrupsi ini akan mengubah gaya hidup masyarakat, dari yang semula mementingkan kepemilikan alat transportasi, lalu lebih mementingkan keteraksesan dan kecepatan.

Tidak hanya transportasi, masyarakat di negara maju di era revolusi industri 4.0 seperti dituturkan Richard Susskind dan Daniel Susskind dalam The Future of the Professions (2015), banyak beralih ke pendidikan dalam jaringan (daring) atau online dengan durasi yang terbatas daripada berlama-lama di perguruan tinggi. Masih menurut Susskind dan Susskind, masyarakat mulai banyak yang memanfaatkan the WebMD untuk konsultasi kesehatan daripada datang ke dokter. Disrupsi ini akan berakibat positif pada munculnya jenis pekerjaan baru, kendati yang mengkhawatirkan banyak jenis pekerjaan lama yang terdisrupsi. Pendidikan dan Disrupsi

Pendidikan tak pelak rentan juga dengan disrupsi. Disrupsi seperti ditulis Rhenald Kasali dalam Disruption (2017) adalah membuat hal yang baru sehingga yang lama ketinggalan zaman (doing thing diferently—so others will be obsolote), pendidikan akan tertinggal jika hanya mengulang hal yang lama dengan sedikit perbaikan (iterasi), dan tidak mau melakukan disruptive innovation.

Page 5: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

5

Sebab menyusul revolusi industri 4.0, masyarakat mulai mengalami pergeseran pula menjadi masyarakat atau society 5.0 yang ditandai dengan masyarakat dengan kecerdasan super (super smart society). Di perguruan tinggi, representasi dari masyarakat ini adalah mahasiswa yang sedang studi. Mereka adalah kaum pribumi digital (digital native) yang telah akrab dengan berbagai properti yang terkoneksi dengan internet bahkan kala mereka masih balita. Ketika menjadi mahasiswa, mereka tak tampak gagap pada saat mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang disediakan internet.

Maka kalau pembelajaran hanya sekedar memindahkan ilmu pengetahuan, kaum pribumi digital akan lebih siap. Gaya literasi mereka juga berubah dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang lahir pada 1960-an yang disebut sebagai kaum digital immigrant yang menjadi dosen mereka. Mereka lebih menyukai sumber ilmu pengetahuan yang terkoneksi secara daring, sementara dosennya masih menyukai sumber yang disajikan secara luring. Apa jadinya jika ada mahasiswa yang mengambil kuliah secara daring di Coursera, atau melalui IndonesiaX.co.id, sementara dosennya lebih memilih melakukan iterasi?

Harus dipikirkan juga beberapa jenis pekerjaan yang terdisrupsi dan hilang, lalu inovasi apa yang perlu dirancang oleh pendidikan? Sebab kalau rancangan kurikulum pendidikan masih berkutat di society 4.0 (information society), apalagi lebih ke belakang lagi, society 3.0 (industrial society) dan society 2.0 (agrarian society), pendidikan hanya menjadi tempat untuk menunda pengangguran. Dan kelak jika sudah lulus, sulit mendapatkan pekerjaan. Dengan begitu terjadi mismatch antara pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Namun ada peran pendidikan yang sulit digantikan oleh teknologi yang super canggih sekalipun. Lagi pula, menurut Schwab (2018), revolusi industri 4.0 harus tetap di bawah kendali dan berpusat pada manusia (human-led and human-centered), maka kendati tetap perlu melakukan adaptasi terhadap teknologi baru, pendidikan tidak boleh melupakan peran abadinya dalam memanusiakan manusia. Pendidikan harus memastikan manusia tetap sebagai khalifah dan hamba Tuhan (abdullah) yang mampu mengendalikan ciptaannya sendiri untuk kemaslahatan manusia, bukan malah sebaliknya.

C. Ancaman Impersonalitas dalam Pendidikan di Era Digital5

Jika pernah berkunjung ke Museum Vatikan (The Vatican Museums) atau Musea Vaticana dalam bahasa Itali, bisa dipastikan menjumpai lukisan dinding, The School of Athens. Karya seniman pada masa pencerahan Italia abad ke-16, Raphael, itu juga bisa dijumpai di beberapa literatur filsafat. Dalam lukisan itu antara lain terdapat dua figur yang abadi hingga kini, Plato dan Aristoteles. Plato merupakan murid Socrates. Sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Ada kutipan yang menggambarkan kedekatan Aristoteles bersama gurunya, Plato: “Amicus Plato, magis amica veritas.” “Plato memang sahabatku, tetapi kebenaran jauh lebih akrab denganku,” kata Aristoteteles.

Terdapat banyak perbedaan antara Plato dan Aristoteles. Satu di antaranya adalah model pendidikan yang dikembangkan Aristoteles. Alih-alih mengikuti tradisi yang dikembangkan Plato dan mendirikan Academicos atau The Academy yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi di Barat, Aristoteles justru mendirikan Lyceum yang mengutamakan metode peripatetos dalam mengajar murid-muridnya. Dengan metode ini, Aristoteles mengajak murid-muridnya berjalan-jalan dan merefleksikan hasil

5 Dimuat di Jawa Pos, Jumat, 15 Maret 2019.

Page 6: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

6

pengamatannya. Dari tradisi Aristoteles inilah kemudian dikenal empirisme dalam pencarian kebenaran.

Pelajaran berharga (lesson learned) yang dapat kita ambil dari hubungan antara Plato dengan Aristoteles, demikian juga antara Socrates dengan Plato adalah kedekatan antara guru dan murid. Dalam hubungan yang begitu akrab, Plato tidak hanya mudah melakukan transmisi ilmu pengetahuan, tetapi juga melakukan karakterisasi atau pembentukan karakter kepada murid-muridnya antara lain kepada Aristoteles.

Bagi yang akrab dengan literatur ilmu pendidikan, segera bisa dipahami bahwa karakterisasi merupakan level tertinggi pada ranah pembentukan sikap (afektif) sebagaimana teori Benjamin S. Bloom. Tidak gampang melakukan karakterisasi karena lebih menekankan pada internalisasi nilai yang pada akhirnya muncul suatu sikap dan tindakan yang pada gilirannya menjadi kepribadian seseorang. Pada kasus murid yang melakukan kekerasan terhadap guru seperti yang dilakukan oleh seorang murid di salah SMP di Gresik beberapa waktu yang lalu, jika misalnya ditanyakan kepada pelakunya, apakah tindakan itu baik atau buruk, pasti akan menjawab buruk.

Jawaban buruk di sini adalah jawaban di level pengetahuan atau moral knowing. Lalu mengapa murid berani merokok di kelas, di hadapan gurunya, kemudian justru melakukan kekerasan ketika guru menegurnya? Faktor yang mengondisikan tindakan murid yang demikian, atau sebaliknya guru yang juga dengan mudah melakukan kekerasan kepada murid-muridnya, tidak cukup hanya menyertakan satu atau beberapa faktor saja. Tetapi harus ditelusuri hingga kepada sesuatu yang mendasar dan sistemik.

Sebab kalau menelusuri pendidikan nilai atau pendidikan karakter, bahkan lebih spesifik lagi pendidikan agama, semua sekolah dan lembaga pendidikan mulai dari jenjang paling bawah hingga ke jenjang paling tinggi telah menjadikan sebagai materi yang wajib diberikan sebagai kelanjutan belaka dari regulasi pemerintah di bidang pendidikan. Penting juga ditambahkan, pada 2011 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengembangan pendidikan karakter yang memuat 18 nilai karakter (religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikastif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab).

Semua nilai karakter tersebut gampang diketahui dan dihafal. Tetapi proses ini tidak menjamin guru dan murid melakukan karakterisasi semua nilai karakter tersebut jika tidak dibarengi oleh suatu penciptaan lingkungan apa yang disebut dalam literatur dan program Pendidikan Menghidupkan Nilai (Living Values Education/LVE) dengan pembentukan lingkungan berbasis nilai (value base atmosphere).

Dalam LVE terdapat filosofi, nilai dilihat, bukan diajarkan (value are caught, not taught). Melihat nilai, berarti lingkungan, entah itu berapa benda maupun tindakan harus menghadirkan nilai-nilai tertentu yang bisa ditangkap, dirasakan, dan berikutnya dilakukan oleh siapa pun yang ada di dalamnya. Pendidikan karakter dengan demikian meniscayakan suasana keterhubungan (koneksitas) secara intim dan pribadi (personal) antara orang-orang misalnya yang terdapat di lembaga pendidikan. Aristoteles menyebut Plato sebagai sahabat. Pada zaman kenabian dalam Islam, Nabi Muhammad memiliki markas pendidikan yang dikenal dengan Baitul Arqam. Di tempat ini, di rumah Arqam, dari kalangan kaum belia yang pertama kali menyatakan keislamannya, Nabi melakukan karakterisasi kepada para sahabat sehingga mereka menjadi peribadi yang loyal dan militan, baik kepada Nabi maupun kepada Islam. Karakterisasi tidak mungkin dilakukan jika ada keberjarakan atau impersonalitas antara murid dengan guru.

Page 7: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

7

Keberjarakan atau impersonalitas inilah yang kini mulai dikahawatirkan kian tumbuh menyusul terjadinya revolusi industri yang pada gilirannya berpengaruh juga ke dunia pendidikan seperti terlihat dari berkembangnya gairah mengembangkan apa yang disebut dengan digitalisasi pendidikan. Gairah ini sepertinya telah menjadi mondial atau global.

Saya menagkap kesan seperti ini sewaktu mengikuti The First MOCAT (Modern Competence of Academic Teachers) Project Meeting di University of Salerno, Itali. Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 menjadi salah satu pembicaraan penting dalam pertemuan yang digagas oleh Wyzsza Szkola Bankowa, Polandia dan disponsori The Polish National Agency for Academic Exchange (NAWA). Projek MOCAT (The MOCAT Project) yang melibatkan perguruan tinggi dari 8 negara, Polandia, Kenya, Romania, Iceland, Georgia, Itali, Turki, dan Indonesia (Universitas Muhammadiyah Malang) berkomitmen untuk meningkatkan kompetensi dosen dalam penggunaan teknologi informasi sehingga dosen memiliki kompetensi mengajar secara online (daring).

Kompetensi ini tidak bisa dihindari dan ditunda karena di masa-masa yang akan datang input pendidikan adalah mereka yang yang disebut kaum milenial dan pribumi digital (digital native) yang sudah akrab dengan dunia digital. Suka atau atau tidak suka, pendidikan termasuk pendidikan tinggi kudu melakukan digitilisasi. Kendati begitu, tidak semua aktivitas dalam pendidikan yang bisa digitalkan. Salah satunya adalah karakterisasi. Karakterisasi membutuhkan ketidakberjarakan (personalitas), sementara digitilisasi lebih menekankan pada keberjarakan (impersonalitas). D. Disrupsi dan Persoalan “Karakterisasi” dalam Pendidikan di Era Digital6

Pertama kali melihat dan bisa menikmatinya kendati hanya sebentar, saya tidak bisa menutupi kekaguman terhadap apa yang disebut kolega saya, Tore Lindholm, dosen senior di Faculty of Law, University of Oslo, Norway dengan “toilet muslim”. Mengunjungi kediamannya di pinggiran kota Oslo sepuluh tahun silam di sela-sela kegiatan saya sebagai peneliti tamu (guest researcher) di Norwegian Center for Human Rights (NCHR), pusat studi yang dimiliki fakultas tersebut, saya ditunjukkan “peralatan canggih” di salah satu kamar mandinya yang mewah, setidaknya menurut kemampuan daya beli saya kala itu.

Disebutnya sebagai “toilet muslim”—tentu dengan maksud berkelakar— karena menjamin kesucian setelah buang air kecil dan besar sebagaimana ketentuan dalam fiqh thaharah Islam. Tetapi bagi saya yang baru pertama kali menikmati toilet tersebut, saya mengaguminya karena memang canggih. Saya cukup menggunakan remot untuk mengatur keluarnya air yang dapat membersihkan secara akurat tempat keluarnya “air kecil” dan “air besar”. Masih cukup dengan remot, saya bisa mengatur suhu air sesuai dengan keinginan saya.

Kini kecanggihan toilet tidak hanya memuat fitur-fitur untuk kenyamanan membuang “hajat”, tetapi sudah melompat lebih jauh ke pemberian fasilitas yang dapat mendeteksi penyakit manusia. FitLoo, toilet rancangan para ahli di European Space Agency (ESA) dan Massachessetts Institute of Technology (MIT), memiliki kecerdasan yang mampu melakukan deteksi secara dini (early warning system) terhadap penyakit seperti diabetes, bahkan kanker. Tidak cukup di bagian itu kecanggihan Fitloo, berikutnya tersambung juga dengan smarphone dan terkoneksi dengan dokter dan apotek. Dan dalam waktu yang cepat, obat sudah tiba di rumah.

