25

Click here to load reader

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

  • Upload
    ginsc

  • View
    713

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas

desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian

utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan

penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Desentralisasi

dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang

telah dibentuk oleh pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan,

dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah1. Karena itu Pasal 18 Undang-Undang Dasar

1945, antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah di Indonesia atas daerah

besar dan kecil, dengan bentuk dan sususnan pemerintahannya di tetapkan dengan

Undang-Undang.

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia diawali oleh tumbangnya

pemerintah orde baru yang sentralistis. Reformasi tata pemerintahan akhirnya

melahirkan model desentralisasi yang paling masif di dunia, sistem sentralisasi

yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat,

pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat

memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan

daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.2 Dalam

penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam

daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil.

Dengan penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak

dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh daerah, karena

jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah yang jauh dari

pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan membangun Good

Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim orde baru, berganti dengan

1 Joko Widodo,Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Banyu Media Publising, Malang, 2007

2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara, Jakarta, 2008. Hlm 17

1

Page 2: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

era reformasi, mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence, salah

satunya dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat

mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu penerapan Otonomi daerah sebagai wujud amanat daru Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 5 yang berbunyi:

“Pemerintah daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai

urusan pemerintah pusat”.

Perlu juga diketahui, Indonesia bukan salah satu negara yang berhasil dalam

penerapan otonomi daerah guna membangun Good Governance, beberapa

indikator di antaranya adalah, beban APBN baik dari sisi penerimaan maupun

pengeluaran tidak cukup mampu untuk menggerakkan roda perekonomian, daya

saing Indonesia pada tahun 2007 berada pada urutan 54 dari 55 negara, rangking 3

sebagai negara koruptor, Indeks pembangunan manusia tahun 2007 urutan ke 112

dari 117 negara, daya tarik investasi urutan terakhir dari ASEAN. Dari fakta

tersebut kurang berhasilnya membangun Good Governance juga di pengaruhi atas

kurang berhasilnya pelaksanaan Otonomi Daerah, yang nanti akan di bahas lebih

lanjut, keterkaitan Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam mewujudkan Good

Governance.3

Dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk membuat suatu makalah

dengan judul:

”EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI

OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO.

32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD

GOVERNANCE”

B. Perumusan Masalah

3 sumber Internasional Institute for Management Development, http://www.asosiasipoliteknik.or.id/index.phpmodule=aspi_jurnal&func=display&jurnal_id=269

2

Page 3: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

1) Apakah pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 kaitannya dengan Otonomi

Daerah sudah terlaksana dengan baik dalam membangun Good

Governance?

2) Faktor – Faktor apa yang mempengaruhi efektifitas kebijakan pemerintah

mengenai otonomi daerah?

BAB II

PEMBAHASAN

3

Page 4: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

A. Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Melalui Otonomi Daerah dalam

Membangun Good Governance

Berbagai definisi yang diberikan ini memiliki fokus yang sama yaitu pada

nilai, tujuan, dan sarana. Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan

perundang-undangan, utamanya undang-undang yang dilegitimasi melalui

pengesahan oleh DPR sehingga mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga

masyarakat. Oleh karena itu, pada hakikatnya hukum pun mengandung nilai,

konsep-konsep dan tujuan yang mana proses perwujudan ide dan tujuan

merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum tidak lagi hanya berfungsi

sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk melakukan

perubahan masyarakat  hingga digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan

tujuan-tujuan politik 4.

Constitutions, statutes, administrative orders and executive orders are

indicators of policy dimana alokasi penetapan tujuan merupakan output dari

sistem politik yang dapat berupa alokasi nilai otoritatif dinyatakan sebagai

kebijakan publik, selanjutnya akan diimplementasikan pada masyarakat, sehingga

nampak bahwa hukum merupakan indikator adanya kebijakan. Kebijakan publik

dapat dilihat dari tiga lingkungan kebijakan, yaitu perumusan kebijakan,

pelaksanaan kebijakan, dan penilaian (evaluasi) kebijakan.

