21
Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 74 EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS Fajri Chairawati Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh ABSTRAK This article discusses about the emancipation of women from the perspective of the Qur'an and Hadith. Emancipation of women who always hailed feminists, will only add to the harm to the women themselves. Because it is all just freedom without limits is self-inflicted. Though God has created limitations Personality 'was very complete and perfect. During this time, emancipation is more likely to be interpreted as the implications of gender equality in the form of freedom of choice. For example, choose to be a career woman, whereas in fact the task of making a living is the duty of a man. The woman sued if the believer does not need to hand over the leadership of the Islamic household in the hands of man, because Allah has guaranteed the rights of women as well as possible, as long as the household is run in accordance with the provisions of Allah. The existence of rights and obligations is also a means of interaction and relationships among family members in order to create good communication and association (mu'asyarah bil al-ma'ruf) so as to create a sense of affection in the family. The prohibition of women become leaders, opinion of the author are not in line with the main mission of the Islamic presence to promote the dignity of women, not in line with the principles of equality which Islam is established, and the real facts in the field in which the individual turns a lot of women who have the ability over men . Is not the history of the struggle of the Indonesian people listed as female heroes, such as Cut Nyak Dien (Aceh), Mrs. Wahid Hasyim (NU), Mother A'ishah Dahlan (Muhammadiyah), Kartini and others. Kata Kunci: Emansipasi Wanita, Al-Qur’an, Hadits Pendahuluan Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan peran perempuan masih “terkotak” kedalam dua kelompok yang berseberangan. Disatu sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus dirumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domistik. Di sisi lain, berkembang pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan haknya tentang kebebasan. Perbedaan pandangan tersebut sangat terkait dengan adanya perbedaan dalam memahami teks-teks al-Quran yang berbicara tentang relasi wanita. Fokus permasalahan yang dimunculkan dalam artikel ini adalah sejauh mana emansipasi wanita menurut al-Qur’an dan Hadits, kemudian pertanyaan turunannya, sebagai pengantar diskusi ini akan dideskripsikan pula kedudukan

EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

  • Upload
    dangbao

  • View
    236

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 74

EMANSIPASI WANITA

MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS

Fajri Chairawati

Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh

ABSTRAK

This article discusses about the emancipation of women from the

perspective of the Qur'an and Hadith. Emancipation of women who always hailed

feminists, will only add to the harm to the women themselves. Because it is all

just freedom without limits is self-inflicted. Though God has created limitations

Personality 'was very complete and perfect. During this time, emancipation is

more likely to be interpreted as the implications of gender equality in the form of

freedom of choice. For example, choose to be a career woman, whereas in fact the

task of making a living is the duty of a man. The woman sued if the believer does

not need to hand over the leadership of the Islamic household in the hands of man,

because Allah has guaranteed the rights of women as well as possible, as long as

the household is run in accordance with the provisions of Allah. The existence of

rights and obligations is also a means of interaction and relationships among

family members in order to create good communication and association

(mu'asyarah bil al-ma'ruf) so as to create a sense of affection in the family. The

prohibition of women become leaders, opinion of the author are not in line with

the main mission of the Islamic presence to promote the dignity of women, not in

line with the principles of equality which Islam is established, and the real facts in

the field in which the individual turns a lot of women who have the ability over

men . Is not the history of the struggle of the Indonesian people listed as female

heroes, such as Cut Nyak Dien (Aceh), Mrs. Wahid Hasyim (NU), Mother A'ishah

Dahlan (Muhammadiyah), Kartini and others.

Kata Kunci: Emansipasi Wanita, Al-Qur’an, Hadits

Pendahuluan

Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan

peran perempuan masih “terkotak” kedalam dua kelompok yang berseberangan.

Disatu sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus dirumah, mengabdi

kepada suami, dan hanya mempunyai peran domistik. Di sisi lain, berkembang

pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan haknya tentang

kebebasan. Perbedaan pandangan tersebut sangat terkait dengan adanya perbedaan

dalam memahami teks-teks al-Qur’an yang berbicara tentang relasi wanita.

Fokus permasalahan yang dimunculkan dalam artikel ini adalah sejauh

mana emansipasi wanita menurut al-Qur’an dan Hadits, kemudian pertanyaan

turunannya, sebagai pengantar diskusi ini akan dideskripsikan pula kedudukan

Page 2: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 75

hukum nafkah rumah tangga dari penghasilan isteri sebagai wanita karier dan

kepemipinan wanita dilingkungan keluarga dan masyarakat.

Untuk menjawab beberapa pokok permasalahan di atas, penulis

menggunakan pendekatan, di antaranya; pendekatan kebahasaan, kitab-kitab

tafsir, hadis dan literatur-literatur yang terkait dengan judul pembahasan.

Pembahasan

1. Teks Ayat Q.S Al-Nisa’:34

االن ساءعلىق وام ونالر جال اب عض علىب عضه مالل فضلب أموالممنأن فق واوبات اللغيبحافظات قانتات فالصال الل حفظب ت فعظ وه نن ش وزه نتاف ونواللواهج ر وه ن عف علياكاناللإنسبيلعليهنت ب غ وافلأطعنك مفإناضرب وه نوالمضاج

(34)كبرياArtinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah

melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan

Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu

Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika

suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang

kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di

tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka

janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha

Tinggi lagi Maha besar.

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id bin

Rabi‘ yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena

telah melakukan nusyûz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang

kepada Rasul saw. dan mengadukan peristiwa tersebut yang oleh Rasul. Rasul

kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishâs kepada Sa‘id. Akan tetapi,

Malaikat Jibril kemudian datang dan menyampaikan wahyu surat an-Nisa‘ ayat 34

ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki satu

perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki

Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishâs tersebut.1

Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan

oleh al-Farabi, ‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn

Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki

Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasul

mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishâsh di antara keduanya.

Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:

لق رآنت عجلول رب وق لوحي ه إليكي قضىأنق بلمنب علمازدن … Janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum pewahyuannya

disempurnakan kepadamu. (QS Thaha [20]: 114). Rasul pun diam. Setelah itu,

_____________ 1 Al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, (CD.Maktabah al-Syamilah), vol. I, 100, baca pula:

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh (Beirût: Dâr al-Fikr, 1989), vol. V., 53-54

Page 3: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 76

turunlah surat an-Nisa’ ayat 34 di atas hingga akhir ayat.2 Kisah yang sama juga

dituturkan oleh Ibn Mardawiyah yang bersumber dari ‘Ali.3 Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab

kelebihan seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya

Allah menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris,

dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah

tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita).

Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada

masa lalu, mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “ar-

rijâlu qawwâmûna ‘ala an-nisâ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga

maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum

wanita.

الن ساءعلىق وام ونالر جال Frasa Ar-Rijâl qawwâm ‘alâ an-nisâ’ bermakna bahwa kaum pria adalah

pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas

segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau

melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan

dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itu, jihad menjadi kewajiban atas pria,

dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih

besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung

nafkah atas wanita.4

Ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk

mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita

(istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan

pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.5

Selanjutnya ayat;

ا ب عض علىب عضه مالل فضلب

Pada frasa bimâ fadhdhala Allâh ba‘dhahum ‘alâ ba‘dhin, huruf ba-nya

adalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kata qawwâmûn. Dengan begitu

dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena

kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita.6

Ibn Katsir dalam tafsirnya, menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin,

penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena

berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah: Li

ar-rijâl ‘alaihinna darajah (bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita)

(QS al-Baqarah [2]: 228). Selain itu, karena laki-laki berkewajiban menafkahi istri

dan anak-anaknya.7 _____________

2 Abdur Rahmân ibn al-Kamâl Jalâluddîn as-Suyûthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-

Ma’tsûr, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), vol. III, 512-513. 3 Jalâluddîn as-Suyûthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr.., 513. 4 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 54 5 Ali Shâbuni, al-Shafwah al-Tafâsir, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), vol. II, 273 6 Shihâbuddîn Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‘ânî Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm wa Sab’a al-

Matsâni, (Beirût: Dâr al-Fikr, ), vol. I, 23 7 Abû al-Fidâ’ Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1401), vol. I,

596

Page 4: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 77

Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn ‘Abbas, at-Thabari,

bahkan hingga Imam ‘Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat,

kecuali belakangan manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan

dengan wacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang menunjukkan tidak

sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas kontemporer.