6 Versi asli artikel penulis yang dimuat di Republika pada Selasa, 12 Maret 2019 dengan judul Milenial dan Literasi Digital.

Page 8: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

8

Toilet sekedar secuil contoh sisi kehidupan yang tersentuh oleh kecanggihan teknologi dalam era yang disebut dengan revolusi industri 4.0. Bermula sejak 1760 hingga 1840 yang disebut dengan revolusi industri 1.0, terus berkembang ke fase berikutnya, revolusi industri 2.0 yang dimulai pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, lalu muncul revolusi industri 3.0 pada 1960-an hingga puncaknya pada 1990-an yang ditandai dengan kemajuan internet, dan tahap selanjutnya yang sedang terjadi sekarang yang disebut revolusi industri 4.0.

Seturut dengan makna denotatif pada kata revolusi, yakni perubahan yang mendadak dan radikal (abrupt and radical change) seperti diulas Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution (2017), internet yang sudah berkembang, pada revolusi era sekarang, masih merujuk pada Schwab, bisa dimanfaatkan lagi lebih mudah di berbagai tempat karena sudah berkembang menjadi mobile internet dengan harga yang lebih murah, dan dengannya pula, berkembang kecerdasan buatan atau artificial intelligent. Karena karakteristiknya yang demikian, Schwab dalam buku terbarunya, Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (2018) revolusi industri 4.0 merupakan bab baru (a new chapter) dalam perkembangan kehidupan manusia.

Lazimnya perubahan yang radikal di bidang teknologi, akan terjadi pula perubahan dalam bidang lainnya. Revolusi industri pertama antara lain mengundang terjadinya urbanisasi di bidang sosial dan sekularisasi yang menimpa agama. Revolusi industri 4.0 telah mengubah cara masyarakat bertransportasi setelah perusahan rintisan (startup) seperti Uber, Grap, dan Go-Jek mendisrupsi teknologi lama. Pelan-pelan disrupsi ini akan mengubah gaya hidup masyarakat, dari yang semula mementingkan kepemilikan alat transportasi, lalu lebih mementingkan keteraksesan dan kecepatan.

Tidak hanya transportasi, masyarakat di negara maju di era revolusi industri 4.0 seperti dituturkan Richard Susskind dan Daniel Susskind dalam The Future of the Professions (2015), banyak beralih ke pendidikan dalam jaringan (daring) atau online dengan durasi yang terbatas daripada berlama-lama di perguruan tinggi. Masih menurut Susskind dan Susskind, masyarakat mulai banyak yang memanfaatkan the WebMD untuk konsultasi kesehatan daripada datang ke dokter. Disrupsi ini akan berakibat positif pada munculnya jenis pekerjaan baru, kendati yang mengkhawatirkan banyak jenis pekerjaan lama yang terdisrupsi.

Pendidikan tak pelak rentan juga dengan disrupsi. Disrupsi seperti ditulis Rhenald Kasali dalam Disruption (2017) adalah membuat hal yang baru sehingga yang lama ketinggalan zaman (doing thing diferently—so others will be obsolote), pendidikan akan tertinggal jika hanya mengulang hal yang lama dengan sedikit perbaikan (iterasi), dan tidak mau melakukan disruptive innovation.

Sebab menyusul revolusi industri 4.0, masyarakat mulai mengalami pergeseran pula menjadi masyarakat atau society 5.0 yang ditandai dengan masyarakat dengan kecerdasan super (super smart society). Di perguruan tinggi, representasi dari masyarakat ini adalah mahasiswa yang sedang studi. Mereka adalah kaum pribumi digital (digital native) yang telah akrab dengan berbagai properti yang terkoneksi dengan internet bahkan kala mereka masih balita. Ketika menjadi mahasiswa, mereka tak tampak gagap pada saat mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang disediakan internet.

Maka kalau pembelajaran hanya sekedar memindahkan ilmu pengetahuan, kaum pribumi digital akan lebih siap. Gaya literasi mereka juga berubah dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang lahir pada 1960-an yang disebut sebagai kaum digital immigrant yang menjadi dosen mereka. Mereka lebih menyukai sumber ilmu pengetahuan yang terkoneksi secara daring, sementara dosennya masih menyukai

Page 9: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

9

sumber yang disajikan secara luring. Apa jadinya jika ada mahasiswa yang mengambil kuliah secara daring di Coursera, atau melalui IndonesiaX.co.id, sementara dosennya lebih memilih melakukan iterasi?

Harus dipikirkan juga beberapa jenis pekerjaan yang terdisrupsi dan hilang, lalu inovasi apa yang perlu dirancang oleh pendidikan? Sebab kalau rancangan kurikulum pendidikan masih berkutat di society 4.0 (information society), apalagi lebih ke belakang lagi, society 3.0 (industrial society) dan society 2.0 (agrarian society), pendidikan hanya menjadi tempat untuk menunda pengangguran. Dan kelak jika sudah lulus, sulit mendapatkan pekerjaan. Dengan begitu terjadi mismatch antara pendidikan dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Namun ada peran pendidikan yang sulit digantikan oleh teknologi yang super canggih sekalipun. Lagi pula, menurut Schwab (2018), revolusi industri 4.0 harus tetap di bawah kendali dan berpusat pada manusia (human-led and human-centered), maka kendati tetap perlu melakukan adaptasi terhadap teknologi baru, pendidikan tidak boleh melupakan peran abadinya dalam memanusiakan manusia. Pendidikan harus memastikan manusia tetap sebagai khalifah dan hamba Tuhan (abdullah) yang mampu mengendalikan ciptaannya sendiri untuk kemaslahatan manusia, bukan malah sebaliknya.

E. Pembelajaran Daring sebagai Anomali7

Peristiwa selama dua hari berturut-turut yang baru saya alami, bagi saya merupakan suatu anomali dan ironi dalam dunia pendidikan. Setelah sejak pertengahan Maret lalu sekolah memutuskan mengalihkan (swich) pembelajaran secara face to face (luar jaringan/luring), hingga memasuki tahun ajaran baru ini kegiatan sekolah masih menggunakan moda yang sama.

Pada hari kedua masuk sekolah secara virtual, saya dikejutkan oleh seragam sekolah yang dikenakan anak saya. “Kok berseragam?” tanya saya. “Ya, disuruh berseragam,” jawab anak saya. Pada hari berikutnya, giliran isteri saya yang dibuat kaget. “Lho kok sudah berseragam. Kan belum mandi?” tanya isteri saya. “Nggak nutut bu,” jawab anak saya.

Peristiwa yang saya alami di lingkungan keluarga sekedar secuil contoh terpaan Covid-19 setelah berkembang dan menjadi realitas pandemik. Sepertinya tidak ada satu pun ruang di bawah kolong langit ini yang steril dari rambahan Covid-19. Dunia pendidikan termasuk yang paling terdampak. Dua peristiwa itu mendatangkan pilu setidaknya terhadap saya.

Setelah Covid-19 menjadi pandemik, anak saya dan jutaan lainnya harus tinggal dan belajar di rumah. Hampir lima bulan mereka tidak lagi berjumpa secara fisik baik dengan kawan, guru, dan lingkungan sekolah. Belajar atau sekolah di rumah selama pandemi Covid-19 harus dipahami sebagai kedaruratan dan temporer belaka dari sisi waktu.

Sebagai kedaruratan, bukan kenormalan, maka banyak aspek ideal yang harus dikorbankan. Kendati ekosistem digital mulai terbentuk seiring dengan kehadiran peradaban baru apa yang disebut dengan revolusi industri 4.0, sehingga ketika secara tiba-tiba diterpa pandemi Covid-19 kegiatan pembelajaran segera bisa dialihkan (swich) ke daring, pendidikan tetap meniscayakan perjumpaan secara fisik dengan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya utamanya murid, guru, dan lingkungan fisik sekolah.

7 Dimuat di Jawa Pos, Rabu, 22 Juli 2020.

Page 10: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

10

Mengapa keniscayaan? Pertama, karena pendidikan bukan semata-mata sebagai transfer pengetahuan. Dalam diskursus klasik pendidikan Islam, terdapat kritik terhadap konsep tarbiyah yang telah lama digunakan sebagai padanan dari pendidikan. Bahkan di beberapa lembaga pendidikan Islam terdapat fakultas atas setidaknya jurusan tarbiyah seperti pengalaman penulis sewaktu studi sarjana di IAIN Sunan Ampel Fakultas Tarbiyah di Malang mulai 1986-1991.

Istilah itu, menurut filsuf asal Malaysia yang lahir di Indonesia, Syed Muhammad Naquib al Attas, bukan istilah yang tepat dan benar, sebagaimana juga istilah ta’lim, dan karena itu perlu digantikan dengan ta’dib, istilah yang lebih tepat. Tarbiyah menurutnya lebih menekankan pengembangan pada aspek fisik sebagaimana istilah education yang biasa digunakan di Barat.

Al Attas juga mengkritik ta’lim karena lebih menekan pada transfer ilmu pengetahuan. Sebagai alternatif dari dua istilah itu, al Attas menawarkan ta’dib yang menekankan pada pembentukan karakter.

Pembelajaran daring, apalagi dirancang sedemikian rupa sesuai dengan ketentuan yang terkait dengan Learning Management System (LMS), memang bisa mengarahkan subyek didik (siswa dan mahasiswa) berselancar ke berbagai tautan mendalami berbagai materi yang mengait dengan suatu materi yang di dalaminya. Namun pembelajaran daring kesulitan dalam membentuk karakter subyek didik.

Alasan kedua yang meniscayakan perjumpaan fisik dalam pendidikan adalah keterbatasan kapasitas keluarga sebagai tempat belajar secara daring selama masa pandemi. Keterbatasan kapasitas tidak saja karena adanya disparitas yang disebabkan faktor ekonomi yang berakibat pada kemampuan dalam menyediakan jaringan internet di rumah, tetapi juga kemampuan orangtua yang akan menggantikan peran guru terutama bagi siswa dalam usia pendidikan dasar-menengah (SD-SMP).

Ketika pembelajaran dialihkan ke rumah, muncul ungkapan bernada retorik, misalnya, “Pandemi memberi momentum penguatan peran orangtua sebagai guru yang sesungguhnya.” Tidak ada yang nembantah terhadap keberadaan dan peran orangtua bahkan sebagai kurikulum yang sesungguhnya (real curriculum) dan kurikulum yang hidup (living curriculum) bagi anak-anaknya. “Parents are the primary models for and agents of socialiczation,” jelas Robert dan Yamane dalam Teligion in Sociological Perspective.

Karena itu semua tokoh pendidikan selalu menekankan posisi keluarga dalam pendidikan seperti yang digagas Ki Hadjar Dewantara dengan konsep Tri pusat Pendidikan, yakni keluarga pertama-tama sebagai pusat pendidikan, lalu berikutnya sekolah dan masyarakat. keluarga sebagai pusat pendidikan dapat menjalankan fungsi konsentris jika menggunakan konsep trikon yang juga dikembangkan Ki Hadjar Dewantara yakni kontinyu, konvergen, dan konsentris. Konsentris bisa dipahami sebagai azas pendidikan yang lebih menekankan pada kebudayaan sendiri yang antara lain terdapat dalam keluarga sebagai pembentuk karakter.

Namun demikian, pembelajaran secara daring dalam rentang waktu yang lama akan memberikan dampak yang tidak ringan terutama secara psikologis kepada anak-anak. Pada awalnya mungkin hanya bosan yang muncul. Dampak berikutnya yang harus diperhatikan adalah perasaan kesepian atau feeling of loneliness sebagaima juga menjadi kekhawatiran Mendikbud Nadiem Makarim. Sebelum diterpa pandemi Covid-19, masyarakat sebenarnya telah mengalami apa yang disebut dengan alone together justru terjadi pada era yang selalu terhubung tetapi secara daring (always online) dan budaya berbagi-komentar (share-comment culture). Begitu diterpa pandemi yang mengharuskan masyarakat menghindari Tiga Cs (Three CsThe) sebagaimana

Page 11: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

11

rekomendasi WHO, yakni menghindari tempat ramai dengan banyak orang (crowded places), menghindari berkontak atau berbicara dengan orang dalam jarak dekat (Close-contact settings), dan menghindari ruang terbatas dan tertutup dengan ventilasi udara yang buruk (Confined and enclosed spaces), pendidikan mau tidak mau terdomestikasikan di rumah yang bisa berakibat pada munculnya perasaan kesepian.

Alasan berikutnya (ketiga) yang perlu dikemukakan bahwa pembelajaran daring harus dipandang sebagai kedaruratan dan kesementaraan belaka adalah terkait dengan dampaknya terhadap ketahanan finansial utamanya yang dihadapi lembaga pendidikan swasta seperti dialami perguruan tinggi swasta (PTS). Pembelajaran daring di beberapa kalangan telah memunculkan sikap transaksional.

