Upload
banialkausar
View
75
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penerapan tax planning dalam lembaga syariah dimana menjadi isu-isu yang masih banyak menjadi perdebatan
Citation preview
MAKALAH PERENCANAAN PAJAK
KAJIAN KRITIS TENTANG PAJAK MENURUT PERPEKTIF SYARIAH
Oleh :
Bani Alkausar 156020301111004
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSIAS BRAWIJAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi neoklasik mempercayakan, bahwa kebijakan publik biasanya didasarkan
pada kemampuan pemerintah dalam menarik pajak dan memacu tarif subsidi asing.
Dalam bahasa ekonomi yang termasuk dalam kebijakan publik salah stunya berupa
kebijakan fiskal. Sehingga kebijakan fiskal dalam bahasa ekonomi konvensional
dipandang sebagai instrumen manajemen permintaan yang berusaha mempengaruhi
tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pajak dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan fiskal atau secara tradisional dikenal dengan keuangan publik,
merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan dan
pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memnuhi fungsi-fungsi
publik dan pemerintahan. Penghasilan dan pembiayaan otoritas publik dan administrasi
keuangan.
Di dalam sejarah Islam, keuangan publik berkembang sesuai dengan
pengembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara Islam oleh Rasulullah
SAW, kemudian diteruskan oleh para sahabat. Walaupun, sebelumnya telah digariskan
dalam Al-qur’an, dalam hal santunan pada orang miskin.
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, prosentasenya mencapai 88%.
Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan harta dan
penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban berupa zakat bagi yang telah memenuhi
syarat. Di sisi lain, sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga memiliki
kewajiban pajak bagi yang telah memenuhi syarat, karena telah dibuat undang-undang
yang mewajibkan itu. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban
kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan
nasional.
Menyikapi kewajiban pajak berdasarkan undang-undang ini, terdapat beberapa
pendapat di kalangan umat Islam dari yang pro maupun yang kontra karena telah ada
kewajiban zakat terhadap harta dan penghasilannya yang telah memenuhi syarat. Pro
kontra terkait dengan hal ini harus didudukkan pada proporsi yang semestinya agar
terjadi mutual understanding yang membawa kemaslahatan bagi masa depan
kesejahteraan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.
Pertanyaan sekarang adalah apakah memang pajak itu diharamkan dalam agama?
Mari ditelisik dari sisi spiritual-keagamaan Hindu, Buddha, Kristen dan Islam. Dari sisi
Hindu diatur di dalam kitab Manawa Dharma Sastra (MNS), terutama pada bagian
yang membahas kewajiban Catur Varna (empat golongan): Brahmana, Ksatria, Vaisya,
dan Sudra, bahwa diwajibkan bagi setiap Varna untuk membayar pajak. Pajak yang
dipungut harus untuk keadilan dan pemerataan sosial. Sehingga orang cacat dan orang
yang tidak memiliki sesuatu tidak diwajibkan membayar pajak. Menurut MNS, pajak
adalah pungutan sebagai balas jasa rakyat atas jaminan keamanan yang diberikan raja
atau negara.
Mengacu pada MNS, maka seorang ksatria (raja atau petugas-petugas pemerintah)
yang dalam keadaan negara susah mengambil seperempat dari hasil panen dinyatakan
bebas dari kesalahan kalau ia melindungi rakyatnya dengan sebaik-baiknya menurut
kemampuannya. Artinya raja ataupun negara dibenarkan untuk memungut pajak agar
dapat memberi perlindungan dan keamanan kepada masyarakat.
Kemudian dalam Veda, kitab suci umat Hindu, diatur bahwa raja atau negara dapat
menjatuhkan sanksi kepada wajib pajak yang berusaha menghindari dari kewajiban
membayar pajak, seperti dengan memalsukan data-data barang yang harus dikenai
pajak misalnya. Atas penghindaran pajak semacam itu, wajib pajak dapat dikenai
sanksi oleh raja atau negara berupa denda beberapa kali lipat dari nilai pajak yang
harusnya ia bayar.
Lalu bagaimana dari sisi Buddha, Sabda sang Buddha Gotama dalam kitab
Anguttara Nikaya, "Dengan harta kekayaan yang dikumpulkannya dengan semangat,
dengan cara sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya, orangtuanya,
istri dan anaknya juga bahagia, pelayan dan bawahannya, sahabat dan kenalannya dan
orang-orang lain juga bahagia." Yaitu, lanjut sang Buddha, dengan cara "Membayar
pajak dan memberikan persembahan kepada orang suci untuk mengumpulkan pahala."
