127
Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________ 1 EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII Muhammad Saleh Madjid Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Abstrak: Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima pada abad ke-XVII bermula dari upaya perluasan wilayah kekuasaan dalam rangkaian kegiatan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara. Dalam perkembangannya, upaya itu disertai juga dengan penyebaran syiar Islam. Ekspansi tersebut bertepatan pula dengan terjadinya konflik internal di Kerajaan Bima. Pada abad ini pula, upaya progresif VOC semakin meluas dan meliputi juga daerah Bima. Hal itu berimplikasi terhadap konstelasi politik maritim di Kerajaan Bima dan kawasan timur Nusantara pada umumnya. Kata Kunci: Ekspansi Politik dan Islamisasi PENDAHULUAN Sejarah ekspansi kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima yang diuraikan dalam tulisan ini mencoba mengungkapkan pelbagai hal yang terjadi pada abad ke-17, kaitannya dengan ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima. Dalam proses ini termasuk pula rangkaian pengislaman (Islamisasi). Oleh sebab itu, kedua aspek tersebut (ekspansi politik dan islamisasi) dapat dijumpai ketika hendak mengkaji sejarah Bima. Kendatipun demikian, secara khusus fokus tulisan ini pada aspek ekspansi politik, namun kehadiran islamisasi sebagai bagian integral tetap mendapat perhatian pada tahap tertentu di mana keduanya memiliki korelasi dalam ruang sejarah Bima. Sejarah Gowa-Tallo pada abad ke-17, sebagaimana dikemukakan Anthony Reid (1999), telah mencapai kemajuan yang sangat gemilang dalam sejarah Indonesia, khususnya jaringan perdagangan maritim. Aspek kemaritiman dalam konteks ini sangat penting, tidak hanya dalam lingkup perkembangan sejarah Gowa-Tallo, tetapi juga pengaruhnya terhadap daerah lain, antara lain Bima, berkaitan dengan perkembangan sosial dan politik pada abad ini. Masuknya Islam di kerajaan Gowa pada abad ke-17 mempengaruhi pula jalannya ekspansi politiknya ke daerah lain. Di bawah kuasa politik Sultan Alauddin (raja Gowa yang pertama memeluk Islam) upaya ekspansi politik berjalan seirama dengan pengislaman, sebagaimana ditegaskan Leodard Andaya (2004), terdapat sebuah keyakinan bahwa menyebarkan Islam merupakan suatu kewajiban. Menurutnya, penaklukan wilayah (daerah lain) dilakukan untuk mewujudkan komitmen terhadap keyakinan itu. Dalam kerangka ini, kerajaan Bima termasuk daerah yang terintegrasi dalam wilayah ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo.

EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN ...digilib.unm.ac.id/files/disk1/6/universitas negeri makassar-digilib... · Masuknya Islam di kerajaan Gowa pada abad ke-17

  • Upload
    doananh

  • View
    302

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

1

EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII

Muhammad Saleh Madjid

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima pada abad ke-XVII bermula dari upaya perluasan wilayah kekuasaan dalam rangkaian kegiatan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara. Dalam perkembangannya, upaya itu disertai juga dengan penyebaran syiar Islam. Ekspansi tersebut bertepatan pula dengan terjadinya konflik internal di Kerajaan Bima. Pada abad ini pula, upaya progresif VOC semakin meluas dan meliputi juga daerah Bima. Hal itu berimplikasi terhadap konstelasi politik maritim di Kerajaan Bima dan kawasan timur Nusantara pada umumnya. Kata Kunci: Ekspansi Politik dan Islamisasi

PENDAHULUAN

Sejarah ekspansi kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima yang diuraikan dalam tulisan ini mencoba mengungkapkan pelbagai hal yang terjadi pada abad ke-17, kaitannya dengan ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima. Dalam proses ini termasuk pula rangkaian pengislaman (Islamisasi). Oleh sebab itu, kedua aspek tersebut (ekspansi politik dan islamisasi) dapat dijumpai ketika hendak mengkaji sejarah Bima. Kendatipun demikian, secara khusus fokus tulisan ini pada aspek ekspansi politik, namun kehadiran islamisasi sebagai bagian integral tetap mendapat perhatian pada tahap tertentu di mana keduanya memiliki korelasi dalam ruang sejarah Bima.

Sejarah Gowa-Tallo pada abad ke-17, sebagaimana dikemukakan Anthony Reid (1999), telah mencapai kemajuan yang sangat gemilang dalam sejarah Indonesia, khususnya jaringan perdagangan maritim. Aspek kemaritiman dalam konteks ini sangat penting, tidak hanya dalam lingkup perkembangan sejarah Gowa-Tallo, tetapi juga pengaruhnya terhadap daerah lain, antara lain Bima, berkaitan dengan perkembangan sosial dan politik pada abad ini.

Masuknya Islam di kerajaan Gowa pada abad ke-17 mempengaruhi pula jalannya ekspansi politiknya ke daerah lain. Di bawah kuasa politik Sultan Alauddin (raja Gowa yang pertama memeluk Islam) upaya ekspansi politik berjalan seirama dengan pengislaman, sebagaimana ditegaskan Leodard Andaya (2004), terdapat sebuah keyakinan bahwa menyebarkan Islam merupakan suatu kewajiban. Menurutnya, penaklukan wilayah (daerah lain) dilakukan untuk mewujudkan komitmen terhadap keyakinan itu. Dalam kerangka ini, kerajaan Bima termasuk daerah yang terintegrasi dalam wilayah ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo.

2

PEMBAHASAN 1. Keadaan Politik Bima Masa Pra-Islam.

Pada akhir abad XVI, setelah Raja Ma Wa’a Ndapa mangkat, terjadi konflik berkerpanjangan di kalangan keluarga istana. Konflik ini berlanjut hingga awal abad XVII. Ketika masa pemerintahan Raja Ma Wa’a Ndapa, Kerajaan Bima berhasil mencapai puncak kejayaan serta mampu menjadikannya sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi oleh para sudagar, baik dari dalam maupun dari luar Bima. Kejayaan Kerajaan Bima berlanjut sampai pada masa pemerintahan Raja Ma Ntau Asi Sawo. Pada masa ini hubungan dengan daerah-daerah luar diperluas. Pada masa ini juga diadakan hubungan kerja sama Kerajaan Gowa-Tallo serta Kerajaan-kerajaan lainnya di bagian barat Nusantara.

Setelah wafatnya Raja Ma Wa’a Ndapa, terjadi konflik politik dalam Kerajaan Bima. Raja Salisi (Ma Ntau Asi Peka) bersama saudaranya, Rato Bumi Jara Sanggar (putra dari Ruma Ma Wa’a Ndapa dari selirnya), berambisi untuk menjadi raja. Dalam konteks itu, Salisi melakukan teror terhadap kedua putra mahkota dari Raja Ruma Ta Ma Ntau Asi Sawo. Berhubung mereka belum memasuki usia dewasa, maka Tureli Nggampo Manuru Salisi mengangkat dirinya menjadi Raja Bima.

Meskipun langkahnya jelas melanggar ketentuan adat, Raja Salisi tidak menghiraukannya. Bahkan, secara diam-diam Salisi mengatur siasat untuk melenyapkan keponakannya (putra mahkota). Ia memerintahkan kepada Bumi Luma Rasa Na’e untuk menyiapkan acara perburuan di Padang Rumput Mpori Wera. Dalam kegiatan itu, Salisi bersama keponakannya serta diiringi pejabat Hadat dan Hulu Balang akan melakukan perburuan. Ketika kegiatan perburuhan berlangsung, Salisi memerintahkan membakar sekeliling padang rumput Mpori Wera. Kedua putera mahkota beserta pengawalnya tidak sempat untuk menyelamatkan diri dan akhirnya meninggal dunia (Tayeb,1995:107-108).

Salisi juga menyiasati masyarakat dan tokoh Ncuhi yaitu Ncuhi Dara dan Ncuhi Padolo. Di hadapan rakyat, Salisi menyampaikan berita bahwa kedua Ncuhi tersebut mendukungnya untuk menjadi raja menggantikan Raja Ruma Ta Mantau Asi Sawo. Meskipun demikian upaya itu tidak berhasil menarik simpati dan dukungan rakyat. Upaya selanjutnya ialah Salisi mencoba memalingkan perhatiannya untuk bekerjasama dengan Belanda, yang dikukuhkan dalam suatu kontrak politik secara lisan pada tahun 1605 di Ncake (Desa Cenggu). Dalam kontrak itu, pihak Belanda diwakili oleh Stephen Van Hegen (Ismail,2004:56-57).

Upaya sistematis terus dilakukan oleh Salisi. Kali ini, ia memulai upayanya untuk menyingkirkan Jena Teke La Kai dari istana. Ada alasan penting sehingga La Kai menjadi sasaran pengingkirannya. Menurut ketentuan Hadat, setelah meninggalnya Jena Teke Ma Mbora di Mpori Wera, maka yang berhak menggantikannya ialah La Kai. Akan tetapi usahanya gagal karena La Kai meninggalkan istana bersama La Mbila, Bumi Jara Mbojo, dan Manuru Bata atas nasihat dari Rato Waro Bewi. La Kai menyelamatkan diri menuju ke Desa Teke, kemudian ke Desa Kalodu (Loir, 1999:65-66).

_________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

3

Bersama dengan ketiga pengikutnya, La Kai kemudian menuju Pelabuhan Sape, mendatangi pedagang dari Luwu dan menyatakan diri untuk masuk Islam. Pada saat itu di Pelabuhan Sape sudah berdatangan para padagang dari Luwu, Tallo, Bone untuk berdagang beserta dengan saudara dari Daeng Mangali di Bugis Sape (Ismail,2004:51). Dalam perjalanan inilah, La Kai akhirnya memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir, diikuti para pengikutnya yakni: Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin, Manuru Bata menjadi Sirajuddin, dan La Mbila menjadi Jalaluddin (Tayeb,1995:111).

Ketika La Kai bersama pengikutnya masih di Pelabuhan Sape, para pejabat hadat terutama Bumi Jara Sape bersama Bumi Paroko serta kelompok lainnya yang menentang usaha Raja Salisi, berencana hendak menobatkan La Kai sebagai Jena Teke. Rencana tersebut akhirnya dapat dilaksakan, antara lain berkat bantuan militer dari raja Gowa. Sejak saat itu rangkaian usaha yang telah dilakukan Raja Salisi terputus (gagal), dan kerja sama (hubungan diplomatik) antara Bima dengan Gowa pun tercapai yang selanjutnya banyak mewarnai dinamika internal kerajaan Bima.

2. Ekspansi dan Islamisasi

Persoalan Islamisasi di Bima tidak dapat dipahami secara parsial dengan daerah lainnya di Nusantara. Sebab peristiwa itu sudah merupakan fenomena global yang berlangsung pada abad XVII. Hal ini menurut Azra (2002) hendaknya dipahami dalam kerangkal lokal dan global Islamisasi, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh dan koneksi yang terbangun dalam kerangka itu. Pada tataran ini penting dikemukakan konteks dan dinamika politik yang terjadi, dalam hal ini berkaitan dengan upaya ekspansi politik kerajaan kembar, Gowa Tallo, pada abad XVII.

Pada masa pemerintahan Karaeng Matoayya dan Daeng Manrabia, Kerajaan kembar Gowa-Tallo menerapkan kebijakan mare’ liberium dan dicetuskannya semangat Bundu’ Kassallanga (semangat perang Islam). Kebijakan mare liberium erat kaitannya dengan perluasan wilayah niaga dan menciptakan daya tarik bagi para saudagar untuk melakukan kegiatan perdagangan maritim di wilayah kuasa Kerajaan Gowa-Tallo.

Awal abad XVII merupakan momen paling penting dalam perkembangan hubungan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan Kerajaan Bima. Pada saat itu Kerajaan Gowa-Tallo mengambil peran sebagai pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara. Posisi Makassar dalam hal ini tampil sebagai Pelabuhan transito (Poelinggomang, 2004) terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Perubahan tersebut dijelaskan pula oleh Sartono Kartodirjo, bahwa perkembangan Makassar sangat ditentukan oleh dua faktor. Pertama, perdamaian dan keamanan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Gowa-Tallo, sehingga memungkinkan aktivitas perdagangan di Makassar dan sebaliknya, para pedagang Internasional tertarik ke sana membawa banyak kekayaan. Kedua, kedudukannya sebagai pelabuhan transito sangat tergantung pada aliran rempah-rempah dari Maluku, Seram, Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan lainnya yang dibutuhkan sebagai bekal dalam pelayaran (Kartodirjo, 1993:88).

4

Kerajaan Gowa-Tallo dibawah pemerintahan Raja Gowa-Tallo XIV, Karaeng Matoaya, atau lebih dikenal dengan Sultan Alauddin, yang memerintah pada tahun 1593-1639, dan kemudian digantikan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), mencapai zaman keemasan. Kekuasaanya hampir meliputi seluruh kawasan timur Nusantara. Pada masa itu juga, agama Islam telah menjadi agama resmi kerajaan. Dengan demikian hubungan antara ekspansi politik dengan Islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika yang berangsung di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad XVII.

Peranan Makassar sebagai pusat perdagangan dan bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makassar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa. Sejalan dengan itu, abad ke 17 merupakan saat di mana Kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Utara Pulau Jawa mengalami keruntuhan satu persatu. Keadaan itu merupakan kesempatan dan peluang yang besar bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara.

Seiring dengan perkembangan Makassar sebagai pusat perdagangan, maka upaya ekspansi pun semakin berkembang dalam rangka perluasan daerah penghasil bahan pangan dalam aktivitas niaga. Menurut Tayeb (1982:23), setelah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional di kawasan timur Nusantara, Makassar tidak dapat memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat dalam perdagangan. Oleh sebab itu, maka Kerajaan Gowa mulai mengadakan pengangkutan beras dari Jawa yakni dari Tuban, Jepara, dan Gresik. Pembelian beras dari Jawa juga belum mencukupi permintaan dan pula tergantung pada musim dan pelayaran juga. Oleh sebab itu, Makassar mulai mencari daerah beras yang dekat dan mudah dikuasai.

Hal tersebut di atas adalah salah satu bagi Kerajaan Gowa-Tallo memperluas daerah kekuasaannya menuju ke selatan yang akan dijadikan sebagai gudang cadangan beras bagi Makassar. Kegiatan penyiaran Agama Islam juga dilakukan seiring dengan perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo (dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Makassar). Penyiaran Islam tidak hanya dilakukan di wilayah Sulawesi, tetapi juga kegiatannya diarahkan ke daerah yang dikuasainya, termasuk dalam hal ini Kerajaan Bima.

Ketika Kerajaan Bima pada permulan abad XVII menerima pengaruh Islam dari Kerajaan Gowa-Tallo, keadaan politik dalam kerajaan sedang dilanda kemelut berupa perebutan kekuasaan antara Raja Salisi dengan La Kai. Kondisi ini menyebabkan perkembangan politik tidak menentu. Selama berlangsungnya kemelut itu, La Kai bersama para pengikutnya kemudian memeluk agama Islam. Mereka inilah yang kemudian melakukan usaha penyebaran Islam di Bima (Madjid, 2006)

Perebutan kekuasaan yang terjadi dalam Kerajaan Bima terdengar oleh Raja Gowa yang merupakan kerajaan sekutu yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Bima, sejak sebelum keduanya memeluk agama Islam. Dalam konteks hubungan diplomatik, maka kerajaan Gowa-Tallo merasa perlu membantu dalam mengatasi kemelut yang melanda kerajaan sekutunya. Raja Salisi yang dianggap

_________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

5

tidak sejalan dengan sistem pergantian kekuasaan di Kerajaan Bima dan kurang mendapat dukungan dari rakyat, menjadi lawan politik La Kai yang ketika itu telah menjalin hubungan langsung (melalui pengislamannya) dan mendapat dukungan dari Kerajaan Gowa-Tallo. Dengan demikian Kerajaan Gowa-Tallo terlibat lagsung dalam kemelut politik dan pergantian kekuasaan. a. Ekspansi I (1616)

Ekspansi Kerajaan Gowa terhadap Kerajaan Bima terkait dengan perluasan syiar Islam. Dalam BO peristiwa ini disebut ekpedisi yang pertama tahun 1616. Pembesar Kerajaan Gowa mengirimkan utusannya melalui jalur perdagangan untuk menyebarkan agama Islam di Bima. Pasukan yang dikirm merupakan orang-orang Islam yang menyertai Lo’mo Mandalle di dalam menyampaikan agama Islam pada Raja Bima, yang pada saat itu dibawah pemerintahan Raja Salisi Ma Ntau Asi Peka. Atas permintaan putra mahkota, La Kai mengajukan permohonan bantuan militer kepada Raja Gowa untuk menumbangkan Raja Salisi, melalui perantaraan pedagang-pedagang dari luwu, Gowa, Bone, dan Tallo.

Misi pertama ini tidak berhasil oleh karena ketika pasukan Kerajaan Gowa berada di perairan bandar Bima maka segenap rakyat Bima lari masuk ke hutan dan bersembunyi, kemudian pasukan berangkat menuju ke Sape dan mengislamkan La Kai beserta dengan tiga orang pengikutnya serta orang-orang tua di pesisir Sape kemudian mereka kembali ke Gowa.

Di dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo disebutkan, bahwa penyerbuan pasukan Gowa adalah untuk memperkuat kedudukan pengaruh Kerajaan Gowa ke bagian timur Nusantara. Atas dasar itu, kemudian Kerajaan Bima dikuasai pada tahun 1616 oleh Lo’mo Mandalle seorang panglima armada perang Kerajaan Gowa (Mattulada,1982:52). Hal ini adalah dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Gowa yang mulai mendapat pengaruh dan campur tangan dari pihak VOC. Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa di dalam bulan April 1616, Hulubalang Kerajaan Gowa, Lomo Mandalle mengepalai sebuah angkatan perang menyeberang ke Bima dan selanjutnya menaklukkan negeri itu. Dalam penyerbuan ini Lo’mo Mandalle dikawal oleh sembilan kapal perang (Rasyid,1991:43).

b. Ekspansi II (1618)

Berbeda dengan perkembangan agama Hindu yang membutuhkan waktu yang lama dalam proses perkembangannya, perkembangan syiar Islam di Kerajaan Bima berlangsung dengan cepat, intensif, dan menjadi faktor penentu terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Kerajaan Bima. Termasuk sistem/struktur pemerintahan. Kekuatan adat yang kukuh membentengi diri dan pengaruh Hindu yang terlalu jauh, justru lunak dan cocok menerima Islam dengan konsekwensi terjadinya perubahan-perubahan serta penyesuaian secara fundamental sesuai dengan tuntutan atau prinsip Islam.

Dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo, Lontarak Bilang, disebutkan bahwa pada 18 Agustus 1618 M bertepatan dengan 26 Zulkaidah 1037 H, Karaeng Marowangin yang menjabat Tumailalang Kerajaan Gowa berangkat ke Bima.

6

Sebelumnya, Kerajaan Gowa mengadakan konsolidasi kekuatan, sehingga pada tahun 1618 berhasil menduduki Kerajaan Bima. Kemudian pada tahun 1619 Raja Gowa XIV menjadikan kerajaan Bima sebagai bagian dari Kerajaan Gowa, bersama dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Sumbawa seperti Tambora, Dompu, Sanggar (Patunru,1969:24).

Dengan demikian, ekspansi (dalam BO disebut ekspedisi) yang yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan sekaligus menyebarluaskan Islam. Dengan berhasilnya ekpedisi itu, maka kerajaan Bima secara institusi (politik) menjadi salah satu kerajaan bercorak Islam di Kepulauan Nusa Tenggara. Pada tahun 1621, La Kai bersama para pejabat kerajaan Bima memeluk agama Islam (Loir, 1999: xvii).

Integritas kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa-Tallo dalam hal proses Islamisasi merupakan awal bagi kerajaan Bima dalam proses modernisasi di bawah naungan Islam, karena seluruh aspek kehidupan dalam kerajan di transformasikan ke dalam tata laksana kehidupan internal kerajaan Bima. Pada ekspansi yang ke-2 ini Karaeng Marowangin didampingi langsung Karaeng Tu Mamaliyang Ri Timoro dan Sultan Alauddin. Setelah berhasil ditaklukan, kerajaan Bima dijadikan sebagai “budak“ Makassar dengan kewajiban membayar upeti setiap tahun (Toda,1986:102).

Di dalam naskah Makassar hubungan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima dicatat sebagai hubungan antara tuan dan hamba. Hubungan tersebut memperoleh warna dan fase baru, takkala turun perintah raja Gowa-Tallo yaitu Sultan Alauddin (Daeng Manrabia) kepada Sultan Abdul Kahir (La Kai) untuk mengawini ipar raja yaitu puteri dari Daeng Mellu bernama Daeng Sikontu, seorang karaeng dari Kassuarang yang terletak di dekat Sanrobone. Perintah kawin itu disambut oleh Sultan Abdul Kahir dengan jawaban merendah dan rasa hormat kepada Sultan Alauddin dengan mengatakan makkala basung ( saya tidak pantas, takut mendapat kualat sakit bussung) karena berani menikahi ipar sang raja, pernyataan Sultan Abdul Kahir itu kemudian dijawab oleh Sultan Alauddin dengan jawaban Inakke assuroko ( sayalah yang memerintah kamu) (Toda,1986:86).

Dimensi psikologis tersebut menyiratkan ritus promosi penyamaan tingkat raja di atas diri Abdul Kahir, ditinggikan statusnya dari hubungan antara tuan dan hamba menjadi setingkat saudara dengan raja Gowa-Tallo. Hal itu dibuktikan dengan adanya kepercayaan yang diberikan oleh Sultan Alauddin kepada Sultan Abdul Kahir menjadi panglima perang membantu ekspansi kerajaan Gowa dalam melawan VOC di perairan Buton sehingga setelah meninggal Sultan Abdul Kahir di berikan gelar Mambora Di Buton (Loir, 1999: xviii). Serta membendung Kolonialisme dan Imperialisme yang sedang mengarah kepada monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC.

Jiwa merdeka, persaman dan persaudaran yang d miliki oleh kerajaan Gowa-Tallo dijadikan sebagai sendi pengembangan masyarakat dan penyusunan serta pengaturan kehidupan politik, sehingga pada saat penyebaran dan pengembangan agama Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo maka pengaruh kekuasaan Bangsa Portugis mulai melemah dan kemudian pada akhirnya digantikan oleh Belanda (Mattulada,1982:52). Dengan demikian, usaha yang diambil oleh Kerajaan Gowa-Tallo

_________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

7

yaitu penaklukan Kerajaan Bima merupakan usaha untuk menghadapi perang hebat dengan VOC, dengan cara memperkokoh pengaruh dan kekuasaan keluar Sulawesi sekaligus juga untuk mengembangkan dan menyebarluaskan agama Islam (Ilham,2001:42).

Bersamaan dengan usaha Belanda untuk menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, Kerajaan Gowa-Tallo pun berupaya mempertahankan mata rantai kehormatan, kemerdekaan, persamaan, dan persaudaran di atas perairan Nusantara. Gelombang penolakan dan pertikaian antara kerajaan-kerajaan Islam di kawasan timur Nusantara tidak terlepas dari gelombang penolakan yang terjadi pada kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan kunci dan pintu perdagangan di kawasan timur Nusantara (Poelinggomang,2004).

Ketika terjadi konflik antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC, sebagai akibat dari pertentangan itu, maka timbul peperangan di wilayah perdagangan dan pelayaran yang berbeda dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Posisi dan peranan dari Kerajaan Gowa-Tallo dengan bandar niaga Makassar tidak hanya berperan dari aspek ekonomi, tetapi juga meliputi aspek politik, sosial, dan budaya. Dari aspek politik, menunjukkan kemampuan pemerintahan Kerajaan Gowa dengan segala taktiknya serta berwibawa dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayahnya, serta mampu membuat perkembangan dari berbagai sektor kehidupan, pembuatan perahu, dan perdagangan (Abduh,1982:27).

Meskipun Kerajaan Gowa-Tallo secara prinsip bukanlah organisasi ekonomi, namun dengan menguasai seluruh kegiatan ekonomi yang berpusat pada sektor maritim merupakan bagian dari usaha untuk meraih kekuasaan yang lebih penting dari ekonomi yaitu kekuatan politik yang tangguh, jika pengaturan politik telah tercapai yaitu menyangkut kedudukan sebuah kerajaan besar terhadap kerajaan kecil lainnya, maka segala sesuatu hal termasuk seluruh pengaturan ekonomi akan disesuaikan dengan kedudukan politik yang dianut oleh Kerajaan Gowa-Tallo (Andaya,2004:58-59). Hal inilah yang melahirkan pemikiran merkantilisme di Makassar (Poelinggomang, 2004).

Motivasi ekonomi dan kekuasaan dalam aktivitas niaga inilah yang menyebabkan bangsa-bangsa di Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, berkeinginan untuk memperluas daerah kekuasaannya di seberang lautan. Dalam konteks itu, maka penguasaan atas Kerajaan Gowa-Tallo yang menjadi pengendali politik perdagangan maritim di kawasan timur menjadi sasaran utama dan strategis untuk dikuasai, termasuk pula dalam hal ini Kerajaan Bima oleh Kerajaan Gowa-Tallo guna memenuhi permintaan komoditi dalam aktivitas niaga (Abduh,1982:27).

Posisi strategis dan perannya dalam mempertahan eksistensi politik di tengah ancaman kekuatan lain yang hendak menguasai jaringan dan wilayah perdagangan di kawasan timur, menyebabkan Kerajaan Gowa-Tallo menata diri dan juga melakukan bebagai upaya untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Ekspansi politik ke daerah seberang, khsusunya ke Kerajaan Bima merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensinya sebagai kekuatan politik yang banyak mengendalikan aktivitas niaga yang pada saat itu tengah diincar oleh kekuatan asing, yakni VOC yang memaksakan diri untuk memonopoli kegiatan niaga di kawasan timur Nusantara. Rivalitas dalam

8

perebutan wilayah antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC mengakibatkan terjadinya konflik politik berkepanjangan sejak tahun 1607 hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (Mattulada,1982:73).

Mengacu pada penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ekspansi politik Kerajaan Gowa-Tallo yang kedua ini adalah bentuk upaya konsolidasi kekuatan untuk membendung gerak Kolonialisme (VOC) yang tengah melanda kawasan timur Nusantara. Upaya konsolidasi ini mendapat sambutan yang baik dari kerajaan-kerajaan lain yang berada dibawah kekuasaannya. c. Ekspansi III (1625)

Abad ke XVI-XVII, situasi politik Nusantara menjadi panas, sehingga dapat dikatakan bahwa abad tersebut merupakan pertarungan antara kekuatan jiwa merdeka yang dipancarkan oleh ajaran Islam melawan kebangkitan raja-raja mutlak menuju kepada kebinasaan (Mattulada,1982:45). Hal itu tampak dalam hubungan antara VOC dengan Kerajaan Bima yang berada dalam wilayah konsolidasi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo setelah ekspansi (ekpedisi dalam BO) yang ketiga dalam tahun 1625.

Dalam rangka monopoli kekuasan di kawasan timur Nusantara yang penting bagi kegiatan perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana serta produk-produk lainnya di Kepulauan Nusa Tenggara, maka Belanda membutuhkan teman koalisi dari kerajaan pribumi yang terletak pada jalur lalu lintas laut yang bebas dari halangan akan persaingan dengan Portugis dan kontrol dari kerajaan Gowa. Posisi dan kedudukan Kerajaan Bima yang strategis itu makin berarti.

Setelah benteng Panakkukang dikuasai, Belanda semakin tegang dalam menghadapi setiap kemungkinan pukulan balasan dan konsolidasi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih besar. Karena itu, VOC kemudian mengambil tindakan terhadap kerajaan-kerajaan bawahan Kerajaan Gowa-Tallo yakni dengan menjadikannya menjadi sekutu atau langsung dikuasai (Toda,1999:89). Sebagai sebuah kekuatan politik besar di kawasan timur, Kerajaan Gowa-Tallo berupaya mempertahankan eksistensinya. Pada bagian lain, VOC tetap pada pendirianya untuk melakukan monopoli dagang. Akibtanya, terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut dan mewarnai dinamika kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara pada abad XVII.

PENUTUP

Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima dan kerajaan-kerajaan lainnya di Kepulauan Nusa Tenggara terkait dengan konsep perluasan wilayah kekuasaan yang dianut. Pada awalnya Kerajaan Gowa-Tallo menganut prinsip mare liberium dalam rangka upaya mencari nafkah melalui laut, yakni aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim. Usaha itu kemudian mengalami perluasan orientasi seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kerajaan Gowa-Tallo.

Setelah berhasil mengislamkan kerajaan-kerajaan di jazirah selatan pulau Sulawesi, maka selanjutnya upaya penyebaran syiar Islam ditujukan kepada daerah seberang lautan ke arah selatan yakni Kerajaan Bima. Dengan demikian tampak

_________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

9

adanya korelasi antara perluasan ruang usaha (perdagangan) dengan perluasan syiar Islam. Namun, usaha itu berbenturan dengan kepentingan ekonomi VOC yang pada masa itu sangat ekspansif di kawasan timur dalam rangka monopoli perdagangan rempah-rempah, yang menjadi ciri khas perdagangan maritim terutama pada abad XVII. Hal itu menyebabkan kompetisi antara Kerajaan Gowa dengan VOC. Kompetisi dan konflik tersebut berimplikasi pada eksistensi Kerajaan Bima yang mana termasuk salah satu daerah penghasil komoditi perdagangan dan posisinya yang strategis dalam lalu lintas pelayaran Nusantara. Akhir dari kompetisi itu maka tampil sebagai pemenangnya ialah Kerajaan Gowa, dan sejak itu pula Bima mejadi daerah kekuasaanya. DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1982, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan

Kolonialisme Di Sulawesi Selatan, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Jakarta.

Andaya Y. Leonard. 2004, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII, Makassar: Ininnawa.

Azra, Azyumardi. 2002, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan.

Ilham, Muhammad. 2001, Islam dan Perubahan Sosial di Gowa pada abad XVII (Studi Tentang Perkembangan Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial). Thesis program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Makassar.

Ismail, M. Hilir, 2004, Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, Mataram: Lengge.

Kartodirdjo, Sartono. 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia.

Loir, Henri Chambert, St Maryam R. Salahuddin. 1999. BO Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima (Naskah Dan Dokumen Nusantara Seri XVIII). Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme Orient dan Yayasan Obor Indonesia.

Mattulada. 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang: Berita Utama-Bhakti Baru.

Patunru, Daeng Abdul Razak.1989, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Dan Tenggara:Ujung Pandang.

Poelinggomang L. Edward. 2004, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Rasyid, Darwas.1991, Peristiwa Tahun-Tahun Bersejarah Daerah Sulawesi Selatan Dari Abad Ke XIV-XIX, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional: Ujung Pandang.

Tayeb, Abdullah.1995, Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: Harapan Nusa PGRI. Toda, N Dami. 1999, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Ende: Nusa

Indah.

10

PENDIDIKAN SEBAGAI LOKOMOTIF UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING SUMBER DAYA MANUSIA

DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH

IMAM SUYITNO Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Dewasa ini tantangan yang dihadapi bangsa indonesia semakin kompleks dan global, mencakup seluruh aspek kehidupan. Tofler (1999) mensinyalir bahwa manusia kini sedang hidup dalam alam kehidupan komunikasi dan informasi. Transparansi kehidupan global seolah mengisyaratkan bahwa, kini dunia seakan mengecil bagaikan desa dunia yang nyaris tanpa batas, ini bisa terjadi karena derasnya arus informasi yang menyebar ke setiap denyut nadi kehidupan manusia. Di bidang pendidikan tugas berat yang harus dilakukan adalah mempersiapkan anak didik untuk dapat dan siap hidup dalam lingkungan yang serba dinamis dan penuh kompetitif sebagai konsekuensi logis tindakan komunikasi dan informasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Tugas berat yang harus dilakukan pemerintah, sekolah, guru, orang tua, maupun siswa adalah membebaskan diri dari belenggu kemiskinan ilmu pengetahuan, baik yang bersinggungan dengan intelektualitas, emosionalitas, kreativitas, yang kemudian dapat beradaptasi dengan lingkungan baik lokal, regional, nasional, maupun global.

PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia kini menghadapi dua masalah besar sekaligus, Rosyada 2004: 8) yakni persoalan internal dan eksternal. Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan dan resrtukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat, dan akselaratif, secara aksternal berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan tersebut agar mereka kompetitif karena pasar negara-negara utara akan diserbu ramai-ramai oleh tenaga muda energik dan berbakat dari belahan selatan, Amerika Latin, Afrika yang sudah menunjukkan global world-viewnya secara agresif dan efektif, begitu juga dengan tenaga muda dan beberapa negara di timur jauh. Skill dan keterampilan hakekatnya merupakan hak semua anak didik, artinya semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill guna memasuki pasar tenaga kerja, seperti halnya mereka juga berhak memasuki perguruan tinggi. Sehingga, paradigma yang pemisahan program pendidikan menengah sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, sebagai pendidikan akademik, serta pendidikan keterampilan guna memasuki pasar tenaga kerja abad 21 sudah tidak relevan lagi,mengingat semua outcome pendidikan akan memasuki pasar tenaga kerja, dan menuntut skill serta keterampilan yang memadai (Haas, 1994:21). Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau keterampilannya, agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan

___Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

11

memiliki daya saing yang tinggi dipasar tenaga kerja, baik dalam level dan jenis apapun profesinya. Untuk mengejar ketertinggalan sumber daya manusia (SDM) hasil pendidikan agar secara perlahan-lahan mendorong bangkitnya sektor ekonomi yang merosot secara signifikan sejak tahun 1998, maka pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM (Schuts dan solow dalam Dody Heriawan,2003). Sebagai contoh dapat diangkat disini adalah negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapat sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dengan negara Jepang , dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan saat ini adalah karene tingginya kualitas SDM-nya. Usaha ke arah sana telah dilakukan. Salah satu usaha mempersiapkan luaran sekolah agar dapat berkompetisi dan dapat memenuhi tuntutan stake holder, ditingkat nasional telah dilakukan pembakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku bagi semua jenjang pendidikan baik SD, SMP/sederajat dan secara serentak dan berangsur dinyatakan berlaku mulai tahun ajaran 2006/2007. Namun demikian hasil survey yang dilakukan oleh Dikmenum 2006, menunjukkan bahwa mayoritas guru dan sekolah belum siap mengembangkan silabus dan penilaian secara mandiri sesuai dengan tuntutan kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Meskipun sebagai langka antisipasi oleh Dikmenum telah disiapkan sejumlah pedoman dengan tujuan memberi arah secara tekhnis bagi guru dan sekolah dalam mengembangkan silabus dan penilaian. Ada beberapa masalah yang diangkat dalam makalah singkat ini guna mendapatkan respon atas dunia pendidikan kita dewasa ini. Adapun rumusan masalah yang dimaksudkan adalah: 1. Bagaimanakah wujud paradigma pendidikan Indonesia dalam konsep otonomi

daerah? 2. Mengapa sekolah unggulan menjadi suatu keharusan yang diyakini dapat

mempercepat proses peningkatan sumber daya manusia agar bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis yang melanda negeri ini? dan

3. Wujud dukungan akademik (teori) manakah yang dapat ditawarkan untuk mendukung sekolah unggulan sesuai dengan paradigma pendidikan yang kontekstual dewasa ini?

RUJUKAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN

Pada bagian berikut akan dikemukakan beberapa konsep dan indikator pendidikan dalam mengukur mutu pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pijakan akademik dalam menata lembaga pendidikan dewasa ini agar dapat berperan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

12

1. Paradigma Pendidikan Pendidikan di Indonesia dewasa ini telah beranjak memasuki babagan baru dengan diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana kedua UU tersebut sesunguhnya telah mendelegasikan otoritas pendidikan (SD s/d SMA) pada pemerintah daerah yang sekaligus mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, serta pelibatan masyarakat dalam setiap pengembangan program-program kurikulernya. Sementara itu kewenangan pemerintah (pusat) lebih sebagai fasilitatif terhadap berbagai usulan pengembangan yang digagas oleh sekolah. Dengan manajemen ini pengelolaan sekolah ke depan diharapkan dapat menjadi solusi awal dalam mengatasi rendahnya rata-rata kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam konteks pembentukan keunggulan di tingkat lokal dan nasional. Sementara itu pada tingkat global, dunia pendidikan kini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, yakni tingkat persaingan (kompetisi) sumber daya manusia diantara bangsa-bangsa yang ada di dunia. Sebagai konsekuensinya hanya bangsa yang unggullah yang mampu keluar sebagai pemenangnya sekaligus meraih pasar dan peluang kesempatan kerja yang tidak lagi dibatasi oleh teritorial kenegaraan, tetapi kini telah bergerak kian meluas dan telah dimulai dari wilayah Asia Tenggara dan akan terus bergerak menjadi wilayah dunia (Suryadi dan Budimansyah, 2004: 24). Kedua kondisi inilah lantas menjadi konsekuensi yang tidak bisa terelakkan lagi, artinya bagaimana menjadikan keluaran pendidikan kita agar pada tingkat lokal dan nasional memiliki keunggulan yang bisa diandalkan, disisi lain bagaimana menjadikan keluaran pendidikan ini memiliki kompetisi (daya saing) di tingkat global. Paradigma kontekstual inilah yang oleh penulis tawarkan guna dapat memetakan dengan tepat kondisi pendidikan di tanah air yang kini berada pada lintasan pertemuan baik pada tataran institusi yang bersifat makro dengan interaksi antar subyek didik pada tingkatan mikro, dan antara kawasan yang bersifat global dengan kawasan lokal/nasional. Dengan paradigma baru ini tentunya akan berpengaruh terhadap dukungan akademik yang menjadi landasan dalam melakukan perubahan pendidikan, strategi yang digunakan, sampai dengan metode yang dipilihnya, agar ke depan terjadi perubahan yang signifikan di bidang pendidikan. Disadari bahwa perubahan paradigma ini secara praktis perlu waktu, khususnya dalam konteks restrukturisasi sistem yang mengatur batas-batas tugas dan kewenangan antar instansi pengelola pendidikan, kemudian adaptasi sistem tersebut dalam praktek pengelolaan sekolah secara operasional, dan terakhir adalah perlu adanya perubahan kultur yang sudah bertahun-tahun dimana masyarakat kita terlanjur terbiasa dan bahkan menikmati pola kekuasaan yang dibagi-bagi (sharing of power) antara daerah dan sekolah yang bermitra dengan masyarakat, baik sebagai client maupun user. Kepala Sekolah tidak semata bertanya pada kepala dinas di tingka daerah, tapi juga bertanya pada komite sekolah, membahas program dengan mereka, dan mempertanggungjawabkan berbagai pelaksanaan programnya pada stakeholder sekolah tersebut (Rosyada, Dede, 2004: 8).

___Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

13

2. Perubahan Kurikulum Pada tahun ajaran baru 2006/2007 secara nasional dimulailah babag baru penerapan kurikulum baru 2006 bagi semua tingkat satuan pendidikan baik tingkat SD, SMP/Madrasyah Tsanawiyah maupun di SMA/SMK/Madrasyah Aliyah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau juga dikenal KYD (Kurikulum Yang Disempurnakan) merupakan penyempurnaan atas kurikulum 2004 yang diwujudlkan dalam SKKD dan telah disyahkan penggunaannya, diberlakukan secara berangsur-angsur mulai tahun ajaran 2006/2007 pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Hal ini berarti bahwa pada pertengahan tahun 2006 atauawal tahun ajaran 2006/2007 Taman Kanak-Kanak (TK/TKA), Sekolah Dasar (SD) dan M.Ts serta SMA (MA) sebagian besar harus sudah mengikuti perubahan kurikulum dan menggunakannya (Mulyasa E, 2006: 4). Sementara itu bagi sekolah-sekolah yang belum siap, tetap melaksanakan kurikulum yang sedang mereka gunakan. Pada awal pemberlakuan kurikulum 2206, di sekolah-sekolah akan terjadi tiga (3) macam penggunaan kurikulum, ada sekolah yang masih menggunakan kurikulum 1994 revisi 1999, ada sekolah yang menggunakan kurikulum 2004 (atau lebih dikenal dengan KBK 2004), serta ada sekolah yang menerapkan KYD (kurikulum SKKD 2006). Bagi sekolah yang belum siap melakukan perubahan kurikulum pada tahun ajaran 2006/2007 dapat mempersiapkannya sekitar tiga tahun ajaran, sehingga pada tahun ajaran 2009/2010 pemerintah berharap semua sekolah pada berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta telah melaksanakan SKKD khususnya di kelas satu. Pada tahun 2112/2113 semua sekolah pada satuan pendidikan dasar dan menengah dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 untuk SD, dan dari kelas 1 sampai kelas 3 untuk SMP dan SMA telah melaksanakan kurikulum yang disempurnakan (SKKD). Hal tersebut sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 24 tahun 2006 tentang Standar Isi dan PP no. 23 tahun 2006 tentang SKL untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah. Selama pemberlakuan ini, pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), Pusat Kurikulum, dan Direktorat Kurikulum seharusnya melakukan pemantauan secara langsung ke lapangan tentang penerapan kurikulum ini, dan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya. Penyempurnaan kurikulum perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan untuk memperoleh hasil yang memuaskan (continuous quality improvement), terutama berkaitan dengan penerapan serta penjabaran satandar isi dan standar kompetensi. Menteri Pendidikan Nasional menegaskan bahwa standar isi dan standar kompetensi lulusan yang telah disusun oleh BNSP merupakan acuan bagi guru untuk mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan sekolah. Kurikulum yang berlaku tetap berbasis kompetensi (menggunakan pendekatan kompetensi), senagai penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Dengan demikian KYD tetap berbasis kompetensi tetapi disesuaikan dengan perkembangan iptek, serta tuntutan kebutuhan lokal, nasional, dan global.

14

3. Konsep Sekolah Unggulan Sekolah unggulan pada hakekatnya adalah sekolah yang memiliki wawasan keunggulan (excellence), menurut Peters dan Watterman (1982) mengidentifikasi indikator atribut keunggulan yang meliputi: (1) bias ke tindakan, (2) dekat ke konsumen, (3) otonomi dan kewirausahaan, (4) produktivitas melalui orang, (5) tindakan atas nilai tertentu, (6) memelihara “rajutan”, (7) struktur sederhana tetapi padat staf, dan (8) sifat “longgar-kencang” secara simultan.

Dengan demikian sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai sekolah yang berkualitas dalam hal: proses, keluaran (output) dan hasil (outcome) berdasarkan standar yang tinggi yang tentunya ditunjang dengan sumber daya pendidikan yang kuat, dan diselenggarakan dengan manajemen terpadu, baik dalam hal akademik maupun sarana-prasarananya.

Adapun yang menjadi indikator dalam proses pembelajaran pada sekolah unggulan menurut Ahmad Sonhadji (2005) ditandai dengan: (1) penggunaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya; (2) program percepatan pembelajaran ; (3) moving class; (4) fullday scholl; (5) boarding scholl; (6) atmosfer akademik yang tinggi; (7) pendidikan multikultural; (8) sikap demokratik; (9) penekanan pada kreativitas dan kemandirian; (10) pembelajaran dengan multi media; (11) pembelajaran berbasis kompetensi; (12) pembelajaran berbasis produk; (13) penggunaan CTL, QTL, Pakem, dll; (14) pengenalan teknologi sejak dini; dan (15) pendidikan kecakapan hidup.

Dengan konsep sekolah unggulan ini diharapkan dapat menjawab sekaligus meningkatkan mutu keluaran maupun mutu sekolah yang pada gilirannya secara bertahap dapat mengantarkan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang mendera bangsa Indonesia.

4. Kemampuan Berpikir Metakognisi (level of metacognition) Pada akhirnya pendidikan akan berujung pada kompetensi atau kecakapan atau kemampuan yang berhasil dicapai oleh peserta didik sebagai perubahan perilaku dalam proses belajar yang telah berlangsung. Hingga kini teori pengukuran kecakapan masih saja mengacu atau berbasis taksonomi Bloom yang diintrodusir dari Benyamin S. Bloom, yang memetakan kecakapan sebagai hasil proses belajar terdiri atas kecakapan kognitif, afektif dan psikomotorik. Padahal kini kecakapan siswa tidak cukup hanya mengacu pada indikator-indikator yang dikembangkan oleh teori Bloom (Rosyada, Dede, 2004: 136). Penelitian pendidikan terkini menghendaki dikembangkannya berbagai kecakapan seperti: berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Ketiga kemampuan ini oleh Donald P. Kauchak disebut kemampuan metakognisi atau level of metacognition (Kauchak, 1998: 323). Selama ini taksomi Bloom yang menjadi acuan dalam mengukur perubahan perilaku sebagai hasil proses pembelajaran baik untuk level standar kompetensi, kompetensi dasar, maupun indikator pencapaian untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di tingkat satuan pendidikan, dirasakan tidak/kurang memadai di era paradigma pendidikan yang kontekstual. Disamping itu pembagian yang begitu tegas

___Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

15

dalam taksonomi Bloom seolah-olah pada diri anak didik dapat dipisahkan masing-masing ranah baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Padahal untuk dapat mengukur keberhasilan seorang siswa dalam proses pembelajaran tidak cukup hanya dilihat secara parsial semata, melainkan haruslah secara holistik. Kalau perubahan terhadap dukungan akademik (penerapan teori yang digunakan dalam mengukur kecakapan hasil proses pembelajaran) telah dilakukan dengan konsekuen, menurut hemat penulis ada secercah harapan di masa mendatang keluaran pendidikan kita dapat memiliki daya saing di tingkat global guna menjawab globalisasi yang melanda dunia, sedangkan di tingkat lokal (Otoda) dan nasional memiliki keunggulan yang dapat diandalkan. PENUTUP Sebagai konsekuensi perubahan paradigma pendidikan dari yang lama ke paradigma pendidikan yang kontekstual tentunya membawa perubahan dalam hal dukungan akademik (penerapan teori) dalam mengukur kecakapan siswa sebagai perubahan perilaku akibat proses pembelajaran. Salah satu jawaban untuk meningkatkan kualitas keluaran pendidikan (output), kualitas proses, maupun kualitas hasil (outcome) adalah penerapan sekolah unggulan baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, dengan penerapan sekolah unggulan diharapkan ke depan terjadi peningkatan kualitas sekaligus kemampuan bersaing. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani (pengantar),

Jakarta, Permata Media. Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani, Jakarta, Raja Grafindo Pusada. Danim, Sudarwan, 2002, Inovasi pendidikan dalam upaya peningkatan

profesionalisme tenaga kependidikan, Bandung, Pustaka Setia. Direktorat pendidikan menengah. 2001,umum, Ditjen, Dikdsmen, Depdiknas, 2004,

Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Dan Penilaian, Jakarta.

Fattah, Nanang. 2001, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung, Rosda Karya. Hadianti, 2004, Mencari Sosok Desentralisasi Pendidikan, Gagasan, Aplikasi, Dan

Tantangannya, Manado, Media Pustaka. J.A.Denny. 1999. Catatan Politik, Jakarta, Jayabaya University Press. Mulyasa, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan

Implementasi, Bandung, Rosda Karya. Murhadi dan Senduk, A.G.2002, Pembelajaran Kontekstual, Jakarta, Universitas

Negeri Malang. Proyek Peningkatan Tenaga Akademik, Dirjen Dikti Depdiknas. 2002, Kapita Selekta

Pendidikan Pancasila (Untuk Mahasiswa), Jakarta. _________2002, Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan(Untuk Mahasiswa),

Jakarta.

16

Rosyada, Dede. 2004, Reformasi Pendidikan Demokratis, Jakarta, Prenada Media. Soemantri M Nu’man. 2001. Menggagas Pembaruan Pendidikan IPS, Bandung,

Remaja Rosdakarya. Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. 2004. Pendidikan Nasional Menuju

Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta. Ganesindo. Sudjana,D. 2000, Manajemem Program Pendidikan, Bandung, Falah Production. Tilaar,H.A.R.2000, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta . _________,2001. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung, Rosdakarya. _________,2002. Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta. Zahorik, John.A, 1995. Contruktivis Teaching (Fast Back 390). Bloongminton Indiana:

phil-Delta Kappa Educational Foundation.

___Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

17

TANTANGAN PROFESIONALISME GURU EKONOMI DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Herlina Sakawati

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak. Ada tiga tantangan yang dihadapi guru dalam meng-implementasikan KBK, yaitu; tatangan bidang pengelolaan kurikulum, bidang pembelajaran dan bidang penilaian. Dalam menghadapi tantangan itu akan sangat tergantung pada profesionalisme guru. Guru profesional akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas belajar pada diri siswa. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan sangat menentukan minat dan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Melalui model pembelajaran yang tepat diharapkan siswa tidak hanya dapat pengetahuan ekonomi, namun juga memiliki kesan yang mendalam tentang materi pelajaran, sehingga dapat mendorong siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari.

Kata Kunci: Profesionalisme guru, Implementasi KBK

PENDAHULUAN

Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi matapelajaran yang diampuh masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliahanya. Seperti yang diungkap oleh Geist (2002) bahwa Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties.

Permasalahanya adalah bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan baik, jika profesionalismenya masih dipertanyakan. Tulisan singkat ini akan mengulas tentang profesionalisme guru dan tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan KBK.

18

PROFESIONALISME GURU

Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu; ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut:

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai

dengan bidang tugasnya. c. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. d. Mematuhi kode etik profesi. e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas. f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. g. Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara

berkelanjutan. h. Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas

profesisionalnya. i. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”. Pada prinsipnya profesionalisme guru adalah guru yang dapat menjalankan

tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain: Ahli di Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik.

Senang memasuki organisasi Profesi Keguruan. Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini. Fungsi organisasi profesi selain untuk menlindungi kepentingan anggotanya juga sebagai dinamisator dan motivator anggota untuk mencapai karir yang lebih baik (Kartadinata dalam Meter, 1999). Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi: (a) menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psychologis.

Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a)

Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Herlina Sakawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

19

sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru ini seperti ini menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan teknis serta prosedur kerja sebagai ahli serta keiklasa bekerja yang dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.

Melaksanakan Kode Etik Guru, sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu oeganisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik bergungsi untuk mendidamisit setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya deni kemaslakatan orang lain.

Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pihlihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihnya.

Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik.

Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik. Usman (2004) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi; (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: (1) Penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.

20

IMPLEMENTASI KURIKULUM

Di dalam pelaksanaan KBK diversifikasi kurikulum sangat dimungkinkan, artinya kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keragaman kondisi dan kebutuhan baik yang menyangkut kemampuan atau potensi siswa dan lingkungannya. Diversifikasi kurikulum diterapkan dalam upaya untuk menampung tingkat kecerdasan dan kecepatan siswa yang tidak sama. Oleh sebab itu akselerasi belajar dimungkinkan untuk diterapkan, begitu pula remidial dan pengayaan.

Implementasi KBK menuntut kemampuan sekolah untuk mengembangkan silabus sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, dan penyusunannya dapat melibatkan instansi yang relevan di daerah setempat, misalnya instansi pemerintah, swasta, perusahaan dan perguruan tinggi.

Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Rekonseptualisasi kurikulum nasional yang diwujudkan dalam Kurikulum Berbasis Kompentensi memiliki empat fokus utama, yaitu: 1). Kejelasan kompetensi dan hasil belajar, 2) Penilian berbasis kelas, 3) Kegiatan belajar Mengajar, 4) Pengelolaan Kurikulum berbasis sekolah.

Pada prinsipnya pengelolaan kurikulum yang berbasis Sekolah membagi peran dan tanggung jawab masing-masing pelaksana pendidikan di lapangan yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum, pembiayaan dan pengembangan silabus. Sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum dituntut dapat menjalin hubungan dengan lembaga lain yang terkait baik lembaga pemerintah maupun swasta. Misalnya untuk pembekalan kecakapan vokasional sekolah perlu kerja sama dengan perusahaan atau lembaga diklat.

Reorientasi Proses Pembelajaran

Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman terhadap suatu konsep, sehingga dalam proses pembelajaran siswa merupakan sentral kegiatan, pelaku utama dan guru hanya menciptakan suasana yang dapat mendorong timbulnya motivasi belajar pada siswa. Implementasi KBK dalam proses pembelajaran menuntut adanya reorientasi pembelajaran yang konvensional. Reorientasi tidak hanya sebatas istilah “teaching” menjadi “learning” namun harus sampai pada operasional pelaksanaan pembelajaran. Untuk itu proses pembelajaran harus mengacu pada beberapa prinsip, yaitu: berpusat pada siswa, belajar dengan melakukan, mengembangakan kemampuan sosial, mengembangkan keingintahuan, imajinasi dan fitrah ber-Tuhan, mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, mengembangkan kreativitas siswa, mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi, menumbuhkah kesadaran sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat, dan perpaduan kompetisi, kerjasama dan solidaritas.

Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Herlina Sakawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

21

Penilaian Hasil Belajar Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap semua askpek domain

pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Sebab siswa yang memiliki kemampuan kognitif baik saat diuji dengan paper-and-pencil test belum tentu ia dapat menerapkan dengan baik pengetahuannya dalam mengatasi permasalahan kehidupan (Green, 1975). Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumnya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom pada tahun 1956, yaitu cognitive, affective dan psychomotor. Kognitif adalah ranah yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Affective adalah ranah yang berkaitan dengan pengembangan pengembangan perasaan, sikap nilai dan emosi. Sedangkan psychomotor adalah ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan atau ketrampilan motorik (Degeng: 2001). Namun ketiga domain pembelajaran itu memang tidak dapat dipaksakan pada semua mata pelajaran dalam porsi yang sama. Untuk matapelajaran ekonomi misalnya lebih menekankan pada aspek kognigitive dan affecfetive dibandingkan dengan aspek psychomotor yang lebih menekankan pada ketrampilan motorik.

Fakta menunjukkan bahwa penilaian hasil belajar lebih menitik beratkan pada aspek cognitive saja. Terbukti dengan tes-tes yang diselenggarakan disekolah baik lisan maupun tulis lebih banyak mengarah pada pengungkapan kemapuan aspek cognitive. Laporan hasil belajar yang disampaikan pada orang tua siswa (buku rapor) juga hanya melaporkan kemampuan cognitive saja.

Kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) meskipun belum diimplementasikan secara resmi oleh diknas, namun mayoritas sekolah telah melaksanakan. Tuntutan pada kurikulum baru itu penilaian harus mengarah pada kompetensi siswa, sesuai dengan kompensi tunturan kurikulum. Kompentensi yang dimaksud pada kurikulum adalah kemampuan yang dapat dilakukan peeserta didik yang mencakup pengetahuan, ketrampilan dan perilaku. Penilaian harus mengacu pada pencapaian standar kompetensi sisiwa. Standar kompetensi adalah batas dan arah kemamuan yang harus dan dapat dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses penbelajaran suatu mata pelajaran tenrtentu. (Marpadi: 2003) Sistem penilaian yang diharapkan diterapkan untuk mengukur hasil belajar siswa menurut kurikum 2004 adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Dimana untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik telah memiliki kompetensi dasar maka diperlukan suatu sistem penilaian yang menyeluruh dengan mengunakan indikator-indikator yang dikembangkan guru secara jelas. Berkelanjutan berari semua indikator harus ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik. Untuk itu perlu dikembangkan berbagai teknik penilaian dan ujian, seperti: pertanyaan lisan, kuis, ulangan harian, tugas rumah, ulangan praktek, dan pengamatan (Marpadi: 2003).

Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi dasar mencakup beberapa hal, yaitu: (1) standar kompetensi, adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam setiap mata pelajaran. Hal ini memiliki implikasi yang sangat signifikan dalam perencanaan, metodelogi dan pengelolaan penilaian; (2) kompetensi

22

dasar, adalah kemampuan minimal dalam rangka mata pelajaran yang harus dimiliki lulusan SMA; (3) rencana penilaian, jadwal kegiatan penilaian dalam satu semester dikembangkan bersamaan dengan pengembangan silabus; (4) proses penilaian, pemilihan dan pengembangan teknik penilaiain, sistem pencatatan dan pengelolaan proses; dan (5) proses Implementasimenggunakan berbagai teknik penilaian.

Tujuan penilaian yang dilakukan guru di kelas hendaknya diarahkan pada empat (4) hal berikut: keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana. Checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran. Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum. Agar tujuan penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan praktikum IPA) akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (performance assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai aspek afektif, minat dan motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan. Di samping itu, tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang dilakukan oleh guru adalah untuk memantau kemajuan dan pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks kompetensi belajar yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas diharapkan mengembangkan sistem portofolio individu siswa (student portfolio) yang berisi kumpulan yang sistematis tentang kemajuan dan hasil belajar siswa. Portofolio siswa memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar siswa pada kurun waktu tertentu. Portofolio siswa dapat berupa rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak (developmental), catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan menyeluruh kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir (comprehensive), atau kumpulan tentang kompetensi yang telah dikuasai anak secara kumulatif. Portofolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi orang tua serta pihak-pihak lain yang memerlukan informasi secara rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek psikososialnya sehingga mereka dapat memberikan bimbingan.

TANTANGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Merujuk pada implementasi KBK paling tidak guru menghadapi tiga tantangan

besar, yaitu tantangan pada bidang pengelolaan kurikulum, pembelajaran dan penilaian. Implementasi KBK berimplikasi serangkaian tuntutan yang harus dipenuhi

Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Herlina Sakawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

23

oleh seorang guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya. Tugas profesional seorang guru (Dikmenjur, 2001) antara lain harus mampu: menganalisis, menguasai dan menginplementasikan kurikulum dalam bentuk teori dan praktek; menguasai materi bidang studi yang diajarkan; membuat rencana pembelajaran. memilih dan mengembangkan materi dengan memperluas dan memperdalam dasar-dasar kejuruan yang lebih kuat dan mendasar; memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Berinteraksi (berkomunikasi) secara efisien dan efektif; menjalin kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan pembelajaran yang akan diberikan (dalam praktek); mengembangkan media pembelajaran; memilih dan menggunakan sumber belajar; memanfaatkan sarana dan lingkungan belajar; mengatur program pembelajaran dan jadwal akademik; memilih dan menetapkan materi kontekstual dengan kebutuhan lapangan kerja; menerapkan strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada kebermaknaan hasil belajar; mengelolakelas(classroom management); melaksanakan praktek dengan menghubungkan dan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja; mengembangkan alat dan melaksanakan evaluasi hasil belajar, secara menyeluruh yang mencakup aspek kognitif, afektif, psychomotorik serta intelektual skill; memahami karakteristik siswa; memberi layanan bimbingan kepada siswa; dapat membagi perhatian terhadap proses dan hasil belajar secara profesional; membaca hasil penelitian dan publikasi lain yang bermanfaat bagi pengembangan diri dan profesinya; melakukan penelitian sederhana (action research); serta memiliki wawasan global.

Untuk mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka profesionalime guru harus dikembangkan. Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam pengembangan profesionalitas guru menurut Balitbang Diknas antara lain adalah;

1. Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;

2. Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;

3. Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;

4. Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No.22/1999.

5. Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran;

6. Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru;

7. Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-Kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru;

8. Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya;

24

9. Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru;

10. Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran;

11. Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan;

12. Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK);

13. Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier;

14. Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran”.

Untuk lebih mendorong tumbuhnya profesionlisme guru selain apa yang telah diutarakan oleh balitbang diknas, tentunya ”penghargaan yang profesional” terhadap profesi guru masih sangat penting. Seperti yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat tunjangan profesi. Realisasi pasal ini tentunya akan sangat penting dalam mendorong tumbuhnya semangat profesionlisme pada diri guru. PENUTUP

Seiring dengan bergulirnya waktu sosialisasi dan implementasi Kurikulum KBK di SMA/MA, sedikit demi sedikit telah mengkikis keraguan dan kebingungan guru dalam mengimplementasikan kurikulum. Pada awal implementasi sebagian guru pesimis mampukah ia melaksanakan tuntutan KBK? Atau beranggapan paling hasil belajarnya ya sama dengan kurikulum terdahulu. Anggapan itu semakin hilang seiring dengan bertambahnya wawasan dan pemahaman guru terhadap KBK.

Ada tiga tantangan besar yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan KBK, yaitu; tatangan bidang pengelolaan kurikulum (guru sebagai administrator), bidang pelaksanaan pembelajaran dan bidang penilaian. Dalam menghadapi tantangan akan sangat tergantung pada profesionalisme guru. Guru profesional adalah guru yang dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas pada diri siswa.

Pada bidang pembelajaran diharapkan guru dapat menentukan model pembelajaran yang tepat sehingga dapat menarik minat siswa terhadap pelajaran. Model pembelajaran ekonomi diharapkan mampu memberikan makna pelajaran ekonomi kepada siswa. Melalui model yang tepat diharapkan siswa tidak hanya dapat pengetahuan ekonomi, namun juga mampu memberikan kesan yang mendalam pada siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari, karena materi pelajaran ekonomi sangat relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Herlina Sakawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

25

Sebagai saran dalam tulisan ini diharapkan para guru umumnya dan guru ekonomi pada khususnya untuk dapat mengimplementasikan KBK ini sebagai suatu landasan dalam menemukan suatu model pembelajaran ekonomi yang diharapkan mampu memberikan makna pelajaran ekonomi kepada siswa ehingga tujuan pendidikan nasional kita tercapai. Dan juga kepada pemerintah diharapkan bahwa setiap ada kebijakan baru perlunya disosialisasikan terlebih dahulu kepada semua penggunakan kebijakan sehingga mereka siap dan tidak asal-asal melaksanakan aturan tersebut karena ketidak siapan mereka. DAFTAR RUJUKAN Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionlisme Guru, Pikiran Rakyat (Online) Oktober,

2002. (http://www.pikiranrakyat.com) Degeng, I N. S. 2001. Kumpulan Bahan Pembelajaran; Menuju Pribadi Unggul

Melalui Perbaikan Proses Pembelajaran, Malang: LP3, UM. Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2002. Konsep Dasar Pendidikan

Berorientasi Kecakapan Hidup Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas dan Pelaksanaan di SMU, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 2001. Pedoman Pengembangan Profesi Guru Kejuan, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Geist, J.R. 2002. Predictors of Faculty Trust in Elementary Schools: Enabling Bureaucracy, Teacher Professionalism, and Academic Press. Disertation of The Ohio State Universty, diakses dari http://www.osu.edu.com

Greenlaw, S.A and DeLoach, S.B. 2003. Teaching Critical Thinking with Electronic Discussion, Economic Education Journal, diakses dari: http://www.susan.uits.indiana.edu.

Hasan, A.M. 2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan, Artikel Pendidikan Network (Online)

Marpadi, D. 2002. Pola Induk Sistem Pengujian Hasil KBM Berbasis Kemampuan Dasar, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Meter, Gede I. 1999. Hubungan antara Kemampuan Akademik, Moivasi Kerja dan Minat Menjadi Guru dengan Profesionalisme Guru pada Sekolah Dasar Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng. Thesis Malang. PPS – UM.

Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nopirin dan Nurhadi, 2002. Pola Induk Pengembangan Silabus Berbasis Kemampuan Dasar SMU, Pedoman Khusus, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Pusat Kurikulum, 2001. Kurikulum Kurikulum Berbasis Kompetensi Kebijakan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

______________, 2003. Kurikulum berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Ekonomi dan Akuntasi untuk SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

26

PENILAIAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN NON FINANSIAL

NURLAELAH MAPPARESSA Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Bagi sebagian orang, menilai kinerja perusahaan berarti akan selalu berhadapan dengan angka-angka yang rumit dan hanya dipahami oleh mereka yang memiliki latar belakang pengetahuan di bidang keuangan. penilaian kinerja perusahaan, tidak saja dari aspek finansial namun juga non finansial. Penilaian kinerja dilakukan untuk menekan prilaku yang tidak semestinya dan untuk merangsang dan menegakkan prilaku yang semestinya diinginkan melalui umpan balik hasil kinerja dan waktu serta penghargaan baik yang bersifat instrinsik maupun ekstrinsik. Untuk mencapai hasil tersebut kinerja keuangan secara kuantitatif dapat diukur dengan: 1) Ukuran kriteria tunggal (Single criterium); 2) Ukuran kriteria beragam (Multiple criterium); 3) Ukuran kriteria gabungan (Composite criterium). Sedangkan manfaat yang diperoleh yakni ;1) mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisian melalui pemotivasian karyawan secara maksimum; 2) membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan pemberhentian; 3) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan; 4) menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka; dan 5) Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

. Kata Kunci: Ukuran Penilaian, Kinerja Keuangan

PENDAHULUAN

Kinerja keuangan perusahaan merupakan hasil dari banyak keputusan individual yang dibuat secara terus menerus oleh manajemen. Oleh karena itu untuk menilai kinerja keuangan suatu perusahaan, perlu dilibatkan analisa dampak keuangan kumulatif ekonomi dari keputusan untuk mempertimbangkannya dengan menggunakan ukuran komparatif.

Dalam membahas metode penilaian kinerja keuangan, perusahaan harus didasarkan pada data keuangan yang dipublikasikan yang dibuat sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan yang berlaku umum. Laporan ini merupakan data yang paling umum yang tersedia untuk tujuan tersebut, walaupun seringkali tidak mewakili- hasil dan kondisi ekonomi. Laporan keuangan disebut sebagai "kartu skor" periodik yang memuat hasil investasi operasi dan pembiayaan perusahaan, maka fokus akan diarahkan pada hubungan dan indikator keuangan yang memungkinkan analisa penilaian kinerja masa lalu dan juga proyeksi hasil masa depan dimana akan menekankan pada manfaat serta keterbatasan yang terkandung didalamnya.

____________________________Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Non Finansial, Nurlaelah Mapparessa

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

27

Perusahaan kemungkinan akan menggunakan informasi akuntansi untuk menilai kinerja manajer. Kemungkinan lain adalah informasi akuntansi digunakan bersamaan dengan informasi non akuntansi untuk menilai kerja manajernya. Kinerja manajer diwujudkan dalam berbagai kegiatan mencapai tujuan perusahaan. Dan karena setiap kegiatan itu memerlukan sumber daya maka kinerja manajemen akan tercermin dari penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan perusahaan. Disamping itu informasi akuntansi merupakan dasar yang objektif dan bukan subjektif sebagai dasar penilaian kinerja manajer.

Masalah pengukuran atau penilaian berkaitan dengan keluaran bukan masukan. Dengan sedikit pengecualian (biaya atau pengeluaran) dapat diukur pada organisasi nirlaba seperti halnya pada organisasi yang berorientasi pada laba. Tetapi tanpa ukuran yang baik untuk keluaran penggunaan informasi biaya untuk menilai kinerja keuangan akan menjadi subjektif. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Penilaian Kinerja

Informasi akuntansi sangat bermanfaat untuk menilai pertanggungjawaban kinerja manajer. Karena penilaian kinerja pada dasarnya merupakan penilaian perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang dimainkannya dalam mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Kemungkinan yang lain adalah digunakannya informasi akuntansi bersamaan dengan informasi non akuntansi untuk menilai kinerja manajer atau pimpinan perusahaan.

Pengertian kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997, hal 503) adalah merupakan kata banda (n) yang artinya: 1. Sesuatu yang dicapai, 2. Prestasi yang diperlihatkan, 3. Kemampuan kerja (tt peralatan), sedangkan penilaian kinerja menurut Mulyadi (1997, hal 419) adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atas prilaku manusia dalam melaksanakan peran yang mereka mainkan dalam organisasi.

Sedangkan pengertian kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba. Dalam mengukur kinerja keuangan perlu dikaitkan antara organisasi perusahaan dengan pusat pertanggungjawaban. Dalam melihat organisasi perusahaan dapat diketahui besarnya tanggungjawab manajer yang diwujudkan dalam bentuk prestasi kerja keuangan. Namun demikian mengatur besarnya tanggungjawab sekaligus mengukur prestasi keuangan tidaklah mudah sebab ada yang dapat diukur dengan mudah dan ada pula yang sukar untuk diukur. Sedangkan tujuan penilaian kinerja (Mulyadi, 1997) adalah:

"Untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Standar prilaku dapat

28

berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam anggaran." Penilaian kinerja dilakukan untuk menekan prilaku yang tidak semestinya dan

untuk merangsang dan menegakkan prilaku yang semestinya diinginkan melalui umpan balik hasil kinerja dan waktu serta penghargaan baik yang bersifat instrinsik maupun ekstrinsik. Manfaat Penilaian Kinerja Non Finansial

Salah satu sarana manajemen paling panting yang harus dibebankan agar tujuan organisasi dapat tercapai adalah faktor man usia. Tanpa manusia yang berkualitas, betapapun canggihnya sistem yang dirancang, tujuan organisasi mungkin hanya sekedar angan-angan saja. Disamping sarana, prinsip-prinsip organisasi harus pula dipenuhi seperti adanya pembagian tugas yang adil, pendelegasian tugas. rentang kekuasaan, tingkat pengawasan yang cukup, kesatuan perintah dan tanggung jawab serta koordinasi masing-masing unit merupakan suatu hal yang harus terus menerus disempurnakan.

Untuk itu penilaian kinerja dimanfaatkan oleh manajemen untuk hal-hal sebagai berikut : 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisian melalui pemotivasian

karyawan secara maksimum. 2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti

promosi, transfer dan pemberhentian. 3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk

menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. 4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka

menilai kinerja mereka. 5. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.

Dalam mengelola perusahaan, manajemen menetapkan sasaran yang akan dicapai dimasa yang akan datang dan didalam proses yang disebut perencanaaan (planning). Pelaksanaan rencana memerlukan alokasi sumber daya secara efisien. Disamping itu pelaksanaan rencana memerlukan pengendalian agar efektif dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

Pelaksanaan rencana dapat ditempuh dengan cara tangan besi, denganancaman terhadap pelaksanaan agar mematuhi prilaku standar untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pelaksanaan rencana dengan cara ini dapat menjamin sasaran organisasi secara efektif dan efisien. Namun cara pencapaian tujuan ini akan mengakibatkan moral kerja karyawan menjadi rendah. Akan berbeda kondisi moral karyawan jika pengelolaan perusahaan didasarkan atas maksimisasi motivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi.

Maksimisasi motivasi karyawan berarti membangkitkan dorongan dalam diri karyawan untuk mengerahkan usahanya dalam mencapai sasaran yang ditetapkan oleh

____________________________Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Non Finansial, Nurlaelah Mapparessa

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

29

organisasi. Jika setiap karyawan memahami sasaran yang telah ditetapkan oleh perusahaan dan setiap karyawan melaksanakan internalisasi sasaran perusahaan sebagai sasaran pribadinya maka kesesuaian tujuan individu karyawan dengan sasaran perusahaan secara keseluruhan akan terjadi.

Kesesuaian sasaran individu karyawan dengan sasaran perusahaan inilah yang akan memotivasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Maksimisasi motivasi karyawan dalam mencapai sasaran perusahaan inilah yang merupakan tujuan pokok penilaian kinerja. Salah satu diantara teori motivasi yang dikembangkan oleh para peneliti untuk memprediksi motivasi dan kinerja adalah expectary theory dimana menurut teori ini perilaku seseorang dipengaruhi oleh probabilitas yang dilekatkan terhadap hubungan individu sebagai berikut:

a. Usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan

Motivasi seseorang yang telah ditetapkan ditentukan oleh persepsi orang tersebut terhadap hubungan antara usaha dengan tujuan yang hendak dicapai. Jika untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan diperlukan usaha yang besar, sasaran yang memberikan tantangan akan motivasi seseorang. Dengan demikian sasaran yang memberikan tantangan akan memotivasi orang selama sasaran tersebut telah dirasakan adil dan realistis. b. Kinerja dan penghargaan

Jika seseorang merasakan barjwa terdapat kemungkinan yang tinggi suatu kinerja yang baik akan mendapatkan penghargaan atau penghargaan yang diterima didasarkan atas kinerja yang baik, motivasi orang akan berusaha mencapai sasaran yang telah ditetapkan akan tinggi. Sebaliknya jika terdapat kemungkinan yang rendah suatu kinerja memperoleh penghargaan, motivasi orang untuk mencapai sasararl yang telah ditetapkan rendah pula.

c. Penghargaan yang mernuaskan tujuan pribadi

Untuk dapat memotivasi individu, penghargaan harus dirasakan adil oleh individu tersebut. Jika penghargaan yang diterima oleh seseorang dirasakan adil, maka penghargaan ini akan memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kepuasan yang tinggi berarti bahwa tujuan individu dapat dipuaskan melalui usaha pencapaian sasaran perusahaan. Dengan demikian penghargaan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan setiap individu agar memotivasi individu dalam mencapai sasaran yang ditetapkan oleh perusahaan. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan pemberhentian

Penilaian kinerja akan menghasilkan data yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan yang dinilai kinerjanya. Jika manajemen puncak akan memutuskan promosi manajer ke jabatan yang lebih tinggi, data hasil evaluasi kinerja yang diselenggarakan secara periodik akan sangat membantu manajemen puncak dalam memilih manajer yang pantas untuk

30

dipromosikan. Begitu pula dalam pengambilan keputusan penghentian kerja sementara, transfer dan pemutusan hubungan kerja permanen, manajemen puncak memerlukan data hasil evaluasi kinerja sebagai salah satu informasi penting. yang dipertimbangkan dalam keputusan tersebut. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan

Jika manajemen puncak tidak mengenal kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, sulit bagi manajemen untuk mengevaluasi dan memilih program pelatihan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan karyawan. Dalam masa kerjanya, perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengembangkan karyawannya agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis perusahaan yang senantiasa berubah dan berkembang.

Hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelemahan karyawan dan untuk mengantisipasi keahlian dan keterampilan yang dituntut oleh pekerjaan agar dapat memberikan respon yang memadai terhadap perubahan lingkungan bisnis dimasa yang akan datang. Hasil penilaian kinerja juga dapat menyediakan kriteria untuk memilih program pelatihan karyawan yang memenuhi kebutuhan karyawan dan untuk mengevaluasi kesesuaian program pelatihan karyawan dengan kebutuhan karyawan. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.

Dalam organisasi perusahaan, manajemen atas mendelegasikan sebahagian wewenangnya kepada manajemen dibawah mereka. Pendelegasian wewenang ini disertai dengan alokasi sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan wewenang tersebut. Manajer bawah melaksanakan wewenang dengan mengkonsumsi sumber daya yang dialokasikan kepada mereka.

Penggunaan wewenang dan konsumsi sumber daya dalam pelaksanaan wewenang ini dipertanggung jawabkan dalam bentuk penilaian kinerja. Dengan pengukuran kinerja ini manajemen atas memperoleh umpan balik mengenai pelaksanaan wewenang dan penggunaan sumber daya dalam pelaksanaan wewenang yang dilakukan oleh manajemen bawah. Berdasarkan hasil penilaian kinerja ini manajemen atas memberikan penilaian terhadap kinerja manajemen bawah. Dilain pihak penilaian kinerja ini memberikan umpan balik bagi manajemen bawah mengenai bagaimana manajemen atas menilai kinerja mereka. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan

Penghargaan dapat digotongkan datam dua kelompok yaitu penghargaan instrinsik dan penghargaan ekstrinsik. Penghargaan instrinsik berupa rasa puas diri yang diperoleh seseorang yang telah berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan telah mencapai sasaran tertentu. Penghargaan ekstrinsik terdiri dari kompensasi yang diberikan kepada karyawan baik yang berupa kompensasi langsung, tidak langsung, maupun yang berupa kompensasi non keuangan.

____________________________Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Non Finansial, Nurlaelah Mapparessa

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

31

Untuk meningkatkan penghargaan instrinsik manajemen dapat menggunakan berbagai macam tehnik seperti penggayaan pekerjaan (job enrichment), penambahan tanggung jawab, partisipasi datam pengambilan keputusan dan usaha lain yang meningkatkan harga diri seseorang dan mendorong orang menjadi yang terbaik. Kompensasi langsung adalah pembayaran langsung berupa gaji atau upah pokok, honorarium lembur dan hari libur, pembagian laba, pembagian saham dan berbagai bonus lainnya yang didasarkan atas kinerja karyawan. Penghargaan tidak langsung adalah semua pembayaran untuk kesejahteraan karyawan seperti asuransi kecelakaan, asuransi hari tua, honorarium, liburan dan tunjangan masa sakit.

Kompensasi tidak langsung ini tidak mempunyai dampak terhadap motivasi individu dalam mencapai sasaran organisasi karena kompensasi ini diberikan kepada siapa saja yang bekerja dalam perusahaan. Kompensasi ini hanya berpengaruh kepada motivasi karyawan jika dihapuskan. Penghargaan non keuangan dapat berupa sesuatu yang ekstra yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan berupa ruangan kerja yang memiliki lokasi istimewa, peralatan kantor yang istimewa, tempat parkir khusus, gelar istimewa dan sekretaris pribadi. Penggayaan pekerjaan atau job enrichment adalah suatu pendekatan untuk memotivasi karyawan dengan kombinasi tugas yang lingkup dan tanggung jawabnya berbeda-beda dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki otonomi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Distribusi penghargan instrinsik baik yang langsung, tidak langsung, maupun non keuangan memerlukan data hasil kinerja karyawan agar penghargaan tersebut dirasakan adil oleh karyawan yang menerima penghargaan tersebut. Pembagian penghargaan yang dipandang tidak adil menurut persepsi karyawan yang menerimanya maupun yang tidak menerimanya akan berakibat timbulnya prilaku yang tidak semestinya. Tahap Penilaian Kinerja

Tahap penilaian kinerja dilaksanakan dalam dua tahap utama yaitu: tahap persiapan dan tahap penilaian. Tahap persiapan terdiri dari tahap rinci yaitu: 1. Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggungjawab 2. Penentuan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja 3. Pengukuran kinerja sesungguhnya

Tahap penilaian terdiri dari tiga tahap rinci: 1. Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan

sebelumnya 2. Penentuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja sesungguhnya dari yang

ditetapkan dalam standar 3. Penegakan prilaku yang diinginkan dan tindakan yang digunakan untuk mencegah

perilaku yang tidak diinginkan.

32

Tahap Persiapan Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggungjawab

Jika orang akan diminta untuk bertanggungjawab atas sesuatu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan dengan jelas daerah pertanggungjawaban yang menjadi wewenang. Dalam daerah pertanggungjawaban tersebut ia diberi wewenang untuk mempengaruhi secara signifikan berbagai variabel yang menentukan pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Jika seseorang dirninta untuk mempertanggungjawabkan suatu kegiatan yang ia tidak memiliki wewenang untuk mengendalikan kegiatan tersebut, ia akan mengalami kecemasan dan keputusasaan. Motivasi orang tersebut untuk melaksanakan kegiatan akan hilang dan perilaku yang tidak semestinya akan timbul. Penilaian kinerja harus diawali dengan penetapan garis batas tanggung jawab yang jelas bagi manajer yang akan dinilai kinerjanya.

Batas tanggung jawab yang jelas ini dipakai sebagai dasar untuk menetapkan sasaran atau standar yang harus dicapai oleh manajer yang akan diukur kinerjanya. Dengan batas tanggungjawab dan sasaran yang jelas, seseorang akan mudah dinilai kinerjanya. Ada tiga hal yang berkaitan dengan penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggungjawab antara lain: 1. Kriteria penetapan tanggungjawab 2. Tipe pusat pertanggungjawaban 3. Karakteristik pusat pertanggungjawaban Penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja

Manajemen puncak harus memperoleh jaminan bahwa setiap manajer bertindak sesuai dengan sasaran perusahaan. Untuk mewujudkan hal ini, harus terdapat kesesuaian an-tara sasaran organisasi dengan sasaran manajer secara individual. Kesesuaian sasaran dipengaruhi oleh prosedur yang digunakan untuk menilai kinerja manajer, karena penilaian kinerja memaksa setiap manajer bertindak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan dalam kriteria kinerja.