Karena dialihkan ke pembelajaran daring, maka mahasiswa tidak lagi menggunakan fasilitas kampus, maka pihak kampus diminta mengembalikan biaya pendidikan yang telah terbayarkan. Selain beralasan demikian, tidak bisa dipungkiri juga kalangan orang tua mahasiswa ada yang terdampak secara ekonomi setelah Covid-19 menjadi pandemi. Akibatnya, tidak sedikit PTS yang dihadapkan pada masalah ketahanan dan kerentanan finansial. Beberapa PTS mulai menerapkan pengetatan pengalokasian pendanaan yang lebih mengutamakan survival. Yang terpenting gaji dosen dan staf masih tetap terbayarkan, sementara pembiayaan kegiatan akademik di luar pengajaran untuk sementara dikurangi bahkan dihentikan.

Pembelajaran daring di masa pandemi adalah bagian dari fenomena ketidaknormalan atau anomali. Jika berlangsung lebih lama lagi, pendidikan akan dihadapkan pada fase krisis, sebagaimana dialami bidang lainnya. Pembelajaran daring merupakan solusi darurat selama pandemi. Terutama pihak sekolah dan pengambil kebijakan perlu mencari solusi yang bisa mengatasi kelemahan dan dampak yang ditimbulkan pembelajaran daring. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran berbasis komunitas. Pada waktu tertentu, guru melakukan kegiatan kunjungan dan sekaligus mengajar ke tempat tertentu yang dekat dengan tempat tinggal siswa. Tempat mengajar bisa dilakukan di tempat-tempat ibadah atau fasilitas publik lainnya. Tentu kegiatan ini harus dibarengi dengan penerapan protokol penanganan Covid-19. F. Bila Tetap Sekolah di Rumah8

Anak saya yang sedang sekolah di madrasah tsanawiyah, setingkat menengah pertama (SMP), terhitung sudah empat bulan belajar di rumah setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Tidak hanya siswa di sekolah anak saya yang terdampak keputusan belajar di rumah, tetapi juga sekitar 30 juta siswa lainnya di tanah air, di tambah sekitar 7 jutaan mahasiswa yang tersebar di sekitar 4000-an kampus. Kebijakan belajar di rumah merupakan suatu keharusan untuk membatasi penyebaran Covid-19. Belakangan beberapa kalangan dan wilayah tertentu mulai bersiap-siap memasuki fase transisi menuju kenormalan baru (new normal), kendati masih banyak yang terkonfirmasi positif terpapar wabah Covid-19.

Berkaca dari pengalaman bulan-bulan sebelumnya, pendididikan tidak bisa dikecualikan sebagai institusi yang tidak terdampak pandemi Covid-19. Setidaknya ada dua dampak yang mulai dirasakan dan membebani pengelola lembaga pendidikan. Pertama, dampak secara ekonomi. Beberapa lembaga pendidikan terutama yang dikelola oleh pihak swasta, mulai mengalami gangguan aliran uang tunai atau cash flow karena mulai tergerusnya sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari siswa dan mahasiswa.

8 Dimuat di Republika, Sabtu, 6 Juni 2020.

Page 12: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

12

Masih terkait dengan dampak ekonomi itu, beberapa lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi mulai rentan dengan tuntutan mahasiswa yang mendesakkan pengurangan pembayaran karena kegiatan pembelajaran dialihkan ke daring. Padahal pihak pengelola kampus memiliki pemikiran jangka panjang, bahwa pemasukan dari mahasiswa tidak hanya diperuntukkan pada pembiayaan rutin dan berjangka pendek, tetapi sebagai suatu investasi untuk keberlangsungan kampus hingga pada rentang waktu yang panjang.

Kemudian dampak yang kedua adalah pada keberlanjutan kegiatan pembelajaran secara luring atau tatap muka (offline). Kegiatan pembelajaran memang masih bisa dilaksanakan tetapi tentu saja disertai penurunan atau setidaknya relaksasi pada semua standar yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan. Kegiatan pembelajaran tetap bisa dilanjutkan dilaksanakan dengan cara mengalihkan dari pembelajaran secara luring ke moda daring atau online, namun dilakukan secara tiba-tiba, by accident, bukan by design. Karena berlangsung secara tiba-tiba dan serba cepat beberapa risiko yang timbul terlupakan. Risiko itu misalnya tidak semua siswa atau mahasiswa bisa terlibat secara aktif dengan pembelajaran daring karena terbatasnya kuota internet serta persoalan jaringan terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Dengan sedikit pengabaian terhadap setidaknya dua dampak tersebut, kegiatan di bidang pendidikan memang relatif lebih mudah dipindahkan ke rumah dengan difasilitasi moda pembelajaran secara daring karena adanya dukungan perkembangan internet yang bahkan sudah lama terkoneksi di telepon seluler. Perkembangan yang baru pada tahapan seperti itu, telah memudahkan banyak orang berinteraksi secara virtual. Begitu Covid-19 mendera masyarakat kita, pendidikan relatif mudah beralih dari yang semula di sekolah atau perguruan tinggi, dan lebih menekankan interaksi antara guru/dosen-murid/mahasiswa secara tatap muka (face to face), ke interaksi secara daring (online) dengan menggunakan platform pembelajaran yang lebih beragam. Darurat dan Temporer

Tetapi yang perlu diperhatikan, peralihan pembelajaran dari kelas konvensional ke pembelajaran daring di era Covid-19, merupakan langkah darurat yang tidak bisa dipertahankan dalam durasi yang panjang mengingat terdapat esensi pendidikan yang akan terabaikan selama pembelajaran daring.

Kendati memiliki beberapa keunggulan sehingga bisa dijadikan solusi di tengah terpaan badai Covid-19, misalnya jarak bisa “dilipat” dan untuk platform tertentu bisa diselenggarakan secara tunda (asynchronous), pembelajaran daring menyimpan sejumlah kelemahan di antaranya tidak bisa optimal dalam memfasilitasi terwujudnya salah satu aspek penting penting dalam pendidikan, yaitu pembentukan sikap, lebi-lebih untuk level yang tinggi apa seperti yang disebut dalam teori klasik pendidikan dari Benjamin S. Bloom dengan characterization.

Pencapaian konsep yang berada di level paling tinggi dalam ranah sikap (affective domain) itu tidak bisa optimal jika hanya diupayakan melalui pembelajaran daring. Characterization mengandung arti internalisasi nilai-nilai menjadi pola hidup. Proses pendidikan hingga mencapai tahapan tersebut pada domain sikap, tidak cukup hanya melalui proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge) yang bisa difasilitasi dengan pembelajaran daring, tetapi masih membutuhkan setidaknya dua hal lagi, yaitu lingkungan yang berbasis nilai dan kurikulum yang hidup (living curriculum) yang melekat pada pendidik.

Ketika pembelajaran beralih dari moda luring (offline) ke daring karena dipaksa oleh Covid-19, lalu rumah menjadi pilihan utama tempat pendidikan sebagai bagian dari

Page 13: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

13

work from home (WFH), rumah seperti mendapatkan lagi momentum klasiknya sebagai sentra utama pendidikan sebelum pada gilirannya lebih banyak beralih ke sekolah dan masyarakat seiring terjadinya modernisasi.

Ketika rumah menjadi sekolah, setidaknya selama berlangsungnya pandemi Covid-19, orangtua lebih-lebih di hadapan pelajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah seharusnya dapat menjalankan peran apa yang dalam literatur sosiologi agama disebut dengan the primary models bagi pembentukan karakter.

Di rumah pula, orangtua sejatinya sebagai living curriculum. Tanpa memberikan penjelasan secara konseptual, filosofis, dan teoritik tentang suatu nilai yang akan membentuk karakter, anak cukup melihat dan selanjutnya menginternalisasikan apa yang dilakukan orangtua. Maka di rumah pula, prinsip pendidikan nilai bahwa, values are caught not taught, seharusnya terwujud.

“Home schooling” di era Covid-19 memberi kesempatan kepada orangtua mengekternalisasikan dan mengobjektivasikan suatu nilai yang selanjutnya diinternalisasi oleh anak. Dengan interaksi yang lebih intens dan intim selama Covid-19, sikap seperti peduli terhadap kesehatan dan dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19 bisa terbentuk. Dan dengan demikian, anak akan memiliki karakter peduli dan welas asih (compassion) kepada sesama.

Namun demikian, rumah tetap memiliki keterbatasan sebagai ruang pendidikan karakter. Kendati bagi keluarga yang tergolong kelas menengah koneksi internet tidak ada masalah, pembelajaran dengan moda daring selama pandemi Covid-19 akan menghadapi titik jenuh jika berlangsung dalam durasi yang lama. Penyebabnya adalah rasa bosan atau jenuh yang menimpa semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran daring. Kendati pembelajaran daring dirancang sedemikian canggih, manusia tetap membutuhkan perjumpaan secara fisik.

Dengan demikian, pendidikan, lebih-lebih pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter, membutuhkan ruang yang lebih alamiah, bukan sekedar ruang virtual, dalam mana nilai bisa disaksikan secara langsung melalui perilaku tiap orang dalam ruang alamiah pendidikan. Dalam ruang alamiah yang dirancang berbasis nilai, karakter akan mudah terbentuk.

Pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 hanyalah sementara. Mudah-mudahan pandemi Covid-19 segera berakhir. Dan dengan demikian, pendidikan bisa segera kembali ke ruang dan aktivitasnya yang lebih alamiah. G. Muhammadiyah dan Edukasi 4.09

Muhammadiyah memiliki jejak yang panjang dalam sejarah perintisan dan pembaharuan pendidikan yang tetap memperlihatkan persambungan dengan kondisi saat ini, kendati tantangan yang dihadapi Muhammadiyah lebih kompleks apabila dibandingkan denga periode-periode sebelumnya. Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912. Tahun kelahiran Muhammadiyah menunjukkan banyak hal. Di antaranya, Muhammadiyah lahir tiga dekade lebih sebelum lahirnya republik ini. Dengan kondisi struktural di bawah cengkeraman kolonialisme (Belanda), keterbelakangan yang membekap bangsa Indonesia terlihat begitu jelas, termasuk di bidang pendidikan.

Seandainya tidak ada gerakan dari kaum “Etis” yang mengoreksi praktik represif yang hanya menjadikan bumiputera sebagai sapi perahan penjajah Belanda, maka tidak mungkin muncul kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi atau yang disebut Ethische Politiek dalam bahasa Belanda, yang salah satu sasarannya di bidang pendidikan. Politik

9 Dimuat di Suara Muhammadiyah, 03/105(1-15 Februari 2020.

Page 14: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

14

Etis di bidang pendidikan memberi peluang kepada kaum bumiputera mengakses pendidikan kendati hanya di level pendidikan dasar. Kendati begitu, kebijakan Politik Etis tetap mengidap diskriminasi, dan karena itu, tentu sulit mengubah nasib bangsa Indonesia yang digambarkan oleh Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1960), sebanyak 98% tergolong jelata yang mendiami Jawa.

Kelahiran Muhammadiyah disemangati oleh kondisi struktural yang demikian, di samping karena adanya spirit keagamaan sebagaimana lazimnya kelahiran berbagai organisasi berbasis keagamaan lainnya. Ahman Dahlan, pendiri Muhammadiyah, rupanya sangat sadar terhadap fungsi sosiologis pendidikan sebagai sarana mobilitas vertikal, di samping kesadaran terhadap fungsi ideologis pendidikan. Dalam disertasi Deliar Noer yang terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Indonesia pada 1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, dinyatakan secara lugas maksud pendirian Muhammadiyah dengan salah satu pilarnya di bidang pendidikan, yakni, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.”

Kita perhatikan ungkapan “memajukan hal agama Islam” yang belakangan kian dipertegas dengan frase “Islam berkemajuan”, yang menandakan spirit kehadiran Muhammadiyah adalah memajukan kehidupan bangsa antara lain melalui jalur pendidikan yang berkemajuan dalam konteks waktu itu. Perubahan yang dirancang oleh Ahmad Dahlan, “walaupun bagi kita sekarang mungkin sangat kecil artinya,” tulis Deliar Noer dalam disertasinya, pada kenyatannya memberikan dampak yang begitu besar.

Pendidikan yang dirintis oleh Muhammadiyah menjadi penanda penting pelembagaan misi pembaharuan Muhammadiyah yang kemudian menginspirasi organisasi keagamaan di kalangan Islam untuk melakukan hal yang sama. Perlu juga ditambahkan, pendidikan yang dirintis oleh Muhammadiyah juga menjadi saluran mobilitas vertikal yang dibuktikan dengan banyaknya tokoh bangsa yang berasal dari lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Setelah melewati usia lebih satu abad, perkembangan pendidikan Muhammadiyah mengalami peluasan secara masif baik jenis dan jenjang pendidikan, yang pada gilirannya lembaga pendidikan Muhammadiyah juga merambah ke berbagai sudut tanah air, bahkan di wilayah di mana Islam bukan sebagai fenomena mayoritas. Perkembangan ini membuktikan tingkat keberterimaan terhadap Muhammadiyah kian tinggi dan meluas karena kalangan lintas agama juga menerima manfaat dari Muhammadiyah di bidang pendidikan.