Artinya, seorang Buddhis yang taat agama akan membayar pajak kepada pemerintah
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sedangkan dalam tradisi Kristen, dikisahkan dalam Injil Matius 17 ayat 24 sampai
27 bahwa Yesus Kristus adalah seorang warga negara yang taat membayar pajak. Di
Kapernaum, Yesus dan murid-muridnya didatangi pemungut pajak. Bertanyalah si
pemungut pajak kepada Petrus: "Apakah gurumu (Yesus) tidak membayar pajak dua
dirham itu?" Dijawab Petrus: "Memang mesti membayar?" Dan ketika Petrus masuk
rumah, Yesus mendahului dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari
siapakah raja-raja di dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari
orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi,
bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka,
pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kau pancing tangkaplah dan
bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di
dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah (pajak) kepada mereka, bagiku, dan bagimu
juga."
Lalu bagaimana dalam Islam? Dari sisi Islam terdapat dua pendapat tentang pajak.
Sejumlah ulama ada yang mengharamkan pajak, namun jumhur (mayoritas) ulama
menghalalkan pajak. Kalangan ulama yang mengharamkan pajak mengacu pada hadits
Nabi saw. yang menegaskan bahwa: "Tidak akan masuk surga orang yang memungut
mukus" (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah). Dan sabda
Nabi saw: "Sesungguhnya penarik mukus (tempatnya ada/diadzab) di neraka. " [HR
Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Ulama-ulama Madzhab Wahabi seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani, Abdul
Aziz bin Abdullah bin Baz, Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, dan Adz-Dzahabi
menyamakan mukus ataupun 'usyr (artinya sepersepuluh) sebagai pajak atau cukai
sehingga mereka, para ulama Wahabi itu, mengharamkan pajak dan bea cukai, dan
menfatwakan bahwa petugas pajak maupun petugas bea cukai adalah pelaku dosa besar
sehingga akan diazab dan tempat kembalinya adalah neraka jahannam.
Lalu bagaimana dengan jumhur (mayoritas) ulama lainnya? Jumhur ulama
berpendapat mukus ataupun 'usyr tidak dapat digeneralisasikan sebagai bea cukai
apalagi pajak. Secara etimologis, mukus artinya pengurangan dengan penzhaliman.
Sehingga mukus adalah segala pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut
mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat dengan cara-cara zhalim.
Lalu apakah pajak yang dipungut pemerintah untuk membiayai fasilitas publik
untuk dinikmati oleh para pembayar pajak itu juga adalah pungutan yang menzholimi?
Para jumhur ulama Ahlul Sunnah wal Jama'ah dari empat madzhab, Syafi'i, Hanafi,
Maliki dan Hanbali, sepakat bahwa pajak tidak dapat serta merta di-qiyas-kan (di-
analogi-kan) sebagai mukus. Jumhur ulama sepakat bahwa pajak yang
dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan
masyarakat luas seperti: membiayai tersedianya fasilitas-fasilitas jalan, jembatan,
transportasi publik, listrik dengan harga terjangkau, rumah sakit murah pemerintah,
obat-obat generik, keamanan oleh TNI dan POLRI, sekolah-sekolah murah negeri
hingga ke pedesaan dan daerah terpencil, dan fasilitas-fasilitas layanan publik lainnya
adalah bukan mukus sehingga halal untuk dipungut/dipotong sebagai pajak oleh
pemerintah untuk kepentingan masyarakat juga.
Bahkan mulai masa kepemerintahan khalifah kedua Islam, Sayyidina 'Umar bin al-
Khaththab ra., pemerintah negara Islam saat itu memungut 'usyr alias pajak 10% atau
cukai sebesar 10% atas suatu komoditas demi kemaslahatan masyarakat. 'Abdur Razaq
dalam Mushannaf 'Abd ar-Razaq meriwayatkan dari 'Abdullah ibn 'Umar ra. yang
menuturkan bahwa ayahnya 'Umar bin Khaththab ra. memungut pajak dari Nabth
(gandum dan minyak zaitun) sebesar ½ 'usyr (5%) agar mereka lebih banyak
membawanya ke Madinah. Sayyidina 'Umar bin Khaththab ra juga memungut 'usyr
(10%) dari komoditas al-Quthniyah (biji-bijian seperti Adas, Buncis, dsb). Peristiwa
fakta sejarah itu juga diriwayatkan oleh Ibn Abiy Syai'bah di dalam Mushannaf Ibn
Abi Syai'bah dari 'Ubaydullah bin 'Abdullah ra.
Maka tak heran jika jumhur ulama Madzhab Syafi'i, seperti Imam al-Ghazali,
menyatakan bahwa memungut uang (pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan
jika memang diperlukan dan kas di Baitul Mal tidak lagi mencukupi untuk membiayai
kebutuhan negara baik untuk perang atau keperluan negara lainnya. Namun jika masih
ada dana di Baitul Mal, maka tidak boleh.
