Eksistensi Manusia, Ilmu, dan Teknologi

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS FILSAFAT SAINS EKSISTENSI MANUSIA, ILMU, DAN TEKNOLOGI

Disusun Oleh: Jul Hasratman D, S.Si. Sutikno, S.Pd.

Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Sains: Prof. Dr. Aprizal Lukman, M.Pd. Dr. Hary Soedarto Harjono, M.Pd.

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI JAMBI 2012

EKSISTENSI MANUSIA, ILMU, DAN TEKNOLOGI Eksistensi Manusia Apa manusia? Siapa manusia? Dan, bagaimana manusia? Pertanyaan itu adalah pertanyaan eksistensial yang dipertanyakan oleh manusia sendiri dalam kesadarannya. Bahkan, pertanyaan itu sudah dipertanyakan sejak manusia sadar akan keberadaan dirinya.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan tentang keber-Ada-an atau eksistensi. Untuk menjelaskan eksistensi manusia dalam filsafat, Karl Jasper mendukung sebuah gagasan bahwa semua pertanyaan dan persoalan yang berkaitan dengan hidup manusia, memakai aku sebagai pokok kalimat dan ditelusuri serta diselami sampai pada ke akarnya. Jika kita disadarkan akan fakta-fakta ini dan menemukan bahwa, kendatipun pengetahuan kita lebih maju, masih tertinggal suatu ketidaktahuan, pintu menjadi terbuka untuk menggali suatu lapisan mengenal yang berikut, yaitu filsafat.

Filsafat merupakan pemikiran sedalam-dalamnya tentang semua hal yang bersentuhan dengan manusia dan bagaimanapun juga caranya bersangkut paut dengan dia dan

hidupnya. Jadi filsafat akan berurusan dengan benda-benda, situasi-situasi, pertanyaan dan masalah yang sebelumnya telah dijumpai baik di tingkat pengetahuan pra-ilmiah maupun di tingkat pengetahuan ilmiah, namun kali ini diselami ke dasar yang lebih dalam.

Filsafat eksistensi sebetulnya mencari suatu citra manusia, yaitu suatu visi tertentu atas hidup manusia, yang dapat dipertanggungjawabkan, yang dapat berperan menjadi pedoman yang bersifat mengikat dan mengarahkan bagi keseluruhan sikap hidupnya. Visi itu harus menjuruskan dan menjiwai tingkah lakunya. Jadi tujuan filsafat bukanlah pengetahuan demi pengetahuan.

Manusia membutuhkan suatu visi atas hidup yang benar-benar berakar dan berbobot, supaya dengan berpijak pada hal tersebut ia tahu bagaimana membentuk diri

seperti semestinya, apa yang dapat diharapkannya untuk masa yang akan datang, dan dimana ia harus mencari kebulatan, keutuhan, dan kesempurnaan hidup sebagai manusia, dan akibatnya, di mana ia akan dapat menemukan kebahagiaan (kalau kebahagiaan itu ada). Jadi berfilsafat tentang eksistensi manusia mempunyai orientasi praktis, namun harus bertumpu pada citra manusia yang bertanggungjawab dan suatu pandangan atas manusia yang berdasar. Itulah yang harus dicita-citakan.

Secara empiris manusia merasakan bahwa materi-materi yang ada disekitarnya adalah ada. Manusia kemudian menyadari bahwa materi-materi itu ada. Begitu pula dengan dirinya sendiri, manusia menyadari dirinya ada. Namun, bagaimana? Bagaimana semua materi itu bisa ada? Bagaimana manusia itu bisa ada pula? Mungkinkah adanya materimateri itu sebenarnya tidak ada, dan berarti adanya manusia itu sebenarnya juga tidak ada? Dari ada-ada itu pastilah ada Ada yang mengatasi, suatu causa prima, suatu Ada yang pertama yang menyebabkan ada-ada yang lain. Maka, tanpa Ada, mustahil ada adaada yang lain.

