17
Ekologi Politik. Studi Kasus : Gagasan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Meredam Gejolak Social Masyarakat Lokal (Masyarakat Indonesia Timur) Posted by sansen situmorang under Analisa Politik , Konflik dan Konsensus , Politik Lingkungan , Social, Political and Economic | Tag: Add new tag , Analisa Politik , Konflik dan Konsensus , Political and Economic , Politik Lingkungan , Social | Leave a Comment Sansen Situmorang Ekologi Politik Kajian ekologi politik sebelumnya merupakan hasil dari perkembangan dari ilmu pengetahuan ecology manusia, dan sosiologi lingkungan. ekologi manusia untuk pertama kalinya di perkenalkan oleh Haeckel pada tahun 1866. adalah suatu ilmu yang memiliki konsep tentang hubungan manusia (human system) dengan alam (non‐ human system) di biosfer. ekologi manusia melakukan pengkajian-pengkajian pada isu-isu kehancuran alam dari perspektif konflik-social dan mengkaji lembaga-kelembaga fungsional dalam tata hubungan manusia dengan alam (Dunlap and Catton Jr, 1979). sehingga pengkajian mereka banyak di pengeruhi oleh ekologi-biologi maupun sosiologi. sedangkan untuk menjelaskan keterkaitan hubungan manusia dengan alam, mereka melakukan pendekatan-pendekatan pendekatan antropologi. Pada perkembangan lebih lanjut ekologi manusia berevolusi secara struktur menjadi sosiologi lingkungan yang berkembang kembali menjadi bidang baru yaitu ekologi politik. hal itu di sebabkan berhasilnya riset-riset secara ilmiah, sehingga perkembangan tersebut dapat memberikan banyak alternative terhadap berbagai persoalan-persoalan ekologis yang di hadapi manusia dan alam.

Ekologi Politik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ekologi Politik

Ekologi Politik. Studi Kasus : Gagasan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Meredam Gejolak Social Masyarakat Lokal (Masyarakat Indonesia   Timur)

Posted by sansen situmorang under Analisa Politik, Konflik dan Konsensus, Politik Lingkungan, Social, Political and Economic | Tag: Add new tag, Analisa Politik, Konflik dan Konsensus, Political and Economic, Politik Lingkungan, Social | Leave a Comment 

Sansen Situmorang

Ekologi Politik

Kajian ekologi politik sebelumnya merupakan hasil dari perkembangan dari ilmu pengetahuan ecology manusia, dan sosiologi lingkungan. ekologi manusia untuk pertama kalinya di perkenalkan oleh Haeckel pada tahun 1866. adalah suatu ilmu yang memiliki konsep tentang hubungan manusia (human system) dengan alam (non‐human system) di biosfer.

ekologi manusia melakukan pengkajian-pengkajian pada isu-isu kehancuran alam dari perspektif konflik-social dan mengkaji lembaga-kelembaga fungsional dalam tata hubungan manusia dengan alam (Dunlap and Catton Jr, 1979). sehingga pengkajian mereka banyak di pengeruhi oleh ekologi-biologi maupun sosiologi. sedangkan untuk menjelaskan keterkaitan hubungan manusia dengan alam, mereka melakukan pendekatan-pendekatan pendekatan antropologi.

Pada perkembangan lebih lanjut ekologi manusia berevolusi secara struktur menjadi sosiologi lingkungan yang berkembang kembali menjadi bidang baru yaitu ekologi politik. hal itu di sebabkan berhasilnya riset-riset secara ilmiah, sehingga perkembangan tersebut dapat memberikan banyak alternative terhadap berbagai persoalan-persoalan ekologis yang di hadapi manusia dan alam.