Di kawasan Indonesia timur, misalnya, input lembaga pendidikan Muhammadiyah (siswa dan mahasiswa) didominasi oleh kalangan non-Muslim. Fakta inilah yang menginspirasi Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq memunculkan varian unik di Muhammadiyah yang disebutnya “Kris-Muha” (Kristen-Muhammadiyah) lewat bukunya, Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009). Temuan ini seperti ingin membantah adanya ketegangan antara dua komunitas agama di Indonesia, Islam dan Kristen, sebagaimana diungkap oleh Mujiburrahman dalam disertasinya, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (2006). Realitas dan Tantangan

Tentu seluruh lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah berbeda-beda kualitasnya. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, dari 171 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), baru sekitar 10 universitas yang sering dijadikan contoh setidaknya di kalangan internal warga persyarikatan Muhammadiyah sebagai universitas

Page 15: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

15

di garda terdepan, di antaranya Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) di Jakarta, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Yogyakarta, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).

Tidak mudah menjaga kesinambungan perkembangan pendidikan Muhammadiyah di era sekarang, setidaknya jika mempertimbangkan dua hal. Pertama, bagaimana menjaga eksistensi pendidikan di Muhammadiyah dari segi kualitas sejak di bagian input, proses, output dan outcome? Mengapa? Sebagaimana yang tergambar pada kualitas di jenjang perguruan tingginya, pada jenjang pendidikan di bawahnya juga sangat beragam kualitasnya.

Bagi kalangan tertentu, memilih lembaga pendidikan bukan sekedar pertimbangan keteraksesan yang biasa dijadikan sasaran oleh strategi pemerataan pendidikan, tetapi karena pertimbangan kualitas. Bagi kalangan ini, pendidikan dimaknai sebagai suatu investasi berjangka panjang. Sebagai investasi, maka rate of return selalu menjadi pemikiran untuk menentukan keberlanjutan pada jenjang pendidikan berikutnya yang berkualitas, dan juga dari sisi employability, yakni apakah suatu lembaga pendidikan memberikan jaminan terkait kecepatan keterserapan alumni oleh dunia usaha dan industri (DUDI).

Lembaga pendidikan Islam, termasuk yang dikelola oleh Muhammadiyah, sebenarnya memiliki peluang menyasar kalangan yang berpikiran seperti itu, bahkan dengan segmen yang lebih terbatas lagi, yaitu Muslim terutama mereka yang tergolong sebagai kelas menengah Muslim (middle class Muslim), lebih-lebih kelas menengah tengah (middle middle class) dan kelas menengah atas (upper middle class). Kalangan ini memiliki perilaku yang berbeda dalam memilih lembaga pendidikan, bahkan “sekedar” memilih pendidikan untuk belajar ngaji al Qur’an.

Di beberapa kota besar bermunculan tempat-tempat ngaji untuk anak-anak yang di antaranya disebut griya tilawah, kendati hanya menawarkan pendidikan akhir pekan, tetapi mematok SPP dalam jumlah lumayan besar, namun tetap digandrungi oleh kalangan menengah muslim di perkotaan, atau yang disebut juga dengan “urban Muslim”. Berkembang juga sekolah-sekolah beridentitas keagamaan yang juga mematok biaya mahal yang dipilih oleh kalangan tersebut. Jadi kendati mahal, asalkan memenuhi dua orientasi dasar kalangan menengah Muslim dalam perilaku konsumsi mereka, yaitu quality oriented dalam arti sesuatu yang ingin diraih berkualitas dan value oriented memberi jaminan dan manfaat secara spiritual (spiritual value), mereka tetap membelanjakan uangnya.

Realitas itu yang ditangkap oleh entrepeneur pendidikan Islam yang kemudian menjadi kompetitor pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang pada gilirannya menggeser secara signifikan posisi Muhammadiyah. Dengan kata lain, Muhammadiyah sebagai petahana, terdisrupsi oleh inovasi yang ditawarkan oleh entrepeneur pendidikan Islam yang menawarkan infrastruktur dan konsep pendidikan yang mencerminkan aspirasi kalangan kelas menengah Muslim.

Itu tantangan yang pertama. Kemudian tantangan yang kedua, Muhammadiyah kini menghadapi realitas baru yang sama sekali berbeda dengan realitas ketika Muhammadiyah masih berada di awal-awal kelahirannya, yakni pada saat Indonesia dalam transisi dari revolusi industri 1.0 ke revolusi industri 2.0, sementara sekarang kita sudah diterpa Revolusi Industri Keempat (The Fourth Industrial Revolution/4IR). Telah banyak literatur yang memaparkan secara historis serta beragam dampak sosilogis terkait munculnya revolusi industri keempat atau revolusi industri 4.0 di antaranya ditulis Klaus Schwab. Kedua bukunya, The Fourth Industrial Revolution dan Shaping the

Page 16: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

16

Future of the Fourth Industrial, sering dijadikan rujukan di tanah air. Buku lainnya adalah yang disunting oleh Nancy W. Gleason, Higher Education in the Era of the Fourth Industrial Revolution.

Realitas revolusi industri 4.0 di bidang pendidikan rupanya mulai diterima oleh stakeholders seperti tampak pada munculnya endorsement untuk mengembangkan apa yang disebut dengan pendidikan atau edukasi 4.0. Revolusi industri 4.0, jelas Klaus Schwab (2016), ditandai dengan teknologi digital yang kian canggih. Ditambahkan oleh Schwab, pada revolusi industri 3.0 sebenarnya ditandai juga dengan kemajuan di bidang teknologi digital, tetapi yang membedakan dengan revolusi industri 4.0, “the are becoming more sophisticated and integrated and are, as a result, transforming societies and the global economy.” Lanjut Schwab, “...that technology and digitization will revolutionaze everything.”

Bagaimana gambaran edukasi 4? Di bidang pendidikan, sebagaimana dikemukakan oleh Schwab tentang digitization, di berbagai ruang muncul pembicaraan bahkan sudah dilakukan apa yang disebut dengan digitilisasi pendidikan. Edukasi 4.0 antara lain memang identik dengan digitalisasi sebagai wujud keberhadiran teknologi di bidang pendidikan (edutech). Tentu bukan karena semata-mata pertimbangan teknologi yang memudahkan penyediakan infrastruktur edukasi 4.0, tetapi karena juga mempertimbangkan keberadaan generasi langgas atau kaum milenial yang akan menjadi input utama pendidikan.

Mereka adalah yang terlahir pada saat ekosistem digital terbentuk, dan secara alamiah pula literasi digital mereka terbentuk sehingga layak disebut sebagai kaum pribumi digital (digital native). Ekosistem digital yang bahkan tidak saja dinikmati oleh kaum milenial, melainkan sebagian dari mereka adalah pelakunya, di antaranya big data, mobile apps, virtual and augnmented reality, web komunitas, internet of thing, dan game forward (Ali Akbar, Digital Ekosistem, 2018).

Kendati ekosistem digital ini terkadang memberikan efek negatif seperti ditandai dengan munculnya compulsive gaming yang harus diwaspadai, tetapi juga memberikan efek positif terhadap cara kaum milenial dan juga mereka yang tergolong sebagai kaum imigran digital (digital immigrant) dalam belajar. Ekosistem digital memudahkan siapa saja mewujudkan suatu konsep klasik yang disebut dengan pendidikan atau pembelajaran sepanjang hayat (lifelong education; lifelong learning).

Sebelum ekosistem digital tidak masif seperti pada saat ini, tahapan belajar dibatasi secara formal dengan jenjang tertentu, serta cenderung formalistik dengan batasan usia pada tiap jenjangnya. Tetapi pada saat ini, siapa pun bisa menambah ilmu pengetahuan hanya dengan “talaqqi” (bertatap wajah) dengan internet yang menginformasikan berbagai tautan dan sumber ilmu pengetahuan dalam ukuran gigantik. Mereka yang disebut kaum pribumi digital, yakni generasi lenggas atau kaum milenial, tentu lebih siap. Nah, lembaga pendidikan termasuk yang dimiliki Muhammadiyah seharusnya menyediakan ekosistem digital yang dibutuhkan mereka.

Pada saat informasi pengetahuan tersedia dalam internet di segala tempat, bahkan tersedia di smartphone yang hanya seukuran genggaman tangan, transmisi pengetahuan di lembaga pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional yang menempatkan guru dan dosen sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang paling otoritatif. Sadar terhadap perkembangan ini, belakangan banyak lembaga pendidikan yang merancang ulang ruang belajar untuk mendukung lingkungan belajar yang sudah mengarah pada blended active learning.

Ruang belajar sekedar contoh untuk mendapat perhatian bagi pengelola pendidikan menghadapi era revolusi industri 4.0. Dengan bertolak dari berpikir

Page 17: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

17

pendidikan sebagai suatu sistem, maka ada empat hal mendasar yang harus menjadi perhatian, yaitu: input, proses, output, dan outcome. Dari keempat hal tersebut, muara pendidikan adalah pada outcome. Maka lembaga pendidikan yang akan dipilih oleh masyarakat adalah yang memberikan jaminan dari sisi employability terhadap peserta didik (siswa dan mahasiswa).

Menyoal Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

Bagaimana dengan kesiapan amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan? Tidak ada pilihan bagi Muhammadiyah, sebagai kelanjutan dari misi historisnya mewujudkan khairu ummah (Q.S al Imran: 110), untuk terus memperbaharui lembaga pendidikan yang dimiliki agar terus berperan kendati zaman terus berubah, apalagi Muhammadiyah juga memiliki semangat kompetetif dalam kebaikan (fastabiqul khairat) sebagai perwujudan dari al Qur’an Surat al Baqarah ayat 148.

Dalam rangka itu, Muhammadiyah perlu memiliki basis filsafat pendidikan yang kuat. Justru pada dimensi yang paling mendasar ini, Muhammadiyah perlu berfikir keras karena—setidaknya dalam penelusuran penulis—belum ada literatur di Muhammadiyah yang secara sistematis menarasikan filsafat pendidikan Muhammadiyah. Memang belakangan ada publikasi dari Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, masing-masing bertajuk: Jejak-jejak Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Membangun Basis Etis Filosofis bagi Pendidikan (2019), dan Jejak-jejak Filsafat Pendidikan Islam: Menggagas Paradigma Pendidikan Muhammadiyah (2019).

Sayangnya kedua publikasi ini merupakan kompilasi dari berbagai artikel lepas yang sama sekali tidak membahas secara mendalam sistematis tentang bangunan filsafat pendidikan Muhammadiyah. Salah satu isu fundamental yang dibahas dalam filsafat pendidikan adalah tentang hakikat manusia serta implikasinya terhadap aktivitas pendidikan. Kegiatan pendidikan berawal dari pandangan dasar tentang manusia. Pertanyaannya kira-kira begini, manusia semacam apa yang ingin dihasilkan oleh Muhammadiyah? Pertanyaan mendasar semacam ini penting karena seperti dikemukakan Plato, “nothing is more to human beings than the concern for their human image and the nature of their character.” (Nimrod Aloni, Enhancing Humanity: The Philosophical Foundation of Humanistic, 2002).

Kita khawatir, diskursus tentang manusia di era di mana manusia terus memerlihatkan kecanggihannya, manusia kian tereduksi seperti terungkap dalam beberapa judul buku, misalnya Homo Sapiens (2014) dan Homa Deus (2016), yang ditulis Yuval Noah Harari, atau Outgrowing God (2019) yang ditulis Richard Dawkins. Buku-buku yang sudah sampai ke kalangan pembaca di sini mereduksi hakikat manusia pada dimensi ilahiahnya. Kita juga perlu khawatir, tetapi tidak boleh diartikan pesimistik, diskursus tentang edukasi 4.0 lebih menekankan pada digitilisasi yang memberi peluang pada kian suburnya relasi antar-manusia yang tidak lagi bersifat pribadi (impersonal).

Lebih dari sekedar aktivitas transfer ilmu pengetahuan yang bisa diperantarai dengan teknologi, pendidikan harus berpuncak pada terbentuknya keadaban perilaku. Sebab jika hanya lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan, pendidikan hanya melahirkan manusia cerdas secara intelektual (intellectual quotient/IQ), namun kerdil dari sisi kecerdasan emosional (emotional quotient/EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Baik EQ dan SQ penting dikembangkan secara bersama-sama dengan IQ karena akan memperkuat keterhubungan manusia dengan manusia lainnya dan dengan Tuhan sehingga manusia dapat memeroleh kebahagian yang autentik (Haidar Baqir, Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia: Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita (2019).