Dalam menetapkan kriteria kinerja manajer berbagai faktor berikut ini perlu dipertimbangkan : 1. Dapat diukur atau tidaknya kriteria 2. Rentang waktu sumber daya dan biaya 3. Bobot yang dipertimbangkan atas kriteria 4. Tipe kriteria yang digunakan dan aspek prilaku yang ditimbulkan

Tidak semua kinerja dapat diukur secara kuantitatif. Keunggulan produk dipasar, pemanfaatan sumber daya manusia, kekompakan tim, kepatuhan perusahaan terhadap semua peraturan kemasyarakatan merupakan ukuran kinerja yang bersifat jangka panjang dan sulit untuk diukur secara kuantitatif.

Hal ini berbeda dengan ukuran kemampuan unit organisasi dalam menghasilkan laba dengan mudah dapat diukur secara kuantitatif. Biasanya kinerja yang dengan mudah dapat diukur secara kuantitatif akan memperoleh perhatian yang

____________________________Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Non Finansial, Nurlaelah Mapparessa

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

33

lebih besar dari manajemen puncak. Padahal meskipun secara kuantitatif sulit untuk diukur, kinerja yang bersangkutan dengan keunggulan produk di pasar, pemanfaatan sumter daya manusia, dan lain-lain tersebut diatas sama pentingnya dengan kinerja yang dapat diukur dengan mudah secara kuantitatif. Jika suatu kinerja lebih diperhatikan atau diberi bobot lebih oleh manajemen puncak, para manajer akan memusatkan usahanya pencapaian sasaran yang diukur kinerjanya dan memberi perhatian yang kurang terhadap yang lain.

Sumber daya yang dikorbankan untuk mencapai sasaran tertentu seringkali memiliki rentang waktu jangka panjang untuk menghasilkan manfaat bagi perusahaan.

Manajer yang dinilai kinerjanya akan memiliki kecenderungan untuk mengerahkan usahanya menuju pencapaian sesuatu yang diberi bobot besar dalam penilaian kinerja. Jika misalnya manajemen puncak memberi bobot besar atas kriteria yang bersifat jangka pendek seperti kemampuan unit organisasi dalam menghasilkan laba dan pangsa pasar jangka pendek, maka hal ini akan membuat para manajer yang dinilai kinerjanya akan menahan diri dari tindakan atau prilaku yang dapat membahayakan kemungkinanpencapaian tujuan laba dan pangsa pasar jangka pendek. Pengukuran Kinerja sesungguhnya

Setelah seorang manajer ditetapkan bagian atau aktifitas yang menjadi daerah wewenangnya dan ditetapkan pula kriteria dalam menjalankan bagian atau dalam melaksanakan aktifitasnya, langkah berikutnya dalam penilaian kinerja adalah melakukan pengukuran hasil sesungguhnya bagian atau aktifitas yang menjadi daerah wewenang manajer tersebut. Meskipun pengukuran kinerja tampaknya objektif, bersifat repetitif dan merupakan kegiatan yang rutin, namun pengukuran kinerja itu sendiri seringkali memicu timbulnya prilaku yang tidak semestinya. Perilaku yang tidak seharusnya muncul dalam pengukuran kinerja adalah : 1. Perataan (smothing) 2. Pencondongan (biasing) 3. Permainan (gaming) 4. Penonjolan dan pelanggaran aturan (focusing and illegal act)

Perataan meliputi semua kegiatan yang digunakan oleh manajer untuk mempengaruhi arus data dengan cara mempercepat atau menunda pesan yang disampaikan kepada manajer atasnya. Perataan di!akukan dengan cara mengirim pesan dalam periode sekarang mengenai peristiwa yang terjadi dalam periode yang akan datang atau menunda pengiriman pesan mengenai peristiwa sekarang sampai dengan periode yang akan datang. Informasi pendapatan dan biaya biasanya merupakan informasi yang menjadi objek perataan untuk memenuhi kepentingan pribadi manajer yang diukur kinerjanya.

Perilaku tidak semestinya yang lain yang kemungkinan timbul dalam proses pengukuran kinerja sesungguhnya adalah pencondongan, yang merupakan metode manipulasi data yang digunakan oleh manajer dengan memilih pesan diantara berbagai rangkaian pesan yang mungkin dihasilkan, yang kemungkian menghasilkan gambaran yang paling menguntungkan bagi kinerja manajer tersebut. Jika kemungkinan untuk

34

memilih, manajer cenderung akan memilih metode akuntansi yang memberikan gambaran yang paling baik bagi manajer.

Manipulasi hasil kerja dapat pula dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai aspek hubungan antara atasan dengan bawahannya. Permainan adalah perilaku pengirim pesan yang bertindak untuk menyebabkan pesan yang diinginkan yang seharusnya dikirim. Jika misalnya manajer atas menetapkan aturan main dalam pengukuran kinerja seperti target laba, biaya standar, aturan untuk pendistribusian penghargaan, manajer bawahnya kemudian memilih satu diantara altematif tindakan yang mungkin dilaksanakan, yang menghasilkan dampak yang paling menguntungkan bagi dirinya. Permainan ini dapat dicegah dengan mengukur kinerja manajer tidak dengan kriteria tunggal tapi dengan kriteria beragam (multiple creteria) atau kriteria gabungan (composite criteria).

Cara lain yang digunakan olell manajer yang mengirim pesan tentang ukuran kinerjanya agar sesuai dengan kebutuhan pribadinya adalah penonjolan dan tindakan melanggar aturan. Penonjolan terjadi dengan cara menonjolkan pesan yang menguntungkan diri pengirim pesan dan menyembunyikan pesan yang tidak menguntungkan dirinya. Prilaku ini seringkali terjadi jika perusahaan menggunakan kriteria beragam untuk pengukuran kinerja. Penonjolan dapat berupa pemalsuan data yang digunakan untuk pengukuran kinerja jika manajer tidak dapat mencapai target yang telah ditetapkan atau manajer dapat membatasi keluaran bagiannya untuk menghindari dinaikkannya target keluaran dimasa yang akan datang atau karyawan yang sangat produktif ditekan oleh rekan sekerjanya untuk mengurangi kecepatan kerjanya. Penonjolan sering berbentuk pelanggaran aturan perusahaan atau bahkan pelanggaran hukum. Misalnya untuk memberikan gambaran profitabilitas perusahaan kepada calon kreditur atau investor, manajemen perusahaan memalsukan angka-angka pendapatan dan biaya.

Tahap Penilaian Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya

Dalam evaluasi kinerja, hasil pengukuran kinerja secara periodik kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi penyimpangan kinerja sesungguhnya dari sasaran yang telah ditetapkan diumpanbalikkan dalam laporan kinerja kepada manajer yang bertangungjawab untuk menunjukkan efisiensi dan efektifitas kinerja.

Laporan kinerja harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Laporan kinerja untul (manajer tingkat bawah harus berisi informasi yang rinci dan

laporan kinerja untuk manajer tingkat diatasnya harus berisi informasi yang lebih ringkas. Semakin tinggi jenjang manajer, semakin ringkas isi laporan kinerjanya

2. Laporan kinerja berisi unsur terkendali dan unsur tidak terkendali yang disajikan secara terpisah, sehingga manajer yang bertanggung jawab atas kinerja dapat dimintai pertanggungjawaban atas unsur-unsur yang dikendalikan olehnya.

____________________________Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Non Finansial, Nurlaelah Mapparessa

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

35

3. Laporan kinerja harus mencakup penyimpangan baik yang menguntungkan ataupun yang merugikan.

4. Laporan kinerja sebaiknya diterbitkan paling sedikit sebulan sekali 5. Laporan kinerja harus disesuaikan dengan kebutuhan dan pengalaman pemakai 6. Penyajian laporan kinerja sebaiknya memperhatikan kemampuan penerima dalam

memahami laporan tersebut. Penetuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja sesungguhnya dari yang ditetapkan dalam standar

Penyimpangan kinerja sesungguhnya dari sasaran yang ditetapkan perlu dianalisis untuk menentukan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut, dan dapat direncanakan tindakan untuk mengatasinya. Baik penyimpangan yang merugikan maupun yang menguntungkan memerlukan perhatian, analisis, dan penafsiran dan manajemen. Penyimpangan yang merugikan memberi tanda bahaya dan memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk menemukan penyebab yang tepat.

Penyimpangan yang menguntungkan juga memerlukan perhatian yang sama dari manajemen karena mengandung informasi yang banyak manfaatnya. Penyimpangan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memberikan penghargaan terhadap kinerja yang luar biasa dan untuk menunjukkan realistis atau tidaknya sasaran yang ditetapkan.Penyimpangan yang menguntungkan dapat pula menjelaskan ketidakefisienarl dibidang yang lain. Masalah yang kemungkinan timbul dalam menentukan penyebab penyimpangan adalah manajer dan bawahannya tidak bekerja sama dalam penyelidikan.

Seringkali pencarian penyebab terjadinya penyimpangan dianggap sebagai upaya untuk rnencari siapa yang salah. Dalam situasi ini manajer seringkali merasa terancam, bersikap bertahan, menolak kekeurangan yang terjadi atau mencoba untuk menyalahkan orang lain. Untuk rnenghindari situasi seperti ini para manajer harus diyakinkan bahwa proses evaluasi adalah mencari penyebab yang ditujukan untuk memecahkan masalah masa yang akan datang dan bukan mencari siapa yang salah atas hasil yang tidak menguntungkan dimasa yang lalu. Penegakkan perilaku yang diinginkan dan tindakan yang digunakan untuk mendegah perilaku yang tidak diinginkan

Tahap akhir penilaian kinerja adalah tindakan koreksi untuk menegakkan perilaku tertentu didalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Sasaran yang dicapai dengan menggunakan perilaku tidak seperti yang diinginkan bukan merupakan tujuan penilaian kinerja. Perilaku merupakan tindakan orang untuk memproduksi hasil.

Hasil merupakan petunjuk efektifitas kinerja. Organisasi harus melakukan evaluasi atas keduanya, perilaku dan hasil yang dicapai dari perilaku tersebut. Hasil dimasa yang akan datang dapat dipengaruhi oleh penegakkan perilaku yang diinginkan melalui sistem penghargaan yang didasarkan atas kinerja. Sistem akuntansi memiliki fungsi yang penting dalam evaluasi kinerja manajer dengan cara menyediakan data kuantitatif untuk menentukan bagaimana, kepada siapa, dan untuk apa penghargaan

36

didistribusikan atau tidak didistribusikan. Sistem akuntansi juga dapat menunjukkan bidang yang didalamnya perlu diadakan perubahan perilaku untuk penyehatan dan pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang. Ukuran Kinerja

Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu : 1. Ukuran kriteria tunggal (Single criterium). 2. Ukuran kriteria beragam (Multiple criterium) 3. Ukuran kriteria gabungan (Composite criterium)

Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan cenderung memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukse atau tidaknya perusahaan atau bagiannya. Sebagai contoh manajer produksi diukur kinerjanya dari tercapainya target kuantitas produk yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu kemungkinan akan mengabaikan pertimbangan penting lainnya mengenai mutu, biaya, pemeliharaan equipment dan sumber daya manusia.

Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan penggunaan kriteria ini adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja. Contohnya manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung jawab masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang.

Karena dalam ukuran kriteria beragan tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk menentukan kinerja keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan cenderung mengarahkan usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada kegiatan yang menurut persepsinya menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara keseluruhan. Tanpa ada penentuan bobot resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam menilai kinerja menyeluruh manajer, akan mendorong manajer yang diukur kinerjanya menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-masing didalam memberikan bobot terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai kinerjanya.

Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih panting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu kepada beragan kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

37

beragam kriteria kinerja masing-masing. Contohnya diumpamakan seorang manajer divisi diukur kinerjanya dari dua unsur yaitu profitabilitas dan pangsa pasar.

Bobot kinerja profitabilitas ditetapkan sebesar 4 dan untuk pangsa pasar ditetapkan 6. Misalkan ukuran kinerja profitabilitas dan pangsa pasar menggunakan nilai yang berkisar 0 s/d 10. Manajer divisi A yang memperoleh nilai 8 untuk profitabilitas dan 6 untuk pangsa pasar, akan memperoleh ukuran kriteria gabungan sebesar 20 dan akan dihitung serta digambarkan sebagai berikut : Nilai Bobot Nilai x Bobot Profitabilitas 8 4 32,00 Pangsa Pasar 6 6 36,00 Jumlah - 10 68,00 Ukuran kriteria gabungan - - 6,80 PENUTUP

Perusahaan merupakan suatu unit kegiatan produksi yang mengelola sumber-sumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan agar dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Tujuan utama didirikan perusahaan selaku entitas bisnis adalah mendapatkan keuntungan yang digunakan untuk kelangsungan usaha. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan perusahaan,maka perlu dilakukan suatu penilaian kinerja.

Dalam evaluasi kinerja, hasil pengukuran kinerja secara periodik kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi penyimpangan kinerja sesungguhnya dari sasaran yang telah ditetapkan diumpanbalikkan dalam laporan kinerja kepada manajer yang bertangungjawab untuk menunjukkan efisiensi dan efektifitas kinerja.

Hasil merupakan petunjuk efektifitas kinerja, perusahaan harus melakukan evaluasi atas keduanya, perilaku dan hasil yang dicapai dari perilaku tersebut. Hasil dimasa yang akan datang dapat dipengaruhi oleh penegakkan perilaku yang diinginkan melalui sistem penghargaan yang didasarkan atas kinerja. Sistem akuntansi memiliki fungsi yang penting dalam evaluasi kinerja manajer dengan cara menyediakan data kuantitatif untuk menentukan bagaimana, kepada siapa, dan untuk apa penghargaan didistribusikan atau tidak didistribusikan. Sistem akuntansi juga dapat menunjukkan bidang yang didalamnya perlu diadakan perubahan perilaku untuk penyehatan dan pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang.

Dalam menetapkan kriteria kinerja berbagai faktor ini perlu dipertimbangkan: 1) Dapat diukur atau tidaknya kriteria; 2) Rentang waktu sumber daya dan biaya; 3) Bobot yang dipertimbangkan atas kriteria; dan 4) Tipe kriteria yang digunakan dan aspek prilaku yang ditimbulkan. Sehingga dengan mengacu pada kriteria ini dalam mengukur kinerja, manfaat yang diperoleh yakni ;1) mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisian melalui pemotivasian karyawan secara maksimum; 2) membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan pemberhentian; 3) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program

38

pelatihan karyawan; 4) menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka; dan 5) Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan, dan tujuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan dan kelangsungan perusahaan juga akan terjaga. DAFTAR PUSTAKA Anthony, Robert N., Dearden, John., dan Bedford, Norton M. (1996). Sistem

Pengendalian Manajemen. (Edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997 ). Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (Edisi kedua). Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.

Helfert, Erich A (1996). Tehnik Analisis Keuangan: Petunjuk praktis untuk mengelola dan mengukur kinerja perusahaan. (Edisi kedelapan). Jakarta: Penerbit Erlangga.

_____________(1993). Analisa Laporan Keuangan .(Edisi ketujuh). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mulyadi (1997). Akuntansi Manajemen: Konsep, manfaat dan rekayasa. (Edisi kedua). Yokyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.

Polimeni, Ralp S., Fabozzi, Frank J., Adelberg, Arthur H .(1988). Akuntansi Biaya: Konsep dan aplikasi untuk pengmbilan keputusan manajerial. (Edisi kedua). Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Supriyono, R.A (1989). Akuntansi Manaiemen 2 : Struktur pengendalian manajemen (Edisi pertama). Yokyakarta : BPFE UGM.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian (1989). Metode Penilaian Survai (Edisi revisi). Jakarta: LP3ES.

Usry, Milton F dan Hammer, Lawrence H (1994). Akuntansi Biaya: Perencanaan dan pengendalian (Edisi Kesepuluh). Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Weston, Fred J and Brigham, F, Eugene (1993). Dasar-Dasar Manajemen Perusahaan. (Edisi kesembilan). Jilid I. Penerbit Erlangga.

Wilson, James D dan Campbell, John B (1990). Controllership. Tugas akuntan manajemen. (Edisi ketiga). Jakarta: Penerbit Erlangga.

____________________________Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Non Finansial, Nurlaelah Mapparessa

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

39

SEGI-SEGI NORMATIF PERKEMBANGAN DEMOKRASI KONTEMPORER

HASNAWI HARIS

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Demokrasi yang berarti “cara memerintah negara oleh rakyat” yang berarti satu sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.Demokrasi juga diartikan ajaran politik tertentu. Ajaran politik Karl Marx dalam istilah “dialectical materialism”, misalnya dipraktekkan pertama kali di Rusia pasca Revolusi Sosial (1917) dengan nama demokrasi rakyat. Demokrasi rakyat ini merupakan suatu model pemerintahan negara yang memusatkan kekuasaan negara pada tangan satu golongan atau satu partai besar saja yaitu Partai Komunis (dictatorship of a majority over a minority). Berbeda misalnya dengan demokrasi barat yang oleh kaum proletar menyebut demokrasi borjuis, dimana kekuasaan pemerintahan negara diserahkan kepada segolongan kecil penduduk melalui pemilihan umum (dictator-ship of a minority over a majority). Selain ajaran politik kenegaraan, pengertian demokrasi (pemerintahan demokrasi-pen) juga dapat dihubungkan dengan praktek-praktek kerajaan absolut (absolute monarchie), seperti pemerintahan autokrasi dan oligarkhi. Kata Kunci: Segi Normatif, Demokrasi

PENDAHULUAN

Bila kita mengikuti ‘napak tilas’ demokrasi dalam perspektif sejarah, maka praktek demokrasi pertama kali dijumpai pada suatu bentuk ketatanegaraan di Yunani Kuno yaitu “stad-staat” (negara-kota) yang mempunyai hak-hak kenegaraan mutlak.

Kondisi itulah yang membuat seorang negarawan Athena yang bernama Pericles (431 SM), mula-mula memberikan definisi demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria, yaitu:

1. pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung,

2. kesamaan di depan hukum, 3. pluralisme yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan

pandangan, 4. penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk

memenihi dan mengekspresikan kepribadian individual. Pengertian-pengertian lebih modern nampak pada masa renaissance. Di masa

ini, muncul pemikiran-pemikiran besar mengenai hubungan antara penguasa atau negara di satu pihak dan rakyat di pihak lain. Kita dapat menyaksikan lahirnya teori-teori terkenal diantaranya teori kekuasaan dari Niccollo Machiavelli (1467-1527), teori

40

kontrak sosial dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesque (1689-1755), Jean Jacques Rosseau (1712-1778). Secara signifikan, pemikiran-pemikiran (karya besar-pen) mereka itulah yang telah mendorong upaya mengaktualkan istilah demokrasi.

Periode berikutnya adalah pengkajian yang komprehensif dari para ahli. Kajian mengenai penelusuran istilah demokrasi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Semakin tinggi tingkat komplesitas kehidupan masyarakat, maka semakin rumit dan tidak sederhana pula demokrasi dapat didefinisikan.

Dalam kerangka perkembangan ini, ahli seperti Ebestein dan Fogelman melihat demokrasi sebagai penghargaan atas sejumlah kebebasan, yaitu:

1. empirisme rasional, 2. pementingan individu, 3. teori instrumental tentang negara, 4. prinsip kesukarelaan, 5. hukum dibalik hukum, 6. penekanan pada soal cara, 7. musyawarah mufakat, 8. persamaan hak asasi manusia Sementara itu, Huntington memandang demokrasi dalam dua dimensi, yaitu

“dimensi konteks” dan “dimensi partisipasi”. Dalam sistem politik demokratis, sejauhmana pembuat keputusan kolektif

yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Dalam sistem itu pula para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.

Begitu pula adanya realitas kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu.

Sesungguhnya pengertian demokrasi versi Hungtinton itu dilatari oleh pendekatan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang berdasarkan:

(i) sumber wewenang bagi pemerintah demokrasi, (ii) tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan (iii) prosedur untuk membentuk pemerintahan. Menurutnya, akan banyak menemukan kendala manakala kita masih memakai

pendekatan pertama dan kedua. Ia lalu menganjurkan memakai pendekatan ketiga karena dalam sistem pemerintahan yang lain, orang menjadi pemimpin karena asal usul kelahiran, kemujuran, kekayaan, kekerasan, kooptasi, pengetahuan yang dimiliki, penunjukan atau ujian. Sementara prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang mereka pimpin.

Pasca Perang Dunia II, (terutama awal tahun 1970), tiga pendekatan demokrasi di atas mulai mengkristal dan semakin banyak yang memaknai demokrasi dalam perspektif “prosedur”. Sehingga muncullah pemilahan secara tajam antara definisi demokrasi yang utopis, rasionalistis, idealistis pada satu pihak dan definisi demokrasi yang deskriptif, empiris, institusional dan prosedural di pihak lain.

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

41

Kelebihan definisi demokrasi dalam perspektif ini adalah memberi ruang kepada kita untuk menilai sejauh mana suatu sistem politik bersifat demokratis, membandingkan sistem-sistem dan menganalisis apakah suatu sistem bertambah atau berkurang demokratis.

Sebagai contoh, sejauhmana sistem politik menolak partisipasi komunitas tertentu memberikan suara seperti yang pernah dilakukan oleh sistem Afrika Selatan terhadap 70 persen penduduknya yang berkulit hitam, atau seperti yang pernah juga diterapkan pemerintahan Swiss terhadap 50 persen penduduknya yang wanita, yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap 10 persen penduduknya yang berkulit hitam, maka sistem politik itu dikategorikan tidak demokratis.

Begitu pula, bila oposisi tidak diperbolehkan di dalam pemilihan umum, atau oposisi itu dikontrol dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, atau koran-koran oposisi disensor atau dibredel, atau hasil pemungutan suara dalam pemilihan dimanipulasi, atau kegagalan terus menerus partai oposisi utama memenangkan kursi seharusnya menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat kompetisi yang diperbolehkan oleh sistem itu. Dalam hubungan itu, Amien Rais menegaskan bahwa, setidaknya terdapat 10 kriteria demokrasi, yakni:

1. partisipasi dalam pembuatan keputusan, 2. persamaan di depan hukum, 3. distribusi pendapatan secara adil, 4. kesempatan pendidikan yang sama, 5. terjaminnya empat macam kebebasan, yaitu:

a. kebebasan mengeluarkan pendapat, b. kebebasan persuratkabaran, c. kebebasan berkumpul, d. kebebasan beragama.

6. ketersediaan dan keterbukaan informasi , 7. mengindahkan fatsoen politik, 8. kebebasan individu, 9. semangat kerjasama, 10. hak untuk protes. Menurut Suseno, berbicara tentang demokrasi maka terdapat lima gugus ciri

hakiki negara demokrasi, yaitu: 1. negara hukum, 2. kontrol efektif pemerintah oleh masyarakat, 3. adanya pemilihan umum yang bebas, 4. prinsip mayoritas, 5. adanya jaminan hak-hak demokrasi terhadap rakyat. Negara hukum berarti bahwa kekuasaan negara terikat pada hukum.

Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Tuntutan agar negara sebagai negara hukum dapat dirinci dalam lima ciri negara hukum, yakni:

42

1) Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan sesuai dengan ketetapan-ketetapan sebuah undang-undang dasar,

2) UUD menjamin hak asasi manusia yang paling penting. Sebab tanpa jaminan itu, hukum dapat dijadikan alat penindasan,

3) Badan-badan negara menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya atas dasar hukum yang berlaku,

4) Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan harus dijalankan oleh negara,

5) Badan Kehakiman bebas dan tidak memihak. Kontrol efektif terhadap pemerintah memuat: 1) Pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakannya, 2) Pemerintah bersedia dikontrol oleh parlemen, masyarakat, media, LSM dan

sebagainya, 3) Para wakil rakyat bebas menyatakan pendapat dan menolak kebijakan

pemerintah, 4) Pemerintah tidak dapat melahirkan undang-undang tanpa melibatkan DPR, 5) Pemerintah diangkat oleh MPR atau rakyat melalui hasil pemilihan umum.

Pemilihan umum yang bebas dapat dirinci sebagai berikut: 1) Ada pilihan dari beberapa kandidat atau partai, 2) Secara efektif bagian terbesar warga negara berhak dan mampu ikut

memilih, 3) Masyarakat berhak mencalonkan diri, 4) DPR-MPR dipilih melalui pemilihan umum.

Prinsip mayoritas dimaksudkan bahwa DPR mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas atau suara terbanyak. Jaminan hak-hak demokratis rakyat dapat meliputi:

1) Hak untuk menyatakan pendapat serta untuk mengkritik pemerintah baik secara lisan maupun tertulis termasuk kebebasan pers,

2) Hak untuk mencari informasi alternative, 3) Hak untuk berkumpul, 4) Hak membentuk serikat, partai politik dan berasosiasi.

Pandangan yang relatif berbeda dikemukakan Amirmachmud bahwa negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dalam perspektif politik, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan tentu saja dalam segala dimensinya tidak dapat dilepaskan dari suatu sistem politik yang diterapkan pada negara yang bersangkutan.

Sistem politik sangat mempengaruhi kualitas demokrasi, seperti yang dinyatakan oleh Henry B Mayo bahwa “sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar prinsip-prinsip mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

43

berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.

Lebih jauh Mayo mengemukakan bahwa, nilai-nilai yang harus dipenuhi dalam rangka mendefinisikan demokrasi yaitu:

1. menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara, damai dan sukarela, 2. menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang

selalu berubah, 3. pergantian penguasa secara teratur, 4. penggunaan paksaan se-sedikit mungkin, 5. pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman, 6. menegakkan keadilan, 7. memajukan ilmu pengetahuan, 8. pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan Kriteria menyeluruh tentang demokrasi dikemukakan oleh Carter & Herz.

Mereka berpandangan bahwa sistem pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang dicirikan oleh prinsip-prinsip:

1. Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif,

2. Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, 3. Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada

"rule of law - tanpa membedakan kedudukan politik, 4. Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan

yang efektif, 5. Diberinya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik,

organisasi kemasyarakatan, masyarakat, perorangan serta prasarana, pendapat umum semacam pers dan media massa,

6. Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu,

7. Dikembangkan sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan menggunakan cara-cara persuasif dan diskusi daripada koersif dan represif.

Sesungguhnya lahirnya demokrasi sebagai suatu system pemerintahan, tidak terlepas dari kondisi pasca Perang Dunia II yang memunculkan negara-negara baru. Munculnya negara-negara tersebut tentu saja membutuhkan penataan sistem pemerintahan masing-masing, meskipun yang nampak kepermukaan adalah konsep demokrasi.

Konsep tersebut dijadikan opsi sebagai bentuk harapan untuk tidak lagi membiarkan penindasan terjadi atas nama kemanusiaan. Demokrasi dipilih untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh kaum imperialis, kolonialis penjajah. Karena demokrasi diyakini sangat dekat konsep kedaulatan rakyat, maka konsep ini bisa menjadi sinergis untuk membentuk suatu pemerintahan atas kehendak bersama dari orang banyak.

44

Dewasa ini, berkembangnya paham demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan telah menjadi kecenderungan global. Hal ini terbukti dari banyaknya klaim dan praktek negara-negara di dunia ini yang memakai sistem demokrasi sebagai sistem bernegaranya. Meskipun secara kasat mata negara-negara tersebut mengadopsi demokrasi sebagai sistem dalam praktek bernegara, namun tidak satu pun negara yang memiliki persamaan dalam menerapkan demokrasi.

Beragamnya praktek demokrasi dalam sistem bernegara merupakan hal yang lumrah dan wajar. Perbedaan ini muncul karena pemahaman dan pandangan setiap negara berbeda tentang demokrasi, yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang politik, ekonomi, ideologi dan sosial budaya yang melingkupi suatu negara.

Oleh sebab itu, Huntington menegaskan bahwa sesungguhnya demokratisasi pada sebuah rezim di sebuah negara berbeda-beda.

Dengan menggunakan sebuah pendekatan yang berbeda untuk menjawab pertanyaan yang menfokus pada sejarah perubahan rezim di negeri yang telah mengalami demokratisasi, ia menyebutkannya sebagai berikut:

1. Pola Siklus. Negeri-negeri ini berselang-seling menganut sistem demokrasi dan sistem otoriter seperti Amerika Latin; Argentina, Brazil, Peru, Bolivia, Equador, Turki, Nigeria.

2. Pola untuk mencoba kedua kalinya. Sebuah negeri yang bersistem otoriter bergeser ke sistem demokratis lalu gagal karena mungkin negeri itu tidak memiliki landasan sosial yang memadai untuk demokrasi, sehingga berangsur-angsur menghancurkan rezim tersebut. Kemudian rezim otoriter berkuasa untuk masa yang lama atau singkat. Namun, akhirnya upaya kedua dilakukan untuk memulai demokrasi dengan sukses besar karena pemimpin belajar dari pengalaman. Negara yang termasuk kategori ini seperti Jerman, Italia, Austria, Jepang, Venezuela, Kolombia dalam gelombang kedua. Sedangkan Spanyol, Portugal, Yunani, Korea, Ceko, Polandia dalam gelombang ketiga sukses.

3. Pola Ketiga adalah Demokrasi Terputus-putus. Ini terjadi pada negara yang membangun demokrasi relatif panjang namun suatu ketika terjadi kondisi ketidakstabilan, polarisasi sehingga demokrasi terhenti. Dalam dasawarsa tahun 70-an, India dan Philipina dihentikan oleh pejabat eksekutif tertinggi yang dipilih secara demokratis atau Uruguay berhenti karena kerjasama dengan militer.

4. Pola transisi langsung dari sistem otoriter yang stabil ke sistem demokrasi yang stabil, baik melalui evaluasi yang berangsur-angsur dari waktu ke-waktu ataupun melalui penggantian sistem yang tersebut pertama oleh sistem yang tersebut kedua. Pola ini merupakan ciri khas transisi-transisi gelombang pertama. Upaya-upaya dalam gelombang ketiga di Rumania, Bulgaria, Taiwan, Mexico, Guatemala, EI-Salvador, Honduras dan Nikaragua akan mendekati pola ini apabila konsolidasi demokrasi mereka berhasil.

5. Pola Dekolonisasi. Suatu negeri demokrasi memaksakan lembaga-lembaga demokrasi kepada koloninya. Koloni ini kemudian merdeka dan berbeda

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

45

dengan koloni sebelumnya, berhasil mempertahankan lembaga-lembaga demokrasinya seperti Papua Nugini.

Berkaitan dengan hal tersebut, Poerbopranoto berpendapat bahwa “perkembangan sejarah demokrasi di masing-masing negara yang bersangkutan itu ternyata telah memberi isi dan sifat yang berbeda-beda kepada demokrasi itu. Di Kerajaan Inggris dan negara-negara Skandinavia, misalnya perkembangan demokrasi itu berlangsung dengan berangsur angsur (evolusioner) ... perkembangan demokrasi di Amerika Serikat berlangsung dengan jalan yakni revolusioner”. Yang pasti bahwa pada saat negara menjalankan sebuah sistem pemerintahan, maka demokrasi itu selalu dijadikan sebagai sistem dalam pemerintahan, dan mereka berpandangan bahwa segala kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah berdasarkan sistem demokrasi, bahkan negara-negara sosialis pun mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan juga berdasarkan asas-asas demokrasi.

Sistem pemerintahan yang demokratis dalam pengertian di atas sudah barangtentu dalam perspektif yang luas dan menyeluruh.

Sehubungan dengan hal itu, Nurcholis Majid mengemukakan bahwa kekuatan demokrasi ialah sebuah sistem yang mampu melalui dinamika internnya sendiri untuk mengadakan kritik ke dalam dan perbaikan-perbaikan, berdasarkan prinsip keterbukaan serta kesempatan bereksprimen. Prinsip keterbukaan serta kesempatan bereksprimen itulah yang merupakan ruh demokrasi paling sentral.

Lebih lanjut dikatakan bahwa sesungguhnya konsep keterbukaan sendiri juga mengandung pengertian kebebasan, sedangkan logika kebebasan adalah tanggungjawab. Seseorang disebut bebas apabila ia dapat melakukan sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan dan pertimbangannya sendiri, sehingga seseorang secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Seseorang yang melakukan sesuatu karena terpaksa dengan sendirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya.

Pada perkembangannya saat ini, demokrasi tidak bisa diidentifikasi hanya sebagai sebuah sistem politik saja atau hanya dalam konteks kebebasan saja tanpa implementasi apapun. Di masa depan demokrasi harus mampu masuk ke dalam bidang tidak hanya politik saja, tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya.

Demokrasi juga harus mampu menjawab mengenai pemenuhan kebutuhan manusia berupa pekerjaan, penghidupan yang layak, jaminan sosial, jaminan keamanan dari tindakan kekerasan. Demokrasi harus mampu menjawab pula bagaimana menanggulangi kapitalisme yang jahat dengan mensejahterakan masyarakat. Demikian pula halnya, demokrasi harus menjawab bagaimana memajukan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan manusia melalui pendidikan.

Sebagai paham universal, demokrasi harus mampu menciptakan kondisi dimana adanya hak yang sama dan tidak ada perbedaan antara rakyat yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut harus diatur dalam konstitusi yang dapat diterima semua pihak. Bagi kita di Indonesia, jaminan ini telah diatur dalam amandemen UUD 1945 terutama Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada saat yang sama, demokrasi juga harus membuka ruang bagi lahirnya partisipasi efektif dan kesempatan yang sama dari seluruh rakyat. Meskipun di negara

46

kita hal ini telah dijamin dalam konstitusi namun dalam prakteknya, masih terkesan tidak optimal. Kebebasan yang diberikan kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasinya belum sepenuhnya dapat ditindaklanjuti secara proporsional dan profesional.

Dalam kondisi kekinian bangsa Indonesia, demokrasi sejujurnya memang masih transisional sifatnya. Sehingga disana-sini membutuhkan penyempumaan-penyempurnaan, seperti apa yang dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno dalam bukunya bahwa demokrasi di Indonesia sedang mencari bentuk.

Dalam kondisi transisional, terlihat bahwa demokrasi pada umumnya diletakkan di dalam konteks interaksi antara negara dan masyarakat sipil, dengan anggapan bahwa bilamana masyarakat sipil kuat, maka demokrasi dianggap menang, tetapi sebaliknya apabila negara kuat dan masyarakat sipil lemah, maka demokrasi dianggap kalah. Karena pada dasarnya proses demokrasi atau demokratisasi adalah suatu proses memperkuat masyarakat sipil.

Berkaitan dengan hal itu, Mohtar Mas'oed mengemukakan bahwa merumuskan tatanan politik poliarkhi (istilah yang digunakan untuk menyebut demokrasi) harus menggunakan dua dimensi, yaitu:

(1) seberapa tinggi tingkat konstelasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan,

(2) seberapa banyak warga negara memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.

Pada tataran negara, demokrasi mengacu ke-sistem pemerintahan oleh rakyat dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan negara atau pemerintah yang sedang berkuasa.

Dalam hal ini Mohtar Mas'oed kembali menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang demokratis haruslah memenuhi tiga syarat pokok yakni: pertama, adanya kompetisi; kedua, adanya partisipasi politik (rakyat); ketiga, adanya kebebasan sipil berpolitik.

Sementara dalam tataran masyarakat, demokrasi dipandang sebagai sistem pengambilan keputusan di dalam masyarakat yang mengacu pada:

1. tersedianya banyak pilihan; 2. dilindunginya kebebasan memilih pilihan-pilihan; 3. dihargainya perbedaan-perbedaan pendapat dan pilihan; 4. dilaksanakannya asas “satu orang satu suara” (one man one vote) dan 5. dihargainya kesepakatan bersama. Afan Gaffar, dalam perspektif ilmu politik memandang demokrasi dari dua

pemahaman, yaitu pemahaman dari sisi normatif dan pemahaman dari sisi empirik atau procedural democracy.

Dalam pemahaman konteks normatif, demokrasi itu merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau hendak diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan yang terkenal “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

47

Ungkapan normatif tersebut di atas, biasanya diterjemahkan dalam konstitusi atau undang-undang dasar pada masing-masing negara, khusus di Indonesia bisa dilihat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Sedangkan demokrasi secara empirik diartikan bahwa apakah kriteria-kriteria dalam demokrasi benar-benar dapat diwujudkan dalam negara.

Sedasar dengan itu, G. Bingham Powel, Jr menyebutkan kriteria-kriteria demokrasi sebagai berikut:

1. Pemerintah mengklaim mewakili hasrat para warga negara, 2. Klaim itu berdasarkan pada adanya pemilihan kompetitif secara berkala

antar calon alternatif, 3. Kebanyakan orang dewasa dapat ikut serta baik sebagai pemilih maupun

sebagai calon untuk dipilih, 4. Pemilihan bebas, 5. Para warga negara memiliki kebebasan-kebebasan dasar, yaitu kebebasan

berbicara, pers, berkumpul dan berorganisasi serta membentuk partai politik.

Dengan demikian dari perspektif politik, demokrasi yang mengandung dua pemahaman yaitu pemahaman normatif dan pemahaman empirik dapat dielaborasi pada beberapa kriteria. Oleh Afan Gaffar menyebutnya dalam lima kriteria, yaitu: 1. Akuntabilitas dalam demokrasi.

Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Bukan hanya itu, ia juga dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak menyangkut dirinya tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas yaitu perilaku anak dan isterinya termasuk sanak keluarganya terutama yang berkaitan dengan jabatannya.

2. Rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai-partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaannya biasanya rendah pula. Bahkan peluang untuk itu sangat terbatas, kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja.

3. Rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem

rekruitmen politik yang terbuka, artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup,

48

artinya peluang untuk mengisi jabatan politik biasanya hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.

4. Pemilihan Umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga

negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.

5. Menikmati hak-hak dasar. Dasar suatu negara yang demokratis adalah setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapatnya (freedom of expression), dan hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of asseambly), dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the press). Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, dia punya hak untuk ikut menentukan agenda apa yang diperlukan.

Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai organisasi politik dan non-politik tanpa dihalang-halangi oleh siapapun dan institusi mana pun. Kebebasan pers dalam suatu masyarakat yang demokratis mempunyai makna bahwa masyarakat dunia pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang perlu sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, menghasut atau mengadu domba sesama warga masyarakat.

Arend Lijphart melihat demokrasi dari sudut sistem dan membagi demokrasi dalam dua sistem, yakni demokrasi konsensus dan demokrasi mayoritas.

Demokrasi mayoritas sering juga disebut sebagai demokrasi Westminter, yaitu istana yang digunakan sebagai gedung Parlemen Inggris. Sistem demokrasi mayoritas ini banyak diterapkan oleh negara-negara yang persaingannya lebih banyak berlangsung antara dua partai besar seperti di Inggris.

Dalam demokrasi mayoritas ini dituntut kemampuan partai politik untuk memperoleh mayoritas sebagai syarat untuk membentuk kabinet dalam pemerintahan.

Sedangkan demokrasi konsensus sebaliknya merupakan jawaban terhadap ketidakmampuan demokrasi mayoritas dalam mengakomodasi kelompok-kelompok minoritas. Demokrasi ini berkembang di atas akar-akar konsensus masyarakat yang bersangkutan. Biasanya dalam model ini sistem kepartaiannya berbentuk multi-partai.

Demokrasi konsensus menjadikan pemerintahan koalisi sebagai jalan untuk memelihara kemajemukan masyarakat, partai politik dan badan legislatif. Partai-partai kecil sebagai salah satu saluran politik kelompok minoritas dapat berperan langsung dalam kabinet melalui kabinet-kabinet koalisi.