Kemudian jumhur ulama Madzhab Hanafi, seperti Muhammad 'Uma'im al-Barkati,
menyamakan pajak dengan naibah (jamaknya nawaib). Ia berpendapat bahwa naibah
(pajak) boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.
Lalu jumhur ulama Madzhab Maliki, seperti Imam Al-Qurtubi, mengemukakan bahwa
para ulama Madzhab Maliki sepakat atas dibolehkannya menarik pungutan (pajak)
selain zakat apabila dibutuhkan. Selanjutnya jumhur ulama Madzhab Hanbali, seperti
Ibnu Taimiyah, membolehkan pengumpulan pajak yang mereka sebut dengan al-kalf
as-sulthaniyah. Jumhur ulama Madzhab Hanbali menilai bahwa pajak yang diambil
dari orang-orang yang mampu secara ekonomis merupakan jihad harta.
Juga ulama-ulama kontemporer seperti Rashid Ridha, Mahmud Syaltut, Abu
Zahrah dan Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pajak dihalalkan dalam Islam. Rashid
Ridha dalam Tafsir Al-Manar V/39 menafsirkan Qur'an Surat An-Nisaa' ayat ke-29
dengan penjelasan sebagai berikut, bahwa : "... adanya kewajiban bagi orang kaya
untuk memberikan sebagian hartanya (dalam bentuk zakat) untuk kemaslahatan umum,
dan mereka hendaknya dimotivasi untuk mereka mengeluarkan uang (di luar zakat)
untuk kebaikan".
Lalu Yusuf al-Qardhawi (Qaradawi) dalam kitab Fiqhuz Zakah (II/1077)
menjelaskan bahwa negara terkadang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
pembangunannya. Untuk itu tiada jalan lain kecuali dengan mengumpulkan pajak. Dan
hal itu, menurut al-Qardhawi, dapat dikategorikan sebagai salahsatu bentuk jihad harta.
Selanjutnya, mufti Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut, dalam kitab Al-Fatawa al-Kubra,
menegaskan bahwa hakim boleh memungut pajak dari orang yang mampu secara
ekonomis untuk kemaslahatan asalkan tidak berlebihan (melampaui batas).
Juga Muhammad Abu Zahrah membolehkan pajak disamping zakat. Abu Zahrah
menuturkan bahwa pajak tidak ada pada era Nabi saw, namun itu bukan karena pajak
diharamkan dalam Islam, tapi karena pada masa itu solidaritas tolong menolong antar
umat Islam dan semangat berinfak di luar zakat sangatlah tinggi. Dan persaudaraan
yang terjalin antara kaum 'Anshar dan Muhajirin berhasil mempersempit jarak sosial
dan ekonomi umat pada saat itu. Sehingga tidak diperlukan campur tangan negara
dengan menarik pajak.
Nah, dapat disimpulkan bahwa pajak tidak serta merta diharamkan dalam syari'at
agama Hindu, Buddha, Kristen dan Islam kecuali oleh fatwa-fatwa beberapa ulama
madzhab Wahabi. Sebagaimana pemerintahan Islam Sayyidina 'Umar bin Khattab ra
yang menarik pajak ('usyr) 5% dan pajak 10% untuk menciptakan pertumbuhan dan
menjaga stabilitas perekonomian negara, maka pemerintahan-pemerintahan negara
berpenduduk Islam di dunia sekarang pun menarik pajak bukan dengan niat untuk
menzholimi tapi untuk berfungsi sebagai salahsatu instrumen kebijakan fiskal untuk
mewujudkan kemakmuran bangsa dan negara. Berdasarkan latar belakang tersebut
dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai apa itu pajak dan bagaimana pandangan
mengenai pajak menurut islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis menentukan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep dan teori pajak?
2. Apa pandangan syariah mengenai pajak yang ada di negara Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi tujuan penulisan sebagai
berikut :
1. Mengetahui bagaimana konsep dan teori pajak.
2. Mengetahui pandangan syariah mengenai pajak yang ada di negara Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Teori Pajak
1. Pengertian Pajak
Secara singkat pajak dapat diartikan sebagai kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(Depkeu : 2014).
Namun beberapa ahli juga banyak yang mendefiniskan pajak sebagai bantuan
uang secara insidental atau secara periodic (dengan tidak ada kontraprestasinya),
yang di pungut oleh badab yang bersifat umum (Negara), untuk memperoleh
pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena
undang-undang menimbulkan utang pajak. Artinya pajak merupakan iuran yang
dipaksakan oleh pemerintah terhadap masyarakat dan tanda timbal balik, karena
berfungsi sebagai penambah penghasilan Negara demi meningkatkan
pembangunan suatu Negara (Deutsche Reichs Abgaben Ordnung).