Page 18: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

18

Dengan demikian, filsafat pendidikan untuk edukasi 4.0 harus memberikan gambaran manusia secara mendasar dan utuh yang akan dituju oleh aktivitas pendidikan, termasuk oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah. H. Pak Malik, Guru Par Excellence: Sedikit Catatan Perjumpaan Pribadi10

Di hadapan ratusan undangan, ada banyak nama yang saya sebut pada halaman yang saya namai bagian yang ekstatik. Dinamai begitu karena memang bagian yang menggugah emosi saya. Pada gilirannya menjadi guru besar atau profesor sebagai puncak karir akademik saya di Universitas Muhammadiyah Malang, bukan proses dan capaian yang instan. Proses yang dilalui lumayan panjang, kendati persis pada usia 40—usia yang bisa disebut relatif muda—saya dikukuhkan sebagai guru besar di bidang Sosiologi Agama.Di antara banyak nama, nama Pak Malik—sapaan semua kalangan kepada Abdul Malik Fadjar—saya sebut, tidak cukup sekali, tetapi berkali-kali. Setiap menyebut nama Pak Malik, saya mengalami vibrasi, getaran batin. Saya coba menahan air mata. Gagal!

Saya tidak mungkin melupakan Pak Malik. Pada setiap fase perjalanan, lebih tepatnya capaian akademik saya, ada sentuhan Pak Malik. Dari mimbar tempat saya menyampaikan orasi guru besar, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial: Tentang Konflik, Kekerasan Agama, dan Nalar Multikulturalisme, pada 2009, di bagian ekstatik itu, saya katakan, Pak Malik adalah inspiring teacher, guru yang menginspirasi, setidaknya bagi saya.

Saya sengaja tidak memilih motivator sebagai atribusi kepada Pak Malik, meskipun jika disebut demikian bisa dibenarkan. Motivator, bagi saya, terkadang lebih menyukupkan pada fabrikasi kata-kata, tidak peduli apa yang diucapkan, dilaksanakan. Singkatnya, pada motivator, satunya kata dengan tindakan, tidak dipersoalkan. Pak Malik jauh melampaui motivator. Bahkan sekedar melihat wajah dan gesturnya seperti pada saat mengajar, telah memberi implikasi inspirasi.

Di depan kelas, sambil menunggu dosen lain keluar, Pak Malik membuka diri diajak ngobrol. Apabila beberapa mahasiswa mulai mengitari Pak Malik, seketika terjadi kerumunan mahasiswa yang ikut menikmati obrolan Pak Malik. Di kelas yang selalu ramai dengan peserta, Pak Malik memiliki seni mengajar yang khas.

Tahun 1980-an-1990-an, lima dekade sebelum terdengar apa yang disebut dengan MBKM, kependekan dari Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, kampus saya, IAIN Sunan Ampel Fakultas Tarbiyah di Malang, telah memberikan kemerdekaan kepada mahasiswa memilih dosen yang disukainya. Karena sistem informasi akademik pada saat itu masih dijalankan secara manual, penumpukan pada dosen tertentu sulit terdeteksi. Pak Malik adalah salah satu dosen yang mengundang daya tarik mahasiswa. Salah satu mahasiswa itu adalah saya.

Saya berhutang budi kepada mahasiswa senior yang merekomendasi saya memilih kelas Pak Malik. Tentu bukan tanpa musabab. Mahasiswa senior itu tertarik dengan buku-buku saya. Bukan buku-buku mata kuliah. Ketika bertemu dengan mahasiswa senior itu, saya membawa buku tulisan Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan. Terbawa juga buku Merambah Jalan Baru Islam yang ditulis duo intelektual muda prolifik IAIN Syarif Hidayatullah: Fachry Ali dan Bachtiar Effendy. Masih ada buku-buku lainnya. “Kamu ikut kuliahnya Pak Malik Fadjar saja,” kata mahasiswa senior. “Pak Malik suka kepada mahasiswa yang baca banyak buku,” sambungnya. Pada tahun-tahun itu yang disebut sebagai intellectual booming antara lain oleh Nurcholish Madjid, memang bermunculan publikasi buku bunga rampai intelektual Muslim, termasuk kumpulan

10 Dimuat di Majalah Matan, Edisi 171, Oktober 2020.

Page 19: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

19

tulisan Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid. Hampir semua publikasi mereka, saya koleksi.

Di kelas Pak Malik, Filsafat Pendidikan Islam, Perencanaan Pendidikan, dan Administrasi Pendidikan yang saya ambil tentu berdasarkan sekuensinya yang diatur oleh program studi, buku-buku yang saya baca menemukan medan dialektikanya. Jika saya menyebut beberapa judul buku, disertai penulisnya, bahkan terkadamg saya kutip secara verbatim dengan penyebutan halaman yang akurat, alih-alih Pak Malik menyebut saya text book oriented, justru sering terlihat manggut-manggut dan terkadang pula mengangkat jempol kanannya. “Mahasiswa itu harus baca buku,” kata Pak Malik. Sambil berkata demikian, Pak Malik menyebut nama saya sebagai contoh. Senang, tetapi tersipu malu pula disebut Pak Malik sebagai contoh di hadapan mahasiswa yang menyesaki kelas.

Pada tahun-tahun saya kuliah itu ketika kata literasi bahkan tidak pernah disebut, berbeda dengan pada saat ini yang diperdengarkan di mana-mana, termasuk menjadi kompetensi utama dalam pendidikan hingga ke level paling tinggi, Pak Malik telah menggerakkan literasi setidaknya di kalangan mahasiswa yang diajarnya. Literasi dalam pandangan Pak Malik, di antaranya dipertandai dengan bacaan yang banyak.

Kalau dirunut cara Pak Malik mengajar, kira-kira begini urutannya. Pertama-tama Pak Malik menyampaikan pokok-pokok materi perkuliahan secara reflektif. Saya menyukai catatannya yang ditulis rapi di atas kertas folio bergaris. Hingga kemudian saya mengikuti kuliah Pak Malik di pascasarjana, kebiasaan itu masih terpelihara, termasuk merk ballpoinnya.

Selesai di tahapan itu, kelas lalu hidup dengan sesi pertanyaan dan diskusi. Saya paling menyukai bagian kedua dari perluliahan Pak Malik itu karena saya menemukan medan dialektika atau ruang diskursus bacaan-bacaan saya. Pak Malik punya kemampuan menciptakan ruang kelas secara demikian. “Mahasiswa tidak boleh menggunakan kaca mata kuda,” tegas Pak Malik beberapa kali dalam perkuliahan sambil memeragakan gerakan kedua tangannya di sisi kanan-kiri pelipisnya. Supaya lebih menggugah, Pak Malik meninggkan lagi kedua tanggannya hingga ke atas kepala. Mahasiswa baru maksud dari gerakan simboliknya itu ketika Pak Malik berujar begini, “Pasang parabola tinggi-tinggi supaya menangkap semua informasi.” Setelahnya, mahasiswa dihinggapi gelisah, lalu bermunculan beberapa pertanyaan dan tanggapan terhadap materi perkuliahan Pak Malik.

Tidak sekedar bertanya. Pak Malik menginginkan mahasiswa mempertanyakan ulang. Sebagai pengajar Filsafat Pendidikan Islam, Pak Malik pasti memahami muasal dan latar belakang filsafat yang darinya bermunculan beragam ilmu pengetahuan hingga kemudian seperti terlepas dari ibu yang melahirkannya. Filsafat lahir karena mempertanyakan mitos. Dari mitos lahir logos. Epistem filsafat yang demikian pasti dipahami oleh Pak Malik. Karena itu, apalagi di kelas Filsafat Pendidikan Islam, Pak Malik antara lain menggugah mahasiswa mempertanyakan ulang eksistensi dan peran pendidikan Islam yang telah berkembang sedemikian rupa dalam berbagai bentuk.

Pada tahun-tahun mengikuti perkuliahan Pak Malik di kampus yang sekarang bermetamorfosis menjadi salah satu universitas negeri, UIN Maulana Malik Ibrahim, Pak Malik menjadi rektor di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sejak 1983. Seturut dengan tahapan-tahapan lembaga pendidikan yang dikonstruks oleh Pak Malik: growth, change, dan reform, UMM jelang 1990-an memasuki dua tahapan pertama yang mengundang pengakuan dan apresiasi publik. Dengan menyertakan kepemimpinan publik sebagai rektor di UMM, di samping sebagai dosen, terkandung maksud ingin mengungkap kelebihan lainnya kala Pak Malik ada di kelas.

Page 20: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

20

Perkuliahan filsafat yang terlanjut terstigma melangit, jauh dari bumi, di kelas Pak Malik, filsafat menemukan konteks. UMM beberapa kali disebut sebagai contoh dari jawaban terhadap pertanyaan atas eksistensi pendidikan Islam. “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu,” Pak Malik sering mengutip ungkapan ini yang menurutnya berasal dari Ali bin Abi Thalib. Dengan mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib, bahkan diulangnya di berbagai forum, Pak Malik ingin menyadarkan apa yang disebut dengan visi pendidikan. Pak Malik tidak menampik terhadap peran konservasi pendidikan. Tetapi masa depan harus menjadi perhatian yang lebih utama karena terutama subyek didik—murid, santri, mahasiswa—akan menghadapi realitas yang berbeda bila dibandingkan dengan realitas yang dihadapi ketika masih studi.

UMM yang lahir pada hampir enam dekade lalu, bila mengingat ungkapan Pak Malik antara lain di kelas Filsafat Pendidikan Islam, harus memberikan optimisme terhadap masa depan. Masa depan yang dimaksud Pak Malik harus direncanakan dan terukur. Pandangan ini eklektik dengan mata kuliah Administrasi Pendidikan yang juga diampunya.

Belakangan saya menjumpai tulisan pendek Pak Malik yang terkompilasi dalam buku Visi Pembaharuan Pendidikan Islam (1998) yang memperjelas keterukuran efek pendidikan terhadap masa depan mahasiswa. Dalam buku itu, Pak Malik mempertegas tolok ukur keberhasilan pendidikan, alih-alih sekedar dari sisi output, misalnya tingkat kelulusan yang bahkan presisi dengan jumlah enrollment, tetapi perlu diukur dengan kesesuaianya dengan pasar (user), baik dalam jumlah, mutu, jenjang, maupun jenisnya. Masih terkait dengan tolok ukur yang disebut Pak Malik dari sisi impact, Pak Malik, dalam buku itu, mengungkapkan keprihatinannya terhadap sekolah kejuruan yang ternyata hampir sama dengan sekolah non-kejuruan.

Injeksi etos berpikir kritis (critical thinking) dari Pak Malik di kelas, memberi bekas yang kuat tidak hanya dalam perjalanan studi saya, tetapi dalam kehidupan keberagamaan saya. Kalau ada suatu definisi pendidikan yang mengatakan pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengubah seseorang, perubahan yang saya alami di antaranya karena perjumpaan intelektual saya dengan Pak Malik terutama di kelas pada semua mata kuliah yang diampunya.

Pak Malik bukan sekedat mengajar (teaching), tetapi juga memberikan sentuhan (touching) yang menggugah dan berimplikasi pada perubahan. Lontaran Pak Malik tentang metafora kaca mata kuda, menggugah saya, dan pada gilirannya mengubah terhadap orientasi keberagamaan saya. Saya ingin menggunakan konsep konversi untuk menjelaskan perubahan pada diri saya. Bagi yang akrab dengan literatur sosiologi agama, tentu tidak terkejut terhadap penggunaan technical term itu. Sebab konversi tidak melulu berarti pindah atau mengganti agama (replacement), tetapi juga ada bentuk konversi yang disebut preference, yakni perpindahan dari sub-tradisi yang satu ke sub-tradisi yang lain, namun tetap dalam satu tradisi besar agama (Islam).

Injeksi dan dorongan Pak Malik untuk memperkuat literasi, pada gilirannya mempertemukan saya pada buku kontroversial pada waktu itu, namun digandrungi oleh kawan-kawan aktivis dalam suatu organisasi kemahasiswaan, yaitu Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Saya betul-betul gemas dengan buku itu, kecuali karena alasan isinya, Ahmad Wahib berasal dari daerah yang sama dengan saya, yang bahkan rumahnya di Sampang, Madura, lumayan dekat dengan rumah saya.

Membaca buku catatan harian Ahmad Wahib, saya seperti mendapatkan pembenaran secara kultural untuk mempertanyakan ulang sebagaimana injeksi dari Pak Malik terhadap paham dan tradisi keagamaan yang lama saya pegangi, nyaris tanpa

Page 21: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

21

kritik. Maka jelang akhir studi saya di tingkat sarjana, saya mengalami transformasi atau konversi dengan risiko yang harus saya tanggung. Beberapa senior saya bahkan mengatakan saya murtad. Sementara beberapa famili saya di Madura terkejut dengan perubahan saya. Ayah saya yang biasa dipanggil abah, berusaha bersikap arif terhadap saya. Katanya suatu saat, “Syamsul, kamu boleh berubah, tetapi terhadap tradisi di Madura, cobalah bersikap arif.”