Permasalaan manusia dengan alam pada saat ini sangat terasa dampaknya bagi kelangsungan hidup manusia, hal ini dapat di jumpai di Indonesia baru-baru ini. seperti terjadinya kelangkaan miyak fosil dan banyaknya ancaman-ancaman alam terhadap manusia seperti banjir, longsor dll. hal itu membawa pengaruh terhadap ekosistem biosper dalam kehancuran bersama (manusia dan alam) fenomena ini dapat berimplikasi baik secara social, ekonomi dan politik. hal inilah yang menjadi agenda riset ekologi manusia di abab 20.

Di dasari ketidak pedulian partai politik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk mengangkat isyu-isyu lingkungan dan pelestrarian sumberdaya alam maka para pemikir ekologi manusia memperluas kajiannya untuk memasuki wilayah politik yang pada nantinya menjadi ekologi politik. menurut Arya Hadi Dharmawan ada dua flatfom yang menjadi dasar. pertama, “Ruang konflik”, sebagai ruang dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan politik yang melibatkan beragam kepentingan, dilangsungkan) Yang kedua adalah “Ruang‐kekuasaan” (sebagai ruang dimana para pemegang otoritas kebijakan menjalankan keputusan/kebijakan yang telah ditetapkan di ruang‐konflik).

Page 2: Ekologi Politik

Beberapa definisi tentang ekologi politik yang asumsinya adalah sama yaitu: “environmental change and ecological conditions are (to some extent) the product of political processes”. Jika keadaan lingkungan adalah produk dari proses‐proses politik, maka tidak terlepas pula dalam hal ini adalah keterlibatan proses‐proses dialektik dalam politik ekonomi.

seperti pandangan Bryant mengenai ekologi politik menurutnya adalah suatu ilmu dinamika politik material melingkupi dan lebih perjuangan seperti bersambungan lingkungan di dunia ketiga. Sebagai tema yang terpenting adalah peran hubungan kekuasaan tak sama di konstitusi lingkungan meningkatkan kesadaran politik. perhatian tertentu di fokuskan pada konflik yang di timbulkan karena adanya akses lingkungan yang dihubungkan ke sistem politik dan hubungannya dengan ekonomi. Ekologi politik memfokuskan pada ditingkat masyarakat lemah/miskin, dihubungkan dengan lingkungan yang pada akhirnya melahirkan suatu konflik. Sehingga memunculkan suatu persepsi tentang permasalahan lingkungan, di sisi lainnya adanya suatu intervensi pengetahuan ilmiah barat terhadap local. Sedangkan isu masa depan di hubungkan untuk mengubah udara, mutu air, proses yang berkenaan dengan kota yang di hubungkan dengan organ tubuh manusia

para actor atau pelaku-pelaku ekonomi di dasarkan pada profit-maximizing economy. sehingga tidak mengherankan jika mereka selalu melakukan pengkalkulasian dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atas praktek opperasional ekonomi mereka, baik itu pada tahap produksi, distribusi maupun pada tahap konsumsi. sedangkan di banyak negara-negara dunia ketiga terjadi suatu kerjasama antara para politisi, birokrat dan pengusaha yang telah memperburuk kondisi ekologi bumi. penggabungan ketiga elemen dapat menjadi satu kekuatan besar yang tak dapat tertandingngi hal itu tentunya dapat mengalahkan kekuatan lainnya. sehingga mereka bekerja sesuai dengan kepentingannya tampa mengindahkan segala sesiko yang pada nantinya melahirkan krisis ekologi. menurut Arya Hadi Dharmawan fenomena ini dapat di jelaskan kegagalan dalam sistem tata‐pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam dan ketidakseimbangan dalam proses‐proses pertukaran dalam sistem ekologi, maka Keseluruhan sistem akan mengalami gangguan yang mengakibatkan ketidak seimbangan alam.