Sedangkan menurut beberapa ahli seperti (Suparman Sumawidjaya) pajak
adalah pajak adalah iuran wajib berupa barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak adalah :
a. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun daerah), berdasarkan
undang undang serta aturan pelaksanannya.
b. Dalam pembayaran pajak-pajak tidak dapat adanya kontraprestasi atau timbale
balik secara langsung.
c. Merupakan iuran wajib sebagai kontribusi rakyat kepada negara.
d. Pajak sebagai alat untuk menghimpun dana dari masyarakat atau sebagai
sumber penerimaan negara.
e. Pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat.
2. Fungsi Pajak
Melakukan pemungutan pajak tidaklah dilakukan tanpa adanya peraturan yang
mengaturnya selain itu manfaat yang didapatkan dengan adanya pajak juga tidaklah
sedikit. Pajak diterapkan bukan tanpa tujuan inilah beberapa fungsi pajak yang
ingin dicapai guna mensejahterakan masyarakat :
a. Fungsi budgeter, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
b. Fungsi regulerend (mengatur), pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
c. Fungsi Demokrasi, adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan
pembangunan demi kemaslahatan manusia yang sering dikaitkan dengan hak
seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah.
d. Fungsi Distribusi, adalah fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan
dan keadilan dalam masyarakat.
Setelah melihat penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan pajak bukan
hanya berperan sebagai sumber pembiayaan negara tapi juga berfungsi sebagai
pengatur salah satunya dalah untuk mengatur tingkat konsumsi akan suatu barang
dan jasa yang bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat.
3. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang pernah dilaksanakan di Indonesia, yakni :
official assestment system, withholding system, self assestment system/self
assessment sistem. Sistem pemungutan pajak dibagi 3, yaitu :
a. Official Assestment System
Official Assestment System adalah suatu sistem pemungutan yang
memberi kewenangan kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh wajib pajak ciri-cirinya :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus.
b) Wajib pajak bersifat pasif.
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assestment System
Self Assestment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya
pajak yang terutang.Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak
sendiri.
b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang.
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
d) Wajib pajak dipandang memahami tata cara perhitungan pajak.
e) Wajib pajak dituntut untuk bersikap jujur; memberikan laporan yang
sebenarnya.
c. Withholding system
Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak
ketiga (konsultan pajak).
b) Wajib pajak dan fiskus bersifat pasif.
c) Utang pajak dapat diketahui dari laporan pihak ketiga.
d) Pihak ketiga dituntut untuk bersikap jujur; memberikan laporan yang
sebenarnya berdasarkan pada undang-undang.
Dari pengertian sistem pemungutan pajak yang telah dijelaskan menurut
Mardiasmo dapat disimpulkan bahwa sistem pemungutan pajak di Indonesia
meliputi sistem Official Assestment System yang merupakan sistem pemungutan
yang memberi kewenangan kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak, Self Assestment System yang
merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang, Withholding system yang
merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada
pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh
wajib pajak
4. Prinsip-Prinsip Pajak
Adapun pajak harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Prinsip manfaat, artinya secara umum, barang-barang dan jasa-jasa yang
disediakan oleh pemerintah merupakan barang untuk kepentingan umum untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
b. Prinsip kemampuan membayar, artinya negara memperoleh penghasilan dari
wajib pajak melalui sumbangan sesuai dengan kemampuannya.
c. Efisiensi, artinya pengenaan pajak harus mempertimbangkan aspek
efisiensinya karena dengan adanya pengenaan pajak maka akan menaikan
harga barang atau jasa tersebut.
d. Pertumbuhan ekonomi, artinya sistem perpajakan yang baik harus dapat
mengacu pada pertumbuhan ekonomi, dapat memberi dorongan bagi
pembukaan lapangan kerja yang mendorong pertumbuhan secara bersaing
diberbagai sektor ekonomi.
e. Kecukupan penerimaan, artinya penerapan jenis pajak harus layak dan
memadai sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah,
jangan sampai cost of collection lebih besar dari perolehan pajaknya.
f. Stabilitas, artinya dalam pengenaan pajak perlu adanya stabilitas penerimaan
pajak karena jika penerimaan pajak bersifat fluktuatif, maka program
pemerintah yang telah direncanakan dalam APBN dapat terganggu.
g. Kesederhanaan, artinya suatu sistem perpajakan haruslah sederhana dan mudah
dipahami masyarakat, terutama wajib pajak.
h. Rendahnya biaya administrasi dan biaya kepatuhan, artinya sistem perpajakan
yang baik harus memiliki biaya administrasi dan kepatuhan yang rendah.
i. Netralitas, artinya sistem perpajakan yang baik harus dapat menghilangkan
terjadinya distorsi dalam prilaku konsumsi dan produksi oleh masyarakat, yang
dapatmembantu menarik investor lain untuk melakukan investasi.