Kita dapat mengenal dan menyadari adanya Ada lewat beradanya ada-ada yang lain (termasuk manusia), secara sederhana lewat pengalaman inderawi. Kita mendengar musik. Jika musik tidak pernah ada, dapat dibayangkan tidak pernah ada seni. Jika seni tidak pernah ada, dapat dibayangkan tidak pernah ada manifestasi kemanusiaan. Jika manifestasi kemanusiaan tidak pernah ada, dapat dibayangkan manusia tidak pernah ada. Jika manusia tidak pernah ada, dapat dibayangkan dunia di mana manusia ikut ambil bagian membentuknya tidak pernah ada. Jika dunia tidak ada, dapat dibayangkan ruang tempat dunia (seharusnya) ada tidak ada. Jika ruang tidak ada, dapat dibayangkan semesta tidak ada. Jika semesta tidak ada, dapat dibayangkan segalanya tidak ada. Jika segalanya tidak ada, yang ada hanyalah ketiadaan . Dan, itu mustahil sebab ketiadaan tidak pernah sekaligus ada .

Ada bukanlah suatu masalah. Masalah adalah suatu obyek di luar aku. Padahal, Ada bukanlah obyek di luar aku. Ada adalah suatu misteri . Aku berproses menjadi ada. Aku ada, tapi belum sempurna. Belum, tidak berarti tiada. Belum berarti ada, tapi tidak sempurna. Menjadi adalah suatu proses menuju keadaan sempurna. Sedangkan Ada itu sempurna sebab Ada mengatasi dan mengadakan ada-ada yang lain. Ada yang

sempurna itu adalah suatu misteri. Namun, Ada dapat dirasakan melalui ada-ada sebab ada-ada berada oleh karena Ada. Sedangkan ada-ada itu dalam adanya adalah materi. Berada adalah Proses Menjadi Sesuai Hakikat Diri. Jika manusia adalah ada yang berada oleh karena Ada, bagaimana aku ini berada? Apakah adaku ini hanya sekadar ada begitu saja? Apakah aku tidak bisa berada sesuai dengan cara yang kukehendaki? Adaku adalah proses pencarian dan manifestasi hakikat diri. Hakikat diri adalah suatu kebenaran yang kemudian aku sadari dan aku pilih untuk kuhidupi dengan komitmen sebagai tindakan beradaku .

Bagaimana aku menyadari atau setidaknya mengetahui hakikat diriku? Dalam ketidaktahuan aku mengidentivikasi segalanya ke dalam diriku . Aku melakukan dan menikmati apa saja . Namun, dengan demikian beradaku adalah sekadar ada sebab hakikat diriku tidak tampak. Dalam perjalanan aku menemukan identivikasi yang beresonansi dengan hakikat diriku. Dengan demikian sedikit banyak aku mulai sadar atau setidaknya mengetahui hakikat diriku. Kemudian, aku harus mengambil sikap. Aku bisa memilih untuk tetap angin-anginan mencoba dan menikmati segalanya atau aku memilih satu identivikasi yang beresonansi dengan dan kupercayai adalah hakikat diriku . Dengan memilih aku mengarahkan proses beradaku. Beradaku memiliki tujuan.

Akan tetapi, apa arah dan tujuan beradaku? Arah dan tujuan beradaku adalah berada sesuai dengan kebenaran di dalam diri, hakikat diri. Melalui dan di dalam hakikat diri Ada menuntun bagaimana sebenarnya aku berada. Adaku yang selaras dengan hakikat diri adalah adaku yang selaras dengan tujuan Ada membuatku ada. Manusia ada tidak secara kebetulan. Manusia ada oleh karena Ada sebab. Manusia adalah salah satu ada yang berada oleh karena Ada. Namun, manusia bebas dalam berada. Manusia dapat seakan-akan ada dengan berada tanpa tujuan. Akan tetapi, manusia mampu memilih untuk berada sesuai dengan hakikat dirinya, bagaimana manusia berada secara sebenarnya sesuai dengan maksud Ada.