Penanaman prinsip kesederajatan hak‐hidup antara manusia (human society) dan mahluk non‐manusia (non human society) di alam (mereplace antroposentrisme dengan ekosentrisme) sepantasnya terus diupayakan. tentunya di samping pembangngunan system kemasyarakatan dan adanya suatu system hokum yang dapat mendukung pengaturan prilaku yang akrap terhadap lingkungan untuk itu diperlukan perjuangan politik ekologis yang terus‐menerus tanpa lelah guna memperjuangkan cita‐cita kelestarian lingkungan. dapat di pastikan para pemerhati kepentingan ekologis akan berhadapan dengan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan berbeda sebagaimana dalam suatu masyarakat yang di dasari oleh kepentingan kepentingan yang berbeda. gerakan-gerakan eko-populisme (aktifis environmental movementor organization serta green political parties) adalah sangat menentang kekuatan-kekuatan kapitalis global yang mereka anggap sebagai penggerak pembangunan yang melahirkan kehancuran alam. mereka dalam posisi sepeti ini membawa agenda politik yang memiliki tujuan utama untuk menyelamatkan kesejahteraan social-ekonomi rakyat, yang mereka anggap sebagai orang-orang yang tidak mampu dalam membela akan hak-haknya. di balik perlawanan itu mereka berusaha untuk mempertahankan sumber daya alam untuk tetap dalam control mereka.

Page 3: Ekologi Politik

Bryant menggambarkan tipologi kerusakan sumber daya alam dan lingkungan serta dampaknya pada kehidupan sosio‐ekonomi‐ekologi suatu sistem kemasyarakatan serta bagaimana pendekatan penanganan secara sosiopolitis yang harus ditempuh adalah sebagai berikut

Dimensi‐Dimensi Ekologi Politik atas Kehancuran Alam dan Lingkungan

Dengan adanya table di atas Bryant harapan adanya suatu gambaran untuk melihat bentuk-bentuk serta derajat kehancuran alam dan masyarakat dengan berlangsungnya krisis ekologi. hal ini di maksutkan dengan tujuan agar mendapatkan suatu gambaran untuk dapat di tetapkan baik strategi dan aplikasi terhadap kebijakan lingkungan sebagai bentuk intervensi aksi dan pengaruh politik. menurutnya system social masyarakat akan menghadapi 3 aspek penting atas kerusakan lingkungan di lihat dari perspektif ekonomi-politik, ketiga aspek itu adalah

1. marjinalitas atau peminggiran secara sosial‐ekologikal sebuah kelompok mahluk hidup,2. kerentanan secara sosial‐ekonomi‐ekologi dan fisikal akibat berlangsungnya kehancuran

secara terus menerus, dan3. kehidupan yang penuh dengan resiko kehancuran taraf lanjut.

Page 4: Ekologi Politik

Dengan table di atas Bryant ingin menyampaikan akan pentingnya ekologi poitik, yang menurutnya masyarakat dunia memiliki tiga pilihan atas kehancuran alam yang tak dapat terelakkan dan menjadi suatu realitas (the incovenient truth). untuk itu gambaran table diatas di maksudkan untuk mengantisipasi pilihan ketiga sebagai upaya meminimalisir derajat kehancuran alam dan system social di bumi.

Untuk itu di perlukan suatu perjuangan politik untuk mengupayakan masa hidup bumi yang mengalami “proses penuaan dan penghancuran sangat cepat” akibat melemahnya daya dukung lingkungan bumi karena excessive forces yang datang dari berbagai aktivitas kehidupan di atasnya.

sebagaimana di unkapkan dalam bukunya Bryant ia mengemukakan pentingnya perjuangan lingkungan melalui jalur politik sebagai berikut

Riset lingkungan Dunia Ketiga mengalami suatu jalan buntu, catatan ini menyatakan bahwa peneliti perlu mengadopsi suatu Perspektif Ekologi politis untuk memastikan bahwa riset menunjuk yang politis dan masalah ekonomi yang mendasari Permasalahan dunia lingkungan yang ketiga. Karena suatu pemahaman tentang hubungan kuasa berbeda adalah pusat ke ekologi politis, catatan mempertimbangkan bagaimana pengaruh kuasa human-environmental interaksi, sebelum menaksir dengan singkat bagaimana riset [dari;ttg] sesama ini mungkin berperan untuk suatu pemecahan tentang Permasalahan lingkungan negara dunia ketiga