Ibn ‘Abbas, misalnya, mengartikan kata qawwâmûn sebagai pihak yang

memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita.

Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata qawwâmûn

bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik

dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.8

Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanita

karena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria

diberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpin

atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan

watak. Surah an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk

mendidik wanita.9

Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas,

menyatakan bahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati dalam hal-hal

yang memang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya

dibuktikan, misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta

menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan

kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha.10

Dalam tafsirnya, Fakhr ar-Razi11 menyatakan bahwa kelebihan kaum pria

atas wanita itu terdapat pada banyak aspek. Di antaranya adalah sifat hakiki dan

sebagiannya terkait dengan hukum-hukum syariat. Sifat hakiki dikembalikan pada

dua hal, yakni ilmu dan qudrah (kemampuan). Dua hal inilah yang menghasilkan

kelebihan kaum pria atas wanita dalam hal akal, tekad, dan kekuatan; dalam

kemampuan menulis, berkuda (berkendaraan), melempar. Dari kalangan mereka

pula diutusnya para nabi dan banyaknya para ulama. Imâmah (baik khalifah

maupun jabatan penguasa di bawahnya), jihad, azan, khutbah, itikaf, kesaksian

dalam masalah hudûd dan qishâs, kelebihan dalam pembagian waris, kewajiban

membayar diyat dalam pembunuhan atau kesalahan dan dalam hal sumpah juga

ada pada mereka. Kewenangan dalam pernikahan, talak, rujuk, dan berpoligami,

penisbatan garis nasab juga ada pada merek. Semua itu menunjukkan adanya

kelebihan kaum pria atas kaum wanita.

Kedua, adanya kelebihan dalam hal taklif syariat. Frasa wa bimâ anfaqû min

amwâlihim mengandung pengertian bahwa kaum pria memiliki kewajiban untuk

memberikan nafkah kepada istri dan kerabat dekat yang menjadi tanggungannya;

mereka juga harus membayarkan mahar kepada kaum wanita untuk memuliakan

mereka.12

_____________ 8 Abû Ja’fâr, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlîd ath-Thabâri, Jâmi’ al-Bayân ‘an

Ta’wîl Ay al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1405 H), vol. V, 48 9 Abû Abdillah, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farah al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li

Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr asy-Sya’b, 1372 H.), vol.V, 168 10 Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukâni, Fath al-Qadîr bain Fanni ar-

Riwâyah wa ad-Dirâyah min ‘Ilm at-Tafsîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. I, 462. 11 Fakhr al-Dîn al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.th), 91. 12 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh…, 55.

Page 5: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 78

Tafsir al-Azhar memahami QS. al-Nisâ`/4:34 sebagai argumentasi

kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Kepemimpinan tersebut erat kaitannya

dengan perbandingan 2:1 bagian warisan laki-laki dan perempuan, kewajiban laki-

laki membayar mahar, dan perintah kepada suami untuk memperlakukan dengan

baik istrinya. Hal ini disebabkan karena lak-laki adalah pemimpin atas

perempuan. Kepemimpinan ini disebabkan karena laki-laki memiliki naluri

kepemimpinan, sedangkan perempuan memiliki naluri dipimpin.13

Tafsir an-Nur menerjemahkan kata qawwâm pada QS. al-Nisâ` sebagai

pengatur14 bukan pemimpin seperti pemahaman tafsir pada umumnya. Tugas

melindungi bagi laki-laki terhadap perempuan menjadi sebab peperangan hanya

diwajibkan bagi laki-laki, tidak untuk perempuan. Hal itu pula yang menyebabkan

sehingga laki-laki mendapatkan bagian warisan 2 kali dibanding perempuan.

Khusus dalam rumah tangga, laki-lakilah yang menjadi pemimpin15. Seperti Tafsir

an-Nur, Tafsir al-Furqân juga menerjemahkan kata qawwâm sebagai pengatur.

Alasan kepemimpinan laki-laki atas perempuan menurut tafsir ini adalah karena

kelebihan laki-laki dan kewajibannya menafkahi istrinya. Kelebihan yang

dimaksud adalah kelebihan kekuatan, keberanian, keteguhan hati, dan ketepatan.16

Di luar dua hal di atas, seorang laki-laki adalah setara dan sama dengan

seorang wanita dalam hal hak dan kewajibannya. Inilah kebaikan Islam. Allah

Swt. berfirman:

جالبالمعروفعليهن ال ذيمثلولهن [ ]درجة عليهن وللر Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah

Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 228).

Tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga, adalah menjaga,

membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah dan sebagainya. lain halnya

dengan wanita, ia justru mendapat jaminan keamanan dan nafkah. Itulah sebabnya

kaum pria memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian wanita.17

Demikian juga antara laki-laki dan perempuan, keduanya saling

melengkapi dan tidak bertentangan. Laki-laki bertugas untuk mencari nafkah,

memelihara istri dan anak-anaknya, serta menyediakan kebutuhan hidupnya,

sedangkan perempuan bertugas memelihara rumah tangga, hamil, melahirkan

mengasuh anak dan menjadi tempat berteduhnya suami guna mendapatkan

sakinah dan ketenangan ketika suami datang dari kerja dan kelelahan. Setelah

bersusah payah mencari nafkah disambut oleh sang istri dengan senyuman dan

kasih sayang yang menghapus semua kepenatannya kerjanya, dan masing-masing

mendapatkan apa yang dibutuhkan apa yang dibutuhkan.18

Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan kaum wanita (para istri) dalam

kehidupan berumah tangga: adakalanya mereka taat; adakalanya mereka tidak

setia (melakukan nusyûz).19 Dalam Shafwah at-Tafâsîr, dijelaskan bahwa frasa fa

ash-shâlihât qânitât hâfizhâth li al-ghayb bi mâ hafizha Allâh merupakan

_____________ 13 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1982 ), vol. V, 46-47 14 Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, (Semarang: Putra Rizki, 1995),

vol. I, 815 15 Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir al-Majid al-Nur…, 816 16 A. Hassan, Tafsir al-Fuqan, (Bangil: Persatuan), 162 17 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam

Kontemporer,(Bandung: Angkasa, 2005), 138 18 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer.., 139. 19 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh…, 55