Eksistensi Ilmu Menurut pengertian bahasa, ilmu dapat diterjemahkan sebagai pengetahuan. Sehingga nama pengetahuan menceminkan adanya redudensi peristilahan (words redudancy), yang tujuannya untuk lebih menegaskan suatu makna, seperti jatuh ke bawah, naik ke atas dan lain sebagainya. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu "pengetahuan ilmiah" dan "Pengetahuan Biasa". Pengetahuan Biasa (knowledge) diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan pikiran, pengalaman, pancaindera dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara dan kegunaannya. Sedangkan "Pengetahuan Ilmiah" (science) juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek, cara yang digunakan dan kegunaan dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah memperhatikan obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri. Baik Science atau knowledge pada dasarnya keduanya merupakan hasil observasi pada fenomena alam atau fenomena sosial. Dengan demikian, ilmu pengetahuan memiliki cakupan yang amat luas, yaitu ilmu pengetahuan alam, sosial budaya dan seterusnya. Penjelasan di atas, merupakan penjelasan umum ilmu dan keterkaitannya dengan istilah Sains (Science) dan Knowledge, namun apabila dilihat dari sisi bawah makna yang terkandung dalam kata ilmu perlu lebih ditegaskan. Untuk menghindari kesalahpahaman, perlu dilakukan pambahasan tentang peristilahan Sains dan ilmu. Seringkali istilah Sains (Science) dan Ilmu ('Ilm) disepadankan, sehingga memberikan pensifatan yang sepadan pula yaitu antara Scientific dengan ilmiah. Penyepadanan antara ilmu dengan Sains, dimana Sains hanya berkaitan dengan obyek-obyek inderawi adalah menyempitkan makna ilmu yang sebenamya. Konsekuensi dari penyepadanan tersebut adalah mengeluarkan obyek-obyek yang tidak bisa diketahui, namun bisa dikenali (Ma'rifah), seperti hal-hal yang terkait dengan "keTuhanan" dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih jauhnya, tersirat dalam penggunaan kata "Ilmiah" (Scientific). Segala pernyataan yang tidak "ilmiah" (tidak Scientific) dianggap lebih rendah nilainya. Yang pada gilirannya berarti segala ilmu yang bersumber dari agama yang tidak bisa

"dibuktikan" secara inderawi (masalah moral sebagai misal) menjadi tidak bernilai. Penyempitan makna ini, baik secara sadar atau tidak, telah memberikan isyarat tentang terjadinya proses penghapusan makna-makna ruhaniah (sekuralisasi) yang

sesungguhnya memang dimulai dari pemberian makna suatu bahasa. Dalam pembahasan di sini, tidak dilakukan perbedaan antara Sains dan Ilmu dan tidak pula dilakukan penyempitan makna atau lingkup otoritas dari Sains. Artinya Sains yang dimaksudkan di sini bisa memiliki otoritas cakupan sama dengan yang dimiliki oleh ilmu. Sains merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu dengan memperhatikan objek (ontologi), cara (episteinologi) dan kegunaannya (aksiologi). Berangkat dari tiga kerangka tersebut, dengan memanfaatkan kemampuan keberadaan manusia dan akalnya untuk memahami fenomena alam semesta (keseluruhan ciptaan atau mahluk Allah) sebagai objek pemahaman yang pada akhirnya hasil pemahaman tersebuti dipergunakan untuk memberikan nilai manfaat sebesarbesamya bagi kemanusiaan. Dalam perkembangan diskursus ilmu, daerah perbedaan yang sering terjadi dalam Sains adalah pada Epistemologi dan Aksiologi. Perbedaan itu terjadi di sekitar persoalan apakah sains itu bebas nilai atau sarat nilai. Bagi kita bangsa Indonesia, atau umumnya pada bangsa dari negara-negara yang sedang berkembang persoalan mendasarnya bukanlah berada diskursus (discourse) tentang apakah ilmu itu bebas atau sarat nilai. Akan tetapi lebih mendasar yaitu bagaimana kita bisa menguasai dan memanfaatkan ilmu untuk kemaslahatan (kesejahteraan) masyarakat secara luas. Para filosofi masih berbeda pendapat tentang bagaimana memperoleh Sains itu. Sehingga muncullah beberapa aliran antara lain : Skeptisme, Academic Doubt, Rasionalisme, Empirisme dan Intuisi. Aliran-aliran tersebut pada umumnya berbeda di dalam melihat fungsi dari panca indera dan akal, seakan terjadi pertentangan antara citra inderawi (mahshushat) dengan citra akliah (mu'qulat). Dalam dimensi keimanan, dari aspek aksiologinya, penguasaan Sains semuanya harus bermuara pada Peningkatan Kualitas Keimanan yang disimbolkan dengan. pengakuan kekuasaan Tuhan yang dalam konteks penciptaan, bahwa segala ciptaan Tuhan tidak ada yang sia-sia. jadi ada