Pada tahap penilaian (evaluasi) apakah suatu kebijakan telah berlaku secara

efektif atau belum, ada unsure-unsur yang berperan di dalamnya. Suatu peraturan

perundang-undangan akan menjadi efektif apabila dalam pembuatan maupun

implementasinya didukung oleh sarana-sarana yang memadai. Unsur-unsur yang

mana harus diperhatikan agar hukum (dalam hal ini peraturan perundang-

undangan) dapat digunakan secara efektif sebagai suatu instrumen (kebijaksanaan

publik) dan batas–batas kemungkinan penggunaan yang demikian itu adalah suatu

langkah yang penting baik secara teoritik maupun praktis, oleh karena

4 Esmi Warassih,Pranata Hukum Sebuah Telaah Soiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005. Hlm 133

4

Page 5: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

perkembangan studi–studi kebijaksanaan dalam peraturan perundang–undangan

menyangkut permasalahan hukum dan perilaku sosial.5

Evaluasi kebijaksanaan publik (dalam praktiknya) banyak dilakukan untuk

mengetahui dampak dari kebijaksanaan publik. Dampak yang dimaksudkan disini

adalah dampak yang dikehendaki oleh suatu kebijaksanaan publik, artinya

dampak tersebut sesuai dengan tujuan – tujuan yang telah ditetapkan. Anderson

menguraikan sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, bahwa dampak

kebijaksanaan publik tersebut dalam beberapa dimensi yaitu :

1) dampak kebijaksanaan yang diharapkan dan atau yang tidak diharapkan,

baik pada problematikanya maupun pada masyarakat. Sasaran

kebijaksanaan juga ditentukan dengan jelas.

2) dampak kebijaksanaan terhadap situasi atau (kelompok) orang yang bukan

menjadi sasaran utama dari suatu kebijaksanaan publik. Hal ini biasanya

disebut dengan externalities atau spillover effects. Dampak yang demikian

dapat  positif maupun negatif.

3) dampak kebijaksanaan – kebijaksanaan yang dapat terjadi atau

berpengaruh pada kondisi sekarang maupun yang akan datang.

4) dampak kebijaksanan terhadap direct costs. Dalam kaitan ini menghitung

suatueconomic costs dari suatu program kebijaksanaan publik relatif

mudah apabila dibandingakan dengan menghitung (timbulnya biaya –

biaya lain yang bersifat kualitatif (social costs)

5) dampak kebijaksanaan terhadap indirect costs yang biasanya mengena atau

dialami oleh angota – angota masyarakat..

Apabila dampak kebijaksanaan yang diharapakan terjadi, maka timbul

permasalahan, sampai di mana ia dapat dianggap sebagai hasil dari implementasi

suatu kebijaksanaan, atau dengan perkataan lain, dari penggunaan sarana yang

dipilih apakah sudah tepat dan efektif. Efektifitas disini berarti menyangkut

tingkat kegunaan sarana tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.6 Dalam

pembahasan terkait dengan keberadaan Undang-Undang Pemerintah Daerah

5 Bambang Sunggono, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994. Hlm 154 – 155

6 Ibid, Hlm 162

5

Page 6: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Nomor 32 Tahun 2004, maka bentuk kebijakan publik ini diartikan sebagai bentuk

pengesahan formal penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya

menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah.

Perlu diketahui terlebih dahulu makna dari otonomi daerah dalam bahasan

ini, otonomi daerah menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan dan pemerintahan dan kepentingan daerah setempatsesuai dengan

peraturan perundang-undangan”, sedangkan yang dimaksud dengan daerah

otonom menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 32 Tahun 2004 yaitu “adalah kesatuan

daerah hukum yang mempunyai batasan wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan

Republik Indonesia”.