5. Pengelompokan Pajak
Pajak yang wajib dilapor dan disetor oleh wajib pajak terdiri dari bebagai
macam jenis pajak, maka pajak dikelompokkan menurut golongannya, sifatnya dan
lembaga pemungutnya.
1) Menurut Golongannya :
a. Pajak langsung, yaitu pajak harus dipikul sendiri oleh WPdan tidak dapat
dibebankan/dilimpahkan kepada orang lain,seperti Pajak Penghasilan
(PPh).
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnyadapat dilimpahkan
kepada orang lain, seperti Pajak PertambahanNilai (PPN).
2) Menurut Sifatnya :
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkanpada subjeknya
dalam arti memperhatikan keadaan diri WP,seperti PPh.
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkanpada objeknya,
tanpa memperhatikan kedaan diri WP, seperti PPN dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (PPnBM).
3) Menurut Lembaga Pemungutannya :
a. Pajak Pusat, dipungut oleh Pemerintah Pusat dandigunakan untuk
membiayai Rumah Tangga Negara, seperti PPN& PPnBM, PBB dan Bea
materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh PEMDA dandigunakan untuk
membiayai Rumah Tangga Daerah. Pajak Daerah terdiri atas :
a) Pajak DATI I (Propensi), seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea
Balik Nomor (BBN) Kendaraan Bermotor.
b) Pajak DATI II (Kota Madya/Kabupaten), seperti PajakPembangunan,
Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak BangsaAsing (WNA).
4) Menurut Golongan :
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain.
5) Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
6) Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemer intah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga negara.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah.
7) Pajak Daerah
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkanUndang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah). Jenis-jenis Pajak daerah antara lain :
a. Pajak provinsi terdiri atas :
a) Pajak Kendaraan Bermotor
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d) Pajak Air Permukaan
e) Pajak Rokok.
b. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a) Pajak Hotel
b) Pajak Restoran
c) Pajak Hiburan
d) Pajak Reklame
e) Pajak Penerangan Jalan
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g) Pajak Parkir
h) Pajak Air Tanah
i) Pajak Sarang Burung Walet
j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BAB III
METODE PENULISAN
A. Sumber Data
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif, sedangkan sumber data
yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan pada
penelitian ini diperoleh dari jurnal-jurnal atau penelitian-penelitian yang terkait
dengan judul penulisan ini yang dapat diunduh melalui scholar.google.co.id.
Pencarian sumber data lain seperti literatur terkait penelitian diakses melalui
internet.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji
berbagai literatur seperti buku-buku, jurnal, artikel dan sumber-sumber lain
yang berkaitan dengan topik pembahasan dalam penulisan makalah ini.
b. Studi Dokumentasi
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
mengumpulkan seluruh data sekunder dan informasi yang dibutuhkan terkait
masalah yang diteliti.
B. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan cara
melakukan studi literatur yang berkaitan dengan isu-isu perpajakan dalam perspektif
syariah. Kemudian hasil dari studi literatur tersebut akan coba disimpulkan oleh
penulis dan dimasukkan kedalam pembahasan.
C. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan yaitu berupa studi literatur yang dilakukan oleh
penulis terhadap beberapa hasil pembahasan studi literatur terkait dengan isu-isu pajak
dalam perspektif syariah yang nantinya akan disimpulkan dan akan dilakukan
pembahasan oleh penulis berdasarkan teori yang ada di tinjuan pustaka dalam makalah
ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :
a. Iuran dari rakyat kepada negara yang berhak memungut pajak hanyalah negara,
iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan
undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk dalam pembayaran tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh kontraprestasi pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran
yang bermannfaat bagi masyarakat luas.
B. Pajak Menurut Syariah
Secara etimologi pajak berasal dari bahasa arab disebut dengan istilah dharibah,
yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau
membebankan. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam penggunaannya
memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai dharibah untuk
menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas dalam
ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara wajib.
Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah.
Jadi, dharibah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk untuk
selain jizyah dan kharaj, sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah.
Ada tiga ulama yang memberikan definsi tentang pajak, yaitu:
1. Yusuf Qardhawi
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus
disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi
kembali dari negara, dan hasilnyauntuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum disatu pihak dan untuk merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial,
politik dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh negara.
2. Gazi Inayah
Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh
pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan
tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan ketentuan si pemilik harta dan
dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk
memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.
3. Abdul Qadim Zallum
Pajak adalah harta yang diwajibkan Alloh SWT kepada kaum muslin untuk
membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan
atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang/harta.