Saya tidak tahu apakah Pak Malik mengetahui perubahan yang saya alami, bahkan hingga ke wilayah privat keagamaan. Tetapi ketika beberapa minggu setelah wisuda, pada 1991, saya berjumpa di depan kampus, Pak Malik tetap berada di belakang kemudi mobil Hijet merah, lalu inilah yang mengejutkan saya, “Syamsul, saya mencari kamu .” “Saya sebenarnya ingin bertemu dengan Bapak juga,” jawab saya. “Kalau begitu, kamu datang ke kantor saya nanti malam, selepas Maghrib.” Perjumpaan dan Pak Malik berlangsung begitu mengalir, tidak berjarak, kasual, kendati sebagai rektor sebuah perguruan tinggi yang mulai diperbincangkan publik.

Di kantor Pak Malik, tidak ada aturan protokol yang jlimet. Bahkan boleh dibilang, tidak ada protokol. Setelah terlihat tidak ada orang di dalam kantornya, saya masuk “begitu saja”. Meja kerja Pak Malik di Kampus II UMM menghadap ke utara. Saya masih ingat warna baju lengan pendek yang dikenakannya, baju putih. Di meja ada singkong dan wedang jahe. Kalau saya mengatakan masuk “begitu saja” ke kantor Pak Malik, tidak berarti saya tidak terbebani perasaan tertentu. Di hadapan saya adalah rektor yang reputasinya diapresiasi publik. Saya takjub kepada kebersahajaanya dalam menerima saya. Alih-alih memperlihatkan wajah seorang pejabat puncak, saya justru merasakan masih berhadapan dengan guru saya. Inilah kalimat yang meluncur dari Pak Malik sembari menyertakan senyumnya yang khas, “Saya butuh asisten untuk mengajar di IAIN.” “Dua asisten saya, Pak Tobroni dan Pak Yoto sudah repot di UMM,” sambung Pak Malik.

Mendapat tawaran sebagai asisten Pak Malik merupakan kehormatan yang tidak pantas ditampik. Tetapi inilah jawaban saya, “Pak, saya ingin mengabdi di kampus ini saja Pak.” Saya kian takjub dengan jawaban Pak Malik, “Kalau begitu, kamu buat lamaran.”

Saya tidak ingin menunda kesempatan langka itu. Kesempatan yang diberikan Pak Malik adalah jawaban kegelisahan pasca-kuliah sarjana. Sempat mengajukan studi lanjut ke abah saya, “Bah, saya ingin lanjut ke pasca, ke IKIP Malang.” Jawab abah saya, “Saya cukup mengantar kamu hingga sarjana. Di belakangmu masih ada adik-adikmu. Jika kamu mau studi lanjut, kamu melamar bekerja saja. Siapa tahu kamu dapat beasiswa.” Tawaran Pak Malik, dengan demikian membukakan harapan abah saya.

Lamaran yang ditulis tangan di atas kertas folio bergaris, saya bawa keesokan harinya langsung ke Pak Malik, juga pada waktu malam selepas Maghrib. “Ditunggu saja pemberi tahuan dari kampus,” kata Pak Malik.

Semuanya berlangsung begitu bersahaja dan cepat. Saya hanya menyertakan portofolio tulisan saya pada lamaran saya. Hanya menunggu sehari atau dua hari, saya mendapat panggilan wawancara dari bagian personalia. Wawancara berlangsung begitu bersahaja. Saya masih ingat yang disampaikan Pak Ali Saifullah, sekarang dosen senior di fakultas teknik, “Tulisanmu banyak. Sudah dapat rekomendasi dari Pak Malik. Kamu diterima sebagai dosen di UMM.” “Tetapi gaji di UMM tidak banyak,” sambung Pak Ali Saifullah.Begitulah! Maka hampir di penghujung 1991, saya bermetamorfosis sebagai dosen tetap di UMM, sembari tetap menjadi asisten Pak Malik di almamater saya. Saya tetap melakoni peran sebagai dosen di almamater saya hingga kini, sebagai dosen luar biasa di pascasarjana.

Di UMM, relasi saya dengan Pak Malik seperti tidak mengalami perubahan: guru-murid. Bukan saja karena saya diajar juga oleh Pak Malik sewaktu menempuh Program

Page 22: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

22

Studi Magister Sosiologi Pedesaan di UMM. Kebiasaan saya menulis, terutama yang bergenre populer, banyak belajar dari Pak Malik. Pak Malik tidak pernah mengajarkan menulis secara teoritik kepada saya. Pak Malik beberapa kali memberi peran langsung kepada saya untuk menulis artikel dan makalah.

Dari sesuatu yang pada mulanya lebih banyak di bidang akademik, saya kemudian mendapatkan pelajaran berharga tentang filosofi hidup. Di antaranya tentang optimisme. Katanya suatu saat, “Jangan banyak mengeluh. Mengeluh itu membuat mudah capek, bahkan sebelum memulai pekerjaan. Kalau toh menghasilkan sesuatu, biasanya tidak maksimal karena dikerjakan oleh orang yang merasa capek.”

Hingga kemudian Pak Malik harus banyak berdiam di rumah karena alasan kesehatan, karakter Pak Malik tetap terlihat. Sambil berbaring di tempat tidur, atau dari tempat duduk setelah kesehatannya mulai berangsur pulih, Pak Malik tetap saja menginjeksikan optimisme, antara lain terhadap UMM, salah satu legacy Pak Malik. Maka kendati Pak Malik beristirahat panjang di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata sejak Selasa, 8 September yang lalu, kita hanya terpisah secara “jasadi”. Semangat, cita-cita, dan ideologi Pak Malik akan terus bersama kita.

Bagi saya secara pribadi, Pak Malik adalah guru par excellence. Setelah mengapresiasi Pak Malik sebagai inspiring teacher sewaktu menyampaikan orasi guru besar, saya menukil pula John Quincy Adams, presiden keenam Amerika Serikat, “If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are leader.” Kutipan ini saya tujukan juga kepada Pak Malik. Pak Malik memang selayaknya mendapatkan apresiasi sebagaimana kutipan itu. Pada Pak Malik, terjadi pertautan sebagau guru dan pemimpin yang menginpirasi. Terima kasih Pak Malik. I. Menyegarkan Kembali Filosofi Pendidikan11

Sejak hari pertama kepergiannya, banyak acara yang digelar oleh sejumlah kalangan untuk mengenang Pak Malik, sapaan akrab Abdul Malik Fadjar. Di Muhammadiyah, Pak Malik setidaknya meninggalkan jejak dan legasi dua Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di Malang dan Surakarta, yaitu Universitas Muhammadiyah Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Menurut Pak Malik, PTM sebagai bagian dari pendidikan Islam, harus menjadi lembaga pendidikan yang betul-betul modern yang akan akan menjadi pusat keunggulan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan begitu, perguruan tinggi terutama yang dimiliki Muhammadiyah akan didatangi para pembelajar yang memiliki beragam latar belakang.

Ada ungkapan yang sering terlontar dari Pak Malik terkait peran pendidikan Islam. Pendidikan Islam, kata Pak Malik jangan hanya berani bermain di ranah pinggiran, tetapi harus masuk ke orbit. Pak Malik tidak sedang beretorika dengan ungkapannya itu. Pada dirinya ada pertautan antara intelektualisme dan aktivisme. Intelektualismenya bisa dilacak dan dibaca kembali pada tulisannya terutama di bidang pendidikan seperti terkompilasi setidaknya dalam empat buku: Pergumulan Pemikiran Pendidikan Tinggi Islam (1995), Visi Pembaharuan Pendidikan Islam (1998), Reorientasi Pendidikan Islam (1999), dan Holistika Pemikiran Pendidikan (2005).

Tulisan Pak Malik memiliki karekter dialektis antara berfikir induktif dan deduktif. Pengalaman panjang yang berasal dari keluarga guru, dan pada gilirannya menekuni profesi sebagai guru sejak 1959, ditambah keterlibatannya di Muhammadiyah

11 Dimuat di Jawa Pos, 15 September 2020.

Page 23: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

23

yang memiliki amal usaha di bidang pendidikan, tentu Pak Malik bisa memahami dari jarak yang begitu dekat permasalahan pendidikan Islam.

Salah satu permasalahan yang membekap pendidikan Islam, bahkan hingga kini adalah lemahnya pendidikan Islam sebagai saluran mobilitas sosial yang ditandai dengan kemampuan outputnya dalam mengisi posisi-posisi tertentu. Dengan merujuk pada suatu konstruksi teoritik, Pak Malik menyebut pendidikan, termasuk pendidikan Islam, harus mampu menjalankan mekanisme alokasi posisional.

Menjadi jelas salah satu bingkai filosofi pendidikan Pak Malik, yaitu pragmatisme. Kendati Pak Malik tidak pernah menyatakan secara eksplisit mazhab pemikiran (school of thought) yang dirujuknya dengan pragmatisme, saya menangkap adanya pertautan pemikiran Pak Malik dengan filosofi pendidikan yang dikembangkan antara lain oleh John Dewey itu. Dalam tulisannya yang mengulas Paradigma Pendidikan Islam (dalam Reorientasi Pendidikan Islam, 1999), Pak Malik memberi highlight terhadap pemikiran John Dewey yang tertuang di Democracy and Education yang menegaskan fungsi mendasar pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (a direction) dan sarana pertumbuhan (as growth) yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.

Sebaiknya dihindari simplifikasi terhadap pragmatisme, misalnya dengan mengatakan pendidikan hanya diarahkan untuk melahirkan para tukang, jika filosofi ini menjadi bingkai pendidikan. Sepertinya telah menjadi common sense kalau keberhasilan pendidikan diukur dari manfaatnya yang bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Kemanfaatan yang paling nyata dan mudah diukur adalah lulusan atau output pendidikan mudah mendapatkan pekerjaan dengan masa tunggu tidak terlalu lama.

Pak Malik melihat salah satu titik lemah pendidikan Islam pada apa yang menjadi perhatian pragmatisme. Karena itu sewaktu berada di posisi strategis, yakni ketika menjadi Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, kemudian Menteri Agama, lalu berikutnya Menteri Pendidikan Nasional, Pak Malik membuat kebijakan apa yang disebut Azyumardi Azra demgan mainstreaming atau pengarusutamaan pendidikan Islam. Munculnya lembaga tinggi keagamaan Islam plat merah yang berbentuk sekolah tinggi, institut dan universitas di beberapa daerah terjadi saat Pak Malik menjadi Dirjen dan Menteri Agama.

Sebelum di posisi itu, ada banyak institut yang memiliki cabang di berbagai daerah.seperti pengalaman Fakultas Tarbiyah di Malang, almamater penulis, yang merupakan fakultas filial dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Filial yang ada di Malang tidak hanya lebih independen, bahkan lebih dulu menjadi universitas Islam negeri. Perubahan kelembagaan pada pendidikan Islam di jenjang paling puncak, pada gilirannya dibarengi dengan pembukaan program studi umum sebagaimana di perguruan tinggi umum. Maka terjawablah kegelisahan Pak Malik terhadap permasalahan pendidikan Islam terutama yang plat merah yang pada mulanya lebih memainkan peran di bidang pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, dengan perubahan kelembagaan itu, pendidikan Islam memperoleh mandat yang lebih luas (wider mandate).

Memang lalu muncul pertanyaan terkait karakteristik keilmuan umum yang harus dikembangkan di universitas Islam negeri. Jawaban filosofis Pak Malik tergadap pertanyaan itu menarik. Lembaga pendidikan termasuk yang di jenjang paling tinggi acapkali tersandera oleh persoalan identitas, lebih-lebih lembaga yang berafiliasi kepada ormas keagamaan tertentu. Alih-alih memikirkan secara serius keunggulan di bidang keilmuan, ada beberapa lembaga pendidikan Islam yang justru mengapitalisasi aspek tertentu dari primordialisme keagamaan. Jika bukan tersandera oleh primordialisme

Page 24: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

24

keagamaan, tidak sedikit pula lembaga pendidikan yang menyibukkan mencari justifikasi keilmuan tertentu dengan dalil-dalil keagamaan seperti ingin meniru begitu saja cara berfikir Maurice Bucaille yang dikritik oleh Pervez Hoodbhoy dalam Islam and Science (1992) sebagai cara berpikir atau metode sederhana.

Pak Malik memiliki pandangan berbeda. Bagi Pak Malik, ilmu pengetahuan sejatinya bersifat komunal dan universal yang seharusnya dimiliki secara bersama , sehingga setiap orang berhak memanfaatkannya. Dengan berpendapat demikian, Pak Malik secara implisit tidak setuju dengan proyek Islamisasi karena memberi kesan ilmu yang sudah berkembang secara revolutif bertentangan dengan Islam, karena itu perlu Islamisasi ilmu pengetahuan.