Ideologi dalam Ekologi Politik vs. Ideologi Pembangunanisme

seperti halnya yang telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa paham pembangunan dan modermisasi di bawa oleh negara negara maju ke dalam negara-negara dunia ketiga pasca berkembangnya industrialisasi di amerika di tahun 1960-1970an. hal itu untuk pertama kalinya di tentang oleh suatu gerakan sosial berhaluan struturalisme‐keras pro‐lingkungan. dalam pemikiran gerakan tersebut ide dari pembangunanisme‐modernisme mereka anggap gagal dalam memelihara kelestarian alam karena pendekatan yang diambilnya sangat mengabaikan eksistensi lokal, destruktif dan eksploitatif.

menurut mereka modernisme‐developmentalisme yang diintroduksikan melalui “logika rasionalisme kapitalisme Barat” dipandang sebagai proses transplantasi ide‐ide modernitas Euro‐Amerikanisme yang telah terbukti membawa kegagalan pemihakan pada lingkungan di kawasan sedang berkembang.

dengan pertentangan tersebut, analisis ekologi politik di butuhkan dan pada saat itu ekologis politik memasukkan dua domain penting dalam analisisnya. Pertama, relasi kekuasaan politik dan analisis konflik ekologi. Kecaman keras yang datang secara diametral terhadap pendekatan pembangunan yang berorientasi pada tradisi modernisme‐terutama datang dari penganut mazhab ekologisme‐radikal yang sangat ketat dengan ideologi marxismenya. menurut Yearley, pada dasarnya mereka memperjuangkan suatu tatanan kehidupan masyarakat secara system sosiol-ekomoni dan dan system ekologi yang lebih adil. paham ini menginginkan tercibtanya suatu system global yang memiliki cirri keadilan dan kesejahteraan tampa mengindahkan prinsip-prinsip kesejajaran, kesetaraan jaminan ekssistensi bagi nilai-nilai budaya local. menurut Irvin

Page 5: Ekologi Politik

Home perkembangan gerakan kiri di amerika kecondongan untuk mengadopsi pemikiran Marx, mereka pada dasarnya menghendaki suatu perubahan terhadap tatanan politik karena gerakan mereka di dasari oleh nilai-nilai kebebasan (liberty), keadilan (justice), persamaan (equatity), dan demokrasi (demosracy). dalam hal pergerakannya mereka menginginkan peniadaan peran pemerintahan dalam mengurus rakyat yang menurut mereka individu memiliki otonomi sendiri. tetapi menolak kepemilikan pribadi jikalau mencibtakan suatu ketimpangan social. kecendrungan gerakan kiri amerika adalah anti teknologo modern menurut mereka menyebabkan manusia malas, dan pola pikir manusia mengikuti pola logika teknologi yang kaku. disamping itu industrialisasi mencibtakan permasalahan bagi mahluk hidup. mereka merindukan kehidupan yang alamiah tampaadanya mekanisme teknologi, sehingga mereka pun menentang budaya-budaya kemapanan.pemikiran kapitalis sebagaimana gagasan adam smih di abab 18 pada intinya untuk mencapa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat menurutnya butuhkan produksi haruslah berbasiskan atas dominasi‐superioritas kapital dimana peran tenaga kerja menjadi “ternomor‐kapitalistik (yang bergandengan tangan dengan mazhab ekonomi neoklasikal yang dianut oleh para teknokrat melalui pendekatan development

duakan” (playing a secondary role). dan alam sebagai sumber untuk mendapatkan kesejahteraan. sehingga gagasan inilah yang di terima sebagai gagasan tunggal dan pada saat itu masyarakat pun (melalui exercise of power dari Negara ke segenap elemen sistem sosial), sehingga terjadilah suatu mekanisme produksi eksploitatif besar-besaran terhadap alam. yang pada kenyataannya penerapan gagasan tersebut memberikan kontribusi pada masyarakat dan merubah ternyata pandangan tersebut mendapatkan banyak kritikan dari pada scholars dan negarawan, karena menurut mereka pendekatan yang berideologikan kapitalis tersebut di rasa hanya menguntungkan pihak negara-negara maju (elit ekonomi dan politik glonal) adalah sebagai berikut :