Page 6: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 79

perincian dari keadaan para wanita yang berada dalam kepemimpinan pria. Allah

telah menjelaskan bahwa mereka (para wanita) tersebut terbagi dalam dua

keadaan, yakni: (1) kelompok wanita shalihah dan taat; (2) kelompok wanita yang

bermaksiat dan membangkang. Wanita shalihah akan senantiasa menaati Allah

Swt. dan suaminya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah,

senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya, menjaga diri mereka dari

melakukan perbuatan keji, menjaga kehormatan mereka, menjaga harta suami

dan anak-anak mereka, dan menjaga rahasia apa yang terjadi antara mereka

berdua (suami-istri) dalam hal apa pun yang layak dijaga kerahasiaannya.20

Frasa wallâti takhâfûna nusyûzahunna adalah menunjuk pada kelompok

wanita yang kedua, yakni para wanita yang bermaksiat dan menentang, yakni

mereka yang menyombongkan diri dan meninggikan diri dari melakukan ketaatan

kepada suami.21

Berdasarkan ayat di atas, ketika telah tampak bagi suami tanda-tanda nusyûz

ini pada istrinya, suami wajib melakukan beberapa langkah untuk melakukan

perbaikan (mengembalikan istri ke jalan yang benar) dengan menempuh tahapan

sebagai berikut:

1. Fa‘izhuhunna: memberikan nasihat, petunjuk, dan peringatan yang

memberi pengaruh pada jiwa istrinya; dengan mengingatkan istrinya akan

ancaman siksa yang diberikan Allah kepadanya karena kemaksiatan yang

dilakukannya.22

2. Wahjurûhunna fî almadhâji‘: memisahkan diri dan berpaling darinya

(istri) di pembaringan (pisah ranjang). Ini adalah kinâyah (kiasan) dari

meninggalkan jimak (persetubuhan), atau tidak melakukan tidur bersama istri

dalam satu tempat tidur yang sama, tidak mengajaknya bicara, dan tidak

mendekatinya. Akan tetapi, suami tidak diperkenankan tidak mengajak bicara istri

lebih dari 3 hari. Ibn ‘Abbas berkata, al-hajru bermakna tidak menjimak istri,

tidak tidur bersamanya di pembaringannya, dan berpaling dari punggungnya.23

Tindakan ini akan sangat menyakitkan istri; dilakukan untuk membuat seorang

istri memikirkan dan merenungkan kembali apa yang telah dilakukannya. Jika

yang demikian telah membuat istri sadar dan menaatinya, suami harus

menerimanya dan tidak boleh melakukan langkah yang ketiga. Sebaliknya, jika

yang demikian tidak membuat istri sadar juga, suami diperkenankan melakukan

langkah yang ketiga.

3. Wadhribûhunna: memberikan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak

berbekas; tidak lain tujuannya sema-mata demi kebaikan.24

Selanjutnya, kalimat fa in atha‘nakum falâ tabghû ‘alayhinna sabîlâ

mengandung pengertian, bahwa jika istri menaati perintah suami, janganlah suami

mencari jalan lain untuk menyakiti istrinya. Artinya, para suami dilarang

menzalimi para istri mereka dengan cara lain yang di dalamnya terdapat aktivitas

menyakiti dan menyiksa mereka.25

_____________ 20 Ali ash-Shâbuni, al-Shafwah al-Tafâsir…, 274. 21 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm…, 608. 22 ‘Ali ash-Shâbuni, al-Shafwah al-Tafâsir…, 274. 23 Ibid. 24 Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 609. 25 Ibid.

Page 7: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 80

Terakhir, kalimat Inna Allah kâna ‘Aliyyan Kabîrâ mengandung

pengertian bahwa sesungguhnya Allah lebih tinggi dan lebih besar daripada para

suami; Dia adalah pelindung para istri dari siapa pun yang menzalimi dan

bertindak melampaui batas terhadap mereka.26 Ini adalah peringatan keras bagi

para suami agar tidak menzalimi istrinya. Maksudnya adalah agar para suami

menerima tobat dari istrinya. Sebab, jika Yang Mahatinggi dan Mahabesar saja

senantiasa menerima tobat hamba-Nya yang bermaksiat, maka tentu para suami

lebih layak untuk menerima tobat para istri.27

2. Surah al-Baqarah; 228

Hak dan kewajiban antara suami pada hakekatnya adalah seimbang,

sehingga Wahbah al-Zuhaily menyatakan bahwa prinsip hubungan suami dan

isteri dalam keluarga adalah al-Musawah baina ar-rajul wa al-mar’ah fi huquq

wa al-wajibah (keseteraan dalam hak dan kewajiban) atau al-Tawazun wa al-

Takafu’ (adanya keseimbangan dan kesepadanan) diantara keduanya.28

Di antara ayat-ayat al-qur’an yang membincang tentang keseimbangan

antara hak dan kewajiban ini, sebagaimana dilukiskan oleh Allah dalam surah al-

Baqarah; 228

2. Q.S. al-Baqarah: 228

ثل ول ن.… لمعر وفعليهنالذيم (228)حكيم عزيز والل درجة عليهنوللر جالبDan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.

Allah maha perkasa, maha bijaksana. (al-Baqarah:228)

Ayat diatas menginformasikan bahwa isteri memiliki hak yang wajib

dipenuhi oleh suami seimbang dengan hak yang dimiliki suami yang wajib

dipenuhi oleh isteri, yang dilakukan secara ma’ruf (baik menurut kondisi internal

masing-masing keluarga). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk hak

dan kewajiban suami isteri pada hakikatnya berdasarkan pada adat kebiasaan (urf)

dan fitrah manusia serta dilandasi prinsip “setiap hak yang diterima sebanding

dengan kewajiban yang diemban”.29

Menurut Prof.Huzaimah hak dan kewajiban suami dan isteri dapat menjadi

enam bagian, yaitu (1) hak dan kewajiban pria dan wanita sebagai Individu, (2)

hak suami dan istri dalam perkawinan, (3) kewajiban suami isteri dalam

perkawinan, (4) hak ayah/ibu atas anak (kewajiban anak terhadap ayah/ibu), (5)

kewajiban Ayah Ibu terhadap Anak (hak anak dari kedua orang tuanya), (6) Hak

dan kewajiban menantu dan Mertua.30

Dalam artikel ini penulis membatasi uraian hanya pada point 1,2 dan 3.

Adapun uraiannya sebagai berikut:

_____________ 26 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh…, 57. 27 Ibid.,. 57 28 Ibid., vol. VII, 327 29 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. VII, 327 30 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2001),

106

Page 8: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 81

Hak dan kewajiban pria dan wanita sebagai Individu 1. Hak dan Kewajiban pria dan wanita sebagai Individu

Hak individu pria dan wanita menurut Prof. Dr. H. Rahmat Djatmika,

sebagaimana dinukil oleh Prof.Huzaimah, dibagi kepada dua bagian, yaitu;

a. Hak Thabi’i, yaitu hak manusia yang berlaku menurut fitrahnya, menurut

asal kejadiannya, bahwa keadaan itu adalah menjadi hak manusia, seperti

hak hidup dan hak merdeka. Hak hidup adalah hak manusia menurut

fitrahnya yang diberikan Allah kepadanya menurut kadar ketentuan yang

telah ditentukan. Karena itu, kewajiban manusia lainnya untuk memelihara

dan menghormati hidup manusia lainnya. Sejak manusia menjadi manusia

sebagai makhluk baru, mulai dari pembuahan di dalam rahim ibu, dia telah

menjadi manusia dengan pertumbuhannya yang telah mendapat hidup,

yang tidak boleh bagi yang lainnya untuk menganiaya apalagi

membunuhnya. Pengguguran bayi dalam kandungan dengan tidak ada

sebab yang dibolehkan syara’ adalah pembunuhan, yang merupakan

pelanggaran hak hidup si bayi tersebut. Hak merdeka adalah juga hak

manusia merupakan fitrahnya. Tidak boleh bagi yang lain menganggu

kemerdekaan orang lain yang menjadi haknya. Sejak manusia hidup

didunia ini, maka dia telah pula mendapatkan hak merdeka, tidak boleh

bagi yang lain memperbudak dan melanggar kemerdekaannya. Haknya

harus dihormati oleh orang lain. Kemerdekaan seseorang, berarti

kebebasan berfikir, berbicara, berkehendak, dan sebagainya, dalam batas-

batas yang telah ditentukan dalam norma hidup dan kehidupan. Pokok-

pokok norma ini telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya, yang berarti

menghormati dan dibatasi oleh kemerdekaan tidak melanggar hak-hak

yang lainnya, sehingga kemerdekaan bukan berarti kebebasan yang

sewenang-wenang. Dalam ajaran islam, manusia adalah merdeka sejak dia

dilahirkan oleh ibunya. Tidak seorang pun yang diperkenankan

memperbudak orang lain.

b. Hak yang diberikan oleh undang-undang/peraturan; yaitu hak yang

dijamin berdasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia. Hal ini

ditentukan oleh pembuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang

harus dianut oleh orang-orang yang tunduk di bawah kekuasaannya.