Dalam pelaksanaannya dari tahun 1999 hingga saat ini sistem otonomi

daerah belum bisa sepenuhnya dapat menciptakan Good Governence, masih

banyak hal-hal yang belum dapat terpenuhi. Pelaksanaan asas Good

Governance tidak berhasil diterapkan pada daerah yang kini berstatus otonomi,

yang diartikan mandiri, karena ketidak pahaman bahwa governance merupakan

prinsip pengelolaan atau cara untuk memanage layaknya perusahaan (good

corporate governance) yang kemudian diterapkan pada daerah. Konsep pemikiran

dari manajemen daerah adalah mengoptimalkan sumber daya yang tersedia, bukan

yang mungkin tersedia. Sehingga dalam mengelola daerah tidak melakukan

rancangan “angan-angan”, tetapi bagaimana mengelola potensi-potensi daerah

yang selama ini terabaikan untuk kemudian menjadi andalan daerah.

Beberapa kegiatan yang diselenggarakan untuk menmperkenalkan potensi

daerah, misalnya kegiatan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kota

Seluruh Indonesia (APEKSI) yang diadakan di Kota Solo beberapa waktu lalu

adalah salah satu upaya untuk memunculkan potensi, memasarkan dan kemudian

berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat, seperti batik yang

6

Page 7: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

menjadi andalan Kota Solo terfokus pada daerah Laweyan dan Kauman.

Indikator-indikator diatas yang menjadi penilai keberhasilan atau bahkan

kegagalan daerah dalam mengelola daerah dalam lingkup kewenangan otonomi.

Contoh good corporate governance yang ditunjukkan Pemerintah Kabupaten

Jembrana dengan kebijakan pendidikan dan kesehatan gratisnya masih bisa

dibilang merupakan contoh langka dalam kisah sukses penerapan kebijakan

otonomi daerah (otda) di Indonesia.

Kebijakan otonomi daerah, terlepas dari euforia dan optimisme yang

ditampilkannya, ternyata masih membutuhkan banyak revisi. Pemerintah pusat

yang seharusnya menjadi anutan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan yang

berpihak kepada publik, malah cenderung mengutamakan kebijakan yang lebih

peduli pada masalah penurunan defisit anggaran dan kesehatan fiskal daripada

memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Hak-hak dasar rakyat seperti pangan,

pendidikan, dan kesehatan masih menjadi prioritas kesekian di bawah kebijakan

ekonomi. Kebijakan ekonomi dan politik bukannya tidak penting dalam

pelaksanaan kebijakan publik secara keseluruhan, namun mengabaikan kebijakan-

kebijakan publik yang peka dan tanggap akan kebutuhan sosial rakyat, terutama

yang menyangkut hak-hak dasar rakyat adalah kesalahan dasar bagi terciptanya

sumber daya manusia. Di tengah maraknya pilkada dan euforia partai politik, serta

masyarakat di daerah yang melakukan pilkada, kebijakan politik juga masih

melalaikan masalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

Otonomi daerah tidak serta-merta mampu memenuhi target, jika tidak

menjamin, hubungan pemerintah, rakyat, dan pasar yang lebih baik. Otonomi

daerah seharusnya menjamin mudahnya akses informasi dan pelayanan sosial

untuk masyarakat; kesadaran dan partisipasi politik masyarakat yang lebih baik

serta kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. Tetapi otonomi

daerah malah menjadi ajang untuk memperkaya diri dan perpanjangan korupsi

oleh para elite politik di daerah. Yang terjadi adalah otonomi daerah malah

mendorong eksploitasi negatif terhadap daerah-daerah yang ada dan tidak

memberdayakan masyarakat sekitar maupun membangun daerah secara optimal

dan efektif seperti yang diharapkan dari penerapan otonomi daerah itu sendiri.