Memperhatikan kedua model demokrasi ini kita bisa berpandangan bahwa keduanya lebih banyak dipraktekkan sebagai bargaining partai politik.

Adapun model demokrasi yang dikembangkan oleh Macpherson adalah demokrasi ekonomi atau demokrasi dalam perspektif pembangunan. Sehingga, muncul

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

49

pula demokrasi dalam pandangan liberal yaitu demokrasi protektif, demokrasi development dan demokrasi equilibrium.

Demokrasi protektif dirancang untuk melindungi pihak yang diperintah karena penindasan oleh pemerintah. Demokrasi development sebagai sarana bagi pembangunan diri individu dan demokrasi equilibrium didasarkan pada kompetisi antara elit-elit dengan tingkat partisipasi rakyat yang kecil. Selain itu juga dikenal demokrasi bagi masa depan yaitu “demokrasi partisipatif”.

Konsep-konsep demokrasi seperti yang dikemukakan di atas, merupakan konsep yang ideal dan normatif sehingga memerlukan perjuangan yang besar untuk mengimplementasikan dalam kehidupan berbangsa.

Dalam hubungan ini, Riswanda Imawan menyatakan bahwa demokrasi hanya mungkin berkembang dalam iklim yang demokratis, dan iklim yang demokratis ini tentunya akan membentuk suatu tantangan kehidupan politik dimana harus menghadapi kondisi berikut ini :

Pertama, warga negara secara bebas dan berkala memilih orang-orang yang mereka nilai layak dipercaya untuk memerintah.

Kedua, orang yang memerintah dapat dipercaya dan bertanggung jawab langsung kepada orang yang diperintah.

Ketiga, ada mekanisme politik yang memungkinkan warga negara dapat mengontrol sejauhmana kepentingan mereka dilaksanakan oleh orang yang memerintah.

Keempat, adanya kesejajaran tawar-menawar politik antara warga negara dengan orang yang memerintah sebagai jaminan tercapainya hubungan yang bersifat konsultatif.

Selanjutnya dikatakan bahwa proses demokrasi dalam setiap negara agar bisa berjalan efektif, paling tidak memerlukan dua hal yakni:

Pertama, rasionalisasi terhadap kekuasaan negara. Menumbuh-kembangkan masyarakat madani tidak identik dengan menghapus negara. Keberadaan negara tetap diperlukan karena dua alasan penting, yaitu (i) kenyataan semodern apapun satu bangsa tetap memerlukan pemerintah sebagai instrumen untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang paling mendasar seperti keamanan, (ii) sebagai kekuatan otonom, ada kecenderungan setiap kelompok masyarakat madani merasa “merdeka” sehingga berpotensi menghancurkan masyarakat madani itu sendiri. Pandangan Hegel tentang civil society mestinya mendapatkan perhatian dari kelompok masyarakat madani, agar konstruksi masyarakat madani tidak hancur.

Kedua, keberanian warga negara untuk aktif berpartisipasi dalam proses politik. Tanpa adanya keberanian warga negara untuk menuntut hak-hak politik mereka, maka proses demokratisasi akan kembali ke titik awal yaitu otoritarianisme. Hak berpolitik yang selama ini tidak diberikan cenderung untuk tetap tidak diberikan atau jika diberikan tetapi dalam batas yang minimal, sebab esensi politik yang berorientasi kekuasaan memang tertuju pada upaya merebut dan mempertahankan hak-hak politik yang dikuasai. Tanpa adanya militansi dari warga negara untuk menuntut, menganggu rezim untuk segera menyerahkannya bisa jadi akan dipahami oleh masyarakat bahwa mereka tidak memang tidak membutuhkannya.

50

Di era reformasi dewasa ini, demokrasi dapat digambarkan sebagai suatu piramida yang mengandung empat sub, yang masing-masing sub terdiri dari pelbagai indeks atau indikator kinerja yang dapat diaudit untuk mengukur seberapa jauh suatu negara benar-benar demokratis.

Piramida pertama, adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil (free and fair elections). Di dalam kerangka ini, indikator kinerjanya antara lain mencakup;

(i) pemilihan umum yang berbasis pada kompetisi terbuka, (ii) hak pilih dan sistem pemilihan yang bersifat rahasia, (iii) pemberian kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan

publik tanpa diskriminasi, (iv) adanya pemerintahan yang independen dan bebas dari penyalahgunaan

kekuasaan serta pengaruh-pengaruh eksternal lain terhadap pemilih, (v) akses yang adil dan sama dari partai dan kandidat untuk menggunakan

media dan sarana-sarana komunikasi yang lain. Piramida kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, dan bertanggungjawab

serta bersifat responsif. Adapun indikator-indikatornya adalah mencakup: (i) keterbukaan informasi terhadap apa yang dilakukan penguasa, (ii) efek dari kebijakan, (iii) independensi sarana-sarana informasi milik pemerintah, (iv) efektifitas pengawasan terhadap pejabat pemerintah baik sipil maupun

militer, (v) efektifitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif, (vi) ketaatan eksekutif terhadap “the rule of law”, (vii) transparansi pengaturan yang mengendalikan kekuasaannya, (viii) jaminan pengadilan bahwa eksekutif taat pada hukum termasuk

efektifitas acaranya, (ix) adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh eksekutif dan

pihak lain, (x) sampai seberapa jauh administrasi hukum terbuka bagi efektifitas

pengawasan publik. Piramida ketiga, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

khususnya hak sipil dan politik. Indikatornya adalah: (i) seberapa jauh hukum mendefinisikan hak-hak sipil dan politik serta

kebebasan warga negara dan seberapa jauh pula hal ini terlindungi, (ii) seberapa jauh keberadaan lembaga-lembaga sukarela dikembangkan

dalam rangka pemantauan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut, (iii) seberapa jauh efektifitas prosedur dan sistem sosialisasi hak-hak tersebut

terhadap masyarakat, (iv) seberapa jauh perlindungan terhadap pengungsi dan imigran yang

membutuhkan perlindungan. Piramida Keempat, adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidupan

demokratis atas dasar kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya. Indikator-indikator terhadap piramida ini adalah sebagai berikut:

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

51

(i) ketiadaan diskriminasi terhadap minoritas atas dasar kesepakatan nasional, (ii) pengawasan NGO’s, (iii) pluralisme media komunikasi, (iv) partisipasi masyarakat dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik

atas dasar prinsip keterbukaan. Muladi kemudian mengunci bahwa aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi di

atas bersifat universal, indivisible, dan interdependen. Semuanya harus dilakukan secara simultan dan tidak boleh dilakukan dengan mengutamakan salah satu atau beberapa indeks di satu pihak, seraya mengabaikan indeks-indeks yang lain.

Sementara itu, Juan J. Linz dan Alfred Stepan seperti yang dikutip Tanuredjo memaparkan lima parameter keberhasilan proses konsolidasi demokrasi pada masa transisi politik di Indonesia, sebagai berikut:

1. Adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan-jaminan hukum untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat,

2. Adanya masyarakat politik dimana tokoh-tokohnya diberi kesempatan terbuka untuk bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan,

3. Dianutnya ideologi supremasi hukum, 4. Adanya sebuah birokrasi yang dalam bahasa Max Weber memenuhi

persyaratan legal-rasional, yakni sebuah birokrasi yang mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan,

5. Terciptanya sebuah masyarakat ekonomi yang menjadi perantara antara negara dan masyarakat untuk menjalankan perekonomian.

Salah satu yang menarik dicermati sekitar pernak-pernik demokrasi yang terkesan ‘bombastis’ dan ‘unik’ itu adalah pandangan Fatah yang sampai pada tiga tema diskursus demokrasi yaitu:

(i) bagaimana kita mendamaikan paradoks yang inheren dalam demokrasi yaitu antara kebebasan dan konflik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus di sisi lain?

(ii) sejauhmana demokrasi sebagai idea politik dengan demokrasi sebagai praktek politik telah terpisah satu sama lain?

(iii) lalu, jika demikian, apa sebenarnya hakikat demokrasi jika kita terjemahkan dari idea-normatif ke dalam praktek politik?

Menurutnya, jika demokrasi sebuah paradoks maka kunci untuk mendamaikan paradoks dalam demokrasi terletak pada cara kita memperlakukan demokrasi. Demokrasi seyogyanya diperlakukan semata sebagai sebuah cara atau proses dan bukan sebagai tujuan, apalagi disakralkan.

Apabila demokrasi kita perlakukan sebagai cara, maka keteraturan, stabilitas dan konsensus tidak ditempatkan sebagai tujuan yang sakral. Dengan demikian, keteraturan, stabilitas dan konsensus yang dicita-citakan dan dibentukpun diposisikan sebagai hasil bentukan dari proses yang penuh kebebasan, persuasi dan dialog yang bersifat konsensual. Berbeda halnya kalau hal tersebut diposisikan sebagai tujuan yang sakral, maka boleh jadi ia dibentuk secara ironis dan paradoksal oleh pemaksaan, koersif dan represif bahkan intimidasi.

52

Kenyataan demikianlah yang seringkali muncul dalam praktek politik demokrasi, sehingga demokrasi sebagai idea politik menjadi satu kotak yang terpisah dari kotak lain (demokrasi sebagai praktek politik).

Sementara itu, dalam perspektif hukum, Sri Soemantri berpendapat bahwa sebuah negara dikatakan demokratis, dapat dilihat dari pembikinan (pembuatan-pen) hukumnya yakni:

1. hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan keputusan/persetujuan wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas,

2. hasil pemilihan umum atau campur tangan badan perwakilan rakyat mengakibatkan pergantian orang-orang pemerintahan,

3. pemerintah harus terbuka, 4. kepentingan minoritas harus dipertimbangkan. Senada dengan hal itu, Miriam Budiardjo menegaskan bahwa demokrasi

konstitusional pertama-tama merupakan Rechstaat, lebih terinci disebut: 1. perlindungan konstitusional, 2. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, 3. pemilihan umum yang bebas, 4. kebebasan menyatakan pendapat, 5. kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, 6. pendidikan kewarganegaraan, 7. kebijakan politik ditetapkan atas dasar kehendak mayoritas. Lebih jauh dikatakan bahwa ciri-ciri tersebut tercapai melalui struktur

institusional yang memuat unsur-unsur sebagai berikut: 1. pemerintahan yang bertanggungjawab, 2. dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum bebas yang minimal

beralternatif dua, yang melakukan pengawasan, 3. adanya beberapa partai politik, 4. pers/media bebas, 5. sistem peradilan yang bebas, yang menjamin hak asasi manusia. Pada perspektif hukum yang lain, Asshiddiqie mengemukakan bahwa untuk

mendamaikan das sollen dan das sein demokrasi, perlu mengenal konsep “democratische rechtstaat” dan “constitutional democracy”.

Constitutional democracy merupakan gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum yang bersifat horizontal mengandung empat prinsip pokok, yaitu:

1. adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama, 2. pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas, 3. adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama, 4. adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan

yang ditaati bersama. Sedangkan democratische rechtstaat terkait dimensi kekuasaan yang bersifat

vertikal antara institusi negara dengan warga negara, keempat prinsip pokok di atas dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip yakni:

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

53

1. pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, 2. pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian

kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal.

3. adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran,

4. dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara),

5. adanya mekanisme “judicial review” oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga eksekutif,

6. dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut di atas,

7. pengakuan terhadap asas legalitas atau ‘due process of law’ dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.

PENUTUP

Bertitik tolak dari pandangan dari para ahli di atas, nampaknya secara umum

kita tidak dapat secara ekstrim mengakomodasi hanya satu pendapat, karena secara riil mereka memiliki sudut pandangnya masing-masing yang dilatari oleh keragaman disiplin ilmu mereka.

Namun demikian, ada satu ‘benang merah’ yang dapat dijadikan patron berpijak yakni ciri atau kriteria yang mereka kemukakan secara substansial dan konseptual tak satupun yang saling bertentangan satu sama lain, bahkan perbedaan yang ada justru saling menunjang dan mendukung. Berdasarkan hal tersebut, tepatlah jika kemudian Suseno memberikan keluwesan berpikir bahwa demokrasi itu sesungguhnya sebagai paham yang bersifat: (1) Relatif. Tuntutan etika politik hanya berlaku sejauh situasi memungkinkan pelaksanaannya. Apabila syarat-syarat obyektif pemerintahan demokratis belum ada, maka tak ada landasan etis untuk menuntut demokrasi; (2) Kontekstual. Bagaimana salah satu ciri pemerintahan demokratis harus terwujud tergantung dari konteks negara yang bersangkutan. Misalnya kebebasan untuk menyatakan pendapat tidak dapat dituntut tanpa perhatian pada konteks sosial, kultural dan politik. Operasionalisasi ciri-ciri demokrasi harus sedemikian rupa sehingga mencapai maksud mereka secara optimal menurut kondisi-kondisi nyata yang ada; dan (3) Dinamis. Paham demokrasi sendiri maupun ciri-cirinya berkembang terus. Demokrasi adalah bentuk kenegaraan yang tidak pernah dan tidak pernah selesai. Tidak mungkin memandang demokrasi secara hitam putih. Tak ada “demokrasi maksimal”, selalu masih ada kemungkinan untuk meningkatkan atau mengoptimalisasikan kadar demokrasi suatu negara dan kemungkinan itu selalu relatif terhadap konteksnya masing-masing. Jadi dinamisnya demokrasi karena perubahan masyarakat yang berjalan terus menuntut penyesuaian

54

institusi-institusi demokratis terus menerus juga. Atau seperti yang dikemukakan Robert A. Dahl bahwa demokrasi yang berbentuk demokratisasi itu dalam proses dan selalu hanya dalam proses. DAFTAR PUSTAKA Eep Syaefulloh Fatah, 2000. Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Masalah dan

Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Samuel P. Huntington, 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga. PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Frans Magnis Suseno, 1995. Mencari Sosok Demokrasi. Sebuah Telaah Filosofis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Moh. Mahfud MD. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Penerbit Liberty, Jogyakarta.

Nurcholis Majid, 1999. Demokrasi dan Kebebasan. Tabloid tekad Nomor 36/Tahun I, 5-11 Juli.

Mohtar Mas'oed, 1998. Negara, Kapital dan Demokrasi. Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Afan Gaffar, 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar,

Jogyakarta. Bambang Cipto, 2000. Partai Kekuasaan dan Militerisme. Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Riswanda Imawan, 2000. Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Pustaka Pelajar,

Jogyakarta. Ryaas Rasyid, 2000. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan

Kepemimpinan. Yasrif Watampone, Jakarta. Muladi, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia.

The Habibie Center. Jakarta. Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat

Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta.

_______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

55

FILSAFAT, ETIKA DAN HUKUM DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Andi Kasmawati

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Filsafat sebagai dasar dari ilmu pengetahuan, melahirkan cabang-cabang ilmu yang perkembangannya sangat pesat sebagaiman kita rasakan dewasa ini, majunya ilmu peetahuan dan teknologi, membawa perubahan dalam masyarakat, perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif, untuk mengatasi dampak negatif diperlukan ilmu pengetahuan lain, diantaranya adalah etika dan hukum dalam bentuk filsafat praktis. Etika sebagai cabang dari filsafat menempatkan tingkah laku manusia sebagai objeknya, sedangkan hukum menempatkan manusia sebagai objek untuk menentukan jenis pelanggaran hukum dan untuk memperoleh keadilan. Kaitan antara etika dan hukum nampak pada struktur berkutub hukum yang memandang bahwa etika dan hukum tidak dapat dipisahkan. Kata Kunci: Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan.

PENDAHULUAN

Menelusuri sejarah keberadaan filsafat sebagai suatu bidang ilmu, membawa kita kepada suatu pencarian kebenaran yang hakiki dari suatu objek, sebagai dasar dari segala pengetahuan. Immanuel Kant (1724-1804) dalam Amsal Baktiar (2004:8) mengatakan bahwa: Filsafat itu ilmu dasar sebagai pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan yaitu:

1. Apa yang dapat kita ketahui (dijawab oleh metafisika) 2. Apa yang boleh kita kerjakan (dijawab oleh Etika/Norma) 3. Sampaidimanakah pengharapan kita (dijawab oleh agama) 4. Apakah yang dinamakan manusia (dijawaboleh antropologi)

Berpijak dari pandangan Kant tersebut para filosof menganggap bahwa: Filsafat merupakan induk ilmu. Sebeb dari filsafatlah, ilmu-ilmu klasik dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya yaitu Teknologi. Sebagai ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa moderen adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif (merenungi), diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumu ini. Akibat dari pandangan tersebut ilmu pengetahuan masa moderen ini sangat mempengaruhi dan mengubah manusia dengan dunianya. Terjadilah Revolusi industri I mulai tahun 1800 ditandai dengan pemakaian mesin-mesin mekanis, lalu revolusi

56

industri II mulai tahun 1900 ditandai dengan pemakaian listrik dan titik awal pemakaian sinar, kemudian revolusi Industri III di tandai dengan penggunaan kekuasaan alam dan penggunaan komputer yang kita saksikan dewasa ini, dengan demikian adanya perubahan pandangan terhadap ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan yang membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dengan itu pula muncul semacam kecenderungan akan adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia, terkadang memaksa, merajalela, dan bahkan membabibuta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasikannya. John Nisbitt dalam Asmal Bakhtiar (2004: xii-xiii) mengemukan bahwa dalam era informasi menimbulkan gejala mabuk teknologi yang ditandai dengan beberapa indikator yaitu: 1) masyarakat lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat dari masalah agama samapai pada masalah gizi. 2) masyarakat takut sekaligus memuja teknologi. 3) masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu. 4) masyarkat menerima kekerasan sebagai suatu yang wajar. 5) masyarakat mencintai teknologi dalam bentuk mainan. 6) masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut. Konteks ilmu dan teknologi dalam hal ini menjadi kehilangan ruhnya yang fundamental, karena ilmu yang berkembang ini mengeliminir peranan manusia dan bahkan manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi. Karena itulah filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan ummat manusia, dan sekaligus mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen bukan tujuan. Salah satu cabang filsafat yang berhubungan erat dengan pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah filsafat praktis, yang berawal dari pembagian filsafat sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam Amsal Bakhtiar (2004: 31) yang membagi filsafat dalam hal yang teoritis dan praktis yaitu: (i) Filsafast teoritis yang mencakup metafisika, fisika, matematika dan logika (ii) Filsafat praktis mencakup ekonomi, politik, hukum dan etika. Etika sebagai salah satu cabang filsafat yang menjawab pertanyaan tentang apa yang baik kita kerjakan, menjadi bahan perenungan, karena adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap ilmu dan teknologi tersebut yang dilakukan oleh manusia yang menjadi objek kajian etika. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Meuwissen (jurnal Pro Justitia 1994: 14) yaitu Etika terarah pada pengaturan dan penataan hubungan-hubungan manusiawi. Dari pengaturan terhadap hubungan-hubungan yang manusiawi tersebut, memberikan arahan kepada manusia untuk menentukan tindakannya sebagai perbuatan baik atau buruk. Kehidupan masyarakat dewasa ini di jejali oleh bayak tawaran dan berbagai pilihan hidup mulai dari pemilihan menu makanan, pakaian, gaya hidup cara bersikap,

________________________Filsafat, Etika dan Hukum dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Andi Kasmawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

57

berfikir dan bertingkah laku. Disinilah diperlukan etika dalam menentukan pilihan, mana yang tepat, mana yang baik dan buruk, untuk itulah dibutuhkan pengetahuan atau ilmu agar apa yang menjadi pilihan tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarkat seperti norma hukum, norma agama, norma kesuasilaan dan kesopanan. Etika menelusuri tentang kenapa sesuatu dikatakan baik dan harus di patuhi dan kenapa yang buruk itu harus ditinggalkan. ETIKA SEBAGAI CABANG FILSAFAT

Poedjawijatna (1996: 39) mengemukakan bahwa: Etika merupakan cabang filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai cabang filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku manusia, etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik. Von Magnis dalam Achman Chariis Subair ( 1990: 9-11) mengemukakan bahwa: Hidup kita seakan-akan terentang dalam sutu jaringan norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan, dan sebagainya. Jaringan itu seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita bertindak dari sesuatu dengan segala keinginan, mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita benci. Maka timbullah pertanyaan: Dengan hak apa orang mengharapkan kita tunduk terhadap norma itu?, dan bagaimana dapat menilai norma itu?.Tugas etika mencari jawaban atas pertanyaan itu, etika merupakan penyelidikan filsafat tentang bidang moral, yaitu mengenai kewajiban manusia serta tentang yang baik dan yang buruk, sehingga etika didefinikan sebagai filsafat bidang moral. Dari semua cabang filsafat, etika dibedakan karena tidak mempersoalkan keadaan manusia melainkan bagaiman ia harus bertindak. Etika adalah filsafat tentang praxis manusia, etika adalah praksiologik, sifat dasar etika adalah sifat kritis, etika bertugas untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu. Terhadap norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya (apakah berlaku de jure pula). Norma yang tidak dapat mempertahankan diri akan kehilanagan haknya. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti; orang tua, sekolah, negara dan agama untuk memberi perintah dan larangan yang harus ditaati. Bukan seakan-akan etika menolak adanaya norma, atau menyangkal hal dari berbagai lembaga dalam masyarakat untuk menuntut ketaatan, tetapi terlibat jauh menuntut pertanggungjawaban. Tak ada lembaga atau perseorangan yang berhak menentukan begitu saja bagaimana orang lain harus bertindak. Etika dapat mengantarkan orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional, untuk membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya sendiri. Etika manyanggupkan orang untuk mengambil sikap yang rasional terhadap semua norma, baik norma tradisi maupun lainnya, sekaligus etika membantu orang menjadi otonom. Otonomi manusia tidak terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-

58

wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma yang dinyakininya sendiri sebagai kewajibannya. Justru dalam persaingan ideologi dan berbagai sistem normatif, serta berhadapan dengan berbagai lembaga yang kian hari kian berkuasa, seolah-olah begitu saja menuntut agar masyarkat tunduk terhadap ketentuan mereka, etika diperlukan sebagai pengantar pemikiran kritis dan dewasa yang dapat membedakan apa yang sah dan apa yang palsu, dengan demikian memungkinkan kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat. Etika dapat juga menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggungjawab bagi si ahli ilmu masyarakat, pendidik, politikus dan pengarang serta siapa aja yang tidak rela diombang-ambing oleh kegoncangan norma-norma masyarakat sekarang. ETIKA SEBAGAI ILMU

Menurut Mohammad Hatta dalam Amsal Bakhtiar (2004:15) Ilmu adalah: Pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Dari pengertian tersebut ilmu dalam hal ini disamakan dengan pengetahuan. Oleh Amsal Bakhtiar (2004:16) disimpulkan bahwa: Ilmu adalah: Pengetahuan yang mempuyai ciri, tanda, sayrat tertentu, yaitu: sistimatik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka dan kumulatif (bersusun timbun). Sedangkan Etika menurut Ki Hajar Dewantara adalah: Ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Lebih lanjut Austin Fogothy dalam Acmad Charris Subair (1990: 16) mengemukakan bahwa: Etika berhubungan dengan semua ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai antropoogi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Lillie menggolongkan Etika sebagai ilmu pengetahuan normatif yang bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam masyarkat apakah baik atau buruk, benar atau salah. Sejalan dengan pengertian tersebut Burhanuddin Salam (2000: 12-13) mengemukakan bahwa Etika adalah: Ilmu yang mencari keselarasan perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan dasar-dasar yang sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia. Pada dasarnya setiap ilmu mempunai dua objek yaitu: objek material dan objek formal. Objek material adalah sasuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan. Adapun Objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material. Dengan demikian Poedjawiatna (1990:15) mengemukakan bahwa: Objek materia etika sebagai ilmu adalah Manusia sedangkan objek formalnya adalah tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja. Tingkah laku yang manakah yang dapat dinilai dari segi moral dan hukum? Yaitu: Tingkah laku yang di lakukan dengan sengaja atau tanpa pengaruh dari faktor maupun dalam diri sendiri seperti pengaruh alkohol, hipnotis, dan di bawah tekanan orang lain.

________________________Filsafat, Etika dan Hukum dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Andi Kasmawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

59

Etika merupakan ilmu yang sifatnya praktis, normatif dan fungsional sehingga dengan demikian merupakan suatu ilmu yang langsung berguna dalam pergaulan hidup sehari-hari. Etika juga dapat menjadi asas bagi norma-norma dalam kehidupan, disamping sekalihus memberi penilaian terhadap corak perbuatan seseorang sebagai manusia.

STRUKTUR BERKUTUB DARI HUKUM MENEMPATKAN ETIKA SEBAGAI SUATU ASPEK DALAM MENCAPAI KEADILAN Untuk mengurai dimana letak kaitan antara hukum dan etika dalam mencapai tujuan hukum oleh Meuwissen (Jurnal Pro Justitia 1994: 24) mengemukakan tentang Struktur Berkutub dari Hukum yiatu: Struktur Polaritatif artinya Ia (Hukum) didalam dirinya mengandung suatu tegangan antara idea-hukum (isi) pada suatu sisi dan bentuknya (struktur Formal) pada sisi lainnya, dapat juga dikatakan bahwa pada satu sisi terdapat idea- hukum (isi atau tujuan dari hukum) dan pada sisi lain instrumentariun yuridis (perundang-undangan, peradilan, negara) dan dengan bantuan instrumentarium (sarana) tersenut idea-hukum harus (dapat) diwujudkan. Dengan demikian hukum itu mempunyai sifat normatif, ia bertujuan untuk mempengaruhi perilaku manusia. Orang-orang diharuskan untuk mematuhi (menyesuaikan diri pada) kaidah-kaidah hukum. D. Schinder dalam Meuwissen (1994: 24) mengemukakan teori VERFAS SUNGSRECHT UND SOZIALE STRUKTUR, pada hukum ia membedakan sesuatu kesatuan dari empat momen. Ini berkaitan dengan pembagian dalam fakta dan kaidah, bentuk dan isi, empat aspek ini saling memotong dan dari dalamnya tampil empat momen-hukum itu, yang dapat di uraikan sebagai berikut:

1. Momen normatif-formal, dimaksudkan adalah bentuk-bentuk hukum: aturan, keputusan dan asas hukum, hukum dipandang sebagai penataan umum yang berkaitan dengan mewujudkan ketertiban, perdamaian, harmoni, kepastian hukum.

2. Momen faktual-formal, dimaksudkan bahwa hukum itu adalah suatu gejala kekuasaan, sejauh ia bertujuan mempengaruhi perilaku manusia. Dilihat dari momen ini, hukum adalah kekuasaan. Kekuasaan diartikan secara murni formal: orang didorong pada perilaku tertentu. Disinilah pada momen kedua ini sesuai dengan momen pertama. Kedua momen memuat aspek-aspek formal ditampilkan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan dari cara keberadaannya. Momen normatif-formal memiliki suatu cara berada rohaniah, yang normatif itu hanya dapat dipikirkan dan tidak dapat diamati. Sebaliknya kekuasaan adalah suatu kategori empiris dan relasi-relasi kekuasaan juga secara empiris dapat dipaparkan dan dianalisis.

3. Momen normatif-materiil, didalamnya diungkapkan bahwa hukum itu terdapat suatu sisi (aspek) etis. Terdapat kaidah-kaidah konkrit yang berlaku yang isinya relevan dengan hukum. Dari hal tersebut pikiran kita terarah pada keadilan. Dengan demikian hukum dan etika tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

60

4. Momen Faktual-materiil, berkaitan dengan keperluan dan kebutuhan vital, disini pikiran terarah pada usaha pemenuhan kebutuhan yang minimal yang diperlukan bagi keberadaan manusia. Ini adalah suatu data empiris, sedang momen etis memiliki sifat normatif.

Jika kita satukan semua momen itu maka dapat dikemukakan bahwa: Hukum itu adalah suatu penataan, yang mencoba mempengaruhi peralaku manusia yang manusiawi sedemikian rupa, sehngga pemenuhan keperluan-keperluan dan kebutuhan-kebutuhan vital dapat diuasahakan dengan adil. Uraian tentang struktur berkutub dari hukum menampakkan bahwa momen-momen yang ada dalam hukum saling berkaitan dan salah satu momen memuat tentang etika sebagai suatu aspek dalam hukum yaitu momen normatif materiil. Hukum dan Etika tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain dalam hal mewujudkan tujuan hukum dan fungsi hukum bagi manusia dalam pergaulannya dalam masyarakat. Sebagai gambaran untuk memahami tujuan dan fungsi hukum dapat diikuti uraian berikut ini. Menurut Utrecht dalam Satya Arinanto (2004:7) Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarkat dan karena itu harus diataati oleh masyarakat itu. Kemudian Jeremy Bentham dalam Ridwan Syahrani (2004:21) mengemukakan bahwa hukum bertujuan menjamin adanya kebagahagiaan sebanyak-banyaknya kepada orang sebanyak - banyaknya. Bentham yang merupakan pencetus aliran fikiran ”Kemanfaatan” lebih lanjut mengemukakan bahwa Hakikat kebahagaiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesensaraan. Karenanya manusia bebas melakukan tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Baik buruknya tindakan diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan dari tindakan itu. Suatu tindakan di nilai baik jika tindakan itu menghasilkan kebaikan, sebaliknya di nilai buruk jika mengakibatkan keburukan (kerugian). Van Apeldoorn dalam Ridwan Syahrani (2004:22) mengemukakan bahwa Tujuan Hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian antar manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golngan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya. Fungsi Hukum Menurut Ronny Hantijo Soemitro dalam Acmad Ali (1996:98) Hukum berfungsi sebagai a tool of social control yang merupakan aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi defenisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi. Kemudian fungsi hukum sebagai a tool of social enginering by law di kemukakan Soerjono Soekanto dalam Achmad Ali (1996:101)

________________________Filsafat, Etika dan Hukum dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Andi Kasmawati

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

61

hukum sebagai alat mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat agen of change. PENUTUP

Manusia merupakan objek material etika, sedangkan objek formalnya adalah tingkah laku manusia itu sendiri, dalam hukum manusia merupakan subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiaban, dengan demikian maka apa yang di lakukan manusia sebagai subyek hukum merupakan hak baginya, sedangkan objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia dan badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum. Hukum yang merupakan peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, yang menilai perbuatan manusia yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan analisa penulis dapatlah di simpulkan bahwa: Bidang kajian etika sebagai ilmu mencari dan menentukan perbuatan, atau tingkah laku baik atau buruk, salah atau benar. Bidang kajian hukum adalah mengatur dan memaksa manusia untuk mematuhi hukum serta memberi sanksi terhadap manusia atau orang yang melakuakan pelanggaran, sesuai fungsi hukum yaitu hukum mengatur tingkah laku manusia dan fungsi lainnya yaitu hukum merubah masyarakat. BAHAN BACAAN

Amsal Bakhtiar. 2004 Filsafat ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ade Maman Suherman. 2004 Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Acmad Charris Subair. 1990 Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta. Acmad Ali. 1996 Menguak Tabir Hukum, Candara Pratama, Jakarta Burhanuddin Salam. 1997 Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta,

Jakarta. Jujun S Suryasumantri 2005, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta. Poedjawiatna. 1996 Etika Filsafat Tingkah laku, Rineka Cipta, Jakarta. Ridwan Syaharani. 2004 Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Abadi,

Jakarta

62

TEORI SOSIOLOGI MENURUT TALLCOT PARSON

A. Aco Agus Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Analisis Parson pada dasarnya merupakan sintesa antara pandangan positivisme Perancis yaitu dominasi masyarakat dalam pembentukan pribadi dan idealisme Jerman adalah konsep bahwa potensi individu berupa orientasi motivasional. Tindakan individu dipengaruhi oleh dua macam orientasi ialah orientasi motivasional yang bersifat pribadi dan orientasi nilai yang bersifat sosial. Jadi kehendak pribadi dikontrol oleh nilai-nilai yang ada pada kemasyarakatan di samping itu pandangan bahwa masyarakat sebagai sejumlah sistem yang saling berhubungan satu sama lain dan memenuhi empat persyaratan fungsional yaitu mempertahankan pola, integrasi, pencapaian tujuan, adaptasi. Tahapan perkembangan teori Parson meliputi: Aliran aksi sosial, fungsionalisme tradisional, teori sistem umum atau modern. Kata kunci: Pandangan positivisme, fungsional, dan adaptasi.

PENDAHULUAN

Sebelum membahas pendapat Talcott Parson mengenai fungsionalisme Imperatifnya, terlebih dahulu akan dikemukakan secara singkat apa yang dimaksud dengan aliran Fungsionalisme dalam sosiologi.

Aliran Fungsionalisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Realitas sosial dipandang atau divisualisasikan sebagai suatu sistem. 2. Proses suatu sistem hanya dapat difahami dalam kerangka hubungan timbal balik

antara bagian-bagiannya. 3. Sebagaimana halnya dengan suatu organisme, suatu sistem terikat pada proses-

proses tertentu yang bertujuan untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.

Dengan melihat ketiga ciri tersebut tadi, maka organisme sebagai suatu konsep dalam sosiologi yang sebelumnya dikembangkan oleh para ahli sosiologi, nampak masih digunakan.

Dalam bentuknya yang paling ekstrim, teori-teori fungsional mencakup konsep-konsep: 1. Sebagai suatu sistem yang terikat dan terbatas, masyarakat mengatur, dirinya

sendiri, dan cenderung menjadi suatu sistem yang tetap serta serasi. 2. Sebagai suatu sistem yang mengatur dirinya sendiri yang sama dengan suatu

organisme, masyarakat mungkin mempunyai pelbagai kebutuhan dasar, yang harus dipenuhi, apabila keserasiannya ingin dipertahankan.

Dalam sistem-sistem dengan berbagai kebutuhan, maka tipe-tipe struktur tertentu harus ada untuk menjamin ketahanannya. Salah seorang peletak dasar aliran fungsionalisme ialah Emile Durkheim (peletak dasar lainnya seperti: Malinowski dan

_________________________________________________Teori Sosiologi Menurut Tallcot Parson, A. Aco Agus

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

63

Radcliffe Brown), menyatakan 4 asumsi dasar dalam fungsionalisme, yaitu: 1. Masyarakat tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang berdiri sendiri yang

dapat dibedakan dari bagian-bagiannya. Masyarakat juga tidak dapat dihabiskan ke dalam bagian-bagiannya. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu keseluruhan.

2. Bagian-bagian suatu sistem dianggap memenuhi fungsi-fungsi pokok, maupun kebutuhan sistem secara keseluruhan.

3. Kebutuhan pokok suatu sistem sosial harus dipenuhi, untuk mencegah terjadinya keadaan abnormal atau patologis.

4. Setiap sistem mempunyai pokok-pokok keserasian tertentu yang segala sesuatunya akan berfungsi secara normal.

Faham Emile Durkheim ini sangat berpengaruh terhadap Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown, walaupun perspektif konseptual yang dikembangkannya berbeda. Radcliffe-Brown lebih menyukai penggunaan istilah, strukturalisme dari pada fungsionalisme. Ia dianggap sebagai pelopor analisa fungsionalisme dalam antropologi. Perbedaannya dengan faham Durkheim ialah dalam menjelaskan ”... fungsi berkaitan dengan cara suatu bagian memenuhi kebutuhan: sistem”. Kata kebutuhan ini diganti dengan kata kondisi, sebab menurut dia yang lebih penting adalah kondisi apakah yang diperlukan agar ada ketahanan. Hal itu merupakan suatu masalah empiris yang harus ditemukan dalam setiap sistem sosial. Dengan mengakui adanya perbedaan-perbedaan kondisi yang diperlukan untuk bertahan bagi sistem yang beraneka ragam, maka dalam analisis dapat dicegah adanya penentuan bahwa setiap unsur kebudayaan harus mempunyai fungsi, dan bahwa setiap unsur pada. Kebudayaan yang berbeda mempunyai fungsi yang serupa. Perbedaan lain dengan faham Durkheim ialah dalam hal memandang masyarakat. Radcliffe-Brown melihat masyarakat sebagai suatu realitas tersendiri. Ia mengakui bahwa integritas fungsional suatu sistem sosial bersifat hipotetis, namun dia tidak menjelaskan lebih lanjut, sampai sejauh mana diperlukan kesatuan fungsional bagi suatu sistem agar dapat bertahan. Dengan demikian senantiasa dipergunakan asumsi bahwa pada saat tertentu suatu sistem sosial terintegrasi dan bertahan, oleh karena sistem itu ada dan hidup.

Malinowski melancarkan pendapat, bahwa unsur-unsur kebudayaan ada dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kebudayaan itu sendiri. Ada kesan bahwa unsur-unsur kebudayaan itu ada oleh karena kebutuhan sistem atau anggota-anggota sistem tersebut. Kerangka analitisnya dimulai dengan suatu penekan-an terhadap kebutuhan dasar manusia, seperti papan, pangan dan reproduksi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar itu, diperlukan organisasi manusia ke dalam kelompok-kelompok dan komuniti-komuniti. Di samping itu diperlukan pula penciptaan lambang-lambang kebudayaan untuk mengatur organisasi semacam itu. Selanjutnya penciptaan pola-pola organisasi sosial dan kebudayaan mengakibatkan timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru, yang harus dipenuhi oleh bentuk-bentuk organisasi sosial dan kebudayaan lain. Atas dasar itu maka dimungkinkan untuk membuat penggolongan tipe syarat-syarat untuk bentuk kebudayaan yang: 1. memenuhi dasar biologis, 2. memerlukan kebutuhan psikologis,

64

3. memerlukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tambahan untuk memelihara pola organisasi sosial dan kebudayaan yang sudah ada.

Dengan demikian, timbul kesan bahwa struktur-struktur timbul sebagai tanggapan terhadap pelbagai tipe persyaratan yang bersifat biologis, psikologis dan kultural. Ketahanan setiap struktur dalam suatu masyarakat disebabkan oleh adanya kerjasama di antara persyaratan-persyaratan tadi, yaitu: bila suatu struktur tidak memenuhi persyaratan kultural, maka persyaratan psikologi atau biologi yang terpenuhi. Dengan demikian setiap unsur kebudayaan akan dapat memenuhi tugasnya dalam suatu keseluruhan. Penalaran yang demikian tidak saja hanya bersifat teleologis, akan tetapi juga tautologis, oleh karena setiap unsur kebudayaan ada untuk memenuhi kebutuhan kebudayaan secara menyeluruh, sedangkan kebudayaan yang menyeluruh itu ada untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis. Hal ini kurang diterima oleh fungsionalis modern.

Fungsionalisme kontemporer berusaha untuk memasukkan konsep sistem sebagai sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Dengan cara meminjam konsep-konsep organisme abad ke 19 dan mencoba penggunaan pandangan bahwa bagian-bagian suatu sistem mempengaruhi proses keseluruhan sistem itu, kalangan fungsional modern berperan memberikan suatu perspektif konseptual yang seragam. Namun kemantapan penggunaan teori-teori itu hingga kini masih dipertanyakan, yang selanjutnya menimbulkan terjadinya perkembangan baru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu.

Demikianlah secara singkat mengenai pandangan para ahli fungsionalisme sebelum Talcott Parsons. Pada bagian berikut ini akan dikemukakan bagaimana pandangan Talcott Parsons mengenai Fungsionalisme Imperatif.

TEORI SOSIOLOGI MENURUT TALCOTT PARSONS A. Dasar Teori Parsons

Analisis Parsons pada dasarnya merupakan sintesa antara pandangan positivisme Perancis dengan idealisme Jerman (Sudardja Adiwikarta, 1988:16 ). Konsep yang diambil dari positivisme Perancis adalah bahwa ada dominasi masyarakat dalam pembentukan pribadi; sedangkan idealisme Jerman adalah konsep bahwa potensi individu berupa orientasi motivasionalnya. Jadi dominasi masyarakat dalam pembentukan pribadi diimbangi dengan potensi individu berupa orientasi motivasionalnya. Menurut Parsons, tindakan individu dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi motivasionalnya yang bersifat pribadi, dan orientasi nilai yang bersifat sosial. Jadi kehendak pribadi dikontrol oleh nilai-nilai yang ada pada masyarakatnya.