Pengakuan hak-hak ini lebih bersifat politis, karena terserah kepada ide

yang dianut oleh yang berkuasa membuat undang-undang tersebut. Hak-

hak manusia yang telah disebutkan di atas, adalah merupakan hak

induvidu, pria dan wanita, dilingkungan keluarga dalam masyarakat.

2. Kewajiban Pria dan Wanita sebagai individu yang dimaksud adalah kewajiban

utama bagi pria dan wanita sebagai induvidu, adalah mempercayai dengan

keyakinan adanya Allah tidak ada Tuhan melainkan Allah, dengan keyakinan

bahwa Allah mempunyai segala kesempurnaan. 31

Hak suami dan istri dalam perkawinan

1. Hak suami atas istri antara lain;

a. Istri hendaklah taat kepada suami dalam melaksanakan urusan

rumah tangga selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan

_____________ 31 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 106-107

Page 9: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 82

Islam yang berhubungan dengan kehidupan suami-istri (an-nisa’;

34)

b. Istri mengurus dan menjaga rumah tangga suami, termasuk

mengasuh dan memelihara anak dan harta rumah tangga (an-nisa’;

34).

2. Hak istri atas suami antara lain;

a. Memperoleh mahar dan nafkah dari suami, (an-nisa’; 4 dan 34)

yang dimaksud dengan nafkah disini adalah meliputi makanan dan

minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lain-lain. Kalau

suami tidak memberi nafkah, istri boleh mengambil harta suami

tanpa sepengetahuannya yang mencukupi hidupnya dan anaknya

dengan cara yang baik.

b. Mendapat perlakuan yang baik dari suami (an-Nisa; 19)

c. Suami menjaga dan memelihara istrinya, yaitu dengan menjaga

kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya dan menjaga agar selalu

melaksanakan perintah Allah. Suami yang paling baik adalah yang

paling baik kepada istrinya (HR. Turmuzi dari Abu Hurairah).32

Kewajiban suami isteri dalam perkawinan

Sebagaimana dinyatakan secara tekstual dalam al-Qur’an, suami adalah

pelindung (qawwam) bagi istri.33 Dari pernyataan ini kemudian para ulama

menetapkan bahwa suami adalah kepala keluarga. Ali Shabuni menyatakan ayat

tersebut bahwa suami menjadi pelindung bagi perempuan adalah karena dua hal,

yaitu pertama, hal yang bersifat natural karena pemberian (wahbi) dari Allah. Ini

berupa bentuk fisik dan tenaga laki-laki yang secara umum lebih kuat dari

perempuan. Kemudian yang kedua adalah hal yang bersifat sosial karena

merupakan sesuatu yang diusahakan (kasbi). Ini berupa harta benda yang

dinafkahkan bagi anggota keluarga yang lain, yaitu istri dan anak.34

Senada dengan hal tersebut, Prof. Huzaimah menjelaskan kewajiban suami

kepada Istri dan di antaranya;

a. Suami berkewajiban memberi nafkah35 rumah tangga kepada isteri dan

anak-anaknya.

b. Menuntun dan membimbing istri serta anak-anaknya agar taat dan

patuh menjalankan ajaran agama.

_____________ 32 Ibid., 108-109 33 Surah an-Nisa’; 34 34 Muhammad Ali Shâbuni, Rawa’i al-Bayân Tafsîr Ayat al-Ahkâm Min al-Al-Qur’ân

(Damaskus: Maktabah al-Ghazâli, t.th), vol. 1, 466-467 35 Nafkah suami terhadap istrinya meliputi segala keperluan hidup, baik makanan, tempat

tinggal, dan segala pelayanannya, yang tentu saja disesuaikan dengan kemampuan suami dan adat

kebiasaan masyarakat setempat. Lihat al-Qur’an; Surah al-Baqarah ayat; 223 dan al-Thalaq; 7.

sementara dalam hadis riwayah Aisyah antara lain diceritakan bahwa Hindun binti ‘Utbah

mengadu kepada Nabi SAW bahwa Abu Sufyan, suaminya, adalah orang yang kikir sampai-

sampai tidak pernah memberikan harta kepada dia dan anaknya, sehingga dia sering

mengambilnya secara diam-diam dan tidak diketahui Abu Sufyan. Terhadap pengaduan tersebut

Nabi SAW menjawab;

(ومسلم البخارى رواه) بالمعروف وولدك مايكفيك خذى Ambillah sekedar untuk mencukupi kebutuhan kamu dan anakmu dengan cara yang

layak.(HR.Bukahri dan Muslim)

Page 10: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 83

c. Bergaul dengan cara yang baik pada istrinya, yaitu menghormati dan

memperlakukakannya dengan cara yang wajar, memperhatikan

kebutuhannya, menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan dan

tidak berlaku kasar terhadap istrinya.

d. Menciptakan suasana kehidupan rumah tangga yang aman dan tentram,

rukun dan damai yang dijalin dengan kemesraan dan kasih sayang.

Sebagai kepala rumah tangga, suami harus memberikan suri teladan

yang baik kepada istri dan anak-anakya.

e. Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal memelihara dan

mendidik anak dengan penuh rasa tanggung jawab.

f. Memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan

ajaran agama, tidak mempersulit, apalagi membuat istri menderita lahir

dan bathin yang dapat mendorong istri berbuat salah.

g. Dan dapat mengatasi keadaan dan kesulitan, mencari penyelesaian

secara bijaksana dan tidak berbuat sewenang-wenang.

Sebaliknya, kewajiban istri kepada suami meliputi;

a. Saling menghormati orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

b. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing harus

menyesuaikan diri, seia sekata, saling mempercayai serta selalu

bermusyawarah, untuk kepentingan bersama.

c. Hormat menghormati, sopan santun, penuh pengertian serta bergaul

dengan baik.

d. Matang dalam berbuat dan berfikir, serta tidak bersikap emosional

dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.36

Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia tidak

boleh berbuat semena-mena terhadap istrinya karena dalam pergaulan hidup

berumah tangga, istri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’,

bila suami tidak mau memberi nafkah, sedang istri itu tidak rela, suami berbuat

serong, pemabuk dan sebagainya.37

Selanjutnya, kita melangkah selangkah kedepan, untuk membicang

bagaimana kedudukan wanita karir dan kepemimpinan wanita dalam islam.