Bagi Pak Malik, daripada energi umat Islam lebih tercurahkan untuk sekedar mencari justifikasi, lembaga pendidikan tinggi Islam lebih baik kalau diarahkan pada pengembangan riset baik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan maupun lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Hanya dengan cara demikian, pendidikan Islam bisa berada di orbit, bukan di pinggiran.

Untuk berperan ke arah itu, pendidikan Islam, tegas Pak Malik, harus dipimpin oleh orang yang memiliki visi yang kuat dan tajam. Sebab dengan visi, perubahan besar sedang dimulai. Sebaliknya, tanpa visi, masyarakat beserta kelembagannya akan binasa. Seperti ungkapan kaum bijak, “Without vision people shall perish.” J. Beragama di Tengah Sampar12

Publik baru sadar bahwa Indonesia pada akhirnya rentan dan menjadi tempat penyebaran yang signifikan bagi Corona Virus Disease (Covid-19) setelah pada awal Maret yang lalu ada dua orang yang terpapar olehnya. Padahal kira-kira sebulan sebelumnya sudah terbersit kabar dari sejumlah peneliti dari Harvard University, Amerika Serikat, yang mensinyalir penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Tetapi dalam menghadapi suatu krisis biasanya selalu muncul sikap penyangkalan (denial) sebelum kemudian menerima sebagai suatu kenyataan (acceptance), tentu setelah terdapat banyak bukti yang tidak terbantah, dan secara sosiologis menimbulkan kepanikan bahkan bagi kalangan tertentu kemarahan (anger) dan depresi (depression). Begitulah biasanya tahapan penyikapan suatu krisis setidaknya jika mengacu pada Vasuki Shanstry dalam, Resurgent Indonesia: From Crisis to Confidence (1988). Pada kasus penyebaran Covid-19, penyangkalan bisa juga dipandang sebagai suatu sikap absurd mengingat negara-negara lain telah terpapar terlebih dahulu hingga pada gilirannya organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi.

Sikap absurd dalam arti tidak masuk akal dan menggelikan, dalam berbagai artikulasi rupanya juga biasa muncul dalam setiap krisis, seperti diceritakan oleh filsus modern kelahiran Aljazair, Albert Camus, lewat novelnya, Sampar, yang mengantarkan dirinya sebagai peraih Nobel pada 1957, satu dekade setelah terbitnya novel tersebut. Dalam novel tersebut, Camus menampilkan tokoh salah satunya bernama Cottard dengan karakter antagonis karena di tengah krisis sampar (wabah menular), alih-alih mengedepankan sikap altruis, justru memilih berusaha mencari keuntungan. Perilaku absurd yang mirip Cottard di tengah pandemi Covid-19 antara lain terlihat pada praktik memperjualkan masker oleh pihak tertentu dengan harga selangit.

Terdapat beberapa sandaran argumen di balik sikap absurd tersebut. Praktik ambil untung secara berlipat-lipat pada kasus penjualan masker, bersandar pada

12 Dimuat di Republika, 8 April 2020.

Page 25: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

25

argumen yang dipaksakan terkait ketidakseimbangan antara permintaan (demand) dan pasokan (supply). Sikap menyangkal terhadap penyebaran Covid-19 ke Indonesia, dan toh kalau pada akhirnya bisa tertembus juga, masih juga menyepelekan terkait tingkat fatalitas kasus atau case fatality rate (CFR), juga memiliki sandaran argumen yang antara lain terambilkan dari agama.

Ketika Covid-19 memakan korban dengan jumlah dalam hitungan jari, seorang pejabat publik yang sejatinya memiliki modal saintifik terkait deteksi secara dini (early warning system) dan mitigasi risiko dampak penyebaran Covid-19, tetapi justru mempertontonkan sikap yang cenderung menyepelekan yang diperkuat pula dengan sikap keagmaan tertentu yang mengarah pada fatalisme. Konstruksi Agama

Selain menimbulkan masalah besar terhadap kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik, yang tidak kalah menariknya lagi, implikasi Covid-19 juga telah memasuki ranah keagamaan. Di antara aspek keagamaan yang terdampak secara kasat mata di tengah badai Covid-19 adalah pengaturan praktik ritual keagamaan terutama yang dilakukan secara bersama-sama (jamaah) dan dilakukan di tempat khusus seperti masjid dan gereja.

Tetapi pelaksanaan terhadap salah satu dimensi penting dalam agama tersebut sangat tergantung pula pada dimensi keyakinan (belief), yang di samping berpengaruh terhadap kedisiplinan dalam mengatur praktik ritual, berpengaruh pula dalam menyikapi Covid-19. Dengan mempertimbangkan cara penyebaran Covid-19 melalui kontak antar-manusia terutama dalam jarak dekat, maka terdapat aturan pembatasan interaksi melalui penerapan physical distancing. Lebih ketat dari sekedar mengatur jarak secara fisik tersebut, beberapa wilayah di tanah air telah menerapkan karantina (lockdown) secara sporadis untuk membatasi penyebaran Covid-19.

Dengan modus penyebaran secara demikian, ritual keagamaan tidak bisa lagi dilakukan sebagaimana lazimnya ketika situasi normal-normal saja. Maka banyak tempat ibadah, masjid misalnya, yang tidak saja menghentikan penyelenggaraan shalat Jumat, bahkan shalat wajib lainnya tidak lagi dilakukan secara berjamaah di masjid. Kalau toh ada yang menyelenggarakannya, physical distancing diterapkan serta protokol lainnya terkait pencegahan Covid-19. Covid-19 dengan demikian memiliki implikasi sosiologis terhadap praktik agama, yang semula secara leluasa bisa dilakukan di ruang publik, kini mengalami proses “privatisasi”—agama dipraktikkan di ruang privat, yakni keluarga.

Tetapi efektifitas pelaksanaan protokol pencegahan Covid-19 di kalangan komunitas keagamaan sangat tergantung pada keyakinan (belief) yang dianutnya. Oleh karena itu, kendati terkesan absurd, wajar jika ada komunitas keagamaan tertentu yang justru tetap menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan bersandar pada suatu keyakinan terhadap kuasa absolut Tuhan. Keyakinan terhadap kuasa absolut Tuhan misalnya terlontar dengan narasi berikut ini, “Jangan takut kepada korona, tetapi hanya takutlah kepada Tuhan.”

Suatu keyakinan seperti dicontohkan pada narasi di atas, tetap diperantarai oleh pengetahuan (logos) yang disebut dengan teologi. Inti teologi adalah pemahaman akan kuasa Tuhan terhadap berbagai aspek selain-Nya. Yang menjadi persoalan, apakah kuasa Tuhan tetap memberi ruang kepada manusia menggunakan nalar dan ikhtiar yang berlanjut pada suatu praksis untuk mengubah suatu keadaan, atau kuasa Tuhan dipahami sebagaimana kritik dari Asghar Ali Engineer, pemikir teologi pembebasan dalam Islam, secara irasional dan buta. Padahal, tegas Engineer dalam Islam and

Page 26: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

26

Liberation Theology (1990), “Keyakinan yang Qur’ani tidak bersifat irasional dan buta. Al Qur’an menekankan kesedarajatan akal, intelek dan proses berpikir.”

Salah satu akibat mendasar dari praktik keyakinan yang irasional dan buta adalah pengingkaran terhadap hukum kausalitas (sebab-akibat) yang sejatinya merupakan manifestasi dari kuasa Tuhan. Kemunculan dan penyebaran Covid-19 bisa dijelaskan dengan menggunakan hukum kausalitas. Demikian juga dengan penanganannya. Jika terdapat suatu hadist yang dikenal secara luas oleh umat Islam, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya,” maka untuk mendapatkan obat pada setiap penyakit diperlukan suatu rasionalitas atau nalar dan ikhtiar karena tidak terberikan (given) begitu saja.

Menghadapi badai Covid-19 dengan demikian meniscayakan suatu dialektika antara rasionalitas dan agama, keduanya tidak boleh diletakkan dalam posisi saling berlawanan (binary-opposition). Pernyataan Albert Eistein dalam Science and Religion (1950) bisa dirujuk untuk memahami dialektika antara keduanya, “Science without religion is lame, religion without science is blind.” Ilmu pengetahuan (science) betatapun telah berkembang begitu pesatnya berkat kemampuan manusia mengoptimalkan nalarnya, tetap saja ada banyak peristiwa yang tidak bisa dipahami secara rasional, setidaknya belum bisa diungkap. Pada kasus Covid-19, misalnya, meskipun bisa diungkap penyebabnya, tetapi hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat memberi efek imunitas pada terhadap serangan wabah.

Dalam keadaan demikian, agama perlu dikonstruksi yang dapat memberikan implikasi secara positif, setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, ketenangan dan optimisme dalam menghadapi Covid-19. Ketika agama bergeser dari “ruang publik” ke “ruang privat”, sejatinya akan memberikan kesempatan kepada kita untuk lebih intens dalam melakukan muhasabah dan memeroleh kekuatan secara rohani.

Kedua, memerkuat protokol penanganan Covid-19 dengan merujuk kalau dalam Islam apa yang disebut tujuan pokok syariat (maqasid syariah) yang di antaranya memberikan perlindungan terhadap jiwa-raga (hifdzun nafs). Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana juga dikeluarkan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) agar umat Islam melaksanakan ibadah di rumah selama pandemi Covid-19, sejalan dengan prinsip dalam maqasid syariah tersebut.

Lalu yang ketiga, terbentuknya kesalehan sosial, alih-alih sekedar kesalehan ritual dan individual dengan menggerakan charity atau direct giving dan filantropi untuk mengatasi dampak ekonomi dan sosial yang pasti muncul selama pandemi Covid-19. K. Pagebluk dan Religiusitas Soliter13

Terkadang untuk menggambarkan apa yang dihadapi oleh masyarakat selama dua bulan terakhir ini adalah dengan menggunakan kosakata lokal, pagebluk, yang semakna dengan sampar. Pertama kali muncul di Wuhan, dan hanya dalam hitungan bulan, pagebluk atau sampar dengan akronim Covid-19 merambah ke seluruh penjuru dunia menjadi pandemi, termasuk Indonesia.

Salah satu pertanyaan yang muncul di tengah badai Covid-19 adalah tentang hikmah. Dengan bertanya hikmah, kita ingin menguak sesuatu di balik suatu peristiwa, gejala, atau yang dalam filsafat disebut fenomena. Sebagai kelanjutan dari fenomena adalah noumena, yang berarti makna hakiki suatu peristiwa. Beberapa kali mendapatkan pertanyaan tentang hal tersebut, saya menjawab dengan kalimat sederhana: Wabah

13 Dimuat di Jawa Pos, 20 April 2020.

Page 27: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

27

Covid-19 atau korona menyadarkan kita, betapa pun kita tetap manusia dalam arti primitif.

Dalam berbagai literatur, setidaknya di bidang sosial humaniora, seperti antara lain bisa dibaca dalam serial terbitan Yuval Noah Harari, manusia digambarkan sedemikian canggih peradabannya hingga mencapai suatu tahapan homo deus, manusia yang menyetarai Tuhan, sebagaimana dikemukakan Harari dalam Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015).

Kendati terjadi sofistikasi setidaknya dalam gambaran Harari, toh manusia tidak akan pernah bisa menghilangkan salah satu watak paling primitif dalam dirinya, yaitu takut. Di tengah pandemi Covid-19 yang baru dalam hitungan bulan ini, manusia dilanda rasa khawatir dan takut, baik terhadap penyebaran Covid-19 yang tidak mengenal kelas sosial dan berlangsung begitu cepat, maupun terhadap berbagai akibat turunannya jika tidak bisa ditangani secara cerdas dan cepat seperti terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam kondisi yang diliputi serba khawatir dan takut, maka wajar jika manusia mencari suatu obyek yang bisa dijadikan sebagai sesuatu yang dapat memerkuat daya tahan dirinya. Lebih jauh lagi, kondisi kehidupan bisa kembali normal. Obyek yang dicari bisa berwujud secara bendawi (tangible), dan tidak berwujud (intangible). Memperbanyak ketersediaan segala fasilitas yang terkait dengan percepatan penanganan Covid-19, merupakan obyek yang berwujud bendawi. Tetapi ikhitiar ini belum dipandang cukup, lalu manusia mencari obyek lainnya yang intangible, salah satunya agama.

Agama sebenarnya memiliki dimensi ganda, bendawi dan non-bendawi yang saling berkaitan. Tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat sakral lainnya merupakan dimensi bendawi agama yang sekaligus sebagai tempat menjalin dan terpeliharanya komunitas. Dalam situasi yang normal, umat beragama bebas bepergian ke tempat-tempat ibadah.