Di samping itu, pandangan bahwa masyarakat sebagai sejumlah sistem yang saling berhubungan seperti dikemukakan oleh Durkheim, menduduki posisi penting dalam sosiologi Parsons. Menurut Parsons, tiap-tiap sub-sistem yang ada pada masyarakat dapat dipandang sebagai sistem-sistem tersendiri yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem pula. Namun komponen yang dapat disebut sistem secara lengkap harus memenuhi empat persyaratan fungsional yang dapat kita singkat dengan

_________________________________________________Teori Sosiologi Menurut Tallcot Parson, A. Aco Agus

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

65

istilah LIGA yang merupakan singkatan dari: Latent pattern maintenance (mempertahankan pola), Integration (integrasi), Goal attainment ( mencapai tujuan ), dan Adaptation (adaptasi). Keempat fungsi itu dilaksanakan bersama oleh sistem sosial, yaitu: L: mempertahankan pola oleh sub-sistem keluarga, agama dan pendidikan; I : integrasi oleh sub-sistem hukum dan pengawasan (kontrol) sosial; G: pencapaian tujuan oleh sub-sistem pemerintah; A: adaptasi oleh sub-sistem ekonomi. B. Tahap Perkembangan Teori Parsons

Sepanjang perkembangannya, teori Parsons dapat dibagi menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah: 1. Aliran aksi sosial (social action school) 2. Fungsionalisme tradisonal. 3. Teori sistem umum atau modern (general or modern system theory).

(Margaret M. Paloma, 1984:170). Tahapan terakhir merupakan penyempurnaan dari kedua tahapan sebelumnya.

Bagaimana inti dari setiap tahapan teori Parsons itu, secara singkat akan dikemukakan pada bagian-bagian berikut ini. 1. Aliran aksi sosial

Buah pikiran Parsons mengenai aliran aksi sosial dituangkan dalam bukunya yang berjudul ”The structure of Social Action” yang diterbitkan pada tahun 1937. Buku itu merupakan sintesis dari karya empat orang sarjana sosiologi sebelumnya, yaitu: Emile Durkheim (sosiolog), Max Weber (sosiolog- ekonom), Vilfredo Pareto (sosiolog-engineer) dan Alfred Marshall (ekonom).

Yang menjadi titik perhatian dalam The structure of Social Action ini adalah konsep tindakan sosial yang rasional (dari Max Weber), sedangkan dalam menjelaskan tindakan atau aksi dipengaruhi olehDurkheim, Marshall, Pareto dan Weber, yang menjelaskan bahwa faktor-faktor situasional membantu tindakan individu. Yang penting bagi Parsons bukannya tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur tingkah laku. Kondisi-kondisi objektif (ciri-ciri struktural) disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai untuk perkembangan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Contohnya: Protestanisme tidak akan membantu kelahiran kapitalisme apabila penganutnya tidak tunduk kepada prinsip keagamaan, atau jika semua orang Protestan itu dibasmi.

2. Fungsionalisme

Setelah konsep tindakan sosial dipakai sebagai dasar teori, secara perlahan-lahan Parsons bergeser ke struktur dan fungsi masyarakat. Konseptualisasi struktur dibuat dalam kaitannya dengan sistem yang saling mempengaruhi dan bagian-bagian yang tidak otonom. Buku yang dibuatnya yang menekankan pada teori fungsional, berjudul "The Social System" yang diterbitkan pada tahun 1951. Buku tersebut sangat bertumpu pada pengembangan Pareto mengenai sistem sosial, yang dianggapnya me-

66

rupakan bentuk yang berada di atas elemen tindakan sosial. Parsons melihat bahwa sistem sosial itu merupakan satu di antara tiga cara di mana tindakan sosial bisa terorganisir. Dua sistem lainnya yang saling melengkapi adalah sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol, serta sistem kepribadian para pelaku individual.

Menurut Parsons, masyarakat adalah sistem sosial yang dilihat secara total. Individu bisa dihubungkan dengan sistem sosial dan menganalisisnya melalui konsep status dan peranan. Status adalah kedudukan dalam sistem sosial, sedangkan peranan adalah perilaku yang diharapkan atau perilaku normatif yang melekat pada status. Sistem sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan atau stabilitas. Bila terjadi kekacauan norma –norma, maka sistem akan mengadakan penyesuaian dan mencoba kembali untuk mencapai keadaan normal.

Parsons mengemukakan 5 buah pola variabel untuk mengkategorikan tindakan atau untuk mengklasifikasikan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial, yaitu: 1). Affective versus affective neutrality: orang bisa bertindak untuk pemuasan

afeksi/kebutuhan emosional atau bertindak tanpa unsur afeksi itu (netral). 2). Self orientation versus collective-orientation: orang dapat berbuat hanya

berorientasi kepada dirinya untuk mengejar kepentingan pribadi, atau perbuatannya berorientasi kolektif, kepentingan tersebut sebelumnya telah didominir oleh kelompok.

3). Universalism versus particularism: dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang. Hubungan partikularistik menggunakan ukuran-ukuran tertentu. Contohnya: Pemerintah menerima calon pegawai negeri berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang bersifat umum (hubungan universalistik). Hubungan partikularistik misalnya dalam penerimaan calon pegawai hanya akan diterima wanita yang berusia antara 15 sampai 20 tahun dan telah memiliki sertifikat tertentu saja.

4). Quality versus performance: Variabel quality menunjuk pada status askrib (ascribed status) atau keanggotaan dalam kelompok berdasarkan kelahiran. Contohnya: pemuda kaya hanya bersahabat dengan pemuda lain yang kaya pula; remaja hanya bersahabat dengan remaja lagi. Performance berarti prestasi atau apa yang dicapai seseorang. Contohnya: dua orang bersahabat berdasarkan pada rasa saling menyukai, terlepas dari usia atau status sosial.

5). Specificity versus diffusness: Hubungan specificity adalah hubungan dalam situasi yang terbatas, misalnya hubungan antara penjual dengan pelanggan. Hubungan diffuse adalah hubungan atau interaksi yang melibatkan semua orang, misalnya hubungan keluarga.

Hubungan-hubungan tersebut bisa, merupakan hubungan gabungan. Hubungan itu ditandai oleh efektivitas dan kualitas. Pattern variable ini oleh Parsons digunakan untuk mengukuhkan teori bertindaknya (action theory) di dalam, kompleksitas sistem sosial.

Kedua fase dari teori Parsons yang pertama sangat menitikberatkan pada deskripsi statis struktur sosial. Namun pada fase ketiga, ia lebih menekankan pada isu-isu dinamis perubahan sosial.

_________________________________________________Teori Sosiologi Menurut Tallcot Parson, A. Aco Agus

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

67

3. Teori Sistem yang Umum Teori Talcott Parsons dapat dianggap sebagai perpindahan dari teori

fungsionalisme tradisional ke suatu model sistem yang umum. Bagi Parson teori sosiologi tidak berdiri sendiri, tetapi sangat erat kaitannya dengan ilmu-ilmu perilaku, termasuk ilmu ekonomi dan politik serta beberapa aspek biologi, antropologi dan psikologi. Ia beranggapan bahwa konsep fungsi merupakan inti untuk memahami semua sistem yang hidup. Konsep sistem yang hidup itu berasal dari biologi. Persamaan antara masyarakat dan organisme hidup, ia tunjukkan dengan penjelasannya, bahwa: (1) sistem itu hidup dalam dan beraksi terhadap lingkungan, (2) sistem itu mempertahankan kelangsungan pola organisasi serta fungsi-fungsi yang keduanya berbeda dari lingkungan, dan dalam beberapa hal lebih stabil dibandingkan dengan lingkungannya. Sistem yang hidup itu merupakan sistem terbuka, yang mengalami saling pertukaran dengan lingkungannya. Ada prasyarat yang harus dipenuhi bagi setiap sistem yang hidup untuk kelestariannya, yaitu berupa kebutuhan-kebutuhan atau fungsi-fungsi. Dua pokok penting yang termasuk kebutuhan fungsional adalah: a. Kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan sistem internal dan kebutuhan

sistem ketika berhubungan dengan lingkungan. b. Kebutuhan yang berhubungan dengan pencapaian sasaran atau tujuan serta sarana

yang perlu untuk mencapai tujuan itu. Didalam teori sosialnya, Parsons mengemukakan 4 buah sistem aksi yang

saling bergantungan, yaitu a. Sistem kebudayaan b. Sistem sosial c. Sistem kepribadian d. Sistem organisme perilaku

Sistem sosial merupakan sumber integrasi, sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan atau goal-attainmen; sistem kultural mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem-sistem organisma behavioral memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian. Keempat sistem itu berhubungan secara timbal balik. Selain dari itu, tiap sistem menghadapi masalah-masalah fungsional, yaitu adaptasi, pen-capaian tujuan, integrasi dan keadaan laten.

Setiap masyarakat secara total harus menanggulangi masalah-masalah adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan laten. Hal yang sama juga berlaku bagi tiap subsistem sebagaimana digambarkan dalam sektor adaptasi.

Hubungan antara sistem-sistem kebudayaan, sosial, kepribadian dan organisme perilaku terjadi secara timbal balik dengan saling menukar informasi dan energi. Sistem-sistem yang memiliki informasi terbesar atau yang tarafnya tinggi membatasi penggunaan energi sistem yang lebih rendah, sedangkan sistem yang lebih rendah memberikan fasilitas dan menciptakan kondisi yang diperlukan oleh sistem yang lebih tinggi. Hal itu diberi nama hirarki sibernetis (Cybernetic hierarchy).

Pertukaran informasi atau pengendalian sibernetis beroperasi melalui tiga cara yaitu:

68

1. Proses pertukaran atau pengaruh timbal batik antara keempat subsistem terjadi melalui berbagai tipe media simbolik yaitu uang, kekuasaan, pengaruh atau keterikatan.

2. Menggunakan media simbolis distingtif. Penentuan media atas dasar fungsional yang mempunyai daya mengikat yang sama kuatnya dalam suatu sistem tertentu ataupun pada keempatnya.

3. LIGA menentukan tipe media simbolis yang digunakan dalam hubungan antara subsistem atau sistem.

Dalam sistem sosial, sektor adaptif menggunakan uang sebagai alat penukar dengan ketiga sektor lainnya. Sektor pencapaian tujuan menggunakan kekuasaan (kemampuan untuk mendorong terjadinya kepatuhan) sebagai alat pertukaran utama. Sektor integratif suatu sistem sosial mengandalkan pengaruh, yaitu kemampuan untuk mengajak. Sektor keadaan laten menggunakan keterikatan, yaitu kemampuan untuk setia.

C. Perubahan Sosial

Dalam model sibernetika, Parsons memajukan teori evolusioner yang menjelaskan gerakan masyarakat dart primitif ke modern, melalui empat proses perubahan struktural yang utama, yaitu: diferensiasi, perubahan bersifat penyesuaian (adaptive upgrading), pemasukan dan generalisasi nilai. (Paloma, 1984:189). Keempat proses perubahan itu adalah sebagai berikut:

1. Diferensiasi

Diferensiasi yang dimaksud oleh Parsons, banyak persamaannya dengan peningkatan pembagian kerja dalam masyarakat modern seperti yang dikemukakan oleh Durkheim. Unit atau subsistem yang memiliki tempat tertentu dalam masyarakat, terbagi menjadi unit-unit yang berbeda dalam struktur dan fungsi dalam sistem yang lebih luas. Apabila hal ini telah terjadi, maka struktur yang baru itu harus mampu melakukan kegiatan yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhan sistem daripada yang dilakukannya sebelum mengalami diferensiasi.

2. Pembaharuan bersifat penyesuaian

Pembaharuan ini dibatasi sebagai "proses di mana sejumlah besar sumber-sumber disediakan untuk unit-unit sosial, sehingga fungsi mereka bebas dari beberapa batasan askriptif yang dibebankan pada unit-unit yang kurang berkembang" (Paloma, 1984:190). Sebagai contoh: dengan terjadinya perubahan struktur pada pabrik-pabrik, maka dalam memproduksi barang yang lebih ekonomis, pabrik-pabrik itu tidak lagi tergantung pada anggota-anggota suatu keluarga (keanggotaan dalam keluarga sebagai suatu status askrib), tetapi tergantung pada pekerja-pekerja potensial yang jumlahnya lebih besar. Jadi fungsi anggota keluarga tergeser oleh pekerja-pekerja yang potensial dalam proses penyesuaian terhadap perubahan struktur pabrik.

_________________________________________________Teori Sosiologi Menurut Tallcot Parson, A. Aco Agus

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

69

3. Pemasukan Baik diferensiasi maupun pembaharuan yang bersifat penyesuaian itu,

menciptakan masalah integrasi bagian-bagian yang ada dalam sistem. Sehubungan dengan contoh tadi, maka keluarga petani membutuhkan komitmen yang lebih besar pada keluarga, yang juga berfungsi sebagai dasar bagi kegiatan ekonomi. Masalah pengintegrasian sistem keluarga dari pabrik yang terdiferensiasi itu diselesaikan melalui pemasukan dan generalisasi nilai. Norma-norma serta aturan-aturan baru harus dikembangkan guna mengatur keluarga maupun pabrik, sehingga dapat menjamin integrasi dari dua struktur yang terdiferensiasi tadi.

4. Generalisasi nilai

Norma-norma baru yang mengatur kegiatan dalam keluarga maupun dalam dunia pekerjaan harus memperoleh tanda terima dalam masyarakat, yang sebagian terjadi melalui generalisasi nilai atau penetapan suatu pola nilai di tingkat generalitas yang lebih tinggi dibanding dengan yang terdapat dalam situasi yang kurang berkembang, sehingga ia relevan bagi keadaan yang lebih luas.

Teori sibernetik dan evolusi yang dikemukakan oleh Parsons, memberikan

tanda bahwa pada akhirnya ia menaruh minat terhadap proses, walalupun sebelumnya lebih mengarah kepada struktur sistem bertindak.

KRITIK TERHADAP TEORI PARSONS

Sebagaimana teori-teori lain dalam bidang keilmuan, setiap muncul teori baru terdapat kritik-kritik. Demikian pula terhadap teori Parsons.

Kritik dasar terhadap cara Parsons melihat masyarakat, ialah bias konservatif fungsionalisme struktural dan kelemahannya untuk lebih memahami perubahan sosial yang berjalan cepat, atau bersifat revolusioner. Wrong melontarkan kritiknya: "kesulitan teori Parsons ialah dalam mencoba menjelaskan masalah konformitas dan stabilitas sosial ... dia bahkan berusaha membuat pertentangan itu menjadi semakin problematis. Bahwa terjadinya kekerasan, revolusi serta perubahan historis, sama sekali jadi tak dapat dipahami." Ia gagal menjelaskan perubahan revolusioner dan kekerasan, walaupun ia telah berusaha memperbaiki model fungsional dengan teori sistem yang umum.

Para sosiolog naturalistik menyatakan bahwa Parsons gagal mengetengahkan proporsi-proporsi yang dapat diuji secara empiris. Merton melihat teori Parsons lebih berupa suatu orientasi teoretis yang umum ketimbang sebagai teori sociologis murni. Bagaimanakah seorang sosiolog mulai mempelajari suatu sistem sosial yang mandiri, yang erat berkaitan dengan sistem-sistem kebudayaan, kepribadian dan perilaku. Dari manakah seorang peneliti harus mulai menguji empat prasyarat-fungsional yang dianggap Parsons sebagai hal mutlak bagi setiap sistem sosial itu. Kebenaran pernyataan-pernyataan Parsons sulit untuk dibuktikan secara empirik.

Pengertian lain yang perlu diketengahkan ialah Zetterberg yang mengatakan bahwa karya Parsons sebagai "taxonomi umum tentang ilmu-ilmu sosial”. Taxonomi

70

ini menyediakan konsep dan definisi, ke konsep dan definisi selanjutnya; dan walaupun merupakan skema klasifikasi dan deskripsi, tetapi ini bukan teoretis. Menurut Zetterberg ”teori yang meringkas dan mengilhami, bukan studi deskriptif, tetapi studi-studi verifikasi, studi-studi yang dimaksudkan untuk menguji hipotesis spesifik." Baik Merton maupun Zettenberg setuju bahwa teori Parsons ternyata gagal mengetengahkan proposisi-proposisi yang dapat diuji secara empirik. Turner menyatakan bahwa Parsons selalu terlihat melepaskan skema tindakan kalau membicarakan peristiwa-peristiwa empirik. Selanjutnya ia menyatakan bahwa, teori bertindak Parsons tetap menarik, dan bahkan mungkin merupakan kumpulan konsep-konsep yang sugestif Berta dapat melahirkan inspirasi, tetapi gagal sebagai pengujian dan pembangunan teori sebagaimana yang dimasud Parsons. Demikian beberapa kritik yang dilontarkan oleh para sosiolog terhadap teori Parsons.

IMPLIKASI TEORI PARSONS DALAM PENDIDIKAN

Seperti telah dikemuakan pada bagian yang lalu, bahwa menurut Parsons, tindakan individu dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi motivasional yang bersifat pribadi dan orientasi nilai yang bersifat sosial. Jadi dalam kehidupan sosial terdapat nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh individu. Hal itu akan bisa tercapai apabila terjadi proses sosialisasi. Menurut Parsons, pendidikan adalah pemegang sosialisasi dan seleksi, akan tetapi dari kedua fungsi itu ia hanya menekankan pada sosialisasi. Sosialisasi meliputi aspek-aspek: nilai, kognisi maupun motorik. Di antara ketiga aspek itu, ia lebih mengutamakan nilai, karena konsensus akan nilai merupakan faktor penting bagi terwujudnya integrasi sosial. Melalui sosialisasi, nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat diubah menjadi nilai yang dihayati atau diinternalisasi oleh warga masyarakat secara individual.

Pendidikan menurut Parsons adalah proses sosialisasi yang dapat memungkinkan individu-individu dapat mengembangkan rasa tanggung jawab dan kecakapan-kecakapan yang semuanya diperlukan dalam melaksanakan peran-peran sosial. Dengan melalui pendidikan orang akan memperoleh kecakapan-kecakapan teknis. Namun dengan memiliki kecakapan teknis saja belum cukup, masih perlu dimiliki kecakapan-kecakapan sosial dan rasa tanggung jawab mengenai ter-selenggaranya kehidupan yang bernilai budaya sesuai dengan pegangan masyarakatnya. Parsons melihat bahwa anak-anak dalam satu kelas yang semula kurang lebih sama, kemudian timbul perbedaanperbedaan dalam prestasi yang dicapainya. Diferensiasi ini dipandang sebagai bagian dari proses sosialisasi.

Kalau Parsons pada proses sosialisasi, maka oleh Turner menekankan pada fungsi seleksi. Dikatakannya bahwa dalam masyarakat terdapat stratifikasi sosial. Dalam menetapkan orang ke dalam setiap strata dan status itu, ada sistem seleksi yang harus ditempuh. Penekanan yang paling kuat terhadap fungsi seleksi ini, diberikan oleh Earl Hopper. Manusia sejak kecil sampai besar dan tua, tidak terlepas dari mengalami seleksi yang ketat. Bagi Hopper, pendidikan merupakan sarana seleksi dalam pelaksannan peran-peran sosial.

_________________________________________________Teori Sosiologi Menurut Tallcot Parson, A. Aco Agus

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

71

Sebagai akhir dari pembahasan ini, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa teori Parsons mempunyai implikasi yang cukup penting, bukan saja bidang sosiologi, tetapi juga dalam bidang pendidikan, seperti telah dikemukakan tadi. Pendidikan sebagai fungsi sosialisasi, dapat kita terima, karena anak kecil belum mengenal nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat. Untuk dapat mengetahuinya perlu diperkenalkan. Demikian pula fungsi seleksi. Dalam masyarakat penuh persaingan, lebih-lebih pada jaman sekarang, di mana jumlah penduduk telah semakin banyak. Untuk dapat, tetap survival dalam masyarakat yang demikian, orang perlu mempunyai daya tahan yang kuat, agar bisa lolos dari seleksi-seleksi yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat.

KESIMPULAN 1. Tahap perkembangan teori Parsons meliputi: aliran aksi sosial, fungsionalisme

tradisional, teori sistem umum dan modern. 2. Dalam model sibernetik, Parsons memajukan teori evolusioner melalui empat

proses perubahan struktural yang utama yaitu diferensiasi, perubahan bersifat penyesuaian, pemasukan dan generalisasi nilai.

3. Teori Parsons mempunyai implikasi terhadap pendidikan yaitu sebagai fungsi sosialisasi yang dapat memungkinkan individu-individu dapat mengembangkan rasa tanggung jawab dan kecakapan-kecakapan yang semuanya diperlukan dalam melaksanakan peran-peran sosial.

DAFTAR RUJUKAN Paloma, Margaret M,1984. Sosiologi Kontemporer, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta. Sudardja Adiwikarta, Dr., MA., 1988. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan hipotesis

tentang hubungan pendidikan dengan masyarakat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta.

Soerjono Soekanto, Prof., Dr., SH., MA., 1986. Fungsionalisme Imperatif, Seri

pengenalan Sosiologi seri 4, Tallcot Parsons, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.

72

MEMBANGUN BIROKRASI BERORIENTASI PASAR: MASALAH DAN TANTANGAN

Muhammad Ashri Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Abstrak: Artikel ini membahas masalah dan tantangan implementasi salah satu prinsip pola pemerintahan wirausaha, yakni pemerintahan berorientasi pasar. Ketersediaan informasi yang fair. Karakteristik pemerintahan sebagai organisasi publik, kompleksitas kinerja pemerintahan, birokrasi tradisional tanpa kompetisi, dan karakteristik hubungan pemerintah dengan masyarakat, diidentikasi sebagai masalah. Adapun tantangannya adalah bagaimana mendesain sistem pemerintahan yang dapat menjamin pengutamaan yang efektif atas kepentingan seluruh masyarakat, sedangkan kepentingan pribadi pihak-pihak yang berada dalam pemerintahan dapat diawasi. Karena itu, penulis menyarankan perlunya perubahan melalui tekanan politik secara formal maupun informal oleh lembaga di luar birokrasi, kecerdasan eksponen organisasi, serta pendidikan formal dan pelatihan sebagai bentuk perubahan organisasi yang berhubungan dengan profesionalisasi. Di samping itu, dibutuhkan pula kemauan institusi publik dan pentingnya dukungan masyarakat dan negara untuk berubah.

Kata kunci: Pemerintahan wirausaha, Birokrasi.

PENDAHULUAN

Fakta menunjukkan bahwa faktor penting yang memengaruhi kemajuan suatu

negara adalah kepiawaian mengelola penyelenggaraan pemerintahan. Werlin (2003) dalam salah satu risetnya menemukan, bahwa karena perbedaan tata pemerintahan (style public management), mengakibatkan Singapura dan Jamaica; dua negara yang pada awalnya memiliki sejarah penjajahan dan geografi yang relatif sama, akan tetapi saat ini memiliki tingkat kemajuan dan kemakmuran yang sangat berbeda (Setiyono, 2007:3-4).

Tata pemerintahan tidak dapat disangkal memengaruhi tingkat kemajuan dan kemakmuran warga masyarakat. Kekeliruan kebijakan pemerintah bahkan dapat menimbulkan guncangan besar dalam tatanan sosial.

Francis Fukuyama (2005a:xii-xiii) secara dramatis mengungkapkan bahwa guncangan besar (the great disruption) dewasa ini yang mengakibatkan erosi pada modal sosial berupa menipisnya kepercayaan (trust) manusia pada manusia lainnya, merebaknya kecurigaan dan ketidakjujuran, pelanggaran hukum meningkat; proses kerjasama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan; antara lain disebabkan oleh kekeliruan dalam kebijakan pemerintah. Tata pemerintahan itu sendiri berkembang dinamis, mulai dari fase pertama hingga sekarang ini (fase keempat). Pada fase terakhir ini, proses repositioning pemerintah

_____________________Membangun Birokrasi Berorientasi Pasar: Masalah dan Tantangan, Muhammad Ashri

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

73

tidak hanya dilakukan dalam konteks mengurangi peranannya di bidang ekonomi, melainkan juga dalam konteks reformasi manajerial. Manajemen negara yang semula mengadopsi model pemerintahan birokrasi tradisional, direformasi menggunakan pendekatan new public management dengan mengadopsi nilai-nilai enterpreneurship (Setiyono, 2007:15-16).

Perubahan paradigma pemerintahan ini digerakkan oleh pemikiran Osborne & Gaebler (2005: xv, 18 et. seqq) dengan mengemukakan contoh sukses institusi pemerintahan di Amerika Serikat yang mengimplementasikan nilai-nilai wirausaha (enterpreneurship). Pemerintahan yang dijalankan dengan pola seperti ini, disebut dengan istilah “pemerintahan wirausaha”.

Menurut Osborne & Gaebler (Osborne dan Plastrik, 2004:322-324), satu diantara sepuluh prinsip enterpreneurship adalah pemerintahan berorientasi pasar (prefer market mechanisms to bureaucratic ones, atau pilih mekanisme pasar, jangan pola birokrasi).

Pasar dianggap sebagai mekanisme otomatis (self-regulating) yang selalu mengarah pada kesetimbangan antara permintaan dan penawaran, sehingga ia menjamin terwujudnya alokasi sumberdaya dengan cara yang paling efisien (Stegar, 2006:14).

Artikel ini mengandung deskripsi singkat mengenai masalah dan tantangan yang mungkin dihadapi dalam implementasi pola pemerintahan wirausaha, khususnya menyangkut penerapan prinsip kesepuluh, yakni pemerintahan berorientasi pasar. PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN WIRAUSAHA Pemerintahan wirausaha yang berakar pada kata “wirausahawan” (enterpreneur), memiliki cakupan arti yang luas. Kata ini diciptakan oleh ekonom berkebangsaan Perancis, J. B. Say, sekitar tahun 1800. “Wirausahawan” menurut Say berarti “memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar.” Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Menurut Osborne & Gaebler (2005:xvi), definisi Say berlaku juga bagi sektor swasta, pemerintah, dan sukarelawan atau sektor ketiga. Osborne & Gaebler, lebih lanjut mengemukakan sepuluh prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha, yaitu: pemerintahan katalis, pemerintahan milik masyarakat, pemerintahan kompetitif, pemerintahan berorientasi misi, pemerintahan berorientasi pada hasil, pemerintahan berorientasi pelanggan, pemerintahan wirausaha, pemerintahan antisipatif, pemerintahan desentralisasi, dan pemerintahan berorientasi pasar (Osborne dan Plastrik, 2004:322-324). 1. Pemerintahan katalis Pemerintahan katalis memisahkan fungsi pemerintah sebagai pengarah (membuat kebijakan, peraturan, undang-undang) dengan fungsi sebagai pelaksana (fungsi penyampai jasa dan penegakan). Selain itu, mereka menggunakan berbagai

74

metode (kontrak, voucher, hadiah, insentif pajak, dan sebagainya) untuk membantu organisasi publik mencapai tujuan, memilih metode yang paling sesuai untuk mencapai efisiensi, efektivitas, persamaan, pertanggungjawaban, dan fleksibilitas. 2. Pemerintahan milik masyarakat

Pemerintah milik masyarakat mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pegawai negeri (dan juga pejabat terpilih, politisi) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah.

3. Pemerintahan kompetitif

Pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah melakukan perbaikan.

4. Pemerintahan berorientasi misi

Pemerintahan berorientasi misi melakukan deregulasi internal, menghapus banyak peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan sistem administratif, seperti anggaran, kepegawaian, dan pengadaan. Mereka mensyaratkan setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas, kemudian memberi kebebasan kepada manajer untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut, dalam batas-batas yang sesuai dengan hukum.

5. Pemerintahan berorientasi pada hasil

Pemerintah yang result-oriented mengubah fokus dari input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai ketepatan) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mereka mengukur kinerja badan publik, menetapkan target, memberi imbalan kepada badan-badan yang mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya anggaran.

6. Pemerintahan berorientasi pelanggan

Pemerintah berorientasi pelanggan memperlakukan masyarakat yang dilayani – siswa, orang tua siswa, pembayar pajak, warga yang mengurus KTP, pelanggan telepon – sebagai pelanggan. Mereka melakukan survei pelanggan, menetapkan standar pelayanan, memberi jaminan, dan sebagainya. Dengan masukan dan insentif ini, mereka mendesain organisasinya untuk menyampaikan nilai maksimum kepada pelanggan.

7. Pemerintahan wirausaha

Pemerintah berusaha memfokuskan energinya bukan sekadar menghabiskan anggaran, tetapi juga untuk menghasilkan uang. Mereka meminta masyarakat yang

_____________________Membangun Birokrasi Berorientasi Pasar: Masalah dan Tantangan, Muhammad Ashri

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

75

dilayani untuk membayar; menuntut return on investment. Mereka memanfaatkan insentif seperti dana usaha, dana inovasi guna mendorong para pimpinan badan pemerintah untuk berpikir mendapatkan dana operasional.

8. Pemerintahan antisipatif

Pemerintahan antisipatif adalah pemerintahan yang berpikir ke depan. Mereka mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menanggulangi masalah. Mereka menggunakan perencanaan strategis, pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.

9. Pemerintahan desentralisasi

Pemerintahan desentralisasi adalah pemerintah yang mendorong wewenang dari pusat pemerintahan melalui organisasi atau sistem. Mendorong mereka yang langsung melakukan pelayanan, atau pelaksana, untuk lebih berani membuat keputusan sendiri.

10. Pemerintahan berorientasi pasar

Pemerintah berorientasi pasar sering memanfaatkan struktur pasar swasta untuk memecahkan masalah daripada menggunakan mekanisme administratif, seperti menyampaikan pelayanan atau perintah dan kontrol dengan memanfaatkan peraturan. Mereka menciptakan insentif keuangan – insentif pajak, pajak hijau, affluent fees. Dengan cara ini, organisasi swasta atau anggota masyarakat berperilaku yang mengarah pada pemecahan masalah sosial. TANTANGAN IMPLEMENTASI POLA PEMERINTAHAN BERORIENTASI PASAR

Adopsi rezim neoliberal berbasis pasar oleh banyak negara termasuk negara berkembang, memengaruhi varian dari bentuk reformasi administrasi dengan nama pemerintahan yang berwirausaha, manajemen baru sektor publik, serta penguatan pendekatan untuk bersikap sebagaimana seorang usahawan.

M. Shamsul Haque (1999) berpendapat bahwa pendekatan semacam itu akan menumbuhkan sejumlah tantangan dalam penyediaan pelayanan publik terkait dengan legitimasi, etika, serta motivasi. Selain itu, menurut Haque, pandangan tersebut juga telah mengubah misi birokrasi publik, memengaruhi sifat dan komposisi jasa-jasa yang diberikan sektor publik kepada masyarakat sekaligus menyebabkan transformasi pola hubungan antara pemerintah dan masyarakat (Prasojo, Maksum, dan Kurniawan, 2006:152).

Dengan demikian, redefinisi kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik harus dilakukan mengingat sebelumnya pelayanan publik dituntut untuk dapat melayani semua kelas dan kelompok masyarakat tanpa terkecuali, khususnya kelas masyarakat yang terpinggirkan yang biasanya ditinggalkan oleh sektor swasta dalam mekanisme pasar.

76

Pendekatan berorientasi pasar menyebabkan masyarakat diredefinisikan sebagai konsumen atau klien dan karenanya memiliki implikasi terhadap pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam pola hubungan yang baru tersebut, terbentuk transaksi keuangan antara masyarakat dengan pemerintah dalam proses penyediaan layanan publik. Karenanya, kondisi yang semacam ini khususnya di negara berkembang dapat merugikan kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki kapasitas keuangan sebagai konsumen atau pengguna layanan (Prasojo, Maksum, dan Kurniawan, 2006:154).

Kondisi menyedihkan seperti digambarkan di atas, akan semakin parah akibatnya pada masyarakat yang kurang memiliki modal sosial (social capital), sebagaimana dicontohkan oleh Francis Fukuyama (2007:11) sebagai berikut:

Di sebuah kota kecil di Italia Selatan selama tahun 1950-an, Edward Banfield mencatat banyaknya warga negara kaya yang enggan untuk bersama-sama mendirikan sekolah atau rumah sakit, padahal kedua fasilitas umum ini sangat dibutuhkan oleh penduduk kota itu. Mereka juga begitu emoh untuk membangun perusahaan, meskipun mereka memiliki kelimpahan modal dan buruh. Alasannya sederhana, mereka menganggap bahwa membangun fasilitas umum adalah kewajiban negara, bukan mereka. Adopsi pendekatan pemerintahan yang berorientasi pasar menimbulkan akibat

lain terhadap konsep penyediaan layanan publik, yaitu terjadinya transformasi standar etika pelayanan publik selama ini, seperti akuntabilitas, keterwakilan, netralitas, daya tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban, ketidakberpihakan, serta kebaikan dan keadilan, digantikan oleh nilai pasar seperti efisiensi, produktivitas, efektivitas, kompetisi, dan pencarian keuntungan.

Demikianlah, implementasi prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha yang dikemukakan pada awal bab ini, tidak “semudah membalik telapak tangan” atau menyalin pola busana ke dalam jahitan. Tantangan tidak saja akan muncul dari masyarakat yang sekian lama diatur berdasarkan pola pemerintahan tradisional, melainkan juga bersumber dari perbedaan karakteristik mekanisme pasar dengan mekanisme layanan publik (pemerintahan), sebagaimana dideskripsikan dalam uraian berikut.

1. Ketersediaan informasi yang fair

Mekanisme pasar yang fair membutuhkan ketersediaan informasi yang sempurna bagi konsumen maupun produsen. Hal ini berarti transparansi merupakan unsur yang mutlak diperlukan. Realita menunjukkan bahwa transparansi sangat sulit dipenuhi karena keterbatasan alat, disparitas pengetahuan antara produsen dan konsumen, atau juga karena kesengajaan pejabat publik.

Moh. Mahfud MD. (2006:245-246), merujuk pada pendapat Klitgaard dkk. (2000), menyatakan bahwa pembatasan informasi secara sengaja, merupakan suatu cara korupsi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan khususnya di daerah. Moh. Mahfud MD., lebih lajut menguraikan cara-cara ini sebagai berikut:

_____________________Membangun Birokrasi Berorientasi Pasar: Masalah dan Tantangan, Muhammad Ashri

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

77

a. Perembukan secara diam-diam dengan cara tukar-menukar informasi pendahuluan antara pengusaha dengan pejabat (pemerintah dan anggota DPRD) sebelum sebuah proyek diumumkan dengan perjanjian adanya bahagian tertentu yang diperoleh pejabat yang bersangkutan dari keuntungan yang diperoleh pengusaha;

b. Dengan imbalan tertentu, pejabat daerah memberikan informasi sepihak tentang rencana proyek kepada pengusaha tertentu, sehingga yang bersangkutan dapat menyiapkan pemenuhan syarat-syarat terlebih dahulu.

Menurut Staffan Synnerstrom dari Bank Pembangunan Asia, ada dua faktor kunci untuk memperbaiki kinerja birokrasi, yaitu dengan meningkatkan transparansi dan memperkuat akuntabilitas. Khusus di Indonesia yang memiliki sekitar 3,6 juta pegawai negeri – di luar militer dan polisi – proses ini hanya bisa dilakukan secara gradual (Kompas, 28 Juni 2007).

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi (Krina, 2003).

Manfaat transparansi bagi masyarakat, pernah diungkapkan dengan baik oleh seorang Hakim Agung AS, Louis Dembitz Brandeis (1856–1941) sebagai berikut: “Sunlight is the best disinfectant and the electric light is the best policeman” (Mendel, 2003:iv). (Sinar matahari adalah [zat] yang terbaik untuk menangkal infeksi/penyakit, dan lampu [lalu lintas] adalah polisi yang terbaik). Ungkapan ini bermakna bahwa sesuatu harus terbuka bagi sinar matahari (transparan) untuk menghindari infeksi/penyakit (penyelewengan).

Sementara itu, akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan dan para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku serta kebutuhan masyarakat. Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi. Public accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas yang jelas dan efisien (Krina, 2003).

Prinsip ini menuntut dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi (consequences). Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.

Guy Peter menyebutkan adanya tiga tipe akuntabilitas yaitu: (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik (Krina, 2003). Dengan prinsip akuntabilitas, terdapat ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan pemerintah dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan layanan tersebut.

78

2. Karakteristik pemerintahan sebagai organisasi publik Berbeda dengan mekanisme pasar yang menjalin demand and supply secara

terbuka, organisasi publik memiliki karakteristik yang silent demand dari rakyat sebagai customers.

Karena itu, dalam konteks keindonesiaan, diperlukan komunikasi politik yang proaktif dari para wakil rakyat dengan konstituennya. Tanpa itu, rakyat sebagai customers makin apatis terhadap proses pengambilan keputusan dan menyerahkan penilaian-penilaian moralnya begitu saja pada sistem (Mudhoffir, 2006:130).

Situasi yang disebut terakhir pada gilirannya menjadi parah karena sebahagian pejabat politik di Indonesia tidak memenuhi kapasitas sebagaimana mestinya. Sebuah survey terhadap kapasitas pejabat politik (eksekutif mau pun legislatif) hasil Pemilu 2004 di beberapa Kabupaten yang didanai Bank Dunia pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa, sebagian pejabat politik kita itu tidak mengetahui persis tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang pejabat. Mereka -- misalnya -- tidak mengetahui cara pengelolaan anggaran; sumber-sumber pendapatan (daerah); proses penyusunan Perda; konsep-konsep dasar pembangunan; cara membuat perencanaan; dan bahkan secara umum mereka tidak dapat membuat gambaran tentang bagaimana keadaan ideal daerahnya selama 5 atau 10 tahun mendatang. Mereka memasuki kantor DPRD tanpa ide tentang apa yang akan dikerjakan selama lima tahun mendatang; They have no idea at all (Setiyono, 2007:8-9).

Salah satu unsur penting dalam menciptakan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) adalah dengan mereformasi birokrasi (civil service). Ini merupakan tantangan besar bagi Indonesia yang mewarisi institusi kepegawaian negeri yang masif, serba kekurangan dana, dan kurang profesional (Kompas, 28 Juni 2007).

3. Kompleksitas kinerja pemerintahan

Kompleksitas kinerja (complexity of performance), yakni keluaran (outcomes) yang diharapkan ditentukan oleh political market place, sehingga suatu kebijakan tidak selalu sejalan dengan rasionalitas manajemen publik.

Suatu instansi dapat saja menjalankan tugasnya dengan benar, akan tetapi apabila secara politis dianggap tidak baik, maka hasil kerjanya dapat saja dinilai tidak baik atau tidak didukung oleh rakyat atau parlemen. Instansi pemerintah seringkali menghadapi dilema ketika harus membuat kebijakan yang rasional tetapi tidak populis, atau membuat kebijakan populis tetapi secara teknis manajerial tidak rasional (Setiyono, 2007:63).

Contoh kebijakan yang rasional tetapi tidak populis, adalah Kebijakan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung yang menertibkan penambangan timah liar, Oktober 2006. Secara teknis manajerial, kebijakan ini sangat tepat mengingat penambangan liar itu berpotensi merusak tata kehidupan rakyat, akan tetapi kebijakan ini tentu tidak populis karena sebahagian besar rakyat di pulau itu terlibat penambangan liar. Akibatnya terjadi penentangan rakyat terhadap pemerintah daerah setempat yang berujung pada anarki.

