10
Endang, 39 tahun. Lokasi: Rungkut Lor, Kali Rungkut, Rungkut, Surabaya Timur. Endang bekerja dengan membuat aksesoris dan bros yang kemudian ia setorkan ke sebuah perusahaan. Ia bekerja di rumahnya sendiri, selama 8 jam per hari, dengan upah Rp. 6,000 – Rp. 10,000 per hari. Kedua anaknya – yang masih di bawah 15 tahun – membantu pekerjaannya. Endang menyatakan, “Saya dak mempunya keterampilan ataupun pilihan lain…©ILO

Endang, 39 tahun. - ilo.org fileEndang, 39 tahun. Lokasi: Rungkut Lor, Kali Rungkut, Rungkut, Surabaya Timur. Endang bekerja dengan membuat aksesoris dan bros yang kemudian ia

Embed Size (px)

Citation preview

Endang, 39 tahun.Lokasi: Rungkut Lor, Kali Rungkut, Rungkut, Surabaya Timur. Endang bekerja dengan membuat aksesoris dan bros yang kemudian ia setorkan ke sebuah perusahaan. Ia bekerja di rumahnya sendiri, selama 8 jam per hari, dengan upah Rp. 6,000 – Rp. 10,000 per hari. Kedua anaknya – yang masih di bawah 15 tahun – membantu pekerjaannya. Endang menyatakan, “Saya tidak mempunya keterampilan ataupun pilihan lain…” ©

ILO

Noviah, 33 tahun.Lokasi: Kradjan, Karang Redjo, Purwosari, Pasuruan. Pekerjaan Noviah adalah membuat/menjahit sapu dan keset kaki. Ia dapat menghasilkan hingga 100 buah sapu dalam 8 hingga 10 jam kerja, dan dibayar Rp. 250 per sapu yang dihasilkan. Dengan demikian, ia menghasilkan sekitar Rp. 25,000 per hari. Suami dari Noviah bekerja sebagai pekerja bangunan dengan upah Rp. 200,000 per minggu. Mereka memiliki 2 orang anak, berusia 9 tahun dan 2 tahun.

©IL

O

Kelompok Penjahit Tikar Mawar.Lokasi: Paya Bakung, Hamparan Perak, Deli Serdang.Ibu Suriati adalah salah satu dari 25 perempuan anggota kelompok Penjahit Tikar Mawar. Sesuai dengan namanya, pekerjaan para anggota kelompok adalah menyatukan – dengan cara menjahit – lembaran-lembaran tikar menjadi satu kesatuan. Satu bal (satuan yang digunakan) terdiri dari 3 hingga 5 lembar tikar. Upah yang mereka terima antara Rp. 6,000 – Rp. 7,000 per bal-nya. Mereka hanya dapat menyelesaikan 2 hingga 3 bal per hari, karena menjahit tikar yang berbahan tebal membutuhkan tenaga dan tidak mudah dilakukan. Tangan mereka banyak yang luka-luka karena terkena jarum jahit. Dengan kecepatan kerja seperti ini, berarti mereka memiliki penghasilan sekitar Rp. 300,000 – Rp. 400,000 per bulan.

©IL

O

Erni, 43 tahun. Lokasi: Bagan Asahan, Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Erni bekerja membersihkan ikan, yang nantinya disetor ke pengepul. Dengan bantuan anaknya, Riyani, mereka dapat membersihkan 10 hingga 15 kilogram ikan dalam 4-8 jam kerja. Mereka diupah Rp. 20,000 – Rp. 30,000 untuk 10 – 15 kilogram. Walau penghasilannya terbatas, Erni mencoba melihat sisi baiknya, “Saya senang dapat menghasilkan uang. Tidak ada pilihan lain lagi…” ©

ILO

Bawon, 45 tahun. Lokasi: Bale Arjo Sari, Blimbing, Kabupaten Malang. Bawon bekerja membuat produk-produk rotan, yang kemudian disetor ke toko-toko. Ia tidak memiliki suami dan memiliki 4 anak, yang paling muda berusia 5 tahun. Anaknya yang sudah remaja seringkali membantunya bekerja. Bawon membuat berbagai macam rajutan rotan dengan upah Rp. 2,000 – Rp. 5,000 per buah. Karena pekerjaannya membutuhkan keterampilan dan kesabaran, ia hanya dapat menghasilkan sekitar 7 potong seharinya, yang berarti menerima upah Rp. 35,000 per hari. Oleh karena penghasilannya sebagai Pekerja Rumahan ini tidak memadai, maka Bawon juga bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ia mengerjakan rajutan rotan pada pagi hari dan bekerja sebagai PRT pada malam hari. Gajinya sebagai PRT adalah Rp. 300,000 per bulan. Dengan melakukan 2 pekerjaan sekaligus, total pendapatan Bawon setiap bulannya masih berada di bawah Upah Minimum Kabupaten. ©

ILO

Sarni, 50 tahun.Lokasi: Sukodadi, Jamuran, Kabupaten Malang. Sarni membuat tutupan panci yang siap dijual. Ia menerima hanya Rp. 1,000 per lembar yang terdiri dari 20 tutup panci. Ia dapat membuat 20 hingga 50 lembar setelah bekerja 8 – 10 jam per hari. Ini berarti pendapatannya adalah sekitar Rp. 20,000 – Rp. 50,000 per hari. Untuk memeroleh pendapatan tambahan, Sarni juga menjual buah kelapa sekitar 150 buah per harinya, dengan total pendapatan sekitar Rp. 40,000. Ia menjelaskan bahwa pendapatannya yang terbatas ini pun masih lebih besar dari pendapatan suaminya. “Saya tidak menikmati pekerjaan saya, tapi saya tidak punya pilihan lain,” Sarni menutup ceritanya.