7

Page 8: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Penggunaan APBD yang sewenang-wenang tidak hanya menggerogoti dan

mencuri kebutuhan hak-hak dasar rakyat, seperti dalam hal pengadaan buku

wajib, tunjangan tenaga kesehatan, serta dana-dana pemberdayaan, seperti untuk

reboisasi, bantuan permodalan, dan koperasi. Korupsi juga memengaruhi kinerja

DPRD ketika dana penunjang kegiatannya diselewengkan kepala daerah atau

ketika para anggota DPRD dan pimpinannya merekayasa dana tunjangan

perumahan maupun kunjungan untuk kepentingan pribadi. Disfungsi dan

mandulnya pemerintah daerah dan DPRD penjadi salah satu penyebab gagalnya

pelaksanaan otonomi daerah dengan mengorbankan hak-hak dasar rakyat,

Gagalnya otonomi daerah dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat merupakan

persoalan serius.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan

bahwa instrumen politik seperti pilkada mampu menghasilkan pemerintah daerah

yang efektif, kredibel, dan bertanggung jawab, serta relevan dengan masyarakat

dan daerah yang bersangkutan. Sementara itu, pemerintah daerah yang masih

menjabat juga perlu mengambil inisiatif dan langkah strategis dalam

memanfaatkan wewenangnya untuk menjalankan program-program pembangunan

di daerah secara efektif dan optimal. Selain dari indikator tersebut di atas terdapat

pula penerapan Otonomi daerah yang tidak tepat (resentralistik) antara lain: 7

1) Secara Khusus Undang-Undang No.32 Tahun 2004 telah berjalan.

Khususnya dalam sektor pelayanan publik dan pengembangan daerah.

2) Tetapi belum memberikan dampak secara ekonomi kepada masyarakat

apalagi memberikan peluang peningkatan lapangan pekerjaa, seperti yang

telah penulis singgung di atas.

3) Terjadi eforia dalam melakukan pemekaran wilayah (pada saat ini telah

terjadi pemekaran 150 daerah Propinsi dan kabupaten/kota) yang

berdampak semakin tingginya biaya operasional dalam bentuk Dana

Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang

sebenarnya dapat dialokasikan untuk pemenuhan kesejahteraan

masyarakat. Alih fungsi lahan yang terjadi di Indonesia kerap kali di

7 Sutiyoso: 2008, http://www.suara-daerahonline.com

8

Page 9: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

akibatkan kebijakan pemerintah seperti dalam pemekaran wilayah, baik

pemekaran Provinsi ataupun Kabupaten/Kota.

Hutan lindung yang seharusnya tidak boleh berubah fungsi kerap kali

terancam akibat pemekaran wilayah. Di Pulau Bintan, wilayah hutan

lindung justru masuk sebagai daerah yang akan di jadikan ibu kota.

Koordinasi antar pihak terkait seakan tidak berjalan baik, sehingga

wilayah hutan lindung dapat ditetapkan sebagai daerah pemukiman. Pihak-

pihak terkait dengan sosial masyarakat dan kehutanan harus segera

memperbaiki koordinasi yang berjalan atau bahkan meninjau ulang

kebijakan penetapan alih fungsi hutan lindung. Alih fungsi lahan

semestinya harus mempunyai dampak positif bagi kehidupan manusia.

Baik dari sisi kelangsungan hidup sebagai mahluk hidup maupun untuk

meningkatkan kesejahteraan. Alih fungsi hutan lindung menjadi hutan

produksi di harapkan dapat menjadi salah satu faktor pendukung

meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang memanfaatkan hal tersebut.

4) Terjadi kerancuan dalam administrasi dan sistem anggaran (misal

keterlambatan dalam menyusun APBD Propinsi karena harus

mendapatkan persetujuan Depdagri dan persetujuan RAPBD oleh pusat

meskipun telahh mendapatkan persetujuan oleh DPRD). Yang kemudian

berdampak RAPBD tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah,

atau bahkan daerah-daerah tersebut minim nilai APBDnya. Tentu tidak

dapat dibayangkan bagaimana roda pembangunan dapat berjalan dengan

kondisi seperti ini, belum lagi terdapat rasa ketakutan pada diri eksekutif

oleh oknum aparat (KPK, Polisi, dll)

5) Terjadinya Three in One dalam menjalankan pemerintahan , yaitu

Regulator, Kontrol, dan Operator dalam satu pelaksana

6) Terjadinya tumpang tindih antara sektor sehingga menghambat semangat

Otonomi Daerah yang desentralisasi dan cenderung kembali kepada

semangat sentralistik. Hal ini dicontohkan dalam pengambil alihan

kewenangan dalam bidang kehutanan, transportasi dan organisasi BPN.