C. Karakteristik Pajak (Dharibah) Menurut Syariat
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat Islam, yang
sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non-Islam) yaitu :
a. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, artinya hanya boleh
dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika di baitulmal
sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan
zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan
(mustahiq). Sedangkan pajak menurut non Islam adalah abadi (selamanya)
b. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan
kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk
pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak menurut non-
Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
c. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non-
Muslim. Sebab pajak (dharibah) dipungut untuk membiayai keperluan yang
menjadi kewajiban bagi kaum Muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-
Muslim. Sedangkan teori pajak non-Islam tidak membedakan Muslim dan non-
Muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasi.
d. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut
dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari
pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya
bagi dirinyadan keluarganya menurut kelayakan kelayakan masyarakat sekitar.
Dalam pajak non-Islam, kadangkala dipungut atas orang miskin, seperti pajak
bumi dan bangunan atau PPN yang tidak mengenal siapa subyeknya, melainkan
melihat obyek (barang atau jasa) yang dikonsumsi.
e. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang
diperlukan, tidak boleh lebih.
f. Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori non-
Islam, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.
D. Kedudukan Pajak Dalam Islam
1. Pajak Dalam Hukum Islam
Mengenai hukum pajak dalam Islam, ada dua pandangan yang bisa muncul.
Pandangan pertama yakni menyetujui kebolehan dari adanya pajak sedangkan
pandangan kedua yakni yang memandang bahwa penarikan pajak merupakan
suatu tindakan kezhaliman dan hal tersebut merupakan haram.
Menurut saya penulis, pajak ialah suatu hal yang diperbolehkan. Pendapat ini
penulis ambil dengan menganggap bahwa pajak ialah sebagai ibadah tambahan
setelah adanya zakat. Pajak ini bahkan bisa jadi menjadi wajib karena sebagai
bentuk ketaatan kepada waliyyul amri dimana amri tersebut disini ialah
pemerintah.
Rasulullah SAW pernah menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian
beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin: “Bolehkah melawan/memberontak?”.
Lalu Rasulullah SAW menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan
shalat”
Selain itu juga dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 59 mengenai makna ketaatan
pada ulil amri dengan arti sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
Pada ayat tersebut bisa ditarik makna bahwa ketaatan tersebut juga memiliki
batas yakni pada hal yang bersifat ma’ruf saja, bukan pada hal yang tidak ma’ruf.
Hal lain yang menjadi pertimbangan saya akan pandangan ini ialah bahwa pajak
tersebut alangkah baiknya dibayarkan sesuai dengan hukumnya dikarenakan pajak
tersebut pun pada akhirnya akan dinikmati masyarakat dalam bentuk layanan-
layanan yang diberikan oleh Negara.
Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, pada
tahun 2008, pajak menyumbang hampir 70 % total dana dari APBN dimana seperti
yang diketahui, ada banyak sektor-sektor yang masih membutuhkan dana dari
APBN tersebut seperti sektor pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Di sektor-
sektor itulah dana APBN akan disalurkan.
Selama pajak tersebut masih berjalan sesuai dengan asas keadilan adalah hal
yang sah-sah saja bagi kita untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Tanpa adanya pajak, maka pemerintahan pun tidak akan bisa berjalan
dengan semestinya dan tentunya hal itu juga akan berimbas kepada kita sebagai
masyarakat. Jikalau ada perilaku korupsi dalam pajak, itu merupakan sesuatu yang
akan ditanggung oleh pribadi yang melakukannya dan tentunya ia akan berhadapan
dengan Yang Maha Kuasa di akhirat kelak.
E. Perbandingan antara Pajak dan Zakat
Meskipun pajak dan zakat pada dasarnya hampir sama dalam tujuannya yakni
meningkatkan kesejahteraan sosial melalui dana yang didapat dari masyarakat,
sebenarnya terletak beberapa perbedaan yang mencolok yang menjadikan kedudukan
pajak dan zakat tidak bisa disamakan. Dibawah ini perbedaannya sebagai berikut :
a. Perbedaan yang paling dasar dari keduanya terletak pada sumber perintahnya.