©IL

O

Ni Pantes, 40an tahun. Lokasi: Desa Kenteng, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah Pantes bekerja menenun lembaran kain, @4 meter dan menjahit lembaran-lembaran kain menjadi sarung. Ia membutuhkan 2 hari untuk menenun 1 lembar kain dan menerima upah Rp. 40,000/lembar; dan untuk menjahitnya ia hanya menerima upah Rp. 1,000/sarung. Penghasilannya per bulan adalah sekitar Rp. 750,000, yang mana berada di bawah upah minimum. Pantes bercerita bahwa ia dan teman-teman sepekerjaan pernah bernegosiasi meminta kenaikan gaji dan permintaan mereka ini dipenuhi oleh pemberi kerja/pengepul mereka. Mereka memahami bahwa permintaan ini dipenuhi karena menenun adalah sebuah keterampilan yang spesifik, sehingga tidak mudah bagi pemberi kerja untuk menggantikan mereka dengan orang lain, atau dengan kata lain mereka memiliki nilai tersendiri di mata pemberi kerja. Pantes dan teman-temannya berharap ada kenaikan menuju upah yang lebih layak, terutama untuk menjahit kain sarung.

©IL

O

Rabiatun, 36 tahun. Lokasi: Dusun Ngujung, Desa Toya Marto, Singosari, Kabupaten Malang. Rabiatun membuat tali pengikat untuk dipasangkan di sandal. Ia membuat 5 hingga 6 kodi seharinya, dengan upah hanya Rp. 7,000 per kodi atau Rp. 35,000 – 42,000 per hari. Untuk mendapatkan hasil ini, ia harus bekerja 8 hingga 10 jam per hari. Suami Rubiatun bekerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan mengirimkan Rp. 600,000/bulan. Biaya ini pas-pasan untuk menghidupi kedua anaknya yang berusia 12 tahun dan 3.5 tahun. Rubiatun mengatakan, “Saya tidak bahagia. Hal yang baik dari kerjaan ini adalah saya dapat mengawasi anak saya. Namun hal buruknya adalah pendapatan saya tergantung kepada jumlah barang yang saya hasilkan, kalau saya tidak kerja maka saya tidak dapat uang. Selain itu, kalau ada kecelakaan kerja, saya sendiri yang menanganinya (bukan pemberi kerja).”

©IL

O

Juli, 29 tahun. Lokasi: Bagan Asahan, Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Juli mengupas sebanyak 6-10 kilogram kulit kerang seharinya dengan upah Rp. 2,000 per kg atau Rp. 12,000 – Rp. 20,000/hari. Untuk memiliki sumber pendapatan alternative, Juli juga menjual makanan di depan rumahnya. Anaknya yang masih di SD, Junaidi, turut membantu Juli mengupas kulit kerjang. Juli mengatakan “Saya senang dapat memeroleh penghasilan. Tidak banyak pilihan pekerjaan yang saya miliki.” ©IL

O

Sebu

t saja

Ibu

Bu

di*

Lokasi: Kabupaten Semarang .

Ibu Budi mem

iliki 3 anak yang bersekolah di SD, SM

P dan SMA.

Suaminya pergi begitu saja

meninggalkan m

ereka ketika anak-anaknya m

asih kecil. Pekerjaan Ibu Budi adalah m

enjahit menyatukan

sol sepatu dengan bagian atas sepatu untuk PT. ZZ*. Ia telah m

enekuni pekerjaannya ini selama

8 tahun, dengan upah Rp. 21,000 – Rp. 32,000 per 10 pasang sepatu (tergantung pada m

odel dan ukuran sepatu). Ia m

embutuhkan m

inimal

7 jam untuk dapat m

enyelesaikan 10 pasang sepatu. Karena pem

beri kerja m

enekankan ketepatan waktu

penyelesaian kerja, mau tidak m

au ia kadang m

eminta anak-anaknya

mem

bantu. Jika terlambat, m

aka ia akan m

endapatkan Surat Peringatan. Belum

lama ini, Ibu Budi bersam

a dengan tem

an-teman sepekerjaan

aktif mengikuti kegiatan pekerja

rumahan dengan LSM

lokal, di mana

mereka belajar m

engenai hak-hak pekerja seperti upah dan jam

kerja yang layak. PT. ZZ, yang khaw

atir dengan gerakan ini, kem

udian m

emaksa pekerja rum

ahan untuk m

enandatangani sebuah kontrak tertulis. Jika pekerja rum

ahan tidak m

enandatanganinya, maka

mereka tidak akan lagi m

enerima

pekerjaan. Selain sifatnya yang m

emaksa, kontrak itupun tidak

menghargai hubungan kerja yang

ada maupun hak-hak kerja layak

karena menyatakan bahw

a PT. XX m

emberikan pekerjaan m

enjahit sepatu sebagai bagian dari program

Corporate Social Responsibility. Ibu Budi sendiri m

enandatangani kontrak ini karena, “ya bagaim

ana lagi? Kalau saya tidak tanda tangan, saya kehilangan pekerjaan.” *N

ama-nam

a dan foto disamarkan atas perm

intaan pekerja rum

ahan

©ILO