Tetapi dalam situasi yang tidak normal seperti saat ini, yang meniscayakan keterjarakan secara fisik (physical distancing) agar terhindar dari penularan Covid-19, maka diharapkan pula terjadi perubahan perilaku dalam beragama. Dalam konteks ini, apresiasi perlu disampaikan kepada organisasi keagamaan seperti di kalangan Islam yang telah mengeluarkan fatwa, alih-alih sekedar membatasi praktik-praktik ritual di masjid, bahkan menutupnya agar tidak dijadikan sebagai tempat ritual secara berjamaah. Fatwa ini memang menimbulkan benturan dengan kalangan tertentu yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang (mode of though) dan pada gilirannya cara bertindak (mode of action) dalam beragama.

Fatwa yang tidak saja membatasi, bahkan melarang pergerakan jamaah mendatangi tempat ibadah dengan alasan kedaruratan yang pada dasarnya pilihan rasional dengan alasan menghindari bahaya (darwul mafasid), dan juga sejalan dengan tuntutan thaharah, dalam praktiknya berbenturan dengan pihak yang memiliki modus berbeda dalam beragama. Masih saja dijumpai lontaran justru dari kalangan agamawan, lalu diikuti oleh jamaahnya yang bertolak belakang dengan fatwa di atas yang malah menimbulkan masalah kesehatan baik secara individual maupun kolektif. Religiusitas Soliter

Meskipun terasa berat, ketika kerumunan dibatasi, bahkan dilarang di berbagai ruang, maka saatnya mempraktikkan solitariness (kesendirian) dalam beragama. Keberagamaan secara soliter sejatinya tidak hanya dipraktikkan dalam situasi darurat

Page 28: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

28

seperti saat ini, karena historisitas agama hingga kemudian berkembang sedemikian beragam dimensi dan artikulasinya, bermula dari kesendirian. Lesley Hazleton, di awal pembahasan bukunya, The First Muslim: The Story of Muhammad (2015), antara lain mendeskripsikan Muhammad sebagai sosok lelaki yang menghabiskan malam demi malam dalam perenungan soliter hingga kemudian mendapatkan wahyu pertama yang menjadi sandaran legitimasi kenabiannya.

Maka ketika kemudian sempurna menjadi suatu agama, di samping berkembang pula sebagai suatu peradaban (civilization) seperti ulasan Tariq Ramadan dalam Islam: The Essentials (2017), Islam memberi stimulasi kepada pemeluknya merasakan salah satu dimensi penting dalam beragama, pengalaman (experience), dengan menjalankan praktik ritual tidak hanya dilakukan secara sendirian, bahkan waktunya pun ditentukan di kala hening, yaitu sepertiga malam sebagaimana dinyatakan dalam al Isra ayat ke-17.

Dengan cara begitu, Islam di satu sisi tetap memberi arti penting kepada kolektivisme atau komunalisme yang dibangun antara lain melalui praktik-praktik ritual tertentu yang dijalankan secara berjamaah di tempat ibadah (masjid). Namun kesendirian (solitariness) penting direngkuh pula oleh seorang Muslim. Mengapa? Momen soliter memberikan ruang secara lebih leluasa untuk membangun suatu relasi yang lebih intim antara individu dengan Tuhan.

Dalam relasi secara demikian, individu alih-alih menghayati Tuhan sebagai realitas yang menakutkan (Tuhan Sang Musuh), melainkan Tuhan sebagai sahabat atau Tuhan Sang Sahabat, yang dalam penghayatan ini, Tuhan menurut filsuf Alfred North Whitehead, menjadi Sahabat karib kepada siapa seluruh ciptaan mencurahkan hatinya. Pengalaman semacam ini bisa dicapai justru di ruang privat ketika kita berada dalam ketersendirian yang memberikan “keleluasan” dalam mengekpresikan gerakan fisik dan verbal dalam berkomunikasi dengan Tuhan.

Dalam ruang privat yang soliter, gerakan dan ungkapan verbal melampaui (beyond) gerakan dan ungkapan verbal agama di “ruang publik” yang cenderung seragam. Di tengah badai Covid-19, ketika agama diarahkan ke rumah secara temporer, akan memberikan kesempatan kepada kita merasakan pengalaman keberagamaan secara soliter yang justru memberikan efek ganda sekaligus. Pertama, menghambat penyebaran Covid-19. Kedua, karena kita merasakan memiliki Sahabat, kita memperoleh ketenangan dan kekuatan yang dapat meningkatkan imunitas kita. Semoga. L. Pandemi, “Mudik” ke Dalam Diri14

Seandainya bukan karena terpaan badai Covid-19, biasanya beberapa hari jelang lebaran dan sesudahnya, massa dalam jumlah kolosal akan bergerak kembali ke kampung asal mereka melakukan mudik sebagaimana panorama tahun-tahun sebelumnya. Namun mudik pada lebaran tahun ini dipastikan menghadapi banyak kendala setelah adanya larangan resmi dari pemerintah menyusul pandemi Covid-19 yang mendera Indonesia.

Larangan mudik pada mulanya hanya berlaku untuk kalangan aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, dan TNI-Polri. Tetapi pelarangan kini diperluas dan diberlakukan di Jabodetabek, wilayah-wilayah yang menerapkan PSBB, dan wilayah lainnya yang termasuk zona merah. Sebagian memang telah melakukan mudik secara dini ke kampung asal masing-masing, terutama sebelum diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

14 Dimuat di Jawa Pos, 18 Mei 2020.

Page 29: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

29

Mudik sejatinya bukan bagian dari organ agama dalam arti normatif-teologis, tetapi tidak lebih sebagai manifestasi budaya di wilayah tertentu Islam. Di antara wilayah Islam yang identik dengan mudik adalah Indonesia.

Terdapat banyak fitur pada Islam di Indonesia yang saling mengait yang di antaranya memunculkan budaya mudik. Yang paling mudah terlihat di permukaan tentu populasi Muslim yang melampaui wilayah-wilayah Islam lainnya bahkan yang disebut sebagai Islam pusat atau inti (centre), sementara Indonesia sering disebut sebagai pinggiran atau periferi (peripheral).

Kendati terdapat di pinggiran secara geografis dan proses Islamisasinya agak belakangan, pertumbuhan populasi Islam di Indonesia paling pesat sehingga pada www.pewresearch.org Indonesia ditempatkan di urutan teratas dalam daftar countries with the largest of Muslims. Tingginya populasi ini disebabkan oleh kelenturan Islam dalam menerima budaya lokal sehingga Islam mudah diterima kendati datang lebih belakangan jika dibandingkan dengan kepercayaan dan beberapa agama lainnya yang datang lebih awal.

Dialektika yang saling mengisi antara Islam dengan budaya setempat mengakibatkan Indonesia—fitur yang kedua-- menjadi wilayah yang membentuk keragaman (diversity) dan distingsi Islam dari sisi budaya yang membedakan dengan wilayah-wilayah Islam lainnya. Perbedaan ini jika merujuk pada model teoritik Abdullah Saeed (Islam in Australia, 2003) lebih banyak berada di wilayah interpretasi dan manifestasi. Sementara pada aspek common values yang menjadi inti Islam, tidak ada perbedaan dan menjadi pembentuk kesatuan (unity) dalam Islam.

Interpretasi merupakan penafsiran terhadap teks yang merupakan sumber Islam. Sedangkan manifestasi merupakan tampilan Islam dengan menggunakan media budaya setempat. Sebagai contoh, kewajiban puasa Ramadhan telah menjadi common values semua kelompok dalam Islam. Lalu terjadi perbedaan terkait penentuan awal Ramadhan karena perbedaan dalam menafsirkan suatu teks.

Perbedaan kian tampak ketika aktivitas pada bulan Ramadhan mendapatkan sentuhan dari budaya setempat seperti terekam dengan bagus dalam penelitian yang dilakukan Andre Moller yang bertajuk, Ramadhan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting (2007). Dalam disertasi antropolog berkebangsaan Swedia ini, ditemukan setidaknya 47 kata mudik yang tersebar di berbagai halaman yang di antara pembahasannya dikatakan, “As a consequence, Indonesia probabily hosts one of the largest annual mass mobilization activities in the world in connection with lebaran.”

Mudik di Indonesia rupanya telah menjadi salah satu cara dalam selebrasi pasca-puasa Ramadhan sehingga karena begitu pentingnya, maka muncul ungkapan seperti dikemukakan Moller, “For they really are eager: no Lebaran without mudik, is a common pharase in Indonesia.” Tentu mudik perlu dilihat sebagai satu paket dengan Ramadhan yang disebut oleh Moller, Ramadhan sebagai ritual complex mengingat banyaknya sub-ritual di dalamnya, baik karena memang tuntutan normatif Islam, maupun yang merupakan ciptaan masyarakat Muslim seperti budaya atau ritual mudik.

Inner Journey

Mudik pada hakikatnya kembali ke asal. Secara common sense, mudik lebih dimengerti sebagai pergerakan atau mobilisasi banyak orang (massal) ke kampung asal beberapa hari sebelum atau sesudah lebaran. Tetapi dengan munculnya pandemi Covid-19, kita perlu menggeser ke makna yang lebih esensial. Betapa pun pandemi Covid-19 telah menimbulkan berbagai dampak buruk terhadap manusia, manusia sebagaimana dikatakan Viktor E. Frankln memiliki suatu kemampuan untuk mencari suatu makna

Page 30: Esai-esai populer ihwal kemanusiaan, keberagamaan, dan

30

pada setiap peristiwa segetir apa pun sebagaimana pernah dialaminya sendiri seperti diungkap dalam bukunya, Man’s Search for Meaning.

Seturut dengan pemikiran Frankln, pemaknaan yang lebih esensial perlu dilakukan terhadap mudik, dan dengan berdasar pada pemaknaan ini pula mudik akan terwujud secara berbeda apabila dibandingkan ketika kondisi masih normal. Dalam pemaknaan baru, mudik-mudik alih-alih merupakan pergerakan fisik, perjalanan keluar kembali ke kampung asal dengan menempuh perjalanan darat, udara, dan laut dalam jarak tertentu, tetapi sebagai perjalanan spiritual (spiritual journey) ke dalam diri kita sendiri atau inner journey.

Dalam manifestasinya secara superfisial, mudik yang ditandai dengan pergerakan massal kembali ke kampung asal, kendati merupakan fenomena budaya, bukan tuntutan normatif agama, menurut Nurcholish Madjid (2007) tidak mudah dibendung karena berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitri manusia kembali kepada hal-hal yang berdimensi asal, yang dalam konteks mudik dorongan ini diwujudkan dengan kembali kepada orang-orang dekat (ibu-bapak dan sanak famili) untuk meminta maaf sebagai cara kembali ke kondisi asal sebagai manusia yang suci. Dengan demikian, mudik sebenarnya memiliki makna yang mendasar dan mendalam, yakni merupakan salah satu cara ingin kembali kesucian manusia sebagaimana kondisi awal ketika baru terlahir ke muka bumi.

Tidak mudah bertahan dengan kondisi awal itu. Seiring dengan perjalanan life spans (masa hidup) lebih-lebih setelah memasuki tahapan remaja, manusia mudah tergoda melakukan sesuatu yang yang sebenarnya bertolak belakang dengan nuraninya. Agama lalu hadir antara lain berfungsi sebagai kanopi sakral (the sacred canopy) jika meminjam konsep dari Peter L. Berger. Lazimnya kanopi, agama akan memberikan proteksi kepada manusia terhindar dari berbagai unsur negatif yang dapat mengotori kesuciannya. Puasa yang berujung ke Idul Fitri juga berfungsi sebagai kanopi sakral.

Ketika mudik secara fisik tidak bisa dilakukan karena terkendala oleh protokol penanganan Covid-19, maka mudik perlu dimaknai dalam rangka inner journey, yakni melakukan refleksi dengan melibatkan hati nurani yang akan memberikan penilaian secara jujur terhadap kualitas perjalanan hidup mulai dari fase awal hingga kini.

Dengan pelibatan nurani seperti ditegaskan oleh suatu hadist, “mintalah fatwa pada dirimu, mintalah pada hatimu,” maka segera muncul suasana kebatinan yang bertolak belakang antara gelisah dan tenang karena terlihat perbuatan dosa yang menggelisahkan dan kebaikan yang menenangkan, sebagaimana hadist yang merupakan sambungan dari hadist yang baru dikutip, “kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati tenang. Dosa adalah sesuatu yang (terasa) tidak karuan dalam jiwa dan (terasa) bimbang dalam jiwa.”

Setelah melakukan refleksi terhadap perjalanan hidup dari awal ke yang kini, lalu kita “mudik”, merenungkan kondisi awal betapa “putihnya” manusia, dan sejatinya seperti dalam kondisi awal itulah manusia kembali kepada Tuhan. Semoga, dan selamat “mudik”. []