1. Pembagian kembali surplus value (redistribution mechanism) dari kapitalis kepada tenaga kerja berlangsung secara kurang adil. Ada relasi kekuasaan modal yang timpang, dimana pertukaran ekonomi lebih menguntungkan pemilik modal, sementara fenomena kemelaratan malah menguat di kalangan buruh.

2. Pembangian kembali surplus value dari foreign‐owned capitalistic industries kepada negara sedang berkembang pemilik sumberdaya alam, berlangsung timpang, sehingga membentuk struktur produksi yang bercirikan exploitative social‐relations dan membentuk pola pembangunan bertipe ketergantungan yang sangat kuat. Fakta ini selanjutnya menghasilkan keterbelakangan dan struktur ketergantungan di negara sedang berkembang.

3. Pembagian kembali surplus value dari pengusaha (pemilik kapital) kepada alam berlangsung sangat timpang, dimana prosentase modal yang direinvestasikan kembali ke alam terlalu sedikit dibandingkan apa yang telah diambilnya. Hasilnya, alam tak mampu meregenerasi daya dukungnya terhadap proses produksi lebih lanjut, dan justru mengalami kerusakan yang serius.

4. Dengan mengadopsi kapitalisme sebagai satu‐satunya azas (ideologi) dalam system produksi, maka sesungguhnya Negara sebagai system‐regulator, telah memonopoli (baca: membiarkan) violence dan ketidakadilan (rationalized inequality), dan mereproduksi terus‐menerus sistem tersebut untuk berjalan secara lestari.

Page 6: Ekologi Politik

Secara umum beberapa sistem ideologi pembangunan yang eksis selama ini dapat diperbandingkan satu sama lain dalam Tabel, sebagai berikut:

Ideologi dalam Pembangunan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Studi Kasus

Gagasan Corporate Social Responsibility (CSR)

dalam Meredam Gejolak Social Masyarakat Lokal

Masyarakat Indonesia Timur

Imam Cahyono, Politik Etis Kapitalisme, Kompas Kamis, 26 Oktober 2006 atau dapat di lihat pada situs http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/26/opini/3021437.htmabidDaftar Pustaka

Page 7: Ekologi Politik

1. Arya Hadi Dharmawan, Dinamika Sosio‐Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik, Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1/No. 1, April 2007

2. WBryant, RL. “Power, Knowledge and Political Ecology In The Third World: a review.” Progress in Physical Geography 22(1): 79-94. 1998

3. Bryant, RL. “Beyond the Impasse: The Power of Political Ecology in Third World Environmental Research.” Area 29(1): 5-19. 1997

4. Yearley, Sociology – Environmentalism – Globalization. Sage. London and Thousand Oaks. 1996.

5. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan 3 2007, hal 363-370

6. Soehino, S.H., Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, Cetakan ke III.7. Imam Cahyono, Politik Etis Kapitalisme, Kompas Kamis, 26 Oktober

2006 atau dapat di lihat pada situs http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0610/26/opini/3021437.htm

8.

Page 8: Ekologi Politik

CSR : SEKILAS SEJARAH dan KONSEP Siapa yang melupakan sejarah pasti akan mengulangi kejadian dalam sejarah tersebut. Pesan untuk tidak melupakan sejarah juga sering diungkapkan oleh Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Oleh karena itu kita membutuhkan komposisi yang sempurna antara ide baru untuk melangkah ke masa depan dengan kebijaksanaan yang telah kita pelajari dari orang-orang terdahulu.

Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibility) telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.

Perhatian para pembuat kebijakan terhadap CSR menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha.