_____________________Membangun Birokrasi Berorientasi Pasar: Masalah dan Tantangan, Muhammad Ashri

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

79

4. Model Birokrasi Tradisional tanpa Kompetisi Pengelolaan personil pemerintahan masih bercorak model birokrasi tradisional

di mana tidak ada iklim kompetisi (lack of producer competition). Pembentukan tradisi birokrasi di Indonesia lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja (Kartawidjaja, 2006:175).

Di samping itu, sistem pengembangan personil masih lemah membuat kinerja staf tidak memadai. Hal ini disebabkan karena sistem seleksi dan evaluasi yang kurang objektif. Pemberian kompensasi yang belum memenuhi kebutuhan pegawai berakibat rendahnya motivasi kerja dan merembet pada pencapaian dan pelaksanaan tujuan. Banyak pegawai yang meluangkan waktunya mencari tambahan penghasilan di luar kantor sehingga potensial mendorong timbulnya penyalahgunaan jabatan (Sarundajang, 2002:212-213).

Kegiatan kemersial aparat birokrasi untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan dapat merusak wibawa pemerintahan yang pada gilirannya merusak tatanan masyarakat, sebagaimana diungkapkan dengan bijak oleh masyarakat di daerah ini:

Tellu nassabari na masolang linoe. Narekko dangkanni Datu-E; sama’ni bellewe; takabboro’ni to Sugi’-E; na siri-ati to ni to kasi-asi-E (Tiga penyebab kerusakan dunia: Penguasa bersifat komersial; kebohongan merajalela; orang kaya dihinggapi kesombongan; dan orang miskin menjadi iri hati) (Pawiloy, 2002:27).

Mustopadidjaja AR (2003:9), menambahkan bahwa “Birokrasi di Indonesia juga masih dipengaruhi sikap budaya ‘foedalistis’, tertutup, sentralistik, serta ditandai pula dengan arogansi kekuasaan, tidak atau kurang senang dengan kritik, sulit dikontrol secara efektif, … . Dalam kondisi seperti itu, akan sulit bagi Indonesia untuk menghadirkan clean government dan good governance. 5. Karakteristik Hubungan Pemerintah dengan Masyarakat

Birokrasi berhubungan dengan pengguna jasanya (masyarakat) dengan tidak berdasarkan pada korelasi demand and supply, tidak ada kalkulasi untung rugi (self adjusting mechanism) berupa indikator rugi laba. Pemerintah tidak memiliki guidance yang pasti untuk menentukan apa dan bagaimana produk harus dihasilkan untuk merealisasikan misinya. Sebaliknya, institusi swasta memiliki product guidance sebagai consumer’s demand dan consumer sovereignty. Francis Fukuyama (2005b:108-109) menilai hal tersebut sebagai suatu kekurangan besar dari administrasi negara dibandingkan dengan manajemen sektor swasta, adalah bahwa perusahaan-perusahaan swasta terbuka pada suatu proses persaingan dan seleksi Darwinian yang kejam, sementara tidak demikian halnya dengan badan-badan sektor publik.

Lebih lanjut Fukuyama (2005b:108-109) mengutip artikel klasik Armen Alchian, bahwa “ragam yang acak dalam strategi perusahaan dan organisasi akan cukup menghasilkan evolusi ke arah efisiensi dari waktu ke waktu saat perusahaan-perusahaan yang kurang efisien tersingkirkan. Dalam sektor publik, sanksi terhadap

80

praktik terburuk seperti itu tidak ada, sehingga susunan-susunan administratif yang sangat suboptimal dapat tetap berjalan untuk jangka waktu yang panjang. Oleh karena itulah perlu pandangan ke depan dan pertimbangan rasional menyangkut model-model administratif.”

Dalam kaitan ini, diperlukan outward looking strategy kepada masyarakat sebagai pihak yang mendapatkan layanan. Strategi dan langkah ini biasa dikenal sebagai strategi yang bertumpu pada masyarakat (community based strategy) atau konsumen/pengguna (user based strategy), bertujuan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat atau konsumen/pengguna, khususnya masyarakat miskin. Lima aspek yang harus mendapatkan perhatian dalam strategi dan langkah ini, yaitu pemberdayaan (empowerment), kerjasama (cooperation), kesetaraan (equity), keberlanjutan (sustainability), dan keamanan (security).

Untuk menunjang tercapainya strategi outward looking tersebut, dibutuhkan perubahan paradigma pembangunan, dari pemerintah sebagai provider menjadi pemerintah sebagai enabler dan facilitator. Pemerintah menjadi lebih memfasilitasi daripada mengarahkan, atau dengan kata lain “menyetir” daripada “mendayung” (Prasojo, Maksum, dan Kurniawan, 2006:155). Dengan begitu, pemerintah tidak lagi menjadi pelaku utama dalam penyediaan layanan tertentu, melainkan hanya bertindak sebagai regulator.

Daniel Bell (Giddens, 2004:8), seorang Sosiolog Amerika mengungkapkan bahwa ”... suatu bangsa tidak hanya terlalu kecil untuk mengatasi masalah-masalah besar, tetapi juga terlalu besar untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil.” Pendapat ini bermakna mendorong pembagian tugas dalam kegiatan perekonomian di mana peran pemerintah sebagai regulator, pelaku dan profesi bisnis sebagai operator, dan peran controller oleh publik, parlemen, akademisi, LSM dan pers. PENUTUP McLeod berpendapat bahwa tantangan bagi masyarakat adalah bagaimana mendesain sebuah sistem pemerintahan yang dapat menjamin bahwa kepentingan seluruh masyarakat dapat didahulukan secara efektif, sedangkan kepentingan pribadi pihak-pihak yang berada dalam pemerintahan dapat diawasi. Inilah esensi dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu terbangunnya sebuah mekanisme sampai ke level terbawah, di mana mereka yang diberi otoritas dapat menjalankan mandat dari pihak yang telah memberinya kepercayaan (Kompas, 28 Juni 2007). Untuk mempercepat perbaikan sistem pemerintahan dimaksud, perlu disimak pendapat DiMaggio & Powel (Setiyono, 2007:206-207) yang mengemukakan bahwa ada tiga cara (mekanisme) yang menghasilkan perubahan (isomorphic) dalam hal ini, yaitu:

a. Coersive isomorphism adalah perubahan yang dihasilkan oleh tekanan politik secara formal maupun informal oleh lembaga di luar birokrasi (extra-bureaucracy);

_____________________Membangun Birokrasi Berorientasi Pasar: Masalah dan Tantangan, Muhammad Ashri

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

81

b. Mimetic isomorphism adalah perubahan yang dihasilkan dari kecerdasan eksponen organisasi untuk merespon ketidakpastian dan keterbatasan. Ketika teknologi dan fasilitas yang dimiliki buruk, tujuan negara tidak jelas, anggaran kurang dan tidak pasti, serta karir pegawai tidak terstruktur, maka suatu organisasi biasanya akan berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan yang menimpanya itu;

c. Normative isomorphism adalah perubahan organisasi yang berhubungan dengan profesionalisasi. Dua aspek profesionalisasi yang merupakan sumber penting dari normative isomorphism, adalah pendidikan formal dan pelatihan, dan juga jaringan profesional yang mengagendakan perubahan inovasi.

Akan tetapi, ketiga organizational isomorphism tersebut di atas tidak akan terjadi manakala lingkungan di mana organisasi itu ada tidak mendukung terjadinya perubahan. Oleh karena itu, di samping adanya kemauan institusi publik untuk berubah itu penting, dukungan masyarakat dan negara untuk berubah juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya. DAFTAR PUSTAKA Fukuyama, Francis. 2005a. Human Nature and the Reconstitution of Social Order

(Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru). Diterjemahkan oleh Masri Maris. Jakarta: Freedom Institute dan PT. Gramedia Pustaka Utama.

-----------------------. 2005b. State Building: Governance and World Order in the 21st Century (Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21). Diterjemahkan oleh A. Zaim Rofiki. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

-----------------------. 2007. TRUST: The Social Virtues and the Creation of Prosperety (TRUST: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemak-muran). Cet. Ke-2. Diterjemahkan oleh Ruslani. Yogyakarta: Qalam.

Giddens, Anthony. 2004. Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives (Dunia Yang Lepas Kendali: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita). Cet. Ke-2. Diterjemahkan oleh Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Harian Kompas. ”Tantangan bagi Proses Reformasi di Indonesia: RI Masih Punya Harapan.” Edisi 28 Juni 2007: 1 dan 15 <http:// www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/28/utama/3633065.htm> terakhir dikunjungi 29 Juni 2007.

Kartawidjaja, Pipit R. 2006. Pemerintah Bukanlah Negara: Studi Komparasi Administrasi Pemerintah RI dengan Negara Jerman, Cet. Ke-3 Edisi Revisi. Surabaya: Henk Publishing.

Mahfud MD, Moh. 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

82

Mendel, Toby. 2003. Freedom of Information: A Comparative Legal Survey. New Delhi: Regional Bureau for Communication and Information UNESCO, dalam <http://www.portal.unesco.org/ci/en/files/19697/11232335_331freedom_info_en.pdf/freedom_info_en.pdf> terakhir dikunjungi 29 Juni 2007.

Mudhoffir, Abdil Mughis. 2006. ”Partai Politik dan Pemilih: Antara Komunikasi Politik vs. Komoditas Politik.” Jurnal Kostitusi. Vol. 3 No. 4 (Desember 2006): 121-143.

Mustopadidjaja AR. 2003. “Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN.” Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Depkeh-HAM, 14-18 Juli 2003 di Denpasar.

Osborne, David dan Peter Plastrik. 2004. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government (Memangkas Birokrasi: Lima Strategi menuju Pemerintahan Wirausaha, Seri Manajemen Strategi No. 3). Edisi Ke-2, Cet. Ke-2. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta: Penerbit PPM.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 2005. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (Mewirausahakan Birokrasi: Seri Manajemen Strategi No. 4). Cet. Ke-8. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Jakarta: Penerbit PPM.

Pawiloy, Sarita. 2002. Ringkasan Sejarah Luwu. Makassar: CV. Telaga Zamzam dan Proyek Pelestarian Budaya dan Sejarah Luwu.

Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Jakarta: DIA FISIP Universitas Indonesia.

Sarundajang, S. H. 2002. Pemerintah Daerah di Berbagai Negara: Tinjauan Khusus Pemerintahan Daerah di Indonesia: Perkembangan, Kondisi, dan Tantangan. Cet. Ke-3. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Setiyono, Budi. 2007. Pemerintahan dan Manajemen Sektor Publik: Prinsip-prinsip Manajemen Pengelolaan Negara Terkini. Jakarta: Kalam Nusantara dan Jurusan Pemerintahan UNDIP.

Stegar, Manfred B. 2006. Globalism: The New Market Ideology (Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar). Cet. Ke-2. Diterjemahkan oleh Heru Prasetia. Yogyakarta: Lafadl Pustaka.

_____________________Membangun Birokrasi Berorientasi Pasar: Masalah dan Tantangan, Muhammad Ashri

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

83

GOOD GOVERNANCE DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PELAYANAN PUBLIK

ASKARI RAZAK

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

ABSTRAK: Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dalam proses maupun hasil keputusannya benar-benar mencerminkan akuntabilitas dan transparan, dalam menerima perbedaan dan kontrol dari masyarakat, serta hukum harus ditegakkan secara nyata. Oleh karena itu nayatalah urgensi good governance dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik yang apabila diinternalisasi maka pemenuhan kebutuhan yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu tujuan dari pelayanan publik akan dapat terwujud (diimplementasikan). Kata Kunci: Pelayanan Yang Akuntabel

PENDAHULUAN

Good Governance (tata kelola pemerintahan yang baik) sudah lama menjadi harapan banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka mengenai good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik governance yang lebih baik maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga.

Pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis karena perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung ”berjalan di tempat” sedangkan implikasinya sangat luas dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan pelayanan publik akan memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini agar dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya pelayanan publik di Indonesia sering menjadi variabel yang dominan mempengaruhi penurunan investasi yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja. Sayangnya, perbaikan pelayanan publik dalam berbagai studi yang dilakukan tidaklah berjalan linear dengan reformasi yang dilakukan dalam berbagai sektor sehingga pertumbuhan investasi malah bergerak ke arah negatif. Akibatnya harapan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menolong bangsa ini keluar dari berbagai krisis ekonomi belum terwujud.

Dalam kehidupan politik, perbaikan pelayanan publik juga sangat berimplikasi luas khususnya dalam memperbaiki tingkat kepercayaan kepada pemerintah. Buruknya pelayanan publik selama ini menjadi salah satu variabel penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan masyarakat teraktualisasi dalam bentuk protes dan demonstrasi yang cenderung tidak

84

sehat menunjukkan kefrustasian publik terhadap pemerintahnya. Oleh karena itu, perbaikan pelayanan publik mutlak diperlukan agar image buruk masyarakat kepada pemerintah dapat diperbaiki, karena dengan perbaikan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, dapat mempengaruhi kepuasan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dibangun kembali.

Sementara itu di dalam bidang sosial budaya, pelayanan publik yang buruk mengakibatkan terganggunya psikologi masyarakat yang terindikasi dari berkurangnya rasa saling menghargai di kalangan masyarakat, timbulnya saling curiga, meningkatnya sifat eksklusifisme yang berlebihan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpedulaian masyarakat baik terhadap pemerintah maupun terhadap sesama. Akibat yang sangat buruk terlihat melalui berbagai kerusuhan dan tindakan anarkhis di berbagai daerah. Seiring dengan hal itu masyarakat cenderung memilih jalan pintas yang menjurus ke arah negatif dengan berbagai tindakan yang tidak rasional dan cenderung melanggar hukum. Berbagai masalah yang teridentifikasi tersebut tampaknya dapat diatasi secara perlahan dengan pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pelayan publik dengan cara menginternalisasi nilai-nilai good governance.

Tidak dapat dipungkiri, baik di negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang, birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh birokrasi pemerintah; mulai dari peran mengatur kehidupan masyarakat (regulative), melindungi masyarakat (protective), mendistribusikan sumberdaya yang terbatas dari kelompok yang mampu ke kelompok yang kurang mampu (redistributive), memberikan subsidi agar masyarakat mau melakukan kegiatan yang diinginkan pemerintah (distributive), sampai pemberian pelayanan publik (public service). Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ada pameo sebagaimana yang dikatakan oleh Stiglitz: from birth to death, our lives are affected in countless ways by the activities of governm (yang artinya kurang lebih adalah sejak lahir sampai mati seorang warga negara tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan birokrasi pemerintah).

Merujuk pada bentangan uraian di atas, dan mengingat peran good governance dalam hubungannya dengan pelayanan publik (public service) memiliki kompleksitas yang tinggi dan kendala yang tidak sedikit namun urgen, maka menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dan untuk hal tersebut dalam makalah ini akan diulas dengan terlebih dahulu mengajukan suatu pertanyaan bahwa: ”Sejauh mana peran good governance dalam mewujudkan pelayanan publik?”

PEMBAHASAN

Pengertian Good Governance

Guna memberikan pemahaman terhadap objek kajian yang akan dibahas dalam

makalah ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa deskripsi atau pengertian dari good governance dan pelayanan publik.

__________________________Good Governance dalam Hubungannya dengan Pelayanan Publik, Askari Razak

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

85

Membincang mengenai pemerintahan (governance) maka secara refrensial (refrensial) ditemukan berbagai peristilahan yang mengatributinya. Di antara peristilahan dimaksud adalah antara lain: Tata Pemerintahan, Penyelenggaraan Negara, Tata Kelola Pemerintahan, kepemerintahan yang baik dan masih terdapat berbagai terjemahan lainnya. Dari sekian banyak peristilahan sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa persoalan governance (good governance) sungguh-sungguh mengandung muatan yang sarat dengan kompleksitasnya. Kompleksitas dimaksud tergambar secara visualistik dari pengertian yang menyebutkan bahwa apapun terjemahannya ggod governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi-institusi lain, LSM, Perusahaan Swasta maupun warga negara. Bahkan institusi non pemerintah ini, dapat saja memegang peran dominan dalam governance tersebut, atau malah lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun (governance without government).

Meskipun perspektif governance mengimplementasikan terjadinya pengurangan peran atau intervensi pemerintah namun pemerintah secara eksistensial sebagai suatu institusi tidak dapat dinafikan begitu saja. Dalam kerangka ini pemerintah dituntut untuk memposisikan keberdayaannya atau bersikap dalam hal keberlangsungan suatu proses governance dalam konteks government atau pemerintah dituntut untuk berperan secara profesional dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Deskripsi lain dari governance juga telah didefinisikan oleh World Bank sebagai ”The way state power is used in managing economic and social resources for development and society”. Sementara itu United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai ”The exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nations’s affair at all levels”.

Mencermati deskripsi di atas, dapatlah dipahami bahwa secara substansial governance ditopang oleh tiga komponen yaitu:

1. Political governance yang dimaknai sebagai proses keputusan untuk formulasi kebijakan.

2. Economic governance yang didalamnya melingkupi proses pembuatan keputusan (decision making process) yang memfasilitasi terwujudnya equity, proverty and quality of live.

3. Administrative governance adalah dimaksudkan sebagai sistem implementasi proses kebijakan.

Dari ketiga bagunan komponen governance di atas, yang dalam hal ini governance dalam kerangka institusi, menderivasi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. State berfungsi menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

86

PENGERTIAN PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan publik dalam beberapa tahun terakhir ini menggelinding bagakan bola salju yang tidak hanya menyentuh ranah administrasi publik (economic sector), tapi juga telah merambah dan ditransformasi ke dalam birokrasi pemerintahan. Sebagai suatu objek kajian yang sarat dengan nuansa aktual, maka dipandang perlu untuk mengkajinya. Namun demikian sebelum mengurai lebih lanjut mengenai hal ini, akan dikemukakan beberapa deskripsi mengenai pelayanan publik.

Pelayanan publik secara konseptual, perlu dibahas pengertian kata demi kata. Untuk menelaah pelayanan publik secara terminologi, perlu dibahas pengertian kata demi kata. Menurut Kotler pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antarseseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara, atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan.

Sementara itu, istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat. Inu dan kawan-kawan mendefinisikan publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang merasa memiliki. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Dari pengertian pelayanan dan publik sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapatlah dirumuskan istilah pelayanan publik sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara.

Selanjutnya dalam Kepmenpan No. 63/KEP/M/PAN/17/2003 dikemukakan bahwa: Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksana ketentuan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik dirumuskan bahwa: Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

__________________________Good Governance dalam Hubungannya dengan Pelayanan Publik, Askari Razak

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

87

Dari serangkaian pengertian-pengertian tentang pelayanan publik di atas, maka dapatlah ditarik suatu pemahaman bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh institusi pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

GOOD GOVERNANCE DALAM PELAYANAN PUBLIK

Konsep Good Governance

Sekitar tahun 1996, menjelang berlangsungnya reformasi publik di Indonesia,

beberapa lembaga internasional seperti United Nation Development Program (UNDP) dan World Bank, memperkenalkan terminologi baru yang disebut sebagai good public governance atau good governance. Popularitas terminologi ini mencuat di kalangan pemerintah, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat sejalan dengan pemberian bantuan yang diarahkan pada pengembangan good governance. Karena sangat gencar dipromosikan, saat ini istilah good governance merupakan kata yang sangat sering diucapkan dalam berbagai ruang diskusi di Indonesia seperti demokrasi dan otonomi. Kita dapat mendengarnya di setiap diskusi, seminar, lokakarya dan pidato pejabat maupun berita atau artikel di media massa.

Oleh karena itu wajarlah jika kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi. Pola lama penyelenggaraan pemerintah, kini sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspons oleh pemerintah dengan melakukan perubahan yang terarah pada terwujudnya pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Good governance sebagai suatu instrumen yang didalamnya terkandung berbagai prinsip-prinsip menduduki posisi yang sangat penting dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Terhadap prinsip-prinsip yang terkandung dalam good governance United Nation Development Program (UNDP) merumuskannya ke dalam delapan prinsip yaitu:

1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.

88

Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.

4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.

5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

6. Effectiveness dan efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

8. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Sementara itu terdapat juga pandangan lain yang menyebut good governance memiliki 10 (sepuluh) prinsip (yang mirip dengan UNDP), yaitu:

1. Partisipasi. Warga memiliki hak dan mempergunakannya untuk menyampaikan pendapat, bersuara lantang atau tidak dalam proses perumusan kebijakan publik.

2. Penegakan hukum. Hukum diperlakukan tanpa kecuali, HAM dilindungi, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

3. Transparansi. Penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

4. Kesetaraan. Adanya peluang dan kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk beraktivitas/berusaha.

5. Daya tangkap. Pekanya para pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat.

6. Wawasan ke depan pengelolaan masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi dan strategi yang jelas.

7. Akuntabilitas. Laporan para penentu kebijakan kepada masyarakat. 8. Pengawasan publik. Terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatan

pemerintah, termasuk parlemen. 9. Efektivitas dan efisien. Terselenggaranya kegiatan publik dengan

sumberdaya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya adalah pelayanan yang mudah, cepat, murah dan tepat waktu.

10. Profesionalisme, tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah, termasuk parlemen.

Atas dasar uraian tersebut, maka dapat dimengerti bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung

__________________________Good Governance dalam Hubungannya dengan Pelayanan Publik, Askari Razak

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

89

jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara ketiga domian; negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.

Jika dilihat dari ketiga domian dalam governance, tampaknya domian state menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance.

Dengan demikian semakin nyatalah urgensi good governance dalam suatu penyelenggaraan negara, sehingga dapat diyakini bahwa apabila prinsip-prinisp yang terkandung di dalamnya (prinsip-prinsip good governance) diinternalisasi oleh penyelenggara pelayanan publik (pemerintah) pada setiap aktivitasnya yang berpaut dengan pelayanan, maka pemenuhan kebutuhan (yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan masyarakat) sebagai salah satu tujuan dari pelayanan publik akan terwujud.

Konsep Pelayanan Publik

Proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia memberikan

pelajaran yang berharga bagi birokrasi (pemerintah) disatu pihak, dan warga negara (masyarakat) di pihak lain. Wajah dan sosok birokrasi sudah sepantasnya mengalami perubahan dari birokrasi yang otoriter ke arah birokrasi yang lebih demokratis, responsif, transparan dan non partisan.

Birokrasi tidak dapat lagi menempatkan diri sebagai sosok institusi yang ”angkuh” dan tak tersentuh oleh kritik dari pihak luar birokrasi. Gelombang reformasi politik yang berawal tahun 1997 dapat mulai meruntuhkan tembok keangkuhan birokrasi dan melahirkan masyarakat sipil (civil society) yang kuat. Tuntutan masyarakat mengenai perlu dilakukannya perbaikan kinerja birokrasi politik hingga kini masih menjadi wacana politik. Di smaping itu, semakin maraknya isu demonstrasi telah memperkuat posisi masyarakat sipil untuk menuntut hak-hak mereka ketika berhubungan dengan birokrasi.

Dalam konteks yang demikian, birokrasi publik perlu merevitalisasi diri agar dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang demokratis, efisien, responsif dan non partisan. Apabila birokrasi publik (sebagai penyelenggara pelayanan publik) tidak dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas, maka birokrasi publik akan

90

ditinggalkan oleh warga pengguna. Ini berarti birokrasi publik telah gagal dalam mengemban misi memberikan pelayanan kepada publik.

Berangkat dari substansi uraian di atas melahirkan suatu kerisauan bahwa mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk membangun praktik good governance? Mengapa bukan aspek-aspek kegiatan pemerintahan lainnya? Bukankah terdapat banyak persoalan yang dihadapi pemerintah yang juga sangat mendesak untuk ditangani oleh pemerintah di luar praktik penyelenggaraan pelayanan publik? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab agar pilihan membangun praktik penyelenggaraan pelayanan melalui reformasi pelayanan publik benar-benar diyakini dapat membawa pemerintah Indonesia menuju pada praktik good governance. Atau dengan kalimat lain, reformasi pelayanan publik di Indonesia dapat memiliki dampak yang meluas terhadap perubahan aspek-aspek kehidupan pemerintahan lainnya sehingga perubahan pada praktik penyelenggaraan pelayanan publik dapat menjadi lokomotif bagi upaya perubahan menuju good governance.

Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia adalah bahwa pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga dan masyarakat luas.

Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya sebuah mitos tetapi dapat menjadi suatu kenyataan. Kepercayaan diri sangat penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti sekarang ini, mengingat kegagalan-kegagalan program reformasi pemerintahan selama ini telah menggerogoti semangat warga bangsa sehingga merasa pesimis untuk benar-benar dapat mewujudkan Indonesia baru yang bercirikan praktik good governance. Meluasnya praktik bad governance di banyak daerah sering meruntuhkan semangat pembaharuan yang dimiliki oleh sebagian warga bangsa, dan sebaliknya, semakin menumbuhkan pesimisme dan apatisme di kalangan masyarakat.

Salah satu produk organisasi publik adalah pelayanan publik dan produk dari pelayanan publik di dalam negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, responsibility, dan accountability.

(1) Responsiveness atau responsivitas adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.

(2) Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan.

(3) Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan

__________________________Good Governance dalam Hubungannya dengan Pelayanan Publik, Askari Razak

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

91

kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.

Sementara itu terdapat pandangan yang memasukkan dimensi waktu, yaitu menggunakan ukuran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dalam melihat kinerja organisasi publik. Dalam hal ini, kinerja pelayanan publik terdiri dari produki, mutu, efisiensi, fleksibilitas dan kepuasan untuk ukuran jangka pendek; persaingan dan pengembangan untuk jangka menengah; serta kelangusngan hidup.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa untuk mengukur kualitas pelayanan publik dibutuhkan sejumlah indikator (multi indicator). Kualitas pelayanan publik dapat dicermati dari aspek proses pelayanan dan dari aspek output hasil pelayanan. Sebagai contoh, KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang sudah habis masa berlakunya dapat diperpanjang dengan cara pengiriman langsung KTP baru ke alamat pemiliknya. Selama ini prosedur perpanjangan KTP sama seperti prosedur mencari KTP baru yang diawali dari surat pengantar Ketua RT, disahkan oleh Ketua RW kemudian dibawa ke kelurahan atau balai desa. Dari kelurahan mendapat surat yang harus dibawa ke kecamatan. Sampai di kecamatan KTP diproses selama 5 hari, setelah KTP jadi baru kemudian bisa diambil oleh pemiliknya. Sekedar perbandingan, di kota Adelaide, Australia Selatan ada contoh kasus menarik mengenai perpanjangan SIM (Surat Ijin Mengemudi) dan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan). Satu minggu sebelum SIM dan STNK berakhir, pemilik SIM atau STNK akan menerima SIM atau STNK baru. Apabila dia masih membutuhkan SIM atau STNK, dia harus membayar Departemen Transportasi sehingga SIM atau STNK tersebut valid. Sebaliknya, apabila yang bersangkutan sudah tidak memerlukan SIM atau STNK, dia tidak perlu membayar dan konsekuensinya SIM atau STNK yang diterimanya tadi menjadi tidak berlaku.

Hakikat, Asas dan Standar Pelayanan Publik

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim

dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Sebagai contoh, dapat dilihat pada proses kelahiran seseorang bayi. Ketika sang bayi lahir, dia akan menangis karena menghadapi situasi yang sangat berbeda ketika ia masih berada dalam kandungan. Jeritan bayi tersebut membutuhkan pelayanan dari ibunya. Ketika memperoleh pelayanan (kasih sayang) dari ibunya bayi tersebut akan merasa nyaman dan berhenti menangis, sebaliknya dia akan tersenyum bahagia. Proses kelahiran ini menunjukkan betapa pelayanan seorang ibu yang menyenangkan sangatlah dibutuhkan. Hal senada juga dikemukakan Budiman Rusli yang berpendapat bahwa selama hidupnya, manusia selalu membutuhkan pelayanan. Pelayanan menurutnya sesuai dengan Life Cycle Theory of Leadership (LCTL) bahwa pada awal kehidupan manusia (bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi, tetapi seiring dengan usia manusia pelayanan yang dibutuhkan akan semakin menurun.

Menarik benang merah pada deskripsi pelayanan sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu (kajian pustaka), dan visualisasi pelayanan yang terekam sebagai contoh yang dari uraian di atas, maka hakikat dari suatu pelayanan

92

adalah pemenuhan kebutuhan. Demikian halnya pada ranah pelayanan publik, pelayanan prima kepada masyarakat merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah (birokrasi) sebagai bestuur bagi rakyatnya.

Sebagai pengejawantahan dari hakikat pelayanan publik tersebut di atas, tentulah dalam pelaksanaannya disandarkan pada asas-asas yang terkandung dalam pelayanan publik itu sendiri.

Dalam keputusan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan, dikemukakan bahwa asas-asas pelayanan meliputi: (1)Transparansi, (2) Akuntabilitas, (3) Kondisional, (4) Partisipatif, (5) Kesamaan Hak, dan (6) Keseimbangan Hak dan Kewajiban.

Dari serangkaian asas-asas pelayanan publik sebagaimana terurai di atas, ketika ditransformasi ke ranah pelayanan publik yang bersifat implementatif, maka muaranya harus berujung pada terpenuhinya suatu standar pelayanan.

Berbicara tentang pelayanan publik telah menjadi keabsolutan untuk dipenuhinya suatu standarisasi. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggara pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan/atau penerima pelayanan. Standar pelayanan dimaksud, sekurang-kurangnya meliputi: (1) Prosedur Pelayanan, (2) Waktu penyelesaian, (3) Biaya pelayanan, (4) Produk pelayanan, (5) Sarana dan Prasarana, (6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan.

Penetapan standarisasi pelayanan sebagaimana dimaksud di atas, sesungguhnya dimaksudkan untuk menghasilkan suatu output pelayanan yang maksimal. Dengan demikian jika hakikat, asas dan standar pelayanan publik ini dikorelasikan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam good governance maka tampak semakin jelas hubungan sangat intens di dalamnya. Oleh karena itu dengan menginternalisasi semua hal-hal tersebut, niscaya pelayanan publik yang berbasis good governance akan terfaktakan.

PENUTUP

Penerapan prinsip-prinsip good governance (tata kepemerintahan yang baik) di

lingkungan pemerintahan, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen Planning, Organizing, Actuating dan Controlling yang dilaksanakan secara profesional dan konsisten, mampu menghasilkan kemitraan positif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan masyarakat. untuk meningktakan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam rangka penciptaan good governance di Indonesia paling tidak ada tiga sasaran yang dapat dilakukan, yaitu: 1. Membutuhkan restrukturisasi hirarki dan transisi ke dalam manajemen

pemerintahan yang menekankan pada tanggung jawab individual terhadap semua keputusan dan tindakan yang diambil. Hal ini membutuhkan integrasi vertikal sehingga penyelenggaraan pemerintahan tidak berbelit-belit dan setiap pegawai dapat secara cepat mengambil keputusan dan tindakan, serta bertanggung jawab terhadap hal tersebut.

2. Melakukan rekayasa proses dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga proses pemerintahan akan semakin mudah, efisien, dan efektif. Dengan rekayasa proses

__________________________Good Governance dalam Hubungannya dengan Pelayanan Publik, Askari Razak

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

93

ini, penyelenggaraan pemerintahan akan semakin responsif dengan kebutuhan masyarakat dan menutup semua bentuk tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya korupsi.

3. Melakukan perubahan terhadap kompetensi dan perbaikan moral penyelenggara negara, utamanya para birokrat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto, 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,

Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Agus Dwiyanto, dkk., 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta,

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada. Budiman Rusli, Pelayanan Publik di Era Reformasi, www.pikiran-rakyat.com edisi 7

Juni 2004 Gibson, James L., John M. Ivancevich, dan Jammes H. Donelly, 1996. Organisasi dan

Manajemen Prilaku, Struktur dan Proses (Terjemahan), Jakarta, Bina Rupa.

Inu Kencana Syafiie, dkk., 1999. Ilmu Administrasi Publik, Jakarta, Rineka Cipta. J.S. Badudu, Sutan Mohammad Zain, 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta,

Pustaka Sinar Harapan. Lenvine, 1998. Public Administration: Chalenges Choice, Consequences, Illionis,

Scott Foreman. Lijan Poltak Sinambela, 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Teori, Kebijakan dan

Implementasi, Jakarta, Bumi Aksara. Masbakar, Materi Kuliah Hukum Tata Pemerintahan pada Program Doktor Ilmu

Hukum PPS-UNHAS, 2007. Pipit R. Kartawidjaja, 2006. Pemerintah Bukanlah Negara, Surabaya, Henk

Publishing. Ratminto & Atik Septi Winarsih, Manajemen Pelayanan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Sampara Lukman, 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta, STIA LAN Press. Sedarmayanti, 2003. Good Qovernance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka

Otonomi Daerah, Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan, Bandung, Mandar Maju.

Stiglitz, 1988. Economics of The Public Sector, New York, WW Norton and Company Ltd.

94

BEBERAPA TANGGUNG JAWAB DALAM HUKUM KESEHATAN

SUWARTI JAFAR Dosen YAPTI Jeneponto

Abstrak: Pembangunan kesehatan di Indonesia pada hakikatnya adalah upaya peningkatan mutu kesehatan warga negara dan penduduk, agar tercapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, supaya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum yang merupakan tujuan nasional. Kesehatan masyarakat mencakup semua kehidupan baik, perorangan, keluarga, kelompok manusia maupun bangsa. Dengan demikian setiap penduduk berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat ini maka setiap orang mempunyai hak atas pemeliharaan kesehatan (the right to health care).

Kata Kunci: Hak atas kesehatan, hukum kesehatan PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan di Indonesia pada hakikatnya adalah upaya peningkatan mutu kesehatan warga negara dan penduduk, agar tercapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk, supaya dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum yang merupakan tujuan nasional. Kesehatan masyarakat mencakup semua kehidupan baik, perorangan, keluarga, kelompok manusia maupun bangsa. Dengan demikian setiap penduduk berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Dalam kaitan dengan kesehatan masyarakat ini maka setiap orang mempunyai hak atas pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hukum kesehatan yang ada di Indonesia dewasa ini tidak dapat lepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara dan atau masyarakat, maka ada 2 (dua) sistem hukum di dunia yang dimaksud adalah sistem hukum sipil kodifikasi dan sistem hukum kebiasaan common law sistem. Kemudian di mungkinkan ada sistem hukum campuran, khususnya bagi suatu masyarakat majemuk (Pluralistik) seperti Indonesia memungkinkan menganut sistem hukum campuran. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi pemberi jasa pelayanan kesehatan maupun bagi penerima jasa pelayanan kesehatan, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar bagi pembangunan di bidang kesehatan diperlukan adanya perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Banyak terjadi perubahan terhadap kaidah-kaidah kesehatan, terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terkait di dalam upaya kesehatan serta perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait.

____________________________________Beberapa Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan, Suwarti Jafar

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

95

Hubungan Hukum dan Tanggungjawab Dalam KUHPerdata dapat ditemukan beberapa pasal yang mengatur tentang tanggung jawab perdata apabila merugikan orang lain akibat ”perbuatan melanggar hukum”, antara lain diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1367 KUHPerdata. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata diatur bahwa : ”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Mengenai ketentuan pasal 1365 tersebut, maka suatu perbuatan melanggar hukum haruslah mengandung unsur-unsur (Munir Fuady, 2002:10) sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan; 2. Perbuatan tersebut melanggar hukum; 3. Adanya kerugian dari pihak korban 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 ayat (7) dan (9) tentang Kesehatan, menyatakan bahwa; ”Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat, dan bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”. Dalam hal ini pemerintah berupaya melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 74, menyatakan bahwa:

1. mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal 2. terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan pembekalan yang

cukup, aman, bermutu, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat 3. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang dapat

menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan. 4. memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan kesehatan 5. meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan. Dalam hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit, dibedakan

pada dua macam perjanjian yaitu: a). Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan di mana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan. b). Perjanjian pelayanan medis di mana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis Inspannings Verbintenis (Fred Ameln, 1991: 75-76). Untuk menilai sahnya perjanjian tersebut dapat diterapkan pasal 1320 KUHPerdata, sedangkan untuk pelaksanaan perjanjian itu sendiri harus di laksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata. Dengan adanya ketentuan di atas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit. Perjanjian yang terjadi antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah berlaku secara sah sebagai undang-undang mengikat bagi para

96

pihak yang terlibat dalam pembuatannya, perjanjian itu harus dilaksanakan berdasarkan dengan itikad baik dari pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit. Maka para pihak paham akan posisinya, sehingga kepastian dan rasa perlindungan hukum bagi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dapat terwujud secara baik dan optimal. Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggungjawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Tenaga medis, dalam hal ini dokter, memiliki tanggungjawab terhadap pengobatan yang sedang dilakukan. Tindakan pengobatan dan penentuan kebutuhan dalam proses pengobatan merupakan wewenang dokter. Keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya ( Harian Kompas, 15 April 2004).Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, termasuk pemberi jasa pelayanan kesehatan agar bertanggungjawab terhadap profesi yang diberikan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan. Perlindungan terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup, cuma sangat di sayangkan kaidah-kaidah dasar dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang memerlukan peraturan pelaksanaan sampai akhir abad ke 20 dan memasuki abad ke 21, masih belum mendapatkan realisasinya, karena pemerintah cq Departemen Kesehatan RI. Sampai saat ini baru sanggup membuat beberapa peraturan pelaksanaan antara lain Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Rumah sakit dalam menjamin perlindungan hukum bagi dokter/tenaga kesehatan agar tidak menimbulkan kesalahan medik dalam menangani pasien, sekaligus pasien mendapatkan perlindungan hukum dari suatu tanggungjawab rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Dalam kaitan dengan tanggungjawab rumah sakit, maka pada prinsipnya rumah sakit bertanggungjawab secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHPerdata. Selain itu rumah sakit juga bertanggungjawab atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365 KUHPerdata) (Fred Ameln, 1991: 71). Peran dan fungsi Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan (YANKES) yang profesional akan erat kaitannya dengan 3 (tiga) unsur, yaitu yang terdiri dari : 1. Unsur mutu yang dijamin kualitasnya; 2. Unsur keuntungan atau manfaat yang tercermin dalam mutu pelayanan; dan 3. Hukum yang mengatur perumahsakitan secara umum dan kedokteran dan/atau

medik khususnya (Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 118). Penulis berpendapat bahwa unsur-unsur itu akan bermanfaat bagi pasien dan dokter/tenaga kesehatan serta rumah sakit, di sebabkan karena adanya hubungan yang saling melengkapi unsur tersebut. Pelayanan kesehatan memang sangat membutuhkan kualitas mutu pelayanan yang baik dan maksimal, dengan manfaat yang dapat di rasakan oleh penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit). Dalam hal ini dokter dan tenaga

____________________________________Beberapa Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan, Suwarti Jafar

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

97

kesehatan lainnya perlu memahami adanya landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dengan pasien (kontrak-terapetik), mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter dan adanya wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan (M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999: 29). Memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pelayanan medik dan standar profesi medik, pemahaman tentang malpraktek medik, penaganan penderita gawat darurat, rekam medis, euthanasia dan lain-lain adalah pengetahuan masa kini yang perlu untuk didalami secara profesional. Agar tidak terjadi tindakan medik yang menimbulkan kesalahan dan atau kelalaian dari dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit, yang akan menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Dinamika kehidupan masyarakat juga berlangsung pada aspek kesehatan, sehingga kadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur pidana, dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa, merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawab secara pidana. Sebagai kesalahan tadi, culpa misalnya, ia mengandung 2 unsur ataupun persyaratan, yaitu: 1. kurang hati-hati, kurang waspada dan kurang “voorzichtig.” 2. Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (kurang dapat “voorzien”)

(Oemar Seno Adji,1991: 125). Suatu hubungan kausal yang lebih merupakan kesalahan profesi dokter, dan

dapat dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi kewajiban dan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Jika pasal 322 KUHP dapat memidanakan seorang dokter karena melanggar kewajibannya untuk merahasiakan apa yang menjadi pengetahuannya, maka Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut disebut pula Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1966 di mana Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan administratif terhadap seorang dokter,yamg tidak dapat dipidanakan berdasarkan pasal 322 KUHP (Oemar Seno Adji, 1999: 45). Apabila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien atau penerima jasa pelayanan kesehatan dapat menuntut haknya, yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Masih terdapat peraturan-peraturan pidana lainnya bersangkutan dengan kesalahan/kelalaian dari seorang dokter/tenaga kesehatan seperti pasal 351,356 KUHP mengenai penganiayaan, di mana penganiayaan tersebut dianalogikan dengan sengaja merusak kesehatan dan pasal 359,360 dan 378 KUHP mengenai tindak penipuan, serta pasal 512 KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggungjawab hukum, apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat

98

tanggungjawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi (Wila Chandrawila Supriadi, 2001: 31). Hak pasien adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan interen rumah sakit dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan. Sebagai dasar hukum dari gugatan pasien atau konsumen/penerima jasa pelayanan kesehatan terhadap dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata. Ketika pasien merasa di rugikan, pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang keperawatan kesehatan. Maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum, perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dan rumah sakit berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar perawatan kesehatan. Makassar merupakan kota metropolitan satu-satunya di Indonesia Timur, semua aspek kehidupan berpusat di Makassar, termasuk dalam hal ini di bidang kesehatan. Sudah barang tentu terjadi kesalahan/kelalaian pada bidang kesehatan, sebagaimana yang terjadi di rumah sakit Akademis pihak rumah sakit tidak menerima pasien, hanya karena pasien tidak membayar uang panjar. Deputi Menko Kesra bidang Kesehatan dan Lingkungan Hidup, sekaligus sebagai Direktur Rumah Sakit Islam Faisal Makassar mengatakan: “Saya tidak percaya ada kejadian seperti itu. Sebab setahu saya dan memang begitu kode etik rumah sakit di seluruh Indonesia, untuk kasus ‘emergency’ seperti kecelakaan lalulintas, orang hamil, luka tikam dan sebagainya, itu tidak ada pembicaraan uang panjar. Karena itu bila RS Akademis ada pembicaraan panjar, maka itu pelanggaran berat,” lebih lanjut ia mengatakan bahwa keputusan dan kebijakan dokter atau petugas paramedis serta RS Akademis yang mengeluarkan pasienya hanya karena tidak adanya persetujuan uang panjar perawatan, bukan hanya tidak bisa dibenarkan, tapi sudah tidak bisa ditolerir dan dapat dimintai pertanggungjawaban di jalur hukum (Harian Fajar, 12 November 2002). Keluarga pasien dapat melayangkan gugatan terhadap Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), pengadilan dan terhadap pihak yang terkait, karena merasa di rugikan dan di perlakukan tidak manusiawi. Maka dapat menggugat ganti rugi kepada pihak dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan menimbulkan kerugian diakibatkan oleh kelalaian/kesalahan dalam melakukan tindakan medik. Maka dibutuhkan perlindungan hukum bagi pasien (penerima jasa pelayanan kesehatan), yang senantiasa diabaikan haknya untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai penerima (konsumen) jasa pelayanan kesehatan dan pemberi (produsen) jasa pelayanan kesehatan, diantaranya pada pasal 53, 54 dan 55 (UU No. 23/1992). Jika terjadi

____________________________________Beberapa Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan, Suwarti Jafar

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

99

sengketa antara para pihak dalam pelayanan kesehatan, maka untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan harus mengacu pada Undang-undang kesehatan dan Undang-undang perlindungan konsumen serta prosesnya melalui lembaga pengadilan, mediasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal terjadi sengketa antara pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan (jasa YANKES) dengan konsumen jasa pelayanan kesehatan (jasa YANKES), tersedia 2 (dua) jalur, yaitu jalur litigasi yaitu penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan dan jalur nonlitigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan(Hermien Hadiati Koeswadji, 2002: 196). Proses penyelesaian dari perselisihan kesalahan dan atau kelalaian kesehatan, dapat dilakukan diluar pengadilan dan di pengadilan berdasarkan keinginan para pihak yang berselisih menyangkut masalah kesehatan. Penyelesaian yang sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar pengadilan dengan sistem Alternative Dispute Resolution (ARD). Di Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) 90 persen kasus diselesaikan lewat ARD. Hanya satu kasus yang diselesaikan di pengadilan, yaitu kasus tertinggalnya kateter dalam tubuh korban selama dua tahun di sebuah RS Jakarta Selatan tahun 2000 ( Harian Kompas, 21 Mei 2002).