keterpaduan (koherenitas) antara penguasaan Sains dengan peningkatan 'kualitas Keimanan. Di samping pengakuan akan kekuasaan Tuhan, munculnya rasa takut dan permohonan -perlindungan dari kegagalan yang hakiki yaitu neraka. Melihat eksistensi (hakikat keberadaannya), ilmu lebih bergelut dengan fakta-fakta dan berurusan dengan akal yang mengarahkan dan membelokkan jiwa kepada hakikat benda. Ciri khas ilmu pengetahuan adalah mencari hubungan gejala-gejala yang faktawi. Ia tidak puas menyatakan benar sesuatu itu apa; begini dan begitu. Ia ingin tahu apa sebabnya sesuatu itu ada.

Pengetahuan ilmiah pengetahuan pra

mencoba

mengintegrasikan yang terpotong-potong dalam kesatuan. Dalam mencapai pengertian ilmu

ilmiah pada

pengetahuan maju secara sistematis. Ia tidak bersifat menunggu saja seolah-olah pada waktunya dan dalam situasi tertentu terang pengetahuan akan menyingsing dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan harus mengusahakan pengertian melalui penyelidikan. Ilmuwan tidak akan menerima sesuatu apapun sebagai fakta dan kebenaran kalau sebabnya atau sumbernya tidak diketahui dan

dipertanggungjawabkan. Dengan demikian bahaya kekeliruan atau ketidakbenaran dapat agak dikurangi. Ilmuwan bersikap kritis. Sekalipun demikian ia tidak kebal terhadap kekeliruan dan kesesatan. Hanya dapat dikatakan bahwa pengetahuannya jauh lebih kokoh dan lebih dapat diandalkan.

Ketidaktahuan manusia untuk sebagian besar dilengkapi oleh ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan masih juga mempunyai kekurangan dan keterbatasan, dan karena itu tidak juga memuaskan

Cara ilmu berkiprah metodiknya tidak memungkinkan untuk meneropongi serentak seluruh realitas dalam totalitasnya. Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian dengan menerobos realitas sendiri, pengertian ini hanya dicari pada tataran empiris dan eksperimental. Maksudnya, ilmu pengetahuan membatasi kegiatannya hanya pada fenomen-fenomen yang entah langsung atau tidak dapat dicerap oleh indera.

Tambahan pula, ilmu pengetahuan hanya meneliti dan mempelajari salah satu sektor tertentu dari seluruh realitas. Cara kerjanya (terpaksa) fragmentaris atau terbagi-bagi.

Fragmentarisme ini mudah menyebabkan bahwa orang tidak lagi melihat keseluruhan atau totalitas, dan perkaitan antara dia dengan realitas. Muncul bahaya sikap berat sebelah. orang hanya tahu lorongnya sendiri. Dunianya kecil sekali. Padahal tiap-tiap orang sebetulnya menginginkan dan menghasratkan di dalam hatinya kesatuan dan sintesa. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos sampai ke inti obyeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Ia tidak menjawab perihal kausalitas yang paling dalam. Jika kita mempelajari ilmu, akan masih tertinggal beraneka ragam pertanyaan yang bersifat mendasar, namun tidak termasuk ke dalam tataran empiris dan eksperimental. Kita tahu atau sekurang-kurangnya merasakan adanya lapisan lebih dalam yang dapat digali. Kita belum mencapai pengertian fundamental.