9

Page 10: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

B. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan

Pemerintah Dalam Otonomi Daerah

Secara garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan

suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh penyelenggara negara:

1. Faktor politis

Pembentukan hukum oleh lembaga yang berwenang, yang dibentuk oleh

karir politik, melahirkan suatu kewajaran bahwa hukum yang dibentuk tidak

sesuai dengan paradigma yang ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap

kebijakan yang dikeluarkan termasuk dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004

tidak lepas dari faktor politis, setiap kepentingan ikut berpengaruh didalamnya,

begitupula dalam pelaksanaannya, sehingga berpengaruh pada evaluasi terhadap

kebijakan yang dikeluarkan. Salah satu permasalahan dalam otonomi daerah

adalah hubungan keuangan, sejauh mana konsensus nasional dapat dicapai

sebagaipolitical will, yang akan menjadi landasan politis srategis buat menata

hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah secara nasional melalui Undang-

Undang, kemudiandisusul dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diatur

melalui Peraturan Pemerintahan (PP).

2. Faktor Yuridis

Faktor yuridis sebagai dasar dalam pelasanaan kebijakan, dalam rangka

pelaksanaan otonomi daerah diperlukan adanya sebuah Perda sebagai dasar

hukum dilaksanakannya sebuah kebijakan di suatu daerah. Namun demikian

dalam rumusan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 34

Tahun 2000 maupun sejumlah peraturan Menteri, memang tidak diketemukan

ketentuan yang mengatur sanksi apabila Pemda tidak menyampaikan rancangan

Perda tentang pajak dan retribusi kepada pemerintah. Akibatnya, Pemda ”ogah-

ogahan” dan terkesan ”membangkang”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah

daerah masih belum mampu memaknai secara komprehensif dan holistic

mengenai hak, wewenang serta kewajiban sebagai bagian dari pemerintah pusat

dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Merumuskan dan melakukan revisi UU No. 34 Tahun 2000 ataupun UU No.

32 Tahun 2004 yang mengatur mengenai sanksi bagi Pemda adalah sangat bijak

10

Page 11: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

dan menjadi keniscayaan. Meskipun disadari, untuk mencari formulasi sanksi

yang tepat tidaklah mudah, karena tidak mungkin memberikan sanksi yang

bersifat politis. Kalaupun dimungkinkan hanya sanksi administratif yang dapat

diberikan kepada Pemda. Bentuknya dapat berupa penataan kembali suatu daerah

otonom, evaluasi terhadap bantuan pusat kepada daerah, atau penangguhan DAU.

Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah

khususnya pembentukan Perda oleh pemerintah daerah propinsi, kabupaten atau

kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif dan represif. 

Pengawasan preventif berlangsung dimana pengawasan yang dilakukan

sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku. Pengawasan ini dikhususkan

terhadap rancangan Perda yang mengatur pajak dan retribusi daerah, APBD, dan

tata ruang daerah sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi

oleh Mendagri. Begitupun terhadap hierarki pemerintahan di bawahnya, gubernur

mengevaluasi Perda Kabupaten dan Kota. Sedangkan pengawasan represif

dilakukan setelah Perda ditetapkan dan diberlakukan. Akan tetapi dalam praktik

selama ini, kedua pengawasan tersebut tidaklah berjalan secara efektif.

Salah satunya karena di lapangan masih ditemukan kendala teknis.

Misalkan, belum memadainya sistem technology informations (IT) di Pemda

khususnya daerah kabupaten, kondisi giografis dan transportasi, keterbatasan

sumber daya manusia di Depdagri dan Depkeu yang bertugas melakukan

pengawasan langsung. Disamping itu, banyaknya Perda yang harus dievaluasi dari

sekitar 363 kabupaten, 93 kota, dan 33 propinsi yang ada di Indonesia.