Definisi

Tidak ada definisi resmi tentang CSR. Sebagaimana akan kita pahami kemudian, definisi CSR berkembang dari masa ke masa. Beberapa definisi CSR yang telah dikenal adalah sebagai berikut:

Upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif tiap pilar. (A+ CSR Indonesia)

He commitment of businesses to contribute to sustainable economic development by working with employees, their families, the local community and society at large to improve their lives in ways that are good for business and for development. (International Finance Corporation)

Use its (corporate) resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, engages in open and free competition without deception or fraud. (Milton Friedman)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, biasanya jika berbicara tentang CSR kita langsung berfikir tentang perilaku korporasi. Padahal jika ditelaah lebih jauh, pemerintah pun tidak dianjurkan untuk menjalankan aktivitas CSR, dengan beberapa penyesuaian tentunya. Hal ini berkaitan dengan posisi pemerintah sebagai konsumen terbesar bagi seluruh kegiatan konsumsi (lengkapnya baca di sini) . CSR bukan merupakan obat dewa, tetapi tetap memberikan petunjuk penting yang dapat menjadi panduan bagaimana korporasi dan pemerintahan sebaiknya dijalankan.

1950-an: CSR MODERN

Page 9: Ekologi Politik

Literatur-literatur awal yang membahas CSR pada tahun 1950an menyebut CSR sebagai Social Responsibility (SR bukan CSR). Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari.

Buku karangan Howard R. Bowen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat dianggap sebagai tonggak bagi CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari CSR sebagai:

“… obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values of our society.” (Bowen, 1953, hal. 6)

Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan businessman tanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku tersebut definisi CSR yang diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi CSR tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR.

1960-an

Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka miliki (social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power). Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang.

Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi.

Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul Silent Spring . Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung. Silent Spring juga menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada tahun 1972. Selain penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events.

Tahun 1963 Joseph W. McGuire memperkenalkan istilah Corporate Citizenship. McGuire menyatakan bahwa:

Page 10: Ekologi Politik

“The idea of social responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these obligations” (McGuire, 1963, hal. 144)

McGuire kemudian menjelaskan lebih lanjut kata beyond dengan menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai mana warga negara (citizen) yang baik.

1970-an

Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat.

CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

Tahun 70-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR. Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif.

Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja sosial (social performance) yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh CED.

1980-an

Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa

Page 11: Ekologi Politik

sebenarnya corporate responsibility. Walaupun telah menyinggung masalah CSR pada 1954 , Empu teori manajemen Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984 , Drucker berpendapat:”But the proper ‘social responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and into wealth” (Drucker, 1984, hal. 62)

Dalam hal ini Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.

Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future – juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk menghormati Gro Harlem Brundtland yang menjadi ketua WECD waktu itu. Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

1990-an

Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992 . Dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya eco-efficiency dijadikan sebagai prinsip utama berbisnis dan menjalankan pemerintahan.

CSR di Indonesia

Diantara negara-negara di Asia, penetrasi aktivitas CSR di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2005 baru ada 27 perusahaan yang memberikan laporan mengenai aktivitas CSR yang dilaksanakannya.

Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) . Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental Reporting Award, dan Best Website.

Pada 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Website, Impressive Sustainability Report Award, Progressive Social Responsibility Award, dan Impressive Website Award. Pada 2007

Page 12: Ekologi Politik

kategori diubah dengan menghilangkan kategori impressive dan progressive dan menambah penghargaan khusus berupa Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai dengan ISRA 2007 perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan dalam ISRA.

Dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR tertuang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007) Bab V Pasal 74. Walaupun hanya mewajibkan pelaksanaan aktivitas CSR untuk perusahaan di bidang pertambangan, Undang-Undang tersebut menimbulkan kontrovesi dikarenakan kebijakan mewajibkan aktivitas CSR bukan merupakan kebijakan umum yang dilakukan di negara-negara lain. Kontrovesi juga timbul dari adanya kekhawatiran munculnya peraturan pelaksanaan yang memberatkan para pengusaha.