Pajak bersumber dari pemerintah yang telah menetapkan pajak tersebut melalui
Undang-Undang disertai peresetujuan dari parlemen atau DPR, sedangkan
zakat bersumber dari perintah Allah SWT yang wajib dijalankan umat Islam
untuk menjadi orang yang beriman.
b. Dari segi pelakunya dimana dalam pajak, seluruh masyarakat berkewajiban
membayar pajak kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
sedangkan dalam zakat hanya umat Islam saja yang diwajibkan melakukannya.
c. Perbedaan selanjutnya terletak pada objek penerima dari dua dana ini. Pajak
dipungut oleh pemerintah dimaksudkan untuk kepentingan sosial dan untuk
kepentingan orang yang membutuhkan. Pada hal ini rentan terjadi salah sasaran
dimana justru orang yang telah berkecukupan malah mendapat apa yang
menjadi hak dari orang yang membutuhkan. Sedangkan dalam zakat, pada surat
At-Taubah ayat 60 telah jelas ada delapan golongan yang berhak menerima
zakat tersebut.
d. Berikutnya terletak pada segi hukumnya. Untuk pajak, pandangan mengenai
hukum dari pajak itu sendiri sampai saat ini masih terbagi menjadi dua
pandangan, yakni pandangan pertama yang menganggap pajak itu boleh bahkan
wajib mengingat wajibnya mentaati pemimpin dan pandangan kedua yang
menganggap haram dengan landasan ayat Al-Qur’an serta hadits. Sedangkan
zakat yang merupakan salah satu rukun Islam menjadikannya jelas bahwa
hukumnya ialah wajib.
e. Dalam pajak tidak ada ketentuan yang jelas dalam jumlah nominalnya kecuali
ditentukan oleh pemerintah di tempat tertentu, sedangkan dalam zakat,
ketentuan kadar dalam pemberian sebagian harta untuk zakat telah ditentukan
oleh Allah SWT bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai
nishabnya.
Pajak dan zakat merupakan dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar
pemungutannya, namun sama dalam hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau
memungut kekayaan dari masyarakat untuk kepentingan sosial, zakat untuk
kepentingan yang diatur agama atau Allah SWT sedangkan Pajak digunakan untuk
kepentingan yang diatur Negara melalui proses demokrasi yang sah. Istilah pajak lahir
dari konsep negara sedangkan zakat lahir dari konsep Islam. Perbezaan penerapan
kedua pungutan ini menjadi permasalahan ketika dalam hal tertentu terdapat
persamaan, iaitu keduanya mempunyai kedudukan sama-sama wajib ditunaikan oleh
masyarakat.
Muncul pertanyaan Apakah kedudukan pajak itu sama dengan zakat? Atau apa
perbedaan keduanya? Atau bagaimanakah seorang warga negara muslim dalam
menyikapinya kedua pungutan ini. Tulisan ini mencoba melihat perbezaan keduanya.
Zakat memiliki banyak erti dan hikmah sebagaimana dijelaskan sebab zakat adalah
ibadah menyangkut kekayaan yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Zakat
merupakan perwujudan sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, antara
golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang kaya miskin. Kedua
Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki daridiri orang-orang miskin di
sekitar mereka yang mewah. Ketiga dapat menunjang terwujudnya sistem
kemasyarakatan.
Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip persatuan, Persamaan Derajat, dan
Tanggungjawab bersama. fempat Dapat mensucikan diri (peribadi) dari kotoran dosa,
memurnikanjiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa
kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhi/sta serakah. Sesuai ketentuan Islam, mereka
yang berhak mendapatkan zakat hanya tujuh yaitu Fakir, Miskin, Orang kafir yang
tertarik dengan Islam, Mereka yang sedang dalam perjalanan, orang yang berjuang
fisabilillah, Mereka yang sedang dililit hutang, Amil atau pengurus zakat. Pengeluaran
untuk diluar kelompok ini sebaiknya tidak menggunakan zakat tetapi bisa
menggunakan sumberdana lain seperti infaq, shadaqah atau wakaf.
Pajak adalah menyangkut kewajiban warga negara terhadap negara yang menjadi
institusi awam yang dibentuk dan diberi tanggungjawab untuk mengelola kepentingan
negara atau kepentingan negara. Pemungutan pajak harus mendapatkan persetujuan
rakyat melalui undang-undang yang harus dipersetujui parlemen. Setiap pungutan
pajak yang tidak berdasarkan undang-undang maka rakyat tidak wajib mematuhinya.
Tetapi untuk pajak yang ditetapkan oleh undang-undang maka pemerintah atau negara
memiliki hak memaksa. Penggunaan pajak tidak hanya terbatas kepada kepentingan
golongan tertentu seperti zakat hanya untuk 8 golongan sedangkan pajak dapat
digunakan untuk semua keperluan dalam pengunaan kepentingan negara. Bisa
disimpulkan bahwa kedudukan keduanya berbeda karena dilihat dari beberapa aspek
diatas. Namun disini penulis masih berpendapat bahwa pajak boleh dikenakan dan kita
sebagai muslim dan sebagai warga negara Indonesia yang baik juga harus
mematuhinya, meskipun masih banyak pertentangan di luar sana boleh tidaknya
pemungutan pajak oleh negara.