3. Faktor sosiologis

Untuk mengetahui apakah suatu undang – undang berlaku efektif atau tidak,

sebenarnya dapat dilihat dari masyarakatnya. Karena sebenarnya obyek utama

suatu kebijakan adalah masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah,

masyarakat di daerah memiliki pemahaman yang sedikit “meleneceng” dari jalur.

Mereka mengartikan otonomi sebagai suatu kebebasan yang sebebas- bebasnya,

hingga misalnya, mereka beranggapan bebas mengeksploitasi hasil alam, dengan

dalih pendapatan daerah. Contoh lain adalah adanya penolakan kebijakan

11

Page 12: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

pemerintah pusat, sehingga seolah – olah masyarakat didaerah ingin lepas dari

pemerintah pusat.

Pelaksana kebijakan sangat bergantung pada jenis kebijakan apa yang akan

dilaksanakan, namun setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

a) Dinas, badan, kantor, unit pelaksana teknis di lingkungan pemerintah

daerah.

b) Sektor swasta (private sektor) sadar sepenuhnya bahwa Pemerintahan

tidak mampu sendirian untuk membiayai pembangunan nasional

perekonomian misalnya, dan oleh karenanya tak dapat tidak harus

dirangkul potensi sektor swasta (private sectors) untuk mendukung beban

ini, (domestic and foreign) setidak-tidaknya melalui penanaman modal dan

pengembangan usaha di sektor pertanian dan perindustrian, lalu kemudian

mengekspor barang jadi dan setengah jadi ke luar, peroleh devisa, lalu

menggunakan via APBN dan APBD untuk membiayai proyek-proyek

pembangunan.

c) Lembaga swadaya masyarakat (SDM)

d) Komponen masyarakat, penetapan pelaku kebijakan bukan sekadar

menetapkan lembaga mana yang melaksanakan dan siapa saja yang

melaksanakan, tetapi juga menetapkan tugas pokok, fungsi, kewenangan,

dan tanggungjawab dari masing-masing pelaku kebijakan. Instrumen

untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya harus dibuat payung hukum

dalam bentuk Perda. Secara teori, menggali potensi daerah dengan

melakukan pungutan pajak.dan retribusi adalah sesuatu yang jauh lebih

mudah jika dibandingkan upaya terobosan lain dalam mencari alternatif

meningkatkan PAD. Apalagi Pemda dan DPRD dapat dengan mudah

meng-copypaste Perda daerah lain yang lebih dahulu mengatur pajak,

retribusi, dan pungutan. Biasanya meng-copypaste itu dilakukan pada saat

anggota DPRD dan Pemda melakukan studi banding ke daerah lain.

e) Dalam masa transisi peraturan dari UU No. 5 tahun 1974  kepada UU No.

22 1999 juncto PP. No. 108 tahun 2000 mengenai Tata cara penyampaian

pertanggung jawaban KDH kepada DPRD, terlihat ketidak-siapan, dalam

12

Page 13: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

arti kedua pihak belum sepenuhnya memahami isi dan makna UU yang

baru itu dibandingkan dengan isi dan makna UU yang lama.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah rentan terjadi hal – hal :

1) Terjadi semacam rebutan kedudukan antar kaum politisi dari Parpol dan

kalangan aparat birokrat yang telah meniti karir dengan jenjang pendidikan

dan dengan jam terbang pengalaman yang cukup lama untuk menduduki

posisi-posisi eksekutif. Bahkan disana sini terjadi “money politics”

padahal menurut teriakan dan pekik reformasi semula, KKN harus dikikis

habis, khususnya “suap menyuap” dalam hal pencalonan Kepala Daerah

dan Wakilnya. Sampai saat ini masih ada kasus money politics ini, yang

belum tuntas pemerosesannya secara yuridis.

2) Terdapat ketidak -pastian mengenai perlu tidaknya penyusunan Program

Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten, disusun dengan cara

menyesuaikan dengan Propeda Propinsi (termasuk Rencana Strategisnya),

dan sebaliknya apakah pemerintah Propinsi masih punya kewenangan

memberikan semacam arahan strategis kepada Kabupaten dan Kota.