Wanita Karier dalam Konsep Islam

Dalam perkembangan modern dewasa ini, banyak kaum wanita muslimah

yang aktif diberbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olah

raga, ketentaraan, maupun bidang-bidang lainnya. Boleh dikata, hampir setiap

sektor kehidupan umat manusia., wanita muslimah sudah terlibat; bukan hanya

dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang

berat, seperti sopir, tukang parkir, buruh bangunan, satpam dan lain-lain.

Wanita-wanita yang menekuni profesi atau pekerjaannya dan melakukan

berbagai aktifitas untuk meningkatkan hasil dari prestasinya disebut wanita

karier.38

Dilihat dari susunan katanya “wanita karier” terdiri dari dua kata “wanita

dan “karier”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “wanita” berarti

_____________ 36 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 108-109 37 Ibid., 140-141 38 Hafiz Hanshary, Ihdad Wanita Karir, dalam Huzaimah T.Yanggo (ed.), Problematika

Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002), 11

Page 11: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 84

“perempuan dewasa”.39 Sedangkan kata “karier” mengacu kepada dua pengertian;

Pertama, karier berarti pengembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan,

jabatan dan sebagainya. kedua, karier berarti juga pekerjaan yang memberikan

harapan untuk maju. Ketika kata “wanita” dan “karier” disatukan, maka kata itu

berarti “wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran,

dan sebagainya).”40 sedangkan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan,

kejujuran, dan sebagainya) tertentu”.41

Menurut Prof.Huzaimah, motivasi yang mendorong wanita terjun ke dunia

karier antara lain;

1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan wanita karier dalam berbagai

lapangan berbagai lapangan.

2. Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak, karena keadaan

keuangan tidak menentu atau pendapatan suami tidak

memadai/mencukupi kebutuhan, atau karena suami telah meninggal dan

tidak meninggalkan harta untuk kebutuhan anak-anak dan rumah

tangganya harus ia tanggung sendirian, sementara kebutuhan makin

membutuhkan pemenuhan, sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja

di luar rumah.

3. Untuk ekonomis, agar tidak tergantung kepada suami, walaupun suami

mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat wanita,

adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada

suami.

4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan

oleh wanita yang mengangap bahwa uang diatas segala, dimana yang

paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.

5. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara wanita ada yang merasa

bosan diam dirumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan

rumah tangganya. Oleh sebab itu untuk menghilangkan rasa bosan

tersebut ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha tersebut dsb

6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang wanita mungkin

mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang

susah diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan

menyibukkan diri diluar rumah.

7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan wanita karier.

Seorang yang bukan sarjana namun bakat berbakat dalam bidang

tertentu, akan lebih berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana

dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-

faktor tersebut, maka semakin terbuka kesempatan bagi wanita untuk

terjun ke dunia karier.42

Lebih lanjut, Prof.Huzaimah menjelaskan, dengan terjunnya wanita dalam

dunia karier, banyak membawa pengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik

kehidupan pribadi dan keluarga, maupun kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal

_____________ 39 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, (Jakarta,

1989), 107 40 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 391 41 Ibid., 702 42 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 140-141

Page 12: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 85

ini dapat menimbulkan dampak postif dan negatif. Adapun pengaruh positif

dengan adanya wanita karier antara lain;

1. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga

yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi

kebutuhan, tetapi dengan adanya wanita ikut berkiprah dalam mencari

nafkah, maka krisis ekonomi dapat ditanggulangi.

2. Dengan berkarir, wanita dapat memberikan pengertian dan penjelasan

kepada keluarganya, utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-

kegiatan yang diikutinya, sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam

karirnya, putra-putrinya akan gembira dan bangga, bahkan menjadikan

ibunya sebagai panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.

3. Dalam memajukan serta mensejahterakan masyarakat dan bangsa

diperlukan partisipasi serta keikutansertaan kaum wanita, karena dengan

segala potensinya wanita mampu dalam hal ini, bahkan ada di antara

pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pria dapat berhasil ditangani

oleh wanita, baik karena keahliannya maupun karena bakatnya.

4. Dengan berkarir, wanita dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya

lebih bijaksana, demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan karirnya itu

ia bisa memiliki pola pikir yang moderat. Kalau ada problem dalam

rumah tangga yang harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan

keluar secara tepat dan benar.

5. Dengan berkarir, wanita yang menghadapi kemelut dalam rumah

tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan

jiwanya akan menjadi sehat, sebagaimana disebutkan Prof.Dr.Zakiah

Darajat dalam bukunya “Islam dan Peran Wanita”, sebagai berikut;

“Untuk kepentingan kesehatan jiwanya, wanita itu harus gesit bekerja,

jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun,

berhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang dalam kenyataan

tidak dialami atau tidak dirasakannya. Apabila orang terbiasa berkhayal,

maka berkhayal itu akan lebih mengasyikannya daripada bekerja dan

berpikir secara objektif. Orang-orang yang suka menghabiskan waktunya

untuk berkhayal itu akan mudah diserang oleh gangguan dan

penyakit”.43

Sebaliknya, dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya wanita karir

antara lain;

1. Terhadap anak-anak. Wanita yang hanya mengutamakan karirnya akan

berpengaruh pada pembinan dan pendidikan anak-anak maka tidak aneh

kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, seperti perkelahian

antar remaja/antar sekolah, penyalahgunaan obat-obat terlarang,

minuman keras, pencurian, pemerkosaan dsb.

2. Terhadap suami. Dibalik kebanggaan suami yang mempunyai istri

wanita karir yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan

masyarakat tidak mustahil menemui persoalan-persoalan dengan

istrinya. Istri yang bekerja diluar rumah setelah pulang dari kerjanya

tentu ia merasa capek, dengan demikian kemungkinan ia tidak dapat

_____________ 43 Ibid., 96-97

Page 13: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 86

melayani suaminya dengan baik, sehingga suami merasa kurang hak-

haknya sebagai suami.

3. Terhadap rumah tangga. Kadang-kadang rumah tangga berantakan

disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai wanita karir yang

waktunya banyak tersita oleh pekerjaannya di luar rumah. Sehingga ia

tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga.

Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran bahkan perceraian kalau tidak

ada pengertian dari suami.

4. Terhadap kaum laki-laki. Laki-laki banyak yang menganggur akibat

adanya wanita karir, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk

bekerja, karena jatahnya telah direnggut atau dirampas oleh kaum

wanita.

5. Terhadap masyarakat. Wanita karir yang kurang memperdulikan segi-

segi normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan

pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari akan menimbulkan dampak

negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat.

6. Wanita lajang yang mementingkan karirnya kadang-kadang bisa

menimbulkan budaya “nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya

sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan

kumpul kebo”.44

Pertanyaan selanjutnya muncul, bagaimana pandangan islam terhadap

wanita karir? Sedangkan wanita mempunyai tugas utama sebagai ibu rumah

tangga.

Dalam kacamata Islam dengan segala konsepnya yang universal selalu

memberikan motivasi-motivasi terhadap laki-laki dan perempuan untuk

mengaktualisasikan diri secara aktif, antara lain disebutkan dalam al-qur’an surah

al-Nahl; 97

اعملمن أجره منجزي ن ه مولطي بةحياةف لن حيي نه م ؤمن وه وأ ن ثىأوذكر منصالحسن (77)ي عمل ونكان واماب

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan

dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya

kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka

dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Apabila dalam al-qur’an pada umumnya kita dapati Khitab ditujukan kepada

kaum pria, maka pada hakikatnya sesungguhnya ia mencakup juga kaum wanita.45

Menurut Prof. Huzaimah, ayat diatas dengan gamblang memberikan

keleluasaan kepada laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan.