F. Efektivitas Perencanaan Pajak Lembaga Syariah
Sebelum berbicara menuju masalah perencanaan pajak diawal sudah dibahas
mengenai pajak itu sendiri menurut pandangan syariah, meskipun masih banyak terjadi
pertentangan namun penulis di sini berpendapat bahwa pajak merupakan hal yang
diperbolehkan menurut agama. Banyaknya perbedaan pandangan mengenai pajak
inilah yang sering kali mengakibatkan perencanaan pajak dalam lembaga syariah saat
ini masih kurang efektif.
Masih belum banyak literatur maupun penelitian yang membahas mengenai
masalah ini. Padahal permasalahan semacam ini apabila dibiarkan saja tentu akan
menimbulkan masalah dikemudian hari. Kita ketahui bahwa penduduk terbesar di
negara kita beragama muslim, namun hal-hal yang berkaitan dengan syariah masih
belum banyak yang membahasnya atau menelitinya.
BAB V
KESIMPULAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai persefektif pajak dalam islam diatas, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif warga
negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan
negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-
Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara. Sedangkan
dalam bahasa arab disebut dengan disebut dengan istilah dharibah, yang artinya
mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau
membebankan.
2. Pajak dalam Islam dengan Pajak kapitalis jelas memiliki perbedaan dalam berbagai
bidang, sebagai contoh, pajak dalam islam (dharibah), bersifat temporer, tidak
bersifat kontinu; hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau
kurang. Ketika di baitulmal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa
dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi
pihak yang membutuhkan (mustahiq). Sedangkan pajak menurut non Islam adalah
abadi (selamanya).
3. Mengenai Kedudukan Pajak dalam islam, sampai saat ini masih banyak yang
berbeda tanggapan di indonesia, tidak terkecuali dari kalangan ulama bahwa pajak
dalam islam itu haram hukumnya, dan ada juga yang mengatakan bahwa pajak
dalam islam itu halal atau sah-sah saja asalkan tujuan dan fungsi dari pajak itu
benar-benar difungsikan untuk hal yang baik dan menguntungkan semua orang
dengan tidak ada paksaan/perampasan secara paksa. Didalam Islam, Pajak dan
zakat hampir sama tujuannya yaitu meningkatkan kesejahteraan melalui dana yang
dikutip dari masyarakat, namun keduanya tentu memiliki perbedaan. Sedangkan
pajak dalam non islam/kapitalis dipungut dari warga untuk membangun negara dan
juga warga itu sendiri.
B. Keterbatasan
Keterbatasan yang dihadapi penulis terkait dengan penulisan makalah ini adalah
masih terbatasnya sumber literatur dan penelitian yang membahas mengenai perspektif
pajak dalam syariah sehingga di sini penulis memiliki sedikit pedoman dalam
melakukan pembahasan dan perbandingan pendapat. Harapan penulis terkait dengan
keterbatasan yang penulis alami ini menjadi penyemangat bagi penulis-penulis lain
untuk mengangkat masalah ini sehingga topik-topik yang berkaitan dengan syariah
khusunya di Indonesia lebih banyak lagi kedepannya.
C. Saran
Pajak merupakan dana yang dihimpun dari masyarakat demi menigkatkan
kesejahteraan sosial, sama halnya dengan zakat di dalam islam, dikutif dari sebahagian
orang untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkannya, namun dalam
menerapkan pajak, seharusnya pajak itu benar-benar diterapkan demi kepentingan
masyarakat, pembangunan negara ke yang lebih baik tentunya.
Menurut penulis apabila tujuan penggunaan dari pajak itu sendiri bisa
dimanfaatkan dengan baik, maka perdebatan mengenai boleh tidaknya pemungutan
pajak tidak akan terjadi lagi. Dan pajak memang benar-benar bisa memberikan
kemanfaatan bagi pembayar pajak itu sendiri, dengan pengelolaan pajak yang benar
oleh negara.
DAFTAR PUSTAKA
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: CV. Anfi Offset, 2006.
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, 2002.
Sukardji, Untung, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan NilaiIndonesia,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
http://arsindo.livejournal.com/6549.html “Pajak dalam islam” diakses tanggal 28 Maret 2013.
http://www.izakat.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100%3Apajak-dan-zakat&catid=31%3Atazkirah&Itemid=52&lang=bm “Pajak dan jakat” diakses tanggal 24 maret 2013
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/definisi-pajak-dan-jenis-jenis-pajak.html#ixzz2OwvzIQPr “ definisi pajak dan jenis-jenis pajak” diakses tanggal 24 Maret 2013
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/09/19/pajak-dalam-perspektif-islam-494630.html “Pajak dalam perspektif islam” diakses tanggal 28 Maret 2013.