Upload
novita-ogino-tilukay
View
217
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
good
Citation preview
BAB III
DISKUSI
Pada kasus ini, pasien laki-laki mempunyai keluhan kejang, dan kejangnya berulang hal ini
merupakan perubahan fungsi otak sementara akibat neural yang abnormal dan sebagai pelepasan
listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini dapat bersifat parsial dan vokal, berasal dari daerah
spesifik, korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini
bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. 1,2,3
Berdasarkan definisi konseptual epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus-menerus, dengan konsukensi
neurobiologist, kognitif, psikologis dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1
kali bagkitan epileptik. Bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat
akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak. Sedangkan definisi
operasional/definisi praktis epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi
atau gejala berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
2. Suatu bangkitan tanpa provokasi/bangkitan reflex dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat
2 bangkitan tanpa profokasi/bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang
terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
structural dan epileptiform discharges)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus spesifik,
seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor
Pada kasus, pasien berusia 13 tahun serta dalam keluarga pasien ada yang mengalami
keluhan seperti pasien, sesuai dengan teori epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa,
para orang tua bahkan bayi baru lahir. Angka kejadian epilepsi lebih tinggi pada pria bila
dibandingkan dengan wanita. Pada pasien ini diduga genetik sebagai faktor risiko kejang pada
pasien sesuai teori penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan diantaranya epilepsi
idiopatik adalah sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien
tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik
disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi pasien
epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan serangan. Epilepsi
simtomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial dan
ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak,
lesi iskhemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan
kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan
metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit,
intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi). Kelainan struktural tidak cukup untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi, harus dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam
mencetuskan bangkitan epilepsi, contohnya, yang mungkin berbeda pada tiap pasien adalah
stress, demam, lapar, hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan
emosional.
Klasifikasi epilepsi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy (ILAE)
terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi
untuk sindrom epilepsi.
Klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik.
- Dengan gejala sensorik.
- Dengan gejala otonom.
- Dengan gejala psikis.
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik.
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik.
2. Serangan umum
a. Absans (Lena).
b. Mioklonik.
c. Klonik.
d. Tonik.
e. Atonik (Astatik).
f. Tonik-klonik.
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap)
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi
neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.
Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan
oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron. 6,11,12
Gambar 1. Patofisiologi epilepsi
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri penting
dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:10
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus, yang bisa dikatakan sebagai
tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah
potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas
elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA)
menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan
dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami
depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan
berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah
besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di
dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda
(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.
Pada pasien ini dikatakan sebagai epilepsi general tonik-klonik dimana keluhan yang
ditimbulkan pasien terlihat kaku lalu diikuti dengan gerakan menghantak-hentakan keempat
anggota gerak tubuh. Saat kejang pasien tidak sadar, mata melirik keatas (+), mulut berbuih (+),
Dalam teori tanda dan gejala klinis epilepsy general
1. Bangkitan Umum Lena (Absance)
- Gangguan kesadaran mendadak (“absence”) berlangsung beberapa detik.
- Selama bangkitan, kegiatan motoric terhenti dan pasien diam tanpa reaksi.
- Mata memandang jauh kedepan.
- Mungkin terdapat automatisme.
- Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung.
- Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula.
2. Bangkitan Umum Tonik Klonik
- Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik.
- Pasien kehilangan kesadaran (jatuh) dengan “epileptic cry*, kaku (fase tonik) selama 10-30
detik, ekstensi aksial, bola mata ke atas, rahang mengatup kuat, badan kaku (adduksi dan
ekstensi), tangan mengepal, sianosis. Diikuti gerakan kejang pada kedua lengan dan
tungkai serta otot rahang dan wajah (fase klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut
berbusa terkadang berdarah. Gerakan klonik makin menurun dalam frekuensi.
- Gejala autonom, muka merah, tensi, nadi, hipersalivasi, ngompol
- Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung.
- Pasien sering tidur setelah bangkitan selesai.
3. Bangkitan Umum Atonik
- Pasien kehilangan kekuatan/tonus otot secara mendadak. Pasien mengalami Classic drop
attack (Astatic Seizure) yaitu kolaps atau jatuh.
- Kedua kelopak mata turun, kepala terangguk, badan terkulai, dan jatuh ketanah sehingga
menyebabkan terjadinya injuri.
- Terjadi selama ± 15 detik dan segera pulih.
- Kerusakan otak luas, gangguan belajar, Epilepsi Simptomatik berat.
Jenis kejang yang terjadi berupa kejang tonik-klonik/epilepsi grand mal Merupakan tipe
kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik
atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik
saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami
sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, kunang – kunang, telinga berdengung. Pada
tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot
yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada
saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa
lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
Gambar. Kejang pada phase tonik- clonik
Pada pemeriksaan penunjang pada kasus ini hanya dilakukan pemeriksaan darah rutin dan
hasilnya: Hb 10,8 gr%, PLT 225.000/mm3, WBC 12.700/mm3. Menunjukan adanya peningkatan
leukosit sehingga dapat juga di duga adanya kelainan/lesi pada susunan saraf pusat akibat adanya
infeksi pada susunan saraf pusat tersebut.
Berdasarkan teori pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah kadar glukosa,
kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum dalam darah yang memudahkan timbulnya
kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia,
hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin
disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau
selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis
tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid. Selain itu pemeriksaan
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu. Elektroensefalografi (EEG)
merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsi.
Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien yaitu penitoin, diazepam ampul, antibiotik dan
vitamin. Pada teori terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni: Obat anti
epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum
2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi
penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut, Terapi
dimulai dengan monoterapi, pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara
bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat, apabila dengan
penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan
OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan
secara perlahan, dapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.8
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme
kerjanya :Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin, fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi
konduktan kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen. Fenobarbital :
Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan eksitabilitas glutamate, menurunkan
konduktan natrium, kalium dan kalsium.. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik,
menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium. Levetiracetam : Tidak diketahui.
Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang
voltage dependent. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas channel, Topiramat: Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-
Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABA. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium
channel. Inhibisi eksitasi glutamate. 8
Prognosis pada pasien ini adalah dubia karena sesuai penjelasan keluarga pasien jarang
mengkonsusmsi obat kejang dan jarang kontrol ke dokter. Sesuai teori Prognosis epilepsi
bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan
dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan.
Pada 50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50
% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang
bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis
terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis yang umumnya
jelek. 1,4,6
KESIMPULAN
1. Secara klinis, pasien menderita epilepsy berulang, general tonik klonik seizure suspeks
epilepsy
2. Epilepsy merupakan suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang
dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi social yang diakibatkannya.
3. Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan klinis pasien dan pemeriksaan penunjuang yang
merupakan goal standar adalah pemeriksaan EEG.
4. Tatalaksana utama karbamazepin, phenitoin, fenobarbital
5. Tatalaksana pada pasien sesuai dengan referensi namun pasien mengalami kondisi yang
buruk dan akhirnya meninggal pada masa perawatannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127.
2. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
3. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1sted. 2007
4. Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures
and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
5. Ali. RA. Aetiology of the Epilepsy. Epilepsi .2001; (6) 1 : 13 – 18
6. Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
7. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment
of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
8. Bate L, Gardiner M. Moleculer Genetics of Human Epilepsies. 1999 URL http :
//www.ermm.cbcu.cam.uk.
9. Cornaggia CM, Beghi M, Provenzi M, Beghi E. 2006. Correlation between cognition and
behavior in epilepsy. Epilepsia, 47, s349.
10. Wilkinaon I. Essential neurology 4thed. USA: Blackwell Publishing 200515. PERDOSI. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Edisi 3. Jakarta. 2008
11. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2009.p.439.
12. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2005.