Bukan hanya laki-laki yang diberi keleluasaan untuk berkarir. Yang membedakan

hanyalah jenis pekerjaan yang disesuai dengan kodratnya. Tidak ada perbedaan

antara laki-laki dan wanita dalam berkarir. Yang membedakan hanyalah jenis

pekerjaan yang disesuaikan dengan kodrat masing-masing. Allah tidak

_____________ 44 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 98-99 45 Mustafa Abdul Wahid, Wanita Dalam Pandangan Al-Qur’an, Alih Bahasa oleh: Ali

Hasyimi dalam Buku Apa Sebab Al-Qur’an tidak bertentangan dengan Akal, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1989), 109

Page 14: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 87

membedakan ganjaran dan imbalan amal perbuatannya, melainkan sesuai dengan

amal dan karirnya.46 Menurut ajaran Islam, apapun peranannya yang dipegang oleh wanita,

utamanya sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dilupakan, agar kemungkinan-

kemungkinan timbulnya ekses negatif dapat terhindar. Jadi perhatian serius dari

wanita untuk membina keluarganya sangat diperlukan, karena tugas tersebut

merupakan terpenting dari usaha pembinaan masyarakat secara luas. Tegak dan

runtuhnya masyarakat suatu negara sangat erat kaitannya dengan keadaan satuan-

satuan keluarga yang secara totalitas membentuk masyarakat suatu negara.47

Islam membolehkan wanita bekerja di luar rumah selagi wanita bisa

menempatkan dirinya sesuai dengan kodrat kewanitaannya.48

Ibnu Qudamah dalam ensiklopedi fiqhnya yang terkenal, al-Mughni,

mengatakan;

“Jika seorang suami, karena kemiskinannya, tidak dapat memberikan nafkah

kepada istrinya, istri boleh memilih di antara dua hal; bersabar menerima

keadaan itu atau mengajukan fasakh (pembatalan perkawinan). Inilah

pendapat Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ubaid bin al-

Musayyab, al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Hammad, Malik,

Yahya al-Qathtan, Abdurahman bin Mahdi, al-Syafi’I, Ishaq, Abu Ubaid,

dan Abu Tsaur. Berbeda dengan mereka pendapat Atha’, al-Zuhri, ibn

Syubrumah, Abu Hanifah dan dua orang murid utamanya; Abu Yusuf dan

Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Mereka mengatakan bahwa istri boleh

mengajukan fasakh. Tetapi suami harus menyatakan dengan terus terang atas

ketidakmampuannya dan membiarkan istrinya untuk bekerja. Karena hal itu

adalah hak induvidual islam”.49

Persoalan berikutnya adalah bagaimana apabila ternyata yang mampu

memberikan nafkah adalah istri karena dia kaya, sedangkan suaminya miskin.

Hemat penulis, dalam kacamata Fiqh dalam hal ini berpendapat bahwa istri boleh

menafkahi suaminya, dengan catatan bahwa biaya yang telah dikeluarkan tetap

dianggap sebagai hutang suami. Dia wajib membayarnya apabila sudah mampu.

Apabila istri dengan rela memberikannya, tanpa dianggap hutang maka hal itu

lebih baik, dan dia akan mendapatkan pahala ganda, pahala karena hubungan per-

sahabatan dan pahala karena dia telah bersedekah.

Kepemimpinan Wanita dalam Islam

Yang menjadi titik awal perdebatan kepemimpinan perempuan di ranah

publik. Secara epistimologis-teologis, kepemimpinan perempuan diperselisihkan

kalangan mufassir: Pertama, mereka menggunakan QS. al-Nisâ`/4:34 sebagai

landasan hukum keharamannya; Kedua, mereka menjadikan QS. al-Taubah/9: 71

sebagai landasan kebolehannya dengan kontekstualisasi penafsiran; Ketiga,

_____________ 46 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 100 47 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 100 48 Ibid. 49 Lengkapnya baca; Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Muqadasy Abu Muhammad,

Al-Mughni Fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibani, dalam Kitab al-Nafaqah masalah

faidha mana’aha Walam Tajid Ma Ta’khudhuhu. (Beirut: Dar al-Fikr, 1405), vol. 9. 448. Compact

Disk (CD) Maktabah al-Syamilah.

Page 15: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 88

mereka menjadikan hadis Rasul sebagai larangan kepemimpinan perempuan

khusus menjadi kepala negara.

- QS.An-Nisa’/4; 34

االن ساءعلىق وام ونالر جال اب عض علىب عضه مالل فضلب ات أموالممنأن فق واوب فالصالاللغيبحافظات قانتات والل حفظب ت واهج ر وه نفعظ وه نن ش وزه نتاف ونالل عف المضاج

غ وافلأطعنك مفإنواضرب وه ن (34)كبرياعلياكاناللإنسبيلعليهنت ب Al-Tabarî dalam tafsirnya menjelaskan ayat al-rijâl qawwûmûna 'alâ al-

nisâ bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi

kekuatan fisik pendidikan, dan kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban

yang ditentukan oleh Allah. Hal ini pula yang menjadi sebab keutamaan laki-laki

atas perempuan, seperti tercermin dalam kalimat wa bi mâ anfaqû min amwâlihim

yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah, dan

kifâyah.50

Keutamaan laki-laki ditinjau dari segi kekuatan akalnya serta kekuatan

fisiknya, sehingga kenabianpun menjadi hak bagi kaum laki-laki. Dengan

kekuatan akal dan fisiknya inilah, kepemimpinan dalam bentuk khalifah (al-

imâmah al-kubrâ) dan al-imâmah al-sugrâ, seperti imam salat, kewajiban jihad,

azan, iktikaf, saksi, hudûd, qisâs, perwalian dalam nikah, talak, rujuk, dan batasan

jumlah istri, semuanya disandarkan kepada laki-laki.51

Dengan metode tahlîlî, al-Tabarî lalu menghubungkan QS. al-Nisâ`/4: 34

dengan ayat selanjutnya sebagai konsekuensi dari kepemiminan laki-laki atas

perempuan bahwa perempuan-perempuan sâleh (sâlihât) adalah mereka yang taat

(qânitât) melaksanakan kewajiban pada suami, dan menjaga kehormatan dirinya,

serta menjaga rumah tangga dan harta benda milik suaminya, tatkala para suami

tidak ada di rumah termasuk menjaga rahasia suami52.

Pendapat lain mengatakan kepemimpinan perempuan dibatasi untuk al-

wilâyah al-kubrâ seperti kepala negara. Sementara kepemimpinan pada aspek lain

perempuan dapat tampil sebagai pemimpin. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Nabi bahwa negara hancur kalau pemimpinnya adalah perempuan sebagai reaksi

atas berita suksesi kerajaan Persia yang digantikan anak perempuannya setelah

bapaknya meninggal dunia. Larangan tersebut dikarenakan pemimpin negara

memiliki tanggung jawab besar dan sulit bagi perempuan untuk memikul

tanggung jawab tersebut meskipun beberapa perempuan mampu melakukannya

tapi sangat jarang. Di samping itu, dalam dunia Islam pemimpin tidak hanya

sebagai pemimpin negara, tapi sebagai pemimpin dalam salat dan khatib

sekaligus. Kedua hal ini dalam fikh klasik tidak dibolehkan.53 Pandangan ini

menitikberatkan pada fungsi kepemimpinan. Menurutnya fungsi kepemimpinan

tidak hanya terbatas sebagai simbol akan tetapi, ia sebagai pemegang kekuasaan

_____________ 50Abû Ja'far Muhammad bin Jarîr bin Yazîd al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jilid IV, (Kairo:

Bûlâq, 1323 H), 40. 51Al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Jilid IV, 41 52Ibid. 53Musthafâ al-Sibâ'î, Al-Mar`ah baina al-Fiqh wa al-Qânûn, Cet. III, (Kairo: Dâr al-

Salâm, 2003), 28-30

Page 16: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 89

tertinggi dan pelopor para pemikir dan bertugas menyampaikan pesan perang atau

perdamaian. Fungsi-fungsi ini tidak layak dipegang oleh perempuan.

Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum tentang boleh atau

tidak kaum perempuan untuk menjadi hakim dan top leader (perdana Menteri atau

Kepala Negara). Jumhur Ulama berpendapat, bahwa tidak boleh perempuan

menjadi hakim atau top leader, berdasarkan QS.;An-Nisa;34.54

- QS. Al-Taubah; 71

ن ون نات والم ؤم لمعر وفيم ر ونب عض أولياء ب عض ه موالم ؤم هونب الصلةوي قيم ونالم نكرعنوي ن (71)حكيم عزيز اللإنالل سي رح ه م أ ولئكورس وله اللوي طيع ونالزكاةوي ؤت ون

Prof. Huzaimah menukil pandangan al-Maraghi, mengatakan dalam ayat

tersebut mempergunakan kata ”aulia” (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan

kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara

bersamaan. Berdasarkan ayat in, perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yang

penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin, karena

menurut ”tafsir al-Maraghi dan Tafir al-Manar”, bahwa kata ”aulia” mencakup

”wali” dalam arti penolong, solidaritas, dan kasih sayang.55

Menurut Prof. Quraish Shihab, tidak ditemukan dasar yang kuat bagi

larangan kepemimpinan perempuan. Justru sebaliknya ditemukan sekian banyak

dalil-dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hak-hak

perempuan dalam bidang politik. Salah satu ayat yang dapat dikemukakan dalam

kaitan ini adalah QS. al-Taubah/9: 71:

ن ون نات والم ؤم (72-7:71/التوبة...)ب عض أوليآء ب عض ه موالم ؤمArtinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka

(adalah) menjadi penolong sebagian yang lain... (QS. al-Taubah/9:71-72)

Pengertian kata auliyâ di sini, mencakup kerja sama, bantuan dan

penguasaan. Sedang pengertian menyuruh mengerjakan ma’ruf mencakup segala

segi kebaikan/perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat/kritik kepada

penguasa. Dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu

mengikuti perkembangan masyarakatnya, agar masing-masing mampu melihat

dan memberi saran/nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk

kehidupan politik.

Prof. Quraish Shihab membolehkan kepemimpinan perempuan ber-

dasarkan ayat tersebut di atas, juga berdasarkan beberapa riwayat yang me-

nguraikan permintaan perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bai’at (janji

setia kepada Nabi dan ajaran Islam), permintaan ini terlaksana sebagaimana dalam

QS. al-Mumtahanah/60:12. Di samping itu, kenyataan sejarah juga

mengungkapkan sekian banyak perempuan terlibat dalam soal-soal politik praktis.

Quraish Shihab memberikan contoh Ummu Hani’ ra, dibenarkan sikapnya oleh

Nabi ketika memberi jaminan keamanan kepada dua orang musyrik (jaminan

keamanan sebagai salah satu aspek politik), bahkan Aisyah ra, istri Nabi

meninggalkan rumah di Madinah menuju Basrah di Irak untuk memimpin

_____________ 54 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, 74 55 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, 73

Page 17: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 90

pasukan melawan 'Alî bin Abî Tâlib yang dilatarbelakangi dengan susksesi

kepemimpinan setelah terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan.

Dua alasan yang dikemukakan dalam Tafsir al-Mishbâh yang memberikan

citra pembedaan laki-laki dan perempuan: secara fisik dan psikologis, meski kata

rijâl dimaknainya bukan dalam pengertian ‘suami’, jelas masih berkutat pada soal

kepemimpinan dalam konteks domestik, bukan publik. Uniknya, dalam Wawasan

al-Qurân, karya tafsir yang ditulis lebih dulu, Quraish menegaskan bahwa tidak

ada halangan bagi perempuan untuk berkiprah dalam ruang politik. Tidak ada

ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk laki-laki. Dengan

mengutip QS. Al-Taubah/9: 71 dia memperkuat pendapatnya. Bahkan hadis yang

menyatakan tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada

perempuan56 diklaimnya sebagai hadis khusus yang diarahkan pada masyarakat

Persia.57

Di sini ada dua hal yang rancu. Pertama, dalam struktur rumah tangga, laki-

laki (suami) menjadi pemimpin, karena kelebihan-kelebihannya (fisik dan

psikologi). Meskipun, dalam suatu kasus ada perempuan (istri) yang mempunyai

kelebihan dibanding suaminya, ini menurutnya tidak bisa dijadikan kaidah umum,

karena bersifat kasuistik. Kedua, persepsi bahwa tak ada halangan—dengan

kemampuan—yang dimilikinya—bagi perempuan untuk berperan di ruang publik.

Pertanyaan yang muncul adalah, bila dalam ruang publik saja tidak ada halangan

bagi perempuan untuk berkiprah, mengapa dalam rumah tangga tidak?

Prof. Quraish Shihab berusaha mendamaikan dua perbedaan pendapat

tentang kepemimpinan perempuan. Menurutnya, banyak ulama dan pemikir masa

lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala negara, tetapi hal

ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi

perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan. Perubahan fatwa

dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena

itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau

pemimpin negara.58

Prof. Huzaimah menegaskan dalam Surah al-Taubah ayat 71 tersebut dapat

disimpulkan, bahwa al-qur’an tidak melarang perempuan memasuki berbagai

profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, dokter,

pengusaha, menteri, hakim, kepala negara dan lain sebagainya, asal dalam

tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah

ditetapkan oleh al-quran dan al-sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan dan

tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin dan persetujuan dari suaminya, bila

ia seorang yang bersuami, supaya tidak mendatangkan yang negatif terhadap

dirinya.

Hanya saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan

hukum boleh atau tidak kaum perempuan untuk menjadi hakim atau top leader

(perdana Menteri atau Kepala Negara). Jumhur Ulama berpendapat, bahwa tidak

boleh perempuan menjadi hakim, berdasarkan Q.S. al-Nisa’:34.59

_____________ 56Sahîh Bukhârî, Jilid XIII, h. 337 (no. 4073) Fath al-Bârî, Jilid XII, h. 281, XX (no.

4113), 107 (no. 6570), Tuhfat al-Ahwadz, Jilid VI, 48 (no. 2188). 57Quraish Shihab, Wawasan al-Qurân,(Mizan: Bandung, 1992), 314 58Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 350 59 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 73

Page 18: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 91

- Hadis tentang kepemimpinan Perempuan

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Turmuzi, al-Nasa’i dan

Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya dari Abi

Bakrah, dari al-Hasan, dari ’Auf, dari Usman bin al-Haisam, Teks hadisnya

adalah;

إمرأةول وأمرهمالقوميفلحلن

Artinya: Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin

mereka seorang perempuan

Dr. Kamal Jaudah, sebagaimana di nukil oleh Prof.Huzaimah mengatakan

bahwa hadis Abi Bakrah di atas melarang perempuan sendirian menentukan

urusan bangsanya, sesuai dengan asbab al-Wurud hadis ini, yaitu telah diangkat

anak perempuan Raja Kisrah untuk menjadi ratu atau pemimpin Persia. Sudah

diketahui, bahwa sebagian besar raja-raja pada masa itu, kekuasaannya hanya di

tangan sendiri dan diktator, hanya ia sendiri yang menetapkan urusan rakyat dan

negerinya, ketetapannya tidak boleh digugat.60

Kalau hadist Abi Bakrah mengatakan bahwa tidak akan bahagia suatu

kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka, maka al-quran

mengatakan justru sebaliknya. Al-qur’an memaparkan kisah seorang ratu balqis,

hal ini berdasarkan Q.S. Saba; 15, an-Naml; 23-24, 27-28, 29,30,31, dan 32, 33,

34-35, 36-37, 38-40, 42-44.61

Dari uraian kisah Ratu Balqis yang dilukiskan al-qur’an dalam surah al-

Saba’ dan al-Naml, bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu

negara (Presiden atau Perdana Menteri), sebagaimana halnya kaum laki-laki, bila

mereka memiliki kriteria persyaratan sebagai pemimpin.