Profesi kedokteran memang banyak berkaitan dengan problema etik yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa medik antara pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan penerima jasa pelayanan kesehatan, karena itu dibutuhkan suatu wadah/lembaga yang khusus dapat menjadi penyaring untuk menyelesaikan sengketa antara pemberi jasa pelayanan kesehatan (rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan) dan penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien).

Salah satu lembaga yang juga bisa dilaksanakan adalah Ombudsmen yang melibatkan orang luar, agar peradilan sengketa antara dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dengan pasien dapat diberlakukan secara adil dan dapat dipercaya semua pihak yang terlibat dalam sengketa kesehatan. Lembaga dengan sistem Ombudsmen sudah dilaksanakan di berbagai negara, dan Indonesia dapat mengadopsi untuk menentukan bahwa pelayanan kesehatan tidak melanggar ketentuan Undang-undang yang ada dan masih berlaku. PENUTUP Dalam pembahasan suatu hukum kesehatan, dikenal beberapa tanggungjawab yang ada seperti Tanggung jawab perdata adalah tanggung jawab seseorang atau badan hukum yang diakibatkan baik karena perbuatannya sendiri atau orang yang berada dalam tanggung jawabnya yang telah melakukan perbuatan melanggar hukum (tanggung gugat), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang atau badan hukum yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Selain itu, Tanggung jawab etik adalah tanggung jawab rumah sakit dan setiap profesi dokter/tenaga medis yang karena perbuatannya melanggar etik profesi, standar profesi dan atau sumpah jabatan atau kode Etik Kedokteran/Tenaga medis. Tanggung jawab Medik adalah tanggung jawab rumah sakit dan setiap profesi dokter/tenaga medis yang karena perbuatannya melanggar standar operasional (SOP) dan standar

100

pelayanan medik, standar profesi dan atau sumpah jabatan atau kode etik perumahsakitan /kedokteran medis. Dalam tanggungjawab ini dikenal adanya Gugatan Etik,yakni gugatan yang ditempuh oleh peserta wajib asuransi kesehatan sebagai konsumen kesehatan atau rekan sejawatnya (profesi) atas pelanggaran etik oleh dokter melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). DAFTAR PUSTAKA Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen.

RajaGrafindo Persada: Jakarta Amri Amir, 1997. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Widya Medika: Jakarta. Anny Isfandyrie. 2005. Malpraktek & Resiko Medik (Dalam Kajian Hukum Pidana).

Prestasi Pustaka: Jakarta Azrul Azwar. 1999. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara: Jakarta Bahar Azwar, 2002. Buku Pintar Pasien, Sang Dokter. Kesaint Blanc: Jakarta Gde Muninjaya, A.A. 2004. Manajemen Kesehatan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Indar, 2007. Hukum dan Undang-undang Kesehatan. (Disertasi). Fakultas Kesehatan

Masyarakat. Universitas Hasanuddin. Jusuf Hanafiah, M. dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.

EGC: Jakarta. Marif. 2006. Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Pelayanan Kesehatan Terhadap

Konsumen Di Kota Makassar (Tesis). Pasca Sarjana. Unhas. Mashudi dan Moch. Chidir Ali.1995. Hukum Asuransi. Mandar Maju. Bandung Munir Fuadi. 2001 Hukum Kontrak: dari Sudut Pandang Hukum Bisnis ( Buku Kesatu). Citra Aditya Bakti: Bandung. Nasution. Az. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu pengantar). Aidit Media:

Jakarta. Shidarta. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo: Jakarta Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan

Tanggungjawab Produk). Panta Rei: Jakarta Yusuf Shofie. 2002. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Ghalia

Indonesia: Jakarta.

____________________________________Beberapa Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan, Suwarti Jafar

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

101

DAMPAK USAHA ASURANSI TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL–EKONOMI DAN PERATURAN PERPAJAKANNYA DI INDONESIA

RUSMAN SOLEMAN

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Khaerun Ternate

Abstrak: Fungsi utama asuransi adalah memberi kepastian. Karena pada dasarnya asuransi berusaha untuk mengurangi konsekuensi-konsekuensi yang tidak pasti dari suatu keadaan yang merugikan (peril), yang sudah diperkirakan sebelumnya, sehingga biaya atau akibat finansial dari kerugian tersebut menjadi pasti atau relatif pasti. Dalam asuransi, tertanggung dengan membayar premi berarti risiko kemungkinan terjadinya kerugian telah dipindahkan ke perusahaan asuransi. Dengan demikian tertangung telah mendapatkan semacam perlindungan seandainya dia mengalami peril. Jadi dengan membayar premi biaya kerugian yang mungkin diderita pada masa mendatang relatif menjadi pasti, yaitu sebesar premi yang dibayar. Sebab kalau terjadi peril, ia akan menerima ganti rugi sebesar kerugian yang diderita (dalam asuransi umum) atau menurut perjanjian (dalam asuransi jiwa). Usaha untuk memberikan perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian pada masa mendatang itulah sebenarnya yang melatarbelakangi ide adanya usaha asuransi. Kata Kunci: Usaha Asuransi, sosial-ekonomi, perpajakan

PENDAHULUAN Perkembangan usaha asuransi, seperti kita lihat dewasa ini ternyata memberikan yang nyata bahwa manfaat adanya usaha asuransi tidak hanya dinikmati/dirasakan oleh mereka yang berhubungan langsung dengan usaha asuransi (pemegang polis, perusahaan asuransi dan mereka yang terlibat di dalam) tetapi juga dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat. Sebab perusahaan asuransi di samping memberikan ganti rugi/santunan kepada para pemegang polisnya, dalam usahanya untuk memperoleh penghasilan guna membiayai aktivitasnya akan menginvestasikan sebagian dari dana, yang terkumpul dari pemegang polis (berupa premi asuransi) ke dalam berbagai sektor ekonomi. Investasi ini jumlahnya besar, sehingga, dapat mempercepat lajunya pertumbuhan ekonoi dan sosial seluruh masyarakat. Industri asuransi merupakan industri jasa keuangan yang sangat dinamis dan berkembang. Dalam menjalankan operasinya bisnis asuransi akan terkait dengan berbagai aspek diantaranya aspek perpajakan baik bagi perusahaan, atau peserta asuransi.

102

PEMBAHASAN

Asuransi

Salah satu cara penanggulangan risiko melalui pembiayaan adalah dengan mengasuransikan suatu risiko kepada perusahaan asuransi. Cara ini dianggap sebagai metode yang paling penting dalam upaya menanggulangi risiko. Saat ini asuransi telah berkembang menjadi suatu bidang usaha/bisnis yang menarik dan mempunyai peranan yang tidak kecil dalam kehidupan ekonomi maupun dalam pembangunan ekonomi, terutama di bidang pendanaan.

Defenisi asuransi menurut C. Arthur William Jr. dan Richard M. Heins, yang mendefinisikan asuransi berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:

a. Asuransi adalah suatu pengamanan terhadap kerugian finansial yang dilakukan oleh seorang penanggung.

b. Aruransi adalah suatu persetujuan dengan mana dua atau lebih orang dan badan mengumpulkan dana untuk menanggulangi kerugian finansial.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas kiranya mengenai definisi asuransi yang dapat mencakup semua sudut pandang adalah Asuransi suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada perekonomian, dengan cara menggabungkan sejumlah unit-unit yan terkena risiko yang sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya dapat diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara proporsional oleh semua pihak dalam gabungan itu.

Macam-Macam Usaha Asuransi

Usaha asuransi dapat dibagi menjadi beberapa macam dan berdasarkan berbagai macam segi, yaitu antara lain:

1. Dan segi sifatnya usaha asuransi dapat dibedakan ke dalam: a. Asuransi Sosial atau Asuransi Wajib di mana untuk ikut serta dalam asuransi

tersebut terdapat unsur paksaan atau wajib bagi setiap warga negara jadi semua warga negara (berdasarkan kriteria tertentu) wajib menjadi anggota atau membeli asuransi tersebut. Asuransi ini biasanya diusahakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara. Contoh: ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja), TASPEN (Tabungan Asuransi Pegawai Negeri), ASABRI (Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

b. Asuransi Sukarela, dalam asuransi ini tidak ada paksaan bagi siapa pun untuk menjadi anggota/pembeli. Jadi setiap orang bebas untuk memilih menjadi anggota atau tidak dari jenis asuransi ini. Jenis asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pihak swasta tetapi ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Contoh: PT jiwasraya (BUMN), PT Jasa Indonesia (BUMN), PT Asuransi Ramayana, PT Asuransi Bintang, AJB, Bumiputra, dan sebagainya.

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

103

2. Dari segi jenis Objeknya, asuransi dapat dibedakan ke dalam: a. Asuransi Orang, yang meliputi antara lain asuransi jiwa, asuransi kecelakaan,

asuransi kesehatan, asuransi bea siswa, asuransi hari tua dan lain-lain, di mana objek pertanggungannya Manusia.

b. Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian, yang meliputi antara lain asuransi kebakaran, asuransi pengangkutan barang, asuransi kendaraan bermotor, asuransi varia, asuransi penerbangan dan lain-lain, di mana objek pertanggungannya adalah Hak/harta atau milik kepentingan seseorang.

Beberapa macam perusahaan asuransi yang sekarang ini sudah ada di Indonesia antara lain: 1. Perusahaan Asuransi Jiwa

Perusahaan asuransi yang bidang usahanya risiko keuangan sebagai akibat dari kematian orang-orang yang mempertanggungkan jiwanya. Pembayaran santunan dilakukan pada masa akhir kontrak (meskipun tidak terjadi peril) atau kepada ahli warisnya bila kematian terjadi sebelum akhir kontrak. Contoh: AJB Bumiputra, PT Asuransi Bumi Asih Jaya, PT Jiwa Sraya, dan sebagainya.

2. Perusahaan Asuransi Kerugian/Umum Perusahaan asuransi yang bidang usahanya menanggulangi risiko keuangan sebagai akibat kerugian karena peril yang menimpa barang-barang atau kepentingan yang dipertanggungkan. Contoh: PT Asuransi jasa Indonesia, PT Asuransi Ramayana, PT Asuransi Bintang, PT Asuransi Ekspor Indonesia dan sebagainya.

3. Perusahaan Reasuransi Umum: Perusahaan asuransi yang bidang usahanya menanggung risiko yang benar-benar terjadi dari pertanggungan yang telah ditutup oleh perusahaan asuransi jiwa maupun asuransi kerugian. jadi reasuransi adalah mempertanggungkan kembali sejumlah risiko oleh sebuah perusahaan asuransi kepada perusahaan asuransi lainnya (reinsurer). Hal ini terjadi, karena biasanya sebuah perusahaan asuransi akan menentukan suatu batas maksimum nilai pertanggungan yang akan ditanggung, sehingga kalau ada suatu pertanggungan yang telah diterima, yang nilainya melebihi batas maksimurn tersebut, maka kelebihan tersebut diasuransikan lagi (direasuransi) kepada perusahaan asuransi yang lain. Ada kemungkinan pula bahwa perusahaan reasuransi, karena suatu pertimbangan mengasuransikan lagi pertanggungan yang telah diterima pertanggungan ini disebut retrosessi. Contoh: PT Reasuransi Umum, PT Askrindo, PT Maskapai Reasuransi Indonesia.

4. Perusahaan Asuransi Sosial: Perusahaan Asuransi yang bidang usahanya menanggung risiko finansial masyarakat kecil yang kurang mampu. Perusahaan ini diselenggarakan oleh Pemerintah atau badan-badan yang ditunjuk; dibentuk oleh Pemerintah. Contoh: Perum Taspen, PT Astek, PT Askes, PT Jasa, Raharja.

104

1. Premi Asuransi Dalam asuransi yang dimaksud dengan premi adalah pembayaran dari

tertanggung kepada penanggung, sebagai imbalan jasa atas pengalihan risiko kepada penanggu (Soesisno, 2003: 127). Dengan demikian premi asuransi akan merupakan: a. Imbalan jasa atas jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung

untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung (pada asuransi kerugian).

b. Imbalan jasa atas jaminan perlindungan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang (benefit) terhadap risiko hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa).

Premi adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam asuransi, baik bagi penanggung maupun bagi tertanggung. Premi sangat penting bagi penanggung, karena dengan premi yang berhasil dikumpulkan dan para tertanggung (yang jumlahnya cukup banyak) dalam waktu yang relatif lama, akan membentuk sejumlah dana yang cukup besar, dan dari dana tersebut perusahaan asuransi akan mampu: 1. Mengembalikan tertanggung kepada posisi (ekonomi) seperti sebelum terjadi

kerugian. 2. Menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan sedemikian rupa, sehingga mampu

berdiri pada posisi seperti keadaan sebelum terjadinya kerugian. Sedang bagi tertanggung premi juga sangat penting, karena premi yang harus

dibayar adalah unsur biaya baginya, yang akan mempengaruhi kegiatan/tingkat konsumsinya. OIeh karena itu, tinggi-rendahnya premi pada umumnya akan menjadi pertimbangan utama bagi tertanggung apakah dia akan menutup risiko dengan asuransi atau tidak.

Pekerjaan menghitung premi pada asuransi adalah merupakan fungsi yang sangat penting. Maka pada setiap perusahaan asuransi ada bagian yang khusus menangani pekerjaan ini. Bagian atau orang yang berfungsi mengerjakan tugas ini disebut aktuaria/aktuaris.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan tarif, antara lain: 1. Situasi persaingan. 2. Kondisi/struktur perekonomian. 3. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah.

Dengan demikian, penentuan tarif asuransi akan banyak menyangkut unsur-unsur: 1. Kemungkinan (probability) 2. Value judgment. 3. Kebijakan pemerintah

Dengan demikian penentuan tarif premi asuransi menjadi tidak mudah, sangat rumit dan membutuhkan kehati-hatian, sebab bila terlalu rendah tidak akan dapat menutup biaya operasi (cost of operation), sedang bila terlalu tinggi jumlah pembeli polis akan sedikit.

Dalam menentukan tarif harus diupayakan terciptanya jumlah ideal yang sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, yaitu tarif yang dapat menghasilkan

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

105

pendapatan bagi perusahaan untuk mengganti kerugian yang terjadi dan memberikan sedikit keuntungan untuk kelangsungan hidup perusahaan yang bersangkutan.

Tarif yang ideal harus dapat memenuhi beberapa prinsip (Soeisno, 2003: 129), antara lain:

1. Adequate, artinya premi tersebut harus menghasilkan cukup uang untuk membayar kerugian-kerugian yang mungkin diderita oleh subjek dari mana uang itu dikumpulkan.

2. Not excessive, artinya bahwa tarif jangan berlebihan, harus memperhatikan kepentingan pembeli, kondisi persaingan, dan sebagainya.

3. Equity, yang berarti tarif tersebut titik membeda-bedakan risiko yang sama (harus adil), bila kualitas exposure-nya sama tarifnya harus sama.

4. Flexible, artinya tarif yang ditentukan harus selalu disesuaikan dengan keadaan, artinya bila keadaan berubah tarif harus diubah pula.

Tarif premi yang dikenakan terhadap suatu objek asuransi sangat bermacam-macam sifatnya dan umumnya terdiri pula dari beberapa komponen. Macam-macam dan komponen dari tarif premi asuransi antara lain sebagai berikut: 2. Premi dasar

Adalah premi yang dibebankan kepada tertanggung ketika polis dibuat/dikeluarkan yang perhitungannya didasarkan: a. Data dan keterangan yang diberikan oleh tertanggung kepada penanggung pada

waktu penutupan asuransi yang pertama, b. Luasnya risiko yang dijamin oleh penanggung sebagaimana dikehendaki oleh

tertanggung. Premi dasar inilah yang tercantum dalam polis dan umumnya tidak berubah sel

data keterangan dan luas jaminan tidak berubah. Premi dasar biasanya terdiri dari kelompok, yaitu: a. Komponen premi untuk membayar kerugian-kerugian yang mungkin terjadi,

tingginya didasarkan pada probabilitas terjadinya kerugian. b. Komponen premi yang dimaksudkan untuk membiayai operasi perusahaan asui

(cost of operation / exploitations). c. Komponen sebagai bagian keuntungan bagi perusahaan asuransi.

Contoh: Asuransi mobil dengan premi dasar per tahun Rp 3 juta dengan cost of exploitations 40% dan laba 5%, maka besarnya premi dasar:

45,545.454.5

55,000,000.000.3

45,0100,000.000.3

3 atau

= Rp. 5.455.000,00 3. Premi Tambahan

Adakalanya data dan keterangan yang disampaikan oleh tertanggung kepada penanggung ketika menutup asuransi atau interest-nya tidak selalu sama dengan keadaan yang sebenarnya atau pada saat polis ditandatangani, karena pada saat itu data/informasinya belum lengkap atau tertanggung menghendaki perubahan kondisi pertanggungan.

106

Untuk tambahan data/keterangan interest yang diasuransikan atau perubahan/penambahan risiko yang dijamin, kepada tertanggung dikenakan premi tambahan (additional premiums, surcharge).

Contoh: Dalam asuransi jiwa biasanya untuk menentukan tingginya tarif premi perlu adanya pemeriksaan kesehatan (medical check-up) terhadap calon tertanggung. Bila tertanggung tidak rnau, mungkin penanggung tetap mau menerima pertanggungan tersebut, dengan syarat yang bersangkutan dikenakan premi tambahan di samping premi dasar.

4. Reduksi Prima

Dalam hal-hal tertentu penanggung dapat memberikan pengurangan terhadap premi yang dikenakan. Contoh: Terhadap premi tahunan, maka bila seseorang mengasuransikan untuk dua tahun

sekaligus, biasanya diberikan reduksi premi. Dewan Asuransi Indonesia menentukan bahwa dapat diberikan potongan 50% atas

premi dasar dan 20% atas premi tambahan untuk pengangkutan dengan tujuan Negeri Belanda, Belgia, dan Inggris.

Dalam asuransi jiwa dapat diberikan potongan premi sebesar 5% bila pembayaran melalui bank/pos dan 3% bila membayar di kantor perusahaan asuransi.

5. Tarif Kompeni

Untuk menghindari persaingan tidak sehat antar-perusahaan asuransi, organisasi/ gabungan perusahaan-perusahaan asuransi biasanya menyusun daftar tarif asuransi, yang harus dipakai sebagai pedoman para anggotanva dalam menentukan tarif premi asuransi yang akan dikenakan kepada para nasabahnya.

Di Indonesia tarif kompeni disusun oleh Dewan Asuransi Indonesia, dengan tujuan standarisasi tarif premi dan syarat-syarat pertanggungan, di samping untuk rnenghindari persaingan (khususnya yang tidak sehat). Sedangkan tarif yang ditentukan sendiri oleh masing-masing perusahaan asuransi disebut tarif non-kompeni.

Dampak Asuransi terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi

Ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya usaha asuransi sebagai salah satu bidang usaha, yang tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap bahaya, kerugian yang mungkin menimpa, seseorang/lembaga, yaitu dengan cara memberikan santunan/ganti rugi kepada para peserta program asuransi yang terkena peril.

Adapun faktor-faktor tersebut antara lain: Keinginan untuk memberikan kepastian kepada para peserta, program asuransi/ tertanggung terhadap risiko kerugian yang dihadapi.

Dengan adanya kepastian, maka tertanggung akan merasa aman terhadap bahaya kerugian. Jadi disamping memberikan kepastian maka asuransi juga bertujuan memberikan rasa aman kepada para tertanggung. Teori hirarki A. Maslow mengatakan bahwa setiap orang selain ingin memenuhi kebutuhan pokoknya (makan, minum,

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

107

pakaian, dan perumahan) juga berusaha untuk melindungi dirinya dari segala ancaman bahaya, (mendapatkan rasa aman) terhadap diri, benda maupun kepentingan. Setiap orang tentu menginginkan bebas dari segala situasi yang dapat berpengaruh buruk terhadap kedudukan sosialnya dalam masyarakat. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan mengalihkan situasi tersebut kepada perusahaan asuransi.

Bila seseorang berada dalam bahaya karena kehilangan sumber pendapatan kehilangan rumah tempat tinggalnya atau kedudukannya dalam masyarakat, maka yang bersangkutan akan diliputi rasa kekhawatiran dan bila risiko itu demikian besarnya, akan menimbulkan ketakutan. Kekhawatiran dan ketakutan adalah keadaan mental yang tidak sehat dan tidak menyenangkan, sehingga secara naluriah orang akan selalu berusaha untuk menghindarinya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengalihkan rasa khawatir dan takut kepada pihak lain (perusahaan asuransi). Jadi di sini tujuan asuransi adalah menghilangkan kekhawatiran dan ketakutan tertanggung.

Perlu kiranya diperhatikan bahwa keinginan/usaha-usaha untuk memperoleh rasa aman dari setiap orang mempunyai sisi lain, yaitu dapat mengakibatkan orang menghindari usaha-usaha yang mengandung risiko besar yang memberikan kemungkinan untuk memperoleh keuntungan yang besar pula. Usaha mencari rasa aman mengakibatkan orang mau menerima keuntungan kecil, sebab kemungkinan kerugiannya juga kecil. Keinginan untuk mencari rasa aman dapat menghalangi seseorang untuk memasuki proyek baru yang tidak pernah dicoba karena takut menghadapi resiko. Dengan demikian mencari rasa aman dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Mencari rasa aman dapat mengakibatkan bidang-bidang usaha baru, percobaan-percobaan baru serta proyek-proyek yang mengandung risiko besar tidak terangsang untuk muncul. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan ekonomi, sehingga mekanisme ekonomi tidak dapat berjalan secara wajar. Dengan adanya asuransi, orang dapat mengalihkan risiko-risiko tersebut kepada perusahaan asuransi, orang akan berani berusaha di bidang-bidang yang berisiko, yang menjalankan keuntungan yang lebih besar, sehingga dapat mendorong terciptanya keseimbangan ekonomi yang optimal.

Beberapa contoh mengenai manfaat asuransi bagi mereka yang terlibat Iangsung dalam asuransi, artinya bagi mereka yang menjadi nasabah dan suatu perusahaan asuransi.

1. Memberi Rasa Aman

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa motivasi utama yang mendorong lahirnya usaha asuransi adalah dorongan naluriah yang ada pada diri setiap orang, yaitu keinginan akan rasa aman. Hal mana dalam aspek psikologis mungkin diwujudkan dalam sikap atau mungkin pula menimbulkan sikap baru, karena mereka menghendaki adanya alat pemuas terhadap keinginannya (akan rasa aman).

Bila keinginan tersebut tidak terpuaskan maka akan timbul ketegangan yang dapat menimbulkan reaksi-reaksi tidak sehat. Artinya bila rasa aman tidak terpenuhi reaksinya mungkin akan berbentuk rasa kekhawatiran atau ketakutan. Sebaliknya dengan terpenuhinya rasa aman akan menghilangkan rasa kekhawatiran, ketakutan terhadap ketidakpastian.

108

Cara pemenuhan terhadap kebutuhan/keinginan rasa aman salah satunya adalah melalui asuransi. Melalui asuransi maka sebagian besar dari ketidakpastian yang berpusat pada keinginan untuk memperoleh rasa aman terhadap bahaya tertentu akan dapat dihilangkan, sehingga dapat menimbulkan suasana jiwa yang tenang serta rasa hati yang damai.

2. Melindungi Keluarga dari Perpecahan

Perusahaan asuransi jiwa akan memberikan santunan bila tertanggung meninggal dunia pada rasa kontrak. Pemberian santunan tersebut akan merupakan sesuatu yang benar-benar tepat, sebab datang pada saat sangat dibutuhkan, yaitu kebutuhan dana untuk melanjutkan kehidupan keluarga, pada saat sumber utama penghasilan terputus/hilang. Uang santunan yang diterima akan merupakan salah satu alat untuk mempertahankan kerukunan dan keutuhan keluarga.

Sebab bila seorang kepala keluarga meninggal dunia dan ia tidak mengasuransikan dirinya, maka keluarga yang ditinggalkan akan mengalami kesulitan keuangan, yang dapat membawa akibat-akibat lain yang lebih jauh. Misalnya ibunya terpaksa harus bekerja di luar rumah atau bekerja lebih keras, sehingga mengurangi kesempatannya untuk mengawasi anak-anaknya. Hal ini dapat menimbulkan kenakalan remaja, anak-anaknya yang masih bawah umur harus bekerja, menyebabkan terjadinya mental break down dan sebagainya. Sedangkan bila ada santunan dari perusahaan asuransi akibat-akibat tersebut dapat ditiadakan.

3. Menghilangkan Ketergantungan

Sering dijumpai bahwa perkembangan-perkembangan yang tidak menguntungkan yang dialami seseorang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi keuangan yang dialami oleh orang lain, kepada siapa orang yang bersangkutan bergantung. Misalnya kurangnya kesempatan bagi anak-anak untuk memperoleh kesuksesan di masa datang karena tidak tersedianya sumber-sumber dana yang memadai akibat ketidakmampuan orang tua yang sudah tidak mampu bekerja, menganggur, dan sebagainya.

Orang-orang tua yang kapasitas kerjanya sudah menurun dapat mengakibatkan turunnya tingkat penghasilan, yang selanjutnya dapat mengakibatkan turunnya standar kehidupan, demoralisasi, anak-anak tidak dapat melanjutkan sekolah, menyandarkan hidup pada “belas-kasihan” orang lain, dan sebagainya.

Ketergantungan itu akan dapat dikurangi apabila sebelumnya (pada saat kondisi orang tua masih sehat dan kuat) telah diatur suatu program asuransi untuk mengantisipasi ketergantungan tersebut. Misalnya melalui program asuransi beasiswa untuk menghindar ketergantungan anak di bidang biaya pendidikan. Bila ketidakmampuan itu tiba atau orang tu meninggal dunia anak-anak akan mendapatkan biaya bagi kelanjutan pendidikannya dari perusahaan asuransi. 4. Menjamin Kehidupan Wanita Karier

Dewasa ini banyak wanita yang sengaja tidak memasuki jenjang kehidupan berumah tangga, karena ingin mengejar karier dan tidak mau menggantungkan dirinya

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

109

kepada orang lain, terutama dalam hal kebutuhan ekonomi. Suatu saat mereka akan menghadapi masalah yang berkaitan dengan pendanaan untuk penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan, terutama yang berkaitan dengan penurunan produktivitas kerjanya, baik yang berkaitan dengan usia maupun kesehatan, padahal mereka ini umumnya juga tidak mau menerima bantuan baik dari keluarga maupun dari lembaga-lembaga sosial pada saat menghadapi masalah tersebut.

Masalah-masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk dapat tetap berdiri sendiri di masa depan akan dapat dipecahkan melalui program aspransi yang tepat. Dengan demikian para wanita karier dapat meniti kariernya dengan baik, tanpa rasa khawatir terhadap masa depannya.

Hal ini sebetulnya juga dialami oleh hampir setiap orang, di mana orang yang sudah berusia senja, meskipun menerima pensiun, jumlahnya umumnya kurang memadai dibandingkan dengan kebutuhan. Dalam keadaan ini program asuransi juga mempunyai peran tidak kecil, sebab santunan yang didapat dari program asuransi akan memperbesar persediaan dananya untuk menopang kehidupannya.

Dengan mengetahui dan menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan baik melalui program asuransi dan mereka mau memanfaatkannya, akan timbul perasaan aman dan tenteram kepada yang bersangkutan. Program asuransi akan membebaskan mereka (terutama wanita karier) dari kekhawatiran mengenai kondisi keuangan bila ia sudah tidak mampu lagi membiayai dirinya sendiri dari penghasilannya sendiri pada saat itu.

5. Kontribusi terhadap Lembaga-lembaga Sosial

Seperti kita ketahui bahwa sebagian besar dari lembaga-lembaga sosial yang memberikan jasa-jasa sosial yang sangat penting bagi masyarakat (panti-panti asuhan, panti pendidikan penderita cacat dan sebagainya), menggantungkan sebagian besar kebutuhan dana operasionalnya dari sumbangan atau hadiah dari berbagai pihak (donatur), yang umumnya terdiri dari para pengusaha.

Dalam kondisi perekonomian yang penuh dengan ketidakpastian, mungkin akan mengakibatkan timbulnya keragu-raguan bagi para donatur untuk tetap memberikan sumbangan, karena takut kehilangan harta kekayaan atau tidak terjaminnya hari tua. Tetapi bila para donatur tersebut telah mengasuransikan dirinya terhadap risiko-risiko yang dimaksud, maka keragu-raguan dan ketakutan menjadi tidak ada lagi, sehingga yang bersangkutan tetap dapat menjadi donatur setia, sehingga lembaga-lembaga sosial tetap dapat melaksanakan aktivitasnya dengan sebaik-baiknya.

6. Memberikan Manfaat untuk Pemupukan Kekayaan

Setiap orang umumnya mempunyai pandangan dan rencana untuk dapat memenuhi kebutuhan masa depannya sendiri maupun untuk orang-orang yang tergantung kepadanya. Sehubungan dengan hal tersebut, seseorang dengan tingkat penghasilan yang diperolehsaat ini akan dapat menghitung atau menentukan jumlah kekayaan yang diinginkan, yang dapat diakumulasikan selama jangka waktu tertentu. Untuk mewujudkan keinginan tersebut salah satu cara yang dapat ditempuh dengan menutup atau membeli polis asuransi untuk sejumlah kekayaan (dana) yang

110

diinginkan. Dengan demikian kekayaan yang diinginkan tersebut pasti dapat tersedia pada saat diperlukan, sesuai dengan yang direncanakan.

7. Stimulasi Menabung

Secara sempit memang dapat dikatakan bahwa asuransi berhubungan dengan masa ganti rugi, tetapi mengingat dalam asuransi jiwa telah ditambahkan klausul di mana unsur penabungan, maka unsur ini tidak dapat diabaikan begitu saja dalam membahas peran asuransi. Bahkan ada sejumlah perusahaan asuransi jiwa yang memberikan tekanan khusus pada unsur tabungan tersebut. Di samping itu, mulai diperkenalkan juga. penggabungan/pengombinasian program asuransi dengan tabungan. Contoh: ”Taska” (Tabungan Asuransi Berjangka) yang diselenggarakan oleh bank-bank milik pemerintah (BUMN).

Kelebihan asuransi jiwa yang disertai dengan elemen tabungan dengan tabungan biasa adalah karena premi asuransi (termasuk unsur tabungannya) mempunyai jatuh tempo secara teratur (pasti) sistematis, di mana pemegang polis harus menabung/membayar premi secara teratur, sehingga kewajiban menabung dapat dipandang sebagai utang.

8. Menyediakan Dana yang Dibutuhkan untuk Investasi

Meskipun sebetulnya bukan merupakan fungsi utama asuransi, tetapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi telah berkembang sedemikian rupa, sehingga memegang peran yang cukup penting dalam menyediakan dana yang dibutuhkan dalam berbagai macam kegiatan maupun pembangunan ekonomi. Di samping itu, individu-individu yang tidak bersedia atau tidak mampu menangani sendiri pemanfaatan dana yang dimilikinya ia dapat memanfaatkan dana tersebut, dengan cara menyalurkan dananya melalui program asuransi, yang akan disalurkan ke dalam berbagai bentuk proyek investasi oleh perusahaan asuransi.

Peraturan Perpajakan untuk Usaha Asuransi di Indonesia 1. Subjek Pajak

Dalam UU PPh Pasal 2 ayat (1) ada empat pihak yang menjadi sasaran UU untuk memikul beban PPh atau yang ditentukan sebagai Subjek Pajak yaitu: 1) a. Orang Pribadi; b. Warisan yang balum terbagi sebagai satu kesatuan manggantikan yang berhak; 2) Badan; 3) Bentuk Usaha Tetap Pada dasarnya Subjek Pajak PPh ada dua, yaitu: 1. Orang Pribadi, dan 2. Badan

UU PPh 2000 pada bagian penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b menjelaskan definisi badan, yaitu sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan-baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

111

Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, parsekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi sejenis, lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya temasuk reksadena.

Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh menentukan bahwa suatu Badan menjadi Subjek Pajak Badan Dalam Negara atau yang menjadi residan fiskal Indonesia adalah apabila Badan itu memenuhi salah satu syarat berikut: 1. Badan itu didirikan di Indonesia (kata didirikan menunjukkan peinsip status

kebangsaan atau kewarganegaraan atau status pendirian (citizenship or corporation principle), atau

2. Badan itu bertempat kedudukan di Indonesia (kata tempat kedudukan menunjukkan prinsip status domisili).

Badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia baru menjadi Subjek Pajak Badan Luar Negeri di Indonesia jika la memenuhi salah satu dari kedua asas berikut: 1. Asas BUT: menurut ketentuan pasal 2 ayat 4 huruf a UU PPh, Badan yang bukan

residan fiskal Indonesia tetapi yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dijadikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri Bentuk Usaha Tetap, atau disingkat Subjek Pajak BUT, dan/atau

2. Asas Sumber: menurut ketentuan pasal 2 ayat 4 huruf b UU PPh Badan yang bukan residen fiskal Indonesia, tetapi yang dapat memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia tidak melalui BUT.

2. Aktivitas Perasuransian

Perusahaan asuransi luar negeri (bukan residen Indonesia) tidak termasuk perusahaan reasuransi luar negeri. Perusahaan asuransi luar negeri bisa Mempunyai BUT di Indonesia jika ia memenuhi salah satu keadaan berikut: Adanya fasilitasi fisik di Indonesia yang digunakan untuk menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan perasuransian di Indonesia, atau Adanya hubungan keagenan dengan pihak Indonesia atau mempunyai

perwakilannya Indonesia untuk urusan perasuransian di Indonesia, atau Adanya pegawai yang mempunyai tugas dari bukan residen Indonesia di mana

tugasnya terbatas pada menerima premi asuransi dari Indonesia atau menanggung resiko Indonesia.

Pengertian menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertangung (Orang Pribadi atau Badan) adalah residen Indonesia (bertempat tinggal berada, didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia).

Secara teori keberadaan satu hari saja sudah menimbulkan adanya BUT. Jika pegawai atau agen yang bertugas untuk menerima premi asuransi dari Indonesia atau menaggung resiko di Indonesia berada di Indonesia lebih dari 183 hari atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia maka pegawai atau agen itu adalah Subjek Pajak Dalam Negeri untuk dirinya sendiri, sekaligus menjadi Subjek Pajak BUT untuk dan atas nama hak asuransi luar negeri yang bukan residen Indonesia yang memberinya

112

tugas tersebut. Jika keberadaannya di Indonesia tidak memenuhi syarat sebagai residen Indonesia, pegawai itu adalah Subjek Pajak Luar Negeri selain BUT untuk dirinya sendiri sekaligus Subjek Pajak BUT untuk dan atas nama pihak yang bukan residen Indonesia yang memberinya tugas tersebut.

3. Objek Pajak

Objek pajak adalah penghasilan Wajib Pajak, bukan kekayaan atau pengeluaran konsumsinya. Pengertian penghasilan menurut UU PPh pasal 4 ayat (1) adalah:

“setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun” Penghasilan bagi Perusahaan asuransi, Memori penjelasan mengatakan sebagai

berikut: “Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.” Premi asuransi bisa dibedakan atas: a. Premi asuransi yang diterima atau diperoleh perusahaan asuransi/ reasuransi,

termasuk dana pensiun. Premi jenis ini merupakan penghasilan bagi perusahaan asuransi/reasuransi termasuk dana pensiun. Khusus bagi dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan, penghasilan berupa prerni yang diterima atau diperolehnya dikecualikan sebagai Objek Pajak sesuai ketentuan pasal 4 ayat (3) huruf g.

b. Premi asuransi yang merupakan kenikmatan yang diperoleh Orang Pribadi dalam hubungan kerja (pegawai) merupakan penghasilan bagi pegawai bersangkutan, di samping merupakan penghasilan bagi perusahaan asuransi, termasuk dana pensiun sebagaimana disebutkan di atas.

4. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Objek pajak PPh adalah penghasilan. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah penghasilan neto yang diperoleh selama satu tahun pajak. Oleh karena itu yang menjadi DPP PPh untuk pemajakan tahunan adalah jumlah dari penghasilan neto setahun. Penghasilan neto setahun dihitung sebagai berikut: penghasilan bruto setahun dikurangi dengan biaya-biaya setahun dan kerugian lima tahun sebelumnya (pasal 6).

Bagi wajib pajak badan dalam negeri, WP Warisan yang belum terbagi, dan Wajib Pajak BUT, penghasilan neto setahun yang menjadi DPP dinamai PKP (Penghasilan Kena Pajak). 5. Tarif Pajak PPh

Tarif pajak bisa berupa suatu jumlah tetap per suatu objek atau suatu persentase digunakan untuk menghitung pajak terutang. Contoh tarif pajak berupa flat rate adalah tarif Bea rneterai sebesar Rp 3.000 atau Rp 6.000 per satu dokumen. Tetapi pada umumnya tarif pajak berupa persentase, baik persentase tetap seperti dalam UU PPN maupun persentase berbeda seperti dalam UU PPh.

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

113

a. Tarif Pasal 17 Tarif pasal 17 diterapkan untuk menghitung PPh terutang tahunan oleh WP

Dalam Negeri (Badan, Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi) dan Wajib Pajak bentuk Usaha Tetap.

Untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Wajib Pajak BUT: Untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Berjumlah sampai Rp. 50.000.000,00 10%

Berjumlah diatas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00 15%

Berjumlah di atas Rp 100.000.000,00 30%

Contoh: Penghitungan pajak terhutang untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap: Jumlah penghasilan kena pajak ----------------------- Rp. 250.000.000,00 Pajak penghasilan terhutang: 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00 15% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00 30% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 45.000.000,00 Jumlah = Rp. 57.500.000,00

b. Tarif Pasal 26 Kepmenkeu Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri 1. Dikenakan potongan PPh pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto 2. Besarnya perkiraan penghasilan neto, yaitu dari premi yang dibayar:

a. oleh tertanggung kepada asuransi di luar negeri baik Iangsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar

b. oleh perusahaan asuransi di Indonesia, baik langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar

c. oleh perusahaan reasuransi di Indonesia baik langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar

3. Yang wajib melakukan pemotongan adalah yang melakukan pembayaran premi (tertanggung, perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi) Contoh:

1. Perusahaan penyewaan gedung kantor, PT. Ananda, mengasuransikan bangunan bertingkat langsung ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi selama tahun 2002 sebesar Rp 1 miliar. Besarnya perkiraan pengIasilan neto perusahaan asuransi luar negeri adalah 50% x Rp 1 miliar = Rp 500.000.000,00.

114

Besar PPh Pasal 26 yang harus dipotong oleh PT. Ananda selama tahun 2002 adalah 20% x Rp 500.000.000,00 = Rp 100.000.000,00. (10% x Rp 1 miliar).

2. Jika PT. Ananda mengasuransikan kepada perusahaan asuransi dalam negeri, PT. Bagaswara, dengan membayar jumlah premi yang sama besar Rp I miliar, dan kemudian PT. Bagaswara mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp 500.000.000,00, maka besar perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi di luar negeri adalah 10% x Rp 500 juta = Rp 50.000.000,00 dan PPh Pasat 26 yang wajib dipotong oleh PT. Bagaswara adalah 20% x Rp 50.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 (2% x Rp 500.000.000,00).

Pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi dapat ditakukan oleh pembayara premi di Indonesia secara langsung kepada perusahaan asuransi di luar negeri atau melalui pialang. Pihak pembayar premi atau pemotong pajak di Indonesia wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan. Pasal 26 atas premi asuransi atau premi reasiransi dibayarkan kepada perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi di Luar negeri. Dengan demikian, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut dilakukan oleh: 1. Tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi oleh tertanggung kepada

perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang. 2. Perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan

pembayaran premi oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang.

3. Perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dapat dilakukan pernbayaran premi oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang.

Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan berupa premi asuransi dan reasuransi yang diterima/diperoleh perusahaan asuransi di luar negeri tersebut, terutang pada akhir bulan dilakukannya pernbayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut. Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut wajib dilakukan oleh pemotong pajak setiap bulan selarnbat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya bulan saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke bank persepsi atau PT. Pos Indonesia.

Selanjutnya Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan serta penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.

c. Pengecualian

Khusus atas pembayaran premi asuransi ke perusahaan asuransi luar negeri berdasarkan tax treaty tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 26 jika dibayar ke WP Luar Negeri selain BUT yang berdomisili di negara-negara berikut: Amerika Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Bulgaria, Denmark, Finlandia, Hungaria, India, Inggris,

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

115

Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Luxemburg, Norwegia, Pakistan, Perancis, Philipina, Polandia. Singapura, Srilangka, Swedia, Swiss, Thailand, Tunisia.

Walaupun Indonesia tidak berhak untuk momotong PPh pasal 26 atas premi yang dibayar ke WP Luar Negeri selain BUT yang berdomisili di negara-negara tersbut, secara administratif Pemotong PPh pasal 26 di Indonesia hanya meminta kepada perusahaan asuransi luar negeri itu untuk menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar berdomisili di negara tersebut dengan menunjukkan Surat Keterangan Domisili (Certificate of Domisile) dari Menteri Keuangan atau pejabat berwenang lainnya (Competent Authority) dari negara domisili dari perusahaan asuransi luar negeri termaksud. Surat keterangan domisili yang asli harus disampaikan lewat Pemotong PPh pasal 26 kepada KPP tempat Pemotong PPh pasal 26 terdaftar. Pemotong PPh pasal 26 memegang fotokopi yang sudah dilegalisir oleh KPP tersebut. Jika Pemotong PPh pasal 26 tidak mempunyai Surat Keterangan Domisili termaksud dan PPh pasal 26 tidak dipotong, maka pada saat diperiksa Pajak Pomotong PPh pasal 26 akan dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari PPh pasal 26 yang tidak dipotong tersebut dan sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan maksimal untuk 24 bulan. (Surat Dirjen Pajak Nomor 3428/PJ.432/1995 tanggal 5 Desember 1995 kepada Ketua Umum DAT tentang Pemotongan PPh pasal 26 atas penghasilan berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri).

Menurut Kepmenkeu Nomor 80/KMK.04/1095 tanggal 6 Februari 1995 tentang besamya dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000 tanggal 8 Juni 2000, sebagai berikut:

Bagi WP yang bergerak di bidang asuransi: a. Bagi Asuransi Kerugian boleh membentuk

1. cadangan premi sebesar 40% dan premi tanggungan sendiri 2. cadangan klaim sebesar klaim asuransi yang sudah dilaporkan resmi;

b. Bagi Asuransi Jiwa boleh membentuk cadangan premi yang besarnya sesuai perhitungan aktuaris

Cadangan premi untuk perusahaan asuransi kerugian pada prinsipnya merupakan jumlah premi yang diterima lebih dahulu oleh perusahaan asuransi. Oleh karena itu penghasilan yang diterima lebih dahulu tersebut baru akan merupakan objek pajak penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

Contoh: Perusahaan asuransi B menerima atau memperoleh premi asuransi tanggungan sendiri dalam tahun pajak 1995 sebesar Rp. 40.000.000.000,00. Besarnya cadangan premi yang diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya untuk tahun pajak adalah 40% x Rp. 40.000.000.000,00 atau sebesar Rp. 16.000.000.000,00. Jumlah cadangan premi sebesar Rp. 16.000.000.000,00 yang dibentuk pada tahun seluruhnya merupakan Objek Pajak Penghasilan dalam tahun pajak 1996. Dengan demikian apabila dalam tahun 1996 perusahaan tersebut menerima

atau memperoleh premi asuransi tanggungan sendiri Rp.50.000.000.000,00., maka

116

penghasilan kena pajaknya ditambah dengan jumlah cadangan premi yang dibentuk tahun 1995 sebesar Rp. 16.000.000.000,00 sedangkan cadangan premi dapat dibebankan sebagai biaya untuk tahun pajak 1996 adalah sebesar 40% x Rp. 50.000.000.000,00 atau sebesar Rp. 20.000.000.000,00.

Disamping cadangan premi, perusahaan asuransi kerugian diperkenankan juga untuk membentuk cadangan klaim untuk menutup klaim asuransi yang sudah dilaporkan akan tetapi perhitungan dan/atau pembayaran klaim tersebut masih dalam proses. Besarnya jumlah cadangan klaim tersebut ditetapkan sebesar perkiraan perhitungan klaim yang akan dibayar sesuai dengan perhitungan perusahaan asuansi yang bersangkutan.

Setiap akhir tahun, perusahaan asuransi kerugian wajib membuat perbandingan besarnya cadangan klaim yang telah dibebankan sebagai biaya tahun lalu dengan besarnya realisasi pembayaran klaim tahun ini. Dalam hal terdapat selisih lebih cadangan klaim jumlah kelebihan tersebut merupakan objek pajak penghasilan pada tahun ini, sedangkan apabila jumlah cadangan klaim tersebut tidak mencukupi untuk menutup pembayaran klaim pada tahun ini maka kekuarangan tersebut akan dibebankan sebagai biaya.

Contoh: Perusahaan asuransi kerugian B secara komersial pada akhir tahun pajak 1995

membuat cadangan klaim sebesar Rp. 22.500.000.000,00 dengan perincian sebagai berikut: a. Klaim yang sudah selesai diproses (besamya kerugian serta klaim yang akan

dibayarkan telah dihitung dan telah setujui oleh kedua belah pihak) tetapi belum dilakukan pembayaran sebesar Rp. 10.000.000.000,00

b. Klaim yang belum selesai diproses (sudah dilaporkan oleh tertanggung tetapi jumlah klaimnya sedang dalam proses) sebesar Rp. 5.000.000.000,00.

c. Klaim yang berhubungan dengan adanya peristiwa yang telah terjadi dan diumumkan dikoran atau informasi lainnya akan tetapi belum dilaporkan (IBMR) oleh tertanggung sebesar Rp. 7.500.000.000,00

d. Berdasarkan ketentuan di atas, maka perusahaan asuransi kerugian tersebut secara fiscal dapat membebankan cadangan klaim sebagai biaya dalam tahun pajak 1995 sebesar Rp. 15.000.000.000,00 yaitu Rp. 10.000.000.000,00 ditambah dengan Rp.5.000.000.000,00 sedangkan jumlah sebesar Rp. 7.500.000.000,00 atas IBNR tidak dapat dibentuk cadangannya. Perlu juga ditegaskan bahwa perkiraan besarnya cadangan klaim yang sedang dalam proses dihitung dengan memperhatikan besarnya tanggungan maksimum sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian polis.

Perusahaan asuransi jiwa dapat membentuk atau memupuk dana cadangan premi tanggungan sendiri. Berbeda dengan cadangan premi yang dibentuk oleh perusahaan asuransi kerugian.

Contoh: Berdasarkan pengesahaan dari Ditjen Lembaga Keuangan tentang besarnya

cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa “C” dinyatakan sebagai berikut: - Akumulasi cadangan premi akhir tahun 1995 Rp. 60.000.000.000,00

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

117

- Akumulasi cadangan premi akhir tahun 1994 Rp. 40.000.000.000,00 - Kenaikan cadangan premi tahun 1995 Rp. 20.000.000.000,00

Dengan demikian besarnya cadangan premi yang boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan asuransi jiwa tersebut untuk tahun pajak 1995 adalah sebesar Rp. 20.000.000.000,00.

Perlu diketahui bahwa dalam perhitungan akumulasi cadangan premi pada akhir tahun 1995 tersebut berasal dari Ditjen Lembaga Keuangan telah memperhitungkan adanya pembayaran klaim karena jatuh tempo atau meninggalnya tertanggung dalam tahun 1995 serta adanya pertambahan polis baru.

d. Jasa Asuransi Tidak di Kenakan PPN Sesuai dengan ketentuan pasal 4A UU No.8 tahun 1983 tentang pajak

pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1994 dan pasal 13 butir 2 Peraturan Pemerintah RI nomor 50 tahun 1994, jenis jasa yang tidak dikenakan PPN anatara lain meliputi jasa di bidang asuransi, tidak termasuk broker asuransi.

Selanjutnya Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 2 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1988, penyerahan jasa asuransi dikecualikan dari pengenaan PPN. Sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-06/PJ.53/1993 tanggal 6 Maret 1993 (Sen PPN-183) tentang PPN atas Jasa Broker (Pialang) asuransi status dan fungsi pengusaha broker (pialang) asuransi bukan merupakan pengusaha jasa perasuransian, sehingga pengusaha broker (pialang) asuransi tersebut adalah pengusaha kena pajak karena jasa yang diserahkannya merupakan jasa kena pajak yang atas penyerahannya terutang PPN. a. Klaim yang sudah selesai diproses (besarnya kerugian serta klaim yang akan

dibayarkan telah dihitung dan telah setujui oleh kedua belah pihak) tetapi belum dilakukan pembayaran sebesar Rp. 10.000.000.000,00

b. Klaim yang belum selesai diproses (sudah dilaporkan oleh tertanggung tetapi jumlah klaimnya sedang dalam proses) sebesar Rp. 5.000.000.000,00.

c. Klaim yang berhubungan dengan adanya peristiwa yang telah terjadi dan diumumkan dikoran atau informasi lainnya akan tetapi belum dilaporkan (IBMR) oleh tertanggung sebesar Rp. 7.500.000.000,00

d. Berdasarkan ketentuan di atas, maka perusahaan asuransi kerugian tersebut secara fiscal dapat membebankan cadangan klaim sebagai biaya dalam tahun pajak 1995 sebesar Rp. 15.000.000.000,00 yaitu Rp. 10.000.000.000,00 ditambah dengan Rp. 5.000.000.000,00 sedangkan jumlah sebesar Rp. 7.500.000.000,00 atas IBNR tidak dapat dibentuk cadangannya. Perlu juga ditegaskan bahwa perkiraan besarnya cadangan klaim yang sedang dalam proses dihitung dengan memperhatikan besarnya tanggungan maksimum sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian polis.

Perusahaan asuransi jiwa dapat membentuk atau memupuk dana dangan premi tanggungan sendiri. Berbeda dengan cadangan premi yang dibentuk oleh perusahaan asuransi kerugian.

118

Contoh: Berdasarkan pengesahaan dari Ditjen Lembaga Keuangan tentang besarnya

cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa “C” dinyatakan sebagai berikut: - Akumulasi cadangan premi akhir tahun 1995 Rp. 60.000.000.000,00 - Akumulasi cadangan premi akhir tahun 1994 Rp. 40.000.000.000,00 - Kenaikan cadangan premi tahun 1995 Rp. 20.000.000.000,00

Dengan demikian besarnya cadangan premi yang boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan asuransi jiwa tersebut untuk tahun pajak 1995 adalah sebesar Rp. 20.000.000.000,00.

Perlu diketahui bahwa dalam perhitungan akumulasi cadangan prerni pada akhir tahun 1995 tersebut berasal dari Ditjen Lembaga Keuangan telah memperhitungkan adanya pembayaran klaim karena jatuh tempo atau meninggalnya tertanggung dalam tahun 1995 serta adanya pertambahan polis baru. KESIMPULAN 1. Saat ini asuransi telah berkembang menjadi suatu bidang usaha/bisnis yang menarik

dan mernpunyai peranan yang tidak kecil dalam kehidupan ekonomi maupun dalam pembangunan ekonomi, terutama di bidang pendanaan.

2. Fungsi utama asuransi adalah memberi kepastian. Karena pada dasarnya asuransi berusaha untuk mengurangi konsekuensi-konsekuensi yang tidak pasti dari suatu keadaan yang merugikan (peril), yang sudah diperkirakan sebelumnya, sehingga biaya atau akibat finansial dari kerugian tersebut menjadi pasti atau relatif pasti.

3. Industri asuransi merupakan industri jasa keuangan yang sangat dinamis dan berkembang. Dalam menjalankan operasinya bisnis asuransi akan terkait dengan berbagai aspek diantaranya aspek perpajakan. Perusahaan asuransi merupakan subjek pajak badan dan objek pajak dalam perusahaan asuransi adalah penghasilan yaitu premi asuransi termasuk premi reasuransi. Sedangkan tarif pajak PPh yang dikenakan untuk perusahaan asuransi adalah tarif pajak PPh pasal 17 untuk wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak bentuk usaha tetap (BUT) dan tarif pajak PPh pasal 26 untuk premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.

4. Pembayaran premi asuransi ke perusahaan asuransi luar negeri berdasarkan tax treaty tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 26 jika dibayar ke WP Luar Negeri selain BUT yang berdornisili di negara-negara berikut: Amerika Serikat, Australia, Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia, Hungaria, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Luxemburg, Norwegia, Pakistan, Perancis, Philipina, Polandia, Singapura, Srilangka, Swedia, Swiss, Thailand, Tunisia.

5. Wajib pajak yang bergerak di bidang asuransi diperkenankan melakukan dana cadangan premi yang boleh dikurangkan sebagai biaya. Bagi Asuransi Kerugian boleh membentuk cangan premi sebesar 40% dan premi tanggungan sendiri dan cadangan klim sebesar klaim asuransi yang sudah dilaporkan resmi; sedangkan bagi Asuransi Jiwa boleh membentuk cadangan premi yang besamya sesuai perhitungan aktuaris.

___________Dampak Usaha Asuransi terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Peraturan..., Rusman Soleman

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

119

DAFTAR PUSTAKA A. Abas Salim, Dasar-dasar Asuransi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Agus Prawoto, SH, MA, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, BFE-

UGM, Yogyakarta, 1995. Magee, John H, General Insurance, Richard D. Irwin, Inc. Homewood, Illinois, 1960. Mashudi H dan Moch. Chidir All, Hukum Asuransi, CV Mandar Maju, Bandung, 1998. Mehr, Robert I, Fundamentals of Insurance, Second Edition, Richard D. Irwin, Inc.

Homewood, Illinois, 1986. Muhamad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern, PT Lentera Basritama, Jakarta,

1999. Muhammad Zain dan Dodo Syarief Hidayat, Himpunan Undang-Undang Perpajakan,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, PT Pustaka Binaman Pressinçlo,

Jakarta, 1992. Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta,

1992. Soeisno Djojosoedarso, Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Asuransi, Salemba Empat,

Jakarta, 2003 Kepmenkeu Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan berupa Premi Asuransi dan Premi Reasurans yang dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri

Kepmenkeu Nomor 80/KMK.04/1095 tanggal 6 Februari 1995 tentang besarnya dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya, diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000 tanggal 8 Juni 2000,

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1988, penyerahan jasa asuransi dikecualikan dari pengenaan PPN

Surat Dirjen Pajak Nomor 3428/PJ.432/1995 tanggal 5 Desember 1995 kepada Ketua Umum DAI tentang Pemotongan PPh pasal 26 atas penghasilan berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang dibayar kepada Perusahaan suransi di Luar Negeri).

Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-06/PJ.53/1993 tanggal 6 Maret 1993 (Sen PPN-183) tentang PPN atas Jasa Broker (Pialang) asuransi

120

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP STRATEGI DIVERSIFIKASI PRODUK ROTI BUANA BAKERY PADA PT.CANDRABUANA

SURYASEMESTA CABANG MAKASSAR

TENRIWARU Dosen Ekonomi Universitas Tadulako

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengetahui strategi diversifikasi pemasaran produk, mengetahui persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk, dan mengetahui nilai penjualan serta profit margin diversifikasi produk Roti Buana Bakery pada PT.Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar. Populasi dalam penelitian ini seluruh pembeli produk berjumlah 123 orang, sedangkan sampel penelitian berjumlah 55 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk, yaitu penilaian konsumen tertinggi adalah roti tawar dan roti manis coklat nilainya sama 12,84%. Roti kering nilainya 12,82%. Roti tawar kupas 12,80%. Roti kering sus 12,77%. Persepsi konsumen mengenai harga yaitu penilaian tertinggi adalah roti manis coklat dengan nilai 12,67%,roti tawar kupas 12,55%, roti kering kentang nilai 12,50%, roti tawar buana 12,37% dan roti manis keju 12,36%.

Kata Kunci: diversifikasi produk, persepsi konsumen, profit margin.

PENDAHULUAN

Tujuan perusahaan adalah memperoleh laba maka perusahaan dihadapkan pada berbagai kendala, seperti pasar yang akan dimasuki, persaingan harga dengan pesaing, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pihak manajemen perusahaan berupaya menetapkan kebijakan yang dianggap tepat untuk dilaksanakan agar penjualan dengan mudah dapat diwujudkan.

Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa faktor internal dan eksternal perlu diperhatikan. Faktor internal dapat dilihat dari kemampuan manajemen perusahaan mengelola faktor-faktor produksi. Faktor eksternal dapat dilihat dari luar lingkungan perusahaan, seperti luas daerah pemasaran serta keadaan persaingan yang dihadapi. Kedua faktor tersebut mengandung makna bahwa ada dua hal penting bagi perusahaan, yaitu diversifikasi produk dan unsur-unsur utama pemasaran, seperti produk, harga, saluran distribusi, dan promosi. Diversifikasi produk merupakan upaya perusahaan menciptakan beraneka produk untuk memenuhi selera konsumen, sedangkan unsur-unsur pemasaran merupakan unsur yang dijadikan strategi utama dalam mendorong konsumen untuk melakukan pembelian produk.

PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar merupakan produsen roti dengan merek dagang Buana Bakery yang pada mulanya hanya memproduksi satu jenis roti yakni roti tawar. Seiring dengan dilakukannya diversifikasi produk, perusahaan memproduksi roti manis dan roti kering sebagai upaya memenuhi selera konsumen. Di sisi lain, diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.

_________________Persepi Konsumen terhadap Strategi Diversifikasi Produk Roti Buana Bakery..., Tenriwaru

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

121

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti hendak mengetahui bagaimana persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk yang dilaksanakan PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar untuk memenuhi selera konsumen sehingga dapat mempengaruhi keputusan untuk membeli roti pada PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk berpengaruh terhadap keputusan membeli produk Roti Buana. Posisi produk ditentukan oleh persepsi konsumen. Konsumen yang berbeda akan memiliki persepsi yang berbeda pula terhadap produk yang sama. Persepsi merupakan salah satu unsur psikologis yang menentukan posisi produk atau merek dalam pikiran konsumen. Persepsi adalah sesuatu yang dirasa dan dipikirkan sehingga dengan mengetahui persepsi konsumen, perusahaan dapat mengidentifikasi posisi produk atau merek dalam pikiran konsumen. Persepsi juga memungkinkan perusahaan mengidentifikasi apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Dengan demikian memungkinkan ditemukannya peluang-peluang yang akan dijadikan landasan bagi pengembangan strategi pemasaran perusahaan. Supriyanto (2003:33) mengemukakan bahwa “Persepsi sebagai suatu proses dimana individu memberi arti terhadap suatu fenomena yang terjadi, berdasarkan kesan yang ditangkap oleh panca inderanya”. Selain itu, Assael (1992:44) juga memberikan definisi mengenai persepsi yakni “... proses yang dilakukan konsumen dengan menyeleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasikan ransangan-ransangan untuk memberikan arti atau memahami ransangan-ransangan”. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan aktivitas mengindera, menyeleksi, mengorganisasi, menginterpretasi, dan memberikan penilaian tentang objek tertentu. Aspek yang perlu menjadi perhatian perusahaan dalam memasarkan produknya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam pengambilan keputusan menurut Tjiptoyo (1999:93), yaitu:

1. Faktor budaya yang mempunyai pengaruh sangat luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen.

2. Faktor sosial. Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, peran, dan status sosial.

3. Faktor pribadi. Seorang pembeli dalam mengambil keputusan juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, yaitu usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, serta gaya hidup kepribadian dan konsep pribadi pembeli.

4. Faktor Psikologis. Dalam melakukan pilihan pembelian, seseorang dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, kepercayaan, dan pendirian.

Selanjutnya, ada tiga faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen yaitu:

122

1. Individual konsumen Pemilihan suatu produk dipengaruhi oleh konsumen, persepsi terhadap

karakteristik produk, dan sikap terhadap produk alternatif. Perilaku konsumen digerakkan dan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu sumber daya, motivasi, keterlibatan, sikap, kepribadian, gaya hidup, dan demografi. 2. Pengaruh Lingkungan

Seperti diketahui konsumen hidup dalam suatu lingkungan yang serba kompleks sehingga proses pengambilan keputusan mereka dipengaruhi oleh budaya, kelas sosial, keluarga, dan situasi. 3. Variabel Pemasaran

Variabel pemasaran yang dapat dikontrol oleh pemasar dalam usaha untuk membeli informasi dan mempengaruhi konsumen. Variabel ini adalah produk, harga, promosi, lokasi, orang, layanan, dan proses. Kesemuanya dipandang sebagai stimulus yang dipersepsikan dan dievaluasikan oleh konsumen dalam proses pengambilan keputusan.

Berubahnya situasi pasar dan kondisinya serta sifat-sifat konsumen menyadarkan para produsen bahwa inovasi merupakan hal penting yang harus dipikirkan, sebab dalam jangka panjang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup perusahaan. Setiap perusahaan harus selalu melakukan suatu perbandingan produknya dengan produk pesaing, meneliti, menggali perubahan, keinginan konsumen saat ini dan yang akan datang, kemudian mengadakan pengembangan sesuai keinginan konsumen. Agar perusahaan dapat senantiasa meningkat, baik nilai penjualan yang meningkat maupun laba, maka ada beberapa cara yang ditempuh yaitu: 1. Meningkatkan produk yang sudah ada dengan cara memperbaiki kualitas, desain,

dan kemasan produk. 2. Menambah jenis produk baru (diversifikasi).

Effendi (1993:76) menyatakan definisi tentang diversifikasi produk sebagai berikut,

“Diversifikasi produk adalah suatu perluasan pemilihan barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan dengan jalan menambah produk baru, jasa baru, atau memperbaiki tipe model, ukuran, dan jenis produk yang sudah ada dalam rangka memmperoleh laba maksimum.” Kotler dan Amstrong (1997:66) memberikan pengertian “Diverisfikasi adalah

strategi untuk pertumbuhan perusahaan dengan membuka bisnis baru atau membeli (mengambil alih) bisnis di luar produk dan pasar perusahaan yang sudah ada”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa diversifikasi adalah peningkatan atau penambahan produk dalam arti ukuran, model, atau produk yang bersifat baru melalui peralatan produksi baru maupun melalui lini produksi yang baur untuk memperluas assortmen barang dan menawarkan produk baru tersebut kepada pasar baru. Perusahaan dalam mengembangkan suatu produk baru menuntut adanya suatu usaha yang betul-betul menyeluruh dari perusahaan bersangkutan. Perusahaan yang melakukan inovasi harus mempunyai komitmen yang konsisten terhadap sumber daya untuk pengembangan produk baru. Selain itu, merancang suatu strategi produk baru

_________________Persepi Konsumen terhadap Strategi Diversifikasi Produk Roti Buana Bakery..., Tenriwaru

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

123

yang dihubungkan dengan proses perencanaan strategi mereka dan juga menentukan atau menetapkan struktur organsasi formal yang canggih bagi pengolahan proses pengembangan produk baru.

Beberapa alasan suatu perusahaan melakukan diversifikasi produk yaitu: 1. Hasrat untuk menyesuaikan produk yang dihasilkan dengan keinginan (selera)

konsumen. 2. Hasrat untuk tumbuh dan berkembang. 3. Usaha untuk menjaga stabilitas. 4. Usaha untuk mencapai output yang optimal dari sumber dan kepastian yang ada. 5. Hasrat untuk melanjutkan usaha. 6. Motif dan ekonomis.

Adapun tujuan ditempuhya kebijakan diverisfikasi produk oleh perusahaan adalah untuk memperkecil resiko kemungkinan kerugian yang diderita atau menurunnya keuntungan yang diperoleh perusahaan dari produksi sebelumnya karena adanya kesamaan produk yang dihasilkan perusahaan lain. Oleh karena itu, tiap perusahaan harus berupaya untuk melakukan diversifikasi produk dengan menambah jenis atau macam produk yang dihasilkan dan dipasarkan dari produsen ke konsumen, sehingga jika suatu jenis produk yang dihasilkan menurun permintaanya, maka kerugian dapat ditutupi oleh keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan jenis produk lainnya. Dengan melakukan diversifikasi produk, pihak perusahaan mengharapkan akan memperoleh keuntungan melalui: 1. Tidak bergantung pada satu pasar saja. 2. Untuk memperluas aktivitas perusahaan dan memperoleh keuntungan yang lebih

besar. 3. Untuk mempergunakan hasil penemuan baru yang lebih menguntungkan.

Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan kegiatan diversifikasi produk dalam arti meningkatkan nilai suatu penjualan, maka sebaiknya kegiatan tersebut: 1. Dibantu oleh pasar yang baik. 2. Didukung oleh bauran produk lainnya secara optimal. 3. Diperlukan adanya kegiatan promosi untuk memperkenalkan produk baru setelah

adanya diversifikasi terhadap produk yang dihasilkan. Tantangan besar dalam perencanaan pemasaran adalah bagaimana

pengembangan gagasan tentang produk baru yang memasarkannya dengan berhasil. Perusahaan harus mengganti produk yang telah memasuki tahap penurunan dalam daur hidup produknya. Masalah perencanaan produk baru dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Mengambil alih perusahaan lain. Untuk mengambil alih perusahaan lain ada dua

bentuk, yaitu: a. Pembelian perusahaan dengan mencari perusahaan kecil yang menguasai jajaran

produk yang menarik. b. Pembelian hak paten dengan membeli hak cipta atas produk-produk baru dari

pihak pencipta atau pemegang hak cipta.

124

2. Inovasi. Untuk upaya inovasi tersedia dua bentuk pokok, yaitu: a. Inovasi internal dengan menyusun dan menyelenggarakan bagian penelitian dan

pengembangan dalam perusahaan sendiri. b. Inovasi kontrakan dengan mengontrakkan ahli penelitian atau badan

pengembangan produk-produk baru untuk ;perusahaannya. Kegagalan suatu produk di pasaran disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Seorang pimpinan mungkin memasarkan gagasan kesayangannya meskipun penelitian pasar telah menunjukkan kecil kemungkinan berhasilnya suatu produk baru.

2. Kelemahan struktur organisasi untuk menggarap ide-ide produk baru. 3. Kelemahan mengukur luasnya pasar, pembuatan peramalan, dan penelitian. 4. Perencanaan yang lemah, misalnya segmentasi yang salah, menetapkan posisi yang

buruk, anggaran yang kurang, dan lain sebagainya. 5. Keunggulan dan manfaat produk tidak bisa jelas bagi konsumen. 6. Desain produk yang kurang baik. 7. Biaya pengembangan lebih tinggi dari yang diduga sebelumnya. 8. Tanggapan pesaing lebih ganas dari yang diduga.

Beberapa penyebab yang mengakibatkan sulitnya keberhasilan pengembangan produk baru di masa yang akan datang, yaitu: 1. Kurangnya gagasan pada jenis baru tertentu. 2. Pasar yang terpecah-pecah. 3. Kendala sosial dan pemerintah. 4. Mahalnya biaya proses pengembangan produk baru. 5. Singkatnya jangka usia produk yang berhasil.

Untuk keberhasilan pemasaran suatu produk baru, pihak perusahaan harus memperhatikan masalah efektivitas seluruh pengelolaah organisasi dalam menangani proses pengembangan produk baru. Selanjutnya, perusahaan harus menangani setiap tahap dalam proses dengan teknik yang terbaik. Berdasarkan pokok masalah yang dikemukakan pada bab sebelumnya dan didukung dengan uraian beberapa teori, peneliti mengajukan hipotesis penelitian bahwa persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk berhubungan dengan keputusan untuk melakukan pembelian roti pada PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar. METODA

Yang menjadi objek penelitian ini adalah konsumen yang membeli roti pada PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar. Jenis data yang digunakan adalah: 1. Data kualitatif adalah data yang bersifat keterangan atau informasi, seperti data

deskriptif pelaksanaan strategi deiversifikasi produk, struktur organisasi, dan sejarah singkat perusahaan.

2. Data kuantitatif adalah data yang bersifat angka-angka atau dapat dihitung, seperti data jumlah karyawan dan nilai penjualan.

_________________Persepi Konsumen terhadap Strategi Diversifikasi Produk Roti Buana Bakery..., Tenriwaru

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

125

Ada dua metode pengambilan data yang digunakan, yaitu 1. Metode penelitian lapangan yang terdiri dari metode observasi, wawancara, dan

kuesioner. 2. Metode penelitian pustaka adalah pengambilan data dengan cara menelaah beberapa

literatur yang berkaitan dengan pemasaran, perilaku konsumen, dan diversifikasi produk

Populasi dalam penelitian konsumen yang membeli roti pada PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah seluruh konsumen yang membeli roti selama penulis melakukan penelitian yang berjumlah 123 orang. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif terdiri dari tiga macam bentuk, yaitu: 1. Analisis kuesioner adalah analisis untuk mengetahui persepsi responden terhadap

strategi diversifikasi produk dengan cara dikelompokkan dalam empat kategori yang diteliti, yaitu: a. Rata-rata > 4 kategori sangat puas b. Rata-rata 3-4 kategori puas c. Rata-rata 2-3 kategori kurang puas d. Rata-rata 1-2 kategori tidak puas

2. Analisis statistik dengan menggunakan teknik regresi linier yakni dengan melihat hasil uji F pada tabel anova yang dihitung dengan menggunakan perangkat SPSS ver. 14.

3. Analisis profit margin adalah analisis untuk mengetahui tingkat laba yang diperoleh perusahaan dengan mengurangi antara nilai penjualan dengan biaya operasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Strategi diversifikasi produk PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar meliputi: 1. Strategi produk yang terdiri dari kemasan, aroma dan rasa, komposisi bahan. 2. Strategi harga. Startegi harga berhubungan dengan daya beli konsumen dan tingkat

laba yang dikehendaki perusahaan yang di dalamnya mencakup: tingkat harga, harga pesaing, dan potongan harga.

Karakteristik responden merupakan sumber informasi yang penting untuk dicantumkan karena berkaitan dengan kelayakan untuk memberikan informasi dan kadar kepercayaan terhadap informasi yang diberikan. Responden dibagi menurut umur, status, dan frekuensi pembelian.

Penilaian responden terhadap diversifikasi produk PT Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar dengan variabel yang diteliti, yaitu produk dan harga produk adalah sebagai berikut: 1. Produk

Indikator-indikator yang diteliti berkaitan dengan produk, yaitu kemasan, aroma dan rasa serta komposisi bahan dengan sasaran penilaian adalah 6 (enam) jenis

126

produk roti. Adapun rata-rata penilaian responden terhadap variabel produk PT Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini:

Tabel 1 Rata-Rata Penilaian Responden Terhadap Produk PT Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar

Diversifikasi Indikator Jumlah Produk Kemasan Aroma dan Komposisi

Rasa Bahan Roti tawar buana 4.24 4.27 4.33 12.84 Roti tawar kupas 4.20 4.33 4.27 12.80 Roti manis keju 4.22 4.20 4.25 12.67 Roti manis coklat 4.33 4.22 4.29 12.84 Roti kering kentang 4.31 4.22 4.29 12.82 Roti kering sus 4.25 4.28 4.24 12.77 Sumber: Hasil kuesioner yang diolah

Tabel di atas memperlihatkan bahwa rata-rata penilaian responden di atas atau lebih besar dari 4, sehingga penilaian responden terhadap variabel produk berada pada kategori “Sangat puas”. Selain itu, penilaian responden tertinggi adalah roti tawar buana dan roti manis coklat masing-masing diberi nilai yang sama, yaitu 12,84. Kemudian disusul oleh roti kering kentang dengan nilai 12,82, roti tawar kupas dengan nilai 12,80 dan terakhir roti kering sus dengan nilai 12,77.

2. Harga Indikator-indikator yang diteliti berkaitan dengan harga, yaitu tingkat harga,

harga pesaing serta potongan harga atau diskon dengan sasaran penilaian adalah 6 (enam) jenis produk roti. Adapun rata-rata penilaian responden terhadap variabel harga PT Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini:

Tabel 2 Rata-Rata Penilaian Responden Terhadap Harga

PT Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar Diversifikasi Indikator

Jumlah Produk Tingkat Harga Potongan Harga Pesaing Harga

Roti tawar buana 4.11 4.15 4.11 12.37 Roti tawar kupas 4.20 4.13 4.22 12.55 Roti manis keju 4.09 4.16 4.11 12.36 Roti manis coklat 4.16 4.20 4.31 12.67 Roti kering kentang 4.11 4.15 4.24 12.50 Roti kering sus 4.00 4.22 4.20 12.42 Sumber: Hasil kuesioner yang diolah

_________________Persepi Konsumen terhadap Strategi Diversifikasi Produk Roti Buana Bakery..., Tenriwaru

Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________

127

Tabel di atas memperlihatkan bahwa rata-rata penilaian responden di atas atau lebih besar dari 4, sehingga penilaian responden terhadap variabel harga berada pada kategori “Sangat puas”. Selain itu, penilaian responden tertinggi terhadap harga adalah roti manis coklat dengan nilai 12,67. Kemudian roti tawar kupas dengan nilai 12,55. Selanjutnya roti kering kentang dengan nilai 12,50, lalu roti tawar buana dengan nilai 12, 37 dan terakhir roti manis keju dengan nilai 12,36.

Memperhatikan hasil penilaian responden sebagaimana dijelaskan di atas dapat dikatakan bahwa diversifikasi produk yang berlangsung pada PT Candrabuana Suryasemesta Cabang Makassar dianggap sudah tepat, karena penilaian responden rata-rata berada pada kategori “Sangat setuju”.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk dengan variabel produk hasilnya adalah roti yang paling digemari adalah roti tawar buana dan roti manis cokelat. Peringkat berikutnya disusul oleh roti kering kentang dan roti kupas. Adapun peringkat terakhir penilaian responden adalah roti kering sus. Penilaian responden untuk variabel harga yang tertinggi adalah roti manis cokelat, kemudian roti tawar kupas. Selanjutnya, roti tawar kentang dan roti tawar buana. Terakhir yang dipilih adalah roti manis keju. Dari kesimpulan di atas dan berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan melihat uji F dapat dikatakan bahwa hipotesis nol ditolak berarti terdapat hubungan antara persepsi konsumen terhadap diversifikasi produk dengan keputusan untuk melakukan pembelian roti pada PT Candrabuana Suryasemesta cabang Makassar. DAFTAR RUJUKAN Alma, B, 2004, Manajemen Pemasaran dan Jasa, Cetakan Keenam, Alfabeta,

Bandung. Assael, H, 1992, Costumer Behavior and Marketing Action, Cetakan Keempat, Ghalia

Indonesia, Jakarta. Affebdy, 1993, Perilaku Konsumen, Edisi Kelima, Cetakan Kelima, Erlangga, Jakarta. Irawan dan Wijaya, 1996, Prinsip dan Kasus Pemasaran, Edisi Kedua, BPFE-UGM,

Yogyakarta. Kottler, Philip, 1991, Strategi Pemasaran, Terjemahan Afiff, Edisi Keenam, BPFE-UI,

Yogyakarta. Kotler dan Amstrong, 1997, Prinsip-prinsip Pemasaran Jilid I Edisi Ketiga, Erlangga,

Jakarta. Nitisemito, Alex S., 1997, Marketing, Ghalia Indonesia