Kalaupun tidak mengakui perlunya sub-ordinasi, apakah tidak perlu lagi

koordinasi, sebagai salah satu fungsi manajemen.

3) Tidak semua pihak legislatif maupun eksekutif didaerah Kabupaten dan

Daerah Kota itu dinilai “siap” dalam arti menguasai pemahaman untuk

menerapkan UU itu, dengan persepsi yang sama.

4) Terjadi sikap yang sedemikian Ekstrim, sehingga Daerah-daerah

Kabupaten dan Kota menganggap tidak ada hubungan administratif dan

fungsional sama sekali dengan Propinsi, dan beberapa KDH telah

langsung berhubungan dengan Pemerintah pusat tanpa “sekedar

pemberitahuan atau beri kabar pun” kepada Gubernur KDH Propinsi.

5) Timbul kecenderungan Kabupaten untuk mengeruk sebanyak mungkin

sumber PAD seakan-akan kepentingan kesejahteraan masyarakat dinomor

duakan, dan belum tentu terjamin bahwa pungutan-pungutan itu akan

membalik (feed back, melting process) sebagai biaya penanggulangan

kepentingan kesejahteraan rakyat (public service)

13

Page 14: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

6) Terlihat adanya kecenderungan pengkavlingan wilayah kekuasaan diantara

Kabupaten-kabupaten dengan semangat otonomi yang meluap-luap dan

menganggap tidak harus adanya lagi campur tangan Pusat terhadap

kasusnya meskipun mengaku bahwa negara ini (masih) negara kesatuan.

Apakah merasa tidak perlu adanya lagi koordinasi ataupun konsultasi?.

Dalam praktek dan perkembangan di daerah-daerah, muncul pemeo bahwa

penguasa sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, telah menjadi

semacam “raja-raja kecil” yang mengklaim tidak adanya lagi hubungan

kordinatif dan kontrol oleh Propinsi / Gubernur terhadap Kabupaten /

Bupati dan Kota / Walikota. Beberapa contoh Bupati sudah langsung

berhubungan dengan menteri Dalam Negeri “tanpa kordinasi / konsultasi /

pamit” lagi kepada Gubernur.

BAB III

PENUTUP

14

Page 15: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan otonomi daerah belumlah efektif. Otonomi daerah yang

tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata

baik di daerah perkotaan sampai pelosok tanah air dirasa belum

menampakkan perubahan signifikan baik kualitas maupun kuantitas

terhadap pelayanan publik. Masih banyak pihak yang mengeluh atas

pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih belum jelasnya pembagian

kewenangan atas urusan pemerintahan, baik pusat, provinsi

kabupaten/kota, kondisi ini ditambah dengan lemahnya supervisi dari

pemerintah pusat

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan pemerintah

mengenai otomi daerah antara lain:

a. Aspek politis

b. Aspek yuridis

c. Aspek sosiologis

B. Saran

1. Pemerintah dalam menyusun suatu kebijakan hendaknya benar – benar

memperhatikan asas – asas umum pemerintahan yang baik

2. Pemerintah daerah, hendaknya menyadari bahwa pelaksanaan otonomi

daerah sebenarnya merupakan salah satu upaya pemerintah memajukan

kesejahteraan daerah dan bukan untuk melegalkan pemerintah daerah

lepas dari pemerintah pusat.

3. Masyarakat hendaknya berpartisipasi dalam mensukseskan

penyelenggaraan otomi daerah, dengan memahami hakikat otonomi daerah

yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

15

Page 16: EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA UNDANG – UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE

Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Soiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005.

Jamal Wiwoho dkk, Bahan Perkuliahan Hukum dan Kebijakan Publik, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Banyu Media Publising, Malang, 2007.

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, Bumi Aksara, Jakarta, 2008.

Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

http://www.suara-daerahonline.com

http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi6/6kolom_2.html

http://www.asosiasipoliteknik.or.id/index.phpmodule=aspi_jurnal&func=display&jurnal_id=269

16