Pengangkatan tema Ratu Balqis di dalam al-Qur’an mengandung makna

implisit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki.

Oleh sebab itu Muhammad Jarir al-Thabary dan Ibn Hazm berpendapat, bahwa

hadist Abi Bakrah tersebut melarang perempuan menjadi top leader seperti

Kepala Negara Islam atau Khalifah. Untuk jabatan lainnya boleh, seperti jumhur

Ulama juga berpendapat demikian. Namun, kalau al-Thabary dan Ibn Hazm masih

membolehkan wanita menjadi Perdana Menteri atay hakim, sedangkan Jumhur

Ulama tidak boleh berdasarkan Abi Bakrah.62

Kesimpulan yang ditawarkan oleh Prof. Huzaimah ialah bahwa perempuan

diperbolehkan menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan (Perdana

Menteri). Selama dalam suatu negara, di mana sistem pemerintahan berdasarkan

musyawarah. Seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian,

tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidang masing-masing

(menteri dan staf ahlinya). Karena itu tidah ada halangan bagi seorang perempuan

yang diangkat untuk menduduki jabatan itu, mampu dan kapabel untuk

menjalankan tugas-tugasnya.63

_____________ 60 Ibid. 61 Huzaimah T.Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer…, 73 62 Ibid. 63 Ibid.

Page 19: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 92

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa : pertama, para wanita

Mukmin tidak perlu menggugat bila Islam menyerahkan kepemimpinan rumah

tangga di tangan pria, karena Allah Swt. telah menjamin hak-hak wanita dengan

sebaik-baiknya, selama rumah tangga tersebut diajalankan sesuai dengan

ketentuan Allah.

Kedua, Adanya hak dan kewajiban dalam keluarga pada dasarnya bertujuan

untuk menjaga keharmonisan hubungan antar anggota keluarga. Masing-masing

anggota keluarga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan demi untuk

menghormati dan memberikan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) kepada

anggota keluarga yang lain. Adanya hak dan kewajiban ini juga merupakan sarana

interaksi dan relasi antar anggota keluarga supaya tercipta komunikasi dan

pergaulan yang baik (Mu’asyarah bil al-Ma’ruf) sehingga tercipta rasa kasih

sayang dalam keluarga.

Ketiga, wanita karier adalah wanita-wanita yang menekuni profesi atau

pekerjaannya dan melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan hasil dan

prestasinya. Dalam Islam wanita karier dibolehkan selama wanita bisa

menempatkan dirinya sesuai dengan kodrat kewanitaannya.

Keempat, larangan perempuan menjadi pemimpin, hemat penulis tidak

sejalan dengan misi pokok kehadiran Islam untuk menjunjung tinggi derajat

wanita, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip persamaan yang ditegakkan Islam,

dan riil fakta dilapangan dimana ternyata secara individual banyak perempuan

yang mempunyai kemampuan di atas laki-laki. Bukankah dalam sejarah

perjuangan bangsa Indonesia tercatat sebagai pahlawan-pahlawan wanita, seperti

Cut Nyak Dhien (Aceh), Ibu Wahid Hasyim (NU), Ibu A’Isyah Dahlan

(Muhammadiyah), Kartini dan lain-lain. Insya Allah kita dapat meneruskan

perjuangan para pendahulu. Disinilah ditantang untuk berani memulainya?

Page 20: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Mu‘ashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 93

DAFTAR PUSTAKA

A. Hassan, Tafsir al-Fuqan, Bangil: Persatuan

Abdul Wahid, Mustafa, Wanita Dalam Pandangan Al-Qur’an, Alih Bahasa oleh:

Ali Hasyimi dalam Buku Apa Sebab Al-Qur’an tidak bertentangan dengan

Akal, Jakarta: Bulan Bintang, 1989

al-Alûsy, Mahmûd, Shihâbuddîn, Rûh al-Ma‘ânî Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm wa

Sab’a al-Matsâni, Beirût: Dâr al-Fikr, vol. I

Ali Shâbuni, Muhammad, Rawa’i al-Bayân Tafsîr Ayat al-Ahkâm Min al-Al-

Qur’ân Damaskus: Maktabah al-Ghazâli, t.th, vol. 1

al-Qurthûbi,Abû Abdillah, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr ibn Farah, al-

Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr asy-Sya’b, 1372 H. vol.V

al-Râzi, Fakhr al-Dîn, al-Tafsîr al-Kabîr, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th,

al-Sibâ'î, Musthafâ, Al-Mar`ah baina al-Fiqh wa al-Qânûn, Cet. III, Kairo: Dâr

al-Salâm, 2003

al-Tabarî, Abû Ja'far, Muhammad bin Jarîr bin Yazîd, Tafsîr al-Tabarî, Jilid IV,

Kairo: Bûlâq, 1323 H

Al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, CD.Maktabah al-Syamilah

al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuh, Beirût: Dâr al-Fikr, 1989, vol.

V.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, Semarang: Putra Rizki,

1995, vol. I

ath-Thabâri, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlîd Abû Ja’fâr, Jâmi’ al-

Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1405 H, vol. V

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas,1982, vol. V

Hanshary, Hafiz, Ihdad Wanita Karir, dalam Huzaimah T.Yanggo (ed.),

Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002

Humadi, As’ad Aysar al-Tafasir, CD. Maktabah al-Syamilah

Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Beirût: Dâr al-Fikr, 1401,

vol. I,

Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibani, dalam

Kitab al-Nafaqah masalah faidha mana’aha Walam Tajid Ma Ta’khudhuhu.

Beirut: Dar al-Fikr, 1405, vol. 9.

Jalâluddîn as-Suyûthi, Abdur Rahmân ibn al-Kamâl, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr

al-Ma’tsûr, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th, vol. III

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,

Jakarta, 1989

Page 21: EMANSIPASI WANITA MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITSal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/6Fajri-layy.pdf · 76 Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an

Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 94

Sahîh Bukhârî, Jilid XIII, (no. 4073) Fath al-Bârî, Jilid XII, XX (no. 4113), h.

107 (no. 6570), Tuhfat al-Ahwadz, Jilid VI, (no. 2188).

Shâbuni, Ali, al-Shafwah al-Tafâsir, Beirût: Dâr al-Fikr, t.th, vol. II

Shihab, Quraish, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005

-------------------, Wawasan al-Qurân,Mizan: Bandung, 1992

T.Yanggo, Huzaimah, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: al-Mawardi

Prima, 2001

-------------------, Huzaimah, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer,

Bandung: Angkasa, 2005