Adakalanya kita mendengar orang mengatakan bahwa cara bernalar dan mencari fakta oleh ilmu pengetahuan lebih banyak bersifat sentrifugal, artinya menjauh dari manusia itu sendiri beserta persoalan-persoalan pribadinya, daripada sentripetal, artinya memusat atau mendekati manusia konkret atau sang aku . Persoalan-

persoalan ilmu pengetahuan terlalu umum dan tidak mengena pada diri pribadi orang, dan karena itu tidak mempunyai cukup kedalaman. Orang individual tidak dihampirinya sebagai seorang aku melainkan sebagai dia atau manusia saja.

Karl Jasper menyebutkan bahwa iImu pengetahuan adalah pengetahuan fakta dan bukan pengetahuan realitas yang asli, yang menghasilkan suatu ikhtisar dan

pandangan yang menyeluruh dan meliputi keseluruhan realitas pada dirinya. Padahal keseluruhan itu menjadi ruang hayat manusia.

Ilmu tidak menyediakan cita-cita yang menggiurkan hati, tidak memberikan kaidahkaidah mutlak dan bersifat mengikat demi tercapainya tujuan kehidupan yang ingin dicapai seseorang oleh dirinyanya pribadi, dan akhirnya mungkin menjauhkan dirinya dari masalah makna segala-galanya, yang justru lebih dipentingkan orang. Sebab, setiap kali manusia belajar atau menemukan sesuatu, ia ingin mencari lebih jauh lagi dan bertanya-tanya terus sampai saat ia mendapatkan jawaban mengenai sebab terakhir , yang menyingkapkan adanya semua yang ada dan sekaligus menampakkan bobot sebenarnya dari semua yang ada.

Eksistensi Teknologi Beberapa pengertian teknologi telah diberikan atara lain oleh David L. Goetch : people tools, resources ,to solve problems or to extend their capabilities. Sehinga teknologi dapat dipahami sebagai "upaya" untuk mendapatkan suatu "produk" yang dilakukan oleh manusia dengan memanfaatkan peralatan (tools), proses dan sumberdaya (resources). Pengertian yang lain, telah diberikan oleh Arnold Pacey "The application os scientific and other knowledge to practical task by ordered systems. that involve people and organizations, living things and machines". Dari definisi ini nampak, bahwa teknologi tetap terkait pada pihak-pihak yang terlibat dalain perencanaannya, karena itulah teknologi tidak bebas organisasi, tidak bebas budaya dan sosial, ekonomi dan politik. Definisi teknologi yang lain diberikan oleh Rias Van Wyk "Technology is a "set of means" created by people to facilitate human endeavor". Dari definisi tersebut, ada beberapa esensi yang terkandung yaitu : 1. Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berakhir, keberadaan teknotogi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia. 2. Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat artificial 3. Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of means), sehingga teknologi dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudtit pandang analisis 4. Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi human endeavor (ikhtiar manusia). Sehingga tekno logi harus mampu merungkatkan performansi (kinreja) kemampuan manusia. Dari definisi di atas, ada 3 (tiga) entitas Yang terkandung dalam eksistensi (keberadaan) teknologi yaitu, Skill (Keterampilan), Algorithma (Logika berfikir) dan hardware (Perangkat Keras).

Dalam pandangan Management of Technology, Teknologi dapat digambarkan dalam beragam cara 1. Teknologi sebagai makna untuk memenuhi suatu maksud di dalamnya terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk merubah (mengkonversikan) sumberdaya (resources) ke suatu produk atau jasa. 2. Teknologi tidak ubahnya sebagai pengetahuan, sumber daya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (objective). 3. Teknologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa (Engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan atau proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru.

Daftar Pustaka

1. Wirakusumah, Teddy K. Dimensi Eksistensi Manusia dalam Seni, Ilmu, Filsafat, dan Agama. (Sumber

http://komunikologi.wordpress.com/2008/03/29/dimensi-eksistensi-manusiadalam-seni-ilmu-filsafat-dan-agama-2/), diakses tanggal 16 Februari 2012.

2. Adi, Padmo. 2010. Eksistensi Manusia - Proses Menyempurnakan Cinta. (http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/09/eksistensi-manusia-prosesmenyempurnakan-cinta/), diakses tanggal 16 Februari 2012.

3. Anonim. 2012. Eksistensialisme. Sumber : Wikipedia Indonesia